• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan lele (Clarias sp.) pertama kali matang kelamin pada umur satu tahun dengan ukuran panjang tubuh sekitar 25 cm dan ukuran berat tubuh 200 sampai dengan 500 gram (Cinabut et al. 1991). Siklus reproduksi pada ikan ini dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah sistem hormonal sedangkan faktor eksternal meliputi: nutrisi dan lingkungan (musim). Di Afrika, ikan lele yang hidup di alam memijah pada musim penghujan yakni pada bulan April-September (Adebayo & Fagbenro 2004). Ikan ini merupakan hasil domestikasi yang sudah adaptasi di Indonesia. Oleh karena itu, ikan lele merupakan salah satu komoditas yang dikembangkan di Indonesia karena permintaan ikan lele meningkat setiap tahunnya.

Kendala reproduksi pada ikan antara lain induk gagal memijah, induk tidak dapat menyelesaikan fase vitelogenesis dan induk tidak dapat ovulasi secara alamiah (Zohar & Mylonas 2001). Salah satu upaya untuk mengatasi kendala tersebut dapat dilakukan dengan melalui berbagai cara yakni: manipulasi lingkungan, aplikasi hormonal, perbaikan nutrisi induk maupun kombinasi antara hormonal dan perbaikan nutrisi induk. Prinsip kerja manipulasi lingkungan untuk meningkatkan produksi dimaksudkan untuk memanipulasi lingkungan budidaya sehingga kondisinya mirip dengan lingkungan aslinya sehingga ikan dapat melakukan proses reproduksi sebagaimana habitat aslinya. Untuk aplikasi penggunaan hormonal pada umumnya digunakan untuk merangsang proses reproduksi, menginduksi ovulasi serta pemijahan. Perbaikan nutrisi pada pakan induk dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas telur dan larva yang dihasilkan.

Peranan hormon eksogenous yang bekerja pada proses pematangan gonad ikan adalah gonadotropin. Oodev yang digunakan merupakan bahan yang mengandung hormon gonadotropin yaitu pregnant mare serum gonadotropin

(PMSG) dan antidopamin. PMSG mempunyai peran dalam merangsang pembentukan folikel karena sangat banyak mengandung unsur daya kerja FSH dan sedikit LH. folicle stimulating hormone (FSH) atau GTH I akan merangsang terjadinya lonjakan kadar GnRH yang selanjutnya mempengaruhi kelenjar pituitari untuk memproduksi gonadotropin (Bolamba et al. 1992). Setelah itu gonadotropin akan merangsang ovarium untuk proses pematangan telur pada ikan. Sementara peranan nutrisi dalam pakan induk yang paling utama selain protein adalah asam lemak esensial. Asam lemak esensial dalam pakan ikan merupakan faktor utama yang berperan penting dalam keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidup larva lele (Mokoginta et al. 1995). Selanjutnya dinyatakan, asam lemak esensial berperan dalam memelihara struktur dan fungsi membran sel selain sumber energi. Kebutuhan asam lemak pada masing-masing spesis ikan berbeda-beda terutama bila dihubungkan dengan habitatnya. Ikan yang hidup di laut lebih membutuhkan asam lemak n-3 dibanding ikan yang hidup di air tawar, sedangkan ikan air tawar lebih membutuhkan asam lemak n-6 atau campuran asam lemak n-3 maupun n-6.

7

S. platensis merupakan ganggang yang mengandung nutrien tinggi selain mengandung vitamin, mineral (vitamin B1, B2, B3, B6, B9, B12, Vitamin C, Vitamin D dan Vitamin E, potasium, kalsium, krom, tembaga, besi, magnesium, mangan, fosfor, selenium, sodium, dan seng) dan protein, juga mengandung asam lemak esensial (Tabel 1).

