• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3 Pembahasan

Pada bagian ini, peneliti membahas hasil dari analisis data yang telah dipaparkan pada bagian 4.2 yaitu analisis data. Dalam analisis data diuraikan wujud dan makna kefatisan yang datanya diperoleh dari tuturan warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta yang mengandung kefatisan berbahasa. Berdasarkan hasil analisis data, langkah selanjutnya yang akan peneliti lakukan adalah memaknai hasil analisis data agar pembahasan yang didapat semakin mendalam. Pembahasan ini akan diberikan bukti dengan menggunakan teori dari para ahli bahasa.

Tuturan fatis dan penanda fatis berdasarkan kategori acknowledgement menurut Ibrahim (1993: 16), seperti yang ada pada skripsi Dewi Yulianti, menjadi relevansi penelitian ini. Jenis tuturan fatis yang terdapat pada data skripsi ini menunjukkan basa-basi murni dan basa-basi polar. Pada penelitian ini juga ditemukan tuturan fatis baru. Maka, objek penelitian pada penelitian ini jenis tuturan fatisnya meliputi basa-basi murni, basa-basi polar, dan tuturan fatis murni.

Menurut Kridalaksana (2008: 114), konsep phatic communication, terbagi dalam beberapa kategori, diantaranya, kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara. Mayoritas kategori fatis merupakan ciri dari ragam tutur lisan karena ragam tutur lisan merupakan ragam non-standar. Maka, kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat tidak baku yang mengandung unsur daerah atau dialek.

Malinowski (1923 dalam Waridin 2008:39) memberikan perian mengenai ungkapan fatis yaitu tipe tuturan digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-kata. Kondisi tersebut tercipta karena pertukaran kata-kata dalam pertuturan ringan disertai dengan perasaan untuk membentuk hidup bersama yang harmonis. Teori dari Malinowski menggambarkan komunikasi fatis sebagai sarana untuk menjaga hubungan sosial antar pelaku tutur.

Teori dari beberapa ahli seperti yang telah disebutkan di atas, tergambar bahwa istilah ‘fatis’ dapat berdiri sendiri. Maksud pernyataan tersebut adalah istilah fatis tidak terbatas pada suatu jenis tuturan tertentu. Peneliti dapat mengatakan ‘fatis’ merupakan ‘unsur’ yang terkandung dalam berbagai macam bentuk tuturan, tidak terbatas pada tuturan basa-basi saja. Definisi

‘fatis’ dapat mencakup berbagai macam kemungkinan jenis tuturan yang mengandung unsur kefatisan itu sendiri. Maka, tuturan yang mengandung unsur kefatisan dapat dikatakan sebagai ‘tuturan fatis’.

Peneliti mengamati selama peristiwa tutur yang terjadi antar warga yang diperoleh merupakan sebagian besar tuturan fatis bukan tuturan basa-basi.

Namun, tuturan fatis tersebut memiliki karakteristik tuturan basa-basi dengan didalamnya terkandung unsur fatis. Cara untuk mengetahui bahwa tuturan tersebut fatis atau bukan adalah dengan melihat kehadiran unsur fatis berupa penanda. Penanda yang dimaksud disebut sebagai penanda fatis atau partikel fatis atau kategori fatis. Cara seperti itu yang digunakan oleh peneliti untuk menganalisis tuturan tersebut mengandung kefatisan, yaitu dengan melihat maksud dan konteks terlebih dahulu setelah itu penanda fatisnya, maka tuturan tersebut termasuk tuturan fatis yang tidak terbatas pada tuturan basa-basi.

Paparan di atas dapat dimaknai bahwa tuturan fatis murni merupakan tuturan yang memiliki unsur fatis dan lebih berfungsi untuk menyampaikan pesan. Namun, tuturan tersebut memiliki fungsi sosial dalam tuturan basa-basi. Bagi peneliti, fungsi sosial dipahami sebagai fungsi yang digunakan untuk situasi ramah tamah dalam ikatan personal antarpelaku komunikasi.

