• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Sistematika Penulisan

Pada skripsi ini, terdapat lima bagian yang akan dipaparkan. Bab I dijelaskan mengenai uraian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penulisan. Bab II dijelaskan mengenai uraian tinjauan pustaka yang terdiri dari penelitian yang relevan, beberapa teori yang menjadi acuan penelitian, dan kerangka berpikir. Bab III dijelaskan mengenai uraian metode peneltian yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data dan data, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, dan teknik analisis data. Bab IV dijelaskan mengenai uraian deskripsi data, hasil penelitian, dan pembahasan.

Bab V dijelaskan mengenai uraian simpulan dan saran.

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Relevan

Ada beberapa tulisan yang masih relevan dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut menjadi acuan peneliti dalam merumuskan kefatisan berbahasa yang terjadi di masyarakat. Terutama kefatisan berbahasa dalam bahasa Indonesia warga masyarakat.

Penelitian pertama milik R. Kunjana Rahardi (2016) dengan judul

“Manifestasi Wujud dan Makna Pragmatik Kefatisan Berbahasa dalam Ranah Pendidikan”. Penelitian ini mengkaji wujud dan makna kefatisan berbahasa dalam bahasa Indonesia di ranah pendidikan. Ditemukan lima makna pragmatik kefatisan yaitu, (a) basa-basi dalam tuturan yang bermakna pragmatik penerimaan, (b) basa-basi dalam tuturan yang bermakna pragmatik penolakan, (c) basi dalam tuturan yang bermakna mengundang, (d) basa-basi dalam tuturan yang bermakna pragmatik pengucapan terima kasih, dan (e) basa-basi dalam tuturan yang bermakna pragmatik penyampaian salam.

Tuturan-tuturan dalam penelitian tersebut merupakan manifestasi tuturan basa-basi yang mengandung makna pragmatik yang sebenarnya tidak terdapat basa-basi pada tuturan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pandangan pakar yang mengatakan bahwa kefatisan berbahasa itu tidak memiliki maksud karena fungsinya adalah sekadar pemerekat dan pemerkukuh komunikasi.

Penelitian kedua milik Nurul Hizatul Akbar (2016) dengan judul

“Kategori Fatis dalam Bahasa Indonesia pada Acara Indonesia Lawak Klub di Trans 7”. Penelitian mengenai kategori fatis dalam bahasa Indonesia ini belum banyak dikaji. Oleh karena itu, permasalahan tentang kategori fatis dalam bahasa Indonesia terutama pada penggunaannya dalam bahasa Indonesia pada acara Indonesia Lawak Klub (ILK) di Trans 7 sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan terhadap masyarakat pengguna bahasa atau

masyarakat tutur agar dapat memahami dan mendapat gambaran mengenai bentuk, fatis, dan distribusi kategori fatis dalam bahasa Indonesia.

Penelitian ketiga milik Hilmiati (2012) dengan judul “Bentuk Fatis Bahasa Sasak (Phatic Communication In Sasak)”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan empiris untuk mengkaji makna bentuk fatis yang digunakan oleh penutur asli bahasa Sasak. Sumber data dipilih dari penutur bahasa Sasak dialek ngeno-ngene di desa Bagik Papan. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, transkripsi, dan analisis teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk fatis dalam penutur bahasa sasak relevan dan sesuai dengan teori tentang komunikasi fatis oleh Malinowski dan teori fungsi bahasa interpersonal oleh Halliday.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Teori Pragmatik

Kajian ilmu bahasa yaitu Linguistik memiliki beberapa cabang. Cabang-cabang ilmu bahasa tersebut meliputi Fonologi, Morfologi, Sintaksis, Semantik, Pragmatik, serta Wacana. Semantik dan Pragmatik memiliki persamaan, yaitu cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan bahasa. Namun, di antara persamaan tersebut terdapat pula perbedaannya.

Semantik mengkaji makna satuan bahasa secara internal sedangkan Pragmatik mengkaji makna satuan bahasa secara eksternal. Pernyataan tersebut diperjelas dengan contoh penggunaan kata malas, cuek, dan menjauhi seperti berikut:

1) Anak itu terkenal karena kemalasannya.

