viii ABSTRAK
Rimawati, Agnes Wiga. 2016. Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakartasemester genap tahun akademik 2015/2016. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi, dan (2) mendeskripsikan makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah tuturan dosen dan mahasiswa pada program studi Sastra Indonesia Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016, dengan data berupa tuturan yang di dalamnya terdapat kefatisan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara (konfirmasi kepada informan) dengan bekal teori komunikasi fatis. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik sadap dan diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat. Analisis data menggunakan metode padan ekstralingual untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, yaitu menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa.
Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016 yang didasarkan pada subkategori acknowledgements (menerima, mengundang, menolak, terima kasih, salam, selamat, dan meminta maaf) terbagi atas tuturan fatis murni, basa-basi murni, dan basa-basi polar. (2) Makna pragmatik tuturan fatis yang dihasilkan dari penelitian ini terbagi dalam 7 subkategori acknowledgements, yaitu menerima, menolak, mengundang, salam, terima kasih, selamat, dan berduka cita, untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, menarik perhatian lawan bicaaranya, memulai dan mengakhiri percakapan, memecah kesenyapan, menciptakan keharmonisan dan perasaaan nyaman, mengungkapkan kesopanan atau kesantunan, dan menyampaikan pesan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan mengenai komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa. Komunikasi fatis yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa pada pembimbingan skripsi untuk memulai pembicaraan, mempertahankan komunikasi, dan menyampaikan informasi dengan melibatkan fungsi sosialnya.
ix ABSTRACT
Rimawati, Agnes Wiga. 2016. The Phatic Communication in Discourse Consultative Thesis Mentoring in Indonesian Literature Department in the Academic Year 2015/2016, Sanata Dharma University. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research describes the phatic communication in discourse consultative thesis mentoring in Indonesian Literature Department in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University. The objectives of this research are to (1) describe the form of phatic communication in the discourse consultative thesis mentoring and (2) describe the phatic pragmatic meanings in the discourse consultative thesis mentoring.
This research is categorized into descriptive qualitative research. The data sources of this research was gained from the lecturers and the students of Indonesian Literature Department in the second semester in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University. In this research, the researcher used interview (confirmation to informant) as the instrument with the theory of phatic communication as the guidance. The gathered data are in the form of speeches which convey phatic communication. The data collection technique used in this research is observation method using tapping technique and then followed by writing technique which is the continuation technique applied in the research. The data are further analyzed using Metode Padan Ekstralingual to analyze the ekstralingual elements, which is connecting the language problems with things beyond the language.
In this research, it can be concluded that (1) the form of phatic communication in discourse consultative thesis mentoring in Indonesian Literature Department in the second semester in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University which is based on acknowledgements subcategory (accepting, inviting, rejecting, thanking, greeting, congratulating, and apologizing) are divided into several parts, which are pure phatic utterances, pure pleasantries and polar pleasantries. (2) The pragmatic signification in the phatic utterances which are resulted from this research is divided into seven acknowledgment subcategories, which are accepting, rejecting, inviting, greeting, showing gratitude, congratulating, showing condolences, keeping the conversation going, attracting the interlocutors, beginning and ending the conversation, breaking the silence, creating harmony and comfort, expressing politeness or courtesy and delivering messages.
This research is expected to be able to provide some contributions and knowledge related to the phatic communication among the lecturers and the students. The phatic communication is used by the lecturers and the students in their thesis mentoring to start the conversation, keep the conversation going on, delivering information by involving the social functions.
i
KOMUNIKASI FATIS DALAM WACANA KONSULTATIF
PEMBIMBINGAN SKRIPSI
PADA PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2015/2016
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
Agnes Wiga Rimawati
NIM. 121224032
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada
Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, Santo Yosef, dan Santa Agnes yang senantiasa memberikan berkat yang berlimpah kepada saya dalam setiap proses
kehidupan yang telah saya lalui hingga saat ini.
Kedua orang tua saya, Anastasius Wagirin dan Christina Winarni yang selalu memberikan dukungan dalam bentuk doa dan kasih sayang kepada saya. Adik saya tercinta Margaretha Aufrida Putranti yang selalu memberikan keceriaan
dan semangat kepada saya agar terus berjuang dalam keadaan apapun. Teman sepayung saya, Dewi, Markus, Alfon, dan Citra yang selalu memberikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk bekerja, berdiskusi, dan bercanda bersama yang
luar biasa.
v MOTTO
Kalau kamu tidak melakukannya sekarang kapan lagi? Kalau bukan kamu yang memulai siapa lagi?
(Agnes Wiga Rimawati)
Hidup ini seperti seseorang naik sepeda, untuk menjaga keseimbangan, anda harus tetap bergerak
(Albert Einstein)
Hiduplah seperti pohon kayu yang lebaat buahnya, hidup di tepi jalan dan dilempari dengan batu, tetapi membalasnya dengan buah
viii ABSTRAK
Rimawati, Agnes Wiga. 2016. Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakartasemester genap tahun akademik 2015/2016. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi, dan (2) mendeskripsikan makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah tuturan dosen dan mahasiswa pada program studi Sastra Indonesia Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016, dengan data berupa tuturan yang di dalamnya terdapat kefatisan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara (konfirmasi kepada informan) dengan bekal teori komunikasi fatis. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik sadap dan diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat. Analisis data menggunakan metode padan ekstralingual untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, yaitu menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa.
Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016 yang didasarkan pada subkategori acknowledgements (menerima, mengundang, menolak, terima kasih, salam, selamat, dan meminta maaf) terbagi atas tuturan fatis murni, basa-basi murni, dan basa-basi polar. (2) Makna pragmatik tuturan fatis yang dihasilkan dari penelitian ini terbagi dalam 7 subkategori acknowledgements, yaitu menerima, menolak, mengundang, salam, terima kasih, selamat, dan berduka cita, untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, menarik perhatian lawan bicaaranya, memulai dan mengakhiri percakapan, memecah kesenyapan, menciptakan keharmonisan dan perasaaan nyaman, mengungkapkan kesopanan atau kesantunan, dan menyampaikan pesan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan mengenai komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa. Komunikasi fatis yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa pada pembimbingan skripsi untuk memulai pembicaraan, mempertahankan komunikasi, dan menyampaikan informasi dengan melibatkan fungsi sosialnya.
ix ABSTRACT
Rimawati, Agnes Wiga. 2016. The Phatic Communication in Discourse Consultative Thesis Mentoring in Indonesian Literature Department in the Academic Year 2015/2016, Sanata Dharma University. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research describes the phatic communication in discourse consultative thesis mentoring in Indonesian Literature Department in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University. The objectives of this research are to (1) describe the form of phatic communication in the discourse consultative thesis mentoring and (2) describe the phatic pragmatic meanings in the discourse consultative thesis mentoring.
