Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan Pertanian
7. WTP/ WTA
Kesediaan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan atau kesediaan petani untuk menerima pembayaran jasa lingkungan pertanian
Data primer /tabulasi/deskriptif dan analisis regresi
Keterangan :
NFPP = Nilai fungsi penghasil produksi pertanian yang dapat dipasarkan
NFTK = Nilai fungsi penyerap tenaga kerja; NFPE = Nilai fungsi pengendali erosi dan sedimentasi
NFKP = Nilai fungsi ketahanan pangan; PMPP = Pengetahuan mengenai multifungsi pertanian NFPB = Nilai fungsi pengendali banjir; WTP/WTA = Kemauan untuk membayar/menerima jasa
Tabel 3. Jenis dan jumlah responden penelitian
No Jenis responen Jumlah
orang
Kajian
1 Petani / Padi sawah 60 WTA/PMMP*)
2 Petani / Lahan kering semusim 45 WTA/PMMP
3 Petani / lahan kering kebun campuran 30 WTA/PMMP
4 Birokrat pertanian 44 PMMP
5 Peneliti pertanian 16 PMMP
6 Penyuluh pertanian 30 PMMP
7 Penduduk/ Perumahan rawan banjir 80 WTP
Total 305
Catatan : *)PMMP = Pengetahuan mengenai multifungsi pertanian
3.2.3. Metode analisis data
Metode valuasi ekonomi yang digunakan adalah metode biaya pengganti (replacement cost method/RCM) dan valuasi kontingensi (contingent valuation method/CVM) dengan pendekatan kesediaan masyarakat hilir untuk membayar jasa lingkungan pertanian (WTP) dan kesediaan petani (masyarakat hulu) untuk menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) agar tetap mempertahankan lahan pertanian. Alasan pemilihan metode RCM dan CVM sebagaimana disajikan pada Bagian 2.8 (khususnya hal 42-43), sedangkan asumsi dasarnya adalah (1) informasi dan manfaat mengenai jasa lingkungan pertanian dimengerti oleh responden, (2) harga penawaran mencerminkan preferensi individu responden mengenai perubahan kualitas lingkungan atau penyediaan jasa lingkungan, dan (3) kelemahan yang melakat pada metode WTP/WTA sebagaimana diuraikan pada halaman 36 dapat diminimalisir atau ditanggulangi selama pelaksanaan penelitian.
Perhitungan valuasi ekonomi terhadap multifungsi pertanian dilakukan dengan pendekatan rumus matematik berikut:
1. Nilai ekonomi sebagai fungsi penghasil komoditas pertanian (NFPP)
n
NFPP= ∑ (Ai x IPi x Pi x Hi) ... (1)
i=1 Dimana:
A = Luas lahan (ha), IP = Indeks pertanaman (%/th), P = Produktivitas (t/ha) H = Harga komoditas (Rp/t), I = Indeks komoditas
2. Nilai ekonomi sebagai fungsi penyedia lapangan kerja (NFTK)
n
NFTK= ∑ (Ai x IPi x Ti x Wi)i ... (2)
i=1 Dimana:
T = Kebutuhan tenaga kerja usahatani (hok/ha) W = Upah kerja (rp/hok)
3. Nilai ekonomi sebagai fungsi ketahanan pangan, khususnya beras (NFKP) Qt = (A-k.A) t x Pt x IPt x R ... (3)
Dt = Ot x Ct ... (4)
NFKP = Abs (Qt - Dt) x H ... (5)
Dimana:
Q= produksi beras (ton), k= laju konversi sawah (%) R= rendemen beras (%)
D = kebutuhan pangan/ beras (ton), O = jumlah penduduk (jiwa) C = konsumsi beras per kapita (kg/jiwa/tahun), H = harga beras (rp/kg)
t = Indeks tahun
Sebagai akibat konversi lahan sawah yang berlanjut maka perilaku peubah produksi beras akan mengikuti pola eksponensial negatif, sebaliknya perilaku peubah kebutuhan konsumsi akan mengikuti pola eksponensial positif karena pengaruh laju pertumbuhan penduduk. Guna mengetahui trend perbedaan antara produksi dan konsumsi beras tersebut dilakukan simulasi dengan diagram sebab akibat sebagaimana disajikan pada Gambar 6.
