• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Penelitian

4.2.2 Makna Kefatisan Berbahasa

Menurut Ibrahim (1993: 16), tindak tutur ilokusi komunikatif diklasifikasikan kedalam Skema Tindak Tutur (STT). Maksud ilokusi atau sikap yang terekspresikan menjadi dasar STT tersebut.

Kegunaannya adalah untuk membedakan tindak-tindak ilokusi yang homogen.

Taksonomi tindak tutur tersebut mencakup, antara lain, tindak tutur konstantif (constantives), direktif (directives), komisif (comissives), dan acknowledgements. Konstantif adalah ekspresi kepercayaan bersamaan dengan ekspresi maksud, sehingga mitra tutur membentuk kepercayaan yang sama. Direktif adalah ekspresi sikap penutur terhadap tindakan prospektif oleh mitra tutur dan kehendaknya terhadap tindakan mitra tutur. Komisif adalah ekspresi kehendak dan kepercayaan penutur sehingga ujarannya diharuskan untuk melakukan sesuatu. Acknowledge adalah ekspresi perasaan mitra tutur atau dalam kasus-kasus ujaran yang berfungsi secara formal.

Acknowledgements meliputi apologize (meminta maaf), condole (berduka cita), congratulate (mengucapkan selamat), greet (salam), thank (berterima kasih), bid (mengundang), accept (mengundang), dan reject (menolak). Dalam bagian ini data peneliti menemukan makna kefatisan berbahasa yang dikategorikan menjadi tujuh (7) kategori yaitu, makna menerima, mengundang atau meminta, menolak, berterima kasih, menyampaikan salam atau menyapa, meminta maaf, dan memberikan simpati atau empati.

4.2.2.1 Kefatisan Berbahasa Bermakna Menerima

Tuturan fatis bermakna menerima merupakan subkategori taksonomi tindak tutur acknowledgment. Accept atau menerima merupakan ekspresi penghargaan untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan menerima. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data A1/KB

MT: “Oalah iki to anakmu. Ayu ne koyo Piyai koe, wok.”

(Oalah ini anakmu. Cantik seperti Piyai kamu, nak (sebutan untuk gadis))

P: “Bisa aja, mbah. Tep ayu mbah no.” (Bisa aja mbah. Tetap cantik mbah)

MT: “Wes sepuh ngene?” (Sudah tua seperti ini?) Konteks

Penutur seorang ibu berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang nenek berusia 80 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi pada saat kunjungan ke rumah tetangga. Mitra tutur memberikan pujian kepada anak dari mitra tutur yang dibalas dengan pujian juga oleh penutur.

Tuturan terjadi di teras rumah mitra tutur.

Dari cuplikan tuturan tersebut, tergambar hubungan bertetangga yang akrab. Tergambar jelas pula bahwa penutur merupakan seorang perempuan yang umurnya jauh lebih muda dibandingkan dengan mitra tutur yang merupakan seorang nenek. Namun, interaksi antara kedua pelaku komunikasi ini terlihat sangat akrab. Bahasa yang digunakan meruakan bahasa Jawa Ngoko, atau bahasa Jawa sehari-hari. Padahal bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antara orang muda dengan yang lebih tua dalam bahasa Jawa biasanya menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal ini terlihat dari cuplikan tuturan yang berbunyi, ‘Oalah iki to anakmu. Ayu ne koyo piyai koe, wok.’

dan ‘Bisa aja, mbah. Tep ayu mbah no’. Mitra tutur dengan santai memanggil penutur dengan sebutan ‘Wok’ yang dalam masyarakat Jawa berarti menyebut seorang gadis. Lalu jawaban

dari penutur juga merupakan perkataan santai tanpa menyinggung perasaan si mitra tutur dengan mengungkapkan

‘Bisa aja, mbah. Tep ayu mbah no’. Penutur menerima pujian tersebut dan mengembalikan pujian tersebut kepada mitra tutur.

Maksud dari mitra tutur yang hadir dalam cuplikan tuturan,

‘Wes sepuh ngene?’ merupakan perkataan candaan. Candaan yang dilontarkan tersebut juga dipahami oleh penutur dengan menjawab sambil tertawa. Dalam peristiwa komunikasi ini, penutur dengan mitra tutur saling memahami konteks yang sedang terjadi. Hubungan tetangga dengan tetangga yang harmonis muncul di dalam cuplikan tuturan tersebut. Hidup bertetangga memang sering dibumbui dengan basa-basi agak tali silahturahmi tetap terjalin.