This research is categorized into descriptive qualitative research. The data sources of this research was gained from the lecturers and the students of Indonesian Literature Department in the second semester in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University. In this research, the researcher used interview (confirmation to informant) as the instrument with the theory of phatic communication as the guidance. The gathered data are in the form of speeches which convey phatic communication. The data collection technique used in this research is observation method using tapping technique and then followed by writing technique which is the continuation technique applied in the research. The data are further analyzed using Metode Padan Ekstralingual to analyze the ekstralingual elements, which is connecting the language problems with things beyond the language.
In this research, it can be concluded that (1) the form of phatic communication in discourse consultative thesis mentoring in Indonesian Literature Department in the second semester in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University which is based on acknowledgements subcategory (accepting, inviting, rejecting, thanking, greeting, congratulating, and apologizing) are divided into several parts, which are pure phatic utterances, pure pleasantries and polar pleasantries. (2) The pragmatic signification in the phatic utterances which are resulted from this research is divided into seven acknowledgment subcategories, which are accepting, rejecting, inviting, greeting, showing gratitude, congratulating, showing condolences, keeping the conversation going, attracting the interlocutors, beginning and ending the conversation, breaking the silence, creating harmony and comfort, expressing politeness or courtesy and delivering messages.
This research is expected to be able to provide some contributions and knowledge related to the phatic communication among the lecturers and the students. The phatic communication is used by the lecturers and the students in their thesis mentoring to start the conversation, keep the conversation going on, delivering information by involving the social functions.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus yang senantiasa memberi berkat dan karunia, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan, pendamping, saran, dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., sebagai dosen pembimbing yang dengan bijaksana, sabar, memotivasi dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Prodi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik, mengarahkan, membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberikan dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.
xi
6. Dosen Program Studi Sastra Indonesia dan mahasiswa Prodi Sastra Indonesia yang telah membantu dan bersedia menjadi narasumber dalam skripsi ini.
7. Teman-teman sepayung dan teman-teman lain yang selalu mendukung dan memberi semangat dan doa kepada saya yaitu: Dewi Yulianti, Markus Jalu Vianugrah, Alfonsus Novendi, Citra Astutiningsih.
8. Seluruh teman-teman PBSI 2012 khususnya kelas A yang telah berdinamika bersama selama menjalani perkuliahan di PBSI.
9. Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurnagan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 1 Agustus 2016 Penulis
xii
2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik ...30
xiii
BAB III METODE PENELITIAN...36
3.1 Jenis Penelitian...36
3.2 Data dan Sumber Data ...37
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data...38
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data...39
3.5 Triangulasi Data ...41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...42
4.1 Deskripsi Data...42
4.2 Analisis Data ...51
4.2.1 Wujud Tuturan Fatis ...51
4.2.1.1 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Meminta Maaf ...52
4.2.1.2 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Menerima...54
4.2.1.3 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Menolak ...71
4.2.1.4 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Mengundang ...75
4.2.1.5 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Selamat ...80
4.2.1.6 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Salam ...81
4.2.1.7 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Terima Kasih ...83
4.2.2 Maksud Tuturan Fatis ...85
4.2.2.1 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Meminta Maaf ...86
4.2.2.2 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Menerima...87
4.2.2.3 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Menolak ...98
4.2.2.4 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Mengundang ...102
4.2.2.5 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Selamat ...106
4.2.2.6 Maksud Tuturan Fatis Subaktegori Salam ...107
4.2.2.7 Maksud Tuturan Fatis Subaktegori Terima Kasih ...108
1 BAB I
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini akan memaparkan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika
penyajian. Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu melakukan kegiatan
interaksi dengan orang lain. Interaksi yang terjalin antara satu orang dengan yang
lainnya tidak akan tercapai jika penyampai pesan tidak dapat mengirimkan
pesannya dengan baik. Sejalan dengan hal itu, maka diperlukan bahasa untuk
menjembatani interaksi itu.
Bahasa digunakan manusia untuk berkomunikasi. Komunikasi adalah
kegiatan pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih
sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Dept. Pend. Nasional, 2008: 721).
Saat berkomunikasi seseorang harus memperhatikan siapa lawan biacaranya,
situasinya formal atau informal, publik atau pribadi, dan siapa yang ikut
mendengarkan kata-kata tersebut, sehingga penutur bahasa bisa memilih kata
yang tepat untuk diujarkan. Saat berkomunikasi seorang penutur biasanya tidak
secara langsung mengungkapkan tujuan utamanya namun melalui pembukaan.
Tujuannya untuk memelihara hubungan penutur dan lawan tutur yang biasa
untuk pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara
dengan penyimak, jadi fungsi fatis ini sejajar dengan faktor kontak awal dalam
komunikasi (Sudaryanto, 1990:12). Halliday (dalam Sudaryanto, 1990: 17)
menyatakan fungsi fatis bisa diartikan dengan fungsi bahasa secara interpersonal
yaitu berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara
hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial, termasuk peranan
komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri.
Manusia memerlukan bahasa untuk berkomunikasi, karena melalui bahasa
manusia dapat memahami maksud yang ingin disampaikan oleh seseorang.
Bahasa yang digunakan manusia untuk berkomunikasi adalah bahasa verbal dan
nonverbal. Dalam komunikasi verbal, bahasa yang digunakan penutur bersifat
informatif. Namun, ada juga satu fungsi bahasa yang baru yaitu fungsi fatis.
Fungsi fatis biasanya dilakukan dengan menggunakan ungkapan fatis. Ungkapan
fatis ini tidak bertujuan untuk memberikan informasi seperti layaknya komunikasi
verbal, namun hanya untuk menjaga hubungan sosial antara penutur dan mitra
tutur. Sebagian besar ungkapan fatis merupakan ciri ragam lisan yang pada
umumnya adalah ragam non-standar. Komunikasi fatis selain sebagai fenomena
sosial dan fenomena budaya, juga merupakan fenomena lingual. Menurut para
ahli, fenomena lingual berfungsi sebagai alat indikator atau alat pembuktian
sebuah tuturan yang tergolong dalam tuturan komunikasi fatis.
Vladimir dalam “What is Phatic Communication” (2009) mengatakan
bahwa upaya untuk menimbulkan rasa kesenangan saat berkomunikasi adalah
communication). Komunikasi fatis yaitu suatu kondisi dimana komunikasi yang
berlangsung tidak bertujuan untuk memperoleh suatu informasi yang berarti
melainkan hanya untuk menimbulkan kesenangan antara pihak yang terliat di
dalamnya semata. Komunikasi fatis mencakup seluruh ruang lingkup komunikasi,
baik di sekolah, pasar, masyarakat, bahkan di kalangan akademis. Komunikasi
fatis biasanya dilakukan melalui komunikasi verbal dan verbal. Bentuk
komunikasi nonverbal adalah sentuhan di pundak atau di punggung lawan bicara
juga dapat mengekspresikan gaya komunikasi fatis. Tubbs dan Sylvia (2009)
mengatakan bahwa komunikasi fatis sangat berguna untuk mempertahankan
kelangsungan hubungan sosial dalam keadaan yang baik dan menyenangkan.
