• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian konflik lahan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: studi kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak STPN wilayah IV Badar BPTN wilayah II Kutacane, Aceh Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian konflik lahan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser: studi kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak STPN wilayah IV Badar BPTN wilayah II Kutacane, Aceh Tenggara"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KONFLIK LAHAN

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

(Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-Lak STPN

Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane, Aceh Tenggara)

ANA DAIRIANA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

   

KAJIAN KONFLIK LAHAN

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

(Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-Lak STPN

Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane, Aceh Tenggara)

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

ANA DAIRIANA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(3)

RINGKASAN

ANA DAIRIANA.

Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane Aceh Tenggara) Dibimbing Oleh HARIADI KARTODIHARDJO

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu sumber penyokong kehidupan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Laju perkembangan penduduk yang signifikan dan berkembangnya tanaman kakao yang memiliki harga tinggi menambah pemanfaatan lahan yang pada akhirnya mengurangi luasan hutan. Di lain pihak, pengelola mempunyai kewajiban dalam menjaga kawasan hutan baik dari segi kelestariannya, maupun dari luasan wilayah yang berimbas pada konflik antara pihak pengelola hutan dan masyarakat. Diterbitkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh secara nyata memberi warna baru dalam pengelolaan TNGL, dibentuknya Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL) yang hampir sama perannya dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) membuat proses administrasi dan koordinasi menjadi sulit.

Adapun isu penyebab konflik yang terjadi di kawasan TNGL adalah pemantapan kawasan, perambahan kawasan, lemahnya koordinasi antar lembaga, lemahnya kesadaran dan ekonomi masyarakat sekitar hutan serta konflik sosial yang berkepanjangan. Wujud konflik 23% tertutup, 60% telah mencuat kepermukaan dan 17% konflik telah terbuka. Penyebab konflik lahan 43% disebabkan pembukaan lahan penanaman tanaman kakao yang kini sedang ditekuni masyarakat desa hutan.

Penyelesaian konflik lahan yang terjadi di kawasan TNGL 50% dilakukan dengan cara mediasi, hal ini dikarenakan masyarakat masih menjunjung tinggi musyawarah dan prinsip kekeluargaan. Dalam menangani konflik pihak yang dilibatkan 76% adalah aparat keamanan seperti TNI dan POLRI, hal ini dikarenakan pengaruh dari konflik sosial yang terjadi di kawasan Aceh yang berlangsung pada kurun waktu yang lama.

(4)

 

SUMMARY

ANA DAIRIANA. Review of Land Conflict in the Gunung Leuser National Park

(Case Study Lawe Mamas and Jambur Lak-lak Village STPN Region IV Badar BPTN Region II Kutacane Southeast Aceh) under supervisiour of HARIADI KARTODIHARDJO

Gunung Leuser National Park (TNGL) is one source of life support to accomplish the needs of the community. The rate of significant population growth and development of the cocoa plant that has a high price increase of land use which caused reduced the forest area. On the other hand, managers have an obligation to maintain the forest area in terms of sustainability, as well as the extent of areas which impact on the conflict between forest managers and the people living surrounding the forest. Publication of Act N0 11 of 2006 on Acehnese government actually gives a new color in TNGL management, the establishment of the Leuser Ecosystem Management Agency (BP-KEL), a similar role with the Great Hall of the Gunung Leuser National Park (BBTNGL) makes the administration and coordination becomes difficult.

The issue of conflicts in TNGL region is related to forest demarcation, encroachment areas, lack of coordination between agencies, lack of awareness and economic of community around the forest as well as a protracted social conflict. Being conflicts closed 23%, 60% have been sticking surface and 17% had an open conflict. The problem of land conflicts caused by land clearing in 43% cacao tree planting is now being occupied forest villagers.

Settlement of land conflicts that occurred in the area TNGL 50% done by mediation, this caused by society is still high to support deliberation and the principle of kinship. In dealing with the conflict parties in involve 76% is the security forces such as military and police was caused influence of social conflicts that occurred in the area of Aceh which took place in a long time.

(5)

Judul Penelitian : Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-Lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane, Aceh Tenggara)

Nama : Ana Dairiana

NIM : E14060346

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

NIP. 19580424 198303 1 005

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS

NIP. 19630401 199403 1 001

(6)

 

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ” Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane Aceh Tenggara)” belum pernah diajukan pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Saya juga menyatakan skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah.

Bogor, Februari 2011

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan sembah penulis panjatkan atas berkat dan belas kasih Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas

dan Desa Jambur Lak-lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II

Kutacane Aceh Tenggara) dengan sangat baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS yang telah memberikan bimbingan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Bunda dan ayah tercinta serta kedua adik penulis, juga keluarga besar yang penuh kesabaran selalu memberikan motivasi dan doanya kepada penulis. 3. Bapak Ir. Harijoko SP,MM, Pak Buana, Pak Sabar, bang Zulvan, beserta

segenap karyawan dan pekerja Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang telah banyak membantu dalam penelitian sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dengan baik dan lancar.

4. Sahabat penulis Nur Illiyyina S, Desna, Eri Suhesti, Resty mayatirama, Ana Yu, Anggi putri, Kiki Amelia dan Mika Asri yang selalu ada dan memberikan dukungan pada penulis.

5. Teman-teman di Departemen Manajemen Hutan angkatan 43 (khususnya,Siffa R, Andi R, Iffah, Elisda, Luffi, Andre, Danesh, Linda Z, Suke, Anita sopiana, Adnan, Candra, Januar, Sentot, Dian O, Aris, Ifki, Kristanto, Hania, Dolla, Andin, Uci, Wulan dan Chika), teman teman di wisma Mega 1, teman-teman di PF Fahutan, kalian semua adalah motivator dan sahabat terbaik bagi penulis.

(8)

 

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2011 Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ana Dairiana, lahir pada Tanggal 07 Juni 1988 di Palembang. Penulis anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Sutarjo Munthe dan Ibu Sainah. Jenjang pendidikan yang ditempuh penulis adalah SDN 1 Kutacane, dengan tahun kelulusan 2000 kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Kutacane, lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMA Negeri 1 Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara dengan tahun kelulusan 2006.

Pada Tahun 2006 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan dengan kurikulum Mayor-Minor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan organisasi di kampus, antara lain adalah anggota Divisi Sekertariat Agria Swara, Anggota Divisi Hublu (Hubungan Luar) Forest Management Student Club

(FMSC), Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan keagamaan sebagai koordinator Acara Persekutuan Fakultas Kehutanan periode 2008, penulis juga bergabung dalam komisi literatur Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB.

Penulis pernah melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap-Baturaden Jawa Tengah tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan BKPH Tanggeung, KPH Cianjur, Jawa Barat tahun 2009. Selanjutnya penulis mengikuti Praktik Kerja Lapang (PKL) di PT. INHUTANI II Pontianak, Kalimantan Barat selama 2 bulan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Kajian Konflik Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak STPN Wilayah IV Badar BPTN Wilayah II Kutacane Aceh Tenggara)” di bawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS.