Dari contoh cuplikan tersebut dapat ditemukan bahwa dalam konteks keluarga maupun hidup bertetangga tetap dibutuhkan basa-basi. Adanya basa-basi tidak menjadikan hubungan antar sesama menjadi canggung, tetapi menjadi akrab dan interaksi menjadi lebih hidup. Walaupun sekadar basa-basi menawarkan atau menerima suatu tawaran, akan muncul bounding yang kuat antar sesama.

4.2.2.2 Kefatisan Berbahasa Bermakna Mengundang atau Meminta Tuturan fatis bermakna mengundang atau meminta merupakan subkategori taksonomi tindak tutur acknowledgment.

Bid atau mengundang merupakan ekspresi harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur memenuhi harapan sosial berupa tuturan mengundang. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data B17/KB

P: “Tik, kalo mau ikut senam tambahan di Kartika Dewi itu.

Murah wae og.” (Tik, kalo mau ikut senam tambahan di Kartika Dewi itu. Murah saja kok.)

MT: “Cicik ikut po?”

P: “Belum tau sih…”

MT: “Ndak dulu deh cik, buat jajan anakku wae duitnya…”

Konteks

Penutur seorang ibu rumah tangga berusia 53 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi ketika bincang-bincang sore ibu-ibu kampung. Penutur mengundang mitra tutur untuk ikut senam. Tetapi, mitra tutur menolak dengan halus dan disertai alasan. Tuturan terjadi di depan salah satu rumah ibu-ibu kampung.

Menurut Rahardi (2005; 2015a), makna pragmatik tuturan direktif dalam bahasa Indonesia adalah mengundang. Pertuturan mengundang seringkali terjadi dalam komunikasi antar tetangga.

Seperti halnya dalam cuplikan berikut, ‘Tik, kalo mau ikut senam tambahan di Kartika Dewi itu. Murah wae og’. Bentuk

‘kalo mau ikut…’ merupakan sebuah ajakan atau undangan yang diucapkan oleh penutur.

Ajakan tersebut dikatakan oleh seorang ibu rumah tangga kepada seorang ibu rumah tangga lainnya. Saat itu sedang marak kegiatan kampung yang salah satunya adalah senam. Para ibu-ibu di Kampung Beskalan Selatan sedang menggandrungi kegiatan senam kampung. Akibat peristiwa itulah, penutur menawarkan ajakan untuk mengikuti kelas senam tambahan di suatu sanggar. Ajakan tersebut dibumbui dengan tawaran

‘Murah wae og’ yang maksudnya adalah biaya kelas senam di sanggar tersebut terjangkau. Penutur menambahkan ungkapan

‘Murah wae og’ untuk menarik perhatian si mitra tutur agak menyetujui undangan atau ajakannya.

Undangan tersebut ditanggapi oleh mitra tutur dengan tuturan basa-basi. Cuplikan tuturannya adalah ‘Cicik ikut po?’

yang maksudnya menanyakan penutur mengikuti kelas senam di sanggar tersebut atau tidak. Maksud mitra tutur merespon undangan penutur dengan tuturan tersebut adalah mengurangi rasa kecewa penutur dengan melemparkan pertanyaan seputar senam tersebut. Mitra tutur berbasa-basi menanyakan apakah penutur juga mengikuti kelas senam tersebut. Basa-basi selanjutnya juga tergambar dari cuplikan tuturan mitra tutur yaitu ‘Ndak dulu deh cik, buat jajan anakku wae duitnya…’

karena jawaban penutur dari pertanyaan sebelumnya adalah

‘Belum tau sih…’. Mitra tutur ingin menjaga perasaan penutur karena telah menolak ajakan penutur. Hubungan bertetangga antara penutur dan mitra tutur ini cukup akrab sehingga ajakan yang ditolak bukan menjadi suatu masalah yang berarti.

Dari cuplikan tuturan di atas, terlihat hubungan antara penutur dan mitra tutur cukup dekat. Hal ini benar karena respon mitra tutur pada akhir percakapan menunjukkan kedekatan relasi antara ia dengan penutur. Usia yang terpaut pun tidak terlalu jauh antara kedua pelaku komunikasi ini. Sehingga komunikasi berjalan tanpa rasa canggung akibat penolakan sebuah ajakan.

