• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Kerangka Teoritis Analisis Konflik dan Pengelolaan Konflik .1 Definisi dan anatomi konflik

2.1.2 Wujud dan sebab-sebab terjadinya konflik

Wijardjo et al. (2001) menyebutkan wujud konflik dapat tertutup (latent),

mencuat (emerging)dan terbuka (manifest), seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan sasaran dan perilaku dalam konflik (Fisher et al. 2000)

Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak yang tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Seringkali satu atau dua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensialpun. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tapi proses negosiasi dan resolusi masalahnya

TANPA KONFLIK KONFLIK TERTUT UP

belum berkembang. Sedangkan konflik terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai bernegosiasi, dan mungkin juga mencapai jalan buntu.

Bennett dan Neiland (2000), menyatakan bahwa konflik sifatnya multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam suatu hubungan yang kompleks. Lebih lanjut, disebutkan terdapat tiga dimensi yang mempengaruhi terjadinya konflik, yaitu: aktor, ketersediaan sumberdaya dan dimensi lingkungan.

Termasuk ke dalam dimensi aktor adalah pihak-pihak yang sedang berkonflik. Aktor dapat terdiri dari pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat lokal. Bentuk hubungan antar aktor sangat mempengaruhi bentuk resolusi konflik yang dapat diajukan. Bentuk hubungan tersebut dipengaruhi oleh pada tingkatan mana konflik tersebut terjadi (tingkat pusat, daerah atau masyarakat), kedudukan atau status masing-masing aktor tersebut (konflik dapat terjadi secara vertikal maupun horisontal), serta kekuatan masing-masing pihak yang berkonflik. Walaupun demikian Jabri (1996) mengingatkan bahwa menganalisis konflik melalui pola hubungan antar aktor relatif sulit, mengingat aktor yang secara relatif memiliki posisi dan kekuatan yang lebih baik akan cenderung lebih didengar dibandingkan dengan lawannya yang memiliki posisi dan kekuatan lebih lemah.

Ketersediaan sumberdaya berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) mengemukakan bahwa aktivitas yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dapat dikelompokkan ke dalam hubungan yang sinergistik, komplementer, kompetitif dan antagonistik. Dari ke empat model ini maka hubungan yang kompetitif dan antagonistik berpotensi menyebabkan konflik (baik konflik fisik, konflik biologis, sosial maupun ekonomi). Konflik pada umumnya terjadi karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya. Dalam menganalisis peranan ketersediaan sumberdaya terhadap terjadinya konflik, Bennett dan Neiland (2000) berpendapat bahwa interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan ekosistem juga harus mendapat perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lain secara keseluruhan.

Peranan lingkungan juga menjadi dimensi penting dalam menganalisis tipologi konflik. Hal ini disebabkan konflik pemanfatan sumberdaya alam terjadi karena sumberdaya alam dieksploitasi dengan tanpa memperhatikan nilai sesungguhnya (true value). Nilai sesungguhnya dari sumberdaya serta biaya kerusakan yang ditimbulkan sebagai akibat over eksploitasi dikenal dengan eksternalitas. Dalam hal ini eksternalitas seringkali tidak diperhitungkan ke dalam pemanfaatan sumberdaya. Schlager et al. (1992) menyebutkan tiga jenis eksternalitas yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, yaitu :

1) Appropriation externalities.

Dalam perhitungan ekonomi, ketika seorang nelayan menangkap ikan dari stok ikan yang tersedia di laut, proses tersebut meningkatkan biaya marjinal dari setiap tambahan ikan yang ditangkapnya sekaligus menurunkan manfaat marjinal dari setiap tambahan upaya penangkapannya. Dengan demikian, peningkatan biaya penangkapan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya berpengaruh pada nelayan yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan lainnya yang ikut memanfaatkan stok ikan tersebut.

2) Technological externalities.

Eksternalitas inimuncul ketika para nelayan secara fisik saling melakukan intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Technological externalities dapat didefinisikan sebagai terjadinya pelanggaran alat tangkap terhadap alat tangkap lainnya atau bentuk-bentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan melakukan penangkapan ikan sangat berdekatan satu dengan lainnya.

3) Assignment problems.

