• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Kerangka Berpikir

Komunikasi fatis atau berbasa-basi kerap dijumpai dalam bertutur sehari-sehari. Kajian ini termasuk dalam studi pragmatik karena mengaitkannya dengan konteks. Komunikasi fatis muncul karena hubungan sosial antar pelaku tutur. Berbasa-basi berfungsi untuk memulai atau mempertahankan sebuah percakapan. Maka, berbasa-basi sering ditemui khususnya dalam hidup bermasyarakat. Hal itu yang menjadi landasan kajian ini dilakukan.

Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan lima teori mengenai kefatisan berbahasa.

Teori pertama oleh Malinowski (1923 dalam Waridin 2008:39) yang memberikan perian mengenai ungkapan fatis yaitu tipe tuturan digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-kata. Teori Malinowski tersebut lebih mengedepankan komunikasi fatis sebagai sarana untuk menjaga hubungan sosial antar pelaku tutur. Sarana yang digunakan oleh pelaku tutur tersebut biasanya topik pembicaraan yang ringan.

Kedua oleh Kridalaksana (2008: 114) yang memaparkan konsep phatic communication, terbagi dalam beberapa kategori, diantaranya, kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks dialog wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara.

Ketiga oleh Jacobson (1980), komunikasi fatis dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi. Maksud pernyataan tersebut adalah bahasa fatis berfungsi untuk memastikan jalannya saluran komunikasi dan para pelaku tutur tersebut saling menjaga dan memperhatikan pada saat peristiwa tutur terjadi. Teori Jakobson ini menitikberatkan pada komunikasi fatis sebagai media yang digunakan

penutur untuk menyampaikan isi atau pesan pembicaraan kepada mitra tuturnya.

Keempat oleh Arimi (1998: 171) yang membagi basa-basi menjadi dua yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni berarti ungkapan-ungkapan yang diucapkan secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang menunjukkan basa-basi murni ialah, selamat (pagi, siang, malam), selamat datang, mengucapkan terima kasih, berpamitan, dll. Basa-basi polar berarti tuturan yang berlawanan dengan kenyataan, biasanya digunakan untuk saling menunjukkan hal yang lebih sopan.

Kelima oleh Ibrahim (1993: 16) yang mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi komunikatif kedalam Skema Tindak Tutur (STT). Maksud ilokusi atau sikap yang terekspresikan menjadi dasar STT tersebut. Kegunaannya adalah untuk membedakan tindak-tindak ilokusi yang homogen.

Penelitian ini terdiri dua rumusan masalah yaitu apa saja bentuk dan makna kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta. Tujuannya adalah untuk menemukan makna dan bentuk kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir

KEFATISAN BERBAHASA WARGA MASYARAKAT BERLATAR BELAKANG KULTUR TIONGHOA DI WILAYAH BESKALAN

SELATAN YOGYAKARTA

KAJIAN PRAGMATIK KULTUR SPESIFIK

Bentuk kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa

di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

Makna kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa

di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

32 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini peneliti akan memaparkan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan metode penelitian ini yang meliputi : (1) Jenis penelitian, (2) Objek Penelitian, (3) Sumber Data dan Data, (4) Metode dan Teknik Pengumpulan Data, (5) Instrumen penelitian, (6) Metode dan Teknik Analisis Data, dan (7) Triangulasi Data.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dibuat untuk mengkaji kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Nazir dalam Andi Prastowo (2011: 186), metode deskripstif adalah suatu metode yang digunakan untuk meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian kualitatif merupakan penelitian untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, pemikiran secara individual maupun kelompok (Nana Syaodih Sukmadinata, 2011: 60).

Adapun pengertian lain mengenai penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2005:6). Kesimpulan dari pengertian mengenai penelitian deskriptif kualitatif menurut beberapa ahli tersebut adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dan dipaparkan melalui deskripsi lengkap berbentuk kata-kata dan bahasa.

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian yang dikaji dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan masyarakat yang berlatar belakang kultur Tionghoa yang mengandung kefatisan berbahasa, khususnya yang berada di kampung Beskalan Selatan, Yogyakarta. Ujaran-ujaran yang dikaji pun tak jauh-jauh dari bahasa sehari-hari para masyarakat yaitu bahasa Jawa.

3.3 Sumber Data dan Data

Sumber data dalam penelitian terdiri dari dua yaitu sumber data substansif dan sumber data lokasional. Sumber data substansif merupakan sumber data yang berwujud dan berjenis persis dengan data penelitian yang sebenarnya.

