Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan
Lahan Kering
(Studi Kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
I R A W A N
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa pernyataan-pernyataan di dalam disertasi ini yang berjudul : Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian : Pendekatan nilai manfaat multifungsi lahan sawah dan lahan kering (studi kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat), merupakan gagasan atau hasil karya ilmiah saya sendiri dengan arahan dan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas saya nyatakan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada perguruan tinggi lain.
Data dan informasi yang digunakan bersumber dari berbagai instansi yang dapat ditelusuri dan hasil wawancara yang dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2007
I r a w a n Nrp P026010071
@Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy,
VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN
Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan
Lahan Kering
(Studi Kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
I R A W A N
Disertasisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
N a m a : I r a w a n Nomor Pokok : P026010071
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc.
Ketua
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Ir. Undang Kurnia, M.Sc.
Anggota Anggota
Mengetahui:
Ketua Program Studi Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rakhmat-NYA penyusunan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul: " Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian : Pendekatan nilai manfaat multifungsi lahan sawah dan lahan kering (studi kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)".
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. (Ketua Komisi Pembimbing), Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. dan Dr. Ir. Undang Kurnia, M.Sc. (Anggota Komisi Pembimbing), yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penyusunan karya ilmiah ini. Kepada Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. (Ketua PS-PSL, SPs IPB) Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan dorongan motivasi dalam rangka penyelesaian studi. Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Badan Litbang Pertanian, Kepala Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor (sekarang Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian) dan Pengelola Proyek PAATP Badan Litbang Pertanian, Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB dan berbagai dukungannya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada pimpinan, peneliti, dan staf Balai Penelitian Tanah Bogor, dan terutama yang terkait dengan kegiatan Kerjasama ASEAN-MAFF Jepang atas dukungan dan bantuannya.
Ucapan terima kasih yang setulusnya Penulis sampaikan kepada istri tercinta (Ny. Erna Julaeha, S.Pd.) dan kedua anak tersayang (Raissa W. Wisudawan dan Gilang Pribadi Irawan). Terakhir ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada seluruh keluarga atas segala budi baik dan do’anya.
Mudah-mudahan Allah SWT membalas segala amal baik Ibu/Bapak semuanya. Amiin.
Bogor, Februari 2007 Irawan
Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat tanggal 28 Nopember 1958 sebagai putra kelima dari dua belas saudara dari Ayah Mayor A’ad (Almarhum) dan Ibu Titi (Almarhumah). Penulis memperoleh gelar kesarjanaan Bidang Sosial-Ekonomi Pertanian (S1) dari Fakultas Pertanian IPB (1982) dan Magister Sains Ekonomi Pertanian (S2) dari Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor (1988). Selanjutnya pada September tahun 2001 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan studi S3 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor (saat ini Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian) melalui Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Sejak akhir tahun 1982 penulis bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak), Bogor. Beberapa topik penelitian yang pernah penulis terlibat di dalamnya antara lain : Kajian pengelolaan lahan untuk usahatani masyarakat transmigrasi (P3MT) kerjasama Puslitbangtanak
dengan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 1982-1984, Efisiensi
penggunaan pupuk pada lahan sawah, kerjasama Puslitbangtanak dengan International Fertilizer Development Centre (IFDC) tahun 1984-1985, Efisiensi penggunaan pupuk fosfat pada lahan kering kerja sama Puslitabngtanak dengan IMPHOS (1990), Pengelolaan lahan kering berlereng kerjasama Puslitbangtanak
dengan International Boards of Soil Research and Management (IBSRAM-ASIA
Slopping Lands) tahun 1991-1999, Kajian Usahatani Konservasi dan Penetapan Kriteria Lahan Terdegradasi (APBN, 1992-1994), Studi Eksplorasi Potensi Pertanian
DAS Mamberamo, Irian Jaya (RUT 1996), Kajian usahatani korporasi/Corporate
Farming, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (tahun 2000), dan Multifungsi Pertanian, Kerjasama Puslitbangtanak dengan Sekretariat ASEAN-MAFF Jepang, tahun 2003-2006.
Penulis menikah tanggal 22 Februari 1987 di Bandung dan telah dikarunia seorang putri (Raissa W. Wisudawan, 18 tahun) dan seorang putra (Gilang Pribadi Irawan, 17 tahun).
Prakata ... x
Riwayat hidup ... xi
Daftar Isi ... xii
Daftar Tabel ... xiv
Daftar Gambar ... xvi
Daftar Lampiran ... xix
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Kerangka Pemikiran ... 4 1.3. Perumusan Masalah ... 12 1.4. Tujuan Penelitian ... 13 1.5. Manfaat Penelitian ... 14 1.6. Hipotesis ... 14 1.7. Kebaruan Penelitian ... 15
1.8. Ruang lingkup Penelitian ... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nilai Ekonomi Total ... 18
2.2. Multifungsi Lahan Pertanian ... 22
2.3. Valuasi Ekonomi ... 27
2.4. Metode Valuasi Ekonomi ... 30
2.5. Studi-studi Terdahulu ... 40
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 44
3.2. Rancangan Penelitian ... 46
3.2.1. Jenis dan sumber data ... 46
3.2.2. Responden penelitian ... 47
3.2.3. Metode analisis data ... 49
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Alam ... 56
4.2. Penggunaan Lahan ... 61
4.3. Keadaan Sosial Ekonomi ... 65
xiii
5.1. Analisis Nilai Ekonomi Lahan Pertanian ... 81
5.1.1.Nilai ekonomi penghasil produksi pertanian dan sumber pendapatan... 81
5.1.2. Nilai ekonomi fungsi penyedia lapangan kerja ... 87
5.1.3. Nilai ekonomi fungsi stabilitas ketahanan pangan ... 92
5.1.4. Nilai ekonomi fungsi mitigasi banjir ... 99
5.1.5. Nilai ekonomi fungsi pengendali erosi dan sedimentasi ... 107
5.2. Pengetahuan Responden Mengenai Multifungsi Lahan Pertanian ... 117
VI. ANALISIS WTP, WTA DAN KONVERSI LAHAN PERTANAN 6.1. Kemauan Masyarakat untuk Membayar Jasa Lingkungan Pertanian ... 125
6.1.1. Pendapat responden mengenai penyebab banjir ... 125
6.1.2. Persepsi responden mengenai multifungsi pertanian ... 128
6.1.3. Besaran WTP dan faktor-faktor yang mempengaruhinya ... 131
6.1.4. Model persamaan regresi fungsi WTP ... 135
6.1.5. Mekanisme dan alat pembayaran WTP ... 139
6.2. Kemauan Petani untuk Menerima Pembayaran Jasa Lingkungan Pertanian ... 142
6.2.1. Persepsi responden mengenai multifungsi pertanian ... 143
6.2.2. Besaran WTA dan faktor-faktor yang mempengaruhinya ... 151
6.2.3. Model persamaan regresi fungsi WTA... 152
6.2.4. Bentuk dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diharapkan petani ... 165
6.3. Fenomena konversi lahan pertanian dan kebijakan pengendaliannya ... 169
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Kesimpulan ...186
7.2. Implikasi kebijakan ... 188
7.3. Saran Penelitian Lanjutan... 188
DAFTAR PUSTAKA ... 190
xiv
1. Prioritas penelitian aspek multifungsi pertanian di beberapa negara ... 26
2. Jenis dan sumber data, serta metode analisisnya ... 48
3. Jenis dan jumlah responden penelitian ... 49
4. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan ketinggian tempat dan wilayah administratif (ha) ... 58
5. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas kemiringan lereng (ha) ... 56
6. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas erosi tanah ... 61
7. Luas dan tujuan konversi lahan sawah dan lahan kering di Sub DAS Citarik... 65
8. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2003 ... 67
9. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2005 ... 68
10. Luas lahan yang dikuasai petani berdasarkan penggunaannya (ha/kk) ... 70
11. Status penguasaan lahan pertanian oleh petani di Sub DAS Citarik, 2003 ... 71
12. Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2003 (%) ... 73
13. Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2005 (%) ... 73
14. Karakteristik responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian... 76
15. Karakteristik responden analisis WTP, Kabupaten Bandung, 2005... 78
16. Karakteristik responden analisis WTA petani padi sawah ... 79
17. Karakteristik responden analisis WTA petani lahan kering... 80
18. Nilai padi dan palawija hasil lahan sawah di Sub DAS Citarik ... 83
19. Nilai padi dan palawija hasil usahatani tegalan di Sub DAS Citarik... 86
20. Sumber dan jumlah tenaga kerja pada usahatani padi sawah, Sub DAS Citarik .. 89
21. Tinggi pematang dan genangan air pada lahan sawah, Sub DAS Citarik (cm) .... 103
22. Nilai ekonomi fungsi mitigasi banjir lahan sawah dan tegalan, Sub DAS Citarik 106 23. Erosi tanah pada berbagai bentuk penggunaan lahan ... 109
