• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yogyakarta Berkabung

BAB III PERAN TAN JIN SING SEBAGAI BUPAT

C. Yogyakarta Berkabung

Hujan deras disertai angin ribut dan sambaran petir menimpa Yogyakarta

sejak 2 November. Esok malamnya hujan masih deras sekali. Sekitar pukul

11.00 malam itu Tan Jin Sing dalam tidurnya berteriak dalam mimpi, bahwa

dalam mimpinya Sri Sultan datang ke rumahnya. Kemudian pagi harinya hujan

telah berhenti namun langit tetap mendung. Sekitar pukul 07.00 pagi seorang

abdi dalem Kraton datang membawa berita, bahwa Sri Sultan telah meninggal

dunia pada hari Rabu malam tanggal 3 November 1814, setelah menderita sakit

beberapa hari. Beliau mangkat dalam usia 43 tahun. Pada pukul 12.00 jenazah

akan dibaringkan di Bangsal Kencono, dan Jumat pagi pukul 09.00 akan

dikebumikan di Pasareyan Pajimatan Imogiri, Kedhaton Suwargan.

19 Ibid, hal. 72-76

Hal ini sangat memukul Tan Jin Sing yang langsung masuk kamar kerja

dan menutup pintunya, lalu mengheningkan cipta. Beberapa menit kemudian ia

menjatuhkan diri di atas kursi dan mulai melamun. Ia bertanya pada diri sendiri

tentang peristiwa meninggalnya Sri Sultan, apakah ada hubunganya dengan

mimpinya semalam dan mimpi 3 tahun lalu tentang perjumpaan dengan Sri

Sultan yang membawa tanaman jagung, yang merupakan pertanda bahwa beliau

hanya dapat bertahta selama tiga tahun. Sesudah sadar kembali, Tan Jin Sing

merasakan kesedihan yang luar biasa. Kemudian ia memberitahukan tentang

wafatnya Sri Sultan, dan mengajak bersama-sama naik kereta ke Pasar

Bringharjo untuk membeli semua bunga melati dan mawar yang ada. Setelah

semuannya dikemas dalam berupa puluhan keranjang, Tan Jin Sing lalu

menyewa kereta dan menyuruh Hwie Kiong mengirimkannya ke Kraton untuk

dipakai perkabungan. Ia sendiri berangkat ke kantor. Begitu tiba ia meminta

Sugiarto menutup kantor selama seminggu sebagai tanda turut berkabung

sekaligus memberi kesempatan kepada karyawan untuk sungkem terakhir kepada

jenazah Sri Sultan. Tan Jin Sing pun kemudian pergi ke kantor Ki Rekso yang

juga sudah menerima berita tentang wafatnya Sri Sultan.

Dalam kunjungan ke kantor Ki Rekso Tan Jin Sing bertanya siapa yang

kan menggantikan Sri Sultan mengingat Putra Mahkota masih berusia 10 tahun.

Kemudian menurut Ki Rekso di Yogyakarta ada dua tokoh kerabat Kraton yang

1. Pangeran Diponegoro, tetapi sayangnya ia telah menyatakan kepada kerabat

Kraton, juga kepada Crawfurd dan Raffles bahwa ia tidak berniat

menggantikan ayahnya sebagai Sultan.

2. Paku Alam I, yang sangat dekat dengan pemerintah Inggris, dan sejak

menjadi Pangeran Notokusumo, ia berambisi menjadi Sultan Yogyakarta.

Namun, kerabat Sultan Hamengku Buwono III kurang menyukainya.

Selain itu, pemerintah Inggris di sini sebetulnya tidak stabil meskipun

kelihatannya adem-ayem. Menurut berita yang didengarnya, dalam konvesi

London 13 Agustus 1814, pulau Jawa akan dikembalikan kepada pemerintahan

Belanda. Kemudian Tan Jin Sing berkata, menurut pendengarannya Raffles telah

menulis surat kepada Pemerintahan Inggris di London, agar pulau Jawa

dipertahankan karena mempunyai nilai strategis yang besar. Ki Rekso

berpendapat meskipun Raffles penguasa di Jawa, namun pengaruhnya tidak

banyak dan kemungkinan suratnya tidak ditanggapi oleh penguasa Inggris. Tan

Jin Sing pun sependapat dengannya.

