• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Landasan Teori

2.2.2 Pragmatik Kultur Spesifik

Studi pragmatik merupakan studi dalam cabang linguistik yang terus berkembang. Selain terus berkembang, studi pragmatik merupakan studi terbaru dan termuda dalam cabang linguistik (Rahardi, 2020: 4). Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa studi pragmatik merupakan studi yang mengkaji tuturan dengan maksudnya. Setiap tuturan yang diucapkan oleh penutur memiliki maksud atau makna tergantung konteksnya. Makna-makna tuturan tersebut dipengaruhi oleh konteks, baik yang bersifat sosial, sosietal, kultural, ataupun situasional. Maka, perbedaan persepsi saat berkomunikasi sering terjadi akibat perbedaan pemahaman konteks penutur dan mitra tutur yang belum tentu sama dan hal itu merupakan hal yang wajar. Pernyataan tersebut sejalan dengan penjabaran arti pragmatik menurut Rahardi (2020: 5) yaitu, pragmatik merupakan studi bahasa yang terikat konteks (context-bound), bukan studi bahasa yang bersifat bebas (context-free). Rahardi (2020:

5) juga menambahkan, konteks yang berlaku dalam pragmatik bersifat triadik bukan diadik.

Komunikasi triadik memiliki arti sebagai sebuah proses komunikasi antara tiga orang atau lebih secara tatap muka yang dimana para pelaku komunikasi tersebut saling berinteraksi. Lain halnya dengan komunikasi diadik yang memiliki arti sebagai proses komunikasi antarpribadi yang berlangsung antara seorang komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang komunikan yang menerima pesan. Bandingkan dengan kedua contoh di bawah ini:

Contoh 1:

A: “Ayo nanti istirahat makan bareng!”

B: “Boleh-boleh. C, ikut ya!”

C: “Oke siap!”

Contoh 2:

Guru: “Anak-anak, tugas minggu ini dikumpulkan besok paling lambat setelah istirahat kedua. Ibu tunggu di ruang guru.”

Murid: “Baik, Bu.”

Contoh 1 menggambarkan tiga tokoh dalam percakapan yang saling berinteraksi. A merupakan komunikator yang menyampaikan pesannya terlebih dahulu, B sebagai komunikan yang menerima pesan dari A sekaligus menjadi komunikator yang menyampaikan pesannya kepada C, C menjadi komunikan setelah menerima pesan dari A dan B. Proses tersebut merupakan proses komunikasi triadik. Pada contoh 2 Guru berperan sebagai komunikator dan murid menerima pesan tersebut sehingga murid disebut sebagai komunikan. Proses tersebut merupakan proses komunikasi diadik. Dapat dikatakan komunikasi diadik berjalan lebih efektif, sebab komunikator memusatkan perhatiannya kepada komunikan, sehingga ia dapat menguasai frame of reference komunikan seutuhnya. Namun, komunikasi triadik juga memiliki kelebihan yaitu dalam komunikasi kelompok proses komunikasi ini dapat mengubah sikap, opini, atau perilaku komunikan karena komunikasi ini merupakan komunikasi antarpribadi.

Pragmatik yang menginterpretasikan makna atau maksud yang sesuai dengan konteks triadik tersebut dinamakan sebagai pragmatik umum atau general pragmatics. Bidang pragmatik terus berkembang hingga sampai kepada konteks budaya lokal. Hal ini berpengaruh pada perkembangan pragmatik di Indonesia. Seperti kita ketahui Indonesia memiliki banyak keragaman budaya dan hal ini membuat pragmatik di Indonesia mengalami perkembangan, khususnya pada konteks budaya. Penelitian pragmatik di Indonesia cukup beragam dan berbasis pada kultur setempat karena satu daerah dengan daerah lainnya memiliki kekhasannya masing-masing.

Pragmatik yang seperti ini dinamakan pragmatik kultur spesifik atau culture-specific pragmatics (Rahardi, 2020: 5).