24. Total nilai ekonomi lahan sawah dan lahan kering, Sub DAS Citarik ... 110
25. Nilai kini (PV) potensi manfaat yang hilang akibat konversi lahan pertanian dan nilai kini biaya usahatani apabila lahan tersebut tidak dikonversi, Sub DAS Citarik ... 116
26. Koefisien korelasi antara banyaknya aspek MFP yang diketahui responden dengan beberapa variabel yang dianalisis ... 120
xv
30. Analisis finansial usahatani padi sawah, Kabupaten Bandung, 2005... 147 31. Koefisien korelasi besaran WTA petani padi sawah dengan beberapa variabel
yang dianalisis ... 152 32. Koefisien korelasi besaran WTA petani lahan kering dengan beberapa variabel
yang dianalisis ... 152 33. Analisis sidik ragam dan regresi WTA petani padi sawah ... 157 34. Biaya investasi penerapan teknik KTA pada lahan kering berbasis tanaman
tahunan dan tanaman pangan semusim, Kabupaten Bandung, 2003... 160 35. Analisis sidik ragam dan regresi WTA petani lahan kering ... 163 36. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian prioritas pertama yang diharapkan
petani padi sawah, Kabupaten Bandung ... 166 37. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian prioritas kedua yang diharapkan oleh petani padi sawah, Kabupaten Bandung... 167 38. Bentuk pembayaran jasa lingkungan pertanian yang diharapkan petani lahan
kering berbasis agroforestri dan tanaman pangan semusim,
Kabupaten Bandung, 2005 ... 168 39. Konversi lahan sawah di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bandung, 2003 ... 171 40. Rencana konversi lahan sawah yang tertuang dalam RTRW 2003... 180
xvi
1. Kerangka pemikiran pendekatan penelitian ... 7
2. Pendekatan valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian ... 10
3. Diagram pendekatan permasalahan ... 13
4. Kategori nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian ... 21
5. Lokasi penelitian Sub DAS Citarik, Jawa Barat... 45
6. Diagram sebab akibat analisis fungsi stabilitas ketahanan pangan ... 51
7. Fluktuasi debit air Sungai Citarik, curah hujan dan rasio debit air harian maksimum/minimum Sungai Citarik ... 58
8. Penggunaan lahan di Sub DAS Citarik (tahun 1969 dan 2000) ... 62
9. Perkembangan penggunaan lahan utama di Sub DAS Citarik ... 64
10. Distribusi penguasaan lahan pertanian oleh petani di Sub DAS Citarik ... 70
11. Jumlah desa dan keluarga korban bajir serta nilai kerugian akibat banjir di Kabupaten Bandung... 75
12. Jenis kerugian yang diderita responden akibat banjir, Kabupaten Bandung ... 79
13. Potensi nilai hasil padi dan palawija yang hilang akibat konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik ... 84
14. Potensi nilai produksi pertanian yang hilang akibat konversi tegalan di Sub DAS Citarik... 86
15. Potensi kesempatan kerja yang hilang akibat konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik... 90
16. Potensi kesempatan kerja yang hilang akibat konversi tegalan Sub DAS Citarik .. 92
17. Diagram alir simulasi ketahanan pangan di wilayah Sub DAS Citarik ... 95
18. Perkembangan produksi, konsumsi dan sefisit beras tanpa konversi lahan sawah di Sub DAS Citarik, Jawa Barat ... 95
19. Perkembangan produksi, konsumsi dan sefisit beras serta luas lahan sawah (ha) akibat konversi lahan, di Sub DAS Citarik ... 96
20. Ilustrasi dampak konversi lahan sawah terhadap penurunan kurva penawaran beras di masa mendatang ... 98
21. Nilai ekonomi ketahanan pangan (KP) melalui pengendalian konversi lahan sawah, Sub DAS Citarik ... 98
22. Ilustrasi mengenai potensi daya sangga air lahan pertanian ... 102
23. Ilustrasi mengenai daya sangga air lahan sawah ... 102
24. Daya sangga air lahan sawah, tegalan dan kawasan terbangun ... 104
25. Potensi kehilangan daya sangga air dan biaya mitigasi banjir yang diperlukan akibat konversi lahan sawah dan tegalan yang berlanjut, Sub DAS Citarik ... 107
26. Lahan sawah berteras mempunyai peran sebagai "filter" erosi tanah dari penggunaan lahan di atasnya ... 111
xvii
akibat konversi lahan sawah yang berlanjut, Sub DAS Citarik ... 113
29. Jumlah multifungsi pertanian yang diketahui responden berdasarkan statusnya, Kabupaten Bandung 2005 ... 119
30. Pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian berdasarkan jenis kelamin, Kabupaten Bandung 2005... 121
31. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian, Kabupaten Bandung 2005 ... 122
32. Hubungan antara kelompok umur dengan pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian, Kabupaten Bandung 2005 ... 122
33. Hubungan antara jumlah multifungsi pertanian yang diketahui responden dan proporsi jumlah respondennya, Sub DAS Citarik 2005 ... 123
34. Penyebab utama banjir menurut responden, Kabupaten Bandung 2005 ... 126
35. Alternatif penanggulangan banjir menurut responden, Kabupaten Bandung 2005 126 36. Persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, Kabupaten Bandung... 131
37. Hubungan antara nilai WTP dan persepsi responden mengenai multifungsi lahan sawah, Kabupaten Bandung 2005 ... 133
38. Hubungan antara nilai WTP dengan tingkat pendapatan responden, Kabupaten Bandung 2005 ... 134
39. Hubungan antara nilai WTP dengan jumlah kerugian akibat banjir, Kabupaten Bandung 2005 ... 134
40. Hubungan antara nilai WTP dengan tingkat pendidikan responden, Kabupaten Bandung 2005 ... 135
41. Dugaan fungsi WTP pada kelompok responden pendapatan tinggi dan rendah, dan proporsi nilai WTP terhadap kerugian akibat banjir ... 139
42. Perbedaan nilai WTP kelompok pendapatan tinggi dan rendah berdasarkan nilai kerugian akibat banjir, Kabupaten Bandung 2005 ... 139
43. Cara pembayaran WTP yang dipilih responden, Kabupaten Bandung 2005 ... 141
44. Institusi pengelola dana pembayaran jasa lingkungan lahan pertanian yang disarankan responden, Kabupaten Bandung 2005 ... 142
45. Persepsi petani padi sawah mengenai jasa lingkungan lahan sawah, Kabupaten Bandung 2005 ... 145
46. Persepsi petani lahan kering mengenai jasa lingkungan lahan pertanian, Kabupaten Bandung, 2005 ... 150
47. Hubungan antara luas sawah dan WTA petani padi sawah ... 154
48. Hubungan antara pendapatan dan WTA petani padi sawah... 154
49. Perbedaan WTA petani padi sawah yang untung dan yang tidak untung... 155
50. Hubungan antara luas sawah dengan WTA petani yang usahataninya menguntungkan dan merugikan ... 157
xviii
53. Hubungan antara ukuran keluarga dan WTA petani lahan kering ... 162 54. Hubungan antara luas lahan garapan dan WTA petani lahan kering berbasis
tanaman pangan semusim dan tanaman tahunan... 164 55. Nilai WTA petani lahan kering dan biaya investasi penerapan teknik KTA
sistem terasering dan vegetatif ... 165 56. Ilustrasi dampak konversi lahan pertanian (sawah) terhadap pengurangan
xix
1. Dokumen perizinan pelaksanaan kegiatan penelitian ... 195
2. Karakteristik responden kajian WTP dan variabel yang dianalisis, Kabupaten Bandung, 2005 ... 197
3. Hasil padi dan jagung dari lahan sawah di Sub DAS Citarik, 2003 ... 198
4. Hasil padi ladang dan palawija dari lahan kering di Sub DAS Citarik, 2003 ... 199
5. Kebutuhan tenaga kerja, sarana produksi, produktivitas dan keuntungan usahatani padi sawah, Sub DAS Citarik 2005... 200
6. Algoritma diagram alir Powersim ... 201
7. Nilai koefisien aliran permukaan pada berbagai penutupan lahan ... 202
8. Lembaran kuesioner wawancara dengan petani di Ishibu Terraced Paddy Fields, Shizuoka, Tokyo, Jepang ... 203
9. Narasi kwesioner mengenai pengetahuan multifungsi pertanian ... 205
10. Uji beda nilai tengah mengenai pengetahuan multifungsi pertanian berdasarkan status, pendidikan dan umur responden ... 206
11. Pengantar dan pedoman penawaran (bidding) dengan responden... 208
12. Matriks korelasi Pearson analisis data WTP ... 211
13. Analisis regresi kesediaan untuk membayar (WTP) dengan intercep... 214
14. Diagram pencar nilai WTA petani padi sawah berdasarkan luas sawah garapannya, Sub DAS Citarik Kabupaten Bandung, 2005 ... 215
15. Diagram pencar nilai WTA petani padi sawah berdasarkan tingkat pendapatannya, Sub DAS Citarik Kabupaten Bandung, 2005... 215
16. Analisis regresi WTA petani padi sawah ... 216
17. Statistik dan matriks korelasi kharakteristik petani padi sawah dan nilai WTA-nya, Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, 2005 ... 218
18. Statistik dan koefisien korelasi karakteristik petani lahan kering dan nilai WTA-nya Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, 2005 ... 219
1.1. Latar Belakang
Pada tahun 2001 Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan Program Peningkatan Ketahanan Pangan sebagai salah satu program prioritas utama Sektor Pertanian, kemudian pada tahun 2005 Kabinet Indonesia Bersatu mencanangkan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK). Tujuan RPPK antara lain meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, mengurangi pengangguran, membangun ketahanan pangan, membangun pedesaan, dan melestarikan lingkungan (KKBP 2005). Kuantifikasi tujuan RPPK antara lain menurunkan kemiskinan dari 16,6% (2004) menjadi 8,2% (2009), menurunkan pengangguran terbuka dari 9,7% (2004) menjadi 5,1% (2009), dan swasembada beras secara berkelanjutan. Selain itu telah dicanangkan juga untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pertanian seperti jagung (2007), kedelai (2025), gula (2009) dan daging (2010).