Konteks budaya dan sosial yang terjadi dalam tuturan di atas sangat terlihat. Mitra tutur memberikan alasan yang cukup jenaka namun masuk akal karena ia beralasan biaya yang seharusnya dibayarkan untuk kelas senam lebih dapat bermanfaat untuk uang saku anaknya. Penutur pun tidak marah ataupun tersinggung karena alasan dari mitra tutur. Penutur juga merupakan seorang ibu rumah tangga yang menomor satukan anaknya di atas kepentinga pribadinya. Maka, alasan dari mitra tutur dapat berterima dengan penutur karena mereka saling merasakan peran seorang ibu.

4.2.2.3 Kefatisan Berbahasa Bermakna Menolak

Tuturan fatis bermakna menolak merupakan subkategori taksonomi tindak tutur acknowledgment. Reject atau menolak merupakan ekspresi penghargaan acknowledgement atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan menolak. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data C1/KB

MT: “Bu, tak maen yo mbek konco-konco.” (Bu, saya main sama teman-teman ya.)

P: “Bawa kunci gerbang sekalian. Siapa tau dah ditutup pas koe bali.”

MT: “Ora sue-sue og, Bu.” (Ngga lama-lama kok, Bu) Konteks

Mitra tutur seorang anak berusia 19 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Penutur seorang ibu rumah tangga berusia 46 tahun, berjenis kelamin perempuan. Penutur dan mitra tutur merupakan ibu dan anak. Tuturan terjadi ketika mitra tutur ingin berpamitan dengan penutur untuk pergi bermain. Penutur memberikan nasihat untuk membawa kunci gerbang gang karena jam 10 malam gerbang sudah di gembok yang sebenarnya maksud penutur adalah melarang mitra tutur untuk bermain. Tuturan terjadi di dalam rumah penutur dan mitra tutur saat sore hari.

Kefatisan berbahasa yang selanjutnya adalah tuturan berbahasa yang bermakna menolak. Hal ini tergambar dari cuplikan tuturan berikut, yaitu ‘Bawa kunci gerbang sekalian.

Siapa tau dah ditutup pas koe bali’. Maksud tuturan tersebut adalah bawalah kunci gerbang untuk jaga-jaga pintu gerbang ditutup saat kamu pulang. Tuturan tersebut terdengar seperti wujud mengiyakan sambil memberi nasihat. Padahal hal sebenarnya merupakan sebaliknya.

Penutur merupakan seorang ibu dari mitra tutur. Dalam percakapan tersebut mitra tutur hendak berpamitan pergi bermain bersama teman-temannya. Ketika itu hari sudah larut

sekitar jam tujuh malam. Wajar saja jawaban dari penutur adalah ‘Bawa kunci gerbang sekalian. Siapa tau dah ditutup pas koe bali’. Maksudnya adalah penutur tidak mengizinkan mitra tutur untuk pergi karena hari sudah larut. Tetapi yang penutur maksudkan tidak dikatakan. Mitra tutur pun sebenarnya mengetahui maksud penutur yaitu tidak mengizinkannya pergi karena respon mitra tutur adalah ‘Ora sue-sue og, Bu’ yang artinya adalah ‘tidak lama-lama kok, Bu’. Mitra tutur meyakinkan penutur agar memperbolehkannya pergi. Walaupun sebenarnya diperbolehkan, tuturan penutur cukup menjadi perhatian bagi mitra tutur karena tidak sepenuh hati mengizinkannya pergi.

4.2.2.4 Kefatisan Berbahasa Bermakna Berterima Kasih

Tuturan fatis bermakna berterima kasih merupakan subkategori taksonomi tindak tutur acknowledgment. Thank atau berterima kasih merupakan ekspresi terima kasih karena mendapatkan bantuan, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan terima kasih.

Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data D2/KB

MT: “Nok, iki diminum susu sapi. Gek mari yo.” ((panggilan untuk perempuan) ini diminum susu sapi. Cepat sembuh ya.) P: “Akeh tenan, cik. Kamsia ya cik!” (Banyak sekali, cik.