2) Orang yang malas biasanya cuek terhadap sekitarnya.

3) Orang lain akan menjauhi orang yang malas dan cuek.

Kata “malas” dalam kalimat (1) secara internal dapat bermakna ‘lalai’ atau

‘abai’. Kata “cuek” dalam kalimat (2) secara internal dapat bermakna ‘apatis’.

Kata “menjauhi” dalam kalimat (3) secara internal dapat bermakna ‘tidak peduli’. Kata-kata tersebut dapat bermakna sebaliknya, “malas” menjadi

‘rajin’, “cuek” menjadi ‘peduli’, dan “menjauhi” menjadi ‘mendekati’ atau

‘disenangi’.

Uraian di atas sejalan dengan penjabaran pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks (Kaswanti Purwo, 1990: 16). Purwo (1990: 31), juga menambahkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi. Unsur-unsur dalam berkomunikasi seperti bahasa, tuturan, serta makna, akan dipahami oleh para pelaku komunikasi dengan adanya konteks.

Dapat dikatakan ilmu pragmatik mengkaji hubungan bahasa dengan konteks dan hubungan pemakaian bahasa antara penuturnya.

Leech (1993: 8) mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Proses tindak tutur antara penutur dengan mitra tutur tidak akan lepas dari konteks yang menyertainya. Maka benar adanya jika pragmatik dikatakan sebagai kajian yang mempelajari makna bahasa yang terikat dengan konteks. Bahasa dalam komunikasi fatis pun tidak luput dari konteks yang melingkupinya.

Setiap tuturan yang dikatakan mengandung makna sekalipun tuturan tersebut merupakan basa-basi.

Pragmatik diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Dengan kata lain pengertian pragmatik adalah kajian mengenai kemampuan pemakaian bahasa yang menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat.

Percakapan yang dapat terjadi secara efektif dan jelas apabila sesuai dengan konteks percakapan yang berlangsung pada sebuah tuturan, sehingga dengan konteks situasi pembicaraan, pendengarpun dapat memahami apakah percakapan tersebut efekif, hidup, dan wajar. Konteks dalam pragmatik berarti semua latar belajar (background knowledge) yang dimiliki oleh si

penutur dan lawan tutur untuk menafsirkan makna dan tuturan (Wijana, 1996:11).

2.2.2. Pragmatik Kultur Spesifik

Studi pragmatik merupakan studi dalam cabang linguistik yang terus berkembang. Selain terus berkembang, studi pragmatik merupakan studi terbaru dan termuda dalam cabang linguistik (Rahardi, 2020: 4). Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa studi pragmatik merupakan studi yang mengkaji tuturan dengan maksudnya. Setiap tuturan yang diucapkan oleh penutur memiliki maksud atau makna tergantung konteksnya. Makna-makna tuturan tersebut dipengaruhi oleh konteks, baik yang bersifat sosial, sosietal, kultural, ataupun situasional. Maka, perbedaan persepsi saat berkomunikasi sering terjadi akibat perbedaan pemahaman konteks penutur dan mitra tutur yang belum tentu sama dan hal itu merupakan hal yang wajar. Pernyataan tersebut sejalan dengan penjabaran arti pragmatik menurut Rahardi (2020: 5) yaitu, pragmatik merupakan studi bahasa yang terikat konteks (context-bound), bukan studi bahasa yang bersifat bebas (context-free). Rahardi (2020:

5) juga menambahkan, konteks yang berlaku dalam pragmatik bersifat triadik bukan diadik.

Komunikasi triadik memiliki arti sebagai sebuah proses komunikasi antara tiga orang atau lebih secara tatap muka yang dimana para pelaku komunikasi tersebut saling berinteraksi. Lain halnya dengan komunikasi diadik yang memiliki arti sebagai proses komunikasi antarpribadi yang berlangsung antara seorang komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang komunikan yang menerima pesan. Bandingkan dengan kedua contoh di bawah ini:

Contoh 1:

A: “Ayo nanti istirahat makan bareng!”