Mengingat hal itu upaya-upaya untuk meningkatkan produksi beras, jagung, kedelai, dan tebu menjadi sangat penting agar ketahanan pangan tersebut betul-betul ditunjang oleh produksi pangan dalam negeri yang kuat. Kenyataan menunjukkan bahwa impor komoditas tersebut, termasuk beras masih belum dapat dihindari karena hasil produksi beras dalam negeri belum sepenuhnya dapat memasok kebutuhan konsumsi nasional. Bahkan, dikhawatirkan volume beras impor di masa mendatang akan meningkat kembali, baik karena peningkatan laju kebutuhan pangan yang lebih tinggi daripada peningkatan produksinya, maupun karena kebijakan perdagangan yang memandang impor pangan, khususnya beras lebih efisien karena harganya lebih murah. Sesungguhnya, meskipun negara masih mempunyai cadangan devisa
yang cukup untuk mengimpor beras dan kondisi pasar beras internasional relatif stabil, tetapi tidak ada yang dapat menjamin bahwa kedua faktor tersebut akan tetap berjalan dengan baik di masa mendatang.
Krisis ekonomi yang masih menyisakan dampaknya yang kuat terhadap perekonomian nasional perlu diwaspadai akan dapat mengurangi cadangan devisa negara sehingga suatu saat nanti akan kesulitan mengimpor beras. Selain itu, pasar beras internasional mempunyai risiko terganggu stabilitasnya, misalnya karena musim kering berkepanjangan, kebanjiran, hama penyakit atau gangguan keamanan regional akibat perang. Oleh karena itu sepatutnya pemerintah mengamankan program ketahanan pangan dengan bertumpu pada produksi pertanian dalam negeri.
Salah satu permasalahan pokok dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian produktif, baik lahan sawah maupun lahan kering, karena beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Berdasarkan data statistik pada periode tahun 1981-1999 telah terjadi konversi lahan sawah sebesar 90.417 ha/tahun. Pada periode yang sama terjadi pencetakan sawah baru seluas 178.954 ha/tahun sehingga terjadi penambahan luas sawah 88.536 ha/tahun. Kemudian pada tiga tahun berikutnya laju konversi lahan sawah tidak terkendali sehingga pada periode tahun 1999-2002 lahan sawah berkurang atau menyusut sebanyak 141.286 ha/tahun. Konversi lahan sawah pada periode tersebut mencapai 187.720 ha/tahun, sedangkan pencetakan sawah baru hanya 46.434 ha/tahun. Konversi lahan sawah pada periode 1999-2002 tersebut sebagian besar (70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. Fenomena tersebut menunjukkan adanya percepatan laju konversi lahan sawah dan hilangnya berbagai manfaat atau fungsi lahan sawah yang sudah dikembangkan. Secara keseluruhan pada
periode 1981-2002 tersebut pencetakan sawah baru mencapai 3,4 juta ha, tetapi kemudian dikonversi lagi sebanyak 2,2, juta ha atau 65%.
Perubahan alih fungsi lahan pertanian tersebut lebih banyak didorong oleh orientasi ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA), tanpa memperhitungkan manfaat yang hilang atau kerugian yang mungkin terjadi akibat berkurang atau hilangnya fungsi lingkungan lahan pertanian. Hasil penelitian di Jepang (Yoshida 2001) menunjukkan bahwa nilai manfaat jasa lingkungan lahan pertanian dapat dijadikan instrumen kebijakan untuk mempertahankan lahan pertanian. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai valuasi ekonomi lahan pertanian untuk mendukung kebijakan pengelolaan SDA, khususnya lahan pertanian ke arah yang lebih bersifat ekosentrisme daripada antroposentrisme.
Kebijakan pengelolaan SDA secara ekosentrisme dan antroposentrisme, sebagaimana pembangunan ekonomi dan penanganan masalah lingkungan hidup bukan sesuatu hal yang harus dipertentangkan, tetapi ekonomi dan lingkungan hidup perlu dipadukan dalam arus tengah pembangunan atau pembangunan berkelanjutan (Salim 2007). Apabila keterkaitan antara bidang ekonomi dan lingkungan (ekologi) diamati dan dicermati secara seksama, maka akan tampak bahwa keberlanjutan di kedua bidang tersebut akan saling mendukung dan saling menguntungkan (Notohadiprawiro 2006, Suparmoko dan Suparmoko 2000). Pendekatan multifungsi pertanian bukan hanya menilai manfaat hasil-hasil pertanian secara finansial dan berjangka pendek, tetapi juga menilai jasa lingkungan pertanian secara sosial (ekonomi lingkungan) dan manfaat jangka panjang.
1.2. Kerangka Pemikiran
Teori ekonomi dapat menjelaskan fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian, yakni melalui analisis rasio persewaan lahan (land rent ratio). Berdasarkan hasil suatu studi terdapat perbedaan yang sangat nyata antara rasio persewaan lahan untuk sektor pertanian dengan sektor non-pertanian. Perbandingan nilai sewa lahan sawah untuk usahatani (padi atau palawija) dengan perumahan, industri dan kawasan wisata secara berturut-turut mencapai 1: 622, 1:500, dan 1:14 (Nasution dan Winoto 1996). Namun demikian kelemahan analisis ekonomi mengenai persewaan lahan tersebut hanya menilai manfaat penggunaan langsung yang bernilai pasar (marketable goods). Padahal suatu hamparan lahan pertanian selain mempunyai manfaat penggunaan langsung yang menghasilkan produk yang mempunyai harga pasar juga menghasilkan produk yang belum mempunyai harga pasar (non-marketable goods). Salain itu dalam analisis land rent tersebut belum diperhitungkan nilai kini (present value) dari hasil pertanian yang semestinya akan selalu diperoleh sepanjang masa (indefinite period of time) jika lahan tersebut tidak dikonversi serta adanya harapan peningkatan produktivitas dan harga lahan di masa mendatang. Demikian juga risiko ketidakpastian penghidupan para petani yang lahannya dikonversi akibat adanya perubahan sumber mata pencaharian belum diperhitungkan.
Lahan pertanian juga mempunyai manfaat penggunaan dan manfaat bukan penggunaan (Munasinghe 1993, Yoshida 2001). Dengan demikian lahan pertanian, baik sawah maupun lahan kering selain berfungsi sebagai media budidaya atau sumber produksi hasil-hasil pertanian yang menjadi sumber pendapatan petani juga mempunyai fungsi lain yang menghasilkan jasa lingkungan atau mempunyai multifungsi yang manfaatnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Hasil jajak pendapat nasional (public opinion) di Amerika
Serikat tahun 1987 sudah menunjukkan 40% masyarakat Amerika Serikat meyakini bahwa usaha perlindungan terhadap pertanian sejalan dengan upaya perlindungan terhadap lingkungan (Reichelderfer 1990).