Diagram sebab-akibat tersebut menggambarkan bahwa produksi pangan tergantung kepada luas lahan dan teknologi pertanian. Luas lahan pertanian akan semakin berkurang sebagai akibat konversi lahan. Proses konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kebijakan pemerintah daerah. Teknologi
pertanian yang dimaksud adalah teknologi budidaya yang berpengaruh langsung terhadap produksi melalui peningkatan produktivitas dan indeks pertanaman (IP). Di sisi lain kebutuhan pangan sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan konsumsi per kapita. Semakin tinggi kebutuhan pangan dengan tingkat produksi yang semakin berkurang atau tetap maka akan semakin rendah status ketahanan pangannya, berarti semakin tinggi biaya diperlukan untuk mendatangkan pasokan pangan dari luar wilayah untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Pemecahan diagram sebab-akibat tersebut menggunakan Program Powersim.
Kebijakan Pemda + +
Luas Lahan Laju konversi
Pertanian ( - ) Lahan _ + Pasokan - luar daerah Produksi + Swasembada Pangan pangan + + Teknologi Ketahanan Pangan _ _ + Kebutuhan Pangan Konsumsi + Per kapita + Jumlah Laju Penduduk (+) Pertumbuhan Penduduk +
4. Nilai ekonomi sebagai fungsi pengendali banjir (NFPB)
NFPB = ( Dp - Dnp ) x A x (Pd + Od + Hp) ... (6) Dimana:
Dp= Daya sangga air lahan pertanian (m) Dnp= Daya sangga air lahan non pertanian (m) A = luas lahan pertanian (ha)
Pd= Biaya penyusutan dam (Rp/m3)
Od= Biaya pemeliharaan dam (Rp/m3)
Hp = Harga air baku (Rp/m3)
5. Nilai ekonomi (Rp) sebagai pengendali erosi dan sedimentasi (lNFPE) NFPE = (E_lk - E_ls) x A x SDR x Kd + Nh ... (7)
Dimana:
E_lk= Erosi dari lahan kering (t/ha/th) E_ls= Erosi dari lahan sawah (t/ha/th) A =Luas areal sawah (ha)
SDR= Sediment delivery ratio
Kd=Biaya pengerukan sedimen (Rp/t)
Nh = Nilai unsur hara yang hilang, diprediksi dengan persamaan:
Nh = (E_lk - E_ls) x A x N x Pn; dimana N= kandungan atau proporsi unsur hara pada tanah tererosi dan Pn= harga unsur hara (Rp/t).
6. Nilai ekonomi total = NFPP + NFTK +NFKP + NFPB + NFPE ... (8) Guna menghitung nilai kini (present value) dari kehilangan manfaat di masa depan akibat konversi lahan pertanian digunakan rumus present worth dengan discount factor (DF) 12%/th dan periode perhitungan selama 12 tahun (T0=2003 dan T12 =2015). Justifikasi penentuan DF tersebut didasarkan pada konsep opportunity cost of capital yang kisarannya untuk negara berkembang sekitar 8-15% dan yang umum dipilih adalah 12% (Gittinger 1982).
7. Pengetahuan masyarakat mengenai multifungsi lahan pertanian dianalisis secara deskriptif, analisis korelasi dan regresi berganda.
Y = α0+ α1X1 + α2X2 + β1D1+ β2D2+ β3D3+ β4D4+ β5D5 ...(9)
Y= Skor pengetahuan mengenai multifungsi lahan pertanian ( 0< Y ≤ 1) dimana nilai Y dihitung dari jumlah aspek multifungsi yang diketahui oleh responden tertentu dibagi dengan jumlah aspek multifungsi paling banyak yang diketahui dari seluruh responden. Hasil wawancara menunjukkan ada 8 aspek multifungsi pertanian yang diketahui oleh seorang responden dan angka 8 itulah sebagai pembagi untuk menghitung nilai Y tersebut.
X1 = tingkat pendidikan responden (th), X2 = umur responden (th)
D1 =dummy: 1 untuk responden peneliti, 0 untuk responden lainnya.
D2 =dummy: 1 untuk responden penyuluh, 0 untuk responden lainnya.
D3 =dummy: 1 untuk responden birokrat, 0 untuk responden lainnya.
D4=dummy: 1 untuk responden petani padi sawah, 0 untuk responden
lainnya.
D5=dummy: 1 untuk responden laki-laki, 0 untuk responden wanita.
(Hipotesis yang diuji : α1 dan α2>0; β1>0; β2, β3,β4,dan β5 <0)
8. Kemauan masyarakat untuk membayar (WTP) jasa lingkungan lahan pertanian dianalisis secara deskriptif, analisis korelasi dan regresi berganda sebagai berikut:
WTP = α0+ α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + α5X5 +β1P1+ β2P2+ β3P3+ β4P4+
γ1D1 + γ2D2 + γ3D3 ... (10)
Dimana:
WTP = kemauan responden untuk membayar jasa lingkungan pertanian (Rp).