Teori Jacobson (1980) mendefinisikan basa-basi sebagai tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi. Maksud pernyataan tersebut adalah bahasa fatis berfungsi untuk memastikan jalannya saluran komunikasi dan para pelaku tutur tersebut saling menjaga dan memperhatikan pada saat peristiwa tutur terjadi. Teori Jakobson ini menitikberatkan pada komunikasi fatis sebagai media yang digunakan penutur untuk menyampaikan isi atau pesan pembicaraan kepada

mitra tuturnya. Teori beliau selaras dengan teori Malinowski (1923 dalam Waridin 2008:39) yaitu mengenai ungkapan fatis yaitu tipe tuturan digunakan untuk menciptakan ikatan sosial yang harmonis dengan semata-mata bertukar kata-kata, serta teori dari Kridalaksana (2008: 114) yaitu konsep phatic communication yang terbagi dalam beberapa kategori, diantaranya, kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara.

Menurut ketiga ahli tersebut, fungsi sosial dalam tuturan fatis murni memiliki karakteristik seperti tuturan basa-basi. Paparan tersebut juga menunjukkan bahwa fungsi sosial dapat dikatakan termasuk dalam unsur fatis karena merupakan tuturan fatis. Hal itu selaras dengan pendapat ahli di atas bahwa antara fungsi sosial dengan sifat kategori fatis saling berkaitan.

Tuturan fatis murni bukan merupakan tuturan basa-basi karena tuturan fatis murni masih membicarakan pesan yang penting dan memang diperlukan sesuai dengan tujuan komunikasi. Maka, memaknai komunikasi fatis bukan semata-mata hanya terdapat pada tuturan basa-basi saja, melainkan tuturan yang mengandung unsur fatis, meskipun bukan merupakan basa-basi, dapat disebut sebagai komunikasi fatis. Penanda atau partikel fatis membuat percakapan yang berlangsung menjadi lebih ringan, meskipun pesan yang ingin disampaikan berupa informasi penting dan bukan hanya sekadar basa-basi.

Oleh karena itu, tuturan fatis murni jelas merupakan tuturan yang mengandung unsur fatis, yang cenderung mengutamakan fungsinya sebagai penyampai pesan, tetapi masih memiliki fungsi sosial seperti tuturan basa-basi. Tuturan fatis murni tidak mengenal perbedaan antara jenis murni dengan polar seperti basi. Perbedaan tersebut hanya terdapat pada tuturan basa-basi seperti yang dikemukakan oleh Arimi (1998: 171) yaitu basa-basa-basi terbagi menjadi dua yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Hal itu mendasari fatis murni memang murni, tuturan yang selalu selaras dengan kenyataan sebagai penyampai pesan yang disertai partikel kefatisan.

Dapat disimpulkan bahwa komunikasi fatis tidak hanya berbentuk basa-basi semata, tetapi komunikasi fatis dapat bermanifestasi menjadi tuturan fatis murni. Komunikasi fatis dapat dikatakan sebagai komunikasi non-verbal atau lisan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur fatis termasuk dialek.

Tuturan fatis sangat berkaitan dengan konteks pembicaraan. Maka, ungkapan yang mengandung unsur fatis atau partikel fatis, meskipun bukan merupakan basa-basi juga merupakan wujud tuturan fatis yang peneliti menyebutkannya sebagai tuturan fatis murni.

Komunikasi yang mengandung kefatisan merupakan fungsi bahasa yang digunakan untuk memulai dan mengukuhkan percakapan yang di dalamnya mengandung penanda fatis berupa kata maupun frasa. Tuturan fatis murni yang dimaksudkan berbeda dengan basa-basi karena di dalam tuturan fatis murni mengandung pesan atau informasi penting yang perlu disampaikan untuk mencapai tujuan komunikasi. Adanya unsur fatis atau partikel fatis dalam suatu tuturan fatis murni membuat percakapan menjadi lebih ringan dan informasi dapat dipahami dengan mudah.

