ABSTRACT
STUDY ON THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE JUDGEMENT IN RESOLVING PREAH VIHEAR TEMPLE DISPUTES BETWEEN
THAILAND AND CAMBODIA UNDER INTERNATIONAL LAW
by
A. Novindri Aji Sukma
Preah Vihear temple territorial dispute between Thailand and Cambodia has been going on since a long time. However, the conflict which led to casualties occurred again since the temple was named as a world heritage site by UNESCO. Various of problem-resolving both bilaterally and regionally has been done, however, the relations between the two countries were not being improved. The conflict actually extended from a point disputed as the result of differences in the interpretation of the Court's Judgement 1962, so that Cambodia applied interpretation of the 1962 Judgement back to the International Court of Justice (ICJ) in 2011. The research was to investigate the process of the Preah Vihear temple dispute between Cambodia and Thailand, then the reason that became the legal basis of the International Court in deciding the dispute.
This research was a normative law through data collection procedures derived from primary legal materials. Data obtained then processed were secondary data from literature studies. Materials were from the sources of International law related to International Court of Justice Regulation, International conventions and other relevant sources of law. The data were then used to explain the problem by looking at the facts associated with the rule of law and applicable legal theory.
Court Rules, 1978, Rules of Practice. The legal basis for the Court to resolve the dispute consisted of evidences of prior agreements by France and Siam, general principles of International Law such as the principle of Estoppel, supporting evidences such as Annex I map and other supporting documents, and the arguments of both sides in the trial, decision of 1962 Judgement that re-affirmed through interpretation of the ICJ's Judgement 11 November 2013. In the process of interpretation, ICJ adjudged that Cambodia's request for interpretation could be accepted, and the term of 'surrounding area' and 'area' had the same meaning, as well as the obligation of Thailand to withdraw troops from Cambodia's sovereign territory. It is expected that the implementation effort can be done effectively and minimize the conflict in the future and create peace between countries
ABSTRAK
KAJIAN MENGENAI PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KUIL PREAH VIHEAR
ANTARA THAILAND DAN KAMBOJA BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL
Oleh
A. Novindri Aji Sukma
Sengketa wilayah Kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja telah berlangsung sejak lama. Namun, konflik yang menyebabkan korban kembali terjadi semenjak kuil tersebut dinobatkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. Berbagai usaha penyelesaian baik secara bilateral maupun regional telah dilakukan, namun hubungan kedua negara tidak kunjung mengalami perbaikan. Konflik yang terjadi justru meluas dari titik yang dipersengketakan akibat dari perbedaan dalam penafsiran putusan Mahkamah tahun 1962 sehingga Kamboja mengajukan penafsiran atas putusan tahun 1962 kembali ke Mahkamah Internasional pada tahun 2011. Penelitian ini menyelidiki mengenai proses penyelesaian sengketa kuil Preah Vihear antara Thailand dengan Kamboja serta alasan yang menjadi dasar hukum Mahkamah Internasional dalam memutus sengketa tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif melalui prosedur pengumpulan data yang berasal dari bahan hukum primer. Data yang diperoleh kemudian diolah yaitu data skunder dari studi kepustakaan. Materi dari sumber hukum internasional terkait pengaturan Mahkamah Internasional konvensi-konvensi Internasional dan sumber hukum lain yang terkait. Data tersebut kemudian digunakan untuk menjelaskan permasalahan dengan melihat fakta-fakta yang dikaitkan dengan aturan hukum dan teori hukum yang berlaku.
keputusan 1962 dipersidangan, Pembelaan Lisan (Oral Pleading) melalui presentasi argumen para pihak sampai dengan Putusan (Judgement) 11 November 2013 No. 151. Dasar hukum dalam proses penyelesaian berupa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Statuta Mahkamah, Aturan Mahkamah 1978, Aturan Praktek. Dasar hukum Mahkamah dalam menyelesaikan yaitu bukti- bukti perjanjian terdahulu yaitu perjanjian antara Perancis dan Siam, prinsip hukum umum seperti prinsip Estoppel, bukti-bukti pendukung seperti peta Annex I serta bukti lainnya, dan argumen-argumen kedua belah pihak di persidangan. Dalam proses penafsiran sesuai dengan keputusan 11 November 2013 Mahkamah Internasional memutuskan bahwa permohonan penafsiran Kamboja dapat diterima, istilah ‘daerah sekitar’ dan ‘areal’ memiliki arti yang sama, serta kewajiban Thailand untuk menarik pasukan dari wilayah kedaulatan Kamboja. Diharapkan upaya pelaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan dapat meminimalisir timbulnya konflik dikemudian hari dan menciptakan perdamaian antar negara.
RIWAYAT HIDUP
A.Novindri Aji Sukma lahir di Kotabumi pada 13 November 1992, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Rusbani Adi Cahya, S.H dan Ibu Erlin Mawarlina,S.P.d. Penulis menjalani kehidupan sehari-hari dengan motivasi, cinta dan kasih sayang yang selalu diberikan oleh keluarga tercinta.
Penulis menjalani Pendidikan Taman Kanak-Kanak Darmawanita Unila yang diselesaikan pada Tahun 1998. Dilanjutkan pada jenjang Sekolah Dasar Negeri 2 Rajabasa Bandar Lampung, yang diselesaikan pada Tahun 2004. Sedangkan Pendidikan Menegah Pertama penulis selesaikan pada Tahun 2007 di SMP Negeri 1 Natar Lampung Selatan. Selanjutnya, penulis menyelesaikan Pendidikan Menengah Atas pada tahun 2010 di SMA Negeri 5 Bandar Lampung.