B: “Boleh-boleh. C, ikut ya!”

C: “Oke siap!”

Contoh 2:

Guru: “Anak-anak, tugas minggu ini dikumpulkan besok paling lambat setelah istirahat kedua. Ibu tunggu di ruang guru.”

Murid: “Baik, Bu.”

Contoh 1 menggambarkan tiga tokoh dalam percakapan yang saling berinteraksi. A merupakan komunikator yang menyampaikan pesannya terlebih dahulu, B sebagai komunikan yang menerima pesan dari A sekaligus menjadi komunikator yang menyampaikan pesannya kepada C, C menjadi komunikan setelah menerima pesan dari A dan B. Proses tersebut merupakan proses komunikasi triadik. Pada contoh 2 Guru berperan sebagai komunikator dan murid menerima pesan tersebut sehingga murid disebut sebagai komunikan. Proses tersebut merupakan proses komunikasi diadik. Dapat dikatakan komunikasi diadik berjalan lebih efektif, sebab komunikator memusatkan perhatiannya kepada komunikan, sehingga ia dapat menguasai frame of reference komunikan seutuhnya. Namun, komunikasi triadik juga memiliki kelebihan yaitu dalam komunikasi kelompok proses komunikasi ini dapat mengubah sikap, opini, atau perilaku komunikan karena komunikasi ini merupakan komunikasi antarpribadi.

Pragmatik yang menginterpretasikan makna atau maksud yang sesuai dengan konteks triadik tersebut dinamakan sebagai pragmatik umum atau general pragmatics. Bidang pragmatik terus berkembang hingga sampai kepada konteks budaya lokal. Hal ini berpengaruh pada perkembangan pragmatik di Indonesia. Seperti kita ketahui Indonesia memiliki banyak keragaman budaya dan hal ini membuat pragmatik di Indonesia mengalami perkembangan, khususnya pada konteks budaya. Penelitian pragmatik di Indonesia cukup beragam dan berbasis pada kultur setempat karena satu daerah dengan daerah lainnya memiliki kekhasannya masing-masing.

Pragmatik yang seperti ini dinamakan pragmatik kultur spesifik atau culture-specific pragmatics (Rahardi, 2020: 5).

2.2.3. Fenomena-Fenomena Pragmatik

Menurut Rahardi (2020: 179) fenomena pragmatik adalah bidang-bidang kajian yang dapat dilaksanakan proses penelitiannya dalam rangka studi pragmatik. Fenomena-fenomena pragmatik terbagi atas 5 jenis, diantaranya praanggapan, implikatur, deiksis, tindak tutur, dan kefatisan berbahasa.

2.2.3.1. Praanggapan

Praanggapan merupakan salah satu bagian dari lingkup pragmatik yang membicarakan kaidah-kaidah bertutur dengan sesuatu yang diasumsikan atau dipraanggapkan (Rahardi, 2020: 180). Yule (via Wahyuni 2006) menambahkan praanggapan sebagai sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Kedua ahli tersebut menekankan kata “asumsi”.

Asumsi-asumsi yang dihasilkan oleh penutur telah diketahui lebih dulu oleh mitra tutur. Hal ini berkaitan dengan latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh kedua pelaku komunikasi tersebut.

Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) tentang praanggapan yaitu praanggapan sebagai anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori atau ungkapan mempunyai makna. Stalnaker (dalam Brown dan Yule, 1996: 29) menambahkan praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi peserta percakapan. Kutipan tersebut menggarisbawahi sumber praanggapan adalah penutur. Berdasarkan beberapa kutipan pendapat ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa praanggapan berkaitan dengan suatu ucapan yang dituturkan oleh penutur yang sudah diketahui lebih dulu maksudnya oleh mitra tutur, baik itu pengetahuan umum atau hal-hal yang berkaitan dengan situasi konteks.

