• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budidaya ikan lele (Clarias sp.) adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini usaha ke arah tersebut telah dilakukan, namun belum berhasil dengan baik khususnya di musim kemarau.

Kekurangan persediaan benih yang bermutu dalam jumlah dan waktu yang tepat sepanjang musim disebabkan oleh belum optimalnya penanganan induk dan larva yang dihasilkan. Perbaikan kualitas dan kuantitas telur melalui perbaikan kualitas pakan induk merupakan salah satu upaya dalam mengatasi masalah tersebut. Kandungan nutrisi pakan ikan adalah salah satu faktor penentu dalam perkembangan oosit, terutama pada awal perkembangan telur. Menurut Eding et al. (1982) bahwa kelambatan perkembangan gonad karena kekurangan pakan induk yang berkualitas (bernutrisi) seperti; kandungan protein, vitamin, asam amino esensial, mineral, dan asam lemak esensial dalam pakan induk tidak sesuai, masih rendah dan dosis tidak tepat dapat menyebabkan kadar gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar adenohipofisis rendah, respons ovari yang kurang atau mungkin kegagalan ovari untuk menghasilkan jumlah estrogen yang cukup. Oleh karenanya, benih yang berkualitas dipengaruhi oleh kualitas induk. Di sisi lain, keberhasilan reproduksi induk dipengaruhi oleh kondisi hormonal dan kondisi lingkungan tempat hidupnya. Sinyal lingkungan yang diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus akan melepaskan hormon gonadotropin (GnRH). GnRH yang dihasilkan hipofisa meliputi Follicle Stimulating Hormone

(FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Hormon inilah nantinya berperan sebagai kontrol pada siklus awal reproduksi sampai dengan terjadinya ovulasi dan spermiasi.

Menurut Munro & Lam 1993 bahwa sistem kerja hormon tersebut berfungsi untuk merangsang hipofisis dalam melepaskan gonadotropin. Pada kondisi alamiah sekresi gonadotropin akan dihambat oleh dopamin, sehingga antidopamin diperlukan karena berfungsi untuk memblok dopamin, sehingga dapat menstimulus sekresi gonadotropin dan gonadotropin yang telah dihasilkan tersebut mengalir ke dalam darah menuju gonad.

Woynarovich & Horvath (1980) menyatakan bahwa induk yang pantas dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitelogenesis) dan masuk ke fase dorman. Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman). Apabila rangsangan diberikan pada fase ini, maka akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, kemudian inti pecah atau melebur pada saat pematangan oosit, ovulasi (pecahnya folikel), dan oviposisi. Bilamana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak tersedia maka telur dorman tersebut

41

akan mengalami degenerasi (rusak) lalu diserap kembali oleh lapisan folikel melalui atresia (Munro & Lam 1993).

Vitelogenesis merupakan proses matangnya oosit di dalam ovari oleh karena akumulasi kuning telur atau bakal kuning telur yang merupakan komponen utama dari oosit yang sudah tumbuh dan dihasilkan di hati. Vitelogenin diangkut dalam darah menuju oosit, lalu diserap secara selektif dan disimpan sebagai kuning telur (Zohar 1991; Barrero et al. 2007).

Vitelogenesis dan diferensiasi oosit diawali dengan adanya sinyal lingkungan seperti hujan, perubahan suhu atau ketersediaan substrat untuk penempelan telur yang diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan merespon sinyal tersebut dengan melepaskan

Gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang bekerja di kelenjar hipofisis. Selanjutnya kelenjar hipofisis akan melepaskan hormon gonadotropin I yang bekerja di lapisan teka pada oosit (Zairin 2003). Penulis lain menamakan hormon tersebut dengan GTH I atau menyebutnya sebagai follicle stimulating hormone