2.2.3. Fenomena-Fenomena Pragmatik

Menurut Rahardi (2020: 179) fenomena pragmatik adalah bidang-bidang kajian yang dapat dilaksanakan proses penelitiannya dalam rangka studi pragmatik. Fenomena-fenomena pragmatik terbagi atas 5 jenis, diantaranya praanggapan, implikatur, deiksis, tindak tutur, dan kefatisan berbahasa.

2.2.3.1. Praanggapan

Praanggapan merupakan salah satu bagian dari lingkup pragmatik yang membicarakan kaidah-kaidah bertutur dengan sesuatu yang diasumsikan atau dipraanggapkan (Rahardi, 2020: 180). Yule (via Wahyuni 2006) menambahkan praanggapan sebagai sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Kedua ahli tersebut menekankan kata “asumsi”.

Asumsi-asumsi yang dihasilkan oleh penutur telah diketahui lebih dulu oleh mitra tutur. Hal ini berkaitan dengan latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh kedua pelaku komunikasi tersebut.

Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) tentang praanggapan yaitu praanggapan sebagai anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori atau ungkapan mempunyai makna. Stalnaker (dalam Brown dan Yule, 1996: 29) menambahkan praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi peserta percakapan. Kutipan tersebut menggarisbawahi sumber praanggapan adalah penutur. Berdasarkan beberapa kutipan pendapat ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa praanggapan berkaitan dengan suatu ucapan yang dituturkan oleh penutur yang sudah diketahui lebih dulu maksudnya oleh mitra tutur, baik itu pengetahuan umum atau hal-hal yang berkaitan dengan situasi konteks.

Praanggapan pragmatik tidak jauh-jauh dari konteks. Menurut Atlas dan Levinson (dalam Nababan, 1987: 58) disarankan (1) bentuk logika itu harus menggambarkan struktur dari kalimat itu yang penting/bermakna menurut naluri pemakai bahasa; dan (2)

bentuk logika itu harus dapat mengamalkan simpulan-simpulan pragmatik yang akan dihasilkan oleh konteks. Praanggapan dalam berkomunikasi merupakan sesuatu yang diasumsikan oleh penutur dan mitra tutur. Kedua pelaku tersebut dari awal pertuturan sudah saling mengetahui dan memiliki informasi yang sama. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Penutur: “Handphone saya rusak. Saya akan hubungi anda nanti.”

Dari contoh kutipan percakapan di atas dapat diketahui bahwa mitra tutur sudah mengetahui bahwa penutur memiliki handphone atau gawai. Dalam konteks tersebut tidak mungkin mitra tutur melempar pertanyaan “Apakah kamu memiliki handphone?”.

2.2.3.2. Implikatur

Menurut Rahardi (2020: 180) implikatur adalah salah satu fenomena pragmatik yang membicarakan kaidah-kaidah bertutur yang tidak langsung, yang bersifat terimplikasi. Sebuah implikatur tidak diungkapkan secara literal dalam tuturan, tetapi terdapat maksud lain yang sebisa mungkin diterka dan dipahami oleh penutur. Hal ini akan mudah dipahami jika kedua pelaku komunikasi, penutur dan mitra tutur, telah memahami dan mengalami topik pertuturan tersebut. Implikatur akan sukar dipahami jika penutur tidak dapat mengaitkan tuturannya dengan konteks yang dibutuhkan, seperti partisipan dalam tuturan, tempat dan waktu kejadian, topik atau tema tuturan, dan situasi kondisi yang terjadi.

Rahardi menambahkan terdapat dua macam implikatur, yaitu implikatur percakapan dan implikatur konvensional. Dalam implikatur percakapan, makna atau maksud yang tidak atau kurang terungkap dalam tuturan (Kridalaksana 2008: 91). Maksudnya adalah maksud yang hendak disampaikan dalam sebuah percakapan

tidak tergambarkan secara eksplisit, tergantung pula dengan konteks yang terjadi. Sehingga mitra tutur perlu menginterpretasikan sendiri maksud tuturan dari penutur.