Makna tuturan fatis pada tuturan yang peneliti himpun, berdasar pada delapan (8) subkategori acknowledgment. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan tujuh (7) subkategori. Ketujuh subkategori tersebut tidak hanya berlaku basa-basi. Namun, berlaku pula pada tuturan fatis yang bukan merupakan basa-basi. Tuturan fatis yang peneliti temukan beberapa fungsi, diantaranya, (1) menanyakan kabar, (2) menawarkan sesuatu, (3) memulai atau mengawali percakapan, (4) menegur sapa, (5) mengakhiri percakapan, (6) mempertahankan percakapan, dan (7) mengungkapkan kesantunan.

Menurut Arimi (1998: 171), basa-basi terbagi menjadi dua yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni berarti ungkapan-ungkapan yang diucapkan secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, selaras dengan kenyataan. Tuturan-tuturan yang termasuk dalam basa-basi murni antara lain, D1, D2, D3, D4, E1, E2, E3, E4, E5, E6, E7, E8,E9, E10, E11, E12, E13, E14, E15, E16, E17, E18, E19, E20, E21, F1, F2, G1, G2, dan G3 (30 tuturan). Basa-basi polar berarti tuturan yang berlawanan dengan

kenyataan, biasanya digunakan untuk saling menunjukkan hal yang lebih sopan. Tuturan yang termasuk dalam basa-basi polar antara lain, A3, A4, A5, B1, B2, B3, B5, B7, B9, B10, B11, B12, B15, B18, C2, C3, dan C5 (17 tuturan). Tuturan yang termasuk dalam tuturan fatis murni antara lain, A1, A2, B4, B6, B8, B13, B14, B16, B17, B19, B20, C1, dan C4 (13 tuturan).

Subkategori berterima kasih menandai suatu ekspresi rasa senang dengan berterima kasih atau bersyukur yang dilakukan antarpelaku tutur. Bentuk fatis yang ditemukan pada subkategori ini adalah kamsia, nuwun, terima kasih dan makasih.

Subkategori salam menandai suatu ekspresi rasa senang atau kesopanan yang dilakukan antarpelaku tutur. Bentuk fatis yang ditemukan pada subkategori ini adalah permisi, mari, halo, selamat pagi, (memanggil nama).

Subkategori meminta maaf menandai suatu ekspresi permintaan maaf atau penyesalan yang dilakukan antarpelaku tutur. Bentuk fatis yang ditemukan pada subkategori ini adalah sorry, dan, maaf.

Subkategori memberikan simpati atau empati menandai suatu ekspresi rasa gembira karena kabar baik antarpelaku tutur. Bentuk fatis yang ditemukan pada subkategori ini adalah weh, oalah, selamat, syukur, dan moga-moga.

Subkategori menerima menandai suatu ekspresi penerimaan yang dibicarakan antarpelaku tutur. Bentuk fatis yang ditemukan pada subkategori ini adalah ya, yo, jadi, Puji Tuhan.

Subkategori meminta atau mengundang menandai suatu ekspresi undangan atau permintaan atau harapan baik yang dikatakan antarpelaku tutur. Bentuk fatis yang ditemukan pada subkategori ini adalah ayo, lho, po, og, e, to, nek, dan ndak.

Subkategori menolak menandai suatu ekspresi penolakan yang dilakukan antarpelaku tutur. Bentuk fatis yang ditemukan pada subkategori ini adalah gak, ndak, dan sorry.

