• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PRAGMATIK KULTUR SPESIFIK KEFATISAN BERBAHASA WARGA MASYARAKAT BERLATAR BELAKANG KULTUR TIONGHOA DI WILAYAH BESKALAN SELATAN YOGYAKARTA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN PRAGMATIK KULTUR SPESIFIK KEFATISAN BERBAHASA WARGA MASYARAKAT BERLATAR BELAKANG KULTUR TIONGHOA DI WILAYAH BESKALAN SELATAN YOGYAKARTA SKRIPSI"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PRAGMATIK KULTUR SPESIFIK KEFATISAN BERBAHASA WARGA MASYARAKAT BERLATAR BELAKANG KULTUR TIONGHOA DI WILAYAH BESKALAN SELATAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Dinda Monica Putri Teguh 171224076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2021

(2)

i

KAJIAN PRAGMATIK KULTUR SPESIFIK KEFATISAN BERBAHASA WARGA MASYARAKAT BERLATAR BELAKANG KULTUR TIONGHOA DI WILAYAH BESKALAN SELATAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Dinda Monica Putri Teguh 171224076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2021

(3)

ii SKRIPSI

KAJIAN PRAGMATIK KULTUR SPESIFIK KEFATISAN BERBAHASA WARGA MASYARAKAT BERLATAR BELAKANG KULTUR TIONGHOA DI WILAYAH BESKALAN SELATAN YOGYAKARTA

Oleh:

Dinda Monica Putri Teguh NIM: 171224076

Telah disetujui oleh

Dosen Pembimbing

Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Tanggal 18 Juni 2021

(4)

iii SKRIPSI

KAJIAN PRAGMATIK KULTUR SPESIFIK KEFATISAN BERBAHASA WARGA MASYARAKAT BERLATAR BELAKANG KULTUR TIONGHOA DI WILAYAH BESKALAN SELATAN YOGYAKARTA

Dipersiapkan dan ditulis oleh Dinda Monica Putri Teguh

NIM: 171224076

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 21 Juli 2021

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Yogyakarta, 21 Juli 2021

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si.

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ……….

Sekretaris : Danang Satria Nugraha, S.S., M.A. ……….

Anggota 1 : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ……….

Anggota 2 : Danang Satria Nugraha, S.S., M.A. ……….

Anggota 3 : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ……….

(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Saya mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan dan berkatNya, saya persembahkan karya ini untuk :

Ayah, Alm. Mama, dan Adik, Teguh Purnama, Martutik, dan Kayla Mona Putri Teguh yang selalu mendukung dan memberikan semangat.

Keluarga besar di Yogyakarta dan Bogor yang selalu menemani.

Sahabat-sahaabat dimanapun kalian berada yang menjadi tempat berbagi cerita.

(6)

v MOTTO Matius 6:34

“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”

Markus 13:11

“Dan jika kamu digiring dan diserahkan, janganlah kamu kuatir akan apa yang harus kamu katakan, tetapi katakanlah apa yang dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga, sebab bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Kudus.”

“Don’t be afraid, dream are everywhere.” – ATEEZ.

“Turn the page; but don’t burn the book.” – ATEEZ’s Mingi.

“No one take you down. You don't have to worry. You're doing great. Just keep it up. Just like you do now.” – ATEEZ.

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan kesungguhan bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 21 Juli 2021 Penulis

Dinda Monica Putri Teguh

(8)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma Nama : Dinda Monica Putri Teguh

NIM : 171224076

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, skripsi saya yang berjudul

KAJIAN PRAGMATIK KULTUR SPESIFIK

KEFATISAN BERBAHASA WARGA MASYARAKAT BERLATAR BELAKANG KULTUR TIONGHOA DI WILAYAH BESKALAN

SELATAN YOGYAKARTA

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 21 Juli 2021 Yang menyatakan

Dinda Monica Putri Teguh

(9)

viii ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan penanda-penanda kefatisan berbahasa yang terdapat pada tuturan warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan, Yogyakarta dan (2) mendeskripsikan makna-makna pragmatik kefatisan berbahasa yang terdapat pada tuturan warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan, Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk memahami perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain yang disajikan secara deskripsi kata-kata dan bahasa.

Sumber data penelitian ini terdiri dari dua yaitu sumber data substansif dan sumber data lokasional. Dalam penelitian ini berarti sumber data substansif nya adalah transkrip cuplikan percakapan antar warga berlatar belakang budaya Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan yang mengandung kefatisan berbahasa.

Kemudian, sumber data lokasional dalam penelitian ini adalah warga masyarakat yang berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

Data dari penelitian berupa tuturan-tuturan yang diungkapkan oleh para warga yang mengandung kefatisan berbahasa. Peneliti menggunakan teknik simak bebas libat cakap serta pencatatan untuk mengumpulkan data. Selanjutnya, peneliti menganalisis data yang telah dikumpulkan dengan mengidentifikasi dan mengkategorikan data-data tersebut menjadi dua kategori yaitu sesuai bentuk kefatisan berbahasa dan makna kefatisan berbahasa.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mendapatkan data berupa bentuk dan makna kefatisan berbahasa. Bentuk kefatisan berbahasa tersebut terdiri dari, tuturan berbentuk kata, tuturan berbentuk frasa, tuturan berbentuk klausa, dan tuturan berbentuk kalimat. Selanjutnya, makna kefatisan berbahasa terdiri dari, tuturan bermakna menerima, tuturan bermakna mengundang atau meminta, tuturan bermakna menolak, tuturan bermakna berterima kasih, tuturan bermakna menyampaikan salam, tuturan bermakna meminta maaf, dan tuturan bermakna memberikan simpati atau empati.

Kata Kunci: kefatisan berbahasa, basa-basi, pragmatik kultur spesifik, konteks pragmatik

(10)

ix ABSTRACT

This research discusses the phatic language practicality found in the speeches of people with Chinese cultural backgrounds in the South Beskalan area, Yogyakarta. The purposes of this research are (1) to describe makers of phatic language practicality found in the speeches of people with Chinese cultural backgrounds in the South Beskalan area, Yogyakarta (2) and to describe meanings of phatic language practicality found in the speeches of people with Chinese cultural backgrounds in the South Beskalan area, Yogyakarta.

This research is a qualitative descriptive study, so this research is intended to understand behavior, perceptions, motivation, actions, etc. Which are presented in descriptions of words and language. The data sources of this research consisted of two, namely substantial data sources and local data sources. In this research, the source of the substantive data is a transcript of snippets of conversations between the speeches of people with Chinese cultural backgrounds in the South Beskalan region which contain phatic language. Then, the source of the locational data in this research were the speeches of people with Chinese culture background in the South Beskalan area of Yogyakarta. The data from the research are in the form of utterances expressed by people who contain phatic language. Researchers used the technique of free, involved, competent listening and note-taking to collect data. Furthermore, the researcher analyzed the data that had been collected by identifying and categorizing the data into two categories, namely according to the form of types of phatic language and the meanings of phatic language.

Based on the results of the study, the researcher obtained data in the form of types and meanings of phatic language. The form of types of the phatic language consists of speech in the form of words, speech in the form of phrases, speech in the form of clauses, and speech in the form of sentences. Furthermore, the meaning of phatic language consists of, utterances which mean accepting, utterances which mean to invite or ask, utterances which mean to refuse, utterances which mean gratitude, utterances which mean to convey greetings, utterances meaning apologizing, and utterances which meant giving sympathy or empathy.