Grice (dalam Rohmadi, 2010: 60) menjelaskan bahwa implikatur konvensional merupakan makna suatu ujaran yang secara konvensional atau secara umum diterima oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 78) yaitu implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam suatu percakapan, dan tidak tergantung konteks khusus untuk diinterpretasikan. Maksudnya adalah pesan yang hendak diinformasikan dalam sebuah percakapan langsung diketahui oleh mitra tutur tanpa harus menginterpretasdikannya terlebih dahulu.

2.2.3.3. Deiksis

Deiksis adalah salah satu fenomena pragmatik yang membicarakan kaidah-kaidah penunjukan, baik yang menyangkut waktu, tempat, orang, masyarakat yang penentunya adalah konteks (Rahardi, 2020:

180). Yule (2006: 13) menambahkan deiksis berarti ‘penunjukkan’

melalui bahasa. Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993:

43). Purwo (1984: 1) juga menambahkan sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Definisi dari beberapa ahli mengenai deiksis menekankan pada ‘penunjukkan’ serta berpindah-pindah tergantung dimensi yang ada. Pertuturan yang terjadi dapat ditafsirkan berbeda antara penutur dengan mitra tuturnya tergantung konteks dan maksud dari penutur.

Menurut Nababan (1987: 40), Deiksis dikategorikan menjadi lima macam, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Paparan lebih lengkap sebagai berikut.

1) Deiksis Persona yaitu deiksis yang tergantung peran dari partisipan dalam peristiwa percakapannya misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan identitas yang lain.

Peran partisipan peristiwa percakapan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu: a) persona pertama, yang mempunyai variasi bentuk aku, -ku, ku-, kami, dan kita;

b) persona kedua, yang mempunyai beberapa wujud, yaitu engkau, kamu, anda, dikau, kau-, dan –mu; c) persona ketiga, yang terdiri atas ia, dia, dan beliau.

2) Deiksis Tempat yaitu rujukan bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu, seperti di sini, di situ, dan di sana.

3) Deiksis Waktu yaitu pengungkapan bentuk kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat (Purwo, 1984: 46). Wujud deiksis waktu antara lain kemarin, lusa, besok, hari ini, bulan ini, minggu ini, dan lain sebagainya.

4) Deiksis Wacana yaitu rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Yule, 2006: 42). Deiksis wacana terdiri atas anaphora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali pada sesuatu yang telah disebutkan dalam wacana. Katafora adalah penunjukan kepada suatu yang disebut kemudian.

5) Deiksis Sosial yaitu rujukan yang dinyatakan berdasarakan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Hal ini

dapat dikatakan pula sebagai tingkatan bahasa yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat. Contohnya seperti bahasa Jawa yang terkenal akan basa ngoko, basa kromo, dan basa kromo inggil.

2.2.3.4. Tindak Tutur

Menurut Arifiany (2016: 2) tindak tutur adalah perilaku berbahasa seseorang yang berupa ujaran dalam sebuah peristiwa tutur. Austin (1962), yang merupakan pencetus pertama mengenai teori tindak tutur, menambahkan bahwa pada dasarnya saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Definisi tindak tutur lainnya menurut Yule (dalam Wiyatasari 2015: 46) adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Kesimpulan dari beberapa ahli tersebut mengenai tindak tutur adalah aktivitas seseorang yang tergambarkan melalui tuturan.

Melalui buku Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language, Searle (dalam Wijaya 2009: 20) menyatakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan tutur yang dapat diwujudkan oleh penutur, yaitu tindak lokusi (Locutionary Act), tindak ilokusi (Ilocutionary Act), dan tindak perlokusi (Perlocutionary Act). Lokusi adalah tuturan yang dihasilkan oleh penutur. Ilokusi adalah makna atau pesan yang terdapat dalam tuturan. Perlokusi adalah efek dari sebuah tindak ilokusi.

Yule (2006: 92) mengkategorikan tindak tutur menjadi 5 fungi, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif.

Penjelasannya sebagai berikut.

1) Deklaratif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud menciptakan keadaan yang baru.

2) Representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya atas dasar kebenaran yang dituturkannya.

3) Ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud untuk menilai atau mengevaluasi hal yang disebutkan dalam tuturan.