Multifungsi lahan pertanian adalah berbagai fungsi lahan pertanian bagi lingkungan, baik yang dapat dinilai secara langsung melalui mekanisme pasar dari produksi atau jasa yang dihasilkannya maupun yang tidak secara langsung dapat dinilai berupa kegunaan yang bersifat fungsional bagi lingkungan, baik aspek biofisik, sosial-ekonomi, maupun budaya. Multifungsi pertanian terhadap lingkungan aspek biofisik, antara lain sebagai pengendali atau pencegah banjir, erosi, dan sedimentasi, pemasok sumber air tanah, pengurang tumpukan dan penyerap sampah organik, pelestari keanekaragaman hayati, dan penyejuk udara. Multifungsi pertanian terhadap lingkungan aspek sosial-ekonomi antara lain sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sumber pendapatan, tempat rekreasi, dan penyangga atau stabilitas ketahanan pangan. Multifungsi pertanian terhadap lingkungan aspek budaya antara lain sebagai pelestari budaya pedesaan (Yoshida 2001). Manfaat fungsi lingkungan lahan pertanian tersebut mempunyai ciri sebagai public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar, sehingga pengambil manfaat dari hasil multifungsi tersebut kurang atau tidak menyadari telah memperoleh manfaat lain dari keberadaan lahan pertanian.
Mengingat sifat public goods tersebut maka diperlukan valuasi ekonomi yang dapat menilai dan kebijakan untuk menginternalisasikan manfaat jasa lingkungan pertanian tersebut sehingga petani pun dapat menikmati jasa lingkungan pertanian yang dihasilkannya. Kebijakan pertanian tersebut diperlukan karena mekanisme pasar hasil-hasil pertanian, seperti harga gabah tidak atau belum memperhitungkan nilai manfaat barang atau jasa lingkungan pertanian yang bersifat public goods tersebut. Valuasi ekonomi dan kebijakan
pertanian yang dimaksud perlu didukung oleh pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai multifungsi pertanian. Pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap multifungsi pertanian akan melahirkan apresiasi yang baik juga terhadap jasa lingkungan pertanian. Selama ini karena pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap multifungsi pertanian masih kurang maka penilaian terhadap manfaat pertanian pun relatif rendah dari yang semestinya. Akibatnya petani hanya dihargai atas dasar nilai pasar dari komoditas pertanian yang dihasilkannya saja, sedangkan nilai manfaat jasa lingkungan yang dihasilkannya tidak atau belum diperhitungkan sehingga penghidupan petani tetap dalam keadaan termarjinalkan.
Sebaliknya, pengelolaan pertanian yang didukung oleh pengetahuan, pemahaman dan apresiasi yang baik terhadap multifungsi pertanian akan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat luas sekaligus memelihara kualitas lingkungan hidup. Pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang multifungsi perftanian oleh petani akan menimbulkan rasa bangga (pride) karena bertani menjadi sumber amal-baik atau kebajikan mereka terhadap masyarakat luas. Demikian pula masyarakat luas yang mengetahui dan memahami
multifungsi pertanian dengan baik akan mendukung usaha-usaha
pengembangan pertanian yang selaras dengan pelestarian lingkungan, misalnya pengembang perumahan atau investor sektor industri akan melestarikan fungsi resapan air dan fungsi lingkungan lainnya manakala harus melakukan konversi lahan pertanian untuk kawasan perumahan atau industri. Pejabat pemerintah akan konsisten mempertahankan rencana tataruang wilayah dan masyarakat hilir akan berpartisipasi dalam menjaga kualitas lingkungan di daerah hulunya. Secara diagram kerangka pendekatan pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
Pengetahuan & Multifungsi
Pertanian (MFP)
Aspek Aspek Biofisik
Sosial-Ekonomi /Lingkungan
Valuasi ekonomi
Apresiasi MFP
Barang Privat Jasa Lingkungan
Mekanisme Pasar Kebijakan Pertanian
Kesejahteraan Petani Kualitas dan Masyarakat Lingkungan
Gambar 1. Kerangka pemikiran pendekatan penelitian
Di sisi lain perlu disadari bahwa usaha pertanian juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain sebagai sumber gas methana (CH4) dan sumber pencemar perairan. Oleh karena itu perhatian terhadap multifungsi lahan pertanian yang bersifat positif perlu diimbangi dengan perhatian terhadap dampak atau ekternalitas negatifnya. Namun demikian, negara-negara yang memandang pentingnya sektor pertanian, terutama untuk ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan seperti Jepang lebih memprioritaskan untuk meneliti dan menilai multifungsi pertanian (eksternalitas positif) daripada dampak atau
eksternalitas negatifnya (Yoshida 2001, Yabe 2005). Salah satu alasannya adalah masih banyak aspek multifungsi pertanian yang sudah diketahui manfaatnya tetapi belum dapat dikuantifikasi nilainya, sementara di pihak lain terutama negara-negara maju (OECD) lebih banyak menyoroti dampak negatif pertanian (khususnya sawah sebagai sumber gas methana dan pencemaran air) tanpa memperhitungkan manfaat positifnya.
Mengingat manfaat multifungsi lahan pertanian belum diinternalisasikan dalam perhitungan usahatani, maka diperlukan pendekatan valuasi ekonomi manfaat lingkungan lahan pertanian, sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan pendekatan tersebut dapat dinyatakan bahwa selama ini harga hasil pertanian, seperti gabah hanya didasarkan pada besaran biaya produksi usahatani dan produktivitas saja, sedangkan manfaat lingkungannya, baik terhadap aspek biofisik maupun sosial-ekonomi dan budaya belum diperhitungkan. Hasil manfaat multifungsi pertanian mempunyai ciri sebagai barang umum (public goods) karena pihak pengambil manfaatnya sulit dibatasi, artinya selain petani juga masyarakat luas. Barang umum adalah barang atau jasa yang jika diproduksi produsennya tidak mampu mengendalikan siapa yang berhak memanfaatkannya. Permasalahan timbul karena produsen tidak dapat meminta konsumen untuk membayar atas konsumsi barang tersebut. Di pihak lain, konsumen mengetahui betul barang tersebut diproduksi dan produsennya tidak mempunyai kendali atas siapa-siapa yang mengkonsumsinya. Ciri-ciri utama barang umum adalah: non-rivalry (tidak ada ketersaingan) atau non-divisible yang berarti konsumsi seseorang terhadap barang tersebut tidak mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang yang sama, dan non-excludable (tidak ada larangan) yang berati pada saat seseorang mengkonsumsi barang tersebut ia tidak bisa melarang orang lain untuk mengkonsumsi barang
yang sama (Matsumoto 2002, Suparmoko dan Suparmoko 2000). Derajat rivalitas dan eksklusivitas suatu barang atau jasa pada akhirnya menentukan apakah barang/jasa tersebut tergolong barang privat atau barang umum. Sifat barang umum juga ada yang benar-benar murni barang umum (dicirikan oleh sifat rivalitas dan eksklusivitas yang rendah) seperti biodiversitas, kemampuan lahan pertanian menyerap karbon dan menghasilkan oksigen, tetapi juga ada barang umum yang mempunyai sifat eksklusivitas, seperti lansekap dan cagar budaya setempat atau mempunyai sifat rivalitas dalam penggunaannya, seperti kemampuan lahan pertanian dalam memasok sumber air tanah.
Mengingat lahan pertanian menghasilkan barang umum yang bersifat positif atau manfaat eksternal maka diperlukan analisis ekonomi lingkungan untuk merumuskan kebijakan pengelolaannya karena dalam kondisi adanya manfaat eksternal tersebut mekanisme pasar saja akan gagal dalam mengalokasikan sumberdaya alam secara efisien. Ekonomi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari kegiatan manusia dalam memanfaatkan SDA dan lingkungan sedemikian rupa sehingga fungsi SDA dan lingkungan dapat dipertahankan, bahkan ditingkatkan untuk penggunaan jangka panjang (Suparmoko dan Suparmoko 2000).
Apabila manfaat fungsi lingkungan tersebut diperhitungkan maka harga komoditas pertanian seharusnya lebih tinggi daripada harga pasar yang berlaku saat ini. Hal tersebut karena masyarakat juga seharusnya membayar manfaat fungsi lingkungan yang dihasilkan oleh pertanian. Langkah ke arah tersebut dapat melalui sistem pembayaran jasa lingkungan pertanian dari masyarakat melalui kebijakan pemerintah.
