• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.7 Triangulasi Data

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moloeng, 2007: 330). Data-data dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting karena data-data tersebut yang menjadi “tokoh utama” untuk dianalisis. Data-data tersebut perlu diperiksa agar pada tahap analisis menghasilkan kesimpulan yang valid. Oleh karena itu, data-data tersebut diuji oleh pakar yang ahli dalam bidangnya, yaitu Bapak Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., sehingga kesimpulan pada penelitian ini menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan.

38 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi uraian tentang hasil penelitian yang terdiri dari beberapa subbab, diantaranya (1) deskripsi data, (2) hasil penelitian, dan (3) pembahasan. Pada bagian deskripsi data, peneliti memaparkan data yang telah diperoleh. Selanjutnya, bagian hasil penelitian, peneliti menguraikan hasil analisis dari data-data berdasarkan subkategorinya. Bagian ketiga yaitu pembahasan, peneliti memaparkan penjabaran data lebih rinci mengenai hasil analisis data sesuai teori pragmatik kultur spesifik, khususnya kefatisan berbahasa. Ketiga bagian tersebut dipaparkan sebagai berikut.

4.1. Deskripsi Data

Data dalam penelitian ini berupa ujaran yang bermakna fatis yang dituturkan warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa yang tinggal di daerah Beskalan Selatan, Yogyakarta. Data diperoleh melalui kegiatan observasi yang dilakukan peneliti di dalam lingkungan Beskalan Selatan, Yogyakarta. Peneliti menemukan 60 data kefatisan berbahasa oleh warga masyarakat yang dihimpun dalam tabulasi data. Tabulasi data tersebut disusun dalam bentuk tabel yang terdiri dari: kode data, data (ujaran kefatisan), bentuk ujaran kefatisan, serta makna ujaran kefatisan. Data-data tersebut selanjutnya dianalisis berdasarkan bentuk dan makna ujaran kefatisan.

Hasil klasifikasi berdasarkan bentuk kefatisan berbahasa, ditemukan 6 tuturan berbentuk kata, 32 tuturan berbentuk frasa, 14 tuturan berbentuk klausa, dan 8 tuturan berbentuk kalimat dari 60 data yang sudah dihimpun oleh peneliti. Selanjutnya, berdasarkan makna pragmatiknya, ditemukan 5 tuturan bermakna menerima, 20 tuturan bermakna mengundang atau meminta, 5 tuturan bermakna menolak, 4 tuturan bermakna berterima kasih, 21 tuturan bermakna menyampaikan salam, 2 tuturan bermakna meminta maaf, dan 3 tuturan bermakna memberikan simpati atau empati dari 60 data.

Data-data yang sudah dihimpun tersebut selanjutnya dianalisis berdasarkan konteks. Hal ini sejalan dengan pemaparan Purwo (2001:4), yaitu konteks adalah pijakan utama dalam analisis pragmatik. Dalam konteks tersebut meliputi penutur dan mitra tutur, tempat, waktu, dan segala sesuatu yang berhubungan di dalam ujaran tersebut. Rahardi (2006) juga menambahkan bahwa konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Hal-hal tersebut dapat membantu para pelaku tutur untuk menginterpretasi pesan yang disampaikan sehingga kegiatan komunikasi dapat berjalan lancar. Maka, konteks sangatlah mempengaruhi keberhasilan proses komunikasi.

4.2. Hasil Penelitian

Pada bagian ini, peneliti memaparkan hasil temuan data-data penelitian yang diambil dari hasil analisis data. Peneliti menganalisis data kefatisan berbahasa antar warga masyarakat yang berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan, Yogyakarta. Data-data tersebut diklasifikasikan menjadi bentuk dan makna kefatisan berbahasa antar warga masyarakat yang berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan, Yogyakarta.

Seluruh data tersebut dianalisis sesuai kategori yang telah peneliti himpun dan dikatikan dengan teori-teori yang digunakan dalam pengkajian kefatisan berbahasa. Tuturan-tuturan dalam data tersebut juga dianalisis sesuai konteks pragmatik.

