• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta."

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Yulianti, Dewi. 2016. Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi, dan (2) mendeskripsikan makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripstif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah dosen dan mahasiswa pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan data berupa tuturan yang di dalamnya terdapat kefatisan. Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode simak dengan teknik sadap dan diikuti teknik lanjutan yang berupa teknik catat, dan metode cakap dengan teknik pancing. Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan metode padan ekstralingual, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa.

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang didasarkan pada subkategori acknowledgements, terbagi atas tuturan fatis murni, basa-basi murni, dan basa-basi polar, (2) makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi kategori acknowledgements yakni meminta maaf, salam, terima kasih, mengundang, menerima, dan menolak, untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, untuk memulai dan mengakhiri percakapan, untuk memecah kesenyapan, untuk menciptakan harmoni dan perasaan nyaman, untuk mengungkapkan kesantunan, dan menyampaikan pesan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan mengenai komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa. Komunikasi fatis yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa pada pembimbingan skripsi untuk memulai pembicaraan, mempertahankan komunikasi, dan menyampaikan informasi dengan mempererat fungsi sosial.

(2)

ABSTRACT

Yulianti, Dewi. 2016. Phatic Communication in Consultative Discourse of Thesis Guidance in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, Year 2015/2016. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research talks about the Phatic Communication in Consultative Discourse of Thesis Guidance in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, Year 2015/2016. The aims of this research are (1) describing the phatic form in consultative discourse of thesis guidance, and (2) describing the phatic pragmatic meaning in consultative discourse of thesis guidance in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, year 2015/2016.

This research is a descriptive qualitative research. The data source of this research was the lecturer and student in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, year 2015/2016. The data is in form of some conversations which contain phatic. The data gathering method was using observation method with extracting technique, and then followed by writing method, and conversation method with provoking technique. To analyze the data, the researcher used Extra-lingual Comparing Method, namely a method used to analyze extra-lingual element, such as connecting language matter with other matters outside language matter.

The conclusion of this research are (1) the phatic form in consultative discourse of thesis guidance in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, year 2015/2016, which is based on acknowledgements sub-category, is divided into pure phatic conversation, pure chit-chat, and polar chit-chat, (2) the phatic pragmatic meaning in consultative discourse of thesis guidance on acknowledgements category namely apologizing, greeting, expressing gratefulness, inviting, accepting, refusing, keeping conversation to continue, starting and ending conversation, breaking silence, creating harmony and comfortable feelings, expressing politeness, and conveying message.

This research is expected to be able to give contribution and knowledge related to phatic communication between lecturer and student. Phatic communication which is used by lecturer and student in thesis guidance to start conversation, maintain conversation, and giving information by strengthen social function.

(3)

i

KOMUNIKASI FATIS DALAM WACANA KONSULTATIF

PEMBIMBINGAN SKRIPSI

PADA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2015/2016

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh:

Dewi Yulianti 121224086

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Seiring dengan ucapan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan rahmat untuk kelancaran dalam setiap langkah saya, karya ini akan saya persembahkan untuk:

Ibu Ngatini, ibu tercinta saya yang tidak pernah bosan memberi dukungan dan selalu mendoakan dalam setiap langkah saya.

Bapak Sanwidi, selaku ayah saya yang telah menjadi ayah terbaik dalam hidup saya. Terima kasih untuk nasihat, motivasi, serta doa untuk saya.

Kakak-kakak saya, Siti Sholihah, Ngasipudin, Budiman, terima kasih kalian selalu menjadi kakak terbaik, tak pernah bosan mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan dan tak pernah berhenti memberikan

dukungan kepada saya.

(7)

v MOTTO

Dari semua hal, pengetahuan adalah yang terbaik, karena tidak dapat dicuri, tidak dapat dibeli, dan tidak dapat dihancurkan.

~ Hitopadesa ~

Learn From Yesterday, Live From Today, and Hope for Tommorow

~ Albert Einstein ~

Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil; kita baru yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik.

~ Evelyn Underhill ~

Pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis.

~ Aristoteles ~

Man jadda Wajada (Siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil)

~ Bahasa Arab ~

Berani dan tetap tenang dalam menghadapi keadaan sesulit dan serumit apapun.

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 3 Juni 2016 Penulis

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Dewi Yulianti

NIM : 121224086

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KOMUNIKASI FATIS DALAM WACANA KONSULTATIF PEMBIMBINGAN SKRIPSI

PADA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2015/2016 UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya meupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 3 Juni 2016 Yang menyatakan

(10)

viii

ABSTRAK

Yulianti, Dewi. 2016. Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi, dan (2) mendeskripsikan makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripstif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah dosen dan mahasiswa pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan data berupa tuturan yang di dalamnya terdapat kefatisan. Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode simak dengan teknik sadap dan diikuti teknik lanjutan yang berupa teknik catat, dan metode cakap dengan teknik pancing. Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan metode padan ekstralingual, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa.

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang didasarkan pada subkategori acknowledgements, terbagi atas tuturan fatis murni, basa-basi murni, dan basa-basi polar, (2) makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi kategori acknowledgements yakni meminta maaf, salam, terima kasih, mengundang, menerima, dan menolak, untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, untuk memulai dan mengakhiri percakapan, untuk memecah kesenyapan, untuk menciptakan harmoni dan perasaan nyaman, untuk mengungkapkan kesantunan, dan menyampaikan pesan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan mengenai komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa. Komunikasi fatis yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa pada pembimbingan skripsi untuk memulai pembicaraan, mempertahankan komunikasi, dan menyampaikan informasi dengan mempererat fungsi sosial.

(11)

ix ABSTRACT

Yulianti, Dewi. 2016. Phatic Communication in Consultative Discourse of Thesis Guidance in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, Year 2015/2016. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research talks about the Phatic Communication in Consultative Discourse of Thesis Guidance in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, Year 2015/2016. The aims of this research are (1) describing the phatic form in consultative discourse of thesis guidance, and (2) describing the phatic pragmatic meaning in consultative discourse of thesis guidance in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, year 2015/2016.

This research is a descriptive qualitative research. The data source of this research was the lecturer and student in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, year 2015/2016. The data is in form of some conversations which contain phatic. The data gathering method was using observation method with extracting technique, and then followed by writing method, and conversation method with provoking technique. To analyze the data, the researcher used Extra-lingual Comparing Method, namely a method used to analyze extra-lingual element, such as connecting language matter with other matters outside language matter.

The conclusion of this research are (1) the phatic form in consultative discourse of thesis guidance in Accounting Education Study Program of Sanata Dharma University at Even Semester, year 2015/2016, which is based on acknowledgements sub-category, is divided into pure phatic conversation, pure chit-chat, and polar chit-chat, (2) the phatic pragmatic meaning in consultative discourse of thesis guidance on acknowledgements category namely apologizing, greeting, expressing gratefulness, inviting, accepting, refusing, keeping conversation to continue, starting and ending conversation, breaking silence, creating harmony and comfortable feelings, expressing politeness, and conveying message.