Keywords: phatic discourse, lip-serving, culture-specific pragmatics, pragmatics context

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala anugerah yang telah Ia berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Kajian Pragmatik Kultur Spesifik Kefatisan Berbahasa Warga Masyarakat Berlatar Belakang Kultur Tionghoa di Wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis menyadari bahwa ada banyak pihak yang memberikan dukungan dan bimbingan, sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan bimbingan, nasihat, saran, motivasi, dan arahan kepada penulis sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.

4. Prof. Pranowo, M.Pd., selaku triangulator yang bersedia membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membimbing penulis selama studi sebagai calon pendidik.

6. Theresia Rusmiyati, selaku pegawai sekretariat Program Studi PBSI yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu penulis dalam penyediaan referensi.

8. Keluarga penulis, Bapak Teguh Purnama, Alm. Ibu Martutik, dan Kayla Mona Putri Teguh, yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan selama penulis menyusun hingga terselesaikannya tugas akhir ini.

9. Keluarga di Yogyakarta, Ik Feni, Om Budi, Ko Kevin, Eben, dan Mbak Rista, yang selalu mendukung apapun keinginan penulis.

10. Keluarga di Bogor, Ik Lani, Om Rudi, Ci Lian, Nadine, dan Widiani, yang selalu mendoakan dan menemani penulis selama di Bogor.

11. Teman-teman penulis di Yogya, Ega, Gaby, Inggit, Danni, Nicko, Dami, Dityo, Anton, Ine, Fani eonnie, Ossa, Imel, Eva, Elisabeth, Nicky, Melati,

(12)

xi

Pandu, Firda, Ani yang selalu menemani penulis ketika pengerjaan tugas akhir ini.

12. Teman berbagi cerita, Albertus Wahyu Pratama yang selalu sabar membimbing dan mendengarkan cerita-cerita penulis selama pengerjaan tugas akhir ini.

13. Teman-teman seperjuangan di kelas B PBSI 2017 yang selalu memotivasi penulis selama masa perkuliahan.

14. Seluruh staf dan karyawan Universitas Sanata Dharma atas pelayanan yang diberikan kepada penulis selama masa perkuliahan.

15. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini.

16. Last but not least, I wanna thank me. I wanna thank me for believing in me. I wanna thank me for doing all this hard work. I wanna thank me for having no days off. I wanna thank me for, for never quitting.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan, saran, serta kritik yang mendukung tugas akhir ini semakin lebih baik lagi. Penulis berharap tugas akhir ini dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya. Terima kasih.

Yogyakarta, 21 Juli 2021 Penulis

Dinda Monica Putri Teguh

(13)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ...

... vi

HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Batasan Istilah ... 5

1.6 Sistematika Penulisan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Penelitian Relevan ... 7

2.2 Landasan Teori ... 8

2.2.1 Teori Pragmatik ... 8

2.2.2 Pragmatik Kultur Spesifik ... 10

2.2.3 Fenomena Pragmatik ... 12

2.2.3.1 Praanggapan ... 12

2.2.3.2 Implikatur ... 13

2.2.3.3 Deiksis ... 14

2.2.3.4 Tindak Tutur ... 16

2.2.4 Kefatisan Berbahasa ... 19

2.2.5 Bentuk Kategori Fatis ... 23

2.2.6 Distribusi Kategori Fatis ... 23

2.2.7 Fungsi Kategori Fatis ... 24

2.2.8 Konteks ... 25

2.2.9 Bentuk Kefatisan Berbahasa ... 26

... i

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN JUDUL PEMBIMBING... ii

iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN MOTTO ... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

(14)

xiii

2.2.9.1 Kata ... 26

2.2.9.2 Frasa ... 27

2.2.9.3 Klausa ... 28

2.2.9.4 Kalimat ... 28

2.3 Kerangka Berpikir ... 29

BAB III METODE PENELITIAN... 32

3.1 Jenis Penelitian ... 32

3.2 Objek Penelitian ... 33

3.3 Sumber Data dan Data... 33

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.5 Instrumen Penelitian ... 35

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ... 35

3.7 Triangulasi Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Deskripsi Data ... 38

4.2 Hasil Penelitian ... 39

4.2.1 Bentuk Kefatisan Berbahasa ... 39

4.2.1.1 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Kata ... 40

4.2.1.2 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Frasa ... 42

4.2.1.3 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Klausa ... 44

4.2.1.4 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Kalimat ... 46

4.2.2 Makna Kefatisan Berbahasa ... 48

4.2.2.1 Makna Kefatisan Berbahasa Menerima ... 49

4.2.2.2 Makna Kefatisan Berbahasa Mengundang atau Meminta ... 50

4.2.2.3 Makna Kefatisan Berbahasa Menolak ... 53

4.2.2.4 Makna Kefatisan Berbahasa Berterima Kasih... 54

4.2.2.5 Makna Kefatisan Berbahasa Menyampaikan Salam ... 56

4.2.2.6 Makna Kefatisan Berbahasa Meminta Maaf ... 58

4.2.2.7 Makna Kefatisan Berbahasa Memberikan Simpati atau Empati ... 60

4.3 Pembahasan ... 62

BAB V PENUTUP ... 68

5.1 Kesimpulan... 68

5.2 Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

LAMPIRAN ... 73

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini, peneliti menguraikan enam subbab, diantaranya: (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) batasan istilah, dan (6) sistematika penulisan. Berikut adalah keenam bahasan subbab penelitian ini:

1.1. Latar Belakang

Manusia tidak pernah lepas dari interaksi dan komunikasi karena manusia adalah makhluk sosial yang artinya saling membutuhkan manusia satu dengan lainnya. Menurut KBBI (2008:542), Interaksi adalah hal saling melakukan aksi, berhubungan, memengaruhi; antarhubungan. Merujuk pada pengertian tersebut dapat ditemukan interaksi sosial. Selo Soemardjan menyatakan bahwa arti dari interaksi sosial merupakan sebuah hubungan timbal balik yang terjadi antara individu dengan berbagai sisi kehidupan bersama. Hubungan timbal balik itulah yang menyebabkan terjadinya komunikasi.

Komunikasi merupakan proses pemindahan dan pertukaran pesan, dimana pesan ini dapat berbentuk fakta, gagasan, perasaan, data atau informasi dari seseorang kepada orang lain. Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi dan/ atau mengubah informasi yang dimiliki serta tingkah laku orang yang menerima pesan tersebut (Achmad S. Ruky). Untuk melakukan suatu interaksi tersebut manusia pasti membutuhkan bahasa sebagai alat komunikasinya. Tak dapat dipungkiri latar belakang budaya dapat mempengaruhi cara penutur itu dalam berkomunikasi dan berinteraksi.

Seseorang dapat mengukur tingkat kecendekiaan manusia lainnya hanya melalui bahasa yang digunakan serta cara menyampaikan bahasa tersebut, berhubungan dengan latar belakang budaya. Hal ini terkadang menimbulkan budaya basa-basi atau bahasa fatis.

Bahasa memiliki fungsi fatis. Fatis adalah kategori kata yang hanya memiliki fungsi sosial dan tidak memiliki fungsi penyampaian informasi.

(16)

Dengan kata lain, ujaran yang bersifat fatis tidak berisikan hal-hal mengenai informasi yang dituturkan, melainkan ungkapan tersebut hanya bertujuan mengeratkan hubungan antar penutur dan mitra tutur. Sejalan dengan hal tersebut, bahasa fatis dapat dikatakan sebagai basa-basi.