(FSH) (Tang & Affandi 2000). Perkembangan telur berikutnya, GTH II dapat disebut juga luteinizing hormone (LH). Akibat kerja hormon gonadotropin I, lapisan teka akan mensintesis testosteron dan di lapisan granulosa, testosteron akan diubah menjadi estradiol-17ß oleh enzim aromatase. Estradiol-17β akan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Melalui aliran darah, vitelogenin akan diserap secara selektif oleh lapisan folikel oosit. Selama perkembangan oosit, vitelogenin disintesis di hati di bawah rangsangan hormon estrogen (Zairin 2003; Yaron & Sivan 2011). Pada beberapa spesies, rangsangan hormon estrogen dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma dari vitelogenin (prekursor protein kuning telur yang diproduksi oleh hati), tetapi tidak menyebabkan bergabungnya vitelogenin ke dalam butiran kuning telur dengan oosit (Tang & Affandi 2000).

Proses inilah yang dikenal dengan vitelogenesis, sedangkan proses selanjutnya adalah pematangan akhir yang di dalamnya terjadi pergerakan inti telur ke tepi, peleburan inti atau germinal vesicle break down (GVGD) dan ovulasi yang ditandai dengan pecahnya lapisan folikel dan keluarnya telur ke dalam rongga ovari (Zairin 2003; Santos et al. 2005; Yaron & Sivan 2011). Proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Aktivitas hormon dalam vitelogenesis, pematangan akhir dan

42

Perkembangan gonad yang masih lambat serta kualitas gonad yang masih rendah pada induk ikan lele diduga disebabkan oleh ketersediaan hormon FSH dan LH yang kurang di luar musim pemijahan ikan tersebut. Untuk meningkatkan kinerja faktor internal pada siklus awal reproduksi sampai dengan terjadinya ovulasi dan menghindari kegagalan proses tersebut, hormon eksogenous sangat dibutuhkan.

Selain itu, pada kondisi alamiah sekresi gonadotropin dihambat oleh dopamin sehingga dapat menyebabkan proses reproduksi (vitelogenesis) seperti di atas mengalami kegagalan sehingga proses-proses reproduksi hanya dapat terjadi pada musim pemijahan saja dengan kualitas gonad yang relatif rendah. Oleh karenanya perlu ada sentuhan teknologi untuk mengatasinya. Perkembangan teknologi melalui manipulasi hormon diketahui dapat meningkatkan dan mempercepat fase reproduksi sehingga didapatkan musim pemijahan sepanjang tahun. Peranan dan aktivitas hormon Oodev dalam vitelogenesis dapat dilihat Gambar 16 (Rafiudin 2014).

OTAK

Pituitari Perkembangan Oosit GONAD Sel Teka GnRH Gonadotropin Sel Granulosa T P450 arom E Vitelogenesis Anti dopamin FSH-RH GnRH, FSH-RH endogenous FSH eksogenous

FSH

43

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tahap kedua dilaksanakan pada musim kemarau (di luar musim pemijahan) yakni bulan.Maret sampai dengan bulan Agustus (Lampiran 25b). Kesiapan pemeliharaan induk (ikan uji), pemberian pakan uji, perlakuan penyuntikan hormon Oodev dan hormon Ovaprim, sampling ikan serta penetasan telur dan pemeliharaan larva dilakukan di kolam pemeliharaan ikan dan Laboratorium Akuatik SEAMEO-BIOTROP, Bogor. Pembuatan pakan uji dan analisa proksimat bahan pakan dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan Jurusan Budidaya Perairan, Pengukuran diameter telur dan perhitungan jumlah telur dilakukan di laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik Jurusan Budidaya Perairan. Analisis asam lemak pakan perlakuan, telur dan larva dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu IPB. Pembuatan preparat histologis, analisis estradiol-17β dilakukan di laboratorium histopatologi dan laboratorium

hormon Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Untuk analisis kualitas air dilakukan di laboratorium Lingkungan Jurusan Budidaya Perairan FPIK IPB.

Ikan Uji

Induk ikan lele (Clarias sp.) yang digunakan berasal dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan induk betina yang belum pernah memijah sebanyak 80 ekor dengan bobot rata-rata 400 g/ekor. Induk jantan yang di gunakan untuk ovulasi buatan berjumlah 20 ekor dengan bobot rata-rata 700 gr/ekor. Sebelum penelitian, dilakukan adaptasi terlebih dahulu selama 14 hari. Selama penelitian berlangsung, dari tiap perlakuan diambil satu ekor untuk diambil sampel darahnya guna analisis estradiol-17β dan vitelogenin. Selain itu, untuk pembuatan preparat untuk

pemeriksaan dan serta histologi gonad.