Assignment problems muncul ketika nelayan menangkap ikan secara tidak

terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri mereka secara efisien pada daerah tangkapan tersebut. Permasalahan muncul mengenai siapakah yang memiliki akses ke daerah produktif tersebut dan bagaimana akses tersebut harus ditetapkan/dibagikan. Kegagalan dalam memecahkan assignment problems dapat memicu konflik dan meningkatkan biaya produksi.

Dari pengalaman empiris maka konflik atas sumberdaya alam di berbagai daerah di Indonesia dapat digolongkan dalam konflik yang bersifat struktural, dengan melibatkan unsur-unsur lainnya. Pada pengelolaan perikanan tangkap, terdapat tujuh penyebab konflik seperti dijelaskan berikut ini (Anonimous 2002).

Pertama, konflik yang timbul karena persepsi politis yang keliru dalam

memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukannya otonomi daerah. Para nelayan menentukan sendiri batas-batas wilayah perairannya. Dengan persepsi demikian, kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah/kabupaten dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain. Dalam konflik jenis ini, biasanya tingkat kecanggihan peralatan tangkap bukan sebagai faktor utama, faktor utama konflik adalah asal-usul daerah/kabupaten nelayan.

Kedua, konflik yang terjadi karena perebutan daerah/lokasi tangkapan.

Daerah/lokasi demikian sudah dipersepsi oleh nelayan memiliki potensi perikanan yang cukup banyak. Nelayan-nelayan yang terlibat memiliki tingkat kualitas peralatan tangkap yang sama dan menangkap jenis sumberdaya perikanan yang sama. Fokus utama konflik adalah perebutan daerah/lokasi penangkapan.

Ketiga, konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas peralatan tangkap

antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas peralatan tangkap yang lebih rendah.

Keempat, konflik yang terjadi karena perbedaan kualitas peralatan tangkap

antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah penangkapan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan yang memiliki kualitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Hal ini dapat dicontohkan antara nelayan yang mengoperasikan jaring bergerak dengan nelayan yang mengoperasikan jaring menetap atau perangkap.

Kelima, konflik yang timbul karena pelanggaran batas wilayah perairan.

Misalnya, perairan pantai diperuntukkan untuk nelayan-nelayan tradisional, tetapi nelayan-nelayan yang memiliki peralatan tangkap lebih canggih menangkap jenis ikan yang sama di perairan pantai.

Keenam, konflik yang timbul karena operasi perahu sekelompok nelayan

tangkap mereka bisa berbeda tetapi menangkap jenis ikan yang sama dan berada dalam lokasi penangkapan yang sama.

Ketujuh, konflik yang timbul karena pelanggaran hak ulayat laut

masyarakat lokal. Hal ini bisa terjadi karena pelanggaran batas-batas perairan milik masyarakat adat oleh nelayan-nelayan lain atau pengambilan sumberdaya perikanan di wilayah perairan hak ulayat laut yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal, baik dilakukan oleh nelayan lokal, maupun nelayan lain.

Konflik perikanan tangkap umumnya muncul terkait dengan bagaimana mempertahankan kesejahteraan masyarakat di satu sisi, kepentingan industri dan kelestarian sumberdaya perikanan di sisi lain. Charles (1992) telah membuat model konseptual untuk menganalisis berbagai isu konflik perikanan. Kerangka tersebut dikenal sebagai paradigma segitiga (triangle paradigm) yang terdiri dari tiga isu, yaitu efisiensi, konservasi dan komunitas sosial.

Keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap membutuhkan partisipasi aktif dari stakeholder utama dan sekunder. Selanjutnya yang lebih penting adalah apakah ada koherensi antara tujuan yang diinginkan dengan yang dirasakan dari suatu sistem secara keseluruhan, dengan kepentingan kelompok stakeholder yang berbeda (Brown et al. 2001; Charles 1992).

Dalam pengelolaan sumberdaya alam sering diperdebatkan pentingnya menyatukan persepsi stakeholder dalam proses pengelolaan. Khususnya bagaimana persepsi stakeholder terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan bagaimana mereka dapat terlibat dalam proses pengelolaan tersebut. Berdasarkan pengalamannya di Tobbago, Brown et al. (2001) mengelompokkan stakeholder ke dalam suatu “kontinum” dan “pengaruhnya”. Kedudukan dalam kontinum menyatakan posisi stakeholder dalam kaitannya dengan wilayah kerja (global, nasional, regional dan lokal) serta posisi mereka dalam “melihat” situasi. Berdasarkan kriteria tersebut stakeholder dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:

1) Primary stakeholder, yaitu mereka yang memiliki kedudukan yang sangat

penting tetapi pada umumnya mereka menganggap bahwa mereka mempunyai pengaruh yang lemah.