Xi= peubah kuantitatif terdiri atas :
X1 = tingkat pendapatan (rp/th) (α1 >0)
X2 = umur responden (th) (α2 >0)
X3 = tingkat pendidikan (th) (α3 >0)
X4 = jarak dari rumah ke sungai (m) (α4 <0)
X5 = nilai kerugian akibat banjir (Rp) (α5 >0)
Pj = peubah dummy persepsi :
P1=1 jika responden setuju dan memahami bahwa lahan sawah
mempunyai fungsi dalam mengendalikan banjir, 0 jika sebaliknya
P2=1 jika responden sependapat bahwa petani berhak atas pembayaran
jasa lingkungan lahan pertanian, 0 jika sebaliknya (β2 >0).
P3=1 jika responden sependapat bahwa masyarakat hilir (perkotaan)
merasakan manfaat jasa lingkungan pertanian dan oleh karena itu mereka seharusnya bersedia membayar jasa lingkungan tersebut
bagi masyarakat petani, 0 jika sebaliknya (β3 >0).
P4=1 jika responden sependapat bahwa konversi lahan sawah di wilayah
Sub DAS Citarik seharusnya dilarang atau dikendalikan dan areal
persawahan yang ada dijadikan sawah abadi, 0 jika sebaliknya (β4 <
0).
Dk = peubah dummy status responden:
D1 = 1 untuk responden pegawai negeri sipil (PNS), 0 untuk responden
lainnya (γ1 > 0).
D2 = 1 untuk responden pegawai swasta, 0 untuk responden lainnya (γ2 >
0).
D3 = 1 untuk responden pengusaha/wiraswasta, 0 untuk responden lainnya
(γ3 > 0).
(D1, D2, dan D3 = 0 untuk responden yang mata pencahariannya tidak jelas
(informal) atau sedang menganggur.
9. Kemauan petani padi sawah untuk menerima (WTA) pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian dianalisis secara deskriptif, analisis korelasi dan regresi berganda.
WTA = α0+ α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + α5X5 +β1D1+ β2D2... (11)
Dimana:
WTA = kemauan responden untuk menerima pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian (rp).
Xi = peubah kuantitatif:
X1 = luas lahan garapan (ha) (α1<0)
X2 = umur responden (th) (α2 > 0)
X3 = tingkat pendidikan (th) (α3 <0)
X4 = jumlah anggota keluarga (orang) (α4 <0)
X5 = tingkat pendapatan (rp/th) (α5 <0)
Dj= peubah dummy:
D1= 1 untuk responden yang mempunyai sumber pendapatan lain, 0
D2= 1 untuk responden yang menyatakan usahataninya
menguntungkan, 0 untuk sebaliknya (β2 <0)
10. Kemauan petani lahan kering untuk menerima (WTA) pembayaran jasa
lingkungan lahan pertanian dianalisis secara deskriptif, analisis korelasi, dan
regresi berganda.
WTA = α0+ α1X1 + α2X2 + α3X3 + α4X4 + α5X5 +β1P1+ β2D2+ β3D3+ β4D4 ... (12)
Dimana:
WTA = kemauan petani lahan kering untuk menerima pembayaran jasa lingkungan pertanian (rp).
Xi= peubah kuantitatif:
X1 = luas lahan garapan (ha) (α1<0)
X2 = umur responden (th) (α2 > 0)
X3 = tingkat pendidikan (th) (α3 <0)
X4 = jumlah anggota keluarga (orang) (α4 <0)
X5 = tingkat pendapatan (rp/th) (α5 <0)
Dj = peubah dummy:
D1=1 untuk responden petani lahan kering tanaman pangan, 0 untuk
petani lahan kering kebun campuran (β1 >0).
D2=1 untuk responden yang sudah menerapkan teknik konservasi tanah dan air (teras bangku), 0 untuk responden lainnya (β2 <0).
D3=1 untuk responden yang mempunyai sumber pendapatan lain, 0 untuk responden lainnya (β3 <0)
D4=1untuk responden yang menyatakan usahatani lahan kering
menguntungkan, 0 untuk responden lainnya (β4<0).