Hubungan yang baik dan menyenangkan ini sangat diperlukan bagi seseorang
untuk mengembangkan kepribadiannya. Komunikasi fatis sangat lekat dengan
pengaruh budaya masing-masing individu. Adanya perbedaan konteks komunikasi
dalam keberagaman komunikasi antar budaya terkadang menjadikan komunikasi
yang berjalan tidak efektif. Hal ini terjadi karena keberagaman budaya yang
melatarbelakangi individu sangat berperan terhadap gaya komunikasi seseorang.
Gaya komunikasi ini juga akan berpengaruh ketika individu berbaur pada saat
menempuh pendidikan. Asumsi tersebut menghantarkan pada satu pemikiran
bahwa komunikasi fatis dapat memunculkan komunikasi yang efektif dalam
interaksi antara penutur dan mitra tutur, baik bersifat pribadi maupun kelompok.
Komunikasi fatis sangat berperan penting dalam menentukan hubungan
antarmanusia. Komunikasi fatis sangat dipengaruhi oleh adanya konteks yang
Komunikasi fatis tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat saja, namun juga
dapat terjadi di kalangan akademis, dalam hal ini dosen dan mahasiswa. Penelitian
ini akan mengungkap bagaimana seorang mahasiswa ketika akan melakukan
bimbingan skripsi terlebih dahulu melakukan komunikasi fatis yang bertujuan
untuk menciptakan suasana yang nyaman baik baik mahasiswa itu sendiri maupun
dosen. Selain itu, komunikasi fatis yang terjadi antara dosen dan mahasiswa ini
juga bertujuan untuk memudahkan mahasiswa dalam proses pembimbingan
skripsi, karena dengan berkomunikasi fatis mahasiswa dapat mengetahui situasi
dan kondisi yang akan terjadi.
Peneliti mengambil topik tentang komunikasi fatis dalam proses
pembimbingan skripsi ini karena penelitian yang terkait dengan komunikasi fatis
masing sangat jarang diteliti dalam kajian pragmatik. Selain itu, peneliti juga
melihat bahwa komunikasi fatis dapat terjadi dimana saja, maksudnya adalah
komunikasi fatis tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari saja namun
komunikasi fatis juga dapat terjadi dalam proses pembimbingan skripsi di
program studi manapun. Komunikasi fatis yang terjadi antara dosen dan
mahasiswa pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Oleh karena itu, penelitian
tentang komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa dalam proses
1.2 Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang masalah di atas, disusunlah dua rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa sajakah wujud komunikasi fatis dalam wacana konsultatif
pembimbingan skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun
akademik 2015/2016?
2. Apa sajakah maksud/makna pragmatik dari setiap wujud komunikasi
fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program
Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
semester genap tahun akademik 2015/2016?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai
berikut :
1. Mendeskripsikan wujud komunikasi fatis dalam wacana konsultatif
pembimbingan skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun
akademik 2015/2016.
2. Mendeskripsikan maksud/makna pragmatik dari setiap wujud
komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada
Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa dalam proses
pembimbingan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari
pelaksanaan penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat mendalami pengembangan pragmatik
khususnya yang berkaitan dengan komunikasi fatis sebagai fenomena
pragmatik. Penelitian ini dapat dikatakan memiliki manfaat teoritis karena
memiliki teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli dengan memahaminya.
Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi atau acuan dalam
melakukan kegiatan komunikasi antara penutur dan mitra tutur.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi dosen dan
mahasiswa untuk membuka serta mempererat hubungan sosial dalam
berkomunikasi. Demikian pula, penelitian ini dapat memberikan masukan
kepada para praktisi terutama bagi dosen dan mahasiswa untuk mengetahui
1.5 Batasan Istilah
Batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini tentu saja tidak lepas dari
teori komunikasi fatis dan teori lain yang mendukung dalam penelitian ini. Maka
peneliti memberikan batasan istilah sebagai berikut:
1. Pragmatik
Yule (2006) mendefinisikan pragmatik adalah studi tentang maksud.
Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan
ditafsirkan oleh pendengar.
2. Konteks
Rahardi (2005: 51) mendefinisikan konteks sebagai semua latar belakang
pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur
serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan
penutur itu dalam proses bertutur.
3. Fatis
Fatis merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menamai suatu
kategori kata. Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai,
mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara penutur dan mitra
tutur (Kridalaksana 1986).
4. Komunikasi
Komunikasi manusia adalah proses melalui mana individu dalam
informasi untuk berhubungan satu sama lain dan dengan lingkungan (Ruben
dan Stewart, 2013).
1.6 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I
pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II kajian
pustaka berisi penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Bab
III metodologi penelitian berisi jenis penelitian, data dan sumber data, metode dan
teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan triangulasi data. Bab IV berisi
hasil penelitian dan pembahasan kefatisan dalam wacana konsultatif
pembimbingan skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016. Bab V berisi
9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan tentang penelitian yang relevan, landasan teori, dan
kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik
sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi
teori-teori yang dijadikan pisau analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori-teori
pragmatik, fenomena-fenomena pragmatik, dan konteks sebagai penentu makna
pragmatik. Kerangka berpikir berisi deskripsi alur proses berpikir yang menjadi
dasar penyusunan skripsi.
2.1 Penelitian yang Relevan
Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai acuan agar penelitian bisa
tercipta lebih baik lagi. Acuan untuk peneliti ini menggunakan pernelitian
terdahulu yang berjudul “Basa-Basi Berbahasa Antara Keluarga Kesultanan dan
Masyarakat di Lingkungan Keraton Yogyakarta” ditulis oleh Nurahman (2015), Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penelitian tersebut
membahas basa-basi linguistik dan nonlinguistik berbahasa yang dituturkan antara
keluarga kesultanan keratin Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keratin
Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud
basa-basi dalam berbahasa, (2) mendeskripsikan penanda basa-basa-basi linguistik dan
nonlinguistik dalam berbahasa, dan (3) mendeskripsikan makna basa-basi dalam
masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta. Penelitian tersebut adalah
penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data pada penelitian ini adalah keluarga
kesultanan keraton Yogyakarta. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba
memahami fenomena basa-basi yang digunakan oleh penutur maupun penutur
untuk menyampaikan maksud tuturannya.