Peneliti menemukan bentuk partikel fatis yang sering ditemui dalam berkomunikasi sehari-hari. Partikel fatis tersebut diantaranya, kamsia, nuwun, terima kasih, makasih, permisi, mari, halo, selamat pagi, (memanggil nama), sorry, maaf, weh, oalah, selamat, syukur, moga-moga, ya, yo, jadi, Puji Tuhan, ayo, lho, po, og, e, to, nek, ndak, dan gak yang berjumlah 29 (dua pulur sembilan). Penemuan partikel fatis tersebut berbeda dengan temuan beberapa ahli dikarenakan pengaruh latar belakang budaya.

Peneliti menemukan tuturan yang lebih dominan pada jenis tuturan fatis kategori acknowledgment seperti subkategori menyampaikan salam dan meminta atau mengundang. Subkategori menerima, menolak, berterima kasih, meminta maaf, dan memberikan simpati atau empati jauh lebih sedikit.

Peneliti menemukan 20 bentuk tuturan fatis subkategori menerima atau mengundang dan 21 bentuk tuturan fatis subkategori menyampaikan salam.

Berdasarkan hasil analisis data, tuturan yang terdapat pada peristiwa tutur antar warga yang berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan, Yogyakarta, mengarah pada subkategori tersebut. Hal ini terjadi karena dalam hidup bermasyarakat sering dijumpai saling sapa antar warganya dan saling bertukar informasi antarsesama. Pada subkategori meminta atau mengundang, para warga kerap meminta atau mengundang akan suatu hal antarsesama, dapat berupa barang, ajakan, pujian, dan lain-lain. Untuk subkategori menyampaikan salam, hidup saling bertetangga sering ditemukan saling sapa antarwarganya. Saling bertegur sapa termasuk mengamalkan sopan santun antarsesama.

68 BAB V PENUTUP

Pada bagian ini, peneliti memaparkan dua subbab, yaitu kesimpulan dan saran. Bagian kesimpulan berisi ringkasan dari keseluruhan analisis data yang telah peneliti lakukan. Bagian saran berisi saran untuk penelitian selanjutnya untuk ranah kajian yang sama dengan penelitian ini.

5.1 Kesimpulan

Pada penelitian Kajian Pragmatik Kultur Spesifik Kefatisan Berbahasa Warga Masyarakat Berlatar Belakang Kultur Tionghoa di Wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta, peneliti memaparkan dua aspek penting sebagai jawaban atas rumusan masalah. Kedua aspek tersebut ialah bentuk penanda ujaran kefatisan berbahasa antar warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta dan makna ujaran kefatisan berbahasa yang ada di dalam tuturan fatis antar warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta.

Kedua aspek tersebut dikaji menggunakan teori pragmatik kultur spesifik dan kefatisan berbahasa.

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah peneliti lakukan, ditemukan 4 (empat) bentuk penanda ujaran kefatisan berbahasa antar warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta. Bentuk penanda ujaran kefatisan berbahasa tersebut adalah kata, frasa, klausa, dan kalimat.

Peneliti juga menemukan makna kefatisan berbahasa antar warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta. Peneliti menemukan 7 (tujuh) makna kefatisan berbahasa yaitu, makna menerima, mengundang atau meminta, menolak, berterima kasih, menyampaikan salam, meminta maaf, dan memberikan simpati atau empati.

Makna pragmatik tersebut ditentukan berdasarkan teori Ibrahim (1993: 16) yaitu Acknowledgment dalam Skema Tindak Tutur (STT).

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran yang dapat berguna bagi penelitian selanjutnya sehingga penelitian ini menjadi semakin baik. Berikut saran peneliti.

1. Penelitian ini mengambil topik kefatisan berbahasa warga masyarakat berlatar belakang kultur Tionghoa di wilayah Beskalan Selatan Yogyakarta. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menemukan lebih banyak lagi manifestasi lain dari komunikasi fatis seperti subkategori, wujud atau penanda fatis lainnya, sehingga teori mengenai komunikasi fatis menjadi semakin lengkap.

2. Peneliti berharap melalui penelitian ini dapat menjadi pengetahuan baru bagi khalayak umum, mahasiswa, maupun dosen mengenai kefatisan berbahasa sehingga proses komunikasi menjadi lebih baik.