(10)

 

2.3 Karakteristik Koflik dan Mekanisme Penyelesaian ... 5

2.4 Taman Nasional ... 8

4.2.1 Sosial Kemasyarakatan Penduduk... 18

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

5.1 Karateristik Masyarakat Desa ... 21

(11)

5.2 Permasalahan dan Isu-isu Stategis... 22

5.2.2 Perambahan Kawasan TNGL ... 23

5.2.3 Koordinasi Antar Lembaga ... 25

5.2.4 Kesadaran dan Ekonomi Masyarakat sekitar Hutan ... 27

5.2.5 Konflik Sosial yang berkepanjangan ... 28

5.3 Wujud Konflik di desa Lawe mamas dan desa Jambur Lak-lak... 28

5.4 Penyebab konflik yang Terjadi di Kawasan Taman Nasional Gunung Lauser ... 30

5.5 Efektifitas Penyelesaian Konflik ... 32

5.6 Rekomendasi Penyelesaian Konflik Bagi pihak TNGL... 33

5.6.1 Lakukan Tata Batas Ulang Secara Mufakat... 33

5.6.2 Tingkatkan Peran Para Ketua Adat dan Pemuka Agama... 34

5.6.3 Kerjasama Intensif Dengan Aparat Penegak Hukum... 34

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

6.1 Kesimpulan... 36

6.2 Saran... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(12)

 

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Tenik Pengumpulan data ... 13

2. Pertumbuhan penduduk Aceh Tenggara menurut kecamatan tahun 2006-2008 ... 18

3. Disribusi luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah keluarga menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara ... 18

4. Karakteristik masyarakat desa ... 21

5. Kondisi lahan dan pemanfaatannya ... 22

6. Jumlah kasus perambahan perambahan hutan yang dirambah terpantau selama bulan Maret 2009 disekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues ... 23

7. Wujud Konflik di desa Lawe Mamas dan desa Jambur Laklak ... 28

8. Penyebab konflik lahan ... 30

9. Mekanisme penyelesaian konflik ... 32

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan alur pemikiran kajian konflik lahan TNGL ... 11

2. Lokasi penelitian ... 16

3. Kebun Coklat/kakao di kawasan TNGL ... 23

4. Jembatan lumpe ... 24

5. Pembakaran kawasan TNGL ... 25

6. Stakeholder yang berperan di TNGL ... 27

(14)

   

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

(15)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan hutan yang luas, menuntut pengelolaan yang intensif, ditengah tuntutan kehidupan tidak jarang membangkitkan permasalah hidup yang pada akhirnya dapat memicu konflik sosial. Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-masing berbeda kebutuhan dan tujuannya (Fuad dan Maskanah 2000). Kebutuhan akan sumberdaya hutan mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya angka kematian dan perkembangan infrastruktur yang pesat sehingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Laju perkembangan penduduk yang signifikan menambah pemanfaatan lahan yang pada akhirnya mengurangi luasan hutan, sementara pihak pengelola mempunyai kewajiban dalam menjaga kawasan hutan baik dari segi kelestariannya maupun dari luasan wilayahnya yang berimbas pada konflik antara pihak pengelola hutan dan masyarakat. Salah satu yang paling sering terdengar antara masyarakat dengan pihak lain, maupun antar anggota masyarakat itu sendiri, adalah konflik pengelolaan sumberdaya hutan (Fuad dan Maskanah 2000).

(16)

 

inilah penyelesaian konflik dapat diupayakan dengan mengembangkan aspek positif dari konflik dan dalam waktu bersamaan mencoba untuk mengurangi dampak negatifnya (Wulan et al. 2004).

1.2Perumusan Masalah

Perumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan tanaman perkebunan mengakibatkan peningkatan perambahan hutan. Meningkatnya jumlah penduduk Aceh Tenggara dalam beberapa tahun ini semakin meningkatkan kebutuhan mereka akan lahan baik itu untuk bertani/berkebun atau untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Perkembangan tanaman kakao/coklat yang memiliki harga yang tinggi juga meningkatkan minat masyarakat dalam melakukan alih fungsi lahan pertanian bahkan aksi pembukaan lahan baru terus meningkat hingga sampai ke dalam kawasan taman nasional yang pada akhirnya menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pengelola. Seperti yang diutarakan Fuad dan Maskanah (2000) yang mengatakan pada akhirnya konflik diekspresikan dalam bentuk perusakan komponen hutan sendiri, baik yang berupa pembakaran tegakan hutan, pencabutan anakan pohon yang baru ditanam, penebangan tegakan pohon secara membabi buta dan liar, pendudukan dan penyerobotan lahan hutan, maupun bentuk-bentuk destruktif lainnya.

(17)

3. Peran stakeholder yaitu Pengelola TNGL, Pemerintah, LSM atau perusahaan yang memanfaatkan jasa kehutanan memberikan pengaruh dalam keberlangsungan kelestarian TNGL kerena tidak jarang juga mengambil keuntungan baik luasan lahan maupun menjadi mediator dalam penyelesaian konflik antara masyarakat dan pengelola TNGL.

1.3Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui isu, wujud dan penyebab konflik lahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

b. Mengetahui efektivitas penyelesaian konflik lahan.

c. Memberikan masukan kepada pihak taman nasional dalam penyelesaian masalah konflik lahan.

1.4Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang kondisi masyarakat sekitar hutan sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan kehutanan.

b. Bagi instansi pendidikan, dapat memberikan dokumentasi ilmiah yang bermanfaat untuk kepentingan akademik ataupun penelitian serupa lainnya. c. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan solusi atau kontribusi dalam

pemecahan masalah yang terkait dengan konflik lahan yang sedang terjadi di TNGL.

(18)

 

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1Masyarakat Desa Hutan

Hutan berperan penting dalam dalam kehidupan masyarakat sekitar hutan. Hal ini dikarenakan hampir seluruh kehidupan masyarakat sangat tergantung pada hutan. Bahkan menurut Tokede et al. (2005) hutan sebagai ibu kandung yang memberi makan anak- anaknya sebagai pengikat hubungan sosial antar suku dan antar marga dalam suku memiliki nilai budaya dan norma adat yang dipercayainya.

Masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang menguntungkan segala kehidupannya pada hutan baik masyarakat yang tinggal di kawasan hutan maupun yang memanfaatkan hutan dalam mencukupkan kehidupannaya. Redfield (1982) dalam bukunya yag berjudul “Masyarakat Petani dan Kebudayaan” mengatakan bahwa masyarakat desa mungkin telah memelihara kebudayaan rakyatnya dengan sedikit sekali mendapat pengaruh dari kelas atas.

Hutan dikaruniakan Tuhan untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam upaya pelestariannya juga harus melibatkan masyarakat (khususnya di sekitar hutan) alam. Kehidupan masyarakat yang majemuk, nampaknya menyimpan potensi konflik horizontal. Karena itu, pemerintah, masyarakat, kelompok-kelompok sosial, maupun individu harus tetap waspada terhadap terjadinya konflik yang mungkin terjadi, sehingga di perlukan kesadaran yang tinggi dalam memahami rasa kebangsaan yang utuh, karena kemajemukan yang terjadi tidak dapat dihindari dan di perlukan satu konsesus yang dapat bertahan dan senantiasa dihormati sebagai pengendali konflik (Muntakin dan Pasya 2003).

2.2 Konflik

Menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya. Sedang menurut Miall et al. (2002) Konflik adalah aspek interistik dan tidak mungkin dihindari dalam perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas, kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan

(19)

sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan adalah mungkin mengubah respon kebiasaan dan melakukan penentuan pilihan–pilihan tepat.

Fuad dan Maskanah (2000) juga menyatakan bahwa konflik sumberdaya hutan yang sering terlihat (meskipun masih banyak pula yang tak terlihat) ada konflik yang terjadi antara masyarakat didalam dan tepian hutan, dengan berbagai pihak diluarnya yang dianggap memiliki otoritas dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Wulan et al. (2004) menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis artikel di media massa, sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utama konflik yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi, yaitu perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas kawasan atau akses dan alih fungsi kawasan. Faktor penyebab konflik yang paling sering terjadi diberbagai kawasan (36%) adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di sekitarnya.

Konflik dapat dilihat dari berbagai perspektif, dalam konteks makro maupun mikro (Hadimulyo dalam Fuad & Maskanah 2000). Perspektif mitologis-historis merujuk bahwa konflik atas sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditelusuri dari sejarah umat manusia. Perspektif ekonomi dan politik memandang bahwa konflik merupakan bagian dari pola hubungan antara manusia, kelompok, golongan, masyarakat dan negara yang seharusnya dipahami sebagai kenyataan. Penyebab utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik, dan oleh karena itu upaya-upaya penyelesaian harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik (Scott, 1993 dalam Fuad dan Maskanah 2000) Faktor lainnya yang sering memicu konflik berkaitan dengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional (Wulan et al. 2004).