Pengertian basa-basi sebenarnya adalah sopan santun atau tata krama (good manners) dalam berinteraksi antar manusia. Bentuknya dapat berupa salam, menanyakan kabar, menyampaikan ungkapan simpati dan penghargaan (terima kasih). Budaya basa-basi sudah menjadi budaya sehari-hari masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia memang terkenal dengan kebiasaan tidak enakan sekalipun di situasi yang genting. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal ini akan dilakukan penelitian mengenai kategori fatis dalam bahasa Indonesia yang terdapat pada warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta. Hal ini akan berkaitan dengan pendapat Harimurti Kridalaksana (2005: 114), yaitu bentuk fatis biasanya terdapat dalam bahasa lisan yang umumnya merupakan ragam lisan non-standar yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Masyarakat dengan berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta akan banyak menggunakan unsur dialek daerahnya dalam mengungkapkan kefatisannya. Hal ini sejalan dengan situasi bermasyarakat warga berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta yang mayoritas merupakan warga keturunan Tionghoa dengan mata pencahariannya yaitu berdagang. Umumnya suatu kelompok masyarakat dengan kesamaan tertentu akan menciptakan budaya baru. Dalam hal ini budaya yang diciptakan warga Beskalan Selatan Yogyakarta adalah budaya berbasa-basi. Akan ditemukan bahasa fatis atau ungkapan basa-basi menggunakan unsur dialek Tionghoa atau Kuo Yu. Namun, tak jarang juga akan ditemukan ungkapan-ungkapan menggunakan bahasa Jawa karena warga masyarakat tersebut tinggal cukup lama di Yogyakarta. Kridalaksana membagi kategori fatis menjadi tiga bentuk, yaitu partikel fatis, kata fatis dan frase fatis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketiga bentuk tersebut

(17)

yang terdapat dalam berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

Kefatisan bahasa atau basa-basi ketika berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Tidak dapat sembarangan mengutarakan “basa-basi” tersebut.

Penutur perlu memperhatikan siapa yang menjadi lawan bicaranya, lebih tua kah atau lebih muda. Layaknya kelas, bahasa fatis pasti memiliki jenjang bahasanya. Akan kurang sopan ketika penutur mengungkapkan basa-basinya dengan kata yang kurang berkenan seperti, “Ah, masa sih?”. Basa-basi tersebut lebih enak didengar jika pemilihan katanya yang tepat seperti,

“Benarkah?”. Fenomena tersebut erat kaitannya dengan kesantunan berbahasa. Berbasa-basi pun perlu memperhatikan kesantunan dalam berbahasa. Hal ini karena fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyambung interaksi dan komunikasi. Jika bahasa yang digunakan kurang tepat, dapat dipastikan informasi yang ingin disampaikan maupun yang diterima akan berbeda maknanya.

Menggunakan bahasa dalam berkomunikasi diperlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan sarana pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan bentuk dan struktur dengan konteks penggunaannya (Sutrisno, 2008: 1). Menurut Leech, (1993: 45) pragmatik secara umum mengaitkan makna atau arti gramatikal suatu tuturan dengan daya pragmatik tuturan tersebut. Kaitan ini dapat bersifat linguistik langsung atau tidak langsung. Kesantunan berbahasa berdasarkan pendapat tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur tingkat kesopanan seseorang kepada mitra tuturnya.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, penelitian mengenai kategori fatis dalam bahasa Indonesia ini belum banyak dikaji. Oleh karena itu, permasalahan tentang kategori fatis dalam bahasa Indonesia terutama pada penggunaannya dalam bahasa Indonesia pada warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.

(18)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta?

Berdasarkan rumusan masalah utama diatas, penelitian ini juga menemukan beberapa sub-sub masalah tersebut akan diuraikan di bawah ini.

1. Apa saja bentuk kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta?

2. Apa saja makna pragmatik kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas terdapat rumusan masalah utama dan sub-sub masalah. Tujuan penelitian dari rumusan masalah utama adalah mendeskripsikan kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta. Pada sub-sub masalah yang telah dipaparkan diatas tujuan penelitiannya sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan makna pragmatik kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

(19)

1.4. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan pandangan dan kontribusi mengenai kefatisan berbahasa yang dapat digunakan oleh masyarakat, khususnya kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat menjadi sarana pelestarian budaya Tionghoa khususnya bagi masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di Yogyakarta. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan berupa penggunaan kefatisan berbahasa yang tepat dalam berkomunikasi kepada masyakat agar hubungan komunikasi yang terjalin dapat terjaga dengan baik.

1.5. Batasan Istilah

Peneliti membatasi beberapa istilah yang akan dibahas dalam penelitian ini, diantaranya:

1. Pragmatik adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang maksud (Yule, 2006).

2. Konteks berarti “something accompanying text”, yaitu sesuatu yang inheren dan hadir bersamaan dengan teks (Halliday & Hasan, 1976).

Dapat dikatakan juga konteks sebagai situasi terjadinya suatu komunikasi.

3. Kefatisan adalah kategori kata yang hanya memiliki fungsi sosial dan tidak memiliki fungsi penyampaian informasi.

4. Penghasil tuturan basa-basi yaitu masyarakat dengan latar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

(20)

1.6. Sistematika Penulisan

Pada skripsi ini, terdapat lima bagian yang akan dipaparkan. Bab I dijelaskan mengenai uraian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penulisan. Bab II dijelaskan mengenai uraian tinjauan pustaka yang terdiri dari penelitian yang relevan, beberapa teori yang menjadi acuan penelitian, dan kerangka berpikir. Bab III dijelaskan mengenai uraian metode peneltian yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, dan teknik analisis data. Bab IV dijelaskan mengenai uraian deskripsi data, hasil penelitian, dan pembahasan.

Bab V dijelaskan mengenai uraian simpulan dan saran.

(21)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Relevan

Ada beberapa tulisan yang masih relevan dengan penelitian ini. Penelitian- penelitian tersebut menjadi acuan peneliti dalam merumuskan kefatisan berbahasa yang terjadi di masyarakat. Terutama kefatisan berbahasa dalam bahasa Indonesia warga masyarakat.

Penelitian pertama milik R. Kunjana Rahardi (2016) dengan judul

“Manifestasi Wujud dan Makna Pragmatik Kefatisan Berbahasa dalam Ranah Pendidikan”. Penelitian ini mengkaji wujud dan makna kefatisan berbahasa dalam bahasa Indonesia di ranah pendidikan. Ditemukan lima makna pragmatik kefatisan yaitu, (a) basa-basi dalam tuturan yang bermakna pragmatik penerimaan, (b) basa-basi dalam tuturan yang bermakna pragmatik penolakan, (c) basa-basi dalam tuturan yang bermakna mengundang, (d) basa- basi dalam tuturan yang bermakna pragmatik pengucapan terima kasih, dan (e) basa-basi dalam tuturan yang bermakna pragmatik penyampaian salam.

Tuturan-tuturan dalam penelitian tersebut merupakan manifestasi tuturan basa-basi yang mengandung makna pragmatik yang sebenarnya tidak terdapat basa-basi pada tuturan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pandangan pakar yang mengatakan bahwa kefatisan berbahasa itu tidak memiliki maksud karena fungsinya adalah sekadar pemerekat dan pemerkukuh komunikasi.