3. Peneliti berharap adanya penelitian baru atau lanjutan mengenai bentuk dan makna ujaran kefatisan berbahasa dengan sumber dan objek yang berbeda sehingga pemahaman tentang bahasa fatis dapat dipahami lebih dalam dan rinci.

70

DAFTAR PUSTAKA

Adistin, A. Y. M. (2016). Basa-Basi dalam Berbahasa Antaranggota Keluarga Pendidik di Desa Junggul, Bandungan, Jawa Tengah [Universitas Sanata Dharma].

Akbar, N. H. (2016). Kategori Fatis dalam Bahasa Indonesia pada Acara Indonesia Lawak Klub Di Trans 7. Universitas Mataram.

Andi Prastowo. (2011). Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Arifin, Zainal. (2008). Metodelogi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Lentera Cendikia.

Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta.

Arimi, Sailal. (1998). Basa-basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesi. Tesis.

Yogyakarta: UGM.

Blum-Kulka, Shoshana. (1987). The Metapragmatics of Politeness in Israel Society, in Richard Watts, S. Ide, K. Ehlich (Eds.). Politeness in Language:

Studies in its History, Theory and Practise. Berlin: Moutun de Gruyter.

Damarsasi, G. D. (2017). Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Universitas Sanata Dharma.

Djajasudarma, Fatimah. (1993). Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT. Eresco.

Halliday, M. A. K., & Hassan, R. (2013). Cohesion in English. New York:

Routledge.

Hilmiati. (2012). Bentuk Fatis Bahasa Sasak (Phatic Communication In Sasak).

Mabasan, 6 No. 1, 18–26.

71

Ibrahim, Abdul Syukur. (1993). Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.

Jacobson, W. J. & Bergman, A. B. (1980). Science for Children: A Book for Teacher. New Jersey: Prentice-Hall.

Kaswanti Purwo, Bambang. (1990). Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyimak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.

Keraf, G. (1984). Tata Bahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah.

Kridalaksana, H. (1993). Kamus Linguistik: Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, H. (2008). Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:Gramedia.

Leech, Geoffrey. (1993). Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Leech, Geoffrey. (1983). Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M.D.D.

Oka. 1993. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

Mahsun. (2007). Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT. Raja Grasindo Persada.

Moleong, Lexi J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Moleong, Lexi J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Nana Syaodih Sukmadinata. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Nuryani, L. (2013). Fungsi Basa-Basi dalam Tindak Bahasa di Kalangan Masyarakat Jawa (Kajian Pragmatik) (Vol. 1, Issue 1) [Universitas Muhammadiyah Surakarta].

Parera, J. D. (1983). Pengantar Linguistik Umum Bidang Sintaksis: Seri C.

Jakarta: Nusa Indah.

72

Parera, J. D. (1988). Sintaksis. Jakarta: Gramedia.

Pranowo. (2009). Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pranowo. (2009). Kesantunan Berbahasa Tokoh Masyarakat. Yogyakarta: USD.

Purwadarminta. (2010). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahardi, R. K. (2016). Manifestasi Wujud Dan Makna Pragmatik Kefatisan Berbahasa Dalam Ranah Pendidikan. Adabiyyāt: Jurnal Bahasa Dan Sastra, 15(2), 226.

Ramlan. (2001). Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

Rahardi, Kunjana. (2006). Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.

Jakarta: Erlangga.

Rosnilawati, Ermanto, & Juita, N. (2013). Tindak Tutur dan Strategi Bertutur dalam Pasambahan Maantaan Marapulai Pesta Perkawinan di Alahan Panjang Kabupaten Solok. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 1(2), 461–468.

Supomo, Bambang. (2013). Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi &

Manajemen. Yogyakarta: BPFE.