2.3 Kerakteristik Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya

(20)

 

tanpa melibatkan masyarakat. Akibatnya timbul berbagai kesalahpahaman dari masyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalam beberapa kasus, penetapan hutan lindung atau taman nasional sering memaksa masyarakat untuk pindah ke tempat lain. Perambahan menjadi isu utama karena masyarakat masih menganggap bahwa lahan yang mereka buka untuk ladang adalah hak mereka walaupun telah ditetapkan menjadi kawasan lindung (Wulan et al. 2004)

Dalam penyelesaian konflik pada umumnya digunakan beberapa titik tolak karena sifat konflik yang selalu identik dalam kehidupan manusia (Fuad dan Maskanah 2000) bahwa :

a. Konflik selalu ada, manusia hidup selalu berkonflik , sebab konflik terdapat di alam dan hadir dalam kehidupan manusia, konflik selalu berubah dan sulit untuk diramalkan kapan datangya seperti cuaca.

b. Konflik menciptakan perubahan, konflik dapat merubah pemahaman pada sesama. Konflik mendorong adanya klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaian.

c. Konflik selalu memiliki dua sisi, konflik membawa resiko dan potensi secara inheren.

d. Konflik menciptakan energi baik bersifat dekstruktif atau kreatif atau keduanya dan mempunyai sifat mengikat.

e. Konflik dapat produktif dan non produktif, konflik yang produktif lebih mengacu pada permasalahannya, kepentingan/minat, prosedur dan nilai-nilai pemahaman yang mampu menghasilkan jalan keluar. Konflik yang non produktif cenderung mengacu pada strereotip, komunikasi yang payah, serat emosi, kurang informasi, dan salah informasi yang menciptakan konflik.

f. Konflik dipengaruhi pola-pola biologi, kepribadian dan budaya, reakdi-reaksi psikologis memegang peranan emosional yang sangat kuat dalam mempengaruhi proses konflik, dengan mengikuti gaya kepribadian dan psikologi seseorang. Budaya juga ikut membentuk aturan-aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik

(21)

Konflik tidak menunjukkan adanya kebenaran utuh yang berdiri sendiri, melainkan berbagai konstruksi dan realita.

h. Konflik memiliki ”daur hidup” dan “sifat-sifat bawaan”, konflik dapat bertranformasi, bertambah cepat, perlahan menghilang atau berubah.

i. Konflik mengungah manusia, konflik menjadi inspirasi bagi penulis, pemilir, seniman, politisi, psikolog dan ahli filsafat.

Condliffe (1991) dalam Sardjono (2004), juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik :

a. Lumping it

Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersangkutan untuk menekan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan di abaikan (simpy ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.

b. Advoidance or exit

Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi dan psikologi.

c. Coercion

Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain.

d. Negotiation

Kedua pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga.

e. Conciliation

Mengajak (dalam arti menyatukan) kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.

f. Mediator

(22)

 

g. Arbiretion

Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua pihak sudah harus menetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.

h. Adjudication

Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil, baik yang di harapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak bersengketa.

Hal yang hampir sama juga diutarakan Mitchell et al. (2000) bahwa ada empat jenis pendekatan alternatif penyelesian konflik, yaitu konsultasi publik, negoisasi, mediasi dan arbitrasi. Konsultasi publik diartikan sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, serta merupakan alternatif disamping cara-cara melalui hukum, administrasi dan politis. Negoisasi melibatkan situasi dimana dua pihak atau lebih kelompok bertemu secara sukarela dalam usaha untuk mencari isu-isu yang menyebabkan konflik antar mereka. Mediasi mempunyai karakteristik (bentuk khusus) dari negoisasi ditambah dengan keterlibatan pihak ketiga yang netral (sebagai mediator). Pihak ketiga tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan kesepakatan, akan tetapi berfungsi sebagai fasilitator dan merumuskan persoalan, dengan tujuan untuk membantu pihak yang bersengketa agar bersepakat. Ketika arbitrasi dipilih, pihak ketiga terlibat. Tidak seperti mediasi, pihak ketiga yang terlibat dan bertindak sebagai arbitator mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan, yang mengikat ataupun tidak mengikat.

2.4Taman Nasional

(23)
(24)

 

III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Kerangka Pemikiran

Kehidupan masyarakat desa hutan saat ini dihadapkan pada permasalahan yang kompleks. Peningkatan angka kelahiran dan perkembangan tanaman kakao yang memiliki harga tinggi tentunya menggiurkan para petani untuk mengubah dan memperluas lahan perkebunannya menjadi permasalahan utama dalam penyerobotan tanah yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Luas wilayah Aceh Tenggara sebagian besar menjadi bagian dalam kawasan hutan konservasi yaitu seluas 280.160,94 ha atau 66,21% dari luas wilayah Aceh Tenggara sementara untuk wilayah pemukiman, pertanian/perkebunan dan aktifitas kehidupan hanya seluas 47.349,00 ha atau 11,19% (Dinas Kehutanan 2010).

Kawasan TNGL memiliki potensi sumber daya yang tinggi meliputi sumber daya hayati dan non hayati. Potensi ini menarik para stakeholder yang memiliki perbedaan pengaruh dan kepentingan. Para stakeholder tersebut meliputi instansi pemerintah, oraganisasi non pemerintah, dan masyarakat sekitar hutan yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Tentunya pengaruh kepentingan ini akan menimbulkan konflik, timbulnya konflik tentu saja akan mempengaruhi suatu pengelolaan sumber daya hutan di TNGL.

Identifikasi konflik atas stakeholder dilakukan berdasarkan isu konflik, penyebab konflik, dan wujud konflik. Kemudian proses identifikasi tersebut dianalisis sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan solusi dari konflik yang terjadi, yang pada akhirnya fungsi kelestarian sumberdaya alam yang ada di TNGL dapat lestari.

(25)

Bagan alur pemikiran kajian konflik lahan di TNGL dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 Bagan alur pemikiran kajian konflik lahan TNGL.

Stakeholder

¾ BBTNGL

¾ BP-KEL

¾ LSM

¾ Masyarakat sekitar kawasan

¾ Aparat Keamanan

KONFLIK

TNGL

 

SOLUSI

Penyebab

konflik

(26)

 

3.2Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lawe Mamas Kecamatan Darullhasanah dan Desa Jambur Lak-lak Kecamatan Ketambe Aceh Tenggara. Dengan selang waktu pengumpulan data kurang lebih satu bulan antara Juni – Juli 2010.

3.3Alat dan Objek penelitian

Penelitian ini memerlukan alat bantu seperti alat rekam, kuisioner, dan alat tulis lainnya sedangkan objek penilitian yaitu masyarakat yang tinggal di Desa Lawe Mamas Kecamatan Darullhasanah dan Desa Jambur Lak-lak Kecamatan Ketambe Aceh Tenggara.

3.4Metode pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan beberapa teknik berdasarkan jenis data yang dibutuhkan.

a. Teknik observasi, yaitu dengan mengamati secara langsung pihak-pihak yang memungkinkan mengalami konflik lahan di kawasan TNGL. Mengecek pal batas kawasan kegiatan yang pernah dilakukan masing-masing stakeholder

terkait dengan kawasan.

b. Wawancara, yaitu wawancara responden dari pihak pemerintah, masyarakat sekitar TNGL, LSM dan pengelola TNGL. Wawancara dilakukan secara mendalam dan berulang untuk memahami jawaban dari pertanyaan yang diajukan secara luwes, terbuka, tidak kaku, dan informal. Hasil dari wawancara ini akan menjadi data primer. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 responden yang merupakan penduduk yang berbatasan dengan kawasan TNGL.

c. Pencatatan mengenai data sekunder, berupa data demografi dan monografi yang berasal dari pihak pemerintahan daerah setempat.