Penulis tercatat sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat pada Pertengahan Juli 2010. Penulis telah aktif di berbagai organisasi kampus untuk mengasah minat dan bakatnya sejak tahun pertama di universitas. Dimulai dengan tergabung sebagai anggota UKM-U English Society Unila sebagai Debater dan telah mengikuti berbagai kompetisi debat bahasa inggris baik regional maupun nasional. Selain itu penulis juga terdaftar sebagai pengurus di beberapa organisasi kampus seperti FOSSI, HIMA-HI, LEC serta tim perekam sidang KPK berkerjasama dengan FH Unila. Penulis juga aktif di organisasi luar kampus seperti Komunitas Gitaris Lampung, Lampung Model United Nations Club,
Melalui pencapaian yang diperoleh selama menempuh studi penulis menyalurkan ilmu yang diperoleh melalui kegiatan sosial masyarakat dengan aktif dalam komunitas pemuda yang bergerak di bidang sosial. Sebagai wakil presiden
Indonesian Future Leaders Lampung penulis melaksanakan projek-projek sosial, pemberdayaan pemuda dan kerelawanan bersama teman-teman relawan lainnya.
Tahun 2013 penulis menjadi salah satu mahasiswa yang terpilih untuk mengikuti program beasiswa Study of United States Institute oleh U.S Department of State
selama 5 minggu di Ball State University, Indiana, Amerika Serikat untuk mendalami ilmu mengenai Media dan Jurnalistik bersama dengan 7 mahasiswa berprestasi lainnya dari seluruh Indonesia dan menjadi satu-satunya mahasiswa dari Pulau Sumatra. Pengalaman yang penulis dapatkan selama dua bulan di Amerika Serikat memicu penulis untuk terus belajar dan berkarya Selain itu penulis juga telah mengikuti beberapa program pertukaran dan Fellowship di beberapa negara seperti Hongkong, Taiwan dan sebagainya.
“Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh”
Lucius Calpurnius Piso Caesoninus
“If your actions inspire others to dream more, learn more, do more and become
more, you are a leader”
John Quincy Adams
“Don’t give up now, because you never know that you are one step before finish line”
Persembahan
Dengan segenap rasa syukur kepada Allah SWT dan Nabi
Muhammad SAW, Kupersembahkan karya ini kepada:
Papa yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat
kepada anak-anaknya serta menjadi teladan bagi keluarga,
Mama tercinta yang selalu memberikan limpahan cinta
kasih,
dukungan dan doa yang selalu menjadi kekuatan bagi penulis
dalam menyelesaikan studi
Abang dan adikku tersayang yang senantiasa memberikan
semangat, kasih sayang, dukungan, serta mendoakan penulis.
SANWACANA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul “Kajian Mengenai Putusan Mahkamah Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Kuil Preah Vihear Antara Thailand dan Kamboja Berdasarkan Hukum Internasional” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
memberikan saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
2. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H., selaku Ketua bagian Hukum
Internasional sekaligus Pembahas Utama atas kesediaannya meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik
dalam proses penyelesaian skripsi ini;
3. Ibu Melly Aida, S.H., M.H., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan,
saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
4. Ibu Desy Churul Aini, S.H., M.H., selaku Pembimbing Kedua atas
kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
5. Ibu Rehulina, S.H., M.H., selaku Pembahas Kedua atas kesediaannya
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan,
saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
6. Bapak Charles Jackson, S.H, M.H selaku Pembimbing Akademik;
7. Dosen Fakultas Hukum, khususnya bagian Hukum Internasional (Bapak
Khaidir Anwar S.H., M.H.,Naek Siregar, S.H., M.H., Ahmad Sofyan, S.H.,
M.H.,Bayu Sujadmiko S.H., M.H.,Rudi Natamihardja S.H., M.H., Ibu Widya
Krulinasari, S.H., M.H., Ria Wierma S.H., M.H., Siti Azizah S.H., M.H), atas
bimbingan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini;
8. Bapak Marjiyono, Bapak Sujarwo dan Bapak Supendi selaku Staf
Administrasi Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Lampung, atas bantuan, saran dan masukannya serta motivasinya dalam
menyelesaikan skripsi ini;
9. Kedua Orang Tuaku Erlin Marwalina, S.Pd dan Rusbani Adi Cahya, S.H
Nenek dan Keluarga besarku yang selalu mendukung dan mendoakan;
10.Abang dan adikku Noverdi Puja Saputra,S.H, Ade Gamma Gusthreehan atas
dukungan dan doannya, gapai selalu cita-cita kalian;
11.UKM-U English Society Unila (ESo) yang memberikan ilmu, pengalaman dan teman- teman yang luar biasa, ( My Best Partner in Crime Rio Sanjaya, Anwar, Fadhil, Dwi, Fadlan, Dani, Irfan, Vani, Uli, Wisnu, Ria, Irfan, Desi,
Mba Desi, Mba Dede, Mba Candra, Ko Heri, Kak Arif, Kak Tian)
12.Squad of International Law 2010 (Haves, Jaya, Jeffry, Insan, Oji, Aryo, Ade, Reza, Emi, Asha, Siska dan Mba Aldis) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan,
mengingat hari dimana kita bersama;
13.Sahabat Indonesian Future Leaders Chapter Lampung yang selalu menginspirasi untuk dukungan dan kebersamaannya selama ini ;
14.Sahabat Program Study of United States Institute (SUSI) 2013, New Media in Journalism, (Bowo, Zacky, Amelia, Mega, Aca, Nden, Melia, Fitri, Mary, Suzy, Mike, Terry, Jeff, Michelle, Kayln, Amanda) untuk pengalaman yang