Simpulan dalam penelitian ini adalah (1) wujud basa-basi linguistik dapat
dilihat dari tuturan keluarga kesultanan dan masyarakat yang terdiri dari meminta
maaf, simpati, memberi salam, berterima kasih, meminta, menerima dan menolak.
Lalu wujud basa-basi nonlinguistik dilihat berdasarkan konteks yaitu penutur,
mitra tutur, situasi, suasana, dan tujuan tutur; (2) penanda basa-basi linguistik
yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda basa-basi
nonlinguistik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan
mitra tutur, situasi dan suasana, dan tujuan tutur, dan (3) maksud basa-basi
berbahasa yaitu a) meminta maaf, menghormati mitra tutur b) simpati,
memperdulikan mitra tutur c) memberi slaam, menyenangkan mitra tutur d)
berterimakasih menyenangkan mitra tutur e) meminta menghormati mitra tutur f)
menerima menghargai mitra tutur g) menolak, memberikan rasa sungkan.
Penelitian kedua yaitu tentang “Basa-Basi dalam Berbahasa Antara Guru
dan Siswa di SMP N 12 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014” ditulis oleh Lundiarti (2014), Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penelitian tersebut membahas tentang wujud basa-basi, dan maksud basa-basi
adalah mendeskripsikan wujud basa-basi berbahasa dan mendeskripsikan maksud
basa-basi berbahasa antara guru dan siswa di SMP N 12 Yogyakarta tahun ajaran
2013/2014. Penelitian tersebut termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif.
Simpulan dari penelitian tersebut adalah (1) wujud basa-basi berbahasa
antara guru dan siswa di SMP N 12 Yogyakarta adalah basa-basi salam, basa-basi
terima kasih, basi meminta, basi menolak, basi menerima,
basa-basi meminta maaf, basa-basa-basi belasungkawa, dan basa-basa-basi selamat. (2) Maksud
basa-basi berbahasa antara guru dan siswa adalah untuk menyela aktivitas,
menjaga sopan santun, menghargai, menjaga hubungan baik, menyapa, memulai,
mempertahankan, mengukuhkan, serta untuk menyampaikan berbagai maksud
lainnya.
Dari kedua penelitian yang relevan tersebut memiliki persamaan dan
perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti. Kedua penelitian
yang relevan tersebut mengkaji objek yang sama yaitu basa-basi berbahasa, dan
keduanya juga memiliki rumusan masalah yang hampir sama, namun pada
penelitian yang dilakukan oleh Fajar Nurahman terdapat satu rumusan masalah
lagi yaitu tentang penanda basa-basi. Akan tetapi, subjek penelitian dari kedua
penelitian yang relevan tersebut berbeda. Pada penelitian yang akan dilakukan
oleh peneliti ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang relevan tersebut,
penelitian ini akan meneliti tentang komunikasi fatis yang terjadi di ranah
pendidikan dengan subjek penelitian yaitu dosen dan mahasiswa yang sedang
melakukan proses pembimbingan skripsi di Program Studi Sastra Indonesia
fatis ini dibatasi pada percakapan basa-basi yang dilakukan oleh dosen dan
mahasiswa, maka kedua penelitian tentang basa-basi berbahasa tersebut dapat
digunakan sebagai acuan untuk mengkaji fenomena basa-basi berbahasa dan
komunikasi fatis yang muncul dalam percakapan dosen dan mahasiswa dalam
proses pembimbingan skripsi yang belum banyak untuk diteliti.
2.2 Landasan Teori
Peneliti akan memaparkan beberapa materi yang terkait dengan judul
penelitian. Materi-materi tersebut akan dipergunakan sebagai pedoman dalam
pengerjaan penelitian ini. Teori yang digunakan peneliti dalam penelitiannya
yaitu:1) pragmatik, 2) fenomena pragmatik, 3) kesantunan berbahasa, 4)
ketidaksantunan berbahasa, 5) basa-basi berbahasa, 6) konteks sebagai penentu
makna pragmatik.
2.2.1 Pragmatik
Pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang
tergramatikaliasasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa (Levinson, 1983:9).
Selain itu, Levinson juga mencatat sejumlah definisi mengenai pragmatik dari
berbagai sumber antara lain: Pragmatik merupakan suatu istilah yang
mengesankan bahwa sesuatu yang sangat khusus dan teknis sedang menjadi objek
pembicaraan, padahal istilah tersebut tidak mempunyai arti yang jelas (Searle,
Kiefer, dan Bierwisch, 1980: viii). Topik pragmatik adalah beberapa aspek yang
tidak dapat dijelaskan dengan acuan langsung pada kondisi sebenarnya dari
mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek struktur
wacana (Stalnaker, 1972). Mengenai definisi pragmatik yang bervariasi, Levinson
mengatakan bahwa beranekaragamnya definisi pragmatik tersebut bukanlah
sesuatu yang janggal atau sesuatu yang perlu dirisaukan karena satu definisi sering
tidak sepenuhnya memuaskan (Nadar, 2009: 4-6).
Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik
dan pemakai bentuk-bentuk itu. Pragmatik memungkinkan orang dapat masuk ke
dalam suatu analisis. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa
seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi
mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan (sebagai contoh
dalam hal ini: permohonan) yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang
berbicara (Yule, 2006: 5).
Misalnya ada dua orang teman yang sedang bercakap-cakap mungkin
menyatakan secara tidak langsung beberapa hal dan menyimpulkan suatu hal lain
tanpa memberikan bukti linguistic apa pun yang dapat kita tunjuk sebagai sumber
‘makna’ yang jelas atau pasti tentang apa yang sedang disampaikan. Seorang
mitra tutur mendengar penutur dan ia tahu apa yang dikatakan, tetapi ia ‘tidak
tahu’ (tidak mempunyai) gagasan apa yang dikomunikasikan oleh penutur. Jadi
pragmatik itu menarik karena melibatkan bagaimana orang saling memahami satu
sama lain secara linguistic, tetapi pragmatik dapat juga merupakan ruang lingkup
studi yang mematahkan semangat karena studi ini mengharuskan kita untuk
Cruse dalam Cumming (2007: 2-6) mengatakan bahwa pragmatik dapat
dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekanolehkonvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara
alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara
konvensional dengankontekstempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut. Masing-masing kata yang dicetak miring dalam kutipan di atas memasukkan berbagai
pertimbangan yang benar-benar bersifat muldisipliner ke dalam definisi pragmatik
ini.
Rahardi (2003: 10) mengatakan bahwa pragmatik merupakan cabang dari
linguistik yang mempelajari dan mendalami apa saja yang termasuk di dalam
struktur bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara si penutur dengan
sang mitra tutur, serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya
ekstralinguistik atau luar bahasa. George (1964) dalam Rahardi (2003: 12) telah
menunjukkan bahwa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya adalah ilmu tentang
makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan
tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya. Terhadap
tanda atau lambang bahasa yang mencuat di sekelilingnya itu, manusia akan selalu
bereaksi dengan aneka kemungkinan sikap dan variasi tindakan atau perilakunya.