Tabel 1. Kandungan asam lemak esensial Spirulina sp. Jenis asam lemak Kandungan Spirulina

mg/10 gram % total C14:0 Miristik C16:0 Palmitik C16:1 Palmitoleik C17:0 Heptadekanoik C18:0 Stearik C18:1 Oleik C18:2 Linoleik C18:3 Gamma-Linolenik C:20 lainnya Total 1 mg 244 mg 33 mg 2 mg 8 mg 12 mg 97 mg 135 mg 14 mg 546 mg 0,2 45,0 5,6 0,3 1,4 2,2 17,9 24,9 2,9 100 % Sumber: Earthrise Farms (1995) dalam Mayasari (2012)

Asam lemak merupakan prekursor untuk prostaglandin tubuh (PGE1), yaitu hormon utama yang mengontrol banyak fungsi tubuh. PGE1 terlibat dalam banyak tugas termasuk pengaturan tekanan darah, sintesis kolesterol, inflamasi dan proliferasi sel. James et al. (2006) dalam penelitiannya memberikan hasil bahwa penggunaan kombinasi dosis Spirulina sebesar 30 g/kg pakan dan penambahan vitamin E 300 mg menghasilkan pertumbuhan, berat gonad dan fekunditas ikan maskoki Carassius auratus yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya (P<0.01).

Asam lemak esensial dibutuhkan untuk proses reproduksi, baik untuk pembentukan gonad maupun pematangan gonad dan selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad. Fase utama dalam proses pembentukan gonad adalah vitelogenesis. Vitelogenesis merupakan proses induksi dan sintesis vitellogenin di hati serta penyerapan vitelogenin yang dibawa oleh aliran darah dan diserap oosit. Vitelogenin adalah bakal kuning telur yang merupakan komponen utama dari oosit yang sudah tumbuh dan dihasilkan di hati. Aktivitas vitelogenesis menyebabkan nilai HSI dan GSI akan meningkat. Selain itu, bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Menurut Effendie (1997), umumnya pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10-25 persen dari bobot tubuh dan pada ikan jantan 5-10 persen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin rneningkat tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad akan menjadi semakin besar.

Secara garis besar, perkembangan gonad ikan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad ikan sampai ikan menjadi dewasa kelamin dan selanjutnya adalah pematangan gamet (Lagler et al. 1977). Pada saat menjelang ovulasi akan terjadi peningkatan diameter oosit karena diisi oleh massa kuning telur yang homogen akibat adanya peningkatan kadar estrogen dan vitelogenin (Cerda et al. 1996). Sementara itu, Nagahama (1995) menyatakan

8

bahwa ukuran telur juga berperan dalam kelangsungan hidup ikan. Benih ikan brown trout yang berasal dari telur yang berukuran besar mempunyai daya hidup yang lebih tinggi dari pada benih ikan yang berasal dari telur yang berukuran kecil. Hal ini terjadi karena kandungan kuning telur yang berukuran besar lebih banyak sehingga larva yang dihasilkan mempunyai persediaan makanan yang cukup untuk membuat daya tahan tubuh yang lebih tinggi dibanding dengan telur-telur yang berukuran kecil.

Perkembangan sel telur (oosit) diawali dari sel germinal yang terdapat dalam lamela dan membentuk oogonia. Oogonia yang tersebar dalam ovarium menjalankan suksesi pembelahan sel dan ditahan pada diploten dari profase meiosis pertama. Pada stadia, ini oogonia dinyatakan sebagai oosit primer (Harder 1975). Oosit primer kemudian menjalankan masa tumbuh yang meliputi fase previtelogenesis yakni ketika ukuran oosit membesar akibat pertambahan volume sitoplasma (endogenous vitelogenesis) namun belum terjadi akumulasi kuning telur dan fase vitelogenesis, ketika terjadi akumulasi material kuning telur yang disintesis oleh hati, kemudian dibebaskan ke darah dan dibawa ke dalam oosit secara mikropinositosis (Tredeau 1999).