Penelitian kedua milik Nurul Hizatul Akbar (2016) dengan judul

“Kategori Fatis dalam Bahasa Indonesia pada Acara Indonesia Lawak Klub di Trans 7”. Penelitian mengenai kategori fatis dalam bahasa Indonesia ini belum banyak dikaji. Oleh karena itu, permasalahan tentang kategori fatis dalam bahasa Indonesia terutama pada penggunaannya dalam bahasa Indonesia pada acara Indonesia Lawak Klub (ILK) di Trans 7 sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan terhadap masyarakat pengguna bahasa atau

(22)

masyarakat tutur agar dapat memahami dan mendapat gambaran mengenai bentuk, fatis, dan distribusi kategori fatis dalam bahasa Indonesia.

Penelitian ketiga milik Hilmiati (2012) dengan judul “Bentuk Fatis Bahasa Sasak (Phatic Communication In Sasak)”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan empiris untuk mengkaji makna bentuk fatis yang digunakan oleh penutur asli bahasa Sasak. Sumber data dipilih dari penutur bahasa Sasak dialek ngeno-ngene di desa Bagik Papan. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, transkripsi, dan analisis teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk fatis dalam penutur bahasa sasak relevan dan sesuai dengan teori tentang komunikasi fatis oleh Malinowski dan teori fungsi bahasa interpersonal oleh Halliday.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Teori Pragmatik

Kajian ilmu bahasa yaitu Linguistik memiliki beberapa cabang. Cabang- cabang ilmu bahasa tersebut meliputi Fonologi, Morfologi, Sintaksis, Semantik, Pragmatik, serta Wacana. Semantik dan Pragmatik memiliki persamaan, yaitu cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan bahasa. Namun, di antara persamaan tersebut terdapat pula perbedaannya.

Semantik mengkaji makna satuan bahasa secara internal sedangkan Pragmatik mengkaji makna satuan bahasa secara eksternal. Pernyataan tersebut diperjelas dengan contoh penggunaan kata malas, cuek, dan menjauhi seperti berikut:

1) Anak itu terkenal karena kemalasannya.

2) Orang yang malas biasanya cuek terhadap sekitarnya.

3) Orang lain akan menjauhi orang yang malas dan cuek.

Kata “malas” dalam kalimat (1) secara internal dapat bermakna ‘lalai’ atau

‘abai’. Kata “cuek” dalam kalimat (2) secara internal dapat bermakna ‘apatis’.

Kata “menjauhi” dalam kalimat (3) secara internal dapat bermakna ‘tidak peduli’. Kata-kata tersebut dapat bermakna sebaliknya, “malas” menjadi

(23)

‘rajin’, “cuek” menjadi ‘peduli’, dan “menjauhi” menjadi ‘mendekati’ atau

‘disenangi’.

Uraian di atas sejalan dengan penjabaran pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks (Kaswanti Purwo, 1990: 16). Purwo (1990: 31), juga menambahkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi. Unsur-unsur dalam berkomunikasi seperti bahasa, tuturan, serta makna, akan dipahami oleh para pelaku komunikasi dengan adanya konteks.

Dapat dikatakan ilmu pragmatik mengkaji hubungan bahasa dengan konteks dan hubungan pemakaian bahasa antara penuturnya.

Leech (1993: 8) mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Proses tindak tutur antara penutur dengan mitra tutur tidak akan lepas dari konteks yang menyertainya. Maka benar adanya jika pragmatik dikatakan sebagai kajian yang mempelajari makna bahasa yang terikat dengan konteks. Bahasa dalam komunikasi fatis pun tidak luput dari konteks yang melingkupinya.

Setiap tuturan yang dikatakan mengandung makna sekalipun tuturan tersebut merupakan basa-basi.

Pragmatik diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi- tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Dengan kata lain pengertian pragmatik adalah kajian mengenai kemampuan pemakaian bahasa yang menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat.

Percakapan yang dapat terjadi secara efektif dan jelas apabila sesuai dengan konteks percakapan yang berlangsung pada sebuah tuturan, sehingga dengan konteks situasi pembicaraan, pendengarpun dapat memahami apakah percakapan tersebut efekif, hidup, dan wajar. Konteks dalam pragmatik berarti semua latar belajar (background knowledge) yang dimiliki oleh si

(24)

penutur dan lawan tutur untuk menafsirkan makna dan tuturan (Wijana, 1996:11).

2.2.2. Pragmatik Kultur Spesifik

Studi pragmatik merupakan studi dalam cabang linguistik yang terus berkembang. Selain terus berkembang, studi pragmatik merupakan studi terbaru dan termuda dalam cabang linguistik (Rahardi, 2020: 4). Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa studi pragmatik merupakan studi yang mengkaji tuturan dengan maksudnya. Setiap tuturan yang diucapkan oleh penutur memiliki maksud atau makna tergantung konteksnya. Makna-makna tuturan tersebut dipengaruhi oleh konteks, baik yang bersifat sosial, sosietal, kultural, ataupun situasional. Maka, perbedaan persepsi saat berkomunikasi sering terjadi akibat perbedaan pemahaman konteks penutur dan mitra tutur yang belum tentu sama dan hal itu merupakan hal yang wajar. Pernyataan tersebut sejalan dengan penjabaran arti pragmatik menurut Rahardi (2020: 5) yaitu, pragmatik merupakan studi bahasa yang terikat konteks (context- bound), bukan studi bahasa yang bersifat bebas (context-free). Rahardi (2020:

5) juga menambahkan, konteks yang berlaku dalam pragmatik bersifat triadik bukan diadik.

Komunikasi triadik memiliki arti sebagai sebuah proses komunikasi antara tiga orang atau lebih secara tatap muka yang dimana para pelaku komunikasi tersebut saling berinteraksi. Lain halnya dengan komunikasi diadik yang memiliki arti sebagai proses komunikasi antarpribadi yang berlangsung antara seorang komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang komunikan yang menerima pesan. Bandingkan dengan kedua contoh di bawah ini:

Contoh 1:

A: “Ayo nanti istirahat makan bareng!”

B: “Boleh-boleh. C, ikut ya!”

C: “Oke siap!”

Contoh 2:

Guru: “Anak-anak, tugas minggu ini dikumpulkan besok paling lambat setelah istirahat kedua. Ibu tunggu di ruang guru.”

(25)

Murid: “Baik, Bu.”

Contoh 1 menggambarkan tiga tokoh dalam percakapan yang saling berinteraksi. A merupakan komunikator yang menyampaikan pesannya terlebih dahulu, B sebagai komunikan yang menerima pesan dari A sekaligus menjadi komunikator yang menyampaikan pesannya kepada C, C menjadi komunikan setelah menerima pesan dari A dan B. Proses tersebut merupakan proses komunikasi triadik. Pada contoh 2 Guru berperan sebagai komunikator dan murid menerima pesan tersebut sehingga murid disebut sebagai komunikan. Proses tersebut merupakan proses komunikasi diadik. Dapat dikatakan komunikasi diadik berjalan lebih efektif, sebab komunikator memusatkan perhatiannya kepada komunikan, sehingga ia dapat menguasai frame of reference komunikan seutuhnya. Namun, komunikasi triadik juga memiliki kelebihan yaitu dalam komunikasi kelompok proses komunikasi ini dapat mengubah sikap, opini, atau perilaku komunikan karena komunikasi ini merupakan komunikasi antarpribadi.

Pragmatik yang menginterpretasikan makna atau maksud yang sesuai dengan konteks triadik tersebut dinamakan sebagai pragmatik umum atau general pragmatics. Bidang pragmatik terus berkembang hingga sampai kepada konteks budaya lokal. Hal ini berpengaruh pada perkembangan pragmatik di Indonesia. Seperti kita ketahui Indonesia memiliki banyak keragaman budaya dan hal ini membuat pragmatik di Indonesia mengalami perkembangan, khususnya pada konteks budaya. Penelitian pragmatik di Indonesia cukup beragam dan berbasis pada kultur setempat karena satu daerah dengan daerah lainnya memiliki kekhasannya masing-masing.