Setelah selesai makan siang Tan Jin Sing dan Ki Rekso naik keretanya

untuk bersama pergi ke Kraton. Dihalaman sekitar Bangsal Kencana sudah

dipenuhi banyak orang. Suasana berkabung mencekam dan sangat hening. Harum

melati, mawar dan dupa memenuhi udara. Jenazah Sultan terbaring dalam peti

berada di tengah Bangsal membujur ke utara diselimuti kain satin putih. Pada

gilirannya kedua Tumenggung tersebut sungkem di muka peti jenazah dan

memberi salam takzim. Mereka kemudian menghampiri ibu dan permaisuri Sri

menyampaikan belasungkawa. Para tamu berdatangan. Lewat satu jam kedua

Tumenggung meninggalkan ruangan. Sementara diluar Kraton banyak pelayat

yang berdatangan guna memberikan penghormatan terahkir pada Rajanya.

Pada Jumat paginya, sekitar pukul 07.30, Tumenggung Secodinigrat dan

Tumenggung Reksonegoro pergi melayat ke Kraton dalam satu kereta. Mereka

turun alun-alun selatan, tempat banyak kereta berjejer. Lalu keduanya berjalan

kaki menuju Bangsal Kencana. Sementara suara bedug terdengar jauh. Lalu bunyi

gamelan mangalun membawakan gendingi Monggang, yang iramanya maratap

dan menyayat hati. Tamu terus berdatangan memenuhi pelataran Bangsal

Kencana. Sekitar pukul 08.30 muncul 12 prajurit Kraton yang dengan perlahan

mengangkat jenazah Sultan Hamengku Buwono III. Payung kebesaran berwarna

kuning emas yang semula berada di sebelah peti jenazah dibawa ke luar bangsal.

Gending Mogangan mengalun terus. Secara bergantian, prajurit Kraton, para

keluarga dan kawan terdekat mengusung jenazah Sultan ke pintu gerbang

Mogangan, tempat kereta jenazah menanti.20

Kereta berwarna kuning emas dihiasi bunga melati, asparagus, dan

anggrek. Dengan hati-hati peti jenazah dimasukkan kedalam kereta. Sementara di

atas kuda putih, komandan prajurit Kraton menyiapkan pasukannya. Pukul 09.00

kereta jenazah mulai bergerak, diawali pasukan musik terdiri dari 12 tambur, 8

terompet, 12 seruling, 2 gong kecil, dan 2 gending. Dengan lirih dibunyikan irama

Laratangis. Dibelakang pasukan musik berbaris 200 prajurit Kraton. Di depan

kereta berjalan beberapa abdi dalem sambil terus menyebarkan sawur berupa

20 Ibid., hal. 95

beras kuning campur bunga melati, mawar dan kenanga. Para keluarga Sri Sultan

berjalan di belakang kereta jenazah diikuti pelayat lainnya. Setelah sampai alun-

alun selatan kereta jenazah berhenti diantara pohon beringin kembar. Para

keluarga dan pelayat lalu naik ke dalam kereta masing-masing yang sudah

menunggu di situ. Ada sekitar 100 kereta menunggu di alun-alun selatan. Di tepi

jalan yang menuju ke kompleks makam kerajaan di Imogiri, ribuan rakyat

menyaksikan prosesi ini. Menjelang pukul 14.00 kereta jenazah tiba di Imogiri.

Kompleks makam itu berada di atas bukit untuk mencapainya harus naik 400

anak tangga. Jenazah Sri Sultan diusung ke masjid Pajimatan yang terletak di kaki

bukit untuk disembayangkan dahulu sebelum diusung ke atas. Tidak lama

kemudian, diawali dengan bunyian tambur, 12 prajurit mengusung peti jenazah

dengan perlahan dan hati-hati mendaki anak tangga. Setiap sepuluh menit prajurit

lain menggantikannya.