Pengolahan dan analisis statistik mengacu pada Steel & Torrie (1980) mencakup korelasi Spearman mulai hal 272, korelasi Pearson mulai hal 550, dan Regresi berganda mulai hal 311, dengan menggunakan program EXCEL dan SAS V.6.12, sedangkan analisis simulasi dilakukan dengan menggunakan Program Powersim 2.5.
4.1. Kondisi Alam
Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Citarik merupakan salah satu Sub DAS di DAS Citarum, Propinsi Jawa Barat. Sub DAS Citarik dan beberapa Sub DAS lainnya, seperti Sub DAS Cirasea, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS Cisangkuy, dan Sub DAS Ciwidey merupakan wilayah hulu Sungai Citarum. Sungai Citarum mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, antara lain sebagai sumber air baku, pengairan, pembangkit tenaga listrik, tempat rekreasi dan lain-lainnya. Di sepanjang aliran Sungai Citarum terdapat tiga bendungan (dam), yakni Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.
Sebagian areal Sub DAS Citarik secara administratif terletak di Kabupaten Bandung dan sebagian lagi di Kabupaten Sumedang. Areal Sub DAS Citarik yang terletak di Kabupaten Bandung meliputi wilayah Kecamatan Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Cikancung, Paseh, Cileunyi, Cimenyan, dan Cilengkrang, sedangkan areal lainnya yang terletak di Kabupaten Sumedang meliputi wilayah Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung, dan Cikeruh (DLH-Kab. Bandung 2003; Ditjen Bangda 2003). Luas wilayah Sub DAS Citarik berdasarkan kegiatan UPLDP (Upland Plantation and Land Development Project) yang dilaksanakan oleh Ditjen Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri adalah 35.210 ha yang sebagian besar (72,1%) berada di Kabupaten Bandung dan sisanya (27,9%) di Kabupaten Sumedang (Tabel 4).
Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan air laut sekitar 55,3% luas wilayah Sub DAS Citarik berada pada ketinggian kurang dari 1000 m dpl dan 44,7% luas wilayah berada pada ketinggian lebih dari 1000 m dpl. Pada
ketinggian tempat tersebut suhu udara relatif sejuk, yakni rata-rata suhu bulanan
tertinggi dan terendah 26,5oC dan 21,2 oC.
Curah hujan tahunan dari tiga lokasi stasiun curah hujan (Paseh, Cicalengka, dan Rancaekek) berkisar antara 1.524 - 2.217 mm dengan rata-rata 1.802 mm. dengan tipe iklim E dan F menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson (Ditjen Bangda, 2003). Tipe iklim tersebut menunjukkan bahwa jumlah bulan kering (curah hujan < 100 mm/bulan) dalam satu tahun sama atau lebih banyak daripada bulan basahnya (curah hujan > 100 mm/bulan). Kemudian jika didasarkan pada klasifikasi iklim F. Junghuhn yang menitikberatkan pada ketinggian tempat dan jenis tumbuhan yang hidup iklim Sub DAS Citarik tergolong pada Iklim Sedang dengan ragam tumbuhan yang dapat dikembangkan meliputi padi, tembakau, teh, kopi, coklat, kina, dan sayur-sayuran.
Curah hujan harian rata-rata paling rendah terjadi pada bulan September (1,7 mm/hari) dan tertinggi pada bulan Januari (10,9 mm/hari). Curah hujan harian maksimum terendah terjadi pada bulan September (13,1 mm/hari) dan tertinggi pada bulan Nopember (71,7 mm/hari). Kemudian dikaitkan dengan debit air Sungai Citarik ternyata debit air harian rata-rata terendah terjadi pada bulan
Agustus (2,5 m3/detik) dan tertinggi pada bulan Januari (39,8 m3/detik). Debit air
harian maksimum terendah terjadi pada bulan Agustus (3,5 m3/detik) dan
tertinggi pada bulan Januari (62,9 m3/detik). Secara grafis fluktuasi curah hujan
harian rata-rata dan maksimum, debit air harian rata-rata dan maksimum, dan rasio debit air maksimum/minimum Sungai Citarik disajikan pada Gambar 7.
Rasio debit air harian maksimum/minimum berkisar antara 4,3 (Agustus) - 46,5 (Oktober) dengan rata-rata 15,4. Tingginya rasio tersebut menunjukkan bahwa kondisi hidrologi Sub DAS Citarik sudah menurun.