tak terlupakan dan ilmu yang luar biasa;
15.Sahabat seperjuangan SDN 2 Rajabasa, SMPN 1 Natar, SMAN 5
B.Lampung, FH Unila 2010, FOSSI, Persikusi, GenBI, KGL, Lampung MUN
Club, Mujahid Forces (Gian,Afid,Tama,Ilham) yang selalu mendukung;
16. Seluruh Guru-Guruku yang telah memberikan ilmunya sampai saat ini (Ibu
Paulina, Miss. Zul, Miss. Ari, Miss. Preni, Mam Endang , Ummi Yenny);
17.Kepada semua pihak yang terlibat namun tidak dapat disebutkan satu persatu,
penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, 15 Juli 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 11
1.5 Sistematika Penulisan ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian-Pengertian ... 14
2.1.1 Pengertian Kajian ... 14
2.1.2 Pengertian Sengketa ... 15
2.2 Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa secara Damai ... 16
2.2.1 Prinsip Itikad Baik ... 16
2.2.2 Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Sengketa Bersenjata ... 16
2.2.3 Prinsip Kebebasan Memilih Cara Penyelesaian Sengketa ... 17
2.2.4 Prinsip Kebebasan memilih Hukum yang akan Diterapkan pada Pokok Sengketa ... 17
2.2.5 Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa ... 18
2.2.6 Prinsip Exhaustion of Local Remidies ... 18
2.2.7 Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara ... 19
2.3 Penyelesaian Sengketa Internasional secara Politik atau Diplomatik .... 20
2.3.1 Penyelesaian dalam Kerangka antar Negara ... 20
2.3.2 Penyelesaian Sengketa Internasional dalam Kerangka PBB ... 24
2.3.3 Penyelesaian dalam Kerangka Organisasi-Organisasi dan Badan- Badan Regional ... 28
2.4 Penyelesaian Sengketa secara Hukum ... 29
2.4.1 Arbitrasi Internasional ... 29
2.4.2 Mahkamah Internasional ... 30
2.5 Penyelesaian Sengketa melalui Mahkamah Internasional ... 34
2.5.1 Struktur Mahkamah Internasional ... 38
2.5.3 Keputusan Mahkamah Internasional ... 45
2.6 Gambaran Umum Wilayah Thailand ... 48
2.6.1 Sejarah ... 48
2.6.2 Letak Geografis ... 49
2.6.3 Kebudayaan ... 50
2.6.4 Ekonomi ... 51
2.6.5 Politik Pemerintahan ... 52
2.7 Gambaran Umum Wilayah Kamboja ... 52
2.7.1 Sejarah ... 52
2.7.2 Letak Geografis ... 54
2.7.3 Kebudayaan ... 54
2.7.4 Ekonomi ... 55
2.7.5 Politik Pemerintahan ... 56
III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 57
3.2 Pendekatan Masalah ... 59
3.3 Sumber Data ... 60
3.4 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 61
3.4.1 Metode Pengumpulan Data ... 61
3.4.2 Metode Pengolahan Data ... 62
3.5 Analisis Data ... 62
IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Sengketa Kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja ... 64
4.1.1 Sejarah Kuil Preah Vihear ... 64
4.1.2 Penyebab Terjadinya Konflik Antara Thailand dan Kamboja ... 68
4.2 Proses Penyelesaian Sengketa Kuil Preah Vihear Antara Thailand Dan Kamboja di Mahkamah Internasional ... 76
4.2.1 Proses Peradilan dan Putusan Mahkamah Internasional 1962 ... 80
4.2.2 Proses Peradilan Tahun 2011 dan Putusan Mahkamah Internasional Tahun 2013... 88
4.2.3 Analisis Proses Penyelesaian Sengketa Kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja di Mahkamah Internasional ... 103
4.3 Kajian Mengenai Dasar Hukum Mahkamah Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Kuil Preah Vihear Thailand dan Kamboja ..108
4.3.1 Putusan Mahkamah Internasional 1962 ...108
4.3.2 Dasar Hukum dan Pertimbangan Mahkamah Internasional ...109
4.3.3 Putusan Mahkamah Internasional 2013 ...113
4.3.4 Dasar Hukum dan Pertimbangan Mahkamah Internasional ...113
4.3.5 Analisis Putusan Mahkamah Internasional 1962 dan 2013 ...117
V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ...130
5.2 Saran ...132
Daftar Singkatan
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
DK-PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa
ICC : International Criminal Court
ICJ : International Court of Justice
IMF : International Monetary Fund
KTT-ASEAN : Konferensi Tingkat Tinggi Association of Southeast Asian
Nations
LBB : Liga Bangsa- Bangsa
MI : Mahkamah Internasional
MoU : Memorandum of Understanding
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PCIJ : Permanent Court of International of Justice
TAC : Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia
UNESCO : United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Gambar Kuil Preah Vihear ... 69
2. Gambar Peta Kuil Preah Vihear ... 70
3. Gambar Wilayah Areal sekitar Kuil yang menjadi Sengketa ... 72
4. Gambar Peta Annex I ... 73
BAB I
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Permasalahan di dalam hubungan Internasional merupakan hal yang tidak dapat
dihindari oleh setiap negara. Hal ini menyangkut hubungan antara negara dalam
mempertahankan kedaulatan maupun kepentingan masing-masing, sehingga
timbul suatu perselisihan internasional akibat dari interaksi yang dilakukan antar
negara. Penyebab dari sengketa dapat terjadi akibat berbagai macam
permasalahan seperti faktor politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya. Hal ini bisa
saja menimbulkan suatu permasalahan besar berupa sengketa yang melibatkan
berbagai negara maupun organisasi internasional.