Pragmatik yang seperti ini dinamakan pragmatik kultur spesifik atau culture- specific pragmatics (Rahardi, 2020: 5).

(26)

2.2.3. Fenomena-Fenomena Pragmatik

Menurut Rahardi (2020: 179) fenomena pragmatik adalah bidang-bidang kajian yang dapat dilaksanakan proses penelitiannya dalam rangka studi pragmatik. Fenomena-fenomena pragmatik terbagi atas 5 jenis, diantaranya praanggapan, implikatur, deiksis, tindak tutur, dan kefatisan berbahasa.

2.2.3.1. Praanggapan

Praanggapan merupakan salah satu bagian dari lingkup pragmatik yang membicarakan kaidah-kaidah bertutur dengan sesuatu yang diasumsikan atau dipraanggapkan (Rahardi, 2020: 180). Yule (via Wahyuni 2006) menambahkan praanggapan sebagai sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Kedua ahli tersebut menekankan kata “asumsi”.

Asumsi-asumsi yang dihasilkan oleh penutur telah diketahui lebih dulu oleh mitra tutur. Hal ini berkaitan dengan latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh kedua pelaku komunikasi tersebut.

Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) tentang praanggapan yaitu praanggapan sebagai anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori atau ungkapan mempunyai makna. Stalnaker (dalam Brown dan Yule, 1996: 29) menambahkan praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi peserta percakapan. Kutipan tersebut menggarisbawahi sumber praanggapan adalah penutur. Berdasarkan beberapa kutipan pendapat ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa praanggapan berkaitan dengan suatu ucapan yang dituturkan oleh penutur yang sudah diketahui lebih dulu maksudnya oleh mitra tutur, baik itu pengetahuan umum atau hal-hal yang berkaitan dengan situasi konteks.

Praanggapan pragmatik tidak jauh-jauh dari konteks. Menurut Atlas dan Levinson (dalam Nababan, 1987: 58) disarankan (1) bentuk logika itu harus menggambarkan struktur dari kalimat itu yang penting/bermakna menurut naluri pemakai bahasa; dan (2)

(27)

bentuk logika itu harus dapat mengamalkan simpulan-simpulan pragmatik yang akan dihasilkan oleh konteks. Praanggapan dalam berkomunikasi merupakan sesuatu yang diasumsikan oleh penutur dan mitra tutur. Kedua pelaku tersebut dari awal pertuturan sudah saling mengetahui dan memiliki informasi yang sama. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Penutur: “Handphone saya rusak. Saya akan hubungi anda nanti.”

Dari contoh kutipan percakapan di atas dapat diketahui bahwa mitra tutur sudah mengetahui bahwa penutur memiliki handphone atau gawai. Dalam konteks tersebut tidak mungkin mitra tutur melempar pertanyaan “Apakah kamu memiliki handphone?”.

2.2.3.2. Implikatur

Menurut Rahardi (2020: 180) implikatur adalah salah satu fenomena pragmatik yang membicarakan kaidah-kaidah bertutur yang tidak langsung, yang bersifat terimplikasi. Sebuah implikatur tidak diungkapkan secara literal dalam tuturan, tetapi terdapat maksud lain yang sebisa mungkin diterka dan dipahami oleh penutur. Hal ini akan mudah dipahami jika kedua pelaku komunikasi, penutur dan mitra tutur, telah memahami dan mengalami topik pertuturan tersebut. Implikatur akan sukar dipahami jika penutur tidak dapat mengaitkan tuturannya dengan konteks yang dibutuhkan, seperti partisipan dalam tuturan, tempat dan waktu kejadian, topik atau tema tuturan, dan situasi kondisi yang terjadi.

Rahardi menambahkan terdapat dua macam implikatur, yaitu implikatur percakapan dan implikatur konvensional. Dalam implikatur percakapan, makna atau maksud yang tidak atau kurang terungkap dalam tuturan (Kridalaksana 2008: 91). Maksudnya adalah maksud yang hendak disampaikan dalam sebuah percakapan

(28)

tidak tergambarkan secara eksplisit, tergantung pula dengan konteks yang terjadi. Sehingga mitra tutur perlu menginterpretasikan sendiri maksud tuturan dari penutur.

Grice (dalam Rohmadi, 2010: 60) menjelaskan bahwa implikatur konvensional merupakan makna suatu ujaran yang secara konvensional atau secara umum diterima oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 78) yaitu implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam suatu percakapan, dan tidak tergantung konteks khusus untuk diinterpretasikan. Maksudnya adalah pesan yang hendak diinformasikan dalam sebuah percakapan langsung diketahui oleh mitra tutur tanpa harus menginterpretasdikannya terlebih dahulu.

2.2.3.3. Deiksis

Deiksis adalah salah satu fenomena pragmatik yang membicarakan kaidah-kaidah penunjukan, baik yang menyangkut waktu, tempat, orang, masyarakat yang penentunya adalah konteks (Rahardi, 2020:

180). Yule (2006: 13) menambahkan deiksis berarti ‘penunjukkan’

melalui bahasa. Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993:

43). Purwo (1984: 1) juga menambahkan sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti- ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Definisi dari beberapa ahli mengenai deiksis menekankan pada ‘penunjukkan’ serta berpindah-pindah tergantung dimensi yang ada. Pertuturan yang terjadi dapat ditafsirkan berbeda antara penutur dengan mitra tuturnya tergantung konteks dan maksud dari penutur.

(29)

Menurut Nababan (1987: 40), Deiksis dikategorikan menjadi lima macam, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Paparan lebih lengkap sebagai berikut.

1) Deiksis Persona yaitu deiksis yang tergantung peran dari partisipan dalam peristiwa percakapannya misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan identitas yang lain.

Peran partisipan peristiwa percakapan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu: a) persona pertama, yang mempunyai variasi bentuk aku, -ku, ku-, kami, dan kita;

b) persona kedua, yang mempunyai beberapa wujud, yaitu engkau, kamu, anda, dikau, kau-, dan –mu; c) persona ketiga, yang terdiri atas ia, dia, dan beliau.

2) Deiksis Tempat yaitu rujukan bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu, seperti di sini, di situ, dan di sana.

3) Deiksis Waktu yaitu pengungkapan bentuk kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat (Purwo, 1984: 46). Wujud deiksis waktu antara lain kemarin, lusa, besok, hari ini, bulan ini, minggu ini, dan lain sebagainya.

4) Deiksis Wacana yaitu rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Yule, 2006: 42). Deiksis wacana terdiri atas anaphora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali pada sesuatu yang telah disebutkan dalam wacana. Katafora adalah penunjukan kepada suatu yang disebut kemudian.

5) Deiksis Sosial yaitu rujukan yang dinyatakan berdasarakan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Hal ini

(30)

dapat dikatakan pula sebagai tingkatan bahasa yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat. Contohnya seperti bahasa Jawa yang terkenal akan basa ngoko, basa kromo, dan basa kromo inggil.