Satu jam berlalu sebelum peti tiba di atas. Kompleks makam kerajaan ini,

yang terletak diatas bukit, yang kemudian dikenal dengan nama Pasareyan

Pajimatan, dibangun oleh Sultan Agung yang memerintah antara tahun 1627-

1647. Pada saat itu terdapat 4 kompleks makam, yang terbagi menjadi atas

Kesultanan Agung, Paku Buwono, Kasuwargan Surakarta, dan Kasuwargan

Yogyakarta. Jenazah Sultan Hamengku Buwono III masuk ke Kasuwargan

Yogyakarta. Liang lahat sudah disiapkan menanti peti yang diturunkan perlahan-

dan payung emas ditancapkan di ujung kepala makam, di sisi kiri letak makam

Sultan Paku Buwono I.21

Selesai pemakaman, keluarga dan kawan dekat Sri Sultan, termasuk

Tumenggung Secodiningrat dan Reksonegoro, melakukan upacara ngebekten,

menghaturkan sembah pada makam Sultan, diikuti penaburan bunga.

21 Ibid., hal. 96

BAB IV

AKHIR KEKUASAAN TAN JIN SING

A. Sultan Sepuh “Come Back

Belanda kembali melancarkan serangan besar-besaran. Dalam serangan

kali ini di bawah pimpinan Mayor Jendral Van Geen didukung prajurit Kraton

pimpinan Pangeran Panular dan Murdaningrat. Penyerbuan pada bulan juli 1826

ini memilih sasaran markas besar Pangeran Diponegoro di Dekso. Tetapi mereka

menemukan desa Dekso yang sudah kosong, karena barisan Diponegoro sudah

menyingkir lebih dahulu, setelah mengetahui pasukan musuh jauh lebih besar.

Setelah 20 hari menduduki Dekso, Van Geen dengan pasukannya berangkat

kembali ke Yogyakarta. Sementara Pangeran Panular dan Pangeran Murdaningrat

dengan prajuritnya yang ditambah satu kompi tentara Belanda pimpinan Letnan

Haubert tetap di Dekso. Dalam perjalanan pulang melewati daerah Kasuran yang

berjurang, terjadi penyergapann gemilang oleh barisan Diponegoro yang dipimpin

Sentot Prawirodirjo. Banyak prajurit Belanda tewas bergelimpangan dalam

jurang. Van Geen sendiri berhasil meloloskan diri dan tiba dengan selamat di

Yogyakarta. Jendral ini lalu memerintahkan sisa pasukannya dan prajurit Kraton

yang masih di Dekso untuk kembali saja ke Yogyakarta melalui Lengkong yang

dianggap aman.

Pada 30 Juli 1826, Letnan Haubert, Pangeran Panular, dan pangeran

Murdaningrat bersama seluruh pasukannya meninggalkan Dekso. Di Lekong

mereka dicegat oleh barisan Diponegoro, yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirjo

dan Pangeran Diponegoro. Kedua pemimpin tersebut berhasil memukul musuh

yang menderita kerugian besar, termasuk terbunuhnya Letnan Haubert, Pangeran

Panular, dan Pangeran Murdaningrat. Meskipun memenangkan pertempuran

namun Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi sedih atas meninggalnya kedua

Pangeran tersebut. Pangeran Panular adalah paman Pangeran Mangkubumi dan

Pangeran Murdaningrat adalah kakaknya. Mendengar kekalahan ini, Jendral De

Kock menjadi gelisah dan mencari siasat baru. Ia mengusulkan kepada Komisaris

Jendral Belanda agar Sultan Sepuh yang berada dalam pengasingan di Ambon, di

angkat kembali menjadi raja Yogyakarta dengan harapan wibawanya dapat

mengakhiri pemberontakan. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1812 Sultan