4.2.1 Bentuk Kefatisan Berbahasa

Hasil penelitian yang sudah peneliti himpun mengenai bentuk kefatisan berbahasa, peneliti menemukan bentuk kefatisan berbahasa berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Teori yang digunakan peneliti untuk mendasari bentuk kefatisan berbahasa berupa kata adalah milik (Kridalaksana, 2008: 110) yaitu kata adalah satuan terkecil bahasa yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas. Menurut Kridalaksana

(2009:9) leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon yang berperan sebagai bahan baku dalam proses morfologis yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk komplek merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis.

Selanjutnya, peneliti mengambil teori (Ramlan, 2001: 139) mengenai frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Untuk menganalisis mengenai klausa, peneliti menggunakan teori dari Arifin (2008: 34) yaitu satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Selanjutnya, peneliti mengambil teori dari Keraf (1984: 156) mengenai kalimat sebagai satu bagian dari ujaran yang didahului dan diikuti oleh kesenyapan, sedang intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap.

4.2.1.1 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Kata

Kata adalah satuan terkecil bahasa yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas (Kridalaksana, 2008: 110). Kata dapat diklasifikasikan menjadi tujuh kelas kata, diantaranya, kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), kata ganti (pronomina), kata keterangan (adverbia), kata bilangan (numeralia), dan kata tugas. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data F2/KB MT: “Ada apa e cik?”

P: “Sorry, Tik. Kelebihan lima ribu ternyata. Tak kembaliin ya.”

(Maaf, Tik. Kelebihan lima ribu ternyata. Saya kembaliin ya.) MT: “Oalah tak kira kenapa. Makasi ya cik.”

Konteks

Penutur seorang ibu rumah tangga berusia 53 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi ketika penutur memanggil mitra tutur untuk menemuinya.

Penutur memberikan uang lebih yang diberikan mitra tutur untuknya. Penutur meminta maaf karena telah memberikan

informasi yang salah kepada mitra tutur. Tuturan terjadi di depan rumah mitra tutur saat siang hari.

Data di atas merupakan data berupa bentuk kata. Data yang termasuk kata terlihat dari cuplikan tuturan “Sorry, Tik.

Kelebihan lima ribu ternyata. Tak kembaliin ya.”. Kata sorry merupakan bahasa asing dari bahasa Inggris yang berarti

“maaf”. Kata maaf sendiri termasuk dalam kelas kata benda atau nomina. Hal ini ditunjukkan karena kata sorry dalam cuplikan tuturan tersebut megungkapkan permintaan ampun atau penyesalan.

Menurut Kridalaksana (2009:9) leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon yang berperan sebagai bahan baku dalam proses morfologis yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk komplek merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis. Kata sorry yang terdapat dalam cuplikan tutura di atas dapat dikatakan sebagai satuan bebas yang dapat berdiri sendiri dalam kalimat. Kata tersebut tidak memerlukan imbuhan atau unsur lain dalam kalimat. Sorry atau “maaf” merupakan kata dasar sehingga ia dapat berdiri sendiri di dalam sebuah kalimat tanpa memerlukan imbuhan atau unsur lain.

Data tersebut juga dianalisis sesuai konteks pragmatik.

Menurut Rahardi (2006) konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Tuturan tersebut terjadi di depan rumah mitra tutur saat siang hari.

Berdasarkan tuturan di atas, mitra tutur pada awalnya bertanya mengapa penutur memanggilnya. Setelah itu, penutur menyampaikan alasannya memanggil mitra tutur bahwa penutur membawa uang lebih milik mitra tutur. Kemudian, penutur

memberikan uang lebih yang diberikan mitra tutur untuknya.

Penutur meminta maaf karena telah memberikan informasi yang salah kepada mitra tutur. Penutur pun mengucapkan permintaan maafnya dengan mengatakan sorry kepada mitra tutur. Mitra tutur pun menerima permintaan maaf penutur dengan mengatakan “Oalah tak kira kenapa. Makasi ya cik.”