2.2.3.4. Tindak Tutur

Menurut Arifiany (2016: 2) tindak tutur adalah perilaku berbahasa seseorang yang berupa ujaran dalam sebuah peristiwa tutur. Austin (1962), yang merupakan pencetus pertama mengenai teori tindak tutur, menambahkan bahwa pada dasarnya saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Definisi tindak tutur lainnya menurut Yule (dalam Wiyatasari 2015: 46) adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Kesimpulan dari beberapa ahli tersebut mengenai tindak tutur adalah aktivitas seseorang yang tergambarkan melalui tuturan.

Melalui buku Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language, Searle (dalam Wijaya 2009: 20) menyatakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan tutur yang dapat diwujudkan oleh penutur, yaitu tindak lokusi (Locutionary Act), tindak ilokusi (Ilocutionary Act), dan tindak perlokusi (Perlocutionary Act). Lokusi adalah tuturan yang dihasilkan oleh penutur. Ilokusi adalah makna atau pesan yang terdapat dalam tuturan. Perlokusi adalah efek dari sebuah tindak ilokusi.

Yule (2006: 92) mengkategorikan tindak tutur menjadi 5 fungi, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif.

Penjelasannya sebagai berikut.

1) Deklaratif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud menciptakan keadaan yang baru.

2) Representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya atas dasar kebenaran yang dituturkannya.

(31)

3) Ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud untuk menilai atau mengevaluasi hal yang disebutkan dalam tuturan.

4) Direktif adalah tindak tutur yang dilakukan agar mitra tutur melaksanakan apa yang dikatakan oleh penutur.

5) Komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan hal yang disebutkan dalam tuturan.

Lain halnya tindak tutur ilokusi menurut Searle dalam Rahardi (2010) yang digolongkan menjadi lima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi komunikatif, yaitu.

1) Asertif yaitu bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran preposisi yang diungkapkan, misal menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).

2) Direktif yaitu bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan, misal memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati (advising), dan merekomendasi (recommending).

3) Ekspresif yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misal berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling).

4) Komisif yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran , misal berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

(32)

5) Deklarasi yaitu bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misal berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membabtis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommunicating), dan menghukum (sentencing).

Pendapat dari tokoh ini mendasari bahwa penggolongan tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tuturan tersebut dapat berfungsi dan bermaksud yang bermacam-macam. Berbeda dengan pendapat menurut Leech (1983), Blum-Kulka (1987) yang menyatakan bahwa satu maksud atau fungsi bahasa dapat dinyatakan dengan bentuk tuturan yang bermacam-macam.

Misalkan memerintah (commanding), dapat dinyatakan dengan berbagai cara seperti (1) kalimat imperatif “Belikan saya minum.”, (2) kalimat perfomartif eksplisit “Saya minta anda belikan saya minum.”, (3) kalimat performatif berpagar “Sejujurnya saya ingin anda beli minum untuk saya.”, (4) kalimat pernyataan keharusan

“Anda harus belikan saya minum.”, (5) pernyataan keinginan “Saya ingin anda belikan saya minum.”, (6) rumusan saran “Bagaimana kalau anda membelikan saya minum?”, (7) persiapan pertanyaan

“Anda bisa belikan saya minum?”, (8) isyarat yang kuat “Cuaca panas sekali, saya kehausan.”, dan (9) isyarat halus “Saya haus.”

(33)

2.2.4. Kefatisan Berbahasa

Fatis secara etimologi berasal dari bahasa yunani phatos, bentuk verba dari ins phatai “Berbicara” (Yusra dkk, 2012:504). Malinowski (1923 dalam Waridin 2008:39) memberikan perian mengenai ungkapan fatis yaitu tipe tuturan digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-kata. Teori Malinowski tersebut lebih mengedepankan komunikasi fatis sebagai sarana utuk menjaga hubungan sosial antar pelaku tutur. Sarana yang digunakan oleh pelaku tutur tersebut biasanya topik pembicaraan yang ringan.

Konsep phatic communication menurut Kridalaksana (2008: 114) terbagi dalam beberapa kategori, diantaranya, kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks dialog wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara.

Menurut Jacobson (1980), komunikasi fatis dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi. Maksud pernyataan tersebut adalah bahasa fatis berfungsi untuk memastikan jalannya saluran komunikasi dan para pelaku tutur tersebut saling menjaga dan memperhatikan pada saat peristiwa tutur terjadi. Teori Jakobson ini menitikberatkan pada komunikasi fatis sebagai media yang digunakan penutur untuk menyampaikan isi atau pesan pembicaraan kepada mitra tuturnya.

Fenomena bahasa yang secara sadar dipakai oleh penutur, akan tetapi secara sadar pula tidak diakuinya ketika ditanyakan kebasa-basian itu merupakan basa-basi secara praktis (Arimi, 1998: 95). Dapat dikatakan, basa- basi adalah peristiwa lingual yang alami, tetapi pengguna bahasa tersebut menolak jika dinyatakan sedang berbasa-basi. Arimi (1998: 96) memaparkan bahwa secara metodologis, penolakan tersebut akan terlihat lebih jelas jika dibandingkan dengan aktivitas verbal nonbasa-basi, seperti ketika marah atau menunjukkan keseriusan. Para pelaku tutur akan saling mengaku ketika sedang menunjukkan keseriusannya. Maka, berbasa-basi berkaitan erat

(34)

dengan hal kesantunan, seperti tegur sapa maupun beramah tamah. Ada kalanya berbasa-basi dipahami sebagai ungkapan kepura-puraan, tidak bersungguh-sungguh, dan terkadang kebohongan. Dapat dikatakan basa-basi bermakna penolakan dari yang sebenarnya, untuk menjaga harmonisasi antar pelaku tutur.

Dalam tesisnya Arimi (1998: 171) membagi basa-basi menjadi dua yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni berarti ungkapan- ungkapan yang diucapkan secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang menunjukkan basa-basi murni ialah, selamat (pagi, siang, malam), selamat datang, mengucapkan terima kasih, berpamitan, dll. Basa-basi polar berarti tuturan yang berlawanan dengan kenyataan, biasanya digunakan untuk saling menunjukkan hal yang lebih sopan. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Penutur: “Selamat pagi, Bu. Ada apa ya memanggil saya?”

Mitra tutur: “Pagi. Silakan duduk dulu.”

Cuplikan tuturan di atas merupakan basa-basi murni karena diucapkan ketika saling berjumpa. Ungkapan selamat pagi merupakan ungkapan otomatis ketika peristiwa tutur menandai kenyataan sedang pagi hari.

Dalam basa-basi polar, tuturan yang muncul akan berbeda dari basa-basi murni. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Penutur: “Sini saya antar sekalian?”

Mitra tutur: “Terima kasih, Pak. Sebentar lagi dijemput, kok.”

Maksud penutur dalam cuplikan tuturan “Sini saya antar sekalian?”

menunjukkan ungkapan yang tidak sebenarnya karena penutur dan mitra tutur berpapasan dan kebetulan mitra tutur sedang menunggu jemputan. Penutur sebenarnya sudah tahu jika mitra tutur sedang menunggu jemputan. Namun, untuk berbasa-basi penutur menawarkan mitra tutur untuk ikut bersamanya.

Maksud mitra tutur dalam cuplikan tuturan “Terima kasih, Pak. Sebentar lagi dijemput, kok.” Juga menunjukkan ungkapan yang tidak sebenarnya. Mitra

(35)

tutur meyakinkan penutur bahwa ia akan segera dijemput, walaupun sebenarnya ia tidak tahu jam berapa ia akan dijemput. Namun, dengan sopan mitra tutur menolak tawaran penutur.