This research is expected to be able to give contribution and knowledge related to phatic communication between lecturer and student. Phatic communication which is used by lecturer and student in thesis guidance to start conversation, maintain conversation, and giving information by strengthen social function.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan, dan saran yang sangat besar manfaatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Para Dosen PBSI yang telah mendidik dan memberikan pengetahuan yang berguna bagi penulis.

5. R. Marsidiq, selaku sekretariat PBSI yang telah membantu kelancaran selama perkuliahan.

6. Para Dosen Pendidikan Akuntansi yang telah mengizinkan dan membantu proses pengambilan data penelitian.

7. Bapak Sanwidi dan Ibu Ngatini yang telah memberikan dukungan doa dan bantuan baik secara material maupun spiritual.

(13)

xi

9. Adikku Meilani Safitri, yang selalu memberikan semangat dan menjadi teman bercerita yang asyik.

10.Teguh Wahyono, kekasih terhebat yang telah menemani dengan sabar selama di Kota Istimewa ini.

11.Teman-teman sepayung, Markus Jalu Vianugrah, Agnes Wiga, Alfonsus Novendi, dan Citra Astutiningsih, terima kasih untuk kerjasama dadukungannya dalam mengerjakan skripsi.

12.Teman-teman tercinta dari PBSI terutama Teresia Noberty, Hilarion Wahyu Prasetya Widhi, Septin Lovenia Indrati, Maria Oki Marlina Sinaga, Erlita Mega Ananta, Erwanda Wardani, Theresia Novita Dwi Puspitasari, Adi Desetyawan, Elicha Bonita Turnip, Didi Setiadi, terima kasih karena telah menjadi teman-teman terbaik.

13.Teman-teman Pendidikan Akuntansi, terima kasih karena telah membantu saya dalam mengumpulkan data penelitian.

14.Teman-teman yang hadir kemudian pergi dengan meninggalkan kesan-kesan dan pelajaran bermakna selama berkuliah di Jogja.

15.Serta semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membaca.

Yogyakarta, 3 Juni 2016

(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.5Batasan Istilah ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

2.1 Penelitian yang Relevan ... 8

2.2 Landasan Teori ... 10

2.2.1 Pragmatik ... 10

2.2.2 Fenomena Pragmatik ... 13

2.2.2.1 Deiksis ... 13

2.2.2.2 Praanggapan/Presuposisi ... 14

2.2.2.3 Implikatur ... 15

2.2.2.4 Kesantunan dalam Berbahasa ... 17

(15)

xiii

2.2.2.6 Kefatisan dalam Berbahasa ... 19

2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik ... 34

2.2.4 Kerangka Berpikir ... 43

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

3.1 Jenis Penelitian ... 48

3.2 Data dan Sumber Data ... 50

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 53

3.5 Triangulasi... 56

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 58

4.1 Deskripsi Data ... 58

4.2 Analisis Data ... 66

4.2.1 Wujud Tuturan Fatis ... 66

4.2.1.1 Wujud Tuturan Fatis Meminta Maaf... 68

4.2.1.2 Wujud Tuturan Fatis Salam ... 70

4.2.1.3 Wujud Tuturan Fatis Terima Kasih... 75

4.2.1.4 Wujud Tuturan Fatis Mengundang ... 82

4.2.1.5 Wujud Tuturan Fatis Menerima ... 100

4.2.1.6 Wujud Tuturan Fatis Menolak ... 118

4.2.2 Maksud Tuturan Fatis ... 138

4.2.2.1 Maksud Tuturan Fatis Meminta Maaf ... 139

4.2.2.2 Maksud Tuturan Fatis Salam ... 140

4.2.2.3 Maksud Tuturan Fatis Berterima Kasih ... 144

4.2.2.4 Maksud Tuturan Fatis Mengundang ... 149

4.2.2.5 Maksud Tuturan Fatis Menerima ... 161

4.2.2.6 Maksud Tuturan Fatis Menolak ... 171

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini akan dipaparkan mengenai: a) latar belakang, b) rumusan masalah, c) tujuan penelitian, d) manfaat penelitian. Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.

1.1Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan bahasa sebagai modal dasar dalam berkomunikasi. Tanpa komunikasi, seseorang tidak dapat berinteraksi dengan orang lain.Manusia berinteraksi agar dapat menjalin hubungan baik antara satu dengan yang lainnya. Bahasa merupakan jembatan penghubung untuk berinteraksi. Bahasa adalah alat komunikasi bagi manusia dalam menyampaikan ide, gagasan, ataupun pesan kepada orang lain. Melalui bahasa terungkap sesuatu yang ingin disampaikan pembicara kepada pendengar, penulis kepada pembaca, dan penyapa kepada pesapa. Bahasa mempunyai fungsi yang penting bagi manusia, terutama fungsi komunikasi.

(17)

What Effect? Paradigma Lasweel menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel, media), komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient), efek (effect, impact, influence). Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

Jakobson (Soeparno, 2013: 18-20) telah membagi fungsi bahasa atas enam macam, yakni fungsi emotif, konatif, referensial, puitik, fatis, dan metalingual. Ahli bahasa yang gagasannya terilhami oleh Karl Buhler ini mendasarkan pembagiannya pada tumpuan perhatian atau aspek. Seperti kita ketahui, bahasa memiliki enam aspek, yakni aspek addresser, context, message, contact, code, dan addresce. Apabila tumpuannya pada si penutur (addresser), fungsi bahasanya dinamakan emotif. Apabila tumpuan pembicaraan pada konteks (context), fungsi bahasanya disebut referensial. Apabila tumpuan pembicaraan pada amanat (message), fungsi bahasanya puitik (poetic). Apabila tumpuan pembicaraan pada kontak (contact), fungsi bahasanya disebut fatis (phatic). Apabila tumpuan pembicaraan pada kode (code), fungsi bahasanya disebut metalingual. Apabila tumpuan pembicaraan pada lawan bicara (addresce), fungsi bahasanya dinamakan konatif.

(18)

terlibat adalah fungsi puitik. Fungsi fatis digunakan sekadar untuk mengadakan kontak dengan orang lain yang sudah dikenal, selalu menggunakan fungsi fatik ini, dengan ucapan “Mangga!” yang maknanya tidak bermaksud „mempersilakan‟ mitra tuturnya; atau dengan kalimat tanya “Badhe tindak pundi?” yang maknanya tidak bermaksud „ingin tahu tujuan mitra tuturnya‟. Kesemuanya itu tiada ada

maksud lain kecuali sebagai alat kontak semata, alat untuk menunjukkan bahwa penutur memiliki hubungan (kontak) dengan mitra tutur. Orang Belanda menggunakan ucapan “Dag!” untuk tujuan yang sama seperti di atas.

