• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yudho Bawono

Dalam dokumen BUKU MADURA 2020 . pdf (Halaman 39-56)

Dalam melaksanakan sebuah pernikahan, kedua belah pihak sudah selayaknya mempertimbangkan faktor kesiapan dalam berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya adalah tugas-tugas perkembangan pada masa remaja. Banyaknya pernikahan dini yang terjadi pada etnis

Madura, baik itu di pulau Madura maupun di daerah tapal kuda yang menganggap bahwa pernikahan dini atau pernikahan di usia remaja

sebagai sebuah tradisi yang turun-temurun dengan dilatarbelakangi berbagai alasan yang menyertainya perlu mendapat kajian teoretis

maupun kajian di lapangan yang lebih mendalam (Y.B.).

***

Setiap orang dalam rentang kehidupannya dapat dipastikan akan berproses dan berkembang sejalan dengan usia dan fase per- kembangannya, mulai dari masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa dan masa lanjut usia (Santrock, 2007). Pada masa remaja, menurut Hurlock (1994), fase perkembangannya masih dibagi lagi menjadi awal masa remaja (13 atau 14 sampai 16 atau 17 tahun) dan akhir masa remaja (16 atau 17 sampai 18 tahun). Sementara Mönks, dkk (2001) membagi fase perkembangan remaja menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Selanjutnya Konopka (dalam

masa remaja menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-19 tahun), dan masa remaja akhir (19-22 tahun).

Istilah remaja itu sendiri berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang artinya remaja) berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1994). Pada masa remaja, salah satu tugas perkembangan yang harus dilaksanakan adalah mem- persiapkan perkawinan dan keluarga (Havighurst dalam Hurlock, 1994). Namun di beberapa daerah tertentu di Indonesia, termasuk diantaranya adalah di pulau Madura maupun daerah tapal kuda, para remaja ini bukan lagi mempersiapkan perkawinan, melainkan sudah harus melaksanakan perkawinannya. Sehingga menurut Mönks, dkk (2001) para remaja ini mengalami masa remaja yang diperpendek karena mereka sudah memasuki dunia orang dewasa pada masanya, yaitu melangsungkan perkawinan atau pernikahan.

Psikologi Perkembangan Remaja

Pada bagian ini, perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian dari psikologi, pengertian perkembangan, dan pengertian remaja, sebelum akhirnya dipaparkan tentang pengertian dari psikologi perkem- bangan remaja.

Secara etimologis, psikologi berasal dari bahasa Yunani, psyche yang memiliki arti jiwa, dan logos yang berarti ilmu, sehingga psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Menurut Mussen dan Rosenzwieg (dalam Sobur, 2003) dalam rentang waktu yang relatif lama, terutama ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat, psikologi diartikan seperti pengertian tersebut. Namun dalam perkembangannya, psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Beberapa definisi menurut para ahli yang mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu tentang tingkah laku antara lain adalah:

a. Branca, psikologi merupakan ilmu tentang tingkah laku. b. Clifford T. Morgan, psikologi adalah ilmu yang mempelajari

tingkah laku manusia dan hewan.

c. Woodworth dan Marquis, psikologi adalah ilmu tentang aktivitas-aktivitas individu, baik itu aktivitas motorik, kognitif maupun emosional.

d. Bimo Walgito, psikologi adalah ilmu yang menyelidiki serta mem- pelajari tentang tingkah laku atau aktivitas-aktivitas, dimana tingkah laku serta aktivitas-aktivitas itu merupakan manifestasi hidup kejiwaan.

Selama satu abad (1887-1987) telah teramati bahwa definisi yang stabil adalah psikologi sebagai ilmu tentang perilaku (Hastjarjo dalam Binnety, 2010). Definisi ini secara langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan perkembangan psikologi itu sendiri (Binnety, 2010).

Pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses ke arah yang lebih sempurna, bersifat tetap, dan tidak dapat diputar kembali (Werner dalam Mönks, dkk, 2001). Pada umumnya, proses perkem- bangan dialami oleh setiap manusia melalui beberapa tahap per- kembangan sepanjang rentang hidupnya. Perkembangan seseorang tidak hanya dipelajari pada saat seseorang dilahirkan hingga masa tua, namun sejak seseorang masih dalam kandungan hingga meninggal dunia.