Makasi ya cik)

MT: “Iyo. Wes gek diminum.” (Iya. Cepat diminum) Konteks

Mitra tutur seorang ibu rumah tangga berusia 53 tahun, berjenis kelamin perempuan. Penutur seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi saat mitra tutur menjenguk penutur yang sedang sakit. Tuturan terjadi di rumah penutur. Mitra tutur memberikan buah tangan untuk penutur yang sedang sakit. Penutur mengucapkan terima kasih

karena sudah dijenguk dan diberikan buah tangan.

Dalam berkomunikasi seringkali ditemukan ucapan terima kasih. Ada yang mengungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Hal ini tergambar dari cuplikan tuturan di atas yaitu,

“Akeh tenan, cik. Kamsia ya cik!”. Kalimat tersebut merupakan bahasa Jawa yang berarti ‘Banyak sekali, cik. Makasi ya cik’.

Untuk kata “kamsia” merupakan bahasa serapan dari bahasa Mandarin yang artinya adalah terima kasih. Bahasa Mandarin di daerah Beskalan Selatan masih sangat sering dijumpai karena sebagian besar warga di sana berlatar belakang kultur Tionghoa.

Penutur mengucapkan terima kasihnya kepada mitra tutur karena telah melakukan sesuatu untuk penutur. Hal yang dilakukan pun cukup menyita perhatian mitra tutur sehingga penutur mengungkapkan rasa terima kasih nya yang besar kepada mitra tutur.

Tuturan tersebut terjadi saat mitra tutur menjenguk penutur yang sedang sakit. Penutur mengucapkan terima kasih karena sudah dijenguk dan diberikan buah tangan. Hubungan yang dekat karena bertetangga membuat mitra tutur merasa iba dan menjenguk penutur yang sedang sakit. Rasa tidak enak wajar muncul dalam hati penutur dan memberikan ucapan terima kasihnya. Mitra tutur pun menerima ucapan terima kasih tersebut tanpa meminta balasan.

4.2.2.5 Kefatisan Berbahasa Bermakna Menyampaikan Salam Tuturan fatis bermakna menyampaikan salam merupakan subkategori taksonomi tindak tutur acknowledgment. Greet atau salam merupakan ekspresi rasa senang karena bertemu seseorang, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan salam. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data E1/KB

P: “Permisi, Kong.”

MT: “Mau kemana ini panas-panas?”

P: “Ke Rame, Kong. Beli minum.”

MT: “Ooo… Yo…”

Konteks

Mitra tutur seorang kakek berusia sekitar 70 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Penutur seorang pelajar berusia 16 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi ketika si pelajar sedang berjalan di gang dan bertemu si kakek. Si kakek sedang duduk di kursi kayu nya, kemudian si pelajar menyapa dan memberi salam kepada si kakek. Tuturan terjadi di jalan gang ketika siang hari.

Orang Indonesia terkenal akan keramahannya. Pada orang yang tidak dikenal pun tak jarang mereka saling bertegur sapa.

Sekadar mengucapkan salam atau membungkukkan badan sudah dianggap sopan. Hal ini terjadi karena suatu kebiasaan yang diajarkan oleh leluhur. Budaya sopan santun melalui menyampaikan salam merupakan suatu ajaran dasar yang harus dipahami sejak kecil. Ajaran ini akan terus diingat hingga dewasa dan menjadikannya suatu kebiasaan.

Hal ini terlihat dari cuplikan tuturan di atas mengenai kefatisan berbahasa bermakna menyampaikan salam. Sapaan

“permisi” kerap dijumpai ketika berpapasan dengan orang yang dikenal maupun tidak dikenal. Dalam tuturan di atas penutur

mengungkapkan sapaan “Permisi, Kong.” Sebagai basa-basi menyapa kepada mitra tutur, penutur secara sopan membungkukkan badan dan mengucapkan kata permisi. Untuk kata Kong merupakan sapaan dari kata Engkong yang artinya kakek. Warga Beskalan Selatan sering menyapa kakek dengan sebutan Kong atau Engkong karena budaya Tionghoa yang kental di wilayah tersebut. Si kakek pun membalas sapaan penutur dengan mengungkapkan basa-basi pula yaitu “Mau kemana ini panas-panas?”. Kakek tersebut sebenarnya tidak perlu tahu mau pergi kemana si penutur. Namun, untuk kesopanan, kakek atau mitra tutur juga berbasa-basi dengan menanyakan tujuan penutur. Penutur pun dengan sopan menjawab pertanyaan mitra tutur dengan mengatakan “Ke Rame, Kong. Beli minum.”. Penutur mengungkapkan bahwa ia ingin pergi ke swalayan dekat rumahnya untuk membeli minum.