Peningkatan ukuran indeks gonad somatik atau perkembangan ovarium disebabkan oleh perkembangan stadia oosit. Pada saat perkembangan oosit, terjadi perubahan morfologis yang mencirikan stadianya. Nagahama (1983) menyatakan bahwa stadium oosit dapat dicirikan berdasarkan volume sitoplasma, penampilan nukleus dan nukleolus serta keberadaan butiran kuning telur. Chinabut et al. 1991 membagi oosit dalam 6 stadia untuk Clarias sp, stadia nukleolus dan perinukleolus dikategorikan sebagai stadium pertama dan setiap stadium dicirikan sebagai berikut: Stadium (1) oogonia dikelilingi satu lapis set epitel dengan pewarnaan hematoksilineosin plasma berwarna merah jambu, dengan inti besar di tengah; Stadium (2) oosit berkembang ukurannya, sitoplasma bertambah besar, inti biru terang dengan pewarnaan dan terletak masih di tengah sel. Oosit dilapisi oleh satu lapis epitel; Stadium (3) sel folikel dan oosit membesar dan provitilin nukleoli mengelilingi inti; Stadium (4) euvitilin inti telah berkembang dan berada di sekitar selaput inti. Stadium merupakan awal vitelogenesis yang ditandai dengan adanya butiran kuning telur pada sitoplasma. Pada stadium ini oosit dikelilingi oleh dua lapis sel dan lapisan zona radiata tampak jelas pada epitel folikular: Stadium (5) stadia peningkatan ukuran oosit karena diisi oleh kuning telur. Butiran kuning telur bertambah besar dan memenuhi sitoplasma dan zona radiata terlihat jelas; Stadia (6) inti mengecil dan selaput tidak terlihat, inti terletak di tepi. zona radiata, sel folikel dan sel teka terlihat jelas.

9

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tahap pertama dilaksanakan pada musim hujan (musim pemijahan) yakni bulan Oktober sampai dengan bulan Maret (Lampiran 25a). Kesiapan pemeliharaan induk (ikan uji), pemberian pakan uji, perlakuan penyuntikan hormon Oodev dan hormon Ovaprim, sampling ikan serta penetasan telur dan pemeliharaan larva dilakukan di kolam pemeliharaan ikan dan Laboratorium Aquatik SEAMEO-BIOTROP, Bogor. Pembuatan pakan uji dan

analisis proksimat bahan pakan dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Pengukuran diameter telur dan perhitungan jumlah telur dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan. Analisis asam lemak pakan perlakuan, telur dan larva dilakukan di Laboratoium Kimia Terpadu IPB. Pembuatan preparat histologis, analisis estradiol-17β dilakukan di Laboratorium histopatologi dan

Laboratorium hormon Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Analisis konsentrasi vitelogenin dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PPSMB IPB. Untuk analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan FPIK IPB.

Ikan Uji

Induk ikan lele yang digunakan berasal dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan induk betina yang belum pernah memijah sebanyak 80 ekor dengan bobot rata-rata 550 g/ekor. Induk jantan yang digunakan untuk ovulasi buatan berjumlah 20 ekor dengan bobot rata-rata 700 g/ekor. Sebelum penelitian, dilakukan adaptasi ikan terlebih dahulu selama 14 hari dan diberi pakan dari perlakuan kontrol sebanyak 3% bobot tubuh per hari. Sebelum perlakuan penelitian dimulai, dilakukan penyeragaman tingkat kematangan gonad sehingga ikan dalam keadaan kosong (tidak ada telur). Pengeluaran telur dilakukan dengan stripping setelah sebelumnya induk ikan diinduksi ovaprim dengan dosis 0,5 ml/kg ikan. Setelah telur dikeluarkan, induk diamati nafsu makannya selama 3-4 hari. Bila nafsu makan induk sudah normal maka penelitian segera dimulai. Selama penelitian berlangsung, dari setiap perlakuan diambil satu ekor untuk diambil sampel darahnya gunaanalisis estradiol-17β dan vitelogenin. Selain itu, untuk pembuatan preparat histologi gonad.

Hormon

Hormon yang digunakan dalam pengujian ini adalah merek dagang Oodev yang merupakan produk hormon yang dikembangkan oleh Laboratorium Reproduksi dan Genetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Oodev mengandung bahan aktif FSH+AD. Dosis Oodev yang diberikan adalah 0 IU/kg ikan dan 15 IU/kg ikan. Selain itu, digunakan hormon Luteinizing

Hormone Releasing Hormone (LHRH)+Antidopamin (Ovaprim, produk dari

10

Pakan uji

Selama penelitian, jenis pakan yang digunakan adalah pakan komersial yang mengandung protein 33%, lemak 5%, serat 5%, kadar abu 13% dan kadar air 12% (sebelum penambahan S. platensis). S. platensis yang digunakan sudah berbentuk tepung yang diperoleh dari PT. Polaris Indonesia.