2) Secondary stakeholder, adalah mereka yang mempunyai posisi cukup penting dan cukup memiliki pengaruh, mereka bisa saja terlibat secara langsung dan merupakan bagian integral dari pengelolaan perikanan.

3) External stakeholder, mereka dapat saja sangat mempengaruhi tetapi memiliki

kedudukan yang tidak terlalu penting dalam pengelolaan perikanan. Mereka memiliki pengaruh yang cukup signifikan karena kemampuannya melobi pihak atau organisasi lain.

Brown et al. (2001) menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di perikanan lebih banyak melibatkan primary dan secondary stakeholder yang banyak melibatkan masyarakat lokal.

Penyebab konflik dapat dikelompokkan ke dalam penyebab internal dan penyebab eksternal. Penyebab internal terkait dengan karakteristik individu atau kelompok yang berkonflik, sedangkan penyebab eksternal adalah semua faktor yang berada diluar kontrol individu atau kelompok. Berdasarkan hal itu, konflik yang disebabkan oleh faktor-faktor sebagaimana yang dikemukakan oleh Charles (1992) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab atau faktor eksternal.

Bradford dan Stringfellow (2001) menyatakan bahwa perbedaan karakteristik individu yang menjadi anggota kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan ini akan mempengaruhi outcome dari kelompok yang bersangkutan. Outcome dapat diukur dari kinerja kelompok, kreativitas dan kepuasan anggota terhadap outcome kelompok.

Jika ditinjau konstruksinya, maka konflik memiliki konstruksi yang multidimensional (Amason et al. 1995; Jehn 1995). Selanjutnya mereka mengelompokkan konflik menjadi: 1) affective conflict dan 2) task conflict. Gilbraith dan Stringfellow (2002) menjelaskan konflik afektif terjadi karena dua hal, yaitu: perbedaan kekuatan (power) dan komitmen. Suatu kelompok dimana perbedaan kekuatannya sangat besar akan cenderung mengalami friksi personal yang lebih tinggi ketimbang kelompok yang anggotanya berasal dari status sosial yang sama. Friksi juga dapat terjadi ketika sebagian anggota memiliki komitmen untuk menyelesasikan masalah sementara anggota yang lain bersikap masa bodoh terhadap masalah yang dihadapi oleh kelompok yang bersangkutan.

Task conflict disebabkan karena adanya perbedaan pengetahuan, kekuatan dan komitmen diantara anggota kelompok. Perbedaan keahlian dapat berwujud perbedaan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan anggota kelompok terhadap masalah yang dihadapi serta upaya memecahkannya. Adanya perbedaan keahlian ini dapat menyebabkan masing-masing anggota mengajukan pendekatan atau pandangan yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi, sehingga perbedaan tersebut pada akhirnya malah dapat menimbulkan konflik.

Bradford dan Stringfellow (2002) mengemukakan konflik dalam sebuah kelompok dapat disebabkan karena perbedaan kemampuan dan pandangan terhadap masalah atau tantangan yang dihadapi. Secara umum perbedaan tersebut terkait dengan karakteristik demografik yang dapat diamati (visible) seperti jenis kelamin, usia, dan latar belakang etnik. Milliken and Martins (1996) menambahkan faktor yang tidak dapat diamati langsung (unobservable diversity)

dan “deep level” (Harrison et al. 1998) seperti kepribadian dan tata-nilai yang

dianut. Dalam penelitiannya berhasil dibuktikan bahwa perbedaan atribut deep

level memberikan kontribusi terhadap kualitas output yang dihasilkan oleh

kelompok.

Ury (1993) berhasil mengidentifikasi faktor lain yang dapat memicu timbulnya konflik, yaitu: kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan status kekuasaan (power). Dalam proses resolusi konflik, pihak-pihak yang berkonflik umumnya akan berupaya mempertahankan ketiga faktor tersebut agar kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan untuk itu kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, dan dipertahankan.

Dokumen terkait