Sumber data tersebut berwujud dialog-dialog atau cuplikan tuturan yang di dalamnya terkandung maksud sesuai ranah yang diteliti oleh peneliti. Dalam penelitian ini berarti sumber data substansif nya adalah transkrip cuplikan percakapan antar warga berlatar belakang budaya Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan yang mengandung kefatisan berbahasa. Sumber data lokasional merupakan tempat asal-muasal data tersebut diambil. Dapat dikatakan sumber data lokasional adalah sosok penghasil dan pencipta data itu (informan). Sumber data lokasional dalam penelitian ini adalah warga masyarakat yang berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

Data dalam penelitian ini adalah cuplikan percakapan yang mengandung kefatisan berbahasa antar warga berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud (Purwadarminta, 2010: 7). Ahmad Tafsir (1996: 6) juga mengungkapkan bahwa metode ialah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu”. Pendapat para ahli di atas menekankan pada kata “cara”.

Jika dikaitkan dengan metode pada pengumpulan data penelitian, metode dapat dikatakan sebagai cara umum mengumpulkan data (Sudaryanto via

Zaim, 2014: 88). Sudaryanto menambahkan ada dua jenis metode pengumpulan data kebahasaan, diantaranya metode simak dan metode cakap.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode simak karena dengan menyimak, data diperoleh dari awal peneliti akan melakukan pengumpulan data. Metode simak ini sama seperti kegiatan observasi karena dari mengamati penutur menggunakan bahasa, peneliti juga sekaligus mendengar penggunaan bahasa secara lisan dari si penutur. Metode simak dalam penelitian ini digunakan untuk menyimak percakapan yang dituturkan warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik dasar dalam metode simak yaitu teknik sadap. Menurut Mahsun (2007: 92) teknik sadap merupakan teknik dasar karena penyimakan diwujudkan melalui penyadapan.

Teknik penyadapan dalam penelitian ini digunakan untuk menyadap tuturan yang muncul dalam peristiwa kebahasaan yang ada di luar peristiwa kebahasaan tersebut. Adapun metode simak lainnya yang merupakan wujud teknik lanjutan, sebagai berikut.

a. Teknik Simak Libat Cakap (SLC)

Teknik ini memungkinkan peneliti untuk terlibat langsung dalam kegiatan penyadapan. Peneliti juga ikut berpartisipasi dalam peristiwa tutur dengan narasumber serta mengamati penggunaan bahasa yang digunakan narasumber tersebut.

b. Teknik Simak Bebas Libas Cakap (SLBC)

Teknik ini dilakukan tanpa melibatkan peneliti dalam peristiwa tutur dengan narasumbernya. Peneliti dapat menyimak percakapan antara penutur dan mitra tutur.

c. Teknik Rekam

Teknik ini dilakukan dengan cara merekam tuturan atau bahasa lisan yang dilakukan oleh pelaku tutur. Proses perekaman dilakukan dengan gawai peneliti. Tujuan perekaman ini untuk memudahkan peneliti menganalisis tuturan yang hendak diteliti

karena jumlah data yang cukup banyak, sehingga peneliti tidak lupa.

d. Teknik Catat

Teknik ini dapat dilakukan bersamaan dengan teknik rekam maupun teknik sadap. Peneliti dapat mencatat data dalam blangko bersamaan dengan proses menyimak dan menyadap.

Peneliti menggunakan teknik SLBC serta teknik catat untuk penelitian ini.

Peneliti mengamati dan menyimak setiap tuturan yang disampaikan oleh para warga yang berlatar belakang kultur Tionghoa yang mengandung kefatisan berbahasa. Namun, peneliti tidak terlibat dalam peristiwa tutur tersebut.

Proses mengamati dan menyimak peristiwa tutur tersebut diikuti oleh kegiatan mencatat dalam buku catatan mengenai tuturan-tuturan yang diduga mengandung makna kefatisan berbahasa.

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dibekali teori pragmatik kultur spesifik dan kefatisan berbahasa. Dalam penelitian ini terdapat pula instrumen pendukung penelitian yaitu blangko yang berisi format untuk pencatatan tuturan bermakna kefatisan berbahasa.