Apabila yang dibicarakan masalah bahasa dalam hal menggunakan bahasa tertentu, maka fungsi bahasanya disebut metalingual. Selanjutnya apabila bahasa yang digunakan bertumpu pada lawan tutur, misalnya agar lawan bicara kita bersikap atau berbuat sesuatu, maka fungsi bahasa tersebut disebut konatif. Dalam fungsi konatif ini penutur meminta mitra tutur untuk berbuat sesuatu, atau mengendalikan mitra tutur untuk tidak berbuat sesuatu.

(19)

akan menjawab: ‟‟terima kasih…! Saya sudah makan atau saya sudah kenyang…!” Padahal, sejatinya kelaparan.

Komunikasi fatissangat diperlukan, sebab ketika kita berbicara langsung ke inti pembicaraan biasanya dianggap kurang sopan. Betapa pentingnya belajar untuk memahami seseorang ketika berkomunikasi supaya kita bisa melakukan basa-basi tanpa harus menyakiti, dan yang paling penting tidak bertentangan dengan aturan, adat istiadat dan tata karma yang berlaku dalam masyarakat.

Penggunaan komunikasi fatis dalam dunia pendidikan antara siswa dan guru maupun mahasiswa dan dosen bermanfaat untuk lebih mengakrabkan satu sama lain. Penggunaan komunikasi fatis dalam dunia pendidikan belum banyak diteliti. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi kasus yang berjudul “Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi

pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016Universitas Sanata Dharma Yogyakarta”.

1.2Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, penelitian ini berfokus pada permasalahan berikut ini: 1. Apa sajakah wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan

skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016Universitas Sanata Dharma Yogyakarta?

(20)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Mendeskripsikan maksud pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif

pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Pendidikan Akuntansi semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakartaini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini, yaitu:

a) Manfaat Teoretis

(21)

untuk membuka serta mempererat hubungan sosial penutur dan lawan tutur sebelum masuk ke inti pembicaraan.

b) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak kampus terutama antara dosen dan mahasiswa pada proses pembimbingan karya tulis ilmiah untuk membuka pembicaraan dan mempererat hubungan sosial yang harmonis dalam berkomunikasi. Demikian pula penelitian ini akan memberikan masukan kepada para praktisi untuk memahami pentingnya komunikasi fatis dalam lingkup pendidikan.

1.5Batasan Istilah

1. Pragmatik

Yule (2006: 3-6) mendefinisikan pragmatik adalah studi tentang maksud. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca).

2. Konteks

Rahardi (2005: 51) mendefinisikan konteks sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur.

3. Fatis

(22)

mempertahankan atau mengukuhkan pembicaraan antara penutur dan mitra tutur (Kridalaksana, 1994: 117).

4. Basa-basi

Menurut Arimi (1998: 95) basa-basi didefinisikan sebagai fenomena bahasa yang secara sadar dipakai oleh penutur, akan tetapi secara sadar pula tidak diakuinya ketika ditanyakan kebasa-basian itu.

5. Komunikasi

Harold Lasswell (Effendy, 2007:10) menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur yakni komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

6. Komunikasi Fatis

(23)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab kajian teori ini akan dipaparkan: 1) penelitian yang relevan, 2) landasan teori meliputi: pragmatik, fenomena pragmatik, dan konteks sebagai penentu makna pragmatik. Kedua hal tersebut akan dipaparkan pada subbab berikut ini.

2.1Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian dari Gusti Dinda Damarsasi (2014) yang berjudul “Basa-basi Berbahasa antara Siswa dan Karyawan di SMP Negeri 12 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014”,

Surahmatwiyata (2015) yang berjudul “Basa-basi Berbahasa antara Keluarga Bangsawan dan Abdi Dalem Kasultanan Yogyakarta”.

Hasil penelitian yang didapatkan oleh Gusti Dinda Damarsasi (2014) yang berjudul “Basa-basi Berbahasa antara Siswa dan Karyawan di SMP Negeri 12 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014” memiliki tujuan untuk mendeskripsikan

(24)

perhatian lawan bicara, mencairkan suasana, mempertahankan pembicaraan, menyela aktivitas lawan bicara, mengakhiri pembicaraan, menjaga hubungan baik dengan lawan bicara, menunjukkan keramahtamahan, kesopansantunan dan ketegursapaan. Maksud basa-basi subkategori acknowledgement memiliki maksud yang sama dengan dengan karakteristik kedelapan subkategorinya.

Hasil penelitian yang didapatkan oleh Surahmatwiyata (2015) yang berjudul “Basa-basi Berbahasa antara Keluarga Bangsawan dan Abdi Dalem Kasultanan Yogyakarta” memiliki tujuan mendeskripsikan wujud basa-basi

berbahasa, penanda linguistik dan nonlinguistik, maksud basa-basi berbahasa antara keluarga bangsawan dan abdi dalem kasultanan Yogyakarta. Wujud basa-basi berbahasa yang berupa basa-basa-basi menerima, basa-basa-basi menolak, basa-basa-basi berterimakasih, basa-basi meminta maaf, basa-basi memberi salam, basa-basi mengucapkan selamat, dan basa-basi mengundang. Penanda linguistik yang ada di dalam percakapan berupa nada tutur yang rendah, tekanan sedang, intonasi berita, dan diksi bahasa nonstandar. Penanda nonlinguistik dapat dilihat berdasarkan situasi percakapan. Maksud basa-basi berbahasa yaitu untuk memulai, mempertahankan atau mengukuhkan, menjalin relasi antara penutur dan mitra tutur, serta untuk menyampaikan berbagai maksud.

(25)

Penelitian yang dilakukan oleh Gusti Dinda Damarsasi dan Surahmatwiyata memiliki dua persamaan pada objek penelitian dan perumusan masalah yaitu bentuk atau wujud dan maksud penggunaan tuturan fatis. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Surahmatwiyata dengan peneliti, yaitu pada ranah penelitiannya. Surahmatwiyata melakukan penelitian pada ranah kehidupan sehari-hari kasultanan di Yogyakarta, sedangkan peneliti meneliti dalam ranah pendidikan. Selain itu, pada penelitian “Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif antara Dosen dan Mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam Proses Pembimbingan Skripsi Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016” ini, subjek yang diteliti bukan siswa dan karyawan di SMP Negeri 12 Yogyakarta maupun keluarga bangsawan dan abdi dalem kasultanan Yogyakarta, melainkan dosen dan mahasiswa Pendidikan Akuntasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Oleh karena itu, penelitian basa-basi berbahasa tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk mengkaji lebih dalam fenomena komunikasi fatis (basa-basi berbahasa) khususnya dalam ranah pendidikan. Peneliti berharap, hal itu dapat memperluas pengetahuan dan pemahaman mengenai penelitian komunikasi fatis.