4) Direktif adalah tindak tutur yang dilakukan agar mitra tutur melaksanakan apa yang dikatakan oleh penutur.

5) Komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan hal yang disebutkan dalam tuturan.

Lain halnya tindak tutur ilokusi menurut Searle dalam Rahardi (2010) yang digolongkan menjadi lima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi komunikatif, yaitu.

1) Asertif yaitu bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran preposisi yang diungkapkan, misal menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).

2) Direktif yaitu bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan, misal memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati (advising), dan merekomendasi (recommending).

3) Ekspresif yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misal berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling).

4) Komisif yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran , misal berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

5) Deklarasi yaitu bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misal berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membabtis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommunicating), dan menghukum (sentencing).

Pendapat dari tokoh ini mendasari bahwa penggolongan tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tuturan tersebut dapat berfungsi dan bermaksud yang bermacam-macam. Berbeda dengan pendapat menurut Leech (1983), Blum-Kulka (1987) yang menyatakan bahwa satu maksud atau fungsi bahasa dapat dinyatakan dengan bentuk tuturan yang bermacam-macam.

Misalkan memerintah (commanding), dapat dinyatakan dengan berbagai cara seperti (1) kalimat imperatif “Belikan saya minum.”, (2) kalimat perfomartif eksplisit “Saya minta anda belikan saya minum.”, (3) kalimat performatif berpagar “Sejujurnya saya ingin anda beli minum untuk saya.”, (4) kalimat pernyataan keharusan

“Anda harus belikan saya minum.”, (5) pernyataan keinginan “Saya ingin anda belikan saya minum.”, (6) rumusan saran “Bagaimana kalau anda membelikan saya minum?”, (7) persiapan pertanyaan

“Anda bisa belikan saya minum?”, (8) isyarat yang kuat “Cuaca panas sekali, saya kehausan.”, dan (9) isyarat halus “Saya haus.”

2.2.4. Kefatisan Berbahasa

Fatis secara etimologi berasal dari bahasa yunani phatos, bentuk verba dari ins phatai “Berbicara” (Yusra dkk, 2012:504). Malinowski (1923 dalam Waridin 2008:39) memberikan perian mengenai ungkapan fatis yaitu tipe tuturan digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-kata. Teori Malinowski tersebut lebih mengedepankan komunikasi fatis sebagai sarana utuk menjaga hubungan sosial antar pelaku tutur. Sarana yang digunakan oleh pelaku tutur tersebut biasanya topik pembicaraan yang ringan.

Konsep phatic communication menurut Kridalaksana (2008: 114) terbagi dalam beberapa kategori, diantaranya, kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks dialog wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara.

Menurut Jacobson (1980), komunikasi fatis dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi. Maksud pernyataan tersebut adalah bahasa fatis berfungsi untuk memastikan jalannya saluran komunikasi dan para pelaku tutur tersebut saling menjaga dan memperhatikan pada saat peristiwa tutur terjadi. Teori Jakobson ini menitikberatkan pada komunikasi fatis sebagai media yang digunakan penutur untuk menyampaikan isi atau pesan pembicaraan kepada mitra tuturnya.

Fenomena bahasa yang secara sadar dipakai oleh penutur, akan tetapi secara sadar pula tidak diakuinya ketika ditanyakan kebasa-basian itu merupakan basi secara praktis (Arimi, 1998: 95). Dapat dikatakan, basa-basi adalah peristiwa lingual yang alami, tetapi pengguna bahasa tersebut menolak jika dinyatakan sedang berbasa-basi. Arimi (1998: 96) memaparkan bahwa secara metodologis, penolakan tersebut akan terlihat lebih jelas jika dibandingkan dengan aktivitas verbal nonbasa-basi, seperti ketika marah atau menunjukkan keseriusan. Para pelaku tutur akan saling mengaku ketika sedang menunjukkan keseriusannya. Maka, berbasa-basi berkaitan erat

dengan hal kesantunan, seperti tegur sapa maupun beramah tamah. Ada kalanya berbasa-basi dipahami sebagai ungkapan kepura-puraan, tidak bersungguh-sungguh, dan terkadang kebohongan. Dapat dikatakan basa-basi bermakna penolakan dari yang sebenarnya, untuk menjaga harmonisasi antar pelaku tutur.