Hormon

Hormon yang digunakan dalam pengujian ini adalah Oodev yang merupakan produk hormon yang baru dikembangkan oleh Laboratorium Reproduksi dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Oodev mengandung bahan aktif FSH+AD. Dosis Oodev yang diberikan adalah 0 IU/kg ikan dan 15 IU/kg ikan. Selain itu, digunakan hormon Luteinizing

Hormone Releasing Hormone (LHRH)+Antidopamin (Ovaprim, produk dari

Syndel Canada) untuk merangsang ovulasi (pemijahan) ikan di akhir penelitian. Pakan uji

Selama penelitian, jenis pakan yang digunakan adalah pakan komersial yang mengandung protein 33%, lemak 5%, serat 5%, kadar abu 13% dan kadar air 12% (sebelum penambahan S. platensis). S. platensis yang digunakan sudah berbentuk tepung yang diperoleh dari PT. Polaris Indonesia. Pakan kemudian digiling dan dilakukan repelleting dengan menambahkan S. platensis berbagai dosis, yaitu 0% (kontrol), 1%, 2%, dan 3%. Pakan dioven pada suhu 60oC selama 12 jam. Pakan kemudian dianalisis proksimat untuk melihat kandungan nutriennya meliputi protein, lemak, dan karbohidrat (Takeuchi 1988). Selain itu, pakan uji juga akan dianalisa kandungan asam lemaknya dengan menggunakan Gas

44

Chromatography (GC). Adapun komposisi nutrisi pakan uji hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 3.

Wadah Pemeliharaan

Wadah pemeliharaan induk betina berupa kolam semen sebanyak 8 buah dan jantan 1 buah dengan ukuran 3 x 2,5 x 1.5 meter yang dilengkapi dengan sistem aerasi untuk setiap set penelitian. Sebelum digunakan, kolam dibersihkan dan dilakukan perbaikan dari kebocoran/rembesan dan dipersiapkan terlebih dahulu.

Pada awal pemeliharaan dilakukan analisis kualitas air media pemeliharaan. Untuk menjaga kualitas air tetap baik maka setiap minggu dilakukan penggantian air sebanyak 20-30% dari volume total air yang ada di kolam serta membersihkan kotoran-kotoran yang berasal dari feses ikan atau pakan sisa.

Pemeliharaan induk ikan betina dilakukan dengan kepadatan 10 ekor per kolam. Sedangkan induk jantan disatukan dalam satu buah kolam. Selama pemeliharaan induk ikan diberi pakan uji dengan feeding rate sebesar 3% dari bobot tubuhnya dengan frekwensi pemberian pakan 2 kali sehari yakni pukul 07.00 dan 17.00 WIB. Sedangkan induk jantan diberi pakan pelet komersial sebanyak 2 kali sehari yakni pukul 7.00 dan 17.00 WIB. Selain itu juga digunakan wadah akuarium sebanyak 32 buah dengan ukuran 70 x 50 x 50 cm yang akan digunakan pada proses inkubasi, penetasan telur, dan pemeliharaan larva.

Rancangan Perlakuan

Penelitian tahap kedua ini menggunakan model eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial). Perlakuan yang diujicobakan dalam penelitian ini sebanyak 8 perlakuan yang merupakan kombinasi dari dosis S. platensis dan dosis hormon Oodev. Empat dosis S. platensis yang berbeda dalam pakan ikan, yaitu 0%, 1%, 2%, dan 3% dan 2 dosis hormon Oodev yang berbeda, yaitu 0 IU/kg dan 15 IU/kg yang disuntikkan secara intramuscular dengan interval selama 10 hari sebanyak 4 kali, yakni hari 0, ke-10, ke-20 dan ke-30. Penyuntikan selanjutnya dilakukan setelah penyuntikan ke-4 yakni hari ke-40 dimana induk telah mengalami matang gonad. Penyuntikan ini dilakukan secara intramuskular menggunakan Ovaprim dengan dosis 0,5 ml/kg. Penyuntikan ini dimaksudkan untuk merangsang pemijahan induk ikan. Secara rinci rancangan perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 17.