Tabel 1. Format blangko kefatisan berbahasa antar warga

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

Tahap analisis data merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk menangani masalah yang terkandung dalam data (Sudaryanto, 2014). Dalam penelitian ini tahap analisis data menggunakan metode padan. Metode padan merupakan metode yang membandingkan antara standar pembanding atau pembaku dengan sesuatu yang dibandingkan. Metode padan dalam penelitian ini berjenis metode padan ekstralingual. Mahsun (2007: 120), menjelaskan

No :

Tuturan :

Makna :

bahwa istilah ekstralingual memiliki arti bahwa metode ini digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa. Mahsun (2007: 121), menambahkan metode padan ekstralingual dapat berarti menghubungkan unsur bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa.

Sudaryanto (2014: 106), menyatakan metode padan memiliki tiga teknik lanjutan, yaitu teknik hubung banding menyamakan (HBS), teknik hubung banding membedakan (HBB), dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok (HBSP). Teknik hubung banding menyamakan (HBS) digunakan untuk menyamakan antara dua hal yang dibandingkan. Teknik hubung banding membedakan (HBB) digunakan untuk membedakan antara dua hal yang dibandingkan. Teknik hubung banding menyamakan hal pokok (HBSP) digunakan untuk menyamakan pokok diantara kedua hal yang dibandingkan.

Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah teknik hubung banding membedakan (HBB) karena antara bentuk dan makna pragmatik kefatisan berbahasa antar warga berlatar belakang kultur Tionghoa perlu dibedakan oleh peneliti.

Peneliti juga menganalisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi data berdasarkan ciri-ciri penanda yang ditemukan, 2) Mengklasifikasikan data yang mengandung kefatisan berbahasa,

3) Menginterpretasi data berdasarkan prinsip dan indikator kefatisan berbahasa yang menjadi acuan,

4) Mendeskripsikan data dan melakukan pembahasan berdasarkan kajian pragmatik.

3.7 Triangulasi Data

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moloeng, 2007: 330). Data-data dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting karena data-data tersebut yang menjadi “tokoh utama” untuk dianalisis. Data-data tersebut perlu diperiksa agar pada tahap analisis menghasilkan kesimpulan yang valid. Oleh karena itu, data-data tersebut diuji oleh pakar yang ahli dalam bidangnya, yaitu Bapak Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., sehingga kesimpulan pada penelitian ini menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan.

38 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi uraian tentang hasil penelitian yang terdiri dari beberapa subbab, diantaranya (1) deskripsi data, (2) hasil penelitian, dan (3) pembahasan. Pada bagian deskripsi data, peneliti memaparkan data yang telah diperoleh. Selanjutnya, bagian hasil penelitian, peneliti menguraikan hasil analisis dari data-data berdasarkan subkategorinya. Bagian ketiga yaitu pembahasan, peneliti memaparkan penjabaran data lebih rinci mengenai hasil analisis data sesuai teori pragmatik kultur spesifik, khususnya kefatisan berbahasa. Ketiga bagian tersebut dipaparkan sebagai berikut.

4.1. Deskripsi Data

Data dalam penelitian ini berupa ujaran yang bermakna fatis yang dituturkan warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa yang tinggal di daerah Beskalan Selatan, Yogyakarta. Data diperoleh melalui kegiatan observasi yang dilakukan peneliti di dalam lingkungan Beskalan Selatan, Yogyakarta. Peneliti menemukan 60 data kefatisan berbahasa oleh warga masyarakat yang dihimpun dalam tabulasi data. Tabulasi data tersebut disusun dalam bentuk tabel yang terdiri dari: kode data, data (ujaran kefatisan), bentuk ujaran kefatisan, serta makna ujaran kefatisan. Data-data tersebut selanjutnya dianalisis berdasarkan bentuk dan makna ujaran kefatisan.

Hasil klasifikasi berdasarkan bentuk kefatisan berbahasa, ditemukan 6 tuturan berbentuk kata, 32 tuturan berbentuk frasa, 14 tuturan berbentuk klausa, dan 8 tuturan berbentuk kalimat dari 60 data yang sudah dihimpun oleh peneliti. Selanjutnya, berdasarkan makna pragmatiknya, ditemukan 5 tuturan bermakna menerima, 20 tuturan bermakna mengundang atau meminta, 5 tuturan bermakna menolak, 4 tuturan bermakna berterima kasih, 21 tuturan bermakna menyampaikan salam, 2 tuturan bermakna meminta maaf, dan 3 tuturan bermakna memberikan simpati atau empati dari 60 data.