Hubungan Internasional dalam hal ini sudah tertuang di dalam Konvensi
Montevideo 1933 mengenai unsur-unsur berdirinya suatu negara, salah satunya
menyatakan syarat dari terbentuknya negara yang paling penting adalah mampu
menjalin hubungan internasional dengan negara lain, tujuannya adalah adanya
sikap saling membutuhkan satu negara dengan negara lainnya, karena tidak ada
satu negara yang dapat memenuhi kebutuhan negaranya sendiri tanpa bantuan dari
negara lain. Apabila suatu negara menjalin hubungan internasional dengan negara
lain, banyak dampak positif yang dihasilkan dan tidak dipungkiri lagi selain
terlibat suatu pertikaian atau sengketa internasional di antara kedua negara,
banyak kasus yang sering menyebabkan ketegangan di antara negara yang bertikai
dan banyak kasus yang terjadi yang menyebabkan masalah .1
Upaya-upaya penyelesaian terhadap sengketa internasional telah menjadi
perhatian yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke-20.
Upaya-upaya ini ditunjukan untuk menciptakan hubungan antarnegara yang lebih
baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.2 Peran hukum
internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara
bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut
hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional
mengenal 2 cara penyelesaian, yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang
(militer).3 Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah
diakui dan dipraktikan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai
alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri. Sebagai contoh Napoleon
Bonaparte menggunakan perang untuk menguasai wilayah-wilayah di Eropa di
abad XIX.4
1
Dewa Gede Sudika Mangku, (2012), Suatu Kajian Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional Termasuk di dalam tubuh ASEAN, Jurnal Perspektif Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Volume XVII No. 3 Tahun 2012, hlm. 150 Sebagaimana Diakses pada http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201303002803047914/3.pdf 12 Januari 2014 Pukul 18.04 WIB
2
Ion Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes between States: History and Prospects, dalam R. St. J. MacDonald and Douglas M. Johnson (eds), The Structure and Process of Internastional Law: Essays in Legal Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff, 1986, hlm. 1095 Sebagaimana Dikutip dalam Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Raja Grasindo Persada, 2008), hlm. 1
3
Huala Adolf, Ibid.
4
Jose Sette-Camara, Methods of Obligatory Settlement of Disputes, In Bedjaoui (ed.),
Ketentuan hukum positif menyebutkan bahwa penggunaan kekerasan dalam
hubungan antar negara sudah dilarang dan oleh karena itu sengketa-sengketa
internasional harus diselesaikan secara damai. Keharusan untuk menyelesaikan
sengketa secara damai ini, pada mulanya dicantumkan dalam pasal 1 Konvensi
mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara damai yang ditandatangani di
Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh Pasal
2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan selanjutnya oleh
deklarasi prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan
kerjasama antar negara yang diterima oleh majelis umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) pada tanggal 24 Oktober 1970. Deklarasi tersebut meminta agar
semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai agar
perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu.5
Negara memiliki unsur- unsur sebagai suatu kedaulatan, yakni adanya teritorial
dan batas- batas tertentu. Setiap negara memiliki perbatasan berdasarkan beragam
kriteria. Namun, batas politik suatu negaralah yang paling sering memicu
perdebatan dan sengketa. Beberapa kasus bahkan menyulut pecahnya konflik
bersenjata antara dua negara yang masih terus berlangsung hingga saat ini.6 Di
dalam konflik internasional, persoalan wilayah menjadi sangat penting yang
sering menimbulkan permasalahan, karena hal tersebut merupakan sifat alamiah
teritorial sebuah negara yang berdaulat. Konflik atas kontrol wilayah dapat
dibedakan dalam dua variasi: Perselisihan teritorial (mengenai garis perbatasan)
5
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi Kedua, cet ke-4, (Bandung: Alumni, 2011) hlm. 193
6
dan konflik atas kontrol keseluruhan wilayah termasuk perbatasan.
Mempertimbangkan perbedaan utama mengenai penarikan garis batas antara
kedua negara tersebut, maka negara harus mengontrol wilayah yang
diperselisihkan. Karena nilai wilayah negara hampir sama dengan kesetiaan dan
kefanatikan, perselisihan batas negara cenderung menjadi persoalan yang rumit
dalam hubungan internasional. Negara tidak akan menukar wilayahnya untuk
mendapatkan uang atau imbalan dalam bentuk apapun. Negara pun tidak akan
cepat melupakan wilayah yang hilang secara paksa akibat dari sengketa.7
Permasalahan mengenai perbatasan ditunjukan dengan terjadinya kasus- kasus
sengketa perbatasan yang sering terjadi khususnya di kawasan Asia-Pasifik.