Sepuh diasingkan Inggris ke Penang dan setelah Jawa dikembalikan kepada

Belanda, ia dipindahkan ke Ambon.22

Sultan Sepuh sangat bergembira menerima surat tawaran Belanda untuk

diangkat kembali menjadi raja Yogyakarta. Ia menyatakan bersedia membantu

Belanda untuk memulihkan keamanan di Jawa bila ia nanti kembali menjadi

kembali menjadi Sultan Hamengku Buwono II. Dengan menumpang kapal

“Melempas” Sultan Sepuh dan istrinya, Ratu Kenconowulan meninggalkan

Ambon, pada permulaan bulan Agustus 1826. Kemudian pada tanggal 17 Agustus

1826 bertempat di Istana Bogor, Komisaris Belanda mengangkat Sultan Sepuh

kembali menjadi Sultan Hamengku Buwono II. Mendengar berita itu, Sugiarto

segera menanyakan tanggapan majikannya. Tumenggung Secodiningrat

berpendapat, pengangkatan kembali Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku

Buwono II tidak akan mengakhiri peperangan. Pangeran Diponegoro, sejak orang

tuanya masih hidup, sudah tidak cocok dengan kakeknya dan tentu ia tak akan

menghentikan perlawanan terhadap Belanda, hanya karena kakeknya kembali

menjadi Sultan Yogyakarta. Ternyata dengan “come back”nya Sultan Sepuh

menjadi Sultan Yogyakarta memang tidak menggoyahkan semangat perjuangan

barisan Diponegoro. Hal ini terbukti pada tanggal 28 Agustus 1826, ketika

pertahanan Belanda di Delanggu diserang pasukan Diponegoro. Dalam

pertempuran dahsyat ini tak terhitung korban serdadu musuh maupun senjata yang

dirampas. Untuk merayakan kemenangan ini Pangeran Diponegoro dan para

pengikutnya mencukur habis rambut mereka.

Sultan Hamengku Buwono II sendiri baru tiba di Yogyakarta pada 27

September 1826. Pihak Belanda Sibuk mengadakan upacara penyambutan secara

besar-besaran. Di tengah upacara Sultan Sepuh menyerukan agar kaum

pemberontak bersedia meletakkan senjata sambil menegaskan, bahwa

pemerintahan Belanda akan memberi pengampunan bagi mereka yang menaati

seruannya itu. Sultan Sepuh juga menyurati Pangeran Diponegoro agar

mengakhiri peperangan, dan kembali ke Kraton mengingat banyak kerabat Kraton

dan rakyat jadi korban. Surat balasan yang ditulis Pangeran Mangkubumi diterima

Sultan Sepuh pada tanggal 26 Oktober 1826. Isi surat mnyatakan bahwa mereka

tidak pernah memulai peperangan ini. Belanda telah menipu mereka dengan

mengadakan penyerangan secara mendadak atas perintah Residen Smissaert pada

waktu itu. Mereka juga menyesal, Sultan Sepuh yang dahulu terkenal anti-

setelah Belanda meninggalkan daerah Yogyakarta. Pada bulan November tahun

itu terdengar desas-desus, Sultan Hamengku Buwono II secara rahasia membantu

Diponegoro dalam perjuangan melawan Belanda. Desas-desus ini akhirnya

sampai juga ke telinga pejabat Residen, I. J. Van Sevenhoven. Lalu ia

mengerahkan kaki-tangannya untuk melakukan penyelidikan. Tetapi mereka tidak

bisa menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kemudian Van Sevenhoven

mengadakan wawancara dengan Sultan Hamengku Buwono II memperlihatkan

kebencianya terhadap Diponegoro yang mengangkat dirinya Sultan

Ngabdulhamid Herukoco, dan ia menyatakan ingin melihat cucunya itu

ditumbangkan.

