• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.2 Analisis Data

4.2.1 Wujud Tuturan Fatis

4.2.1.6 Wujud Tuturan Fatis Menolak

Tuturan fatis menolak merupakan subkategori berdasarkan kategoriacknowledgment. Wujud tuturan fatis berupa tuturan lisan. Tuturan yang dimaksud bisa dilihat dalam tabulasi dengan kode F. Berikut ini adalah analisis tuturan yang termasuk dalam kategori tersebut.

Tuturan F1 (a1 dan b1)

D: “Iya, spasi, titik dua, kurung, spasi, tidak ada hubungan positif. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian yg dilakukan oleh Prasetyo. Kan lebih enak ta? Titik. Prasetyo melakukan penelitian tentang pengaruh kecerdasan emosional dan perilaku belajar terhadap prestasi akademik mahasiswa jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya. Titik. Penelitian tersebut didasarkan atas fenomena, nah gitu jangan dideret. Bahwa mahasiswa jarang meraih prestasi belajar, yang sarat dengan kemampuan intelegensinya. Titik. Penelitian tersebut, dianalisis dengan menggunakan analisis regresi metode ganda. Hasil penelitian Prasetyo menunjukkan ada.”

M: “Pengaruh”

D: “Lha ya mbuh, apa? Iki prasetyo ngapa iki? (F1) M: “Tentang perilaku juga, Pak?”

D: “Ya ngapa? Ngapain? Apakah ada pertentangan dengan yang di sini?” M: “Hasilnya, Pak.”

(Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang dosen. Dosen menjelaskan bagaimana menulis kalimat yang baik dan benar (kalimat efektif).

Tuturan F1 yang berbunyi “Lha ya mbuh, apa? Iki prasetyo ngapa iki?”. Tuturan tersebut melibatkan dosen dan mahasiswa. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Penutur seorang dosen berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan.Tuturan terjadi pada

saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen menyetujui pendapat mahasiswa dalam menyusun kalimat efektif dalam proposalnya. Tuturan terjadi di ruang dosen.

Tuturan F1 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Tuturan F1 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis, karena pernyataan pada tuturan F1 mengandung pesan penting untuk mencapai tujuan komunikasi. Arimi (1998: 96) juga menjelaskan bahwa secara metodologis, penolakan tersebut akan lebih jelas, jika dibandingkan dengan aktivitas verbal nonbasa-basi, seperti marah atau serius. Penutur dapat mengakui kepada mitra tuturnya bahwa dia marah atau serius. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa basa- basi berkaitan dengan hal tegur sapa, sopan santun, dan ramah tamah. Ketiga hal tersebut menyangkut etika, tata susila, dan tata karma dalam pergaulan masyarakat. Basa-basi juga bermakna penolakan dari yang sebenarnya.basa-basi dipahami sebagai ungkapan yang tidak sungguh-sungguh, pura-pura, dan kebohongan.

Tuturan F1 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh mitra tutur, yaitu partikel „lha‟,„ya‟, dan „mbuh‟. Penanda fatis “lha” adalah penanda ketidaksantunan berbahasa yang dimaknai sebagai pengungkapan untuk

menunjukkan kekesalan atau kekecewaan.Sesuai dengan teori Kunjana, Yuliana, dan Rishe (2014) mengenai kategori fatis dalam ranah keluarga. Kemudian penanda fatis „ya‟ telah dijelaskan di beberapa tuturan yang lain dan penanda fatis

„mbuh‟ yang menyatakan bentuk penolakan berupa ketidakmauan atau

ketidakpedulian untuk menjawab ungkapan mitra tutur. Tuturan F1 sesuai denganteori yang dikemukakan Kridalaksana (1994: 117), kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F1 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F2 (a1 dan b1)

M: “Kalo kaya gini ini apa, Pak?” D: “Ini kan konstanta”

M: “Iya, Pak”

D: “Halah, kowe arep nganggo regresi ganda kok lali, kowe ngko

sinau meneh, wegah aku.” (F2) M: “Iya, Pak”

(Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang dosen. Dosen menolak untuk menjelaskan metode penelitian, dan menyuruh mahasiswa untuk belajar terkait metode tersebut).