Hingga saat ini banyak negara menghadapi persoalan perbatasan dengan
tetangganya yang belum terselesaikan lewat perundingan.8 Bahkan kebiasaan
menunda penyelesaian masalah justru menambah rumit persoalan. Beberapa
persoalan perbatasan dan dispute territorial (perselisihan teritorial) yang cukup mengusik harmonisasi antar negara maupun keamanan kawasan, antara lain;
Sengketa Indonesia dan Malaysia mengenai garis perbatasan di perairan laut
Sulawesi menyusul perubahan status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, dan
garis perbatasan di pulau Kalimantan (salah satunya mengenai blok Ambalat),
Perbedaan pendapat dan kepentingan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste
di perairan Celah Timor, Konflik historis antara Malaysia dan Filipina mengenai
7
Dewi Utariah, Makalah Konflik Internasional, FISIP Universitas Padjajaran, 2006 hlm 1 Sebagaimana diakses pada
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/konflik_internasional.pdf 26 November 2013 Pukul 14.41 WIB
8
Indo Dwi Haryono, Konflik Perbatasan Negara di Kawasan Asia-Pasifik, hlm 2-3 Sebagaimana diakses pada
klaim Filipina atas wilayah Kesultanan Sabah Malaysia Timur dan lain
sebagainya.9 Berbagai kasus sengketa mengenai perbatasan yang terjadi tentunya
sangat mempengaruhi hubungan regional antara negara. Sebagai negara tetangga
tentunya hubungan regional baik harus terjalin, begitu juga segala bentuk
sengketa yang terjadi haruslah di selesaikan melalui jalan damai sebagaimana
amanat dari Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Kasus sengketa yang sejak dahulu berlangsung sampai dengan saat ini salah
satunya adalah sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang
memperebutkan warisan budaya berupa Kuil Preah Vihear yang telah berdiri sejak abad ke-11.10 Konflik antara Thailand dan Kamboja berpusat pada Candi
Preah Vihear yang terletak sekitar 400 Kilometer utara Phanom Penh. Pada tahun 1954, pasukan Thailand menempati dan mengklaim Preah Vihear, lalu 5 tahun kemudian Kamboja membawa Thailand ke Mahkamah Internasional dengan dasar
kesepakatan dari masa kolonial dan dokumen lainnya sebagai usaha untuk
memperoleh kembali apa yang menjadi warisan budaya, dengan berpendapat
bahwa kuil merupakan bagian dari kompleks Angkor Wat, 140 Kilometer barat daya kompleks tersebut.11 Mengingat pentingnya situs warisan budaya ini bagi
masing-masing negara, sengketa Kuil Preah Vihear sejak 1962 telah memicu konflik berdarah antara Thailand dan Kamboja. Konflik mengenai kuil Preah
9
Ibid.
10
UNESCO, World Herritage List, Temple of Preah Vihear Sebagaimana diakses pada http://whc.unesco.org/en/list/1224 26 November 2013 Pukul 14.54 WIB
11Dokuman lengkap untuk kasus ini dapat dilihat di website ICJ “
Vihear kembali pecah pada 22 April 2011.12 Pemerintah Kamboja dan Thailand mengklaim bahwa kuil tersebut milik kedua negara. Pada tahun 1962, Mahkamah
Internasional di Den Haag memutuskan bahwa candi dari abad ke-11 itu milik
Kamboja dengan dasar peta dari wilayah bekas jajahan Perancis Franco-Simase
1908 dengan jelas menunjukan kuil berada di garis Kamboja. Sehingga Thailand
wajib menarik pasukan, polisi dan penjaga dari kuil dan sekitarnya serta
mengembalikan objek dari area tersebut yang diambil olehnya. Thailand
mengakui keputusan Mahkamah Internasional dan segera menarik pasukan dan
polisi. Hal ini sudah menjadi kebijakan pemerintah Thailand sejak kompleks Kuil
berada di wilayah kedaulatan Kamboja.13
Penyelesaian konflik ini sudah dibawa ke meja perundingan baik melalui jalur
diplomatik, hukum, maupun dalam kerangka organisasi internasional dan badan
regional seperti Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), kemudian Perserikatan Bangsa- Bangsa melalui Dewan Keamanan turut membahas konflik
tersebut di meja perundingan dengan mengundang wakil dari Thailand dan
Kamboja untuk menyelesaikan konflik yang berlarut-larut. Kamboja telah
meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) untuk
mengerahkan pasukan pemelihara perdamaian PBB ke perbatasan itu. Tapi dewan
yang beranggota 15 negara itu menyatakan dalam satu pernyataan perannya akan
dibatasi dengan cara mendukung usaha-usaha regional dan usaha-usaha bilateral
12
Kamboja Minta Pengadilan Internasional Tangani Konflik, Sebagaimana Diakses pada
http://international.okezone.com/read/2011/05/03/411/452842/kamboja-minta-pengadilan-internasional-tangani-konflik 14 Januari 2014 Pukul 14.29 WIB
13
Dapat dilihat di website ICJ “Case concerning the Temple of Preah Vihear (Cambodia v.
Thailand)”, (www.icj-cij.org), merits, Keputusan of 15 June 1962, ICJ Reports, 1962, hlm. 36;
untuk merundingkan diakhirinya konflik tersebut. Kamboja telah meminta
DK-PBB untuk mengadakan sidang darurat mengenai isu itu. Pada awalnya para
anggota DK enggan membawa perselisihan itu ke New York tapi akhirnya setuju
mengadakan sidang, namun DK tetap berharap isu tersebut akan ditangani
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai badan regional. 14
Konflik tersebut memicu kekerasan serius pada awal tahun 2011, sengketa ini
telah menguji kapasitas Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang belum pernah sebelumnya untuk menyelesaikan konflik di antaranya anggota
sendiri. ASEAN menyatakan sebagai sebuah organisasi dari negara cinta damai.