Pakan kemudian digiling dan dilakukan repelleting dengan menambahkan S. platensis berbagai dosis, yaitu 0% (kontrol), 1%, 2%, dan 3%. Pakan dioven pada suhu 60 oC selama 12 jam (Lampiran 1). Pakan kemudian dianalisis proksimat untuk melihat kandungan nutriennya meliputi protein, lemak, dan karbohidrat (Takeuchi 1988) (Lampiran 4). Selain itu, pakan uji juga akan dianalisis kandungan asam lemaknya dengan menggunakan Gas Cromatography (GC). Komposisi nutrisi pakan uji hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Proksimat (% bobot kering), asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 (% dari total lemak) pakan yang di suplementasi S. platensis pada berbagai dosis

Komposisi proksimat Pakan Perlakuan

A B C D Protein Lemak Kadar Abu Serat Kasar BETN 30,12 7.88 9.47 2.10 50,43 31,09 8.24 10.09 3,32 47,23 33,48 8,23 10,07 1.72 46,50 34,15 7.97 10,11 1.14 46,62

∑ As. Lemak tak jenuh n-6

(% dari total lemak):

a. Gamma Linolenic Acid C18:3n6

b. Linoleic Acid C18:2n6c c. ArachidonicAcid C20:4n6

d. Eicosedienoic Acid C20:2n6

e. Eicosetrienoic Acid, C20:3n6

∑ As. Lemak tak jenuh n-3 (% dari total lemak):

a. Alpha Linolenic Acid, C18:3 n3

b. Eicosqtrienoic Acid C20:3 n3 c. Eicosapentaenoic Acid C20:5 n3 d. Docosahexaenoic Acid C22:6 n3 e. Docosadienoic Acid C22:2 n3 1.94 (0,15%) 0.04 1,31 0.25 0.25 0.09 19.64 (1,55%) 16,86 0.04 1.55 1.17 0.02 2.60 (0,21%) 0.08 1,90 0.29 0.25 0.08 23.84 (1,96%) 19,91 0.05 1.61 2.13 0.14 2.69 (0,22%) 0.13 1,93 0.28 0.26 0.09 25.26 (2,08%) 20,3 0.04 1.69 2.45 0.15 2,89 (0,23%) 0.23 1,94 0.29 0.34 0.09 25.88 (2,06%) 20,96 0.02 1.90 2.85 0.15

Keterangan: Pakan perlakuan A adalah pelet komersial dengan 0% S. platensis, pakan perlakuan B adalah pelet komersil dengan penambahan 1% S. platensis, pakan perlakuan C adalah pelet komersil dengan penambahan 2% S. platensis dan pakan perlakuan D adalah pelet komersil dengan penambahan 3% S. platensis.

11

Wadah Pemeliharaan

Wadah pemeliharaan induk betina berupa kolam semen sebanyak 8 buah dan jantan 1 buah dengan ukuran 3 x 2,5 x 1.5 meter yang dilengkapi dengan sistem aerasi untuk setiap set penelitian. Sebelum digunakan, kolam dibersihkan dan dilakukan perbaikan dari kebocoran/rembesan dan dipersiapkan terlebih dahulu.

Pada awal pemeliharaan dilakukan analisis kualitas air media pemeliharaan. Untuk menjaga kualitas air tetap baik maka setiap minggu dilakukan penggantian air sebanyak 20-30% dari volume total air yang ada di kolam serta membersihkan kotoran-kotoran yang berasal dari feses ikan atau pakan sisa.

Pemeliharaan induk ikan betina dilakukan dengan kepadatan 10 ekor per kolam sebanyak 8 kolam, sedangkan induk jantan disatukan dalam satu buah kolam. Selama pemeliharaan induk ikan diberi pakan uji dengan feeding rate

sebesar 3% dari bobot tubuhnya dengan frekwensi pemberian pakan 2 kali sehari yakni pukul 07.00 dan 17.00 WIB. Sedangkan induk jantan diberi pakan pelet komersial sebanyak 2 kali sehari yakni pukul 7.00 dan 17.00 WIB. Selain itu juga digunakan akuarium sebanyak 32 buah dengan ukuran 70 x 50 x 50 cm untuk proses inkubasi, penetasan telur, dan pemeliharaan larva.