Tabel 7. Perlakuan berbagai kombinasi dosis S. platensis dan penyuntikan Oodev pada induk betina lele

Dosis

Spirulina (Sp.)

Dosis hormon Oodev (Od.)

0 IU/kg ikan (1) 15 IU/kg ikan (2) 0 % (A) A1(Sp.0% ; Od.0 IU) A2(Sp.0% ; Od.15 IU) 1 % (B) B1(Sp.1% ; Od.0 IU) B2(Sp.1% ; Od.15 IU) 2 % (C) C1(Sp.2% ; Od.0 IU) C2(Sp.2% ; Od.15 IU) 3 % (D) D1(Sp.3% ; Od.0 IU) D2(Sp.3% ; Od.15 IU)

45

Gambar 17. Prosedur penelitian peningkatan mutu reproduksi induk ikan lele (Clarias sp.) yang dikombinasikan dengan suplementasi S. platensis dan hormon Oodev di luar musim pemijahan.

Pengukuran kualitas air seperti suhu, DO, amoniak, pH dan alkalinitas dilakukan di awal, pertengahan dan akhir penelitian. Sedangkan suhu diukur setiap pagi dan sore hari (Lampiran 25).

Pengambilan sampel plasma darah

Plasma darah untuk pengujian estradiol-17β dan vitelogenin diperoleh dari

pengambilan darah dari pangkal batang ekor induk lele betina sebanyak 2 mL dengan menggunakan spuit yang telah diberi antikoagulan (natrium sitrat 3,8%). Sebelum dilakukan pengambilan darah, ikan terlebih dahulu dibius dengan MS 222 dosis 75 mg/L. Sampel darah disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit dan plasma darah yang diperoleh disimpan pada suhu -20oC.

Pematangan gonad

Pengamatan perkembangan gonad dilakukan setiap 10 hari. Setiap pemeriksaan induk, selalu dimulai dengan pembiusan ikan dengan menggunakan MS 222 dosis 75 mg/L kemudian dilanjutkan dengan penimbangan induk. Evaluasi gonad ikan uji yang terpilih secara acak dilakukan secara mikroskopis dengan membedah satu ekor induk ikan dari tiap-tiap perlakuan diambil gonadnya kemudian ditimbang dan difiksasi dengan larutan Bouin selama 24 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70% dan dilakukan analisa histologi gonad. Sebelum dibedah, terlebih dahulu dilakukan pengambilan sampel

46

darah untuk menganalisis kondisi hormon Estradiol-17β. Sampling pengambilan darah ini dilakukan pada bagian pangkal ekor sebanyak 2 mL setiap sampling per ekor, kemudian sampel darah tersebut disimpan pada suhu -20 oC yang selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metoda ELISA. Pengukuran diameter telur dilakukan ketika gonad ikan diambil lalu dibedah kemudian diukur di bawah mikroskop okuler dengan pembesaran 40x dan 100x.

Pemijahan buatan dilakukan dengan penyuntikan ovaprim dengan dosis 0.5 ml/kg. Penyuntikan dilakukan secara intramuskular, 10 jam kemudian telur dikeluarkan dengan cara pengurutan (stripping). Telur-telur hasil pengurutan ditampung di baskom kecil, kemudian diberi larutan fisiologi sebanyak 1 mL selanjutnya dimasukkan sperma dan diaduk dengan menggunakan bulu ayam selama 8 detik. Seterusnya dimasukkan air untuk mengaktifkan sperma supaya terjadi pembuahan. Setelah itu dipindahkan ke dalam akuarium untuk diinkubasi. Perkembangan telur diamati sampai dengan menetas menjadi larva (Gambar 18).