Disusunnya Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967 berkomitmen untuk
mempromosikan perdamaian dan stabilitas regional. Mengikuti Perjanjian 1976
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asian ( TAC ) yang dikembangkan oleh lima anggota pendiri, termasuk Thailand, untuk mempromosikan perdamaian
persahabatan dan kerjasama yang kekal. Organisasi ini dipandu oleh sejumlah
prinsip utama termasuk non-campur tangan dalam urusan internal satu lain,
penyelesaian perbedaan atau perselisihan dengan damai serta penolakan terhadap
ancaman atau penggunaan kekuatan. Namun, penyelesaian melalui Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN masih menemui titik terang walaupun sudah
melibatkan negara-negara regional sebagai mediator dikarenakan menemui
banyak kendala.15
14
Berita dapat diakses pada http://www.antaranews.com/berita/246145/dk-pbb-serahkan-penyelesaian-konflik-thailand-kamboja-kepada-asean 14 Januari 2014 Pukul 14.31 WIB
15
Thailand dan Kamboja juga saling tuding mengenai siapa yang pertama kali
menarik pelatuk senjata. Menurut pemerintah Thailand, insiden dimulai ketika
pasukan Kamboja menembaki pihak Thailand. Sedangkan menurut pemerintah
Kamboja, militer Thailand melanggar garis perbatasan dan menyerang pos militer
Kamboja di sepanjang perbatasan dari Ta Krabey hingga wilayah Chub Koki yang berada jauh di tengah wilayah Kamboja. Tujuannya untuk mengambil alih kedua
candi yang diklaim milik Kamboja.16 Hingga saat ini, 18 Prajurit kedua belah
pihak 8 tentara Thailand 9 tentara Kamboja dan seorang warga sipil Thailand
dinyatakan tewas serta kemudian dari 50 ribu warga dievakuasi ke pusat- pusat
pengungsian.17
Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa kuil ini milik Kamboja pada
tahun 1962, namun tidak mengeluarkan putusan tentang areal perbukitan di
sekitar Kuil. Thailand menegaskan bahwa mereka memiliki lahan di perbukitan
ini. Kamboja meminta klarifikasi Mahkamah Internasional pada 28 April 2011
dengan mengisi permintaan kepada Mahkamah Internasional untuk menafsirkan
keputusan 1962 mengenai sengketa kepemilikan Kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja yang keputusanya menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear
berada di bawah kedaulatan Kamboja berdasarkan peta batas wilayah yang dibuat
oleh pendahulu kedua negara tersebut pada tahun 1904-1908. Permintaan tersebut
diajukan 6 hari setelah pecah bentrok bersenjata dengan Thailand di daerah
16
Ibid.
17
Perang Thailand Kamboja 18 Orang Terbunuh, Berita dapat diakses pada
perbatasan.18 Puluhan ribu orang mengungsi yang memaksa Kamboja meminta
klarifikasi Mahkamah atas putusan pada 1962.19 Pada tanggal 11 November 2013
Mahkamah secara bulat menyatakan bahwa Kamboja memiliki kedaulatan di areal
sekitar Preah Vihear, dan sebagai konsekuensinya, Thailand berkewajiban menarik pasukan militer dan polisinya dari daerah tersebut sesuai putusan yang
dibacakan di Den Haag, sebagaimana dilansir dalam siaran pers Mahkamah
Internasional.20 Sejak berdiri pada tahun 1945 dengan dasar piagam Perserikatan
Bangsa- Bangsa, Mahkamah Internasional merupakan pengadilan Internasional
yang menyelesaikan persengketaan hukum antara negara- negara dan memberikan
nasehat atau opini hukum menurut hukum internasional yang sah sebagai organ
PBB atau badan khusus21 sehingga keputusan yang dikeluarkan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak akan mengikat bagi masing-masing negara.
Berdasarkan uraian diatas penulis, tertarik untuk membahas dan menganalisis
lebih lanjut tentang proses penyelesaian sengketa kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja serta apa yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah
Internasional dalam memutus sengketa perbatasan tersebut, ke dalam bentuk
skripsi yang berjudul : “Kajian Mengenai Putusan Mahkamah Internasional
dalam Menyelesaikan Sengketa Kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja Berdasarkan Hukum Internasional”.
18
Kamboja mengajukan permintaan untuk menerjemahkan putusan Mahkamah pada 15 Juni 1962 dalam kasus Kuil Preah Vihear (Cambodia-Thailand) dan juga meminta untuk indikasi penting dari provisional measures”, press release, ICJ, 2 May 2011, Sebagaimana Diakes Pada
http://www.icj-cij.org/docket/files/151/16480.pdf 8 Februari 2014 Pukul 23.36 WIB
19
Berita dapat diakses pada http://www.pelitaonline.com/mobile/detail.php?id=131517 26 November 2013 Pukul 19.23 WIB
20
Sebagaimana diakses pada
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=46461&Cr=court+of+justice&Cr1=#.UpSmXdL rw1Y 26 November 2013 Pukul 20.49 WIB
21
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang permasalahan diatas, yang menjadi permasalahan
dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja di Mahkamah Internasional ?
2. Apa yang menjadi dasar hukum Mahkamah Internasional dalam
menyelesaikan sengketa kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok pembahasan serta rumusan masalah di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk :
a. Menjelaskan dan menganalisis proses penyelesaian sengketa kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja melalui Mahkamah Internasional. b. Mengkaji dan menganalisis dasar hukum Mahkamah Internasional dalam
menyelesaikan sengketa kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja.