Dalam tesisnya Arimi (1998: 171) membagi basa-basi menjadi dua yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni berarti ungkapan-ungkapan yang diucapkan secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang menunjukkan basa-basi murni ialah, selamat (pagi, siang, malam), selamat datang, mengucapkan terima kasih, berpamitan, dll. Basa-basi polar berarti tuturan yang berlawanan dengan kenyataan, biasanya digunakan untuk saling menunjukkan hal yang lebih sopan. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Penutur: “Selamat pagi, Bu. Ada apa ya memanggil saya?”

Mitra tutur: “Pagi. Silakan duduk dulu.”

Cuplikan tuturan di atas merupakan basa-basi murni karena diucapkan ketika saling berjumpa. Ungkapan selamat pagi merupakan ungkapan otomatis ketika peristiwa tutur menandai kenyataan sedang pagi hari.

Dalam basa-basi polar, tuturan yang muncul akan berbeda dari basa-basi murni. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Penutur: “Sini saya antar sekalian?”

Mitra tutur: “Terima kasih, Pak. Sebentar lagi dijemput, kok.”

Maksud penutur dalam cuplikan tuturan “Sini saya antar sekalian?”

menunjukkan ungkapan yang tidak sebenarnya karena penutur dan mitra tutur berpapasan dan kebetulan mitra tutur sedang menunggu jemputan. Penutur sebenarnya sudah tahu jika mitra tutur sedang menunggu jemputan. Namun, untuk berbasa-basi penutur menawarkan mitra tutur untuk ikut bersamanya.

Maksud mitra tutur dalam cuplikan tuturan “Terima kasih, Pak. Sebentar lagi dijemput, kok.” Juga menunjukkan ungkapan yang tidak sebenarnya. Mitra

tutur meyakinkan penutur bahwa ia akan segera dijemput, walaupun sebenarnya ia tidak tahu jam berapa ia akan dijemput. Namun, dengan sopan mitra tutur menolak tawaran penutur.

Arimi (1998: 87-96) juga menambahkan bahwa basa-basi termasuk dalam tindakan ilokusi, khususnys tindakan ilokusi ekspresif. Dapat dikatakan tindak ekspresif karena berkaitan dengan perilaku psikologis penutur terhadap peristiwa tutur dengan mitranya, misalnya memberikan salam, menanyakan kabar seseorang, mengucapkan terima kasih, memberikan selamat, dan lain-lain. Oleh karena itu, basa-basi termasuk dalam fenomena pragmatik.

Menurut Ibrahim (1993: 16), tindak tutur ilokusi komunikatif diklasifikasikan kedalam Skema Tindak Tutur (STT). Maksud ilokusi atau sikap yang terekspresikan menjadi dasar STT tersebut. Kegunaannya adalah untuk membedakan tindak-tindak ilokusi yang homogen.

Taksonomi tindak tutur tersebut mencakup, antara lain, tindak tutur konstantif (constantives), direktif (directives), komisif (comissives), dan acknowledgements. Konstantif adalah ekspresi kepercayaan bersamaan dengan ekspresi maksud, sehingga mitra tutur membentuk kepercayaan yang sama. Direktif adalah ekspresi sikap penutur terhadap tindakan prospektif oleh mitra tutur dan kehendaknya terhadap tindakan mitra tutur. Komisif adalah ekspresi kehendak dan kepercayaan penutur sehingga ujarannya diharuskan untuk melakukan sesuatu. Acknowledge adalah ekspresi perasaan mitra tutur atau dalam kasus-kasus ujaran yang berfungsi secara formal.

Acknowledgements meliputi apologize, condole, congratulate, greet, thank, bid, accept, dan reject.

Dapat dikatakan acknowledgement merupakan basa-basi sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan antara pembicara dengan penyimak.