Untuk mendapatkan sperma, induk jantannya dimatikan, lalu spermanya dikeluarkan dan dicampur dengan larutan fisiologis 0,5 ml. Induk jantan yang digunakan untuk membuahi telur-telur induk betina berasal dari induk jantan yang dipelihara di kolam pemeliharaan BBPBAT Sukabumi.

Penetasan telur

Sebelum dilakukan pengeluaran telur dari induk betina, terlebih dahulu disiapkan akuarium yang berukuran 70 X 50 X 50 cm yang diisi air setinggi 30 cm. Sebanyak 24 buah. Di dasar akuarium tersebut diletakkan kaca berukuran 20 X 40 cm (kolektor telur) secara berurutan sehingga sebagian besar dasar akuarium tertutup oleh kaca. Air yang digunakan sama seperti pada pemeliharaan induk. Sebelum wadah dipakai, wadah dicuci dan diisi air, kemudian dilarutkan

methylene blue dengan konsentrasi 0.05 cc/L dengan maksud untuk menghindari jamur berkembang. Suhu penetasan berkisar 27-280C, telur menetas setelah 22-24 jam.

Telur-telur yang siap ditetaskan dimasukkan ke dalam akuarium sebanyak 200 butir per akuarium. Telur yang telah diinkubasi dibiarkan sampai menetas. Selama inkubasi, perkembangan embrio diamati sampai menjadi larva. Telur yang dibuahi dan tidak dibuahi dihitung. Demikian juga pada telur yang menetas dan yang tidak menetas tetap dihitung. Dari sejumlah larva yang dihasilkan dihitung jumlah larva yang normal dan yang tidak normal. Untuk melihat kualitas telur dan larva yang dihasilkan oleh induk dilakukan analisis kandungan asam lemaknya.

Pemeliharaan larva

Pemeliharaan larva merupakan lanjutan dari kegiatan penetasan telur. Agar kualitas air tetap terjaga dengan baik dilakukan penyifonan pada semua akuarium perlakuan. Ketahanan larva dilakukan dengan cara memelihara larva yang baru menetas selama 4 hari dalam akuarium. Larva yang dipelihara untuk masing-masing perlakuan tidak diberi makan. Data yang diamati adalah berapa lama (hari) larva dapat bertahan hidup. Larva diamati setiap hari, mortalitasnya dicatat. 44

47

Parameter Uji

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Profil Estradiol-17β (E2)

Pengukuran konsentrasi estradiol-17β dalam plasma darah induk lele

dilakukan dengan metode ELISA. Konsentrasi estradiol-17β dalam plasma darah

diukur setiap 10 hari dari awal hingga akhir pemeliharaan (hari ke-40).

Gonad Somatik Indeks (GSI)

Penilaian perkembangan gonad (GSI) dihitung berdasarkan perhitungan secara kuantitatif dengan rumus sebagai berikut:

Hepato Somatik Indeks (HSI)

Parameter ini di uji dengan maksud untuk melihat gambaran proses pada sistem reproduksi selama pemeliharaan terutama pada hati. Penilaian perkembangan hati (HSI) dihitung berdasarkan perhitungan secara kuantitatif dengan rumus sebagai berikut:

Fekunditas relatif

Perhitungan fekunditas relatif, merupakan perbandingan antara jumlah telur yang dihasilkan dengan bobot tubuh induk (kg). Perhitungan dengan cara mengambil 1 gr telur hasil ovulasi kemudian dihitung jumlah telurnya. Pengambilan dilakukan sebanyak tiga kali dan jumlah jumlah telur tersebut dirata-ratakan. Nilai rata-rata ini kemudian dikalikan dengan bobot telur yang diovulasikan.

Diameter telur

Pengamatan diameter telur dilakukan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dengan pembesaran 4 x 10.