Dari definisi beberapa ahli tersebut, dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan
ilmu kebahasaan yang mengkaji maksud sebuah tuturan dengan mengacu dari
unsur luar bahasa, dalam hal ini adalah konteks situasi dan lingkungan di mana
Sebagai cabang ilmu linguistik, pragmatik sangatlah penting dalam kajian ilmu
kebahasaan.
2.2.2 Fenomena Pragmatik
Fenomena pragmatik yang telah ada sampai saat ini ada empat yaitu (1)
deiksis, (2) praanggapan, (3) tindak tutur, dan (4) implikatur percakapan.
2.2.2.1 Deiksis
Kata deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos yang berarti “hal penunjukkan secara langsung”. Sebuah kata dikatakan bersifat deiktis apabila
referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada saat dan tempat
dituturkannya kata itu (Purwo: 1983 dalam Nadar, 2009: 54). Seorang penutur
yang berbicara dengan lawan tuturnya seringkali mengggunakan kata-kata yang
menunjukkan baik pada orang, waktu maupun tempat. Kata-kata yang lazim
disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjukkan sesuatu, sehingga
keberhasilan suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak akan
tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur.
Purwo (1990: 17) menjelaskan bahwa kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata yang deiktis. Kata-kata tersebut tidak memiliki referen yang
tetap. Berbeda halnya dengan katarumah, kereta, kursi di tempat manapun, pada waktu kapan pun, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata
saya, sini, sekarang barukah dapat diketahui pula siapa, di tempat mana, dan pada
2.2.2.2 Praanggapan/Presuposisi
Pada mulanya presuposisi merupakan kajian dalam lingkup semantik,
namun dalam perkembangannya para linguis cenderung berpendapat bahwa kajian
presuposisi dalam lingkup semantik saja tidak dapat memuaskan mereka.
Levinson (1983: 169) dalam Nadar (2009: 64) menyatakan bahwa presuposisi
pragmatik merupakan inferensi pragmatik yang sangat sensitif terhadap
faktor-faktor konteks, dan membedakan terminologi presuposisi menjadi dua macam.
Pertama, kata “presuposisi” sebagai terminologi umum dalam penggunaan bahasa
Inggris sehari-hari, serta kata “presuposisi” sebagai terminologi teknis dalam
kajian pragmatik. Dibandingkan dengan luasnya makna presuposisi secara umum
dalam pengguanaan sehari-hari, makna presuposisi dalam pragmatik related lebih
sempit. Presuposisi dapat dijelaskan sebagai berbagai inferensi atau asumsi
pragmatik yang nampaknya dibangun menjadi ungkapan linguistik (Nadar, 2009:
64-64).
2.2.2.3 Implikatur Percakapan
Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice (1975) untuk
memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori
semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan
atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang
dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule dalam Rani, 2006: 170). Sebagai
Menurut Grice (1975 dalam Rani, 2006: 171), dalam pemakaian bahasa
terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang
ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’. Contoh untuk
implikatur konvensional adalah sebagai berikut.
“Dia orang Madura karena itu dia pemberani.”
Pada contoh tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri
(pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Madura), tetapi bentuk ungkapan
yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada.
Kalau individu yang dimaksud itu orang Madura dan tidak pemberani,
implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tidak salah.
Konsep implikatur percakapan diturunkan dari asas umum percakapan
ditambah sejumlah prinsip (maxims) yang biasanya dipatuhi para penutur.
Implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atau kesepakatan bersama,
yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait
(Grice dalam Rani, 2006: 171). Dalam penerapannya, prinsip kerjasama tersebut
ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip percakapan, yaitu:
prinsip kuantitas: berikan sumbangan anda seinformatif yang diperlukan (dengan
tujuan pertukaran yang sekarang), jangan memberikan sumbangan informasi yang
melebihi yang dibutuhkan; prinsip kualitas: jangan mengatakan sesuatu yang anda
yakini tidak benar dan jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya
kurang meyakinkan; prinsip hubungan: usahakan perkataan anda ada
ketaksaan, usahakan agar ringkas, dan usahakan agar berbicara dengan teratur
(Grice dalam Rani, 2006: 172).
Tuturan yang berbunyi Bapak datang, jangan menangis! Tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari
tempat tertentu. Si penutur bermaksud memperingkatkan mitra tutur bahwa sang
ayah yang bersikap keras dan sangat kejam itu akan melakukan sesuatu
terhadapny apabila ia terus menangis. Dengan perkataan lain, tuturan itu
mengimplikasikan bahwa sang ayah adalah orang yang keras, sangat kejam dan
sering marah-narah pada anaknya yang sedang menangis. Di dalam implikatur,
hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak
dituturkan itu bersifat tidak mutalk. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan
pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut (Rahardi,
2005: 43).
2.2.2.4 Kesantunan Berbahasa
Ketika seseorang sedang berkomunikasi, hendaknya di samping baik dan
benar juga santun. Kaidah kesantunan dipakai dalam setiap tindak bahasa. Ketika
seseorang sedang menyampaikan maksud ingin meminta tolong pada orang lain,
hendaknya maksud tersebut disampaikan menggunakan bentuk santun. Bahkan
agar pemakaian bahasa terasa semakin santun, penutur dapat berbahasa
menggunakan bentuk-bentuk tertentu yang dapat dirasakan sebagai bahasa santun
kias, ungkapan memakai gaya bahasa penghalus, tuturan yang dikatakan berbeda
dengan yang dimaksud, tuturan yang dikatakan secara implisit.
Bahasa dan perilaku seseorang akan dilihat menggunakan tolok ukur
kesantunan pemakaian bahasa. Bahasa yang digunakan dapat berupa bahasa
verbal maupun bahasa nonverbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang berupa
rangkaian kata-kata atau tuturan yang membentuk wacana/teks baik lisan maupun
tertulis. Sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa yang dinyatakan berupa
tindakan, kinestik, kinestetik, gesture, nada, mimik, dan sebagainya ketika
seseorang sedang mengaktualisasi diri. Santun tidaknya pemakaiaan bahasa dapat
dilihat setidaknya dari dua hal, yakni pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa.
Kesanggupan memilih kata seorang penutur dapat menjadi salah satu penentu
santun-tidaknya bahasa yang digunakan. Pilihan kata yang dimaksud adalah
ketepatan pemakaian kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dalam
konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur.