Lahan Pertanian
Media Budidaya Fungsi Lingkungan Fungsi Lingkungan
Biologi-Fisika-Kimia Sosek-budaya
Pemasok S. Daya Air
Pangan Pengendali erosi Ketahanan
Serat Pengendali banjir pangan
(Sandang) Pengendali longsor Penyedia lapangan
Penyejuk udara kerja
Penyerap sampah organik Tempat rekreasi
Penyerap karbon (CO2) Pelestari budaya
Penghasil oksigen (O2) pedesaan/lokal
Keragaman hayati Barang privat Barang Umum (public goods)
Petani Masyarakat luas termasuk petani
Valuasi ekonomi : Valuasi ekonomi :
Menggunakan harga Menggunakan harga
pasar non pasar
Nilai Ekonomi Total Lahan Pertanian
Gambar 2. Pendekatan valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian
Berdasarkan alasan itu maka sebenarnya petani layak mendapat bantuan khusus dalam mengelola usahataninya. Bantuan khusus tersebut dapat berupa
insentif ekonomi melalui mekanisme pasar atau kebijakan pemerintah yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan keluarganya. Peningkatan kesejahteraan petani yang layak akan menjadi faktor penting dalam mengendalikan konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Berdasarkan keterkaitan ekonomi dan ekologi bantuan khusus untuk pertanian pada dasarnya bukan hanya untuk petani tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas, baik masyarakat di sekitar lahan pertanian, maupun masyarakat perkotaan, termasuk pelestarian kualitas lingkungan hidup.
Berdasarkan uraian di atas maka keterkaitan hulu-hilir dari Gambar 1 dan Gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut. Petani, sebagai masyarakat hulu menghasilkan jasa lingkungan melalui kegiatan usahataninya. Manfaat jasa lingkungan tersebut selama ini belum secara eksplisit dinilai dan dibayar oleh masyarakat yang menikmatinya. Manfaat jasa lingkungan pertanian akan berkurang atau hilang apabila petani tidak melakukan kegiatan usahatani. Oleh karena itu petani berhak atas pembayaran jasa lingkungan pertanian karena melakukan kegiatan usahatani tersebut. Di sisi lain masyarakat hilir menikmati manfaat jasa lingkungan pertanian. Perbaikan usahatani di wilayah hulu akan berdampak positif terhadap kualitas lingkungan di wilayah hilirnya. Oleh karena itu masyarakat hilir selayaknya bersedia untuk berpartisipasi dalam pembangunan pertanian di wilayah hulu. Selain itu pembayaran jasa lingkungan oleh masyarakat hilir dapat mencegah eksploitasi yang berlebihan atas sumberdaya pertanian di wilayah hulu.
Mekanisme pembayaran jasa lingkungan pertanian antara hilir-hulu tersebut memerlukan adanya kebijakan pemerintah mengingat pihak swasta atau individu (mekanisme pasar) tidak mungkin akan melakukannya secara sukarela karena tidak memberikan keuntungan secara privat.
1.3. Perumusan Masalah
Minat masyarakat pedesaan untuk menjadi petani semakin berkurang. Hal itu karena keuntungan dari usahatani kurang menarik yang dicirikan oleh rasio harga hasil-hasil pertanian dan inputnya semakin rendah. Sebagai contoh rasio harga gabah terhadap harga pupuk sekitar 105%, sementara rasio yang sama di Jepang mencapai 595%. Selain itu luas lahan pertanian yang dikuasai petani semakin sempit. Hasil Sensus Pertanian 2003 (ST2003) menunjukkan petani gurem dengan luas lahan garapan <0,3 ha mencapai 13,7 juta rumah tangga (RT) atau 56,5% dari seluruh RT pertanian. Sebagai perbandingan rata-rata luas lahan sawah garapan petani di Jepang 1,5 ha/KK.
Berbagai kebutuhan uang tunai yang dihadapi para petani seringkali hanya dapat dipenuhi dengan cara menjual lahan pertanian yang dikuasainya sehingga lahan garapan petani semakin sempit atau mereka menjadi buruh tani. Tahap selanjutnya adalah konversi lahan pertanian yang semakin dipercepat karena ada "lampu hijau" dari kebijakan tata ruang yang mengalokasikan lahan pertanian subur termasuk sawah irigasi untuk keperluan non-pertanian.
Konversi lahan pertanian subur, terutama lahan sawah beririgasi yang sudah berlangsung dalam dua dasa warsa (1981-2002) seluas 2,2 juta ha
mempunyai pengaruh terhadap meningkatnya jumlah kemiskinan,
pengangguran, dan urbanisasi, menurunkan kualitas lingkungan hidup dan stabilitas ketahanan pangan, khususnya beras. Selain kapasitas produksi komoditas pertanian yang hilang, konversi lahan pertanian tersebut sekaligus menghilangkan kesempatan kerja bagi masyarakat di pedesaan dan berbagai prasarana (investasi) pertanian. Penyederhanaan pendekatan masalah penelitian sebagaimana uraian di atas disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang ingin ditelaah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Berapakah nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian?
2. Apakah masyarakat mengetahui multifungsi lahan pertanian?
3. Bagaimana apresiasi masyarakat terhadap multifungsi lahan pertanian tersebut?
4. Bagaimana kebijakan mempertahankan lahan pertanian melalui instrumen nilai manfaat jasa lingkungan lahan pertanian?
Menjadi petani tidak menarik Kebijakan Akselerasi
Konversi Lahan Pert Kegagalan pasar Kemiskinan (+), Pengangguran (+),
Urbanisasi (+), Ketahanan pangan (-), Kualitas lingkungan (-)
Rasio harga output/input rendah Penguasaan lahan
sempit
Akibat manfaat Jasa Lingkungan Pertanian tidak diperhitungkan Perlu adanya pemahaman mengenai jasa lingkungan pertanian
Gambar 3. Diagram pendekatan masalah penelitian
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah melakukan penilaian ekonomi (economic valuation) terhadap beberapa bentuk multifungsi lahan pertanian dan merumuskan kebijakan alternatif untuk mempertahankan (preservasi) kawasan pertanian. Guna mencapai tujuan umum tersebut, secara spesifik tujuan penelitian adalah :
1. Melakukan valuasi ekonomi lahan pertanian sebagai fungsi media budidaya pertanian atau penghasil barang yang dapat dipasarkan (marketable goods)
sebagai sumber pendapatan petani dan sebagai penghasil jasa lingkungan yang pada umumnya tidak mempunyai harga pasar (non-marketable goods). 2. Mengkaji pengetahuan dan apresiasi masyarakat mengenai multifungsi
lahan pertanian.
3. Melakukan sintesa kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian 1.5. Manfaat Penelitian
1. Informasi besaran nilai ekonomi manfaat multifungsi lahan pertanian dapat dijadikan bahan koreksi terhadap harga hasil pertanian, khususnya dalam penentuan harga dasar gabah yang saat ini kurang menarik bagi petani sebagai produsen.
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan pembangunan pertanian secara khusus dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara umum.
3. Bagi masyarakat umum, hasil penelitian dapat dijadikan bahan pembelajaran mengenai fungsi lingkungan lahan pertanian yang selama ini lahan pertanian hanya dipandang sebagai media budidaya pertanian.
4. Bagi IPTEK, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai patok duga (benchmark data) bagi penelitian lebih lanjut dalam bidang yang sama untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.6. Hipotesis
Terkait dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Nilai manfaat penggunaan langsung lahan pertanian selain berupa komoditas yang dapat dipasarkan, juga berbagai manfaat jasa lingkungan yang belum dapat dinilai berdasarkan mekanisme pasar. Besaran nilai manfaat jasa lingkungan tersebut dalam satuan moneter akan sangat berarti bagi petani jika dipertimbangkan sebagai salah satu penentu harga dasar hasil pertanian, khususnya gabah (padi).
2. Konsep multifungsi pertanian relatif masih baru. Pengetahuan masyarakat mengenai multifungsi lahan pertanian relatif masih rendah yang dapat
dicirikan oleh terbatasnya aspek multifungsi pertanian yang diketahui oleh masyarakat.
3. Kemauan masyarakat untuk membayar atau willingness to pay (WTP) jasa lingkungan lahan pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti persepsi mengenai multifungsi lahan pertanian, karakteristik individu (pendidikan, umur, jenis kelamin), faktor sosial-ekonomi (status pekerjaan, tingkat pendapatan, nilai kerugian akibat banjir, dan kondisi lingkungan tempat tinggal).