Data-data yang sudah dihimpun tersebut selanjutnya dianalisis berdasarkan konteks. Hal ini sejalan dengan pemaparan Purwo (2001:4), yaitu konteks adalah pijakan utama dalam analisis pragmatik. Dalam konteks tersebut meliputi penutur dan mitra tutur, tempat, waktu, dan segala sesuatu yang berhubungan di dalam ujaran tersebut. Rahardi (2006) juga menambahkan bahwa konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Hal-hal tersebut dapat membantu para pelaku tutur untuk menginterpretasi pesan yang disampaikan sehingga kegiatan komunikasi dapat berjalan lancar. Maka, konteks sangatlah mempengaruhi keberhasilan proses komunikasi.

4.2. Hasil Penelitian

Pada bagian ini, peneliti memaparkan hasil temuan data-data penelitian yang diambil dari hasil analisis data. Peneliti menganalisis data kefatisan berbahasa antar warga masyarakat yang berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan, Yogyakarta. Data-data tersebut diklasifikasikan menjadi bentuk dan makna kefatisan berbahasa antar warga masyarakat yang berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan, Yogyakarta.

Seluruh data tersebut dianalisis sesuai kategori yang telah peneliti himpun dan dikatikan dengan teori-teori yang digunakan dalam pengkajian kefatisan berbahasa. Tuturan-tuturan dalam data tersebut juga dianalisis sesuai konteks pragmatik.

4.2.1 Bentuk Kefatisan Berbahasa

Hasil penelitian yang sudah peneliti himpun mengenai bentuk kefatisan berbahasa, peneliti menemukan bentuk kefatisan berbahasa berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Teori yang digunakan peneliti untuk mendasari bentuk kefatisan berbahasa berupa kata adalah milik (Kridalaksana, 2008: 110) yaitu kata adalah satuan terkecil bahasa yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas. Menurut Kridalaksana

(2009:9) leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon yang berperan sebagai bahan baku dalam proses morfologis yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk komplek merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis.

Selanjutnya, peneliti mengambil teori (Ramlan, 2001: 139) mengenai frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Untuk menganalisis mengenai klausa, peneliti menggunakan teori dari Arifin (2008: 34) yaitu satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Selanjutnya, peneliti mengambil teori dari Keraf (1984: 156) mengenai kalimat sebagai satu bagian dari ujaran yang didahului dan diikuti oleh kesenyapan, sedang intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap.

4.2.1.1 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Kata

Kata adalah satuan terkecil bahasa yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas (Kridalaksana, 2008: 110). Kata dapat diklasifikasikan menjadi tujuh kelas kata, diantaranya, kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), kata ganti (pronomina), kata keterangan (adverbia), kata bilangan (numeralia), dan kata tugas. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data F2/KB MT: “Ada apa e cik?”

P: “Sorry, Tik. Kelebihan lima ribu ternyata. Tak kembaliin ya.”

(Maaf, Tik. Kelebihan lima ribu ternyata. Saya kembaliin ya.) MT: “Oalah tak kira kenapa. Makasi ya cik.”

Konteks

Penutur seorang ibu rumah tangga berusia 53 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi ketika penutur memanggil mitra tutur untuk menemuinya.

Penutur memberikan uang lebih yang diberikan mitra tutur untuknya. Penutur meminta maaf karena telah memberikan

informasi yang salah kepada mitra tutur. Tuturan terjadi di depan rumah mitra tutur saat siang hari.

Data di atas merupakan data berupa bentuk kata. Data yang termasuk kata terlihat dari cuplikan tuturan “Sorry, Tik.

Kelebihan lima ribu ternyata. Tak kembaliin ya.”. Kata sorry merupakan bahasa asing dari bahasa Inggris yang berarti

“maaf”. Kata maaf sendiri termasuk dalam kelas kata benda atau nomina. Hal ini ditunjukkan karena kata sorry dalam cuplikan tuturan tersebut megungkapkan permintaan ampun atau penyesalan.

Menurut Kridalaksana (2009:9) leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon yang berperan sebagai bahan baku dalam proses morfologis yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk komplek merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis. Kata sorry yang terdapat dalam cuplikan tutura di atas dapat dikatakan sebagai satuan bebas yang dapat berdiri sendiri dalam kalimat. Kata tersebut tidak memerlukan imbuhan atau unsur lain dalam kalimat. Sorry atau “maaf” merupakan kata dasar sehingga ia dapat berdiri sendiri di dalam sebuah kalimat tanpa memerlukan imbuhan atau unsur lain.