Kesantunan sendiri memiliki faktor penentu kesantunan. Faktor penentu
kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi
santun atau tidak santun. Aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan,
antara lain aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara),
aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur), faktor pilihan kata,
dam faktor struktur kalimat. Selain aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal
lisan, ada pula aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal tulis. Faktor
penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa verbal tulis, seperti
ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya. Selain itu ada juga faktor penentu
kesantunan dari aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat.
Ketika seseorang berkomunikasi tidak hanya menggunakan bahasa (verbal
maupun nonverbal), tetapi juga memperhatikan faktor nonkebahasaan, yaitu
pranata sosial budaya masyarakat (Pranowo, 2009: 76-79).
2.2.2.5 Ketidaksantunan Berbahasa
Terkourafi (2008 dalam Jurnal Rahardi dkk. 2014) memandang
ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut, ‘impoliteness occurs when the
expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer’. Perilaku berbahasa tidak santun dalam pandangan Terkourafi terjadi jika mitra tutur (addressee) merasakan adanya ancaman
terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak
mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Berbeda dengan
pandangan Locher (2008:3), ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku
berbahasa yang memperburuk ‘muka’ mitra tutur pada konteks kebahasaan
tertentu.
Maka dari itu, ketidaksantunan berbahasa itu menunjukkan pada perilaku
‘melecehkan’ muka. Pemahaman lain yang berkaitan dengan definisi Locher
tentang ketidaksantunan berbahasa adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya
bukanlah sekadar perilaku yang ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher adalah tindak berbahasa
yang bersifat melecehkan dan memain-mainkan muka pada konteks tertentu
sebagaimana dilambangkan dengan makna kata ‘aggravateI’itu.
Pemahaman Culpeper (2008 dalam Jurnal Rahardi dkk. 2014: 152) tentang
ketidaksantunan berbahasa dapat disebutkan sebagai berikut, ‘impoliteness, as I
would define it, involves communicate behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so’. Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’. Sebuah tuturan dianggap tidak
santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang.Jadi, ketidaksantunan
berbahasa merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara internasional
untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya
orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
Bousfield (2008: 3) mengemukakan bahwa ketidaksantunan berbahasa
sebagai berikut: “…the issuing of intentionally gratuitous and conflictive
face-threatening acts (FTAs) that are purposefully performed”. Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ dan dimensi konfliktif (conflictive)
dalam praktik berbahasa yang tidak santun.Jadi, apabila perilaku berbahasa
seseorang itu mengancam muka dan dilakukan secara sembrono (gratuitous) yang
mengakibatkan konflik atau bahkan kesengajaan (purposeful), tindakan berbahasa
2.2.2.6 Kefatisan dalam Berbahasa
Komunikasi fatis adalah komunikasi yang bertujuan untuk menimbulkan
kesenangan diantara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya (Devito, 2012 dalam
jurnal Ramadanty, 2014). Komunikasi fatis dalam bahasa Inggris disebut juga
small talk atau chit chat. Orang-orang menyadari bahwa beberapa ungkapan seperti, “Hari yang cerah, bukan?” dan “bagaimana dengan liburanmu?” adalah
percakapan yang bersifat sosial. Mereka juga memahami cara melakukan
komunikasi fatis tertentu yang mempersyaratkan terlibatnya mental dan memakan
waktu.
Malinowski (1923) dalam skripsi Jayanti (2010: 9) mengatakan terdapat
suatu fungsi bahasa dalam percakapan yang bebas, tanpa tujuan atau maksud
tertentu. Misalnya dalam situasi beberapa orang di sela-sela waktu istirahat kerja
mereka, duduk di sekeliling api unggun melakukan pembicaraan ringan yang tidak
ada hubungannya dengan apa yang sedang mereka lakukan atau bergosip.
Pembicaraan ringan yang mereka lakukan antara lain mengenai kondisi kesehatan,
mengomentari cuaca, dan penegasan terhadap sesuatu yang sudah jelas.
Percakapan tersebut tidak bertujuan untuk bertukar informasi atau
mengungkapkan perasaan melainkan hanya untuk memecah kebisuan dan
merupakan tahap awal untuk memulai komunikasi dengan seseorang.Bentuk
ujaran ini adalah untuk memenuhi fungsi sosial dan sama sekali tidak memiliki
fungsi untuk bertukar informasi atau bertukar pikiran.
Kridalaksana (1986: 111) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan tuturan
yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan
pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Malinowski dalam tesis Arimi
(1998) mendefinisikan phatic communion atau basa-basi digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antar peserta komunikasi. Situasi
tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang
disertai dengan perasaan tertentu untuk membentuk hidup bersama yang
menyenangkan.
Arimi (1998: 95) mengatakan bahwa secara praktis basa-basi didefinisikan
sebagai fenomena bahasa yang secara sadar dipakai oleh penutur, akan tetapi
secara sadar pula tidak diakuinya ketika ditanyakan kebasa-basian itu. Dengan
kata lain, basa-basi adalah fenomena lingual yang alamiah, tetapi penggunaannya
mental atau menolak jika ditanyakan apakah penutur berbasa-basi. Basa-basi
memiliki peranan penting dalam hubungan manusia dalam berkomunikasi. Dalam
penggunaan bahasa untuk keperluan basa-basi ini tentulah bukan isi pembicaraan
tetapi sikap yang diperlihatkan oleh si pembicara. Si pembicara dapat melakukan
gerak atau sikap badan tertentu dan alunan suara tertentu yang dilazimkan dalam
sesuatu masyarakat bahasa. Di Indonesia sering terjadi basa-basi ketika seseorang
bertemu dengan orang lain yang mungkin dikenalnya dan kemudian menanyakan
“Hendak kemana?”. Biasanya dalam hal ini si penanya tidak mempunyai minat
sebenarmua hanya untuk mempertahnkan hubungan baik antara si penutur dan
lawan tutur.
Arimi (1998) membagi tuturan basa-basi yang dipakai dalam masyarakat
bahasa Indonesia berdasarkan daya tuturannya digolongkan atas dua jenis, yaitu
basa-basi murni dan polar. Basa-basi murni adalah ungkapan-ungkapan yang
dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, maksudnya
apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Basa-basi murni
digolongkan menjadi tiga subjenis, yaitu basa-basi murni keniscayaan, basa-basi
keteralamian, dan basa-basi keakraban. Basa-basi polar adalah tuturan yang
berlawanan dengan realitasnya, dimana orang harus memilih tuturan yang tidak
sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Basa-basi polar dibagi
menjadi dua, yaitu basa-basi polar sosial dan basa-basi polar personal. Berikut ini
contoh pemakaian basa-basi murni dan basa-basi polar.
Karyawan : “Selamat siangpak. Ada yang bisa saya bantu?”
Direktur : “Siang. Mana data yang saya minta diserahkan hari ini?
Konteks : seorang karyawan memasuki ruang direkturnya.