Rancangan Perlakuan

Penelitian tahap pertama ini menggunakan model eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (RAL Faktorial). Perlakuan yang diujicobakan dalam penelitian ini sebanyak 8 perlakuan yang merupakan kombinasi dari dosis Spirulina platensis dan dosis hormon Oodev. 4 dosis S. platensis yang berbeda dalam pakan ikan, yaitu 0%, 1%, 2%, dan 3% yang diberikan selama penelitian berlangsung. dan 2 dosis hormon Oodev yang berbeda, yaitu 0 IU, dan 15 IU yang disuntikkan secara intramuscular dengan interval selama 10 hari sebanyak 3 kali, yakni hari ke-0, ke-10 dan ke-20. Penyuntikan selanjutnya dilakukan pada hari ke-30 pada waktu induk telah mengalami matang gonad. Penyuntikan ini dilakukan secara intramuskular menggunakan Ovaprim dengan dosis 0,5 ml/kg. Penyuntikan ini dimaksudkan untuk merangsang pemijahan induk ikan. Secara rinci rancangan perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 3. Perlakuan berbagai kombinasi dosis S. platensis dan penyuntikan Oodev pada induk betina lele

Dosis S. platensis (Sp.) Dosis hormon Oodev (Od.)

0 IU/kg ikan (1) 15 IU/kg ikan (2) 0% (A) A1(Sp.0% ; Od.0 IU) A2(Sp.0% ; Od.15 IU) 1% (B) B1(Sp.1% ; Od.0 IU) B2(Sp.1% ; Od.15 IU) 2% (C) C1(Sp.2% ; Od.0 IU) C2(Sp.2% ; Od.15 IU) 3% (D) D1(Sp.3% ; Od.0 IU) D2(Sp.3% ; Od.15 IU)

12

Pengukuran kualitas air seperti DO, amoniak, pH dan alkalinitas dilakukan di awal, pertengahan dan akhir penelitian. Suhu diukur setiap pagi dan sore hari.

Gambar 2. Prosedur penelitian peningkatan mutu reproduksi induk betina lele yang diberi kombinasi pakan yang bersuplemen

S. platensis dan Oodev di musim pemijahan.

Pengambilan sampel plasma darah

Plasma darah untuk pengujian estradiol-17β dan vitelogenin diperoleh dari

pengambilan darah dari pangkal batang ekor induk lele betina sebanyak 2 ml dengan menggunakan spuit yang telah diberi antikoagulan (natrium sitrat 3,8%). Sebelum dilakukan pengambilan darah, ikan terlebih dahulu dibius dengan MS 222 dosis 75 mg/L. Sampel darah disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit dan plasma darah yang diperoleh disimpan pada suhu -20oC.

13

Pengamatan perkembangan gonad

Pengamatan perkembangan gonad dilakukan setiap 10 hari. Mulai dari hari ke-0 (awal), hari ke-10, hari ke-20 dan hari ke-30. Setiap pemeriksaan induk, dilanjutkan dengan penimbangan induk. Evaluasi gonad ikan uji yang terpilih secara acak dilakukan secara mikroskopis dengan membedah satu ekor induk ikan dari tiap-tiap perlakuan diambil gonadnya kemudian ditimbang dan difiksasi dengan larutan Bouin selama 24 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan alkohol 70% dan dilakukan analisa histologi gonad (Lampiran 3). Sebelum dibedah, terlebih dahulu dilakukan pengambilan sampel darah untuk menganalisis kondisi hormon estradiol-17β dan konsentrasi vitelogenin. Pengukuran diameter telur dilakukan ketika gonad ikan diambil lalu dibedah kemudian diukur di bawah mikroskop okuler dengan pembesaran 40x dan 100x.

Pemijahan buatan dilakukan dengan penyuntikan ovaprim dengan dosis 0.5 mL/kg. Penyuntikan dilakukan secara intramuscular, setelah 10 jam telur dikeluarkan dengan cara pengurutan (stripping). Telur-telur hasil pengurutan ditampung di baskom kecil, kemudian diberi larutan fisiologi sebanyak 1 ml selanjutnya dimasukkan sperma dan diaduk dengan menggunakan bulu ayam selama 8 detik. Seterusnya dimasukkan air untuk mengaktifkan sperma supaya terjadi pembuahan. Setelah itu dipindahkan ke dalam akuarium untuk diinkubasi. Perkembangan telur diamati sampai dengan menetas menjadi larva (Gambar 2).