Tabel 4. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan ketinggian tempat dan wilayah administratif (ha)
Ketinggian tempat ( m dpl) Jumlah
Kecamatan 500 - 1000 1000-1500 Cilengkrang 912 1.643 2.556 Cimenyan 704 1.219 1.923 Cileunyi 1.260 299 1.558 Cicalengka 3.494 2.052 5.547 Cikancung 1.403 1.412 2.814 Rancaekek 3.785 1.116 4.901 Paseh 1.531 2.415 3.946 Nagreg 381 178 559 Cikeruh 1.571 - 1.571 Tanjungsari 2.489 3.535 6.024 Cimanggung 1.955 1.856 3.811 Total 19.486 15.724 35.210
Sumber: Ditjen Bangda (2003).
Gambar 7. Fluktuasi debit air Sungai Citarik dan curah hujan (A) serta rasio debit air harian maksimum/minimum (B) Sungai Citarik
Kondisi tanah di Sub DAS Citarik dicirikan oleh tiga jenis tanah utama, yakni Andosol, Latosol, dan Asosiasi. Penyebaran jenis tanah Andosol meliputi luas wilayah sekitar 48%, Latosol 31,5% dan Asosiasi 16,2%. Jenis tanah pada wilayah lainnya adalah Alluvial dan Regosol.
y = -9.0058Ln(x) + 30.45 R2 = 0.3355 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep 0 10 20 30 40 50 60 70 OktNopDesJanFebMarAprMeiJun JulAgs Sep D e b it ( m 3 /d e t) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 C H ( m m /h r) Debit_Mean Debit_Max CH_Mean CH_Max A B
Jenis tanah Andosol menurut klasifikasi jenis tanah Pusat Penelitian Tanah dan FAO-UNESCO dicirikan oleh berat jenis tanah yang cukup ringan (kurang dari 0,85g/cc) atau lebih dari 60% bahannya terdiri atas bahan-bahan vulkanik. Jenis tanah Latosol dicirikan oleh solum tanah yang dalam ( lebih dari 150 cm) dan kadar liat lebih dari 60% (Sarwono 1987). Hasil kajian Proyek UPLDP menunjukkan kedalaman solum tanah di Sub DAS Citarik cukup tinggi. Sekitar 63% wilayah Sub DAS Citarik mempunyai kedalaman solum tanah antara 60-90 cm, 34% wilayah mempunyai kedalaman solum tanah lebih dari 90 cm dan 3% wilayah mempunyai kedalaman solum tanah antara 30-60 cm.
Bentuk wilayah Sub DAS Citarik dicirikan oleh kemiringan lereng yang berombak-bergelombang dan berbukit (8-45%). Lebih dari 66,8% wilayah Sub DAS Citarik mempunyai kemiringan lereng antara 8-45%. Wilayah yang relatif datar (< 8%) sekitar 18,0% dan sebagian wilayah lainnya mempunyai kemiringan lereng yang sangat curam atau lebih dari 45% (Tabel 5).
Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor penentu besaran erosi. Semakin tinggi kemiringan lereng dan faktor -faktor lain bersifat konstan maka besaran erosi akan meningkat. Hasil kajian Proyek UPLD dengan metode USLE menunjukkan tingkat erosi sebelum kegiatan proyek di Sub DAS Citarik mencapai 293,3 ton/ha/tahun atau setiap tahun terjadi erosi tanah sekitar 8,9 juta ton. Tingkat erosi tanah di lokasi tersebut menurun setelah pelaksanaan proyek UPLDP selama empat tahun (2002) menjadi 71,3 ton/ha/tahun. Upaya penerapan konservasi tanah dan air di wilayah tersebut masih perlu ditingkatkan agar erosi tanah dapat ditekan sampai tingkat erosi yang dapat dirolerir atau diabaikan sekitar 13 ton/ha/th . Sebagaimana disajikan pada Tabel 6 lebih dari 50% wilayah Sub DAS Citarik masih menimbulkan erosi tanah pada kelas sedang sampai tinggi.
Tabel 5. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas kemiringan lereng (ha) Kemiringan lereng Kecamatan 0-8% 8-25% 25%-45% >45% Jumlah Cilengkrang - 920 1.107 529 2.556 Cimenyan - 584 1.218 121 1.923 Cileunyi 282 855 295 126 1.558 Cicalengka 1.149 2.004 1.736 1.216 6.106 Cikancung 43 1.397 850 523 2.814 Rancaekek 3.781 951 169 - 4.901 Paseh 12 2.297 862 774 3.946 Cikeruh 356 865 156 193 1.571 Tanjungsari 378 2.128 2.370 1.148 6.024 Cimanggung 342 1.094 1.635 741 3.812 Jumlah 6.343 13.095 10.398 5.371 35.210 Persentase 18,0 37,2 29,6 15,2 100,0
Sumber: Ditjen Bangda (2003).