2.2Landasan Teori

2.2.1 Pragmatik

(26)

pemakaian? Apa yang dilakukan penutur dalam tindak tutur itu? Tata tutur apa yang beroperasi sehingga bertutur itu serasi dengan penutur, teman tutur serta konteks alam tutur itu? (Tagor, 2008: 68).

Leech (1983) menyatakan bahwa pragmatik adalah ilmu tentang maksud dalam hubungannya dengan situasi-situasi (speech situation). Proses tindak tutur ditentukan oleh konteks yang menyertai sebuah tuturan tersebut, karena memang pragmatik mempelajari makna bahasa yang terikat konteks. Seperti halnya dalam bahasa mengenai komunikasi fatis, tuturan dikatakan fatis ditinjau dari konteks yang melingkupinya.

Cruse (200:16) dalam Cummings (2007: 2) definisi pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistic yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut.

(27)

Levinson (1983) dalam Rahardi (2005: 48-49) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Batasan Levinson itu, selengkapnya, dapat dilihat pada kutipan “Pragmatics is the study of those relations between language anda

context that are grammaticalized, or econded in the structure of a language”(Levinson, 1983:9). Parker (1986) dalam bukunya Linguistics for

Non-Linguists menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan hal itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Definisi Parker itu selengkapnya dapat dilihat pada kutipan “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure

of language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate” (Parker, 1986:11). Jacob L. Mey (1983) mendefinisikan pragmatik sebagai ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Berikut kutipannya “Pragmatics is the study of the conditions of human language uses as these are determined by the context of society(Mey, 1993: 42).

(28)

Dari definisi berbagai ahli, dapat peneliti simpulkan bahwa pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan konteks situasi, sehingga mitra tutur memahami apa maksud penutur yang sebenarnya.

2.2.2 Fenomena Pragmatik

2.2.2.1Deiksis

Yule (2006: 13) mendefinisikan, deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti „penunjukkan‟ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk

menyelesaikan „penunjukkan‟ disebut ungkapan deiksis. Ketika Anda menunjuk

objek asing dan bertanya, “Apa itu?”, maka Anda menggunakan ungkapan deiksis

(“itu”) untuk menunjuk sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba.

Ungkapan-ungkapan deiksis kadangkala juga disebut indeksikal.

Yule (2006: 15-22) membagi deiksis menjadi tiga, yaitu deiksis persona (kata ganti orang pertama „saya‟, orang kedua „kamu‟, dan orang ketiga „dia laki -laki‟, „dia perempuan‟, atau „dia barang/sesuatu‟), deiksis tempat (misalnya, „di

sana‟, „di sini‟), dan deiksis waktu (misalnya, „kemarin‟, „besok‟, „hari ini‟, „nanti

malam‟, „pekan depan‟, „pekan lalu‟, „pekan ini‟)

(29)

pula siapa, di tempat mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Kata deiktis dapat pula dipakai sebagai “barang mainan”; yang dipermainkan adalah

referen yang tidak jelas karena tidak disertai konteksnya (Purwo, 1990: 17). 2.2.2.2Praanggapan/Presuposisi

Menurut Rahardi (2005: 42) Sebuah tuturan dikatakan mengpraanggapkan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat dikatakan. Tuturan yang berbunyi Mahasiswa tercantik di kelas itu pandai sekali. mempraanggapkan adanya seorang mahasiswa yang berparas sangat cantik. Apabila memang pada kenyataannya ada seorang mahasiswa yang berparas sangat cantik di kelas itu, tuturan itu dapat dinilai benar atau salahnya.

Jika suatu kalimat diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, turut tersertakan pula tambahan makna, yang tidak dinyatakan, tetapi tersiratkan dari pengucapan kalimat itu. Misalnya seperti yang terjadi pada konteks berikut. Saya menitipkan barang saya kepada seseorang (yang tinggal di kota lain) untuk dijualkan, tetapi sudah lama sekali orang yang saya titipi barang itu tidak juga memberi kabar dan mengirimkan uang hasil penjualan barang saya itu. Amatilah kalimat yang saya ucapkan kepada orang itu pada waktu saya meneleponnya, berikut ini.

(30)

Yang dinyatakan (asserted) pada kalimat-kalimat itu adalah pemberitahuan mengenai cara pengiriman uang dan alamat kantor, tetapi yang dipraanggapkan (presupposed) adalah bahwa orang yang ditelepon itu masih memiliki tanggungan yang harus dibereskan pada suatu waktu. Kalimat-kalimat pada […] dapat pula dikatakan sebagai “pengingatan” (terhadap kewajiban

membayar) yang terselubung (Purwo, 1990: 19). 2.2.2.3Implikatur

Wijana (1996: 37-38) dalam (Nadar, 2009: 63) menjelaskan bahwa sebuah tuturan memang dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan yang bersangkutan. Karena implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan kedua proposisi itu bukan merupakan konsekuensi mutlak. Contohnya sebagai berikut:

(+) Ali sekarang memelihara kucing. (-) Hati-hati menyimpan daging.

Tuturan (-) bukan merupakan bagian dari tuturan (+) karena tuturan (-) muncul akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang pengetahuan tentang kucing dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang makan daging.

(31)

dimengerti. Grice (1975) di dalam artikelnya yang berjudul “Logic and Conversation” menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang dimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan.

Tuturan yang berbunyi „Bapak datang, jangan menangis!‟ Tidak

semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah dating dari tempat tertentu. Si penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang bersikap keras dan sangat kejam itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia masih terus menangis. Dengan perkataan lain, tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah adalah orang yang keras dan sangat kejam, sering marah-marah pada anaknya yang sedang menangis. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud tuturan itu bersifat tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.

Jika ada dua orang yang bercakap-cakap, percakapan itu dapat berlangsung dengan lancar berkat adanya semacam “kesepakatan bersama:.

(32)

2.2.2.4Kesantunan dalam Berbahasa

Bahasa yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan dari dirinya sendiri. Bahasa dapat menilai harkat dan martabat seseorang di mata orang lain. Kemampuan berbahasa secara santun menunjukkan kepribadian yang santun pula. Inilah salah satu alasan, memperhatikan kesantunan dalam berbahasa menjadi suatu hal terpenting dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial.

Bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun sedemikian rupa oleh penutur/penulis agar apa yang disampaikan/dituliskan tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Ketika penutur menggunakan bahasa dalam bersosialisasi, maka penutur harus memperhatikan kaidah berbicara dengan baik dan benar. Bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku. Begitu juga ketika seseorang sedang menulis cerpen, mereka menggunakan kaidah bahasa sesuai dengan peran tokoh yang sedang diperankan. Namun, kedua hal tersebut tidaklah cukup. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunana (Pranowo, 2009: 4-5).

(33)

2.2.2.5Ketidaksantunan dalam Berbahasa

Ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dikenali dari penanda-penanda ketidaksantunannya (impoliteness markers), baik penanda ketidaksantunan yang bersifat pragmatik maupun penanda ketidaksantunan linguistik. Salah satu penanda ketidaksantunan itu adalah kata-kata fatis. Locher dan Watts (2008) berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior). Dikatakan demikiann karena hal tersebut melanggar norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Di dalam pandangan Miriam A Locher (2008) ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai „impolitenes behavior that is face-aggravating in particular context‟.

Ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku berbahasa yang memperburuk „muka‟ mitra tutur pada konteks kebahasaan tertentu. Ketidaksantunan itu

menunjuk pada perilaku „melecehkan‟ muka (face-aggravate). Pemahaman lain yang berkaitan dengan definisi Locher tentang ketidaksantunan berbahasa adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku yang „melecehkan muka‟, melainkan perilaku yang „memain-mainkan muka‟. Oleh

karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketidaksantunan berbahasa yang bersifat melecehkan dan memain-mainkan muka pada konteks tertentu sebagaimana dilambangkan dengan makna kata „aggravate‟ itu.

Pemahaman Culpeper (2008) tentang ketidaksantunan berbahasa dapat disebutkan sebagai berikut, „Impoleteness, as I would define it, involves communicate behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived

(34)

atau „kehilangan muka‟. Sebuah tuturan dianggap tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut „merasa‟ kehilangan muka.

Bousfield (2008) mengemukakan bahwa ketidaksantunan berbahasa dipahami sebagai berikut: „…the issuing of intentionally gratuitous and

conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully performed‟. Bousfield memberikan penekanan pada dimensi „kesembronoan‟ dan dimensi

konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka dan dilakukan secara sembrono (gratuitous) yang mengakibatkan konflik atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebuut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan dalam praktik berbahasa.

Ketidaksantunan berbahasa dapat dicermati melalui penanda ketidaksantunan berbahasa yang terdapat dalam konteks. Dengan mengenali penanda-penanda ketidaksantunan berbahasa, seseorang dapat mempertimbangkan bentuk-bentuk lain agar komunikasi terjalin dengan santun.

2.2.2.6Kefatisan dalam Berbahasa

(35)

Basa-basi didefinisikan sebagai ungkapan atau tuturan yang dipergunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi (KBBI, 2008: 143).

Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion atau komunikasi fatis digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Dalam teori Malinowski lebih memandang komunikasi fatis sebagai sarana untuk menjaga hubungan sosial yang baik antara penutur dan mitra tuturnya. Sarana tersebut berupa topik pembicaraan ringan yang dituturkan penutur kepada mitra tuturnya.

Jakobson (1980) mendefinisikan komunikasi fatis sebagai tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi, untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi dan untuk menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar lawan bicara tetap memperhatikan. Teoeri komunikasi fatis Jakobson ini lebih menitikberatkan atau memfokuskan fungsi komunikasi fatis sebagai media yang digunakan oleh penutur untuk mengantarkan ide atau isi pembicaraan kepada mitra tuturnya.

Kridalaksana (1986: 111) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan tuturan yang digunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan antara pembicara dan kawan bicara.

(36)

pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan keadaan keluarga. Ungkapan-ungkapan yang digunakan tidak dapat diartikan atau diterjemahkan secara harfiah. Misalnya dalam bahasa Indonesia ada ungkapan seperti apa kabar?, bagaimana kabar keluarga di rumah?, mau kemana nih?, dan sebaganya. Oleh karena itu, penggunaan suatu bahasa tidak akan lepas dari basa-basi, namun berbeda kadar penggunaannya. Penggunaan paling besar dalm percakapan yang bertujuan untuk memelihara komunikasi, dimana ungkapan itu hanya untuk bersopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi.

(37)

Basa-basi memiliki peranan penting dalam komunikasi. Hal yang ingin ditunjukkan penutur kepada mitra tutur sebenarnya adalah sikap, bukan isi pembicaraan. Penutur menunjukkan suara, perkataan, dan bahasa tubuh tertentu yang dilazimkan dalam masyarakat bahasa. Penutur dapat saja bertanya “Mau kemana, Pak?”, namun biasanya penutur tidak bermaksud untuk mengetahui

tujuan mitra tutur saat pergi. Penutur hanya ingin mempertahankan hubungan baik mereka. Setiap masyarakat bahasa mempunyai cara sendiri-sendiri dalam menggunakan bahasa untuk keperluan basa-basi.

Arimi (1998:171) dalam tesisnya membagi basa-basi menjadi dua yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, maksudnya apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang dipakai hampir sama, misalnya: selamat siang, selamat datang, mengucapkan terima kasih, pamit, dll. Sedangkan basa-basi polar yaitu tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, dimana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Berikut ini contoh pemakaian basa-basi murni.

(1) Karyawan: “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” (2) Direktur: “Siang. Mana data yang saya minta diserahkanhari ini?”

(Konteks: seorang karyawan memasuki ruang direkturnya.)

(38)

dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul yang menandai realitas siang.

Berbeda dengan basa-basi murni, dalam basa-basi polar orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Berikut ini merupakan contoh basa-basi polar.

(3) Tuan rumah: Mari makan.

(4) Tamu: Saya baru saja (makan), Pak, Bu, terima kasih.

(Konteks: seseorang bertamu saat tuan rumah dan keluarganya sedang makan.)

Tuturan (3) Tuan rumah: “Mari makan” menunjukkan tuturan yang tidak

sebenarnya karena tuan rumah melihat tamu datang saat mereka makan. Sebagai sopan santun tuan rumah menawarkan makan pada tamu tersebut dan bukan bersungguh-sungguh menawarkan makanan. Tuturan (4) Tamu: “Saya baru saja makan” menunjukkan tuturan yang tidak sebenarnya. Tuturan sang tamu bukan

bersungguh-sungguh menyakinkan tuan rumah bahwa dia sudah makan, melainkan hanya untuk sopan santun menolak untuk makan bersama tuan rumah (Sailal Arimi, 1998: 171).

(39)

menanyakan keadaan seseorang, mengatakan terima kasih, memberi selamat, dan sebagainya. Oleh sebab itu, basa-basi dikatakan sebagai bagian dari fenomena pragmatik.