Untuk mendapatkan sperma, induk jantannya dimatikan, lalu spermanya dikeluarkan dan dicampur dengan larutan fisiologis 0,5 ml. Induk jantan yang digunakan untuk membuahi telur-telur induk betina berasal dari induk jantan yang dipelihara di kolam pemeliharaan BBPBAT Sukabumi.

Penetasan telur

Sebelum dilakukan pengeluaran telur dari induk betina, terlebih dahulu disiapkan akuarium yang berukuran 70 X 50 X 50 cm yang diisi air setinggi 30 cm. Sebanyak 24 buah. Di dasar akuarium tersebut diletakkan kaca berukuran 20 X 40 cm (kolektor telur) secara berurutan sehingga sebagian besar dasar akuarium tertutup oleh kaca. Air yang digunakan sama seperti pada pemeliharaan induk. Sebelum wadah dipakai, wadah dicuci dan diisi air, kemudian dilarutkan

methylene blue dengan konsentrasi 0.05 cc/L dengan maksud untuk menghindari jamur berkembang. Suhu penetasan berkisar 27-280C, telur menetas setelah 22-24 jam.

Telur-telur yang siap ditetaskan dimasukkan ke dalam akuarium sebanyak 200 butir per akuarium. Telur yang telah diinkubasi dibiarkan sampai menetas. Selama inkubasi, perkembangan embrio diamati sampai menjadi larva. Telur yang dibuahi dan tidak dibuahi dihitung. Demikian juga pada telur yang menetas dan yang tidak menetas tetap dihitung. Dari sejumlah larva yang dihasilkan dihitung jumlah larva yang tidak normal. Untuk melihat kualitas telur dan larva yang dihasilkan oleh induk dilakukan analisis kandungan asam lemaknya.

Pemeliharaan larva

Pemeliharaan larva merupakan lanjutan dari kegiatan penetasan telur. Agar kualitas air tetap terjaga dengan baik dilakukan penyifonan pada semua akuarium perlakuan. Ketahanan larva dilakukan dengan cara memelihara larva yang baru menetas selama 4 hari dalam akuarium.

14

Larva yang dipelihara untuk masing-masing perlakuan tidak diberi makan. Data yang diamati adalah berapa lama (hari) larva dapat bertahan hidup. Larva diamati setiap hari, mortalitasnya dicatat.

Parameter Uji

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Profil Estradiol-17β (E2)

Pengukuran konsentrasi estradiol-17β dalam plasma darah induk lele

dilakukan dengan metode ELISA. Konsentrasi estradiol-17β dalam plasma darah diukur setiap 10 hari dari awal hingga akhir pemeliharaan (30 hari).

Vitelogenin

Pengukuran vitelogenin plasma darah ikan dilakukan dengan menggunakan metode elektroforesis SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul vitelogenin. Sedangkan untuk menghitung konsentrasi dari vitelogenin ditentukan dengan menggunakan program (software) TotalLab TL 120. Vitelogenin plasma darah diukur setiap 10 hari dari awal hingga akhir pemeliharaan (30 hari).

Gonad Somatik Indeks (GSI)

Penilaian perkembangan gonad (GSI) dihitung berdasarkan perhitungan secara kuantitatif dengan rumus sebagai berikut:

Hepato Somatik Indeks (HSI)

Parameter ini di uji dengan maksud untuk melihat gambaran proses pada sistem reproduksi selama pemeliharaan terutama pada hati. Penilaian perkembangan hati (HSI) dihitung berdasarkan perhitungan secara kuantitatif dengan rumus sebagai berikut:

Kandungan Lemak, Protein dan Asam Lemak

Parameter kandungan lemak, protein dan asam lemak dilakukan pada tubuh induk, telur dan larva. Analisa proksimat dilakukan sesuai dengan Takeuchi (1988); terdiri atas analisis protein, lemak, serat kasar, kadar abu dan kadar air. Pengujian asam lemak n-3 dan asam lemak n-6 dilakukan menggunakan Gas Liquid Chromatography (GLC) dengan silica capillary column (GC-15A, Shimadzu Corp. Japan).