Tanpa perlakuan teknik konservasi tanah dan air (KTA), baik berupa bangunan sipil teknis maupun vegetatif tingkat erosi di Sub DAS Citarik cukup tinggi. Berdasarkan hasil prediksi Proyek UPLDP dengan metode USLE erosi pada usahatani lahan kering tanpa KTA di Kecamatan Cikancung, Paseh dan Cicalengka masing-masing mencapai 558, 352, dan 316 ton/ha/tahun. Penerapan teknik KTA pada usahatani lahan kering di wilayah kecamatan yang sama dapat menekan erosi masing-masing 74%, 54%, dan 64% untuk Kecamatan Cikancung, Paseh dan Cicalengka.
Tabel 6. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas erosi tanah Luas area
Kelas erosi tanah
Ha % I ( < 15 t/ha/th) 16.740 47,5 II (15 - 60 t/ha/th) 10.094 28,7 III (60 -180 t/ha/th) 5.720 16,2 IV (180 - 480 t/ha/th) 2.226 6,3 V ( > 480 t/ha/th) 433 1,3 Total 35.210 100
Sumber: Ditjen Bangda (2003).
4.2. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Sub DAS Citarik sangat dinamis. Perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut terus berlangsung sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Berdasarkan hasil analisis data citra satelit yang dituangkan dalam Peta Penggunaan Lahan skala 1:50.000 (Puslitbang Tanah dan Agroklimat 2001) penggunaan lahan utama tahun 1969 meliputi hutan (6.151 ha), kebun campuran (6.660 ha), permukiman (1.217 ha), sawah (9.675 ha), dan tegalan (2.666 ha). Kemudian pada tahun 2000 penggunaan lahan di wilayah tersebut berkembang yang dicirikan oleh berkurangnya proporsi areal hutan menjadi 4.073 ha (turun 33,8%), kebun campuran 2.890 ha (turun 56,6%), sawah 9.340 ha (turun 3,5%), sedangkan penggunaan lahan yang bertambah luas adalah permukiman menjadi 3.145 ha (naik 158,4%) dan tegalan menjadi 6.189 ha (naik 132,1%). Pada tahun 2000 sudah ada kawasan industri (639 ha) dan lokasi penambangan atau galian tanah (50 ha) (Gambar 8).
Wahyunto et al.(2001) menganalisis perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Citarik menggunakan data citra satelit berbagai periode waktu dan hasilnya menunjukkan konversi hutan menjadi tegalan dan kebun campuran yang terjadi pada tahun 1991-2000 mencapai 556 ha. Kemudian konversi lahan sawah, tegalan dan kebun campuran menjadi permukiman dan kawasan industri pada periode waktu tersebut mencapai 799 ha. Pada periode tahun 1991- 2000 sekitar 835 ha areal kebun campuran beralihfungsi menjadi perumahan, tanah galian dan kuburan cina.
Pada tahun 1991-1998 di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung ada konversi lahan tegalan menjadi sawah sekitar 54 ha, tetapi di Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang terdapat 131 ha sawah yang dikonversi menjadi tegalan. Perubahan lahan sawah menjadi tegalan dapat disebabkan oleh berkurangnya sumberdaya air, tetapi juga perubahan tersebut merupakan modus antara untuk merubah lahan sawah menjadi kawasan terbangun, seperti perumahan, kawasan industri, atau perkantoran.
Proporsi areal sawah terus menurun hingga pada tahun 2003 menjadi 24,6% (BPS 2003), sementara itu proporsi areal tegalan meningkat menjadi 30,1%, perumahan dan permukiman menjadi 23,1%, kawasan industri dan perkantoran menjadi 4,5%. Perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian secara grafis disajikan pada Gambar 9.