Data tersebut juga dianalisis sesuai konteks pragmatik.

Menurut Rahardi (2006) konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Tuturan tersebut terjadi di depan rumah mitra tutur saat siang hari.

Berdasarkan tuturan di atas, mitra tutur pada awalnya bertanya mengapa penutur memanggilnya. Setelah itu, penutur menyampaikan alasannya memanggil mitra tutur bahwa penutur membawa uang lebih milik mitra tutur. Kemudian, penutur

memberikan uang lebih yang diberikan mitra tutur untuknya.

Penutur meminta maaf karena telah memberikan informasi yang salah kepada mitra tutur. Penutur pun mengucapkan permintaan maafnya dengan mengatakan sorry kepada mitra tutur. Mitra tutur pun menerima permintaan maaf penutur dengan mengatakan “Oalah tak kira kenapa. Makasi ya cik.”

4.2.1.2 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Frasa

Ramlan (2001: 139) menjelaskan frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Dapat dikatakan frasa hanya mengisi satu fungsi dalam sebuah kalimat. Menurut Parera (1983: 44), frasa memiliki dua jenis yaitu, frasa endosentris dan frasa eksosentris. Frasa endosentris adalah frasa yang memiliki distribusi dan fungsi yang sama dengan anggota pembentuknya. Frasa eksosentris adalah frasa yang salah satu anggota pembentuknya tidak memiliki kesamaan fungsi dan distribusinya. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data A1/KB

MT: “Oalah iki to anakmu. Ayu ne koyo Piyai koe, wok.”

(Oalah ini anakmu. Cantik seperti Piyai kamu, nak (sebutan untuk gadis))

P: “Bisa aja, mbah. Tep ayu mbah no.” (Bisa aja mbah. Tetap cantik mbah)

MT: “Wes sepuh ngene?” (Sudah tua seperti ini?) Konteks

Penutur seorang ibu berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang nenek berusia 80 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat kunjungan ke rumah tetangga. Mitra tutur memberikan pujian kepada anak dari mitra tutur yang dibalas dengan pujian juga oleh penutur.

Tuturan terjadi di teras rumah mitra tutur.

Data di atas merupakan data berupa bentuk frasa. Data yang termasuk frasa terlihat dari cuplikan tuturan “Bisa aja, mbah.

Tep ayu mbah no.”. Arti tuturan tersebut adalah “Bisa aja mbah. Tetap cantik mbah”. Tuturan tep ayu mbah no tidak melampaui batas fungsi. Maksudnya adalah jika frasa tersebut mengisi fungsi subjek, frasa tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang masuk ke dalam fungsi lainnya. Tuturan tep ayu mbah no memenuhi syarat frasa tersebut. Kata tep merupakan bahasa sehari-hari masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa yang artinya adalah ‘tetap’. Kata tep merupakan pemendekan kata dari kata ‘tetap’ karena masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa terkadang suka mempersingkat kata. Kata ayu merupakan bahasa Jawa yang berarti ‘cantik’. Kata mbah merupakan bahasa Jawa untuk panggilan seorang lansia. Dalam tuturan di atas yang dimaksud mbah adalah seorang nenek.

Untuk kata no merupakan bahasa Jawa untuk sebuah penekanan pada akhir tuturan. Tep ayu mbah no bermakna nenek tetap cantik. Gabungan dari kata tersebut tidak melampaui batas fungsi.

Tuturan dalam data tersebut termasuk dalam frasa eksosentris konektif. Maksudnya adalah salah satu unsurnya berperan sebagai unsur penghubung. Unsur penghubung dalam tuturan ‘tep ayu mbah no’ adalah tep atau “tetap”. Kata tep menghubungkan dengan kata ayu atau “cantik”. Tuturan tersebut bermakna nenek yang tetap cantik.

Data tersebut juga dianalisis sesuai konteks pragmatik.

Menurut Rahardi (2006) konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Tuturan terjadi di teras rumah mitra tutur. Pada saat itu, penutur

mengunjungi rumah mitra tutur. Mitra tutur memberikan pujian kepada anak dari penutur yang dibalas dengan pujian juga oleh

mengunjungi rumah mitra tutur. Mitra tutur memberikan pujian kepada anak dari penutur yang dibalas dengan pujian juga oleh

Dokumen terkait