4.2.1.2 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Frasa

Ramlan (2001: 139) menjelaskan frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Dapat dikatakan frasa hanya mengisi satu fungsi dalam sebuah kalimat. Menurut Parera (1983: 44), frasa memiliki dua jenis yaitu, frasa endosentris dan frasa eksosentris. Frasa endosentris adalah frasa yang memiliki distribusi dan fungsi yang sama dengan anggota pembentuknya. Frasa eksosentris adalah frasa yang salah satu anggota pembentuknya tidak memiliki kesamaan fungsi dan distribusinya. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data A1/KB

MT: “Oalah iki to anakmu. Ayu ne koyo Piyai koe, wok.”

(Oalah ini anakmu. Cantik seperti Piyai kamu, nak (sebutan untuk gadis))

P: “Bisa aja, mbah. Tep ayu mbah no.” (Bisa aja mbah. Tetap cantik mbah)

MT: “Wes sepuh ngene?” (Sudah tua seperti ini?) Konteks

Penutur seorang ibu berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang nenek berusia 80 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat kunjungan ke rumah tetangga. Mitra tutur memberikan pujian kepada anak dari mitra tutur yang dibalas dengan pujian juga oleh penutur.

Tuturan terjadi di teras rumah mitra tutur.

Data di atas merupakan data berupa bentuk frasa. Data yang termasuk frasa terlihat dari cuplikan tuturan “Bisa aja, mbah.

Tep ayu mbah no.”. Arti tuturan tersebut adalah “Bisa aja mbah. Tetap cantik mbah”. Tuturan tep ayu mbah no tidak melampaui batas fungsi. Maksudnya adalah jika frasa tersebut mengisi fungsi subjek, frasa tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang masuk ke dalam fungsi lainnya. Tuturan tep ayu mbah no memenuhi syarat frasa tersebut. Kata tep merupakan bahasa sehari-hari masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa yang artinya adalah ‘tetap’. Kata tep merupakan pemendekan kata dari kata ‘tetap’ karena masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa terkadang suka mempersingkat kata. Kata ayu merupakan bahasa Jawa yang berarti ‘cantik’. Kata mbah merupakan bahasa Jawa untuk panggilan seorang lansia. Dalam tuturan di atas yang dimaksud mbah adalah seorang nenek.

Untuk kata no merupakan bahasa Jawa untuk sebuah penekanan pada akhir tuturan. Tep ayu mbah no bermakna nenek tetap cantik. Gabungan dari kata tersebut tidak melampaui batas fungsi.

Tuturan dalam data tersebut termasuk dalam frasa eksosentris konektif. Maksudnya adalah salah satu unsurnya berperan sebagai unsur penghubung. Unsur penghubung dalam tuturan ‘tep ayu mbah no’ adalah tep atau “tetap”. Kata tep menghubungkan dengan kata ayu atau “cantik”. Tuturan tersebut bermakna nenek yang tetap cantik.

Data tersebut juga dianalisis sesuai konteks pragmatik.

Menurut Rahardi (2006) konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Tuturan terjadi di teras rumah mitra tutur. Pada saat itu, penutur

mengunjungi rumah mitra tutur. Mitra tutur memberikan pujian kepada anak dari penutur yang dibalas dengan pujian juga oleh penutur.

4.2.1.3 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Klausa

Arifin (2008: 34) yaitu satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat. Menurut Ramlan (1983: 78), klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas beberapa fungsi. Fungsi tersebut antara lain S, P, O, K, dan/atau Pelengkap. Dapat dikatakan klausa paling sedikit terdiri atas subjek dan predikat. Klausa berbeda dengan kalimat karena penggunaan intonasi akhir dengan huruf kapital antara kedua hal tersebut berbeda. Klausa tidak memiliki intonasi akhir dan huruf kapital, sedangkan kalimat memiliki kedua hal tersebut. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data D1/KB

MT: “Mam, bakpia nya dihitung 20 ribu aja ya.”