Basa-basi tersebut termasuk basa-basi murni karena digunakan saat berjumpa.
Tuturan yang dipakai adalah selamat siang. Ungkapan selamat siang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul yang menandai realitas
Berbeda dengan basa-basi murni, dalam basa-basi polar orang harus
memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan.
Berikut contoh dari basa-basi polar.
Tuan rumah :Mari makan.
Tamu :Saya baru saja(makan) Pak, Bu, terima kasih.
Konteks : seseorang bertamu saat tuan rumah dan keluarganya
sedang makan.
Tuturan tuan rumah mari makan menunjukkan tuturan yang tidak sebenarnya karena tuan rumah melihat tamu datang saat mereka makan. Sebagai
sopan santun tuan rumah menawarkan makan pada tamu tersebut dan bukan
bersungguh-sungguh menawarkan makanan. Tuturan tamu saya baru sajamakan menunjukkan tuturan yang tidak sebenarnya. Tuturan sang tamu bukan
bersungguh-sungguh meyakinkan tuan rumah bahwa dia sudah makan, melainkan
hanya untuk sopan santun menolak untuk makan bersama tuan rumah.
Basa-basi sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak
antara pembicara dengan penyimak masuk dalam klasifikasi acknowledgements. Acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur atau dalam kasus-kasus di mana ujaran
berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi criteria
harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu. Tuturan
terjadi pada diri sendiri; condole (belasungkawa) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan penyesalan atas peristiwa yang terjadi pada orang lain;
congratulate (mengucapkan selamat) yaitu fungsi tuturan mengekspresikan kegembiraan karena adanya kabar baik tentang orang lain;great(memberi salam) yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang;
thanks (berterimakasih) yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan terima kasih karena mendapat bantuan; bid (mengundang) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa
depan seseorang akan terjadi; accept (menerima) yaitu fungsi tuturan untuk menerima (menghargai) basa-basi dari lawan tutu; dan reject (menolak) yaitu fungsi tuturan untuk menolak (melanggar) basa-basi dari mitra tutur.
Kategori fatis menurut Kridalaksana (1986: 111-113) adalah kategori yang
bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara
pembicara dan kawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks
dialog atau wawancara bersambut, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh
pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam
lisan. Karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka
kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang
banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Bentuk dan kategori
persetujuan, pemberian garansi, dan sekedar penekanan. Bentuk fatis dong digunakan untuk: menghaluskan perintah dan menekankan kesalahan lawan
bicara. Selain itu ada bentuk fatis ding yang bertugas menekankan pengakuan kesalahn pembicara. Bentuk fatis halo digunakan untuk: memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon dan menyalami kawan bicara yang
dianggap akrab.
Bentuk fatis kan yang apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka kan merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah, tugasnya ialah menekankan pembuktian, namun apabila kan terletak di tengah kalimat, maka kan juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan. Selain itu, ada pula bentuk fatis kek mempunyai tugas: menekankan pemerincian, menekankan perintah, dan menggantikan kata saja. Bentuk fatis kok bertugas menekankan alasan dan pengingkaran, kokdapat juga bertugas sebagai pengganti kata tanyamengapaataukenapabila diletakkan di awal kalimat. Ada pula bentuk fatis –lah yang bertugas menekankan kalimat imperatif, dan penguat sebutan dalam kalimat. Bentuk fatis lho bila terletak di awal kalimat, bersifat seperti interjeksi yang menyatakan kekagetan, dan bila terletak di tengah atau di akhir
kalimat, makalhobertugas menekankan kepastian.
Bentuk fatis mari,juga terdapat dalam kategori fatis yang bertugas untuk menekankan ajakan. Bentuk fatis nah yang selalu terletak pada awal kalimat, memiliki tugas untuk meminta supaya kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal
ada pula bentuk fatis selamat yang diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau mengalami sesuatu yang baik. Bentuk fatis sih memiliki tugas yang menggantikan tugas –tah, dan –kah, sebagai makna ‘memang’ atau ‘sebenarnya’, dan menekankan alasan. Bentuk fatis toh bertugas menguatkan maksud, ada kalanya memiliki arti yang sama dengan tetapi. Bentuk fatis ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara,
bila dipakai pada awal ujaran, meminta persetujuan atau pendapat kawan bicara,
bila dipakai pada akhir ujaran. Bentuk fatis terakhir yang termasuk dalam kategori
fatis menurut Kridalaksana adalah bentuk fatis yah yang digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi tidak pernah pada akhir ujaran, untuk
mengungkapkan keragu-raguan atau ketidakpastian terhadap apa yang
diungkapkan oleh kawan bicara atau yang tersebut dalam kalimat sebelumnya.,
bila bentuk fatis yah dipakai pada awal ujaran, atau keragu-raguan atau ketidakpastian atas isi konstituen ujaran yang mendahuluinya, bila dipakai di
tengah ujaran.
2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik
Istilah konteks didefinisikan oleh Mey (1993) dalam Nadar (2009: 3-4)
sebagai the surroundings, in the widest sense, that enable the participants in the communication process to interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible (“situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat
Konteks sangat penting dalam kajian pragmatik. Konteks ini didefinisikan
oleh Leech (1983) dalam Nadar (2009: 6) sebagai background knowledge assumed to be shared by s and h and which contributes to h’s interpretation of what s means by a given utterance (“latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi
mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan
tertentu”) (s berarti speaker “penutur”; h berarti hearer “lawan tutur”). Dengan demikian, konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial
sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh
penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna
tuturan.
Konteks mencakup pengertian situasi tetapi ditambah dengan pengertian
lain. Konteks dari sebuah kata atau bicara dapat meliputi seluruh latarbelakang
sosial budaya dari masyarakat bahasa itu. Demikianlah umpamanya kata Pancasila
tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memahami masyarakat Indonesia di
bidang ketatanegaraan, sosial politik, sistem kepartaian dan lain sebagainya. Bila
kita membaca kata-kata tertentu dalam sebuah buku umpamanya, kadang-kadang
kita kurang memahami kata itu tanpa memahami isi buku itu secara keseluruhan.
Dapat dikatakan bahwa konteks daripada kata-kata itu tadi adalah semua kata-kata
yang digunakan dalam buku itu. Tentu banyak kata-kata dalam sebuah bahasa
yang dapat kita pahami tanpa mengenal konteksnya, akan tetapi ada istilah-istilah
atau kata-kata yang sulit memahaminya tanpa memahami konteksnya. Untuk
dan situasi ini amat diperlukan. Sebagai contoh kata diamankan yang sering digunakan di masa-masa sesudah Gestapu di sekitar tahun 1965 dan 1966, sering
berarti ditangkap, ditahan dan sebagainya. Pengertian itu erat hubungannya
dengan konteks dan situasi yang berlaku pada waktu itu. Konteks itu bisa berupa
bahasa dan bukan bahasa, kedua-duanya dapat memperngaruhi arti bahasa itu.