4. Kemauan petani untuk menerima pembayaran atau willingness to accept (WTA) jasa lingkungan lahan pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti persepsi mengenai multifungsi lahan pertanian, karakteristik individu (pendidikan, umur, jenis kelamin), faktor sosial-ekonomi (luas lahan garapan, pendapatan, penerapan teknik KTA).
1.7. Kebaruan Penelitian
Aspek kebaruan penelitian ini terletak pada topik atau objek kajian yakni multifungsi pertanian. Mengkaji pertanian dari aspek multifungsinya sesungguhnya memandang keberadaan dan memahami fungsi pertanian secara holistik. Lahan pertanian bukan hanya berfungsi sebagai media budidaya atau usahatani tetapi lebih luas daripada itu. Lahan pertanian mempunyai fungsi yang dapat menghasilkan jasa lingkungan yang bermanfaat bukan hanya bagi petani tetapi juga bagi masyarakat secara umum.
Kemudian penggunaan pendekatan WTP dan WTA sebagai bentuk simulasi pasar dalam menilai manfaat jasa lingkungan pertanian, dari sisi masyarakat perkotaan (hilir) dan petani (hulu) merupakan hal yang baru dalam penelitian ini.
1.8. Ruang Lingkup Penelitian
Tinjauan berbagai penelitian mengenai multifungsi pertanian di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan (Yoshida 2001, Chen 2001, Eom dan Kang 2001 dan
Suh 2001) menunjukkan bahwa masyarakat setempat di negara-negara tersebut sudah cukup banyak mengetahui dan memberikan apresiasi terhadap multifungsi lahan pertanian. Berbagai multifungsi pertanian yang sudah dikenal oleh masyarakat di ketiga negara tersebut mencakup : (1) Penyedia atau penghasil bahan pangan, (2) stabilitas atau penyangga ketahanan pangan, (3) penyedia lapangan pekerjaan, (4) sumber pendapatan, (5) penyedia atau pemasok cadangan air tanah, (6) pengendali banjir, (7) pengendali erosi dan sedimentasi, (8) penyejuk udara, (9) penyerap sampah organik, (10) pelestari keanekaragaman hayati, (11) sebagai tempat rekreasi, (12) pelestari budaya masyarakat pedesaan, dan (13) penghasil atau emisi gas oksigen (O2) dan penyerap gas karbondioksida (CO2).
Mengingat keterbatasan sumberdaya penelitian dan multifungsi pertanian merupakan sesuatu hal yang baru, penelitian ini tidak menilai seluruh multifungsi lahan pertanian tersebut, melainkan hanya menitikberatkan pada fungsinya sebagai penghasil komoditas pertanian yang merupakan sumber pendapatan petani (ekonomi), penyedia lapangan kerja (sosial), penyangga atau stabilitas ketahanan pangan (sosial-ekonomi), pengendali banjir, erosi dan sedimentasi (biofisik). Penggunaan lahan yang dikaji adalah lahan sawah dan lahan kering atau tegalan.
Eksternalitas negatif lahan pertanian, khususnya sawah dan lahan kering belum diperhitungkan dalam penelitian ini. Selain mengacu pada alasan Yoshida (2001) dan Yabe (2005) bahwa bagi negara-negara agraris di wilayah pengaruh iklim munson lebih prioritas untuk mengetahui, menilai dan memberikan apresiasi terhadap multifungsi pertanian (ekternalitas positif) daripada menilai dampak negatifnya, juga saat ini sudah tersedia teknologi untuk mengurangi dampak negatif pengelolaan lahan pertanian terhadap lingkungan, seperti pertanian organik dan/atau LEISA (law external input sustainable agriculture), penggunaan
varietas padi tertentu dan penggenangan air sawah minimal dalam pengelolaan tanah dan air pada lahan sawah yang dapat mengurangi emisi gas methana. Selain itu, masih banyak multifungsi pertanian yang nyata bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya tetapi metode valuasinya masih belum berkembang, seperti manfaat lahan pertanian dalam menghasilkan oksigen (O2) dan menyerap karbon dioksida (CO2), serta menjaga kelestarian budaya lokal.
2.1. Nilai Ekonomi Total
Manfaat SDA dan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam nilai guna (use values) dan nilai non-guna (non use values). Nilai guna ada yang bersifat langsung (direct use values) dan ada yang tidak langsung (indirect use values) serta nilai pilihan (option values). Sementara itu nilai non-guna mencakup nilai keberadaan (existence values) dan nilai warisan (bequest values). Apabila nilai-nilai ekonomi SDA tersebut dijumlahkan maka akan diperoleh nilai ekonomi total atau total economic values. Rumus nilai ekonomi total suatu SDA adalah sebagai berikut (Munasinghe 1993):
NET = NG + NNG NG = NGL + NGTL + NGP NNG = NK + NW
dimana:
NET = Nilai Ekonomi Total
NG = Nilai Guna; NNG = Nilai Non-Guna
NGL = Nilai Guna Langsung; NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung NGP = Nilai Guna Pilihan;
NK = Nilai Keberadaan; dan NW = Nilai Warisan.
Secara skematik pemilahan nilai ekonomi total sumberdaya alam dan lingkungan disajikan pada Gambar 4. Sedangkan uraian dari masing-masing konsep nilai ekonomi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Nilai Guna Langsung (NGL) dihitung berdasarkan kontribusi SDA dan lingkungan dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat ini. Nilai Guna Langsung
tersebut mencakup seluruh manfaat SDA dan lingkungan yang dapat diperkirakan langsung dari konsumsi dan produksi melalui satuan harga berdasarkan mekanisme pasar. Nilai guna tersebut dibayar oleh seseorang atau masyarakat yang secara langsung menggunakan dan mendapatkan manfaat dari SDA dan lingkungan.
b. Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL) merupakan manfaat yang diperoleh secara mendasar dari fungsi pelayanan lingkungan hidup dalam menyediakan dukungan terhadap proses produksi dan konsumsi saat ini, misalnya nilai berbagai fungsi ekologi dalam hal daya serap alami terhadap pencemaran air atau daur ulang unsur hara. Dengan demikian Nilai Guna Tidak Langsung terdiri atas manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus-menerus memberikan konstribusinya terhadap masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh areal pertanian yang cukup luas memberikan manfaat langsung berupa hasil-hasil pertanian yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan selain itu kawasan pertanian tersebut memberikan kenyamanan udara, keindahan pemandangan, pengendali banjir, erosi dan sedimentasi, serta pemasok sumber air tanah baik bagi petani maupun masyarakat lainnya.
c. Nilai Guna Pilihan (NGP) pada dasarnya bersifat bonus dimana konsumen mau membayar untuk aset yang tidak digunakan, dengan alasan yang sederhana yakni untuk menghindari risiko karena tidak memilikinya di masa mendatang. Dengan demikian nilai guna pilihan meliputi manfaat SDA dan lingkungan yang tidak dieksploitasi pada saat ini, tetapi "disimpan" demi kepentingan yang akan datang.
d. Nilai Keberadaan (NK) muncul dari kepuasan seseorang atau komunitas atas keberadaan suatu aset, walaupun yang bersangkutan tidak berminat untuk
menggunakannya. Dengan kata lain nilai keberadaan diberikan seseorang atau masyarakat kepada SDA dan lingkungan tertentu karena memberikan manfaat spiritual, estetika, dan budaya. Nilai keberadaan suatu SDA dan lingkungan tidak berkaitan dengan penggunaan oleh seseorang atau masyarakat, baik pada saat sekarang maupun masa yang akan datang, tetapi semata-mata sebagai bentuk kepedulian terhadap keberadaan SDA dan lingkungan sebagai obyek. Sebagai contoh nilai atau apresiasi yang diberikan masyarakat terhadap keberadaan komodo (biawak besar). Masyarakat memberikan nilai terhadap komodo tersebut bukan untuk melihatnya, melainkan agar binatang tersebut tetap ada.
e. Nilai Warisan (NW) adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat yang hidup saat ini terhadap SDA dan lingkungan tertentu agar tetap ada dan utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya.
Konsep nilai guna pilihan dan nilai bukan penggunaan masih bersifat rancu dan tumpang tindih. Konsep nilai ini dipandang perlu sebagai petunjuk saja, sedangkan dalam praktek perbedaan kedua konsep tersebut tidak penting mengingat yang utama adalah bagaimana menilai atau mengukur total nilai ekonomi (Munasinghe 1993). Nilai bukan penggunaan cenderung berkaitan dengan motif atau sifat dermawan, baik untuk lintas generasi atau warisan, atau pemberian individu, atau pandangan bahwa sesuatu mempunyai hak untuk ada. Tentu saja pengertian yang terakhir ada di luar teori ekonomi konvensional. Bahkan sifat kedermawanan tersebut sulit dinilai dan dianalisis dalam teknik biaya manfaat proyek (Munasinghe 1993).
Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan Pertanian
Nilai penggunaan Nilai bukan penggunaan
Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai
Penggunaan Penggunaan Pilihan Keberadaan Bukan Langsung Tidak Langsung penggunaan
lainnya Hasil yang Manfaat Nilai penggunaan Nilai dari pengetahuan langsung fungsional langsung dan tidak mengenai keberlangsungan dapat langsung masa depan keberadaan lahan pertanian dikonsumsi
°Komoditas °Pemasok air tanah °Biodivesitas °Habitat dan
°Bahan organik °Pengendali banjir °Konservasi habitat °Spesies langka
°Pencegah erosi dan longsor
°Purifikasi udara dan air
°Tempat rekreasi
Semakin berkurang nilai atau manfaat nyata bagi individu Sumber : Munasinghe 1993 (Hal 22, dimodifikasi)
Gambar 4. Kategori nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai ekonomi total SDA dan lingkungan terdiri atas tiga komponen, yakni nilai guna, nilai untuk masa datang dan nilai keberadaan. Ketiga nilai tersebut erat kaitannya dengan tiga ciri utama SDA dan lingkungan, yakni :
1. Tidak dapat pulih kembali: Suatu SDA dan lingkungan yang sudah mengalami kepunahan tidak dapat diperbaharui kembali. Apabila suatu SDA dan lingkungan sebagai suatu aset tidak dapat dilestarikan maka ada kecenderungan akan musnah. Konversi hutan atau lahan sawah menjadi permukiman atau kawasan industri termasuk yang sulit atau mustahil dapat dikembalikan sehingga tergolong bersifat irreversible.
2. Adanya ketidakpastian: Kejadian dan keadaan masa yang akan datang tidak dapat diprediksi secara sempurna. Sebagai contoh fenomena yang akan terjadi manakala ekosistem persawahan di seluruh Pulau Jawa rusak atau musnah tidak dapat diprediksi secara meyakinkan. Tetapi ada hal yang pasti bahwa akan ada biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila ekosistem persawahan tersebut mengalami kepunahan.
3. Sifatnya unik: Sering terjadi pembangunan suatu kawasan tidak jadi dilaksanakan atau dialihkan ke tempat lain dengan alasan untuk melestarikan SDA dan lingkungan tertentu. Kondisi tersebut terjadi apabila suatu SDA dan lingkungan tertentu mulai langka maka nilai ekonomi SDA itu akan tinggi karena didorong oleh pertimbangan untuk melestarikannya.
2.2. Multifungsi Lahan Pertanian
Terminologi multifungsi pertanian mencuat sejak tahun 1994 dalam suatu agenda pembahasan mengenai perdagangan bebas (free trade). Melalui perdagangan bebas siapa yang paling efisien dalam memproduksi barang dan jasa, maka dialah yang menjadi pengekspor atau net-eksporter. Sebagian negara menyetujui konsep tersebut, tetapi karena efisiensi produksi tersebut lebih bersifat ekonomi finansial, bukan ekonomi sosial implikasi perdagangan bebas terhadap pertanian sangat besar karena pertanian mempunyai manfaat yang belum atau tidak bisa dinilai berdasarkan mekanisme pasar, yakni manfaat multifungsi pertanian. Mengingat hal itu para ahli lingkungan (ecologist) dan ekonom lingkungan (environmental economist), mengingatkan negaranya agar tidak sepenuhnya memberlakukan perdagangan bebas terhadap komoditas pertaniannya. Dalam agenda pasar bebas negara-negara di Asia diharapkan membuka pasar
domestiknya bagi perdagangan bebas, khususnya bahan pangan (hasil pertanian). Jepang, Korea Selatan dan Taiwan termasuk negara yang menolak penerapan pasar bebas secara penuh terhadap hasil-hasil pertanian atau bahan pangan. Konsep multifungsi pertanian juga dijadikan dasar penolakan Jepang, Korea Selatan dan RRC terhadap gerakan global yang diprakarsai negara maju (OECD) untuk melarang perluasan lahan sawah, khususnya di Asia (Yabe 2005). Negara maju berpandangan bahwa lahan sawah menjadi sumber pencemar dalam pemanasan global melalui emisi gas methana. Sebaliknya, Jepang dan sekutunya berpandangan dampak multifungsi pertanian (eksternalitas positif) jauh lebih tinggi daripada dampak negatifnya. Argumentasi penolakan perdagangan bebas berdasarkan pendekatan multifungsi pertanian oleh Jepang dan sekutunya semakin solid pada KTT Tingkat Menteri di Cancun (2003). Menurut Jepang dan sekutunya, kehawatiran negara maju dalam hal emisi gas methana dan pencemaran air dari lahan pertanian, khususnya lahan sawah dianggap berlebihan. Dampak pencemaran tanah dan air dari kegiatan pertanian dapat diatasi dengan sistem pertanian LEISA (low external input sustainable agriculture), atau penetapan batas maksimum residu pestisida pada tanah (Kurnia 2006), sedangkan mitigasi emisi gas methana pada lahan sawah dapat diatasi dengan teknik pengelolaan air yang tepat dan penanaman varietas padi tertentu (Setyanto et al. 2006). Teknik pengolahan tanah sawah sempurna dan pengairannya secara berselang atau "macak-macak" menghasilkan gas methana 70-77 kg/ha/mt sedangkan dengan pengairan tergenang secara terus menerus menghasilkan gas methana 164 kg/ha/mt. Varietas padi yang ditanam juga mempunyai potensi emisi gas methana yang berbeda. Penanaman padi sawah varietas IR64, Mamberamo dan Way Opu Buru dapat menurunkan emisi gas methana secara berurutan 60%, 35%, dan 38% dibandingkan dengan varietas padi
Cisadane. Di sisi lain hamparan padi sawah mampu menghasilkan oksigen (emisi O2) melalui fotosintesis 17,8 ton O2/ha dan menyerap karbondioksida 24,4 ton
CO2/ha (Eom & Ho-Seong 2004).
Perlindungan pasar beras domestik Jepang juga dikaitkan dengan multifungsi pertanian. Pandangan yang paling sederhana menyatakan secara nutrisi beras impor sama dengan beras hasil produksi dalam negeri, tetapi secara sosial-budaya dan lingkungan nilai beras impor dan beras hasil domestik berbeda. Kekurangan beras sesaat dapat diatasi dengan mengimpornya, tetapi manfaat lingkungan dari sistem persawahan, seperti sebagai penampung sumber air dan pemandangan yang indah tidak bisa diimpor (Oshima 2001).
Multifungsi berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang menghasilkan banyak output dan oleh karena itu dapat memberikan manfaat pada berbagai lapisan masyarakat dalam waktu yang bersamaan (FFTC 2001). Multifungsi merupakan suatu konsep kegiatan yang terkait dengan properti spesifik dari suatu proses produksi dan multiproduk yang dihasilkannya. Berkaitan dengan konsep multifungsi pertanian tersebut Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) telah menyusun dan melaksanakan proyek peran pertanian (ROA: Role of Agriculture) di negara-negara berkembang (FAO 2001).
Konsep multifungsi dapat ditelaah sebagai karakteristik aktivitas ekonomi. Suatu karakteristik yang menjadikan suatu aktivitas ekonomi bersifat multifungsi antara lain output atau hasil atau dampaknya yang banyak atau multiple output. Output tersebut bisa bermanfaat atau positif, bisa juga negatif atau merugikan masyarakat. Output tersebut juga bisa dinilai dengan harga pasar, karena ada pasarnya; tetapi mungkin juga output tersebut tidak atau belum ada pasarnya. Pendekatan penelaahan ini dikenal dengan konsep positif dari multifungsi.