3.5Jenis Data

(27)

3.5.1Data Pokok

Data yang diperoleh berdasarkan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya hutan di TNGL melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi), wawancara mendalam dan studi pustaka dan literatur kemudian dijadikan sebagai data pokok dalam menganalisa data.

Tabel 1 Tenik Pengumpulan data

Jenis Data Stakeholder Informasi yang dikumpulkan Metode

pengumpulan data Pokok Instansi

pemerintah

a.Sejarah kawasan TNGL b.Pengelolaan instansi

c.Pengelolaan TNGL per jangka

waktu

d.Program kerja dan kegiatan yang dilakukan terkait kawasan TNGL e.Permasalahan dan kendala yang

dihadapi dalam pengelolaan instansi,dengan pihak luar maupun kawasan TNGL

f.Upaya penyelesaian yang akan dan telah ditempuh dalam mengantisipasi permasalahan.

a.Sejarah dan pengelolan organisasi b.Pengetahuan mengenai kawasan

TNGL

c.Interaksi dan kontribusi terhadap kawasan TNGL

d.Program kerja dan kegiatan yang dilakukan terkait dengan kawasan TNGL

e.Permasalahan dan kendala yang di hadapi dengan organisasi, dengan pihak luar maupun kawasan TNGL f.Upaya penyelesaian masalah yang

telah dan akan di tempuh

Pengamatan langsung (observasi)

wawancara dengan responden dan studi pustaka dan literatur

Masyarakat sekitar

kawasan TNGL

a.Informasi dan sejarah mengenai kawasan TNGL

b.Sejarah keberadaan desa/dusun c.Interaksi terhadap kawasan TNGL d.Permasalahan dan kendala yang

dihadapi dalam masyarakat, dengan pihak luar maupun kawasan TNGL e.Upaya penyelesaian yang telah dan

akan di tempuh

(28)

 

3.5.2 Data Penunjang

Data untuk menunjang data pokok sehingga dapat menambah ketajaman serta informasi dalam menganalisis data untuk menghasilkan tujuan penelitian. Data dapat diperoleh dari data umum dari pihak terkait serta studi literatur dan pustaka.

3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Berdasarkan pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), bahwa analisis data kualitatif mencakup reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, ketiga jalur analisis data tersebut menjadi acuan dalam tulisan ini. Penelitian ini sudah berada pada kondisi jenuh, yaitu saat peneliti menanyakan kepada informan yang diwawancarai tentang informasi lain yang direkomendasikan, jawabannya tetap berkisar pada responden-responden sebelumnya yang sudah penulis wawancarai.

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan lapang, wawancara mendalam dengan responden serta dengan studi pustaka dan literatur dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kualitatif tersebut. Analisis data kuantitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus. Analisis data dilakukan melalui analisis stakeholder untuk mendapatkan hasil substantif.

(29)

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Kawasan

Leuser berasal dari kata Leusoh dari bahasa Gayo yang berarti “diselubungi awan“. Lahirnya Taman Nasional Gunung Leuser berawal pada tahun 1920-an pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, melalui serangkaian proses penelitian dan eksplorasi seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn di Aceh. Dalam perkembangannya muncul inisiasi positif yang didukung para tokoh masyarakat untuk mendesak pemerintah kolonial Belanda agar memberikan status kawasan konservasi (wildlife sanctuary) dan status perlindungan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpangkiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, kearah lembah Sungai Tripa dan rawa pantai Meulaboh di bagian utara (BBTNGL 2010).

(30)

 

4.2 Kondisi Umum Kawasan

Kabupaten Aceh Tenggara berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Lauser yang merupakan daerah cagar alam nasional terbesar terdapat di kabupaten ini. Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora termasuk tanaman langka Rafflesia atjehensis dan Johanestey smannia altifrons (pohon payung raksasa) serta Rizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar, langka, dan dilindungi, dengan diameter 1,5 meter. Ada sekitar 130 jenis mamalia dengan hampir tiga perempatnya termasuk jenis langka (BBTNGL 2010).

Sumber : BBTNGL 2010

Gambar 2 Lokasi penelitian.

Secara geografis, Kabupaten Aceh Tenggara terletak pada posisi 30 55' 23"

(31)

kecamatan, 1 kelurahan, dan 249 Desa. Dengan luas wilayah 4.231,41 km2, 91,72 % diantaranya merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ( BBTNGL 2010).

4.2.1 Letak Administrasi

Secara administrasi Taman Nasional Gunung Leuser ( TNGL) terletak di dua Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam. Berbatasan dengan 9 kabupaten yaitu Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Langkat, Dairi, dan Karo (BBTNGL 2010).

4.2.2 Letak Geografis

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelastarian alam, seluas 1.094.692 ha yang terletak di dua Provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera utara. Kawasan TNGL berada pada koordinat 90º 35"- 98º30" BT dan 2º 50"- 4º 10" LU. Secara geografis, Kabupaten Aceh Tenggara terletak pada posisi 30 55' 23" – 40 16' 37" LU dan 960 43' 23" – 980 10' 32" BT. Di sebelah utara berbatasan dengan dengan Kabupaten Gayo Lues, di sebelah timur dengan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh Timur, di sebelah selatan dengan Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil dan Provinsi Sumatera Utara, dan di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Selatan (BBTNGL 2010).

4.2.3 Iklim

(32)

 

4.2.4 Kondisi Tanah

Jenis tanah di kawasan TNGL cukup beragam dari jenis aluvial, andosol, komplek podsolik, podsolik coklat, podsolik merah kuning, latosol, litosol, komplek rensing, organosol, regosol, humus, tanah gambut, tanah sedimentasi dan tanah vulkanik (BBTNGL 2010).

4.2.5 Topografi

Ditinjau dari segi topografi, kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari 0 meter dari permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih lebih dari 3000 mdpl, namun secara rata-rata hampir 80% kawasan memiliki kemiringan di atas 40%. Pengunungan berbukit dan bergelombang, sebagaian kecil arealnya berupa dataran rendah. Terdapat sedikitnya terdapat 33 bukit atau gunung yang tercatat sedang puncak tertinggi TNGL, yaitu 3.149m dpl (BBTNGL 2010)

4.2.6 Sosial Kemasyarakatan Penduduk

Masyarakat yang tinggal pada areal yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mayoritas adalah Suku Alas dan Gayo yang merupakan suku asli Aceh Tenggara. Kehidupan dijalankan dengan pola adat yang sangat erat, sistem kehidupan didominasi oleh pertanian. Melihat kondisi topografi yang berbukit dan jauhnya jarak dari ibukota propinsi penyebab wilayah ini terlambat mengalami pertumbuhan industri ataupun informasi. Sektor pertanian dan perkebunan adalah alat penunjang perekonomian yang didominasi oleh perdagangan. Secara umum ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, wilayah Aceh Tenggara termasuk Zona Pertanian. Potensi ekonomi daerah ini adalah kopi, kakao dan hasil hutan.