Menurut Ibrahim (1993: 37), acknowledgement sering diungkapkan bukan karena perasaan yang benar-benar murni tetapi karena ingin memenuhi harapan sosial sehingga perasaan tersebut dapat diekspresikan. Dengan kata lain, basa-basi sebagai sopan santun semata. Berikut tuturan yang termasuk acknowledge.

1) Apologize (meminta maaf)

Seseorang mengekspresikan rasa penyesalan karena telah melakukan suatu hal, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan meminta maaf.

2) Condole (berduka cita)

Seseorang mengekspresikan rasa simpati karena terkena musibah, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan berduka cita.

3) Congratulate (mengucapkan selamat)

Seseorang mengekspresikan rasa gembira karena kabar baik, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan ucapan selamat.

4) Greet (salam)

Seseorang mengekspresikan rasa senang karena bertemu seseorang, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan salam.

5) Thank (berterima kasih)

Seseorang mengekspresikan terima kasih karena mendapatkan bantuan, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan terima kasih.

6) Bid (mengundang)

Seseorang mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur memenuhi harapan sosial berupa tuturan mengundang.

7) Accept (menerima)

Seseorang mengekspresikan penghargaan acknowledgement atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan menerima.

8) Reject (menolak)

Seseorang mengekspresikan penghargaan acknowledgement atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan menolak.

2.2.5. Bentuk Kategori Fatis

Pada bagian ini dijelaskan mengenai bentuk kategori fatis dalam bahasa Indonesia. Menurut Kridalaksana (2008:54) kategori fatis dalam bahasa Indonesia memiliki tiga bentuk, yaitu partikel fatis, seperti ah, deh, dong, ding, kan, kek, kok, -lah, lho, nah, pun, sih, toh dan yah. Contoh partikel fatis. “Ayo ah kita pergi”, “makan deh jangan malu-malu”, dan lain-lain.

Selain partikel, kategori fatis juga memiliki bentuk berupa kata fatis, seperti ayo, selamat, dan ya. Adapun contoh dari kata fatis, seperti “ayo kita pergi”,

“selamat ya”, dan lain-lain. Kemudian bentuk yang terakhir berupa frase fatis, seperti selamat malam, selamat datang, assalamualaikum, waalaikum salam, terima kasih, insha Allah. Adapun contoh dari frase fatis seperti insha Allah jika ada waktu”, “terima kasih, Buk, dan lain-lain.

2.2.6. Distribusi Kategori Fatis

Pada bagian ini dijelaskan mengenai distribusi kategori fatis dalam bahasa Indonesia. Menurut Kridalaksana masing-masing bentuk kategori fatis dalam bahasa Indonesia memiliki distribusi yang berbeda. Pengkategoriannya sebagai berikut:

1. Terdapat di awal kalimat, seperti nah, contoh: nah ini yang lebih bagus.

Dan terimakasih, contoh: terimakasih Pak.

2. Terdapat di tengah kalimat, seperti kek, contohnya, mau marah kek, terserah, -lah, contoh: bawalah bukunya, dan toh contoh: biarin aja toh dia yang punya.

3. Terdapat di akhir kalimat, seperti sih, contoh: bener juga sih. Ada yang terdapat di awal dan akhir kalimat, seperti selamat, contoh: selamat ya, dan yah, contoh: jangan pulang dulu yah.

2.2.7. Fungsi Kategori Fatis

Pada bagian ini dijelaskan mengenai fungsi kategori fatis dalam bahasa Indonesia. Menurut Kridalaksana kategori fatis dalam bahasa Indonesia memiliki fungsi yang berbeda.

Adapun fungsi kategori fatis sebagai berikut.

1. Ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh 2. Ayo menekankan ajakan

3. Deh digunakan untuk menekankan pemaksaan dengan membujuk, persetujuan, sekedar penekanan.

4. Dong digunakan untuk menghaluskan perintah dan menekankan kesalahan kawan bicara.

5. Ding menekankan pengakuan kesalahan pembicara

6. Halo digunakan untuk memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon dan menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.

6. Halo digunakan untuk memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon dan menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.

Dokumen terkait