P: “Oke, Usi.”

MT: “Tak bonusi juga hehehe…” (Saya kasih bonus juga hehehe…)

P: “Weh repot, nuwun tenan yo, Us” (Wah repot-repot, makasih banget ya, Us)

Konteks

Penutur seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang penjual bakpia berusia 40 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat transaksi jual beli bakpia. Mitra tutur menyampaikan harga bakpia serta memberikan bonus kepada penutur. Penutur mengucapkan terima kasih karena telah diberikan bonus bakpia.

Tuturan terjadi di rumah penutur.

Data di atas merupakan data berupa bentuk klausa. Data yang termasuk klausa terlihat dari cuplikan tuturan “Weh repot-repot, nuwun tenan yo, Us”. Arti tuturan di atas adalah Wah repot-repot, makasih banget ya, Us. Cuplikan tuturan di atas mengisi fungsi subjek dan predikat. Ciri-ciri dari klausa adalah tuturan yang minimal terdiri dari fungsi subjek dan predikat.

Subjek dari tuturan tersebut adalah Us yang merupakan nama orang. Pengisi fungsi predikat dari tuturan di atas adalah repot-repot. Kata repot-repot adalah kata sifat yang berarti sibuk, banyak kerja, atau dalam kesukaran. Dalam klausa fungsi predikat dapat diisi dengan kata atau frasa verba atau adjektiva.

Klausa berbeda dengan kalimat karena penggunaan intonasi akhir dengan huruf kapital antara kedua hal tersebut berbeda. Klausa tidak memiliki intonasi akhir dan huruf kapital, sedangkan kalimat memiliki kedua hal tersebut. Dalam tuturan tersebut, kata repot-repot tidak diawali dengan huruf kapital.

Tetapi, untuk penulisan subjek seperti nama orang harus diawali huruf kapital. Dalam tuturan tersebut pengisi fungsi subjek adalah Us yang berarti nama orang. Dapat dikatakan data di atas termasuk data berupa bentuk klausa karena terdiri dari gabungan beberapa kata, tidak diawali dengan huruf kapital, dan tidak diakhiri intonasi akhir.

Data tersebut juga dianalisis sesuai konteks pragmatik.

Menurut Rahardi (2006) konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Tuturan terjadi di rumah penutur. Pada saat itu, mitra tutur menyampaikan harga bakpia serta memberikan bonus kepada penutur. Penutur mengucapkan terima kasih karena telah diberikan bonus bakpia.

4.2.1.4 Bentuk Kefatisan Berbahasa berupa Kalimat

Keraf (1984: 156) memaparkan mengenai kalimat sebagai satu bagian dari ujaran yang didahului dan diikuti oleh kesenyapan, sedang intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap. Fungsi yang mengisi kalimat antara lain S, P, O, K, dan atau Pelengkap. Menurut Parera (1988: 4), kalimat adalah sebuah bentuk ketatabahasaan yang maksimal yang tidak merupakan bagian dari bentuk ketatabahasaan yang lebih besar dan mempunyai kesenyapan final. Maksud kesenyapan final adalah tanda baca dan nada akhir. Tanda baca sangat berperan pada kalimat karena hal itu yang membedakannya dengan klausa. Tanda baca berperan dalam bahasa tulis, sedangkan nada akhir berperan pada bahasa lisan. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data E6/KB

P: “Jam segini wes mruput, Pur.” (Jam segini sudah berangkat, Pur.)

MT: “Mau pit-pitan pak.” (Mau sepedaan pak.) P: “Oalah, hati-hati.”

Konteks

Penutur seorang pendeta dan ketua RT kampung berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Mitra tutur seorang pegawai swasta berusia 53 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Tuturan terjadi ketika penutur dan mitra tutur berpapasan di depan rumah mitra tutur. Mitra tutur keluar rumah sambil menuntun sepeda.

Melihat itu penutur menyapa mitra tutur. Tuturan terjadi di depan rumah mitra tutur saat pagi-pagi buta.