Basa-basi dapat dikatakan sebagai tindak tutur ilokusi komunikatif. Ibrahim (1993:16) mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi komunikatif kedalam Skema Tindak Tutur (STT). STT tersebut didasari atas maksud ilokusi, atau sikap yang terekspresikan, yang digunakan untuk membedakan tindak-tindak ilokusi yang semuanya homogen. Tindak itu diidentifikasi oleh maksud-maksud yang ada dalam tindak itu (pengenalan mitra tutur terhadap sikap yang diekspresikan penutur), ciri-ciri pembeda setiap tipe tindak ilokusi menspesifikasi hal-hal yang harus mitra tutur identifikasi dalam tahap akhir STT.

(40)

dan kepercayaan tertentu seperti itu. Yang termasuk dalam acknowledgements adalah apologize, condole, congratule, greet, thank, bid, accept, reject.

Basa-basi sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak masuk dalam klasifikasi acknowledgements. Hal ini dapat dilihat dari pengertian acknowledgements yaitu merupakan tuturan yang mengekpresikan perasaan mengenai mitratutur atau---dalam kasus-kasus dimana ujaran berfungsi formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu seperti itu. Ibrahim (1993:37) menjelaskan Acknowledgements itu sering disampaikan bukan karena perasaan yang benar-benar murni tetapi karena ingin memenuhi harapan sosial sehingga perasaan itu perlu diekspresikan. Maksudnya basa-basi berfungsi hanya untuk sopan santun saja. Berikut tuturan yang termasuk Acknowledgement.

1. Apologize (meminta maaf)

Apabila seseorang mengekspresikan penyesalan karena telah melakukan sesuatu yang bisa disesalkan, atau mitra tutur menyikapi ujaran petutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan meminta maaf.

2. Condole (berduka cita)

(41)

3. Congratulate ( mengucapkan selamat)

Apabila seseorang mengekspresikan kegembiraan karena adanya kabar baik, atau mitra tutur menyikapi ujaran petutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan mengucapkan selamat.

4. Greet (salam)

Apabila seseorang mengekspresikan rasa senang karena bertemu seseorang. atau mitra tutur menyikapi ujaran petutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan salam.

5. Thank (berterimakasih)

Apabila seseorang mengekpresikan terimakasih karena mendapatkan bantuan atau mitra tutur menyikapi ujaran petutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan berterimakasih.

6. Bid (mengundang)

Apabila seseorang mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi atau mitra tutur menyikapi ujaran petutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan mengundang.

7. Accept (menerima)

(42)

8. Reject (menolak)

Apabila seseorang mengekspresikan penghargaan acknowledgement atau mitra tutur menyikapi ujaran petutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan menolak.

Komponen dan klasifikasi tindak tutur ilokusi tersebut dapat digunakan sebagai faktor pendukung di luar kebahasaan untuk menganalisis basa-basi bahasa Prancis yang ada dalam drama Les Justes.

Kategori fatis ini boleh dikatakan merupakan penemuan baru dalam linguistik Indonesia. Istilah itu diilhami oleh konsep Malinowski (1923) phatic communion (Kridalaksana, 1994: 117).

Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks dialog atau wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara.

Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan. Karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.

(43)

Kategori fatis mempunyai wujud bentuk bebas, misalnya kok, deh, atau selamat, dan wujud bentuk terikat, misalnya –lah atau pun.Bentuk kategori fatis terbagi atas:

1) Partikel dan kata fatis

a) Ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh, misalnya: “Ayo ah kita pergi!”

b) Ayo menekankan ajakan, misalnya: Ayo kita pergi!”

Ayo mempunyai variasi yo bila diletakkan di akhir kalimat. Ayo juga bervariasi dengan ayuk dan ayuh.

c) Deh digunakan untuk menekankan:

(1) Pemaksaan dengan membujuk, misalnya: “makan deh, jangan malu-malu.”

Dalam hal ini deh berdekatan tugasnya dengan partikel –lah. (2) Pemberian persetujuan, misalnya: “boleh deh.”

(3) Pemberian garansi, misalnya: “makanan dia enak deh!” (4) Sekedar penekanan, misalnya: “saya benci deh sama dia.” d) Dong digunakan untuk

(1) Menghaluskan perintah, misalnya: “bagi dong kuenya.”

(2) Menekankan kesalahan kawan bicara, misalnya: “ya jelas dong.”

e) Ding menekankan pengakuan kesalahan pembicara, misalnya: “bohong ding!

(44)

(1) Memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon, misalnya: “halo, 345627!”

(2) Menyalai kawan bicara yang dianggap akrab, misalnya: “halo Martha, ke mana aja nih?”

g) Kan apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka kan merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah, dan tugasnya ialah menekankan pembuktian, misalnya: “kan dia sudah tahu?”

Apabila kan terletak di tengah kalimat, maka kan juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan, misalnya: “tadi kan sudah dikasih tahu!”

h) Kek mempunyai tugas

(1) Menekankan pemerincian, misalnya: “elu kek, gue kek, sama saja.”

(2) Menekankan perintah, misalnya: “cepetan kek, kenapa sih?” (3) Menggantikan kata saja, misalnya: “elu kek yang pergi!”

i) Kok menekankan alasan dan pengingkaran, misalnya: “saya Cuma melihat saja kok!”

Kok dapat juga bertugas sebagai pengganti kata tanya mengapa atau kenapa bila diletakkan di awal kalimat, misalnya: kok sakit-sakit pergi juga?”

(45)

k) Lho bila terletak di awal kalimat, bersifat seperti interjeksi yang menyatakan kekagetan, misalnya: “lho, kok jadi gini sih?”

Bila terletak di tengah atau di akhir kalimat, maka lho bertugas menekankan kepastian, misalnya: “saya juga mau lho.”

l) Mari menekankan ajakan, misalnya: mari makan.”

m) Nah selalu terletak pada awal kalimat dan bertugas untuk minta supaya kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal lain, misalnya: “nah, bawalah uang ini dan belikan aku nasi sebungkus.”

n) Pun selalu terletak pada ujung konstituen pertama kalimat dan bertugas menonjolkan bagian tersebut, misalnya: “membaca pun ia tidak bisa.”

o) Selamat diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau mengalami sesuatu yang baik, misalnya: “selamat ya.”

p) Sih memiliki tugas:

(1) Menggantikan tugas –tah, dan –kah, misalnya: “apa sih maunya tuh orang?”

(2) Sebagai makna „memang‟ atau „sebenarnya‟, misalnya: “bagus sih bagus, Cuma mahal amat.”

(3) Menekankan alasan, misalnya: “abis Gatot dipukul sih!”

(46)

(1) Mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara, bila dipakai pada awal ujaran, misalnya:

(Apakah rencana ini jadi dilaksanakan?) “ya tentu saja.”