Remaja berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang artinya remaja) berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1994). Menurut Mönks, dkk (2001) masa remaja dibagi menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Konopka (dalam Agustiani, 2009) sebagaimana Mönks dan kawan- kawan membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-19 tahun), dan masa remaja akhir (19-22 tahun), sementara Hurlock (1994) membagi masa remaja menjadi dua fase perkembangan, yaitu awal masa remaja (13 atau 14 sampai 16 atau 17 tahun) dan akhir masa remaja (16 atau 17 sampai 18 tahun).

Hurlock (1994) mengemukakan ciri-ciri remaja antara lain sebagai berikut:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis, keduanya sangat penting pada periode ini.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan membekas pada apa yang terjadi sekarang maupun masa yang akan datang.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ada empat perubahan yang sama yang hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk diperan- kan menimbulkan masalah baru. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Keempat, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap per- ubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Pada periode ini merupakan periode yang menjadi masa sulit bagi para remaja dalam mengatasi masalah. Hal ini dikarenakan selama masa kanak-kanak, masalah anak-anak sering diselesai- kan oleh orangtua atau guru. Sehingga remaja merasa tidak berpengalaman untuk mengatasi masalahnya sendiri. Selain itu, remaja merasa dirinya harus mandiri dalam menyelesaikan masalah tanpa bantuan orangtua atau guru.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pada tahun-tahun awal remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka akan mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-temannya. Pencarian identitas diri yang menimbulakn kedilemaan akan membuat remaja mengalami krisis identitas.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Anggapan stereotipe budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung merusak dan berperilaku merusak membuat orang-orang dewasa merasa khawatir dan menimbulkan ketakutan terhadap remaja. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang diingin- kannya bukan sebagaimana adanya, termasuk cita-citanya. Cita- cita yang tidak realistik ini akan membuat remaja emosi dan membuat remaja marah jika tidak dapat mencapainya dan di- kecewakan oleh orang lain.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Peralihan masa remaja ke masa dewasa mengakibatkan remaja bingung dalam bersikap dan berperilaku selayaknya dewasa dan bukan seperti remaja, sehingga mereka bertindak seperti orang dewasa yaitu minum-minuman keras, menggunakan obat terlarang dan terlibat dalam perbuatan seks.

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1994) yang disebut dengan tugas-tugas perkembangan yaitu tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, namun jika gagal, menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.

Adapun tugas-tugas perkembangan remaja antara lain adalah sebagai berikut (Havighurst dalam Hurlock, 1994):

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.

c. Menerima keadaan fisiknya menggunakan tubuhnya secara efektif

d. Mengharap dan mencapai peilaku sosial yang bertanggung jawab. e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang

f. Mempersiapkan karier ekonomi.

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

Berdasarkan pengertian psikologi, pengertian perkembangan, dan pengertian remaja sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa psikologi perkembangan remaja yaitu psikologi yang mempelajari perubahan atau perkembangan seseorang mulai dari masa pranatal sampai masa remaja yang terentang dari usia 12 tahun hingga 22 tahun.

Pernikahan pada Masa Remaja

Istilah pernikahan atau perkawinan sebenarnya tidak perlu diperdebatkan karena pada dasarnya perkawinan atau pernikahan itu sama bahkan dalam beberapa pasal di Kompilasi Hukum Islam tetap menyebut sebagai perkawinan, hanya saja istilah perkawinan tersebut dalam Islam diperhalus menjadi pernikahan dalam pengertian sebagai akad yang sangat kuat atau mitsaqoon gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (lihat Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam/Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991). Selain dalam pasal 2 ini, dalam KHI pun selanjutnya tetap disebut perkawinan namun landasan utamanya yang disebut perkawinan tetap merujuk pada Pasal 2 (May, 2010).

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per- kawinan). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah men- capai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, dan memenuhi syarat-syarat perkawinan yang salah satunya adalah untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 7 menyebutkan bahwa “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin tertulis dari orang tua”. Izin ini sifatnya wajib, karena di usia tersebut

dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali (dalam Katalog BPS, 2016).

Mengacu pada uraian di atas, maka batasan usia yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 7, dalam psikologi perkembangan termasuk dalam batasan usia remaja (Hurlock, 1994; Mönks, dkk, 2001; Zulkifli, 2001; Konopka dalam Agustiani, 2009) karena di dalam hukum (undang- undang) tidak dikenal adanya istilah remaja (Sarwono, 2012). Dengan demikian, penggunaan istilah perkawinan/ pernikahan dini, perkawinan/ pernikahan di bawah umur, perkawinan/pernikahan usia muda atau perkawinan/pernikahan usia anak yang penulis kemukakan adalah merujuk pada istilah perkawinan/pernikahan usia remaja.

