V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.3 Wujud konflik lahan
musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan merupakan aspek positif dalam berkehidupan di tengah masyarakat yang marjinal yang dapat diambil sebagai faktor kekuatan dalam pengelolaan kawasan (BBTNGL 2010).
5.2.5 Koflik Sosial yang berkepenjangan
Kondisi Politik yang bergulir di Wilayah Nangroe Aceh Darusalam yang terjadi selama beberapa dekade juga mempengaruhi kondisi Leuser yang sebagian besar berada pada wilayah Aceh Tenggara. Puncak dari segala konflik berlangsung pada tahun 1998 pada saat itu wilayah Leuser tidak terkelola dengan baik karena berada pada keadaan yang mencekam karena dijadikan sebagai tempat pertempuran pihak yang bertikai11. Ketika konflik reda baik pengelola ataupun LSM belum mengetahui keadaan yang berubah dan saat itu ternyata dimanfaatkan oleh oknum masyarakat dan mengklaim luasan tanah sebagai kepemilikan pribadi6 yang kemudian ditanami tanaman perkebunan dan atau dijual kepada pihak lain.
5.3 Wujud konflik lahan
Menurut Wijardjo (1998) dalam Fuad dan Maskanah (2000), konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), konflik mencuat (emerging), dan konflik terbuka (manifest).
Tabel 7 Wujud konflik di Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak
Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)
Konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mencuat sebesar 60%. Masyarakat yang tinggal di kawasan yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional mengetahui konflik yang terjadi hanya 17%
11
Wawancara dengan Bapak Kamat, Kepala Urusan Desa Jambur Lak-lak 25 Juni 2010 Desa Jambur Lak-lak
Wujud Konflik Frekuensi Persentase(100%)
Tertutup 7 23
Mencuat 18 60
Terbuka 5 17
konflik tersebut terbuka dan sampai keranah hukum. Jumlah 23% bukanlah persentase yang kecil untuk diabaikan penyelesaian/kesepakatan adalah jawaban agar hal-hal seperti ini tidak terulang.
Menurut wujudnya konflik yang terjadi di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser tertutup dalam waktu yang sangat lama, hal tersebut terjadi karena kecakapan para elit lokal (tokoh masyarakat) untuk meredam jenis konflik hingga tidak terbaca oleh pihak-pihak di luar wilayah TNGL. Hal senada dikatakan Fuad dan Maskanah (2000) bahwa konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yag tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutup kutup konflik, seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensi sekalipun.
Situasi politik yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 lalu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membuka lahan yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Pada saat itu kawasan taman nasional menjadi basis pertempuran antara pihak bersenjata12. Sejak itu areal kawasan taman nasional tidak dihuni dan tidak dikelola dengan baik. Pasca konflik berlangsung, ada rencana perdamaian yang dilakukan oleh kedua pihak, pada masa perdamaian inilah terjadi pengambilan keuntungan oleh orang tertentu, kawasan taman nasional yang tanpa pengelolaan dijadikan lahan pribadi untuk tujuan perkebunan.
Situasi konflik dikatakan mencuat jika masing-masing pihak yang berselisih mulai mengetahui adanya perselisihan dan kebanyakan permasalahnnya jelas namun proses penyelesaian masalahnya belum dilakukan. Konflik di TNGL mulai mencuat ketika hadirnya LSM. Kehadiran LSM memberikan wacana baru kepada masyarakat, dari segi wawasan, mereka memiliki cara pandang baru terhadap kasus yang terjadi dalam artian proses penyadaran akan pentingnya memiliki kekuatan yang sama dalam mengakses dan mengontrol sumber daya alam.