Data di atas merupakan data berupa bentuk kalimat. Data yang termasuk kalimat terlihat dari cuplikan tuturan “Jam segini wes mruput, Pur.”. Arti tuturan di atas adalah Jam segini sudah berangkat, Pur. Cuplikan tuturan di atas mengisi fungsi keterangan, predikat, dan subjek. Pengisi fungsi keterangan ditunjukkan oleh frasa jam segini. Frasa tersebut

menunjukkan keterangan waktu yaitu jam segini dimana tuturan tersebut terjadi pada pagi-pagi buta. Pengisi fungsi predikat ditunjukkan oleh frasa wes mruput atau yang artinya “sudah berangkat”. Frasa wes mruput menunjukkan kata kerja karena melakukan suatu hal yaitu “berangkat”. Pengisi fungsi subjek ditunjukkan oleh kata Pur yang berarti nama orang atau nama mitra tutur. Dapat dikatakan tuturan di atas merupakan kalimat.

Menurut Parera (1988: 4), sebuah kalimat dapat dikatakan lengkap bila memiliki kesenyapan final. Kesenyapan final yang dimaksud adalah pada tuturan lisan terdapat nada naik atau turun, sedangkan pada tuturan tulis terdapat tanda baca. Tanda baca tersebut meliputi tanda baca titik, tanya, seru, dan koma.

Pada tuturan di atas tanda baca yang ditemukan diantara lain tanda baca koma (,) dan tanda baca titik (.). Tanda baca koma dipakai diantara kata dengan sapaan seperti yang terdapat pada tuturan yaitu diantara mruput dan Pur. Tanda baca titik dipakai untuk mengakhiri kalimat pernyataan seperti pada tuturan Jam segini wes mruput, Pur. Maka, tuturan di atas dapat dikatakan sebagai kalimat dengan kesenyapan final berupa tanda baca.

Data tersebut juga dianalisis sesuai konteks pragmatik.

Menurut Rahardi (2006) konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Konteks yang terjadi dalam tuturan di atas adalah tuturan terjadi di depan rumah mitra tutur saat pagi-pagi buta. Tuturan terjadi ketika penutur dan mitra tutur berpapasan di depan rumah mitra tutur.

Mitra tutur keluar rumah sambil menuntun sepeda. Melihat itu penutur menyapa mitra tutur. Pengetahuan yang dimiliki penutur dan mitra tutur saling dipahami satu sama lain, sehingga

peristiwa tutur yang terjadi berjalan selaras dan dimengerti pesannya.

4.2.2 Makna Kefatisan Berbahasa

Menurut Ibrahim (1993: 16), tindak tutur ilokusi komunikatif diklasifikasikan kedalam Skema Tindak Tutur (STT). Maksud ilokusi atau sikap yang terekspresikan menjadi dasar STT tersebut.

Kegunaannya adalah untuk membedakan tindak-tindak ilokusi yang homogen.

Taksonomi tindak tutur tersebut mencakup, antara lain, tindak tutur konstantif (constantives), direktif (directives), komisif (comissives), dan acknowledgements. Konstantif adalah ekspresi kepercayaan bersamaan dengan ekspresi maksud, sehingga mitra tutur membentuk kepercayaan yang sama. Direktif adalah ekspresi sikap penutur terhadap tindakan prospektif oleh mitra tutur dan kehendaknya terhadap tindakan mitra tutur. Komisif adalah ekspresi kehendak dan kepercayaan penutur sehingga ujarannya diharuskan untuk melakukan sesuatu. Acknowledge adalah ekspresi perasaan mitra tutur atau dalam kasus-kasus ujaran yang berfungsi secara formal.

Acknowledgements meliputi apologize (meminta maaf), condole (berduka cita), congratulate (mengucapkan selamat), greet (salam), thank (berterima kasih), bid (mengundang), accept (mengundang), dan reject (menolak). Dalam bagian ini data peneliti menemukan makna kefatisan berbahasa yang dikategorikan menjadi tujuh (7) kategori yaitu, makna menerima, mengundang atau meminta, menolak, berterima kasih, menyampaikan salam atau menyapa, meminta maaf, dan memberikan simpati atau empati.