Setelah mengetahui jawaban penutur, mitra tutur pun merespon dengan anggukan sambil mengatakan “Ooo… Yo…”

Tuturan tersebut terjadi antara gadis berusia 16 tahun dengan seorang kakek berusia sekitar 70 tahun. Penutur yang merupakan si gadis tersebut menyapa mitra tutur atau si kakek ketika ingin berjalan di depannya. Penutur menyapa sekaligus memberi salam kepada mitra melalui tuturannya. Mitra tutur pun menjawab tuturan tersebut sambil berbasa-basi menanyakan hendak pergi kemana si penutur. Keakraban sekali lagi terlihat dari kedua pelaku komunikasi ini. Walaupun berjarak umur cukup jauh, kedua pelaku komunikasi ini memperlihatkan keakrabannya dengan saling melemparkan basa-basinya.

4.2.2.6 Kefatisan Berbahasa Bermakna Meminta Maaf

Tuturan fatis bermakna meminta maaf merupakan subkategori taksonomi tindak tutur acknowledgment. Apologize atau meminta maaf merupakan ekspresi rasa penyesalan karena telah melakukan suatu hal, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan meminta maaf. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data F1/KB

MT: “Pak, kemarin lupa anter es ya?”

P: “Ya ampun! Ho o mbak. Lali aku. Nyuci njuk servis motor. Maaf nggih mbak.” (Ya ampun! Iya mbak. Lupa saya. Nyuci lalu servis motor. Maaf ya mbak.)

MT: “Ndak papa, Pak.” (Tidak apa-apa, Pak) Konteks

Mitra tutur seorang penjual nasi padang berusia sekitar 30 tahun, berjenis kelamin perempuan. Penutur seorang penjual es batu berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki. Tuturan terjadi saat transaksi jual es batu. Mitra tutur mengkonfirmasi penutur bahwa hari sebelumnya tidak mengantar es batu seperti biasanya. Penutur mengucapkan kata maaf karena lupa mengantar es batu seperti biasanya karena kesibukan yang lain.

Tuturan terjadi di rumah penutur.

Orang Indonesia juga terkenal akan rasa tidak enakan nya.

Orang Indonesia tidak akan sungkan mengucapkan maaf berkali-kali jika melakukan suatu kesalahan. Hal ini terlihat dari cuplikan tuturan berikut, ‘Ya ampun! Ho o mbak. Lali aku. Nyuci njuk servis motor. Maaf nggih mbak.’ Penutur mengungkapkan rasa penyesalannya kepada mitra tutur karena telah melakukan kesalahan kepadanya. Arti dari tuturan tersebut adalah “Ya ampun! Iya mbak. Lupa saya. Nyuci lalu servis motor. Maaf ya mbak.”. Tuturan tersebut merupakan tuturan berbahasa Jawa Ngoko, atau bahasa Jawa sehari-hari.

Kedua pelaku tutur tersebut sudah cukup akrab walaupun

rentang jarak usia yang cukup banyak. Kedua pelaku tutur tidak keberatan untuk saling menggunakan bahasa Jawa Ngoko karena latar belakang pengetahuan yang dimiliki sama. Mitra tutur pun memaklumi kelalaian yang penutur lakukan. Penutur dengan rendah hati memohon maaf kepada mitra tutur dengan disertai alasan logisnya yang menjadi sebab ia melakukan kelalaian. Walaupun secara usia, penutur jauh lebih tua dibanding mitra tutur. Secara derajat sosial dapat dikatakan penutur lebih tinggi dibanding mitra tutur. Namun, demi menjaga hubungan antar penjual dan pembeli, penutur rela merendah sedikit kepada mitra tutur. Mitra tutur pun menyambut permintaan maaf dari penutur dengan mengatakan

“Ndak papa, Pak.”. Arti tuturan tersebut adalah “Tidak apa-apa, Pak.”. Tuturan tersebut juga merupakan bahasa Jawa Ngoko. Penutur tidak keberatan mendengar balasan dari mitra tutur yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Selama tuturan tersebut sopan, kedua pelaku tutur tidak merasa saling dirugikan.