Tuturan F2 yang berbunyi “Halah, kowe arep nganggo regresi ganda kok

lali, kowe ngko sinau meneh, wegah aku.”. Tuturan tersebut melibatkan dosen dan

dalam penyusunan skripsi. Penutur seorang dosen berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen menyarankan kepada mahasiswanya untuk membuat rancangan penelitian dengan mendeskripsikan dalam sebuah alur paragraf. Tuturan terjadi di ruang dosen.

Tuturan F2 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Tuturan F2 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis, karena pernyataan pada tuturan F2 mengandung pesan penting untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F2 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh mitra tutur, yaitu partikel „halah‟. Penanda fatis “halah” sebagai penanda

ketidaksantunan memiliki makna „menyepelekan‟ atau dapat juga digunakan

untuk menyampaikan maksud „kesembronoan‟. Tuturan F2 sesuai denganteori

kategori fatis dalam ranah keluarga menurut Kunjana, Yuliana, dan Rishe. Kridalaksana (1994: 117), kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F2 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F3 (a1 dan b1)

D: “Hanifah dan fransiska sama, sementara kamu kan menggunakannya berbeda, ini dijumlah, ya ra? Maka dari itu, meneliti kembali. Titik. Pada penelitian ini, ini ditambahkan. Aspek-aspek yang ada dalam perilaku belajar itu dijadikan satu. Gitu lho. Atau dijumlahkan atau digabung ya terserah. Bukti yang tepat yang mana. Ha ini berbeda, sehingga ini akan memberikan perbedaan, ha, ini jelaskan di sini”

M: “Njelaskane mriki ta, Pak?”

D: “Tambah meneh ya ra pa-pa, tambah ngono kuwi.”

M: “Tambahannya apa, Pak?”

D: “Ha, ya mbuh masa aku sing nambaih, masa aku, masa sing

nggarap aku,” (F3)

(Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang dosen. Dosen meminta mahasiswa memberikan penegasan mengenai teori yang digunakan sebagai pisau analisis. Namun, mahasiswa bertanya balik kepada dosen).

Tuturan F3 yang berbunyi “Ha, ya mbuh masa aku sing nambaih, masa

aku, masa sing nggarap aku,”. Tuturan tersebut melibatkan dosen dan mahasiswa.

Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Penutur seorang dosen berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen memberikan penjelasan agar mahasiswa membuat kalimat yang baik dan benar. Tuturan terjadi di ruang dosen.

Tuturan F3 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Tuturan F3 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis, karena pernyataan pada tuturan F3 mengandung pesan penting untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F3 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh mitra tutur, yaitu partikel „ya‟, „mbuh‟. Penanda fatis „ya‟ telah dijelaskan di beberapa tuturan yang lain dan penanda fatis „mbuh‟ yang menyatakan bentuk penolakan berupa ketidakmauan atau ketidakpedulian untuk menjawab ungkapan mitra tutur. Tuturan F3 sesuai denganteori Kridalaksana (1994: 117), kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F3 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F4 (a1 dan b1)

D: “Ha, itu yang kamu pikir. Mereka berbeda, apa mereka sendiri-sendiri,

siji? Bisa mungkin nanti, apa pendapatnya Warjono. Atau kamu mencoba untuk menganalisis bahwa apa mereka berdua itu tidak melihat gabungan empat hal ini sehingga pendapat mereka itu berbeda. Nah pada bab ini akan mencoba atau akan melihat hal itu. Nah ngono.

Dhong ra? Wis diasumsi, ana ra?”

M: “Mboten, Pak.”

D: “Hiss, ra ana ki piye? Ra bener nek kuwi. (F4)

(Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang dosen. Dosen meminta mahasiswa memberikan penegasan mengenai teori yang digunakan sebagai pisau analisis. Jawaban mahasiswa tidak memuaskan).

Tuturan F4 yang berbunyi “Hiss, ra ana ki piye? Ra bener nek kuwi.”. Tuturan tersebut melibatkan dosen dan mahasiswa. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Penutur seorang dosen berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen memberikan penjelasan bagaimana membuat paragraf yang baik. Mahasiswa berusaha memahami apa yang dijelaskan dosen. Tuturan terjadi di ruang dosen.