Tabel 2 Pertumbuhan penduduk Aceh Tenggara menurut kecamatan tahun 2006-2008

No Kecamatan 2006 2007 2008

1 Lawe alas 12.210 12.382 12.462

2 Babul rahman 7.510 7.616 7.665

3 Tanoh alas 4.175 4.234 4.261

4 Lawe Sigala 17.333 17.577 17.691

5 Babul makmur 11.656 11.820 11.897

6 Semadam 10.285 10.430 10.498

7 Leuser 3.403 3.451 3.473

(33)

9 Bukit tusam 9.379 9.511 5.487

10 Lawe sumur 5.376 5.452 9.573

11 Babussalam 23.962 24.300 24.457

12 Lawe bulan 14.729 14.937 1.504

13 Badar 12.327 12.501 12.582

14 Darul hasanah 11.005 11.160 11.233

15 Ketambe 8.558 8.679 8.735

16 Deleng pokhisen 4.933 5.003 5.035

Jumlah 171.933 174.371 175.501

Sumber : BPS Kabupaten Aceh Tenggara (2010)

Pertumbahan masyarakat yang terus mengingkat dari tahun ke tahun juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan lahan, baik itu untuk tempat tinggal dan areal pertanian disisi lain juga pembangunan yang terarah seiring perkembangan zaman juga membutuhkan lahan. Masyarakat desa hutan yang tinggal di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser masih mengangap hutan Gunung Leuser sebagai anugerah Tuhan, Oleh sebab itu bagi masyarakat awam sangat wajarlah memasuki kawasan Gunung Leuser untuk berkebun, berburu atau mengambil kekayaan yang ada di dalamnya untuk memenuhi kehidupan sehari hari.

Tebel 3 Disribusi luas wilayah, jumlah penduduk dan jumlah keluarga menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara.

No Kecamatan Luas (km2) Jumlah penduduk Jumlah Keluarga

1 Bubussalam 43,36 24.925 4.712

9 Semadam 35,34 11.532 2.407

10 Lawe Sigala 67,58 17.426 3.809

11 Babul makmur 51,18 13.318 2.979

Jumlah 4.231,41 169.409 34.613

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara, 2006.

(34)

 

kebutuhan akan lahan pertanian dan perkebunan yang merupakan sumber utama mata pencarian juga akan meningkat.

(35)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Masyarakat Desa

Penentuan responden masyarakat desa ditentukan berdasarkan pendekatan reputasional yaitu pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat desa seperti ketua adat, sesepuh desa, ulama, perangkat desa yang sedang menjabat dan masyarakat desa.

Tabel 4 Karakteristik masyarakat desa

No Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

1 Umur

17-25 tahun 4 13

25-50 tahun 17 57

>50 tahun 9 30

Total 30 100

2 Pedidikan Formal

Tidak sekolah 2 7

SD atau Sederajat 5 17

SMP atau Sederajat 9 30

SMA atau Sederajat 13 43

PT/akademi 1 3

4 Tingkat Pendapatan

< Rp. 500.000 3 10

Rp. 500.000 – 1.000.000 19 63

> Rp 1.000.000 8 27

Total 30 100

Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)

(36)

 

5.1.1 Kondisi Lahan dan Pemanfaatannya

Tabel 5 Kondisi lahan dan pemanfaatannya

No Kondisi lahan Frekuensi Persentase (100%)

1 Kondisi lahan

Terpusat 16 53

Menyebar 14 47

Total 30 100

2 Pemanfaatan lahan

Berkebun 13 43

Sumber : Data primer hasil wawancara (2010)

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa kondisi lahan oleh responden 53% terpusat pada suatu areal, namun 47% responden memiliki lahan yang menyebar di beberapa tempat, luas lahan yang dimiliki responden berkisar 0.5-2 ha. Sebagian besar responden, yaitu 43% memanfaatkan lahan untuk perkebunan kakao/coklat yang sedang menjadi tanaman utama masyarakat karena harga kakao yang tinggi, 20% untuk membuka sawah dan 20% untuk mendirikan bangunan seperti rumah dan pertokoan, sebagian kecil responden memanfaatkan lahan untuk peternakan.

5.2 Permasalahan dan Isu isu Startegis

5.2.1 Kemantapan Kawasan TNGL

Konsekuensi dari ditunjuknya TNGL sebagai taman nasional model adalah pada tahun 2009 sudah dilakukannya pembatasan wilayah secara keseluruhan atau temu-gelang (BBTNGL 2010). Penetapan kawasan ini harus dikawal sehingga proses negoisasi/klarifikasi hak-hak masyarakat di tingkat lapangan dapat dijamin terlaksana1.Terkhusus wilayah Aceh Tenggara mengingat lahan masyarakat berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Dominan masyarakat awam tidak mengetahui batasan yang dibuat2, masyarakat yang tinggal berbatasan/di dalam       

1 

Wawancara dengan Bapak Buana Kepala SPTN VI Badar, tanggal 9 Juni 2010 di Kantor BTNGL Kutacane.

2 

(37)

kawasan taman nasional adalah masyarakat yang marjinal, yang penuh kesederhanaan yang mereka tahu adalah bagaimana cara untuk hidup di tengah keterbatasan dan kemiskinan3. Jadi masyarakat tidak tahu/ tidak mau tahu tentang batasan wilayah yang menurut mereka juga membatasi pendapatan mereka3

5.2.2 Perambahan kawasan

Perambahan di kawasan Aceh Tenggara lebih mengarah pada penanaman tanaman subsisten dan tanaman pangan serta tanaman perkebunan (cash crop) dan telah sampai pada upaya penguasaan lahan dan telah terjadi jual beli lahan (BBTNGL 2010). Perambahan kawasan terjadi mengingat TNGL merupakan kawasan yang luas namun dengan pegawasan yang belum optimal. Jumlah kasus perambahan yang berhasil dipantau selama Maret 2009 adalah sebanyak 18 kasus untuk wilayah Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Dengan jumlah kasus tersebut, luas hutan yang dibuka diperkirakan mencapai 45,5 hektar (Nababan 2009).

Tabel 6 Jumlah kasus perambahan hutan dan luas hutan yang dirambah terpantau selama bulan Maret 2009 di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues.

No Kabupaten/Kota Jumlah Kasus Luas Hutan dibuka (ha)

1 Aceh Tenggara 5 14

2 Gayo Lues 13 31,5

Total 18 45,5

Sumber : Laporan Kegiatan staf Mobile Conservasion Unit (MUC) Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues Maret 2009

Gambar 3 Kebun coklat/kakao di kawasan TNGL.       

3

(38)

 

Saat ini masyarakat petani Aceh Tenggara sedang mengalami “demam” menanam coklat/kakao. Harga kakao yang tinggi tentunya menarik hati para petani, akibatnya semua lahan, baik itu kepemilikan mereka sendiri atau pun lahan hasil rambahan dimanfaatkan untuk mengembangkan jenis tanaman ini, bahkan masyarakat berani mengubah sawah menjadi kebun kakao, komoditi seperti kopi dan kemiri ada juga yang diubah menjadi tanaman kakao4. Ini merupakan relita yang juga didapati dalam areal Taman Nasional Gunung Leuser seperti yang terlihat pada Gambar 3. Masyarakat berani melakukan perambahan di kawasan taman nasional yang merupakan kawasan yang di peruntukkan sebagai kawasan konservasi1. Proses perambahan dilakukan meski memiliki sanksi hukum yang tegas dan medan tempat dilakukannya perambahan juga berbahaya kerena berada di kawasan yang terjal dan harus melewati sungai yang tidak dilengkapi dengan jembatan sebagai sarana penyeberangan yang aman, para perambah dan okmum yang sengaja dibayar5. Sebagai penanam kakao hanya melewati jembatan yang disebut lumpe (Gambar 4).

Gambar 4 Jembatan lumpe.

Perambahan dilakukan dengan cara membakar dengan luasan mencapai 3 ha per-Oknum4 seperti yang digambarkan pada Gambar 5. Setelah kawasan tersebut dibakar kemudian areal itu dijadikan lahan perkebun kakao yang dikelola

       4 )

Wawancara dengan Bapak Sabar Penanggung Jawab Sektor Gurah Ketambe, tanggal 10 Juni, di Ketambe 

5 )

Wawancara dengan Bapak Abdurrani, Kepala Desa Jambur Lak-lak, tanggal 15 Juni 2010, di Desa Jambur Lak-lak

(39)

bukan oleh pemilik tetapi mempekerjakan orang lain6. Pembayaran selama mengelola lahan, mulai dari penanaman, pemeliharaan tanaman sampai pemanenan dilakukan dengan sistem pembagian hasil saat musim panen7.