(2) Minta persetujuan atau pendapat kawan bicara, bila dipakai pada akhir ujaran, misalnya: “jangan pergi, ya!”

s) Yah digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi tidak pernah di akhir ujaran, untuk mengungkapkan keragu-raguan atau ketidakpastian terhadap apa yang diungkapkan oleh kawan bicara atau yang tersebut dalam kalimat sebelumnya, bila dipakai pada awal ujaran; atau keragu-raguan atau ketidakpastian atas isi konstituen ujaran yang mendahuluinya, bila dipakai ditengah ujaran, misalnya: “yah, apa aku bisa melakukannya?”

2) Frasa fatis

a) Frase dengan selamat dipergunakan untuk memulai dan mengakhiri interaksi antara pembicara dan kawan bicara, sesuai dengan keperluan dan situasinya, misalnya:

Selamat pagi selamat siang selamat sore Selamat malam selamat jumpa selamat jalan Selamat belajar selamat tidur selamat makan Selamat hari jadi selamat ulang tahun

(47)

c) Turut berduka cita digunakan sewaktu pembicara menyampaikan bela sungkawa.

d) Assalamualaikum digunakan pada waktu pembicara memulai interaksi.

e) Waalaikumussalam digunakan untuk membalas kawan bicara yang mengucapkan assalamualaikum.

f) Insya Allah diucapkan oleh pembicara ketika menerima tawaran mengenai sesuatu dari kawan bicara.

Selain frase fatis yang digunakan dalam ragam lisan, adapula frase fatis yang digunakan dalam ragam tulis, misalnya:

g) Dengan hormat digunakan oleh penulis pada awal surat.

h) Hormat saya, salam takzim, wassalam digunakan oleh penulis pada akhir surat.

Sebenarnya semua frase fatis tersebut dapat dianalisis secara performatif, dengan menganggap bahwa frase-frase itu merupakan bagian dari kalimat abstrak yang berbunyi “X mengucapkan F.”, jadi kalau orang menyatakan selamat ulang

tahun kepada kita, sebenarnya “Si Anu mengucapkan selamat hari ulang tahun”;

(48)

Berdasarkan analisis data, hasil penelitian tentang kategori fatis sebagai penanda ketidaksantunan pragmatik dapat diklasifikasikan ke dalam 11 kategori. Kesebelas kategori fatis penanda ketidaksantunan berbahasa tersebut dapat dipaparkan satu per satu sebagai berikut.

1. Kategori Fatis “kok”digunakan untuk menekankan alas an dan pengingkaran. Selain itu, “kok” dapat juga bertugas sebagai pengganti kata

tanya mengapa atau kenapa bila diletakkan di awal kalimat.

2. Kategori Fatis “ah”pada umumnya dapat dimaknai sebagai peranti untuk memberikan maksud penekanan atas rasa penolakan atau dapat juga maksud acuh tak acuh.

3. Kategori Fatis “hayo”pada umumnya adalah menakut-nakuti atau mengancam sang mitra tutur atas tindakan yang telah, sedang, bahkan akan dilakukannya. Pada umumnya, tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur itu bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki oleh penutur. Oleh karena itu, penutur menggunakan “hayo” sebagai semacam

peringatan atau ancaman untuk tidak melakukan tindakan tersebut.

(49)

5. Kategori Fatis “lha”dalah penanda ketidaksantunan berbahasa yang dimaknai sebagai pengungkapan untuk menunjukkan kekesalan atau kekecewaan.

6. Kategori Fatis “tak”adalah untuk menunjukkan makna „akan‟ atau makna „segera‟. Secara pragmatis, makna “tak” adalah „memberikan ancaman‟.

7. Kategori Fatis “huu”sebagai kategori fatis memiliki makna mengejek atau meperolok-olok.

8. Kategori Fatis “iih”sebagai kategori fatis mengandung makna „mengejek‟ atau menyampaikan maksud „sinis‟ tertentu.

9. Kategori Fatis “woo”sebagai kategori fatis dapat bermakna mengumpat. 10.Kategori Fatis “hei”digunakan untuk maksud memperingatkan untuk

melakukan sesuatu atau sebaliknya untuk tidak melakukan sesuatu.

11.Kategori Fatis “halah”penanda ketidaksantunan memiliki makna „menyepelekan‟ atau dapat juga digunakan untuk menyampaikan maksud „kesembronoan‟.

2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik

Istilah “konteks” didefinisikan oleh Mey (1993: 38) dalam (Nadar, 2009:

3) sebagai the surroundings, in the widest sense, that enable the participants in the communication process to interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible (“situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami”). Lalu, pentingnya konteks dalam pragmatik

(50)

makna yang terikat konteks, dan oleh Searle, Kiefer dan Bierwich (1980:ix) yang menegaskan bahwa pragmatics in concered with the way in which the interpretation of syntactically defined expressions depends in the particular conditions of their use in context (“pragmatik berkaitan dengan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasi ungkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks”).

Rahardi (2005: 51) mendefinisikan konteks sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur.

(51)

Keempat konteks tersebut memengaruhi kelancaran komunikasi. Ciri-ciri konteks harus dapat diidentifikasikan untuk menangkap pesan si pembicara. Mula-mula, kita lihat betapa pentingnya pemahaman tentang konteks linguistic (3), karena dengan itu kita dapat memahami dasar suatu tuturan dalam suatu komunikasi. Tanpa mengetahui struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat tentu kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Namun, pengetahuan tentang struktur bahasa itu saja jelas tidak cukup. Ini harus dilengkapi lagi dengan pengetahuan konteks fisiknya (1), yaitu di mana komunikasi itu terjadi, apa objek yang dibicarakan, dan begitu juga bagaimana tindakan si pembicara. Ditambah lagi, dengan pengetahuan tentang konteks sosial (4), yaitu bagaimana hubungan antara si pembicara dan si pendengar dalam lingkungan sosialnya. Dan yang terakhir haruslah dipahami pula konteks epistemiknya (2), yaitu pemahaman yang sama-sama dipunyai oleh pembicara dan pendengar.

Yan Huang (2007) dalam (Rahardi, 2015:18), seorang ahli pragmatik China, yang dengan tegas menunjukkan bahwa konteks dalam pragmatik itu dapat dimaknai dengan mengacu pada hal-hal yang terkait dengan seting atau lingkungan dinamis tempat entitas kebahasaan digunakan sistematis. Maka kemudian dia menunjukkan bahwa konteks dibedakan menjadi tiga, seperti dijelaskan berikut ini „…context can be seen as composed of three different

(52)

surrounding utterances in the same discourse. Thirdly and finally, we have the general knowledge context‟ (Huang, 2007: 14).