Fekunditas relatif

Perhitungan fekunditas relatif merupakan perbandingan antara jumlah telur yang dihasilkan dengan bobot tubuh induk (kg). Perhitungan dengan cara mengambil 1 g telur hasil ovulasi kemudian dihitung jumlah telurnya. Pengambilan dilakukan sebanyak tiga kali dan jumlah telur tersebut

dirata-15 ratakan. Nilai rata-rata ini kemudian dikalikan dengan bobot telur yang diovulasikan lalu dibagi dengan bobot tubuh induk.

Diameter telur

Pengamatan diameter telur dilakukan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dengan pembesaran 4 x 10.

Derajat Pembuahan Telur

Derajat pembuahan telur (fertilization rate) adalah persentase jumlah telur yang dibuahi dari jumlah telur yang diinkubasi yang dapat ditentukan pada saat stadium morula, dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

Derajat Tetas Telur

Derajat tetas telur (hatching rate) adalah persentase jumlah embrio yang menetas dari jumlah telur yang telah dibuahi. Perhitungan derajat penetasan ditentukan setelah penetasan telur seluruhnya dengan perhitungan rumus sebagai berikut:

Sintasan larva

Tingkat kelangsungan hidup larva dihitung dengan menggunakan rumus:

Persentase Larva Abnormal (PLA)

Persentase larva abnormal dihitung dengan menggunakan rumus:

Analisis Data

Data hasil pengamatan konsentrasi hormon estradiol-17β, konsentrasi vitelogenin, HSI dan GSI ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk grafik dan gambar. Diameter telur, fekunditas, derajat pembuahan, derajat tetas telur, larva abnormal dan sintasan larva, dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut (P<0,05) menggunakan uji Duncan dengan SPSS 16.0.

16

Hasil

Pemberian pakan uji dengan suplementasi S. platensis yang dikombinasikan dengan hormon Oodev pada dosis yang berbeda ternyata mempengaruhi penampilan reproduksi induk lele (Clarias sp.) pada musim pemijahan. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan parameter sebagai berikut: profil estradiol-17β, profil vitelogenin, HSI, GSI, diameter telur dan viabilitas larva.

Profil Estradiol -17β

Hasil pengamatan konsentrasi estradiol-17β pada perlakuan S. platensis 0%; Oodev 0 IU, S. platensis 0%; Oodev 15 IU, S. platensis 1%; Oodev 0 IU, S. platensis 1%; Oodev 15 IU, S. platensis 2%; Oodev 0 IU, S. platensis 2%; Oodev 15 IU, S. platensis 3%; Oodev 0 IU, S. platensis 3%; Oodev 15 IU pada hari ke-0 (awal) semuanya sama yakni 1,115 ± 0,049497 ng/mL. Kemudian seiring dengan perkembangan gonad, pada hari ke-10 konsentrasi estradiol-17β mengalami peningkatan. Peningkatan konsentrasi estradiol-17β terjadi pada hari ke-10 yakni berkisar dari 1,650 ± 0,014142 ng/mL pada perlakuan S. platensis 0%; Oodev 0 IU sampai dengan 5,475 ± 0,035355 ng/mL pada perlakuan S. platensis 3%; Oodev 15 IU dan pada hari ke-20 mengalami penurunan menjadi 1,605 ± 0,007071 ng/mL pada perlakuan S. platensis 0%; Oodev 0 IU sampai dengan 1,870 ± 0,127279 ng/mL pada perlakuan S. platensis 3%; Oodev 15 IU. Selanjutnya pada hari ke-30, juga mengalami penurunan yakni sebesar 1,005 ± 0,00707 ng/mL pada perlakuan S. platensis 0%; Oodev 0 IU sampai dengan 0,525 ± 0,10607 ng/mL pada perlakuan S. platensis 3%; Oodev 15 IU (Lampiran 5).

Fluktuasi konsentrasi estradiol-17β setelah penyuntikan Oodev yang

dikombinasikan dengan suplementasi S. platensis menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penyuntikan Oodev hari ke-10 (Gambar 3).

Dokumen terkait