Tujuan peruntukan konversi lahan pertanian, baik sawah maupun lahan kering sebagian besar adalah untuk pembangunan perumahan atau industri. Sebagaimana disajikan pada Tabel 7 sekitar 71% dari luas lahan sawah yang dikonversi adalah untuk penggunaan non-pertanian, terutama kawasan industri dan perumahan. Sisanya (29%) dikonversi menjadi pertanian lahan kering. Demikian halnya konversi lahan kering; 74% dari luas lahan kering yang dikonversi adalah untuk penggunaan non-pertanian, sedangkan 26% dijadikan
lahan sawah. Dengan demikian pada tahun 2003 tersebut di Sub DAS Citarik terdapat 868,4 ha lahan sawah dan 654,0 ha lahan kering yang dikonversi. Proporsi konversi lahan sawah dan lahan kering tersebut dibandingkan dengan total luas lahan masing-masing adalah 10,4% untuk lahan sawah dan 6,7% untuk lahan kering (tegalan dan kebun campuran). Apabila pertambahan penggunaan lahan tersebut diperhitungkan maka proporsi pengurangan bersih lahan sawah dan lahan kering tersebut masing-masing mencapai 8,4% dan 4,1%.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1969 1991 2000 2003 % Lain-lain Kaw.Industri Permukiman Sawah Tegalan Keb. Campuran Hutan
Gambar 9. Perkembangan penggunaan lahan utama di Sub DAS Citarik
Berdasarkan wilayah administratif konversi lahan sawah yang relatif luas terjadi di Kecamatan Cikancung (317,7 ha atau 34,5%), Cimenyan (173,2 ha atau 18,8%), dan Nagreg (116,5 ha atau 12,6%). yang semuanya termasuk wilayah Kabupaten Bandung. Kemudian konversi lahan kering paling luas terjadi di Kecamatan Cikancung (470,7 ha atau 70,8%) dan Nagreg (55,0 ha atau 8,3%).
Tabel 7. Luas dan tujuan konversi lahan sawah dan lahan kering di Sub DAS Citarik, 2003
Tujuan peruntukan konversi lahan (menjadi)
Penggunaan lahan Total konvers i lahan Sawah Lahan Kering Kawas an Perum ahan Kawasan Industri Per-kantora n Lain-lain 1. Sawah (ha) 921,9 - 258,4 203,9 413,4 8,7 37,5 (%) 28,1 22,1 44,8 0,9 4,1 2. Lahan kering (ha) 664,9 176,2 - 156,6 328,1 1,0 3,0 (%) 26,5 23,5 49,3 0,2 0,5 3. Penambahan (ha) 176,2 258,4 360,5 741,5 9,7 40,5 4. Pengurangan (ha) 745,7 406,5
Sumber : Data ST2003 (diolah)
4.3. Keadaan Sosial-Ekonomi
4.3.1. Jumlah, pertumbuhan, dan penyebaran penduduk
Berdasarkan Data Potensi Desa hasil Sensus Pertanian tahun 2003 (ST2003) jumlah penduduk wilayah Sub DAS Citarik ada 732.721 jiwa. Laju pertumbuhan jumlah penduduk periode tahun 2003-2005 di lokasi tersebut relatif tinggi, yakni 10,5%/tahun sehingga pada tahun 2005 jumlah penduduk tersebut menjadi 887.890 jiwa (BPS 2005). Sebagai pembanding laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung pada periode tahun yang sama sekitar 6,1%/tahun.
Penyebaran penduduk Sub DAS Citarik berdasarkan wilayah administratif secara berurutan paling banyak terdapat di Kecamatan Rancaekek, Paseh, dan Cicalengka Kabupaten Bandung. Namun demikian kepadatan penduduk paling tinggi secara berurutan terdapat di Kecamatan Cileunyi dan Rancaekek, Kabupaten Bandung, serta Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung, Kabupaten Sumedang (Tabel 8). Pada tahun 2005 penyebaran dan kepadatan penduduk tersebut berubah. Jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan
Rancaekek, Cielunyi, dan Paseh, Kabupaten Bandung, sedangkan urutan kepadatan penduduk paling tinggi terdapat di Kecamatan Cileunyi (Kabupaten Bandung), Jatinangor (Kabupaten Sumedang), dan Rancaekek (Kabupaten Bandung) (Tabel 9).
Laju pertumbuhan jumlah penduduk Sub DAS Citarik yang tinggi sejalan dengan tingginya pertambahan jumlah kepala keluarga (KK) dari 195.877 KK (2003) menjadi 244.640 KK (2005) atau laju kenaikannya 12,4%/tahun. Sementara itu ukuran keluaga cenderung bertambah kecil, yakni menurun dari 3,8 jiwa/KK menjadi 3,7 jiwa/KK.