Praanggapan pragmatik tidak jauh-jauh dari konteks. Menurut Atlas dan Levinson (dalam Nababan, 1987: 58) disarankan (1) bentuk logika itu harus menggambarkan struktur dari kalimat itu yang penting/bermakna menurut naluri pemakai bahasa; dan (2)

bentuk logika itu harus dapat mengamalkan simpulan-simpulan pragmatik yang akan dihasilkan oleh konteks. Praanggapan dalam berkomunikasi merupakan sesuatu yang diasumsikan oleh penutur dan mitra tutur. Kedua pelaku tersebut dari awal pertuturan sudah saling mengetahui dan memiliki informasi yang sama. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Penutur: “Handphone saya rusak. Saya akan hubungi anda nanti.”

Dari contoh kutipan percakapan di atas dapat diketahui bahwa mitra tutur sudah mengetahui bahwa penutur memiliki handphone atau gawai. Dalam konteks tersebut tidak mungkin mitra tutur melempar pertanyaan “Apakah kamu memiliki handphone?”.

2.2.3.2. Implikatur

Menurut Rahardi (2020: 180) implikatur adalah salah satu fenomena pragmatik yang membicarakan kaidah-kaidah bertutur yang tidak langsung, yang bersifat terimplikasi. Sebuah implikatur tidak diungkapkan secara literal dalam tuturan, tetapi terdapat maksud lain yang sebisa mungkin diterka dan dipahami oleh penutur. Hal ini akan mudah dipahami jika kedua pelaku komunikasi, penutur dan mitra tutur, telah memahami dan mengalami topik pertuturan tersebut. Implikatur akan sukar dipahami jika penutur tidak dapat mengaitkan tuturannya dengan konteks yang dibutuhkan, seperti partisipan dalam tuturan, tempat dan waktu kejadian, topik atau tema tuturan, dan situasi kondisi yang terjadi.

Rahardi menambahkan terdapat dua macam implikatur, yaitu implikatur percakapan dan implikatur konvensional. Dalam implikatur percakapan, makna atau maksud yang tidak atau kurang terungkap dalam tuturan (Kridalaksana 2008: 91). Maksudnya adalah maksud yang hendak disampaikan dalam sebuah percakapan

tidak tergambarkan secara eksplisit, tergantung pula dengan konteks yang terjadi. Sehingga mitra tutur perlu menginterpretasikan sendiri maksud tuturan dari penutur.

Grice (dalam Rohmadi, 2010: 60) menjelaskan bahwa implikatur konvensional merupakan makna suatu ujaran yang secara konvensional atau secara umum diterima oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 78) yaitu implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam suatu percakapan, dan tidak tergantung konteks khusus untuk diinterpretasikan. Maksudnya adalah pesan yang hendak diinformasikan dalam sebuah percakapan langsung diketahui oleh mitra tutur tanpa harus menginterpretasdikannya terlebih dahulu.

2.2.3.3. Deiksis

Deiksis adalah salah satu fenomena pragmatik yang membicarakan kaidah-kaidah penunjukan, baik yang menyangkut waktu, tempat, orang, masyarakat yang penentunya adalah konteks (Rahardi, 2020:

180). Yule (2006: 13) menambahkan deiksis berarti ‘penunjukkan’

melalui bahasa. Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993:

43). Purwo (1984: 1) juga menambahkan sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Definisi dari beberapa ahli mengenai deiksis menekankan pada ‘penunjukkan’ serta berpindah-pindah tergantung dimensi yang ada. Pertuturan yang terjadi dapat ditafsirkan berbeda antara penutur dengan mitra tuturnya tergantung konteks dan maksud dari penutur.

Menurut Nababan (1987: 40), Deiksis dikategorikan menjadi lima macam, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Paparan lebih lengkap sebagai berikut.

1) Deiksis Persona yaitu deiksis yang tergantung peran dari partisipan dalam peristiwa percakapannya misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan identitas yang lain.