Gambar 5 Pembakaran Kawasan TNGL.

Pembakaran kawasan taman nasional secara umum bukanlah kesalahan masyarakat saja, karena fakta di lapangan menyatakan bahwa sampai saat ini umumnya masyarakat desa mengangap bahwa Leuser merupakan anugerah Tuhan yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja8. Perkembangan dunia yang lebih mengutamakan aspek ekonomi menjadi alasan terselubung oknum masyarakat dalam membuka lahan hingga sampai ke dalam kawasan taman nasional.

5.2.3 Koordinasi Antar Lembaga

Kurangnya koordinasi dan sinergitas program antara pihak kehutanan khususnya balai besar TNGL dan aparat penegak hukum juga merupakan sumber masalah. Selain itu kurangnya sinergitas dan integrasi program kegiatan antara instansi perencanaan daerah dan pusat dalam pembangunan infrasuktur tanpa pelibatan pemangku kawasan konservasi seringkali menimbulkan konflik lapangan antara Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (DIRJEN PHKA) dan instansi lain.

       6 

Wawancara dengan Bapak Awalludin Kepala Desa Lawe Mamas. tanggal 20 Juni 2010, di Desa Lawe Mamas 

7 

Wawancara dengan Bapak Ardin Sekertaris Desa Jambur Lak-lak, tanggal 20 Juni 2010 di Desa Jambur lak-lak 

8 

(40)

 

Penegakan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pementapan kawasan taman nasional. Efektifitas penegakan hukum sangat ditentukan oleh efektifitas kerja staff penegak hukum di internal Balai Besar Taman Nasional dan juga dipengaruhi oleh kinerja jajaran penegak hukum di luar Balai Besar Taman Nasional, yaitu pihak Polres, Kejaksaan, dan Pengadilan9. Rendahnya upaya penegakan hukum disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, belum efektifnya koordinasi antara penegak hukum, masih rendahnya pemahaman terhadap aspek dan proses hukum, pentingnya pembentukan wadah atau forum penegak hukum di tingkat kabupaten dan belum optimalnya pendampingan bantuan hukum (lawyer) (BBTNGL 2010).

Gunung Leuser memiliki daya tarik yang tinggi sehingga memanggil para

stakeholder untuk turut ambil bagian di dalamnya. Bila BBTNGL memiliki tugas yang langsung berada di bawah Balai Konservasi Sumberdaya Hutan Kementrian Kehutanan. Sejak akhir Tahun 2006, ada perkembangan menarik dalam dunia konservasi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), yaitu terbentuknya Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Wilayah Aceh. Kehadiran BP-KEL untuk mengelola dan meningkatkan manfaat kawasan ekosistem leuser (KEL) Aceh, bagi kesejahteraan rakyat tentu harus ditanggapi secara positif10. Tujuan mulia itu tentu juga harus dilakukan secara sistematis dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khusususnya di bidang kehutanan dan konservasi9. Pasal 10 UUPA menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga, badan, atau komisi dengan persetujuan DPRD NAD, kecuali yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Tata cara pembentukan lembaga/badan/komisi tersebut harus diatur di dalam Qanun Aceh (setara Peraturan Daerah). LSM juga berperan penting dalam perkembangan TNGL bahkan Yayasan Leuser Internasional (YLI) merupakan LSM yang menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di wilayah ini. Untuk saat ini stakeholder yang berperan di TNGL dapat dilihat dari gambar berikut

       9 

Wawancara dengan Bapak Idham Penanggung Jawab Yayasan Leuser Internasional (YLI), tanggal 8 Juni 2010 di Sekretariat YLI Badar.

10 

(41)

Gambar 6 Stakeholder yang berperan di TNGL.

Faktor penghambat yang menyebabkan lemahnya koordinasi antara pihak terjadi karena belum ada wadah dan mekanisme koordinasi yang disepakati antara pihak9. Masing masing lembaga masih terpaku pada tugas pokok dan fungsi masing-masing. Akibat dari lemahnya koordinasi para pihak, penyelesaian isu-isu penting yang berkembang di dalam kawasan TNGL seperti perambahan kawasan, illegal loging, pemukiman, pertumbuhan penduduk, degradasi sumberdaya alam serta rendahnya pendapataan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitra TNGL tidak tertangani dengan baik, padahal isu-isu tersebut hanya bisa diselesaikan dengan kolaborasi para pihak terkait 3.

5.2.4 Kesadaran dan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan

Kondisi masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan TNGL masih berada di bawah garis kemiskinan (35%) (BBTNGL 2010). Kehadiran TNGL secara nyata di lapangan belum mampu memberikan kontribusi bagi pemecahan permasalahan kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan dan peningkatan pendapat asli daerah (PAD) Seiring dengan paradigma otonomi daerah, permasalahan terbatasnya penguasaan lahan oleh masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, lahan yang tidak subur, teknologi yang minim, modal terbatas, pandangan usaha jangka pendek yang dalam waktu cepat dapat menghasilkan uang, dan pendampingan dari pihak pemerintah serta LSM yang lemah merupakan situasi nyata saat ini di lapangan. Di sisi lain, kearifan lokal tentang penggunaan sumberdaya, semangat kebersamaan dan gotong royong, serta kebiasaan

BBTNGL 

Masyarakat  desa hutan 

BP‐KEL 

(42)

 

musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan merupakan aspek positif dalam berkehidupan di tengah masyarakat yang marjinal yang dapat diambil sebagai faktor kekuatan dalam pengelolaan kawasan (BBTNGL 2010).

5.2.5 Koflik Sosial yang berkepenjangan

Kondisi Politik yang bergulir di Wilayah Nangroe Aceh Darusalam yang terjadi selama beberapa dekade juga mempengaruhi kondisi Leuser yang sebagian besar berada pada wilayah Aceh Tenggara. Puncak dari segala konflik berlangsung pada tahun 1998 pada saat itu wilayah Leuser tidak terkelola dengan baik karena berada pada keadaan yang mencekam karena dijadikan sebagai tempat pertempuran pihak yang bertikai11. Ketika konflik reda baik pengelola ataupun LSM belum mengetahui keadaan yang berubah dan saat itu ternyata dimanfaatkan oleh oknum masyarakat dan mengklaim luasan tanah sebagai kepemilikan pribadi6 yang kemudian ditanami tanaman perkebunan dan atau dijual kepada pihak lain.

5.3 Wujud konflik lahan

Menurut Wijardjo (1998) dalam Fuad dan Maskanah (2000), konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), konflik mencuat (emerging), dan konflik terbuka (manifest).

Tabel 7 Wujud konflik di Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak

Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)

Konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mencuat sebesar 60%. Masyarakat yang tinggal di kawasan yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional mengetahui konflik yang terjadi hanya 17%       

11

Wawancara dengan Bapak Kamat, Kepala Urusan Desa Jambur Lak-lak 25 Juni 2010 Desa Jambur Lak-lak

 

Wujud Konflik Frekuensi Persentase(100%)

Tertutup 7 23

Mencuat 18 60

Terbuka 5 17

(43)

konflik tersebut terbuka dan sampai keranah hukum. Jumlah 23% bukanlah persentase yang kecil untuk diabaikan penyelesaian/kesepakatan adalah jawaban agar hal-hal seperti ini tidak terulang.

Menurut wujudnya konflik yang terjadi di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser tertutup dalam waktu yang sangat lama, hal tersebut terjadi karena kecakapan para elit lokal (tokoh masyarakat) untuk meredam jenis konflik hingga tidak terbaca oleh pihak-pihak di luar wilayah TNGL. Hal senada dikatakan Fuad dan Maskanah (2000) bahwa konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yag tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutup kutup konflik, seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensi sekalipun.