Keluarga pertanian di DAS Citarik menurun dari 48,7% (2003) menjadi 43,8% (2005). Penurunan proporsi keluarga pertanian tersebut terjadi di seluruh kecamatan, kecuali di Kecamatan Rancaekek dan Paseh, Kabupaten Bandung. Di Kecamatan Rancaekek proporsi keluarga pertanian meningkat dari 44,2% (2003) menjadi 61,8% (2005), sedangkan di Kecamatan Paseh proporsi keluarga pertanian meningkat dari 47,2 menjadi 49,6%. Hal yang menarik adalah peningkatan proporsi keluarga pertanian di Kecamatan Paseh tersebut diikuti oleh penurunan proporsi keluarga miskin (Pra Sejahtera) dari 43,9% menjadi 29,3%. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan keadaan yang terjadi di Kecamatan Rancaekek dimana peningkatan proporsi keluarga pertanian yang tinggi diikuti dengan peningkatan keluarga miskin yang tinggi pula (8,7% menjadi 44,9%). Fenomena di wilayah lainnya menunjukkan penurunan proporsi keluarga pertanian diikuti dengan peningkatan proporsi keluarga miskin terjadi di enam kecamatan (55%), seperti Kecamatan Cicalengka, Cikancung, dan Cileunyi dan penurunan proporsi keluarga pertanian diikuti dengan penurunan proporsi keluarga miskin terjadi di tiga kecamatan (27%), yakni Kecamatan Cimanggung, Jatinangor, dan Tanjungsari (Tabel 8 dan Tabel 9).
Data tahun 2003 menunjukkan adanya korelasi positif antara proporsi jumlah keluarga pertanian dengan keluarga miskin dengan koefisien korelasi Peason (r) =0,4574 dan taraf nyata (α) 18% yang berarti 45,7% variasi proporsi jumlah keluarga miskin dapat dijelaskan oleh variasi proporsi keluarga pertanian. Fenomena serupa secara statistik tidak nyata pada tahun 2005 (r = -0,0771; α=83%) yang berarti variasi jumlah keluarga miskin di Sub DAS Citarik pada tahun 2005 tidak ada hubungannya dengan jumlah keluarga pertanian. Hal itu berarti peningkatan jumlah keluarga miskin berasal dari keluarga non-pertanian.
Tabel 8. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2003
Jumlah penduduk Kepadatan penduduk Jumlah Keluarga Keluarga pertanian Keluarga Miskin No Kecamatan (jiwa) (jiwa/ha) (KK) (%) (%) 1 Cicalengka 75.716 19,3 21.630 46,0 20,9 2 Cikancung 58.474 18,4 14.776 48,4 25,2 3 Cilengkrang 31.807 10,3 8.311 67,5 61,9 4 Cileunyi 70.634 34,0 17.989 50,0 10,6 5 Cimenyan 65.554 18,4 18.041 46,3 18,3 6 Rancaekek 120.556 30,1 32.698 44,2 8,7 7 Nagreg 36.621 8,2 9.215 46,7 22,4 8 Paseh 95.729 20,4 22.653 47,2 43,9 9 Cimanggung 64.232 21,8 19.404 58,1 29,8 10 Jatinangor 61.733 25,6 15.515 27,0 31,7 11 Tanjungsari 51.666 21,3 15.644 54,5 35,1 Rata-rata 66.611 20,7 17.807 48,7 28,1
Tabel 9. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2005
Jumlah penduduk Kepadatan penduduk Jumlah keluarga Keluarga pertanian Keluarga miskin No Kecamatan (jiwa) (jiwa/ha) (KK) (%) (%) 1 Cicalengka 89.860 26,0 21.974 43,6 32,3 2 Cikancung 67.347 18,7 16.891 46,2 35,9 3 Cilengkrang 35.336 11,4 10.249 63,3 36,2 4 Cileunyi 113.722 40,3 29.039 10,8 27,6 5 Cimenyan 83.748 23,5 21.659 43,9 27,2 6 Rancaekek 133.417 30,8 34.862 61,8 44,9 7 Nagreg 41.273 10,7 10.863 39,2 24,9 8 Paseh 107.598 23,1 28.367 49,6 29,3 9 Cimanggung 69.336 23,6 19.493 50,3 24,3 10 Jatinangor 82.008 31,7 24.220 24,2 34,9 11 Tanjungsari 64.238 26,4 18.223 48,7 20,5 Rata-rata 80.717 24,2 22.240 43,8 30,6
Sumber: Data Sensus Ekonomi /SE2005 (diolah)
4.3.2. Penguasaan sumberdaya lahan
Sumberdaya lahan yang dikuasai oleh petani terdiri atas lahan pertanian dan lahan non-pertanian. Berdasarkan klasifikasi BPS status penggunaannya lahan pertanian terdiri atas lahan sawah dan bukan sawah, sedangkan lahan non-pertanian terdiri atas lahan perumahan (rumah dan pekarangan) dan lahan lainnya yang tidak digunakan untuk pertanian.