Peran partisipan peristiwa percakapan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu: a) persona pertama, yang mempunyai variasi bentuk aku, -ku, ku-, kami, dan kita;

b) persona kedua, yang mempunyai beberapa wujud, yaitu engkau, kamu, anda, dikau, kau-, dan –mu; c) persona ketiga, yang terdiri atas ia, dia, dan beliau.

2) Deiksis Tempat yaitu rujukan bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu, seperti di sini, di situ, dan di sana.

3) Deiksis Waktu yaitu pengungkapan bentuk kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat (Purwo, 1984: 46). Wujud deiksis waktu antara lain kemarin, lusa, besok, hari ini, bulan ini, minggu ini, dan lain sebagainya.

4) Deiksis Wacana yaitu rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Yule, 2006: 42). Deiksis wacana terdiri atas anaphora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali pada sesuatu yang telah disebutkan dalam wacana. Katafora adalah penunjukan kepada suatu yang disebut kemudian.

5) Deiksis Sosial yaitu rujukan yang dinyatakan berdasarakan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Hal ini

dapat dikatakan pula sebagai tingkatan bahasa yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat. Contohnya seperti bahasa Jawa yang terkenal akan basa ngoko, basa kromo, dan basa kromo inggil.

2.2.3.4. Tindak Tutur

Menurut Arifiany (2016: 2) tindak tutur adalah perilaku berbahasa seseorang yang berupa ujaran dalam sebuah peristiwa tutur. Austin (1962), yang merupakan pencetus pertama mengenai teori tindak tutur, menambahkan bahwa pada dasarnya saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Definisi tindak tutur lainnya menurut Yule (dalam Wiyatasari 2015: 46) adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Kesimpulan dari beberapa ahli tersebut mengenai tindak tutur adalah aktivitas seseorang yang tergambarkan melalui tuturan.

Melalui buku Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language, Searle (dalam Wijaya 2009: 20) menyatakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan tutur yang dapat diwujudkan oleh penutur, yaitu tindak lokusi (Locutionary Act), tindak ilokusi (Ilocutionary Act), dan tindak perlokusi (Perlocutionary Act). Lokusi adalah tuturan yang dihasilkan oleh penutur. Ilokusi adalah makna atau pesan yang terdapat dalam tuturan. Perlokusi adalah efek dari sebuah tindak ilokusi.

Yule (2006: 92) mengkategorikan tindak tutur menjadi 5 fungi, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif.

Penjelasannya sebagai berikut.

1) Deklaratif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud menciptakan keadaan yang baru.

2) Representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya atas dasar kebenaran yang dituturkannya.

3) Ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud untuk menilai atau mengevaluasi hal yang disebutkan dalam tuturan.

4) Direktif adalah tindak tutur yang dilakukan agar mitra tutur melaksanakan apa yang dikatakan oleh penutur.

5) Komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan hal yang disebutkan dalam tuturan.

Lain halnya tindak tutur ilokusi menurut Searle dalam Rahardi (2010) yang digolongkan menjadi lima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi komunikatif, yaitu.

1) Asertif yaitu bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran preposisi yang diungkapkan, misal menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).

2) Direktif yaitu bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan tindakan, misal memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati (advising), dan merekomendasi (recommending).

3) Ekspresif yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misal berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling).

4) Komisif yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran , misal berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

5) Deklarasi yaitu bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misal berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membabtis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommunicating), dan menghukum (sentencing).

Pendapat dari tokoh ini mendasari bahwa penggolongan tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tuturan tersebut dapat berfungsi dan bermaksud yang bermacam-macam. Berbeda dengan pendapat menurut Leech (1983), Blum-Kulka (1987) yang menyatakan bahwa satu maksud atau fungsi bahasa dapat dinyatakan dengan bentuk tuturan yang bermacam-macam.