Sutrisno, Heru. (2008). Kesantunan Imperatif dalam Pidato M. Anis Matta:

Analisis Pragmatik. Skripsi. Surakarta: UMS.

Syamsuddin AR, dkk. (2009). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya.

Wijana, I Dewa Putu. (1996). Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta

Yule, G. (1996). Pragmatik. Terjemahan oleh Indah Fajar Wahyuni. 2006.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

73 LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Permohonan Triangulator

74

DATA PENELITIAN

KAJIAN PRAGMATIK KULTUR SPESIFIK

KEFATISAN BERBAHASA WARGA MASYARAKAT BERLATAR BELAKANG KULTUR TIONGHOA DI WILAYAH BESKALAN SELATAN YOGYAKARTA

Oleh: Dinda Monica Putri Teguh / 171224076 Pembimbing: Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.

Petunjuk Triangulasi:

1. Triangulator memberikan tanda centang () pada kolom ya/tidak untuk menggambarkan penilaian Anda.

2. Berilah catatan pada kolom komentar untuk membantu kebenaran dari hasil analisis.

3. Setelah mengisi tabulasi data, triangulator dimohon untuk membubuhkan tanda tangan di bagian akhir Keterangan:

Data-data penelitian dikelompokkan menjadi 8 bagian berdasarkan makna ujaran kefatisan. Kode-kode data tersebut diantaranya (A) untuk Menerima, (B) untuk Mengundang atau Meminta, (C) untuk Menolak, (D) untuk Berterima Kasih, (E) untuk Menyampaikan Salam, (F) untuk Meminta Maaf, dan (G) untuk Memberikan Simpati atau Empati.

Kode Data Data Bentuk

Ujaran Kefatisan Ya Tidak

A1/KB MT: “Oalah iki to anakmu. Ayu ne koyo Piyai koe, wok.” (Oalah ini anakmu. Cantik seperti Piyai kamu, nak

Frasa Menerima Penutur menerima pujian dan memberikan pujian kepada mitra tutur secara tidak langsung.

V

75 (sebutan untuk gadis))

P: “Bisa aja, mbah. Tep ayu mbah no.” (Bisa aja mbah. Tetap cantik mbah)

MT: “Wes sepuh ngene?” (Sudah tua seperti ini?)

Konteks tuturannya:

- Penutur seorang ibu berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan.

- Mitra tutur seorang nenek berusia 80 tahun, berjenis kelamin perempuan.

- Tuturan terjadi pada saat kunjungan ke rumah tetangga. Mitra tutur memberikan pujian kepada anak dari mitra tutur yang dibalas dengan pujian juga oleh penutur.

- Tuturan terjadi di teras rumah mitra tutur.

76 B1/KB MT: “Bu, mbok leren.

Istirahat.” (Bu, istirahat dulu)

P: “Ndak isa… Belum beres ini. Tak kerjain dhewe. Raono sing isa disuruh e…” (Ngga bisa… Belum selesai ini. Saya kerjakan sendiri. Ngga ada yang bisa disuruh.)

Konteks tuturannya:

- Penutur seorang nenek berusia 78 tahun, berjenis kelamin perempuan.

- Mitra tutur seorang ibu rumah tangga berusia 52 tahun, berjenis kelamin perempuan.

- Tuturan terjadi ketika mitra tutur melihat penutur terlihat kelelahan setelah mengerjakan tugas rumahnya. Mitra tutur meminta penutur untuk

Kalimat Meminta Penutur meminta untuk dibantu oleh mitra tutur.

V

77 istirahat. Penutur

menolak dan

memberitahu mitra tutur bahwa pekerjaan ia kerjakan sendiri dan sebenarnya ingin dibantu orang lain.

- Tuturan terjadi di teras rumah penutur.

C1/KB MT: “Bu, tak maen yo mbek konco-konco.”

(Bu, saya main sama teman-teman ya.)

P: “Bawa kunci gerbang sekalian. Siapa tau dah ditutup pas koe bali.”