Pada awal bulan November, Tumenggung Secodiningrat menerima surat

kawan lamanya, Kapten Trevers tentang Raffles sebagai lanjutan dari surat yang

dikirim sebelumnya. Surat kali ini ditulis dari Irlandia, tempat ia tinggal setelah

meninggalkan Bengkulu. Isi surat tersebut sebagai berikut : Raffles dua kali

berada di Singapura. Pertama kali untuk menduduki dan kedua kali untuk

membangunnya sebagai kota pelabuhan, tempat persinggahan kapal-kapal dari

Eropa menuju Asia.

Sejak perawatan terakhir ke Singapura, Juli 1823, Raffles sering

menderita sakit kepala. Obat yang diberikan dokter tidak dapat

menyembuhkannya, hanya meringankan rasa sakitnya. Bila ia lelah setelah kerja

menyembuhkan sehingga memutuskan kembali ke tanah airnya, yang

dilaksanakan pada 2 Februari 1824 menumpang kapal “Fame” bersama istrinya. 23

B. Hamengku Buwono II Mangkat

Sejak bulan November Sultan Hamengku Buwono II menderita sakit

tenggorokan. Gangguan ini mengakibatkan ia sulit bicara dan susah menelan

makanan sehingga terpaksa setiap hari ia hanya makan bubur beberapa sendok.

Obat dari dokter tidak dapat menyembuhkan penyakitnya, sementara badannya

makin melemah. Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1828 malam, ia

menghembuskan nafas terkhir dalam usia 78 tahun. Keesokan harinya langsung

dikebumikan di Pasareyan Astana Kitha Hageng dekat Kota Gede. Meninggalnya

Sultan Hamengku Buwono II membuat Gathot Menol diangkat kembali menjadi

Sultan Hamengku Buwono V. Pergantian ini tidak mempengaruhi jalannya

pertempuran antara pasukan Belanda dan barisan Diponegoro. Belanda makin

banyak membangun benteng di daeraah yang mereka kuasai. Di samping itu

mereka mendatangkan prajurit dari Madura, Sulawesi, Maluku, dan Menando

untuk membantu Belanda memerangi barisan Diponegoro. Dari negeri Belanda

mengalir terus persenjataan dan obat-obatan yang dibutuhkan Patroli 24 jam

menjaga hubungan antar benteng.

Di samping mengadakan penyergapan, Belanda juga menjalankan politik

membujuk para pemimpin pejuang agar menyerahkan diri dengan imbalan

menarik. Beberapa pangeran dan tumenggung yang putus asa tidak yakin lagi

23 Ibid., hal. 131.

akan tercapainya kemenangan, menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 18 April

1828, Pangeran Notodiningrat, putra Pangeran Mangkubumi, beserta pengikutnya

masuk perangkap dan menyerah kepada pasukan Belanda. Penyerahan ini sangat

menggembirakan Belanda dan mereka mengharapkan Pangeran Mangkubumi bisa

segera menyerah pula. Sementara itu pertempuran masih terus berlangsung antara

pasukan Belanda dan barisan Diponegoro. Saat itu pusat pertempuran Pangeran

Diponegoro telah dialihkan ke Sambirata. Pada awal bulan September 1828

Belanda mengerahkan pasukan menyerang Sambirata secara besar-besaran.

Melihat kekuatan musuh yang lebih besar Pangeran Diponegoro atas anjuran

pembantunya meninggalkan Sambirata menuju desa Redjasa.

Setelah menemukan markas besar Diponegoro dalam keadaan kosong,

pasukan Belanda membumihanguskan Sambirata dan juga desa sekitarnya. Sentot

yang mendengar hal itu, naik pitam dan mengerahkan pasukannya untuk

menyerang tentara Belanda secara mendadak. Mereka berhasil membuat tentara

Belanda kocar-kacir. Pangeran Diponegoro lalu memutuskan untuk mengalihkan

markas besarnya ke desa Pengasih. Dan di luar dugaan, pada tanggal 5 November

1828. Kyai Maja, yang merupakan orang ke-3 dalam barisan Diponegoro,

menyerah bersama anak buahnya kepada Belanda. Pangeran Diponegoro sangat

terpukul dengann peristiwa ini.