Istilah konteks sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai
salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa (Anwar, 1984:
44).
Asumsi-asumsi (a set of assumptions) sebagai substansi pokok konteks
pragmatik tidak selalu diungkapkan oleh sejumlah pakar pragmatik. Yan Huan
dalam makalah Rahardi (2015: 18) mengatakan bahwa konteks dalam pragmatik
itu dapat dimaknai dengan mengacu kepada hal-hal yang terkait dengan seting
atau lingkungan dinamis tempat entitas kebahasan digunakan sistematis. Beliau
mengatakan juga bahwa konteks dimaknai sebagai ‘pengetahuan umum’ atau
‘pengetahuan bersama’ yang lebih dijelaskan lagi sebagai ‘a set of background
assumptions shared by the speaker and the addressee’ atau ‘seperangkat latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penututr dan mitra tutur’. Rahardi
(2011) juga mengatakan bahwa hakikat konteks pragmatik itu bukanlah konteks
fisik (physical context) dan konteks linguistik (linguistic context), melainkan
konteks berupa pengetahuan umum (general knowledge context), yang selanjutnya
dimaknai pula sebagai seperangkat latar belakang asumsi yang dimiliki bersama
oleh penutur dan mitra tutur (general knowledge shared). Frasa ‘generaal
bersama atau seperangkat asumsi itu harus dimiliki bersama-sama baik oleh
penutur maupun mitra tutur, tidak boleh hanya dimiliki oleh satu pihak saja.
Asumsi yang hanya dimiliki oleh oleh satu pihak saja sama sekali tidak
membentuk konteks dan tidak berkontribusi apa pun dalam proses pemaksudan.
Dikatakan demikian karena asumsi yang hanya dimiliki sepihak itu justru dapat
menghadirkan kesenjangan (discrepancy) yang menghasilkan kesalahpahaman.
Sebaliknya asumsi-asumsi yang dimiliki secara bersama dapat menjamin interaksi
berkat adanya semacam peririsan yang sama-sama dikontribusikan baik oleh
penutur maupun mitra tutur dalam komunikasi. Asumsi-asumsi yang hadir dalam
peririsan sebagai hakikat konteks pragmatik itu dapat mencakup dua kategori
yakni asumsi berkategori komunal dan asumsi berkategori personal. Kedua
asumsi dalam berkomunikasi itulah yang dapat dimaknai sebagai hakikat konteks
pragmatik. Rahardi dalam makalahnya (2015: 20) menegaskan bahwa kejatian
dan kehadiran kontekslah yang menjadikan interaksi terjadi antara pentur dan
mitra tutur. Dengan perkataan lain dapat ditegaskan pula bahwa hanya karena
adanya asumsi-asumsi tertentu yang hadir dalam entitas konteks yang sifatnya
tertentu sajalah interaksi itu akan dapat dibangun. Dengan demikian dapat
ditegaskan juga bahwa syarat terjadinya interaksi itu adalah konteks, dan di dalam
konteks terdapat substansi hakiki yang berupa seperangkat asumsi (a set of
2.3 Kerangka Berpikir
Komunikasi fatis merupakan suatu fenomena baru dalam studi pragmatik.
Komunikasi fatis muncul dari perkembangan penggunaan bahasa oleh masyarakat
sebagai bentuk bahasa yang digunakan untuk memulai atau mempertahankan
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam kehidupan sehari-hari.
Komunikasi fatis dapat terjadi dalam berbagai macam ranah, yang mana salah
satunya adalah ranah pendidikan. Komunikasi fatis yang berkembang dalam ranah
tersebut dilatar belakangi oleh berbagai faktor, karena ranah pendidikan juga
merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari manusia sehingga tentu selalu
melibatkan proses komunikasi, termasuk komunikasi fatis itu sendiri. Hal tersebut
menjadi kajian penelitian ini, yang khususnya mengkaji komunikasi fatis dalam
wacana konsultatif pembibingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia
semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan teori-teori komunikasi fatis dan beberapa teori
lain yang digunakan untuk mendukung tuturan fatis dalam wacana konsultatif
antara dosen dan mahasiswa. Pertama, Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi
pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan, dengan perasaan tertentu untuk
membentuk hidup bersama yang menyenangkan.
Kedua, Jackobson (1980) mendefinisikan basa-basi tuturan yang dipergunakan
untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi untuk
memastikan berfungsinya saluran komunikasi dan menarik perhatian lawan bicara
atau menjaga agar lawan bicara tetap memperhatikan.
Ketiga, Kridalaksana (1986: 111) mendefinisikan kategori fatis sebagai
kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan
pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis
merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam
nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang
banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.
Keempat, Anwar (1984: 46) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan
sejemput kata-kata yang dipakai untuk sekedar memecah kesunyian, untuk
mempertahankan suasana baik dan sebagainya, sehingga bahasa tidak hanya
digunakan untuk menyampaikan perasaan atau pikiran, untuk membahas sesuatu
masalah, untuk membujuk, merayu, dan sebagainya.
Kelima, Arimi (1998: 171) dalam tesisnya membagi tuturan basa-basi menjadi
dua, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan
yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan
yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima
kasih, pamit, dan sebagainya. Sedangkan basa-basi polar yaitu tuturan yang
berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak
sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan.
Keenam, basa-basi dapat dikatakan termasuk tindak tutur ilokusi komunikatif.
Hal ini dikarenakan terdapat beberapa fungsi basa-basi yang termasuk klasifikasi
tindak tutur ilokusi komunikatif, berdasarkan klasifikasi tindak tutur ilokusi
menurut Ibrahim (1993: 16). Klasifikasi tindak tutur komunikatif mencangkup
tindak tutur konstantif, direktif, komisif, dan acknowledgements. Basa-basi termasuk dalam acknowledgements. Hal itu dikatakan demikian karena acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur atau dalam kasus-kasus di mana ujaran
berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria
Berikut ini adalah bagan kerangka berpikir berdasarkan hal-hal yang telah
dipaparkan:
Komunikasi Fatis dalam Kajian Pragmatik
Teori
Malinowski Jackobson Kridalaksana Anwar Arimi Ibrahim
Metode Penelitian Kualitatif
Metode dan Teknik Pengumpulan Data:
Metode Simak dan Metode Cakap dengan Teknik Catat
Metode dan Teknik Analisis Data:
Metode Padan Ekstralingual dengan Teknik Dasar dan Teknik Lanjutan
Hasil Penelitian
Wujud Kefatisan dalam Ranah Pendidikan