Tuturan F4 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Tuturan F4 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis,

karena pernyataan pada tuturan F4 mengandung pesan penting untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F4 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh mitra tutur, yaitu partikel „hiss‟ dan „piye‟. Penanda fatis „hiss‟ bersifat interjeksi yang menyatakan kekagetan, ketika pernyataan mitra tutur tidak sesuai dengan yang ditentukan sebelumnya. Sedangkan penanda fatis „piye‟ digunakan untuk menanyakan suatu keadaan yang membingungkan, adakalanya memiliki arti yang

sama dengan „bagaimana‟ dalam bahasa Indonesia.Tuturan F4 sesuai denganteori

Kridalaksana (1994: 117), kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F4 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F5 (a4 dan b3)

M: “Aku tuh sebenernya pengin ganti judul, yang tentang bikin RPP, tuh boleh nggak sih, Bu, sebenernya?”

D: “Ya, jane wis nggak boleh e, lha soalnya kalau RPP itu bisa njiplak di internet. Jadi, saya sarankan jangan pakai itu.” (F5)

M: “Oh, gitu ya, Bu, terus judulku yang kemarin pas seminar penelitian udah baik belum ya, Bu?”

D: “Udah mending lanjut itu aja.”

(Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di

ruang kelas. Mahasiswa bertanya perihal RPP dalam sebuah penelitian. Dosen menyarankan kepada mahasiswa untuk tidak menggunakan RPP karena bisa menjiplak. Tuturan terjadi di ruang kelas usai perkuliahan).

Tuturan F5 yang berbunyi “Ya, jane wis nggak boleh e, lha soalnya kalau RPP itu bisa njiplak di internet. Jadi, saya sarankan jangan pakai itu.”. Tuturan tersebut melibatkan dosen dan mahasiswa. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Penutur seorang dosen berusia 45 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 22 tahun, berjenis kelamin perempuan.Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Mahasiswa bertanya perihal RPP dalam sebuah penelitian. Dosen menyarankan kepada mahasiswa untuk tidak menggunakan RPP karena bisa menjiplak. Tuturan terjadi di ruang kelas usai perkuliahan.

Tuturan F5 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Tuturan F5 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis, karena pernyataan pada tuturan F5 mengandung pesan penting untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F5 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh mitra tutur, yaitu partikel „lha‟. Kategori fatis “lha” adalah penanda

ketidaksantunan berbahasa yang dimaknai sebagai pengungkapan untuk menunjukkan kekesalan atau kekecewaan. Tuturan F5 sesuai denganteori Kunjana, Yuliana, dan Rishe dalam kategori fatis dalam ranah keluarga. Kridalaksana (1994: 117), kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F5 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F6 (a3 dan b6)

M: “Terus kalau sangat tidak setuju itu, satu harus ada literaturnya ya Pak atau nggak?”

D: “Enggak, jadi literaturnya tuh ya sebenernya, emm apa ya,

literaturnya sebenarnya gini, yang penting skalanya sama.” (F6) M: “Oh, jaraknya itu ya, Pak?”

D: “Memberi 0-5-10-15 ya boleh saja, tapikan paling gampang ya 1 2 3 4

5.”

(Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang dosen. Dosen menjelaskan mengenai skala dalam penelitian mahasiswa. Tuturan terjadi di ruang dosen).

Tuturan F6 yang berbunyi “Enggak, jadi literaturnya tuh ya sebenernya, eh

apa ya, literaturnya sebenarnya gini, yang penting skalanya sama.”. Tuturan

tersebut melibatkan dosen dan mahasiswa. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Penutur seorang dosen

berusia 45 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen menjelaskan mengenai skala dalam penelitian mahasiswa. Tuturan terjadi di ruang dosen.

Tuturan F6 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Tuturan F6 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis, karena pernyataan pada tuturan F6 mengandung pesan penting untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F6 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh mitra tutur, yaitu partikel „tuh‟ dan „emm‟. Penanda fatis „tuh‟ digunakan untuk mempertegas penunjukkan terhadap suatu benda, hal maupun keadaan yang dibicarakan. Penanda fatis „emm‟ digunakan untuk memberi sedikit waktu untuk berpikir, mencerna dan memahami isi percakapan sebelum penutur memutuskan untuk menerima pernyataan pada sebuah tuturan. Tuturan F6 sesuai denganteori Kunjana, Yuliana, dan Rishe (2014) dalam kategori fatis dalam ranah keluarga. Kridalaksana (1994: 117), kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai,

mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F6 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F7 (a3 dan b6)

M: “Terus nanti yang pengambilan, misalkan kalau valid atau tidak, R hitung kan lebih besar dari apa, gitu ya, Pak. Itu kan teori tapi nanti pake harus ada buku sumbernya atau nggak? Atau pakai modul waktu PBS 1 itu boleh?”