Derajat Pembuahan Telur

Derajat pembuahan telur (fertilization rate) adalah persentase jumlah telur yang dibuahi dari jumlah telur yang diinkubasi yang dapat ditentukan pada saat stadium morula, dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

48

Daya Tetas Telur

Derajat tetas telur (hatching rate) adalah persentase jumlah embrio yang menetas dari jumlah telur yang telah dibuahi. Perhitungan derajat penetasan ditentukan setelah penetasan telur seluruhnya dengan perhitungan rumus sebagai berikut:

Sintasan larva

Tingkat kelangsungan hidup larva dihitung dengan menggunakan rumus:

Presentase Larva Abnormal (PLA)

Persentase larva abnormal dihitung dengan menggunakan rumus:

Analisis Data

Data hasil pengamatan konsentrasi hormon estradiol-17β, HSI dan GSI

ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk grafik dan gambar. Diameter telur, fekunditas, derajat pembuahan, derajat tetas telur, larva abnormal dan sintasan larva, dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut (P<0,05) menggunakan uji Duncan dengan SPSS 16.0.

49

Hasil Profil estradiol-17β

Konsentrasi estradiol-17β pada perlakuan S. platensis 0%;Oodev 0 IU, S. platensis 0%;Oodev 15 IU, S. platensis 1%;Oodev 0 IU, S. platensis 1%;Oodev 15 IU, S. platensis 2%;Oodev 0 IU, S. platensis 2%;Oodev 15 IU, S. platensis

3%;Oodev 0 IU, S. platensis 3%;Oodev 15 IU mengalami peningkatan. Seiring dengan perkembangan gonad konsentrasi estradiol-17β mengalami peningkatan pada perlakuan S. platensis 0%;Oodev 0 IU hingga S. platensis 3%;Oodev 15 IU yakni berkisar 1,307-3,194 ng/mL pada hari ke-10. Peningkatan ini konsisten hingga hari ke-20 dan mulai hari ke-30 mengalami penurunan (Gambar 18). Penurunan ini terjadi karena perkembangan gonad yang telah selesai dan akan dilanjutkan ke tahap pematangan gonad akhir (hari ke-40).

Rataan konsentrasi estradiol-17β dari semua perlakuan memiliki pola

peningkatan yang lebih tinggi hari 10 sampai hari 20 dibandingkan hari ke-30 sampai ke-40.

Gambar 18. Hubungan kombinasi perlakuan suplementasi S. platensis dengan penyuntikan Oodev terhadap perubahan konsentrasi estradiol-17β plasma darah. Penyuntikan Oodev saja (S. platensis 0%;Oodev 15 IU) pada hari ke-10 sudah menunjukkan peningkatan konsentrasi estradiol-17β yang signifikan dibandingkan dengan perlakuan S. platensis 0%;Oodev 0 IU (kontrol). Demikian juga terhadap perlakuan dengan kombinasi Spirulina 1%, 2% dan 3% dengan penyuntikan Oodev dosis 15 IU/kg pada induk menunjukkan angka tertinggi untuk profil estradiol-17β dalam darah bila dibandingkan dengan tanpa kombinasi terlebih lagi bila dibandingkan dengan kontrol. Puncak ketinggian konsentrasi estradiol-17β antar perlakuan pada hari ke-10 menunjukkan bahwa kombinasi S. platensis dengan Oodev 15 IU mempunyai pengaruh terhadap kecepatan kematangan gonad. Selain itu, bila dibandingkan dengan kontrol, bahwa penambahan S. platensis saja pada pakan juga mempunyai pengaruh terhadap kematangan gonad.

Puncak ketinggian konsentrasi estradiol-17β antar perlakuan pada hari ke-20 bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol menunjukkan bahwa kombinasi

Spirulina dengan Oodev 15 IU mempunyai pengaruh terhadap kecepatan kematangan gonad. Demikian juga hari ke-30 dimana konsentrasi estradiol-17β

pada semua perlakuan mengalami penurunan. Meskipun demikian, kecepatan penurunan konsentrasi estradiol-17β pada semua perlakuan berbeda-beda.