Misalkan memerintah (commanding), dapat dinyatakan dengan berbagai cara seperti (1) kalimat imperatif “Belikan saya minum.”, (2) kalimat perfomartif eksplisit “Saya minta anda belikan saya minum.”, (3) kalimat performatif berpagar “Sejujurnya saya ingin anda beli minum untuk saya.”, (4) kalimat pernyataan keharusan

“Anda harus belikan saya minum.”, (5) pernyataan keinginan “Saya ingin anda belikan saya minum.”, (6) rumusan saran “Bagaimana kalau anda membelikan saya minum?”, (7) persiapan pertanyaan

“Anda bisa belikan saya minum?”, (8) isyarat yang kuat “Cuaca panas sekali, saya kehausan.”, dan (9) isyarat halus “Saya haus.”

2.2.4. Kefatisan Berbahasa

Fatis secara etimologi berasal dari bahasa yunani phatos, bentuk verba dari ins phatai “Berbicara” (Yusra dkk, 2012:504). Malinowski (1923 dalam Waridin 2008:39) memberikan perian mengenai ungkapan fatis yaitu tipe tuturan digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-kata. Teori Malinowski tersebut lebih mengedepankan komunikasi fatis sebagai sarana utuk menjaga hubungan sosial antar pelaku tutur. Sarana yang digunakan oleh pelaku tutur tersebut biasanya topik pembicaraan yang ringan.

Konsep phatic communication menurut Kridalaksana (2008: 114) terbagi dalam beberapa kategori, diantaranya, kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks dialog wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara.

Menurut Jacobson (1980), komunikasi fatis dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi. Maksud pernyataan tersebut adalah bahasa fatis berfungsi untuk memastikan jalannya saluran komunikasi dan para pelaku tutur tersebut saling menjaga dan memperhatikan pada saat peristiwa tutur terjadi. Teori Jakobson ini menitikberatkan pada komunikasi fatis sebagai media yang digunakan penutur untuk menyampaikan isi atau pesan pembicaraan kepada mitra tuturnya.

Fenomena bahasa yang secara sadar dipakai oleh penutur, akan tetapi secara sadar pula tidak diakuinya ketika ditanyakan kebasa-basian itu merupakan basi secara praktis (Arimi, 1998: 95). Dapat dikatakan, basa-basi adalah peristiwa lingual yang alami, tetapi pengguna bahasa tersebut menolak jika dinyatakan sedang berbasa-basi. Arimi (1998: 96) memaparkan bahwa secara metodologis, penolakan tersebut akan terlihat lebih jelas jika dibandingkan dengan aktivitas verbal nonbasa-basi, seperti ketika marah atau menunjukkan keseriusan. Para pelaku tutur akan saling mengaku ketika sedang menunjukkan keseriusannya. Maka, berbasa-basi berkaitan erat

dengan hal kesantunan, seperti tegur sapa maupun beramah tamah. Ada kalanya berbasa-basi dipahami sebagai ungkapan kepura-puraan, tidak bersungguh-sungguh, dan terkadang kebohongan. Dapat dikatakan basa-basi bermakna penolakan dari yang sebenarnya, untuk menjaga harmonisasi antar pelaku tutur.

Dalam tesisnya Arimi (1998: 171) membagi basa-basi menjadi dua yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni berarti ungkapan-ungkapan yang diucapkan secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, selaras dengan kenyataan. Kata-kata yang menunjukkan basa-basi murni ialah, selamat (pagi, siang, malam), selamat datang, mengucapkan terima kasih, berpamitan, dll. Basa-basi polar berarti tuturan yang berlawanan dengan kenyataan, biasanya digunakan untuk saling menunjukkan hal yang lebih sopan. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Penutur: “Selamat pagi, Bu. Ada apa ya memanggil saya?”

Mitra tutur: “Pagi. Silakan duduk dulu.”

Cuplikan tuturan di atas merupakan basa-basi murni karena diucapkan ketika saling berjumpa. Ungkapan selamat pagi merupakan ungkapan otomatis ketika peristiwa tutur menandai kenyataan sedang pagi hari.

Dalam basa-basi polar, tuturan yang muncul akan berbeda dari basa-basi murni. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Dalam basa-basi polar, tuturan yang muncul akan berbeda dari basa-basi murni. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Dokumen terkait