D: “Ya, sebetulnya kalo dicari sumbernya ya valid, tapi kalo anu ya, apa emm, sebenernya kalau pake modul juga ngga kalau susah nyari bukunya pake modul itu ndak pa-pa.”

M: “Iya, Pak, sama sebenernya kemarin kalo abis nyebarin kuisioner di

SMK 1 Depok itu, minta surat dulu ya, Pak?” D: “Emm, sebetulnya ndak usah saja.” (F7)

(Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang dosen. Dosen memberi pertimbangan buku referensi yang akan dipakai sebagai landasan teori. Tuturan terjadi di ruang dosen).

Tuturan F7 yang berbunyi “Emm, sebetulnya ndak usah saja.”. Tuturan tersebut melibatkan dosen dan mahasiswa. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Penutur seorang dosen berusia 45 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 21 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen

menjelaskan mengenai skala dalam penelitian mahasiswa. Tuturan terjadi di ruang dosen.

Tuturan F7 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Tuturan F7 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis, karena pernyataan pada tuturan F7 mengandung pesan penting untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F6 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh

mitra tutur, yaitu partikel „emm‟. Kridalaksana (1994: 117), kategori fatis adalah

kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F7 merupakan tuturan fatis murni. Tuturan fatis murni yang dimaksud bukan basa-basi, karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan penting yang disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F8 (a4 dan b5)

D: “Gitu, ini kan sama semua.”

M: “Iya kemarin waktu saya utak-atik, 2 dua semua, 1.5 satu setengah

saya enter, nah saya enter lagi jarak yang kedua saya jadiin 2 malah jadi kejauhan banget.”

D: “Ah itu masalah ngaturnya aja kamu yang belum pas, kan bisa ini satu, terus itu lho, yang before/after itu loh itu kan ada itu kan bisa diatur, jadi nanti jaraknya 1.5. ya kira-kira 1.5. Ya, mungkin nggak pas 1.5, tapi kira-kira yang jelas jarak antar buku itu lebih besar daripada jarak antar baris yang satu judul. Contohnya, ada lah yang di skripsi-

skripsi itu. Nah untuk proposal ini, masih perlu direvisi.”(F8)

(Konteks tuturan: Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Dosen dan mahasiswa duduk berhadapan di ruang dosen. Mahasiswa menjelaskan kesulitan yang ditemukan ketika membuat spasi dalam proposal skripnya).

Tuturan F8 yang berbunyi “Ah itu masalah ngaturnya aja kamu yang

belum pas,”. Tuturan tersebut melibatkan dosen dan mahasiswa. Tuturan terjadi

pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Penutur seorang dosen berusia 45 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 22 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat mahasiswa berkonsultasi kepada dosen dalam penyusunan skripsi. Mahasiswa menjelaskan kesulitan yang ditemukan ketika membuat spasi dalam proposal skripnya. Tuturan terjadi di ruang dosen.

Tuturan F8 merupakan bentuk tuturan fatis, karena memiliki persamaan karakteristik dengan basa-basi. Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Tuturan F8 bukan merupakan wujud basa-basi meskipun mengandung unsur fatis,

karena pernyataan pada tuturan F8 mengandung pesan penting untuk mencapai tujuan komunikasi.

Tuturan F8 ditandai dengan adanya partikel fatis yang digunakan oleh

mitra tutur, yaitu partikel „ah‟. Penanda fatis “ah” pada umumnya dapat dimaknai

sebagai peranti untuk memberikan maksud penekanan atas rasa penolakan atau dapat juga maksud acuh tak acuh. Penanda fatis ini sesuai dengan teori Kunjana, Yuliana, dan Rishe dalam kategori fatis dalam ranah keluarga. Kridalaksana (1994: 117), kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa tuturan F8 merupakan tuturan fatis