50

Penurunan konsentrasi berkisar dari 2,542 ± 0.08558 ng/mL pada perlakuan S. platensis 0%;Oodev 0 IU sampai 0,661 ± 0,04141 ng/mL pada perlakuan S. platensis 3%;Oodev 15 IU. Selanjutnya, pada hari ke-40 konsentrasi estradiol-17β

pada semua perlakuan juga mengalami penurunan. Penurunan pada hari ke-40 ini merupakan gambaran kematangan gonad untuk tahap akhir. Nilai konsentrasi estradiol-17β pada hari ke-40 berkisar dari 2,386 ± 0,11102 ng/mL pada perlakuan A1 sampai 0,284 ± 0,25503 ng/mL pada perlakuan S. platensis

3%;Oodev 15 IU (Lampiran 16).

Hepato Somatik Indeks (HSI)

Hasil pengaruh perbedaan konsentrasi nutrien Spirulina platensis pada pakan perlakuan yang dikombinasikan dengan hormon Oodev pada induk ikan lele terhadap nilai HSI disajikan pada Gambar 19. Parameter ini di uji dengan maksud untuk melihat gambaran proses pada sistem reproduksi selama pemeliharaan terutama pada hati. Nilai HSI (%) semua perlakuan (perlakuan S. platensis 0%;Oodev 0 IU sampai dengan perlakuan S. platensis 3%;Oodev 15 IU) berkisar 1,90-2,48% pada hari ke-10; 2,13-2,30% pada hari ke-20; 1,83-0.99% pada hari ke-30 dan 1,34-0,82% pada hari ke-40 (lampiran 17).

Puncak peningkatan HSI terjadi pada hari ke-10 sampai hari ke-20, hal ini merupakan peningkatan intensitas proses, Ini sesuai dengan proses terjadinya vitelogenesis yakni pada hari ke-10 hingga hari ke-20. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan perkembangan GSI diperoleh kecenderungan peningkatan dari hari ke-10 sampai hari ke-40. Sedangkan HSI sebaliknya yakni memiliki kecenderungan menurun dari hari ke-30 sampai hari ke-40.

Gambar 19. Hubungan kombinasi suplementasi S. platensis dengan penyuntikan Oodev terhadap perubahan HSI induk ikan lele.

Gonado Somatik Indeks (GSI),

Hasil penelitian terhadap nilai GSI disajikan pada Gambar 20. Parameter ini di uji dengan maksud untuk melihat gambaran perkembangan dan pertumbuhan gonad. Hasil pengamatan terhadap nilai GSI induk ikan uji selama percobaan menunjukkan adanya peningkatan pada semua perlakuan (perlakuan S. platensis

0%;Oodev 0 IU sampai dengan perlakuan S. platensis 3%;Oodev 15 IU). Nilai GSI induk ikan uji pada perlakuan S. platensis 0%;Oodev 0 IU sebesar 2,37% sampai dengan 5,84% pada perlakuan S. platensis 3%;Oodev 15 IU pada hari ke-10. Kemudian meningkat kembali pada hari ke-20 sebesar 4,26% pada perlakuan

51

3%;Oodev 15 IU. Selanjutnya mengalami peningkatan kembali menjadi 5,92% perlakuan S. platensis 0%;Oodev 0 IU sampai dengan 10,52% pada perlakuan S. platensis 3%;Oodev 15 IU hari ke-30 dan hari ke-40 merupakan puncak peningkatan GSI dengan nilai sebesar 7,76% pada perlakuan S. platensis

0%;Oodev 0 IU sampai dengan 11,39% pada perlakuan S. platensis 3%;Oodev 15 IU. (Lampiran 17).

.Gambar 20. Hubungan kombinasi suplementasi nutrisi S. platensis dengan penyuntikan Oodev terhadap perubahan GSI induk ikan lele.

Perkembangan Gonad dan Diameter telur

Perkembangan gonad dapat ditelusuri melalui analisis histologi karena dapat mengetahui tahapan vitelogenesisnya, seperti oogenesis atau perkembangan telur dimulai dengan berkembangnya oosit sebagai hasil dari perkembangan karakter-karakter pada sel-sel germinatif. Tahap perkembangan gonad ikan lele per perlakuan dapat terlihat pada Gambar 21.

Dokumen terkait