Arimi (1998: 87-96) juga menambahkan bahwa basa-basi termasuk dalam tindakan ilokusi, khususnys tindakan ilokusi ekspresif. Dapat dikatakan tindak ekspresif karena berkaitan dengan perilaku psikologis penutur terhadap peristiwa tutur dengan mitranya, misalnya memberikan salam, menanyakan kabar seseorang, mengucapkan terima kasih, memberikan selamat, dan lain- lain. Oleh karena itu, basa-basi termasuk dalam fenomena pragmatik.

Menurut Ibrahim (1993: 16), tindak tutur ilokusi komunikatif diklasifikasikan kedalam Skema Tindak Tutur (STT). Maksud ilokusi atau sikap yang terekspresikan menjadi dasar STT tersebut. Kegunaannya adalah untuk membedakan tindak-tindak ilokusi yang homogen.

Taksonomi tindak tutur tersebut mencakup, antara lain, tindak tutur konstantif (constantives), direktif (directives), komisif (comissives), dan acknowledgements. Konstantif adalah ekspresi kepercayaan bersamaan dengan ekspresi maksud, sehingga mitra tutur membentuk kepercayaan yang sama. Direktif adalah ekspresi sikap penutur terhadap tindakan prospektif oleh mitra tutur dan kehendaknya terhadap tindakan mitra tutur. Komisif adalah ekspresi kehendak dan kepercayaan penutur sehingga ujarannya diharuskan untuk melakukan sesuatu. Acknowledge adalah ekspresi perasaan mitra tutur atau dalam kasus-kasus ujaran yang berfungsi secara formal.

Acknowledgements meliputi apologize, condole, congratulate, greet, thank, bid, accept, dan reject.

Dapat dikatakan acknowledgement merupakan basa-basi sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan antara pembicara dengan penyimak.

Menurut Ibrahim (1993: 37), acknowledgement sering diungkapkan bukan karena perasaan yang benar-benar murni tetapi karena ingin memenuhi harapan sosial sehingga perasaan tersebut dapat diekspresikan. Dengan kata lain, basa-basi sebagai sopan santun semata. Berikut tuturan yang termasuk acknowledge.

(36)

1) Apologize (meminta maaf)

Seseorang mengekspresikan rasa penyesalan karena telah melakukan suatu hal, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan meminta maaf.

2) Condole (berduka cita)

Seseorang mengekspresikan rasa simpati karena terkena musibah, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan berduka cita.

3) Congratulate (mengucapkan selamat)

Seseorang mengekspresikan rasa gembira karena kabar baik, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan ucapan selamat.

4) Greet (salam)

Seseorang mengekspresikan rasa senang karena bertemu seseorang, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan salam.

5) Thank (berterima kasih)

Seseorang mengekspresikan terima kasih karena mendapatkan bantuan, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan terima kasih.

6) Bid (mengundang)

Seseorang mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur memenuhi harapan sosial berupa tuturan mengundang.

7) Accept (menerima)

Seseorang mengekspresikan penghargaan acknowledgement atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan menerima.

(37)

8) Reject (menolak)

Seseorang mengekspresikan penghargaan acknowledgement atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan menolak.

2.2.5. Bentuk Kategori Fatis

Pada bagian ini dijelaskan mengenai bentuk kategori fatis dalam bahasa Indonesia. Menurut Kridalaksana (2008:54) kategori fatis dalam bahasa Indonesia memiliki tiga bentuk, yaitu partikel fatis, seperti ah, deh, dong, ding, kan, kek, kok, -lah, lho, nah, pun, sih, toh dan yah. Contoh partikel fatis. “Ayo ah kita pergi”, “makan deh jangan malu-malu”, dan lain-lain.

Selain partikel, kategori fatis juga memiliki bentuk berupa kata fatis, seperti ayo, selamat, dan ya. Adapun contoh dari kata fatis, seperti “ayo kita pergi”,

“selamat ya”, dan lain-lain. Kemudian bentuk yang terakhir berupa frase fatis, seperti selamat malam, selamat datang, assalamualaikum, waalaikum salam, terima kasih, insha Allah. Adapun contoh dari frase fatis seperti insha Allah jika ada waktu”, “terima kasih, Buk, dan lain-lain.

2.2.6. Distribusi Kategori Fatis

Pada bagian ini dijelaskan mengenai distribusi kategori fatis dalam bahasa Indonesia. Menurut Kridalaksana masing-masing bentuk kategori fatis dalam bahasa Indonesia memiliki distribusi yang berbeda. Pengkategoriannya sebagai berikut:

1. Terdapat di awal kalimat, seperti nah, contoh: nah ini yang lebih bagus.

Dan terimakasih, contoh: terimakasih Pak.

2. Terdapat di tengah kalimat, seperti kek, contohnya, mau marah kek, terserah, -lah, contoh: bawalah bukunya, dan toh contoh: biarin aja toh dia yang punya.

3. Terdapat di akhir kalimat, seperti sih, contoh: bener juga sih. Ada yang terdapat di awal dan akhir kalimat, seperti selamat, contoh: selamat ya, dan yah, contoh: jangan pulang dulu yah.

(38)

2.2.7. Fungsi Kategori Fatis

Pada bagian ini dijelaskan mengenai fungsi kategori fatis dalam bahasa Indonesia. Menurut Kridalaksana kategori fatis dalam bahasa Indonesia memiliki fungsi yang berbeda.

Adapun fungsi kategori fatis sebagai berikut.

1. Ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh 2. Ayo menekankan ajakan

3. Deh digunakan untuk menekankan pemaksaan dengan membujuk, persetujuan, sekedar penekanan.

4. Dong digunakan untuk menghaluskan perintah dan menekankan kesalahan kawan bicara.

5. Ding menekankan pengakuan kesalahan pembicara

6. Halo digunakan untuk memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon dan menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.

7. Kan apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka kan merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah, dan tugasnya ialah menekankan pembuktian. Apabila kan terletak di tengah kalimat, maka kan juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan.

8. Kek mempunyai fungsi menekankan perincian, perintah, dan menggantikan kata saja.

9. Kok menekankan alasan dan pengingkaran bisa terdapat di awal dan akhir kalimat. Partikel kok dapat juga bertugas sebagai pengganti kata tanya mengapa atau kenapa bila diletakkan di awal kalimat.

10. –lah menekankan kalimat imperatif, dan penguat sebutan dalam kalimat.

11. Lho bila terletak di awal kalimat, berfungsi seperti interjeksi yang menyatakan kekagetan. Bila terletak di tengah atau di akhir kalimat, maka lho bertugas menekankan kepastian.

12. Nah bertugas untuk meminta supaya kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal lain.

(39)

13. Pun bertugas menonjolkan bagian tersebut.

14. Selamat diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau mengalami sesuatu.

15. Sih memiliki tugas menggantikan tugas –tah dan –kah, makna memang atau sebenarnya, dan menekankan alasan.

16. Toh bertugas menguatkan maksud. Ada kalanya memiliki arti yang sama dengan tetapi.

17. Ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara, bila dipakai di awal ujaran dan minta persetujuan atau pendapat kawan bicara, bila dipakai di akhir ujaran.

18. Yah berfungsi untuk mengungkapkan keragu-raguan atau ketidakpastian terhadap apa yang diungkapkan oleh lawan bicara atau yang tersebut dalam kalimat sebelumnya.