1.3.2 Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini berguna untuk memberikan kontribusi dalam pengembangan
pemikiran dan kemampuan mengenai karya ilmiah berdasarkan konsep
keilmuan yang telah dipelajari. Kemudian sebagai kontribusi pengetahuan
dalam menyelesaikan sengketa perbatasan Kamboja dan Thailand serta
analisis dari putusan Mahkamah Internasional.
b. Kegunaan Praktis
Sebagai hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi dan sarana referensi bagi pembaca dalam kaitanya dengan
penegakan hukum internasional bagi pelanggaran yang terjadi, agar
kedepanya baik mahasiswa, dosen maupun masyarakat mengetahui proses
bagaimana peran Mahkamah Internasional dalam memutus suatu sengketa
internasional.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya mengkaji mengenai proses penyelesaian sengketa kuil
Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja di Mahkamah Internasional serta dasar hukum dari Mahkamah Internasional dalam memutuskan sengketa
tersebut.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terbagi atas lima bab, yang bertujuan untuk
memberikan kemudahan bagi pembaca untuk mendapatkan kerangka pokok
penulisan secara sistematis dan berurutan.
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan secara singkat mengenai sengketa perbatasan yang terjadi
terjadinya sengketa perbatasan serta tindakan- tindakan yang dilakukan oleh
kedua negara dalam menyelesaikan sengketa dan peran Mahkamah
Internasional sebagai badan penyelesaian sengketa internasional yang dipilih
oleh kedua negara untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Selain itu pada bab
ini dicantumkan tujuan umum dari penelitian dan kegunaan penelitian sebagai
sumber pengetahuan bagi pembaca. Kemudian, pada bab ini juga dipaparkan
mengenai sistematika penulisan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini.
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan secara teoritis dan singkat mengenai konsep penyelesaian
sengketa internasional, landasan hukum dalam penyelesaian sengketa
internasional, dasar hukum pembentukan Mahkamah Internasional, peran
organisasi internasional dalam hal ini Mahkamah Internasional sebagai
lembaga penyelesaian sengketa internasional, tujuan Mahkamah Internasional
dan putusan Mahkamah Internasional.
Bab III Metodologi Penelitian
Bab ini menjelaskan langkah- langkah yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini. Kemudian metode yang digunakan dalam pendekatan masalah, sumber
data dan teknik pengumpulan data sehingga dapat diolah kemudian dianalisis
secara komprehensif dari data yang diperoleh untuk memudahkan dalam
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini membahas mengenai hasil dari penelitian bagaimana peran Mahkamah
Internasional dalam menyelesaikan sengketa perbatasan antara Kamboja dan
Thailand melalui proses persidangan di Mahkamah Internasional, serta dasar
dari putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Internasional terhadap sengketa
tersebut. Dari analisis putusan Mahkamah Internasional tersebut akan didapat
landasan hukum dan pertimbangan Mahkamah Internasional dalam
memutuskan sengketa antara Kamboja dan Thailand.
Bab V Penutup
Bab ini menguraikan bagian terakhir dari penelitian yang terdiri dari
kesimpulan dan saran berdasarkan hasil pembahasan pada skripsi ini.
Dijelaskan secara komprehensif pokok- pokok dari permasalahan dan solusi
dari inti permasalahan tersebut secara singkat dan jelas. Kemudian,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi/ Pengertian yang Relevan
2.1.1 Pengertian Kajian
Oxford compact english dictionary mendefinisikan kajian sebagai the systematic investigation into and study of materials, and sources in order to establish facts and reach the new conclusion 23 yang berarti penelusuran yang dilakukan secara sistematis dalam studi materil dan sumber untuk membangun fakta dan mencapai
kesimpulan baru. Ilmu pengetahuan merupakan suatu pernyatan yang berdasar
atau memiliki rasionalisasi sehingga dapat dibuktikan secara empiris.
Sedang kepercayaan adalah sesuatu yang diyakini tanpa perlu ada pembuktian
empiris, tanpa proses rasionalisasi, dan umumnya bersifat subjektif dan implisit.
Jadi pada dasarnya Ilmu pengetahuan hanya berangkat dari kepercayaan atau
keyakinan terhadap sesuatu yang dilanjuti dengan keinginan untuk membuktikan
sesuatu itu benar atau dengan kata lain ilmu pengetahuan merupakan bentuk
rasionalisasi terhadap kepercayaan, sehingga kerpercayaan itu dapat diterima
secara masal. Kajian adalah proses rasionalisasi dan pembuktian empirik terhadap
kepercayaan atau ketidakpercayaan menjadi pemahaman atau ilmu pengetahuan
23
2.1.2 Pengertian Sengketa
Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan/ atau
pemahaman antara 2 (dua) pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah
hukum apabila pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan
atau perlawanan terhadap hak yang dilanggar, dan atau tuntutan terhadap
kewajiban atau tanggung jawab.24 Sengketa dalam konflik internasional terbagi
menjadi 2 macam, yaitu sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable dispute).25 Namun sengketa yang terjadi antara Kamboja dan Thailand merupakan sengketa internasional mengenai perbatasan
yang melibatkan kedua batas wilayah negara yang sama-sama mengklaim
kepemilikan dari wilayah tersebut. Kedua negara sama- sama memiliki kedaulatan
penuh terhadap batas teritorialnya, namun yang terjadi adalah saling klaim antara
kedua negara.
Demi mempertahankan kedaulatan (sovereignty) dan hak-hak berdaulat (sovereignty rights) antar negara serta menyelesaikan semua persoalan yang berkaitan dengan hubungan international, negara perlu menetapkan perbatasan
wilayah baik dimensi perbatasan darat maupun perbatasan laut dan udara.