MT: “Ora sue-sue og, Bu.” (Ngga lama-lama kok, Bu)

Konteks tuturannya:

- Mitra tutur seorang anak berusia 19 tahun, berjenis kelamin laki-laki.

- Penutur seorang ibu rumah tangga berusia 46

Kalimat Menolak Penutur sebenarnya

melarang mitra tutur untuk pergi dengan memberikan nasihat.

V

78 tahun, berjenis kelamin

perempuan.

- Penutur dan mitra tutur merupakan ibu dan anak.

- Tuturan terjadi ketika mitra tutur ingin berpamitan dengan penutur untuk pergi bermain. Penutur memberikan nasihat untuk membawa kunci gerbang gang karena jam 10 malam gerbang sudah di gembok yang sebenarnya maksud penutur adalah melarang mitra tutur untuk bermain.

- Tuturan terjadi di dalam rumah penutur dan mitra tutur saat sore hari.

B2/KB P: “Nik, nanti selo ngga?” (Nik, nanti ada waktu senggang ngga?) MT: “Belom tau sih, om.

Kenapa om?”

P: “Ngga papa, cuma

Klausa Meminta Penutur menanyakan

kegiatan yang akan dilakukan mitra tutur dan ingin meminta bantuannya.

V

79 tanya. Minta tolong

fotocopy-in BPJS nya engkong.”

Konteks tuturannya:

- Penutur seorang bapak berusia 55 tahun, berjenis kelamin laki-laki.

- Mitra tutur seorang mahasiswa berusia 20 tahun, berjenis kelamin perempuan.

- Penutur dan mitra tutur adalah kerabat keluarga yang tinggal satu rumah.

- Tuturan terjadi saat penutur berpapasan dengan mitra tutur di ruang keluarga. Penutur menanyakan kegiatan yang akan dilakukan mitra tutur. Mitra tutur belum dapat memastikan kegiatannya yang akan ia kerjakan. Penutur ingin meminta bantuan dari mitra tutur.

80 - Tuturan terjadi di

dalam rumah penutur dan mitra tutur.

D1/KB MT: “Mam, bakpia nya dihitung 20 ribu aja ya.”

P: “Oke, Usi.”

MT: “Tak bonusi juga hehehe…” (Saya kasih bonus juga hehehe…) P: “Weh repot-repot, nuwun tenan yo, Us.”

(Wah repot-repot, makasih banget ya, Us) Konteks tuturannya:

- Penutur seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun, berjenis kelamin perempuan.

- Mitra tutur seorang penjual bakpia berusia 40 tahun, berjenis kelamin perempuan.

- Tuturan terjadi pada saat transaksi jual beli bakpia. Mitra tutur menyampaikan harga bakpia serta memberikan

Klausa Berterima kasih Penutur mengucapkan terima kasih karena telah diberikan bonus bakpia.

V

81 bonus kepada penutur.

Penutur mengucapkan terima kasih karena telah diberikan bonus bakpia.

- Tuturan terjadi di rumah penutur.

F1/KB MT: “Pak, kemarin lupa anter es ya?”

P: “Ya ampun! Ho o mbak. Lali aku. Nyuci njuk servis motor.

Maaf nggih mbak.” (Ya ampun! Iya mbak.

Lupa saya. Nyuci lalu servis motor. Maaf ya mbak.)

MT: “Ndak papa, Pak.”

(Tidak apa-apa, Pak) Konteks tuturannya:

- Mitra tutur seorang penjual nasi padang berusia sekitar 30 tahun, berjenis kelamin perempuan.

- Penutur seorang penjual es batu berusia 55 tahun, berjenis

Klausa Meminta maaf Penutur bermaksud menyatakan permintaan maaf nya karena tidak melakukan sesuatu yang

Klausa Meminta maaf Penutur bermaksud menyatakan permintaan maaf nya karena tidak melakukan sesuatu yang

Dokumen terkait