C. Tan Jin Sing Wafat

Sejak permulaan tahun 1830 kesehatan Secodiningrat menurun drastis. Ia

Ramadhan ia tetap melakukan puasa. Tepat pada hari raya Idul Fitri tanggal 27

Maret 1830, ia jatuh sakit dan tidak bisa meninggalkan tempat tidurnya selama 4

hari. Namun, pada tanggal 1 April, ia masuk kantor meskipun kesehatannya

belum pulih sama sekali. Ia memanggil Hariono untuk mendengar laporan

pertemuan dengan Pangeran Diponegoro dan Jendral De Kock. Haryono

menceritakan dengan panjang lebar, apa yang telah terjadi selama pertemuan di

Magelang pada tanggal 28 Maret itu. Dalam percapakan dengan Hariono yang

membicarakan hal tersebut, Tumenggung Secodiningrat jatuh pingsan. Kemudian

mendapatkan pertolongan dari Endang dan Haryono. Tidak lama kemudian A

Siong dan Dadang datang untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. A Siong adalah

seorang tabib yang biasa menangani Tumenggung. Dengan kejadian tersebut A

Siong menyarankan kapada Dadang bahwa ayahnya tidak boleh bekerja lagi, agar

kelak bisa menikmati sisa hidupnya. Salah satu penyebabnya yaitu ia terlalu

banyak pikiran dan juga sudah lanjut usia.

Kesehatan Tumenggung dalam dua bulan bisa sembuh kembali, setelah

makan obat secara teratur. Dadang setiap hari datang berkunjung melihat ayahnya.

Dadang mengusulkan kepadanya agar sebaiknya berhenti bekerja saja untuk

menjaga kondisi kesehatannya. Kemudian Tumenggung Secodiningrat

menceritakan riwayat hidupnya sejak lahir hingga menjadi bupati. Ia menjelaskan

bahwa memang sudah waktunya ia menyerahkan jabatan kepada Dadang.

Tumenggung menulis surat permohonan berhenti sebagai bupati kepada Sri Sultan

dengan tembusan kepada Gubernur Jendral residen Yogyakarta. Pada Desember

menyetujui bahwa Dadang menggantikan ayahnya sebagai bupati dengan gelar

Raden Tumenggung Secodiningrat II. Kemudian serah trima dilakukan pada bulan

Januari 1831.

Setelah pensiun menjadi bupati, Tumenggung Secodiningrat I melakukan

aktifitas dengan pergi ke masjid dan membaca Al-quran. Tidak hanya itu, ia juga

menaruh minat pada pewayangan. Dari dalang Hadikusuma kenalan baiknya,

yang meminjami naskah berbgai cerita yang purwa (wayang kulit) yang

bersumber Ramayanan dan Mahabarata. Dan dari temannya Darmoko yang

tinggal di Kebumen, ia juga mendapatkan pinjaman naskah cerita pertunjukan

wayang golek Menak. Selain kedua jenis wayang tersebut, ia juga menaruh minta

pada wayang Kelitik yang menggambarkan lakon hubungan sejarah Majapahit.

Jadi, meskipun ia tidak bekerja lagi, tetapi setiap hari masih mempunyai

kesibukan.

Pada suatu hari ia menyatakan bahwa keinginan kepada istrinya untuk

mengadakan pagelaran wayang purwa (wayang kulit) di rumahnya dalam rangka

memperingati ulang tahun yang ke-71. Sang istri, Endang tidak menyetujuinya

karena pertunjukan yang berlangsung semalam suntuk sangat melelahkan dan bisa

menggangu kesehatan suaminya yang sudah lanjut usia. Mendengar ucapan dari

Endang, Tumenggung Secodinigrat I merasa kesal dan membicarakan dengan

anaknya Dadang. Sifat ayahnya yang keras, Dadang hanya mengatakan tidak

keberatan asalkan ayah bersedia meninggalkan pagelaran sebelum tengah malam.