19. Terima Kasih digunakan setelah pembicara merasa mendapatkan sesuatu dari lawan bicara.

2.2.8. Konteks

Menurut Rahardi (2006) konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Maksud dari pendapat ahli di atas adalah latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh kedua pihak pelaku komunikasi, baik komunikator dan komunikan, dengan tingkat pengetahuan yang sama sehingga proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar, jelas, hidup, dan wajar tanpa ada kesalahan penafsiran suatu tuturan.

Penelitian ini menganalisis mengenai tuturan dalam komunikasi fatis dilihat dari konteksnya. Tuturan yang bersifat fatis tidak akan lepas dari maksud penuturnya. Hal ini juga berhubungan dengan aspek sosial antarpenutur. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa peristiwa komunikasi saling berhubungan erat dengan kehidupan sosial para pelaku komunikasi.

(40)

Maka, penting untuk memperhatikan wujud dan maksud sebuah tuturan fatis dengan konteks yang melingkupinya.

Syafi’ie (dalam Mulyana, 2005:24) menjelaskan bahwa, apabila dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakaan dapat dikategorikan menjadi empat macam, yakni:

1) Konteks linguistik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan.

2) Konteks epistemis (epistemis context), adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui partisipan

3) Kontes fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan para partisipan.

4) Konteks sosial (social context), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antara pelaku atau partisipan dalam percakapan.

Uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan atau komunikasi menunjukkan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan suatu wacana. Singkatnya dapat dikatakan in language, context is everything yang artinya dalam berbahasa (berkomunikasi), konteks adalah segala-galanya (Mulyana, 2005:24).

2.2.9. Bentuk Kefatisan Berbahasa

Kefatisan berbahasa merupakan tindakan tutur yang hanya memiliki fungsi sosial dan tidak memiliki fungsi penyampaian informasi. Kefatisan berbahasa juga sering dikatakan sebagai basa- basi. Ada beberapa bentuk kefatisan berbahasa, yaitu: kata, frasa, klausa, dan kalimat.

2.2.9.1. Kata

Kridalaksana (2008: 110) memaparkan kata adalah satuan terkecil bahasa yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas. Terdapat jenis-jenis kata diantaranya, kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), kata ganti (pronomina), kata keterangan (adverbia), kata bilangan (numeralia), dan kata tugas. Kata benda

(41)

(nomina) adalah kata-kata yang merujuk pada bentuk suatu benda, bentuk benda itu sendiri dapat bersifat abstrak ataupun konkret.

Contoh kata benda adalah buku, meja, kursi, dan lain-lain. Kata kerja (verba) adalah jenis kata yang menyatakan suatu perbuatan. Contoh kata kerja adalah membeli, memotong, bernyanyi, makan, dan lain- lain. Kata sifat (adjektiva) adalah kelompok kata yang mampu menjelaskan atau mengubah kata benda atau kata ganti menjadi lebih spesifik. Contoh kata sifat adalah terpandai, lebih, agak, sangat, dan lain-lain. Kanti ganti (pronomina) berfungsi menggantikan benda atau sesuatu yang dibendakan. Contoh kata ganti adalah aku, kamu, kita, kami, kalian, anda, ia, beliau, dan lain-lain. Kata keterangan (adverbia) adalah jenis kata yang memberikan keterangan pada kata kerja, kata sifat, dan kata bilangan bahkan mampu memberikan keterangan pada seluruh kalimat. Contoh kata keterangan adalah di sana, sekarang, dengan (…), dan lain-lain. Kata bilangan (numeralia) adalah enis kelompok kata yang menyatakan jumlah, kumpulan, urutan sesuatu yang dibendakan. Contoh kata bilangan adalah satu, semua, separuh, pertama, dan lain-lain. Kata tugas memiliki arti gramatikal dan tidak memiliki arti leksikal. Jenis-jenis kata tugas antara lain preposisi (kata depan), contohnya di, ke, dari, konjungsi (kata sambung), contoh dan, atau, serta. Macam-macam konjungsi antara lain konjungsi koordinatif dengan contoh dan, atau, serta, konjungsi korelatif dengan contoh baik… maupun, tidak…tetapi, konjungsi antar kalimat dengan contoh biarpun begitu, akan tetapi…, konjungsi subordinatif dengan contoh sejak, semenjak, sedari, sewaktu.

2.2.9.2. Frasa

Ramlan, 2001: 139 menyatakan bahwa frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Dapat dikatakan frasa hanya mengisi satu fungsi dalam sebuah kalimat. Menurut Parera (1983: 44), frasa

(42)

memiliki dua jenis yaitu, frasa endosentris dan frasa eksosentris.

Frasa endosentris adalah frasa yang memiliki distribusi dan fungsi yang sama dengan anggota pembentuknya. Frasa eksosentris adalah frasa yang salah satu anggota pembentuknya tidak memiliki kesamaan fungsi dan distribusinya.

2.2.9.3. Klausa

Arifin (2008: 34) memaparkan satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Menurut Ramlan (1983: 78), klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas beberapa fungsi. Fungsi tersebut antara lain S, P, O, K, dan/atau Pelengkap. Dapat dikatakan klausa paling sedikit terdiri atas subjek dan predikat. Klausa berbeda dengan kalimat karena penggunaan intonasi akhir dengan huruf kapital antara kedua hal tersebut berbeda. Klausa tidak memiliki intonasi akhir dan huruf kapital, sedangkan kalimat memiliki kedua hal tersebut.

2.2.9.4. Kalimat

Keraf (1984: 156) memaparkan mengenai kalimat sebagai satu bagian dari ujaran yang didahului dan diikuti oleh kesenyapan, sedang intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap.

Fungsi yang mengisi kalimat antara lain S, P, O, K, dan atau Pelengkap. Menurut Parera (1988: 4), kalimat adalah sebuah bentuk ketatabahasaan yang maksimal yang tidak merupakan bagian dari bentuk ketatabahasaan yang lebih besar dan mempunyai kesenyapan final. Maksud kesenyapan final adalah tanda baca dan nada akhir.

Tanda baca sangat berperan pada kalimat karena hal itu yang membedakannya dengan klausa. Tanda baca berperan dalam bahasa tulis, sedangkan nada akhir berperan pada bahasa lisan.

Gambar

Tabel 1. Format blangko kefatisan berbahasa antar warga

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas air laut juga dapat ditinjau dari kandungan zat hara yang merupakan indikator dari kesuburan perairan dimana perairan Selat Bali memiliki kesuburan tinggi

Membangun sistem pakar berbasis WEB dengan metode forward chaining dan certanty factor untuk mengidentifikasi penyakit pertusis pada anak, maka tidak akan pernah

1 Pengembangan berbagai strategi pemberdayaan untuk interaksi dengan orang dari berbagai latar belakang 2 Identifikasi peran faktor budaya sosial dan perilaku dalam yankes

Caranya sama seperti modul input data maupun hapus yaitu : klik kanan tombol penyelesaian klik assign macro tulis nama modul (penyelesaian) pada

Dari hasil analisis terlihat bahwa saat switching kapasitor bank terjadi lonjakan arus atau arus inrush dan frekuensi osilasi pada setiap step pemasukan kapasitor

Jotkut oppilaat kuitenkin toteavat, että olisi myös mukava olla pelkästään oman luokan kanssa luontokoulussa.. “Meijän luokan luontokoulussa on myös

Hasonlóképpen, mivel az aktívabb hitelezési tevékenység normál gazdasági körül- mények között magasabb jövedelmezőséget jelent, ezért azzal a hipotézissel élünk, hogy

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh aktivitas melalui TATO terhadap nilai perusahaan pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-