Menurut Rachmad (2017) data tentang pernikahan usia remaja di Indonesia berada pada kondisi yang memprihatinkan, bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional pada tahun 2012 terdapat fakta yang mengejutkan, diantaranya adalah: 1) Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda tinggi di dunia (ranking 37); 2) tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja; 3) Pada tahun 2010, terdapat 158 negara dengan usia legal minimum menikah adalah 18 tahun ke atas, dan Indonesia masih di luar itu.

Selain data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tersebut, beberapa informasi pendukung tentang telah ter- jadinya pernikahan usia remaja di Indonesia juga dapat ditemukan di berbagai media online seperti berita-berita berikut: 1) Pernikahan pasangan berusia 14 tahun di Kelurahan Borong Rappoa, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, 13 Juli 2017 (dalam Bahri, 2017); 2) Pernikahan pasangan berusia 15 tahun di Baturaja, Sumatera Selatan pada tanggal 17 Mei 2017 (dikutip Kumparan, 2017); 3) Sebanyak 333 anak atau remaja menikah sepanjang tahun 2017. Mereka berasal dari Kabupaten Luwu Utara, Kota Makassar, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Soppeng, dan Kabupaten Wajo (dalam Fitriani, 2017); 4) Pernikahan di Desa Gantarang, Kelara, Jeneponto, Sulawesi Selatan pada tanggal 29 Mei

2016 dengan mempelai laki-laki berusia 13 tahun dan mempelai perempuan berusia 14 tahun (dikutip Liputan6, 2016).

Berikut adalah data berdasarkan riset seputar perkawinan di bawah umur dan perkawinan tidak tercatat yang pernah dilakukan oleh Kementerian Agama pada tahun 2012 (dalam Widiyani, 2016):

Tabel 3.1. Tujuh Provinsi Tertinggi Pernikahan Dini

Sumber: Kementerian Agama Republik Indonesia (2012)

Informasi tentang banyaknya kejadian pernikahan usia remaja yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa para remaja di Indonesia masih ada yang melakukan pernikahan yang usianya tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam gambar 3.1 dapat dilihat data perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun di Indonesia pada tahun 2013-2015:

Gambar 3.1. Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20-24 Tahun menurut Usia Perkawinan Pertama, 2013-2015

Dari data tersebut, meskipun pernah terjadi penurunan prevalensi perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun di tahun 2008-2010 (Gambar 3.2), namun pada tahun 2011-2012 prevalensinya meningkat lagi.

Gambar 3.2. Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20-24 Tahun yang Menikah Sebelum Usia 15, 16, atau 18 Tahun Pernikahan Dini pada Remaja Etnis Madura Ditinjau dari Perspektif Psikologi Perkembangan Remaja

Yang disebut dengan pernikahan dini yaitu pernikahan yang berada di bawah batas usia dewasa atau pernikahan yang melibatkan satu atau dua pihak yang masih anak-anak. Sebuah pernikahan dikatakan sebagai pernikahan dini apabila ada salah satu pihak yang masih berada di bawah usia 18 tahun (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2012). Sementara menurut Alawiyah (2014 dalam Edi, 2017) pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia terlalu muda yaitu pada rentang usia di bawah 16 tahun.

Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Kawasan Pantura, perkawinan anak mencapai 35%, di mana 20% diantaranya dilakukan pada usia 9-11 tahun. Data dari Badan Perencanaan Pem- bangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa dari 2 juta perkawinan, sebanyak 34,5% termasuk dalam kategori pernikahan dini. Data pernikahan dini tertinggi berada di Jawa Timur, bahkan lebih tinggi dari angka rata-rata nasional yakni mencapai 39% (dalam Sakdiyah & Ningsih, 2013). Menurut Kepala Seksi Remaja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Propinsi Jawa Timur, perkawinan usia dini terbanyak terjadi di Madura, yakni sekitar 60% dan merata di empat kabupaten, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep (dalam Sakdiyah & Ningsih, 2013) bahkan perkawinan dini ini juga terjadi pada masyarakat subkultur Madura yang berdomisili di daerah tapal kuda (meliputi Pasuruan, Probolinggo,

Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi). Di Kabupaten Probolinggo, misalnya, menurut catatan kantor Pengadilan Agama (PA) setempat, angka perkawinan di bawah usia 15 tahun pada tahun 2008 meningkat 500% dibanding tahun 2007, di mana sampai September 2008 tercatat ada 10 perkawinan yang usia pengantin perempuannya masih di bawah 15 tahun (dalam Hanafi, 2015). Selanjutnya data dari BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2013 (dikutip Yunitasari, dkk, 2016) menyebutkan bahwa jumlah perempuan berusia 10 tahun dan di bawah 17 tahun di Jawa Timur (2011-2013) adalah 26,33%, di mana jumlah pernikahan dini masih tinggi di Bondowoso (53, 26%), Situbondo (51,54%), Probolinggo (48,09%), Sumenep (45,08%), dan Sampang (43,33%).