Tuturan tersebut terjadi antara penjual nasi padang dengan penjual es batu. Penutur saat itu lupa mengantarkan es untuk mitra tutur karena suatu alasan. Penutur merasa tidak enak dan akhirnya menjelaskan alasannya. Terdapat penekanan dalam tuturan permintaan maafnya yaitu ‘Maaf nggih mbak’. Artinya adalah ‘maaf ya mbak’ tetapi lebih tulus. Penutur sebenarnya sudah mengetahui bahwa mitra tutur akan memahami alasannya dan tentu tidak akan marah. Tetapi karena rasa tidak enak dan berbasa-basi, penutur menjelaskan alasannya.

4.2.2.7 Kefatisan Berbahasa Bermakna Memberikan Simpati atau Empati

Tuturan fatis bermakna memberikan simpati atau empati merupakan subkategori taksonomi tindak tutur acknowledgment.

Congratulate atau mengucapkan selamat merupakan ekspresi rasa gembira karena kabar baik, atau mitra tutur menyikapi ujaran penutur untuk memenuhi harapan sosial berupa tuturan ucapan selamat. Untuk memperjelas ungkapan tersebut perhatikan contoh kutipan percakapan di bawah ini.

Data G2/KB

P: “Selamat ulang tahun buat Hana ya mbak.”

MT: “Weh inget to? Makasi ya Tik.”

P: “Selalu inget yo ulang tahun orang-orang sini.”

Konteks

Penutur seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan. Mitra tutur seorang ibu rumah tangga berusia 55 tahun, berjenis kelamin perempuan. Tuturan terjadi penutur dan mitra tutur berpapasan di depan rumah penutur.

Penutur memberikan selamat atas ulang tahun cucu dari mitra tutur. Tuturan terjadi di depan rumah penutur saat siang hari.

Berbasa-basi dapat juga memberikan selamat. Berempati atau bersimpati dalam berkomunikasi sering kita jumpai dalam hidup bermasyarakat. Memberikan simpati/empati dianggap peduli akan sesama. Orang yang dipedulikan tentu merasa senang dan merasa diperhatikan. Contohnya ketika orang mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya, pasti ia akan merasa sangat senang. Meskipun tanpa kado, ucapan saja pasti cukup karena orang yang mengingat hari ulang tahun bagi nya merupakan bentuk sayang.

Seperti cuplikan tuturan di atas adalah bentuk berbasa-basi bermakna memberikan selamat. Penutur mengatakan “Selamat ulang tahun buat Hana ya mbak.” yang ditujukan untuk cucu dari mitra tutur. Ucapan selamat ulang tahun seperti tuturan di

atas dapat dikatakan sebagai simpati. Simpati sendiri merupakan perasaan peduli dan perhatian pada seseorang. Ucapan ulang tahun yang dituturkan penutur merupakan perasaan peduli kepada mitra tutur karena diperjelas dengan jawaban penutur yaitu, “Selalu inget yo ulang tahun orang-orang sini.”.

Penutur menunjukkan rasa pedulinya kepada warga Beskalan Selatan dengan perilaku kecil yaitu mengingat tanggal ulang tahun setiap tetangganya. Tentu mitra tutur merasa terharu akan perilaku penutur dengan mengatakan, “Weh inget to? Makasi ya Tik.”. Penutur dan mitra tutur sebenarnya saling berbasa-basi mengungkapkan rasa saling menghormati.

Tuturan terjadi antara dua ibu rumah tangga. Penutur memberikan ucapan selamat ulang tahun untuk cucu dari mitra tutur. Mitra tutur berterima kasih sambil memuji penutur karena mengingat ulang tahun warga kampung. Penutur menganggap bahwa tuturannya hanya basa-basi belaka. Namun, bagi mitra

Tuturan terjadi antara dua ibu rumah tangga. Penutur memberikan ucapan selamat ulang tahun untuk cucu dari mitra tutur. Mitra tutur berterima kasih sambil memuji penutur karena mengingat ulang tahun warga kampung. Penutur menganggap bahwa tuturannya hanya basa-basi belaka. Namun, bagi mitra

Dokumen terkait