Pada awal Maret 1831, Tumenggung Secodingrat I menghubungi dalang

Hadikusumo dan memberitahukan rencana pagelaran wayang purwa dengan cerita

Baratha Yudha di rumahnya pada tanggal 31 Maret, namun sayang sekali jadwal

dalang Hadikusumo sudah padat di bulan Maret. Sang dalang dapat hadir bila

pagelaran dilaksanakan pada pertengahan April asalkan dipilih salah satu cerita

yang sudah sering dipertunjukan. Untuk cerita Baratha Yudha24 yang jarang sekali

dipertunjukan, maka ki dalang harus menyiapkan diri sedikitnya 60 hari. Dalam

hal ini Tumenggung Secodiningrat kecewa dikarenakan tidak bisa dilaksanakan

pada 31 Maret, namum akhirnya ia dapat menyetujui usu ki dalang, agar

pertunjukan diundur hingga 9 Mei. Ia mengehendaki kisah Baratha Yudha, karena

selama hidupnya belum pernah menyaksikan pegelaran yang membawakan cerita

itu. Dan untuk bayaran kepada ki dalang Tumenggung menjanjikan imbalan yang

cukup tinggi.

Pada saat pertunjukan, ternyata di luar dugaan penonton yang datang

berjumlah 1000 orang. Mungkin karena Baratha Yudha jarang sekali dipentaskan

di Yogyakarta. Tumenggung yang duduk bersama Endang di sisi kanan dan

Dadang di sisi kirinya. Tepat pada pukul 9 malam pagelaran dimulai. Orang masih

terus berdatangan sehingga membuat hawa di tempat itu menjadi panas. Sekitar

pukul 10.30, ki dalang membawakan adegan perang antara Gathotkaca, senopati

Pandawa, melawan adipati Karna, senopati Kurawa. Pada waktu sedang

dipertontonkan adipati Karna melepaskan senjata Kunta yang membuat

Gathotkaca gugur, namun Tumenggung merasa kepanasan dan pusing.

24 Baratha Yudha mengkisahkan perang akbar antara kedua keturunan Baratha yaitu Kurawa dan w,lndawa, kisah yang penuh adegan sedih, sendu, tegang, dan penuh kusumat.

Dengan dipapah oleh Endang dan Dadang, ia dibawa ke kamarnya dan

direbahkan di tempat tidur. Tumenggung Secodiningrat tidak bicara apa-apa

langsung tertidur dan mendengkur keras. Dadang memberitahukan kepada

Haryono untuk menjadi wakil tuan rumah selama pertunjukan berlangsung.

Kemudian menemani Endang di kamar ayahnya. Suara gamelan terdengar sampai

kamar. Menjelang subuh Endang melihat suaminya membuka kedua matanya,

kemudian istrinya membangunkan Dadang dan memegang erat tangan

Tumenggung Secodiningrat. Ia mencoba keras untuk berbicara, tapi tak sepatah

kata pun yang mampu diucapkannya. Nafasnya mulai tersendat dan akhirnya ia

menghembuskan nafas terakhir. Sementara jam menunjukkan pukul 6 pagi suara

gamelan tidak terdengar lagi dan hari mulai terang. Kemudian 10 Mei 1831,

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan permasalahan Tan Jin Sing : Bupati Yogyakarta Tahun

1813-1830 dapat disimpulkan sebagai berikut ini :

1. Tan Jin Sing yang sebenarnya berasal dari keluarga priyayi Jawa namun

besar di keluarga pecinan dikarenakan kemiskinan yang sedang dialami

ibunya karena ditinggal mati oleh suaminya 6 bulan sebelum anaknya

lahir. Dengan berbagai pertimbangan, ibunya rela anaknya (Tan Jin Sing )

diasuh oleh keluarga Tan Sin Hong. Setelah lepas 7 bulan kembali diasuh

oleh keluarga Cina yaitu Oei Tek Liong hingga dewasa, menikah dengan

istrinya yaitu U Li. Tan Jin Sing yang menjadi penerus usaha ayahnya dan

Dokumen terkait