Berdasarkan data-data tersebut, persentase angka kejadian pernikahan usia remaja banyak terjadi di Pulau Madura dan daerah tapal kuda. Hal ini terjadi karena masyarakat etnis Madura masih memegang tradisi perjodohan yang dilakukan sejak masih dalam kandungan (Rohmah, 2016) maupun sudah beranjak pada masa kanak-kanak yang dikenal dengan tradisi “tan-mantanan” yaitu tradisi pengantin anak kecil seperti yang dilakukan oleh pengantin orang dewasa, yang dilakukan dari awal proses pertunangan (bebekalan) sampai dengan proses resepsi pernikahan, bedanya tidak dilakukan ijab kabul seperti yang dilakukan pengantin orang dewasa, karena mereka masih berusia sekitar 4-10 tahun sehingga belum waktunya diikat sebagai suami-istri (Nuri, 2016).

Pernikahan dini ini terus terjadi juga disebabkan adanya ke- percayaan yang dianut oleh masyarakat. Penelitian Bahrudin (2016) di Desa Banjarbillah, Kecamatan Tambelangan, Kabupaten Sampang, Madura, menemukan bahwa jika ada warga perempuan yang telah mencapai usia 15-18 tahun, dan belum menikah, mereka akan menjadi bahan gunjingan masyarakat dan diejek dengan julukan sangkal yaitu tidak akan ada lagi pemuda yang bersedia menikah gadis tersebut dalam jangka waktu yang lama. Kepercayaan akan sangkal tersebut membuat warga desa segera menikahkan anaknya. Ketika ada pemuda yang melamar anak gadisnya, orang tidak memperdulikan lagi usia si gadis, tidak memperdulikan asal usul pemuda yang melamar dan tidak memperdulikan apakah si gadis bersedia dinikahi atau tidak. Masyarakat desa juga meyakini bahwa

pertemanan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan merupakan perbuatan dosa dan juga dapat menimbulkan fitnah. Seluruh warga desa adalah Muslim yang memegang teguh turunan Islam bahwa pernikahan merupakan kewajiban semua umat Islam dan seseorang wajib dinikahkan apabila mencapai umur yang cukup.

Selain itu, Yasak & Dewi (2015) dalam penelitiannya juga mene- mukan bahwa anak perempuan di Dusun Jambu Monyet, Lenteng Barat, Kabupaten Sumenep, Madura kebanyakan diperintahkan segera menikah oleh orangtuanya dengan alasan mematuhi hukum adat- istiadat dan anjuran agama. Hal tersebut dikarenakan orang tua yang menginginkan anak perempuannya selamat dari mitos perawan tua. Selain itu, alasan ekonomi juga menjadi latar belakang orangtua segera menikahkan anak perempuannya, sehingga pendidikan untuk anak perempuan dianggap tidak terlalu penting, apalagi untuk membiayai anaknya melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, sebagaimana ditemukan kejadiannya di Dusun Pocogan 1 Lajing, Arosbaya, Kabupaten Bangkalan, Madura (Agustine dalam Kurniawati, dkk, 2017).

Penelitian Jannah (2011) di Desa Pandan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura juga menemukan bahwa masyarakat yang setuju terjadinya pernikahan dini karena beralasan untuk menyelamatkan agama (Islam), karena agama membolehkan menikah apabila sudah baligh dan yang ditentukan oleh agama pasti baik untuk umatnya. Selain itu juga untuk menghindari pergaulan bebas, adanya kebanggaan dari orang tua karena anaknya “cepat laku” dan tidak menjadi beban orang tua, serta pernikahan dini yang di- anggap sebagai sebuah tradisi yang melekat pada masyarakat Madura. Pada masyarakat subkultur Madura di Kabupaten Probolinggo, berdasarkan penelitiannya, Hanafi (2015) mengatakan bahwa praktik perkawinan remaja masih terjadi karena masyarakat masih memo- sisikan anak perempuan sebagai warga kelas dua. Akibatnya, para orang tua mempercepat perkawinan anak gadisnya dengan alasan diantaranya, pendidikan tinggi yang dianggap tidak penting bagi anak perempuan, kekhawatiran anak perempuan akan terkena stigma perawan tua, dan kemandirian anak perempuan secara ekonomi yang dianggap bukan hal yang penting baginya.