Dalam kaitan dengan fokus ini, ihwal hakikat dari konteks pragmatik, yang paling relevan adalah penyebutan konteks yang ketiga, yakni „the general

knowledge context‟, yang kurang lebih dimaknai sebagai „konteks yang berupa pengetahuan umum‟. Konteks yang dimaknai sebagai „pengetahuan umum‟ atau

„pengetahuan bersama‟ itu, lebih lanjut dijelaskan oleh Yan Huang sebagai „a set

of background assumptions shared by the speaker and the addresses.‟ (Huang, 2007:14). Konteks pragmatik sebagai „seperangkat latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur‟. Dalam pandangan Stalnaker

(1974), kata-kata ini disebut dengan „common ground‟ atau latar belakang pengetahuan yang sama.

(53)

seperangkat asumsi latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur (general knowledge shared). Rahardi menegaskan pada frasa „general knowledge shared‟ atau „a set of assumptions shared‟, yang berarti bahwa pengetahuan bersama atau seperangkat asumsi itu harus dimiliki bersama-sama baik oleh penutur maupun mitra tutur, tidak boleh dimiliki oleh satu pihak saja. Asumsi-asumsi yang hadir dalam peririsan sebagai hakikat konteks pragmatik itu dapat mencakup dua kategori yakni asumsi berkategori komunal dan asumsi berkategori personal. Kedua manifestasi asumsi dalam berkomunikasi itulah yang dapat dimaknai sebagai hakikatkonteks pragmatik.

Perunutan teoretis kedua dari seorang antropolog ternama, Edward T. Hall (1974), yang menegaskan „information taken out of context is meaningless and

(54)

akan pernah hadir. Dengan demikian dapat ditegaskan juga bahwa syarat terjadinya interaksi itu adalah konteks, dan di dalam konteks terdapat substansi hakiki yang berupa seperangkat asumsi (a set of assumptions), baik itu asumsi-asumsi atau common ground yang berdimensi personal maupun komunal.

Runutan teoretis selanjutnya disampaikan Keith Allan (1986) yang membedakan tiga kategori konteks, yakni (1) the physical context or setting of the utterance „konteks fisik atau seting tuturan‟, (2) the world spoken of in an utterance „sesuatu yang sedang dibicarakan‟, dan (3) the textual environment „lingkungan tekstual‟. Dari gagasan tersebut yang relevan dan gayut adalah

pandangan tentang konteks dalam kategori kedua, yakni „the world spoken of in an utterance‟yang dapat dimaknai sebagai „ihwal yang sedang diperbincangkan‟.

Dalam kaitan dengan asumsi-asumsi sebagai substansi dasar konteks, maka sesungguhnya adanya sesuatu yang sedang diperbincangkan itu mutlak karena hadirnya asumsi-asumsi yang berupa latar belakang pengetahuan yang sama (the same background knowledge), baik yang bersifat personal maupun yang bersifat komunal, seperti yang digagas Stalnaker dan diperinci oleh Clark di depan tadi. Allan (1986) menyatakan bahwa hakikat konteks itu sesungguhnya bukan sekedar „the world spoken of‟, melainkan „the real-world spoken of‟. Jadi, latar

belakang pemahaman yang sama dan dimiliki oleh penutur dan mitra tutur itu bukan saja pada tataran konsep, filosofis, tetapi justru tataran yang hadir dalam realita, „the real-world‟. Menurut pandangan Keith Allan (1986), Rahardi hendaka

(55)

melainkan asumsi yang harus hadir nyata sebagai „the real world‟, entah itu „the real world assumptions‟ yang dimensinya personal maupun komunal.

Selanjutnya dalam Scollon and Scollon (1995) juga ditegaskan bahwa pengetahuan tentang konteks menurut dua macam pengetahuan yang sama (share knowledge), yakni (1) shared knowledge of action and situations dan (2) shared knowledge of relationship and identities. Pandangan terakhir ini gayut dengan pandangan pandangan „common ground‟ yang disampaikan Stalnaker dan Clark,

yakni (1) communal ground dan (2) personal common ground. Pandangan tentang shared knowledge of relationship and identities‟ gayut dengan pandangan „communal common ground‟, sedangkan „shared knowledge of action and situations‟ gayut sekali dengan pandangan tentang „personal common ground‟. Hal ini semakin menegaskan bahwa „a set of assumptions‟ sebagai hakikat

konteks pragmatik yang menjadi pokok tulisan ini semakin mendapatkan penguatan. Artinya, sangatlah beralasan kalau dinyatakan bahwa hakikat konteks pragmatik sesungguhnya adalah seperangkat asumsi yang di depan telah diterangjelaskan dengan menarik relevansi beberapa teori yang gayut.

Dari beberapa definisi para ahli mengenai konteks pragmatik yang telah disebutkan, peneliti menemukan hakikat konteks pragmatik ialah latar belakang pengetahuan yang terdiri atas seperangkat asumsi pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh komunitas maupun oleh individu-individu yang menjadi warga komunitas tertentu.

(56)

sama. Berkenaan dengan konteks dalam pragmatik, Verschueren (1998: 76) via Rahardi (2012), menjelaskan adanya empat dimensi konteks yang mendasar dalam memahami makna tuturan.

1. The Utterer dan the interpreter

Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau the utterer and the interpreter adalah dimensi paling signifikan dalam pragmatik. Dapat dipahami bahwa „pembicara‟ atau „penutur‟ (utterer) itu memiliki banyak

(57)

kehadiran penutur yang banyak, cenderung akan mempengaruhi proses interpretasi makna oleh mitra tutur. Demikian pula jika jumlah penutur itu banyak, interpretasi kebahasaan yang akan dilakukan mitra tutur pasti sedikit banyak terpengaruhi.

2. Aspek-aspek Mental Language Users

Dimensi-dimensi mental penutur dan mitra tutur benar-benar sangat penting dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik. Seperti aspek kepribadian penutur dan mitra tutur itu. Seseorang yang kepribadiannya tidak cukup matang, sehingga cenderung „menentang‟ dan „melawan‟ terhadap

segala sesuatu yang baru. Demikian pula orang yang sudah matang dan dewasa, akan berbicara sopan dan halus kepada setiap orang yang ditemuinya. Aspek lain yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan komponen penutur dan mitra tutur adalah aspek warna emosi, harapan, motivasi, dan dimensi kepercayaan yang juga harus diperhatikan dalam pembicaraan konteks pragmatik.

Dimensi mental language users semuanya berpengaruh terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan mitra tutur. Dengan demikian, dimensi mental penutur dan mitra tutur harus dilibatkan dalam analisis pragmatik karena semuanya berpengaruh terhadap warna dan nuansa interaksi dalam komunikasi.

3. Aspek-aspek Sosial Language Users

Gambar

Tabel  berikut ini akan memperjelas hal tersebut.
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3 Data Tuturan Fatis Salam
+5

Referensi

Dokumen terkait