Meski potensi konflik terbuka hanya 17% ini dikarenakan masing masing pihak mencoba menghindari benturan fisik satu sama lain, meski telah ada tindakan nyata berupa penangkapan para pembakar lahan oleh petugas kepolisian. Dalam mengkonversi hutan masyarakat membuka hutan dengan cara dibakar, ini
12 )
Wawancara dengan Bapak ST Mangarahon Manerjer Ketambe, tanggal 16 Juni 2010, di Ketambe
merupakan cara yang “murah meriah“ yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengelola luasan tanah yang diklaim atas kepemilikan mereka untuk dijadikan areal perkebunan1. Pembakaran areal taman nasional (Gambar 7) bukan perkara yang ringan karena sumberdaya baik itu flora dan fauna dalam mengalami gangguan karena habitat mereka dirusak.
Gambar 7 Areal taman nasional yang dibakar
Peristiwa yang sangat menarik akhir–akhir ini adalah jual beli lahan di areal kawasan Taman Nasioanal Gunung Leuser, tidak ada ijin atau surat pernyataan resmi dari pihak tertentu yang berwenang pada kawasan4 namun ada hal yang sangat menarik ketika ada okmun yang menganggap sebagai pemilik lahan di kawasan Gunung Leuser menjual kawasan taman nasional yang diklaim sebagai miliknya4 Tentu saja ini hal yang sangat menarik untuk menjadi bahan pembahasan Balai Besar Taman Nasional Gunung leuser.
5.4Penyebab Konflik Lahan Yang Terjadi di Kawasan Taman Nasional
Gunung Lauser.
Tabel 8 Penyebab konflik lahan di Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak
Penyebab konflik Frekuensi Persentase (%)
Pembukaan lahan di kawasan TNGL untuk penanaman illegal
13 43
Klaim hak kepemilikan 5 17
Jual beli kawasan 4 13
Kebakaran hutan 6 20
Illegal Logging 2 7
TOTAL 30 100
Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)
Berdasarkan Tabel 8, pandangan responden mengenai penyebab konflik yang terjadi di kawasan TNGL menunjukkan bahwa 43% penyebab konflik yang
terjadi di kawasanan Gunung Leuser adalah pembukaan lahan untuk penanaman
illegal di kawasan taman nasional dan 17% menyatakan bawah jenis konflik yang terjadi adalah klaim hak kepemilikan, kebakaran hutan sebesar 20%, selain itu jual beli kawasan hutan taman nasional 13% dari konflik yang terjadi, dan illegal logging juga menghiasi permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser.
Secara umum konflik yang terjadi di kawasan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah muncul sejak Tahun 1976 dengan munculnya organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 4yaitu sebuah organisasi yang menghendaki wilayah NAD keluar dari bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sempat menimbulkan konflik yang membatasi perkembangan ekonomi, informasi dan teknologi, masyarakat Aceh secara keseluruhan. Ini juga yang melatar belakangi terjadinya konflik di kawasan TNGL yang ternyata setelah ditelusuri disebabkan oleh hal yang berbeda-beda. Pada konflik penanaman illegal masih dilatar belakangi krisis ekonomi dan konflik sosial yang telah terjadi sejak tahun 1976 hingga puncaknya pada tahun 1998. Saat konflik bersenjata yang terjadi di wilayah Aceh secara keseluruhan TNGL tidak dikelola hingga kondisi kondusif. Pada saat kondisi sudah dikatakan aman sementara pihak pengelola dalam hal ini BTNGL belum aktif bertugas kembali saat inilah dimanfaatkan masyarakat untuk menanam taman coklat di kawasan TNGL.
Latar belakang konflik klaim hak kepemilikan dikarenakan masyarakat mengangap lahan taman nasonal yang mereka kelola adalah lahan milik mereka4, meski tanpa surat resmi masyarakat dapat menjual lahan tersebut. Sementara lahan tersebut bagian dari kawasan TNGL yang di peruntukkan untuk kelestarian.
Konflik pembakaran kawasan TNGL disebabkan saat oknum masyarakat ingin membuka perkebunan di kawasan TNGL, biasanya mereka membakar kawasan hutan terlebih dahulu, saat lahan siap penanaman kemudian dilaksanakan4. Meski kasus illegal logging sudah berkurang namun ini tetap menimbulkan konflik bagi masyarakat.