Alasan-alasan menikahkan remaja, khususnya remaja perempuan etnis Madura ini pada akhirnya menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, antara lain adalah ketidakharmonisan, kurangnya kesa- daran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan rumah tangga (Jannah, 2011), putus sekolah, hak kebebasan yang terampas (Yasak & Dewi, 2015), cepat mengalami konflik atau pertengkaran (Alghifari dalam Zumriyah, 2015) sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan/pernikahan usia remaja memiliki dampak negatif dari segi pendidikan, sosial, ekonomi, psikologis, fisik, dan kesehatan reproduksi perempuan (Yunitasari, dkk, 2016) bahkan menurut Mubasyaroh (2016) pernikahan pada usia remaja dikatakan hanya membawa penderitaan saja.

Sebaliknya, penelitian Zumriyah (2015) di Desa Larangan Luar, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Madura justru mene- mukan bahwa pasangan yang menikah dini, meskipun dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan namun tetap dapat hidup bahagia. Penelitian Setyawan (2016) di Pulau Mandangin, Kabupaten Sampang, Madura, juga menunjukkan bahwa meskipun para perempuan yang menikah dini, kondisi gejala kesehatan yang kurang baik, terham- batnya pengembangan bakat minat dan komunikasi dengan ling- kungan sosial, serta terbatasnya pemenuhan kebutuhan hidup, namun mereka tetap memiliki kualitas hidup yang relatif baik karena memiliki sikap ikhlas, pasrah, dan merasa cukup dengan kondisi yang ada. Lebih lanjut Setyawan (2016) mengatakan bahwa perni- kahan dini berhubungan erat dengan kesejahteraan perempuan muda yang mengalaminya.

Pendapat ini didukung Miswiyawati (2017) dari hasil peneli- tiannya yang menemukan bahwa pasangan yang menikah muda (remaja) merasakan kesejahteraan subjektif (subjective well-being) yang cukup tinggi dalam pernikahan. Kesejahteraan subyektif yang ter- bentuk dalam diri pasangan muda tersebut yaitu pasangan muda dapat menerima kondisi yang telah dialaminya dan bersyukur atas apa yang dialaminya. Secara keseluruhan pasangan muda lebih sering merasakan afek positif daripada afek negatif.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pernikahan dapat mempengaruhi kesejahteraan subyektif termasuk pernikahan pada pasangan muda (remaja) (Miswiyawati, 2017). Pernikahan di usia

remaja ini banyak terjadi pada remaja etnis Madura, khususnya pada remaja perempuan yang tidak hanya ada di Pulau Madura, seperti Bangkalan, Sampang, Pamekasan, maupun Sumenep dan pulau-pulau kecil yang ada di sekitar Pulau Madura, namun juga di daerah tapal kuda seperti Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi (Haryono, 2008; Wibisono & Haryono, 2009; Hairi, 2009; Aryani, dkk, 2012; Fatmawati, 2012; Sumbulah & Jannah, 2012; Priswati, 2015; Ilmiah, 2016; Anisah, 2016). Pada masa remaja, salah satu tugas perkembangan yang seha- rusnya dilaksanakan adalah mempersiapkan perkawinan dan keluarga (Havighurst dalam Hurlock, 1994). Namun di beberapa daerah tertentu di Indonesia, termasuk di pulau Madura dan daerah tapal kuda, para remaja ini bukan lagi mempersiapkan perkawinan, melainkan sudah harus melaksanakan perkawinannya, sehingga menurut Mönks, dkk (2001) para remaja ini mengalami remaja diperpendek karena mereka sudah memasuki dunia orang dewasa pada masanya, dimana menikah merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dijalani dan dilakukan pada rentang dewasa awal (Havighurst dalam Aryanto, 2017) dimana menurut Tunggadewi (dalam Aryanto, 2017) remaja sebaiknya menjalani tugas perkembangan sesuai dengan tahapan dan rentang usia yang tepat, sebab jika seseorang terlalu cepat atau terlambat dalam menjalankan tugas perkembangannya, akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya di waktu lain dan menghambat pelaksanaan tugas perkembangan di tahapan

Dalam dokumen BUKU MADURA 2020 . pdf (Halaman 39-56)