4.2.2.1 Kefatisan Berbahasa Bermakna Menerima

Tuturan fatis bermakna menerima merupakan subkategori taksonomi tindak tutur acknowledgment. Accept atau menerima merupakan ekspresi penghargaan untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan menerima. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data A1/KB

MT: “Oalah iki to anakmu. Ayu ne koyo Piyai koe, wok.”

(Oalah ini anakmu. Cantik seperti Piyai kamu, nak (sebutan untuk gadis))

P: “Bisa aja, mbah. Tep ayu mbah no.” (Bisa aja mbah. Tetap cantik mbah)

MT: “Wes sepuh ngene?” (Sudah tua seperti ini?) Konteks

Penutur seorang ibu berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang nenek berusia 80 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat kunjungan ke rumah tetangga. Mitra tutur memberikan pujian kepada anak dari mitra tutur yang dibalas dengan pujian juga oleh penutur.

Tuturan terjadi di teras rumah mitra tutur.

Dari cuplikan tuturan tersebut, tergambar hubungan bertetangga yang akrab. Tergambar jelas pula bahwa penutur merupakan seorang perempuan yang umurnya jauh lebih muda dibandingkan dengan mitra tutur yang merupakan seorang nenek. Namun, interaksi antara kedua pelaku komunikasi ini terlihat sangat akrab. Bahasa yang digunakan meruakan bahasa Jawa Ngoko, atau bahasa Jawa sehari-hari. Padahal bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antara orang muda dengan yang lebih tua dalam bahasa Jawa biasanya menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal ini terlihat dari cuplikan tuturan yang berbunyi, ‘Oalah iki to anakmu. Ayu ne koyo piyai koe, wok.’

dan ‘Bisa aja, mbah. Tep ayu mbah no’. Mitra tutur dengan santai memanggil penutur dengan sebutan ‘Wok’ yang dalam masyarakat Jawa berarti menyebut seorang gadis. Lalu jawaban

dari penutur juga merupakan perkataan santai tanpa menyinggung perasaan si mitra tutur dengan mengungkapkan

‘Bisa aja, mbah. Tep ayu mbah no’. Penutur menerima pujian tersebut dan mengembalikan pujian tersebut kepada mitra tutur.

Maksud dari mitra tutur yang hadir dalam cuplikan tuturan,

‘Wes sepuh ngene?’ merupakan perkataan candaan. Candaan yang dilontarkan tersebut juga dipahami oleh penutur dengan menjawab sambil tertawa. Dalam peristiwa komunikasi ini, penutur dengan mitra tutur saling memahami konteks yang sedang terjadi. Hubungan tetangga dengan tetangga yang harmonis muncul di dalam cuplikan tuturan tersebut. Hidup bertetangga memang sering dibumbui dengan basa-basi agak tali silahturahmi tetap terjalin.

Dari contoh cuplikan tersebut dapat ditemukan bahwa dalam konteks keluarga maupun hidup bertetangga tetap dibutuhkan basa-basi. Adanya basa-basi tidak menjadikan hubungan antar sesama menjadi canggung, tetapi menjadi akrab dan interaksi menjadi lebih hidup. Walaupun sekadar basa-basi menawarkan atau menerima suatu tawaran, akan muncul bounding yang kuat antar sesama.

Dari contoh cuplikan tersebut dapat ditemukan bahwa dalam konteks keluarga maupun hidup bertetangga tetap dibutuhkan basa-basi. Adanya basa-basi tidak menjadikan hubungan antar sesama menjadi canggung, tetapi menjadi akrab dan interaksi menjadi lebih hidup. Walaupun sekadar basa-basi menawarkan atau menerima suatu tawaran, akan muncul bounding yang kuat antar sesama.

Dokumen terkait