Situasi politik yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 lalu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membuka lahan yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Pada saat itu kawasan taman nasional menjadi basis pertempuran antara pihak bersenjata12. Sejak itu areal kawasan taman nasional tidak dihuni dan tidak dikelola dengan baik. Pasca konflik berlangsung, ada rencana perdamaian yang dilakukan oleh kedua pihak, pada masa perdamaian inilah terjadi pengambilan keuntungan oleh orang tertentu, kawasan taman nasional yang tanpa pengelolaan dijadikan lahan pribadi untuk tujuan perkebunan.

Situasi konflik dikatakan mencuat jika masing-masing pihak yang berselisih mulai mengetahui adanya perselisihan dan kebanyakan permasalahnnya jelas namun proses penyelesaian masalahnya belum dilakukan. Konflik di TNGL mulai mencuat ketika hadirnya LSM. Kehadiran LSM memberikan wacana baru kepada masyarakat, dari segi wawasan, mereka memiliki cara pandang baru terhadap kasus yang terjadi dalam artian proses penyadaran akan pentingnya memiliki kekuatan yang sama dalam mengakses dan mengontrol sumber daya alam.

Meski potensi konflik terbuka hanya 17% ini dikarenakan masing masing pihak mencoba menghindari benturan fisik satu sama lain, meski telah ada tindakan nyata berupa penangkapan para pembakar lahan oleh petugas kepolisian. Dalam mengkonversi hutan masyarakat membuka hutan dengan cara dibakar, ini       

12 )

(44)

 

merupakan cara yang “murah meriah“ yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengelola luasan tanah yang diklaim atas kepemilikan mereka untuk dijadikan areal perkebunan1. Pembakaran areal taman nasional (Gambar 7) bukan perkara yang ringan karena sumberdaya baik itu flora dan fauna dalam mengalami gangguan karena habitat mereka dirusak.

Gambar 7 Areal taman nasional yang dibakar

Peristiwa yang sangat menarik akhir–akhir ini adalah jual beli lahan di areal kawasan Taman Nasioanal Gunung Leuser, tidak ada ijin atau surat pernyataan resmi dari pihak tertentu yang berwenang pada kawasan4 namun ada hal yang sangat menarik ketika ada okmun yang menganggap sebagai pemilik lahan di kawasan Gunung Leuser menjual kawasan taman nasional yang diklaim sebagai miliknya4 Tentu saja ini hal yang sangat menarik untuk menjadi bahan pembahasan Balai Besar Taman Nasional Gunung leuser.

5.4Penyebab Konflik Lahan Yang Terjadi di Kawasan Taman Nasional

Gunung Lauser.

Tabel 8 Penyebab konflik lahan di Desa Lawe Mamas dan Desa Jambur Lak-lak

Penyebab konflik Frekuensi Persentase (%)

Pembukaan lahan di kawasan TNGL untuk penanaman illegal

13 43

Klaim hak kepemilikan 5 17

Jual beli kawasan 4 13

Kebakaran hutan 6 20

Illegal Logging 2 7

TOTAL 30 100

Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)

(45)

terjadi di kawasanan Gunung Leuser adalah pembukaan lahan untuk penanaman

illegal di kawasan taman nasional dan 17% menyatakan bawah jenis konflik yang terjadi adalah klaim hak kepemilikan, kebakaran hutan sebesar 20%, selain itu jual beli kawasan hutan taman nasional 13% dari konflik yang terjadi, dan illegal logging juga menghiasi permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser.

Secara umum konflik yang terjadi di kawasan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah muncul sejak Tahun 1976 dengan munculnya organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 4yaitu sebuah organisasi yang menghendaki wilayah NAD keluar dari bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sempat menimbulkan konflik yang membatasi perkembangan ekonomi, informasi dan teknologi, masyarakat Aceh secara keseluruhan. Ini juga yang melatar belakangi terjadinya konflik di kawasan TNGL yang ternyata setelah ditelusuri disebabkan oleh hal yang berbeda-beda. Pada konflik penanaman illegal masih dilatar belakangi krisis ekonomi dan konflik sosial yang telah terjadi sejak tahun 1976 hingga puncaknya pada tahun 1998. Saat konflik bersenjata yang terjadi di wilayah Aceh secara keseluruhan TNGL tidak dikelola hingga kondisi kondusif. Pada saat kondisi sudah dikatakan aman sementara pihak pengelola dalam hal ini BTNGL belum aktif bertugas kembali saat inilah dimanfaatkan masyarakat untuk menanam taman coklat di kawasan TNGL.

Latar belakang konflik klaim hak kepemilikan dikarenakan masyarakat mengangap lahan taman nasonal yang mereka kelola adalah lahan milik mereka4, meski tanpa surat resmi masyarakat dapat menjual lahan tersebut. Sementara lahan tersebut bagian dari kawasan TNGL yang di peruntukkan untuk kelestarian.

Konflik pembakaran kawasan TNGL disebabkan saat oknum masyarakat ingin membuka perkebunan di kawasan TNGL, biasanya mereka membakar kawasan hutan terlebih dahulu, saat lahan siap penanaman kemudian dilaksanakan4. Meski kasus illegal logging sudah berkurang namun ini tetap menimbulkan konflik bagi masyarakat.

(46)

 

Karakteristik masyarakat Alas sangat menjunjung tinggi kekeluargaan. Meskipun kondisi topografi yang berbukit-bukit dan jauh dari pusat informasi dan teknologi, tetapi tetap membuat masyarakat merasa nyaman tinggal di kawasan ini dari generasi ke generasi dibanding merantau ke daerah lain karena wilayah Aceh Tenggara memiliki lahan yang subur. Ini menjadi menarik ketika pengelola, aparat penegak hukum dan pelaku bertemu yang secara tidak langsung adalah saudara dan tentu saja persoalan yang ada juga tidak bisa diselesaikan secara hukum. Proses seperti ini terus berlangsung yang tentunya hutan semakin mengalami kerusakan.

Tabel 9 Mekanisme penyelesaian konflik

No Mekanisme penyelesaian konflik Frekuensi Persentase(%)

1 Advoidance or exit 7 23

2 Mediasi 15 50

3 Negoisasi 8 27

Total 30 100

Sumber : Data primer hasil wawancara

Penyelesaian konflik selama ini dilakukan dengan cara mediasi (50%) yang melibatkan para aparat pemerintah seperti TNI dan polisi sebagai mediator. Pelibatan aparat keamanan karena dikenal tegas dalam menjalankan tugasnya terlebih pasca darurat militer dan konflik bersenjata yag terjadi beberapa tahun lalu. Konflik lahan yang terjadi juga dapat diselesaikan dengan negoisasi (27%) yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penyelesaian namun secara Advoidance or exit atau membiarkan masalah itu berlalu begitu saja tanpa penyelesaian (23%). Jika dibiarkan persoalan ini akan terus berlarut larut dan suatu saat akan nampak ke permukaan yang tentu saja akan menimbulkan dampak yang lebih besar.

(47)

No Pihak yang di libatkan Frekuensi Presentase (100%)

Sumber: Data primer hasil wawancara (2010)

Pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian konflik sebanyak 76% adalah TNI/POLRI, ini tidak terlepas dari latar belakang Aceh secara keseluruhan yag merupakan daerah pasca konflik. Tentunya peran TNI/POLRI sangat dekat dengan masyarakat hingga sampai saat ini masyarakat masih mengandalkan TNI/POLRI. Responden juga mengungkapkan peran pemuka agama sebesar 10% dalam penyelesaian konflik dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) sebesar 7% dan LSM 7%. Responden mengharapkan penyelesaian konflik harus didasarkan pada kepribadian masyarakat setempat khususnya masyarakat aceh Tenggara yang didominasi suku asli Alas dan Gayo yang pola kehidupan mereka adalah kekeluargaan. Maka teguran kesalahan baiknya dilakukan dengan kekeluargaan agar masyarakat tidak merasa dipojokkan atas ketidaktahuan/ kesalahan mereka. Untuk mengkaji konflik lahan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser yang tidak hanya berpusat pada aspek kelestaraian tapi juga aspek penghidupan manusia.