Pendekatan penelaahan lain adalah multifungsi sebagai konsep normatif. Multifungsi sebagai konsep normatif lebih menekankan pada "banyak-peran" atau "multiperan", seperti halnya peran lahan pertanian terhadap petani dan lingkungan. Aspek normatif dari multifungsi lebih menekankan pada masalah kebijakan, yakni bagaimana mempertahankan multifungsi dari suatu objek. Namun demikian penekanan pendekatan multifungsi dari konsep positif tidak berarti menghilangkan konsep normatifnya, terutama dalam menelaah multifungsi lahan pertanian. Hal tersebut karena lahan pertanian sebagai unit kegiatan ekonomi yang memproduksi bahan pangan, sandang (serat bahan pakaian) dan papan (kayu bahan perumahan) masih memberikan "banyak-peran" atau banyak fungsi bagi lingkungan, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Selain di Jepang dan Korea Selatan penelitian mengenai multifungsi pertanian dilakukan juga di Norwegia dan Swiss (Tabel 1). Prioritas penelitian multifungsi pertanian di Swiss mencakup aspek pemandangan (lanskap) dan keanekaragaman hayati, sedangkan di Norwegia menekankan aspek ketahanan pangan. Penelitian multifungsi pertanian di Jepang dan Korea Selatan lebih diprioritaskan pada aspek mitigasi banjir, preservasi sumberdaya air dan ketahanan pangan.
Berkaitan dengan konsep normatif multifungsi, Yoshida (2001) melakukan valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian dan pedesaan mencakup perannya sebagai sumber produksi bahan pangan, pengendali banjir dan erosi, pengawet sumberdaya air, pencegah tanah longsor, pengurang tumpukan dan penyerap sampah organik, penyegar dan pembersih udara, dan penyedia sarana rekreasi. Nilai atau manfaat multifungsi lahan pertanian dan pedesaan mempunyai ciri sebagaimana karakteristik public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar, sehingga pengambil manfaat dari multifungsi tersebut
kurang menyadari dan tidak memberikan perhatian yang sepatutnya bagi petani sebagai penyedia manfaat tersebut.
Tabel 1. Prioritas penelitian aspek multifungsi pertanian di beberapa negara
Aspek multifungsi Jepang Korea
Selatan Norwegia Swiss Lanskap X X X XXX Biodiversitas X XX X XXX Budaya lokal X X X X Mitigasi banjir XXX XXX
Preservasi sumberdaya air XXX XXX
Ketahanan pangan XX XX XXX
Penyerapan TK lokal X X X X
Keterangan : XXX lebih utama atau prioritas daripada XX atau X Sumber : Yabe (2005)
Berdasarkan hasil penelitian di Jepang (Yoshida dan Goda 2001) nilai multifungsi lahan pertanian dan pedesaan di seluruh Jepang, seluas 4.100.000 ha mencapai US$ 68,80 x 109, dan dari jumlah tersebut sebesar US$ 30,33 x 109 adalah nilai ekonomi lahan kering berupa perbukitan dan gunung, seluas 2.200.000 ha. Pada nilai tukar Rp 9.000/US$ nilai multifungsi lahan pertanian di Jepang mencapai Rp 151.000.000/ha. Manfaat terbesar dari nilai ekonomi tersebut (90%) merupakan nilai fungsi lingkungan sebagai pengendali banjir, pemasok sumber air tanah, rekreasi dan kesenangan. Oleh karena itu adalah hal yang sangat wajar apabila Pemerintah Distrik Nagoya di Jepang memberikan bantuan kepada petani sawah sebesar US $ 3.300 atau Rp 29,7 juta/ha/tahun (MAFF, 2001). Hasil penelitian di Korea Selatan (Suh 2001) menunjukkan masyarakat setempat sudah mengenal multifungsi lahan pertanian, baik yang bersifat positif, seperti sebagai penyedia bahan pangan dan stabilitas ketahanan pangan, pengendali erosi dan banjir, maupun yang bersifat negatif, seperti sebagai sumber pencemaran air dan
tanah. Kemudian Eom dan Kang (2001) menyatakan ada 30 fungsi sosial-ekonomi dan budaya dari pengelolaan/pemanfaatan lahan sawah yang dikenal masyarakat Korea Selatan. Berdasarkan hasil studi tersebut ada delapan fungsi lahan sawah yang mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, yakni sebagai pemasok bahan makanan (pangan), sumber air, pengikat emosi penduduk pedesaan, penyedia tempat atau media pendidikan lingkungan, tempat rekreasi dan pemandangan alam, penyegar udara, preservasi atau pelestarian ekosistem, dan pencegah erosi tanah. Sedangkan fungsi lahan sawah yang kurang mendapat apresiasi antara lain sebagai pengontrol pasar tenaga kerja, pembentuk atau pemersatu opini konvensional, dan penyedia tempat penguburan mayat. Kemudian Chen (2001) meneliti persepsi masyarakat mengenai jasa lingkungan lahan pertanian di Taiwan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat sudah mengenal jasa lingkungan lahan pertanian, terutama yang sangat penting adalah sebagai pencegah erosi, penyedia sumberdaya air, dan pengendali banjir.
2.3. Valuasi Ekonomi
Valuasi ekonomi merupakan upaya untuk memberikan nilai kuantitatif ("monetasi") terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas dasar nilai pasar (market value) maupun nilai non-pasar (non market value). Oleh karena itu valuasi ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh SDA dan lingkungan. Ada perbedaan antara valuasi ekonomi (economic valuation) dengan apraisal ekonomi (economic appraisal atau economic assessment) dimana yang disebut terakhir berkaitan dengan penilaian rencana investasi pada suatu kegiatan
ekonomi atau studi kelayakan investasi. Pada umumnya studi kelayakan investasi menilai biaya dan manfaat barang dan/atau jasa yang bersifat nyata (tangible) dan ada pasarnya (marketable good), baik dengan harga pasar atau harga bayangan (shadow price). Tujuan kegiatan apraisal ekonomi adalah untuk menentukan nilai atau manfaat dan kelayakan investasi berdasarkan kriteria pengambilan keputusan tertentu (Gittinger 1982).
Pemahaman tentang konsep valuasi ekonomi memungkinkan para pengambil kebijakan dapat menentukan penggunaan SDA dan lingkungan yang efektif dan efisien. Hal tersebut karena valuasi ekonomi SDA dan lingkungan dapat digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi SDA dan pembangunan ekonomi, sehingga dengan demikian valuasi ekonomi dapat menjadi suatu alat (tool) penting dalam upaya peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap SDA dan lingkungan.
Valuasi ekonomi menggunakan satuan moneter sebagai patokan perhitungan yang dianggap sesuai. Walaupun masih terdapat keragu-raguan bahwa nilai uang belum tentu absah untuk beberapa atau semua hal, seperti nilai jiwa manusia tetapi pada kenyataannya pilihan harus diputuskan dalam konteks kelangkaan sumberdaya. Oleh karena itu satuan moneter sebagai patokan pengukuran merupakan ukuran kepuasan untuk suatu tindakan pengambilan keputusan. Ketidakhadiran pasar tidak berarti manfaat ekonomi suatu barang atau jasa tidak ada, oleh karena itu preferensi yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat itu mau tidak mau harus menggunakan satuan moneter. Ketidakhadiran pasar memang akan membuat proses valuasi ekonomi SDA dan lingkungan menjadi lebih rumit, atau harus dilakukan melalui beberapa tahap.
Ada beberapa alasan mengapa satuan moneter diperlukan dalam valuasi ekonomi SDA dan lingkungan. Tiga alasan utamanya adalah : (1) satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang terhadap lingkungan, (2) satuan moneter dari manfaat dan biaya SDA dan lingkungan dapat menjadi pendukung untuk keberpihakan terhadap kualitas lingkungan, dan (3) satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif terhadap beberapa alternatif pilihan dalam memutuskan suatu kebijakan tertentu termasuk pemanfaatan SDA dan lingkungan (Suparmoko dan Suparmoko 2000).
Alasan pertama dapat diartikan sebagai moneterisasi keinginan atau kesediaan seseorang untuk membayar bagi kepentingan lingkungan. Perhitungan ini secara langsung mengekspresikan fakta tentang preferensi lingkungan dari seseorang atau masyarakat. Hal sebaliknya juga pada seseorang atau masyarakat yang merasa kehilangan manfaat lingkungan, maka permasalahannya dapat disebut sebagai keinginan untuk menerima kompensasi kerugian yang diderita. Oleh karena itu berdasarkan alasan pertama tersebut satuan moneter dapat menunjukkan kepedulian yang kuat seseorang atau masyarakat terhadap SDA dan lingkungan.
Alasan kedua berkaitan dengan masalah kelangkaan sumberdaya alam. Apabila ada suatu SDA atau jenis spesies tertentu yang menghadapi masalah kelangkaan akibat pembangunan akan dinilai tinggi yang terekspresikan dalam satuan moneter. Kemudian alasan ketiga berkaitan dengan aspek pengambilan keputusan dalam pemanfaatan SDA dan lingkungan dimana satuan moneter dapat digunakan sebagai salah satu indikator pengambilan keputusan.