5.6 Rekomendasi Penyelesaian Konflik Bagi Pihak Taman Nasional Gunung

Leuser (TNGL)

5.6.1 Lakukan Tata Batas Ulang Secara Mufakat

(48)

 

mengetahui tentang pelaksanaan pembatasan ulang beserta kompensasi dan aturan yang harus disepakati. Jika pembatasan ulang tidak mungkin untuk dilaksanakan maka BBTNGL sebaiknya membangun patok-patok yang kokoh dengan jarak yang teratur sehingga batasan areal taman nasional jelas sehingga masyarakat mengetahui batas nyata di lapangan.

5.6.2 Tingkatkan Peran Para Ketua Adat dan Pemuka Agama

Pendekatan dengan menggunakan peran para tokoh adat dan pemuka agama didasarkan karakter masyarakat Alas yang bukan terkatagori sebagai masyarakat perantu, maka bukan hal yang asing jika pada saat ini Aceh Tenggara dikelola oleh masyarakat yang masih memiliki pertalian darah, meski memudahkan namun sangat dekat dengan prilaku nepotisme. Kondisi ini membuat sulit menciptakan supermasi hukum dalam pentelesaian setiap konflik atau sengketa yang terjadi. Meskipun demikian masyarakat Aceh Tenggara merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan agama. Dua karakteristik ini sangat baik digunakan dalam pelestarian dan pengendalian bagi oknum masyarakat yang memiliki inisiatif untuk memanfaatkan lahan di Kawasan Gunung leuser secara illegal. Peran tokoh adat dan tokoh agama sangat diperlukan sebagai media penyadaran sikap bagi masyarakat. BBTBGL dapat bekerjasama dengan pemuka adat agar membuat suatu kesepakatan dengan masyarakat adat bahwa keradaan hutan Gunung Leuser merupakan warisan nenek moyang yang wajib untuk dilindungi dan bagi siapa saja yang merusak dan memanfaatkan lahan tanpa ijin maka diberi sanksi secara adat. Sedangkan untuk tokoh agama dapat menyiarkan/memberitahukan dalam bentuk ceramah kepada masyarakat bahwa pengambilan lahan secara illlegal adalah tindakan yang dilarang oleh ajaran agama karena merugikan orang lain. Sehingga dengan pendekatan kedua tokoh penyampaian informasi kepada masyarakat lebih pasti.

5.6.3 Kerjasama Intensif Dengan Aparat Penegak Hukum

(49)
(50)

 

VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Isu konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser adalah pemantapan kawasan, perambahan kawasan, lemahnya koordinasi antar

stakeholder, kesadaran dan ekonomi masyarakat yang rendah serta konflik sosial yang berkepanjangan. Wujud konflik menurut masarakat desa hutan 60% mencuat namun tetap ada konflik yang masih tertutup sedangkan penyebab konflik menurut responden 43% disebabkan oleh pembukaan lahan untuk penanaman illegal.

2. Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi 50% konflik lahan diselesaikan dengan cara mediasi meski tetap ada konflik yang dibiarkan tanpa penyelesaian. Adapun pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian 76% TNI ataupun POLRI selain dengan bantuan pemuka agama.

3. Dalam penyelesaian konflik lahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, melakukan pembatasan ulang secara mufakat dengan melibatkan tokoh masyarakat dan agama akan menciptakan kesepakatan. Jika pembatasan ulang sulit dilakukan maka lakukan pembangunan pal batas yang kokoh dan tertata secara teratur agar masyarakat dapat mengetahui batasan yang jelas. Melibatkan tokoh adat dan agama dalam penyelesaian, penerapan hukum adat dan penguatan ajaran agama akan membentuk sikap mental yang kuat. Selain hukum agama dan adat, penegakan hukum negara merupakan hal yang sangat penting diterapkan, sehingga kerjasama secara intensif antara BBTNGL dan aparat keamanan perlu ditingkatkan.

6.2 Saran

(51)

DAFTAR PUSTAKA

[BBTNGL] Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. 2010. Rencana pengelolaan TNGL 2010-2029. BBTNGL : Medan

Fuad FH, Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan.Pustaka latin : Bogor

Masyhud. 2008. Mensejahterakan masyarakat pedesaan dengan hutan desa .[ 25 November 2009]

Muntakin A, Pasya GK. 2003. Dinamika Masyarakat Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta

Mega F. 2009. Pemetaan Substansi dan Perkembangan Kehutanan Multipihak Pasca Moratorium Logging oleh Pemerintah NAD. fakhrul.mega@gmail.com

Miall H, Woodhouse T, Ramsbottam O. 2002. Resolisi damai konflik kontemporer :menyelesaikan dan mengubah koflik bersumber politis, sosial, agama dan Ras. Penerjemah : Tri budhi satrio. PT Raja Grafido persada : Jakarta

Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada university Press. Yogyakarta.

Ngadiono. 2004. Pengelolaan Hutan Indonesia: Refleksi dan Prospek. Yayasan Andi Sanggoro : Bogor

Riyanto B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Bogor.

Redfield R. 1982. Masyarakat Petani Dan Kebudayaan. Dhakidae,Daniel [terjemahan ].-.Cv rajawali.

Sardjono MA. 2004.Mozaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politikus dan Kelestarian Sumberdaya.Debet Pess. Jogyakarta

Sitorus F.1998. Penelitian Kuatitatif suatu perkenalan. Kelompok ilmu ilmu sosial : bagor

Tokede M.J, Wiliam D, Widodo, Gandhi Y, Imburi C, Patresiahadi, Marwa J, Yu Fuai MC. 2005. Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua.CIFOR: Bogor

(52)

 

(53)

Lampiran 1 Peta pembagian wilayah kerja Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser

(54)

 

Stasiun Penelitian Ketambe Objek Wisata Lawe Gurah Ketambe

Sungai Lawe Alas batas alam TNGL Suasana Pedesaan Desa Lawe Mamas

(55)

Desa Lawe Mamas Kondisi Lahan di TNGL yang dirambah

Pal batas Primata di kawasan TNGL

(56)

 

 

Gambar

Gambar 1  Bagan alur pemikiran kajian konflik lahan TNGL.
Tabel 1  Tenik Pengumpulan data
Gambar  2 Lokasi penelitian.
Tabel 2  Pertumbuhan penduduk Aceh Tenggara menurut kecamatan tahun 2006-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Pasal 263 ayat (3) UU Pemda “RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang memuat tujuan, sasaran,

Hasil penelitian menunjukkan terdapat interaksi yang nyata (P&lt;0,05) antara legum dengan taraf cekaman kekeringan terhadap produksi bahan kering legum Stylosanthes guianensis dan

[r]

Challenge Motivated Gamers thrive whenever a game pushes their skill set of choice, but may be disinterested in games that fall too far away from the target.. Competition is a

Seven aspects of bias are excessive optimism, representativeness, overconfidence, herding effect, availability, confirmation, and framing in making life insurance purchasing

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peran Ganda Perempuan Pedagang di Pasar Jalan Trem Pangkalpinang menunjukkan sudah terjadi begitu saja dan tanpa ada

Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan lokasi terjadinya banjir dengan variabel yang digunakan yaitu kemiringan lereng dengan kriteria

95 dan lampiran 9 di halaman 111). 4) Menyiapkan media manik-manik yang akan digunakan dalam pembelajaran. 5) Menyiapkan blangko observasi terhadap kinerja guru dan aktivitas