Penetapan perbatasan wilayah (Border Zone) tersebut dapat dilakukan sesuai ketentuan hukum international agar dapat memberikan kepastian hukum,
24
Sengketa, Sebagaimana diakses pada http://www.bakti-arb.org/arbitrase.html 27 November 2013 Pukul 11.04 WIB
25
kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat yang mendiami wilayah
perbatasan dimaksud.26
2.2 Prinsip- Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai
2.2.1 Prinsip Itikad Baik ( Good Faith )
Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral
dalam penyelesaian sengeta antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan
mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.
Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan sebagai prinsip pertama (awal) yang
termuat dalam Manila Declaration (Section 1 paragraph 1).27
2.2.2 Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini sangat sentral dan penting. Prinsip inilah yang melarang para pihak
untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan).
Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Deklarasi Manila. Pasal 13 Bali Concord antara lain menyatakan :
In case of disputes on matters directly affecting them, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all time settle such disputes among themselves through friendly negotiations.
Dalam berbagai perjanjian International lainnya, prinsip ini tampak dalam Pasal 5
Pakta Liga Negara-Negara Arab 1945 (Pact of the League of Arab States), Pasal 1 dan 2 the Inter-American Treaty of Reciprocal Assistant (1947), dan lain-lain.28
26
Perbatasan Wilayah Menurut Hukum Internasional, Sebagaimana diakses pada http://kupang.tribunnews.com/2012/03/07/perbatasan-wilayah-menurut-hukum-international 27 November 2013 Pukul 11.04 WIB
27
Mengenai bunyi Section 1 Paragraph 1 Deklarasi Manila Sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Op. Cit. hlm. 15
28
2.2.3 Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip penting lainnya adalah prinsip di mana para pihak memilih kebebasan
penuh untuk menentukan dan memilih cara atau meknisme bagaimana
sengketanya diselesaikan (principle of free choice of mens). Prinsip ini termuat dalam pasal 33 ayat (1) Piagam PBB dan Section paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraf ke-5 dari friendly Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian
sengketa atau cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas
para pihak. Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketa yang telah terjadi atau
sengketa yang akan datang.29
2.2.4 Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap
Pokok Sengketa
Prinsip fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah prinsip kebebasan
para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila
sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk
menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan
kelayakan ( ex aequo et bono ).30 Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatuhan, atau
kelayakan.31 Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang lazim bagi
pengadilan internasional, misalnya Mahkamah Internasional, untuk menerapkan
hukum internasional, meskipun penerapan hukum internasional ini tidak
dinyatakan secara tegas oleh para pihak. Dalam Special Agreement antara
29
Ibid. hlm. 17
30
Pasal 38:2 Statuta Mahkamah Internasional : This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex a case ex
31
Republik Indonesia - Malaysia mengenai penyerahan sengkata Pulau
Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional, para pihak menyatakan32 :
The principles and rules of international law applicable to the dispute shall be those recognized in the provision of Article 38 of the Statute of the Court ( Article 4 Special Agreement)
2.2.5 Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam
penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip- prinsip kebebasan 3 dan 4 dari
para pihak Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan
apabila kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada
kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak 33
2.2.6 Prinsip Exhaustion of Local Remidies
Prinsip ini termuat dalam Section 1 Paragraph 10 Deklarasi Manila.34 Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan
internasional maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau
diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh
(exhausted). Dalam sengketa The Interhandel (1959) Mahkamah Interansional menegaskan:
32
Siaran Pers Departmen Luar Negeri, Jakarta, 31 Mei 1997: Penandatanganan Special Agreement
antara Indonesia dan Malaysia mengenai Pengajuan Perkara Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke Mahkamah Internasional
33
Bandingkan., Pasal 15 Bali Concord menyatakan : The High council may, however, offer its good offices, or upon agreement of the parties in dispute, constitute itself into a committee of mediation, inquiry or conciliation...Atau Pasal 16 Bali Concord berbunyi : The foregoing provision of this Chapter shall not apply to a dispute unless all the parties to the dispute agree to their application to that dispute.
34
Before resort may be had to an international court, the state where the violation occured should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of its own domestic legal system.35
2.2.7 Prinsip - Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara
Deklarasi Manila mencantumkan prinsip ini dalam Section 1 paragraph 1. Prinsip ini mansyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan
melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya
berdasarkan prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negara-negara.36
Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lainnya yang menurut hemat penulis hanya bersifat tambahan
Prinsip tersebut yaitu :
1) Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri
para pihak;
2) Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
3) Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
4) Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional, yang semata-mata
merupakan penjelmaan lebih lanjut dari prinsip ke-7, yaitu prinsip hukum
Internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah
negara-negara.37
35
Lihat lebih lanjutt uraian tentang exhaustion of local remidies dalam buku penulis : Huala Adolf,
Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Pers,cet.3,2002, hlm. 276
et.seq. Sebagaimana dikutip dalamHuala Adolf, Ibid .
36
Huala Adolf, Ibid.
37
2.3 Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Politik atau Diplomatik
Penyelesaian secara politik (Non-Yuridiksional) terbagi atas penyelesaian dalam
kerangka antar negara, Penyelesaian dalam kerangka organisasi PBB dan
penyelesaian dalam kerangka organisasi-organisasi regional.38
Akan diuraikan bahwa penyelesaian sengketa internasional pada umumnya dapat
digolongkan dalam dua bagian yaitu penyelesaian secara hukum dan politik/
diplomatik. Penyelesaian secara hukum meliputi arbitrase dan pengadilan.
Sedangkan penyelesaian secara diplomatik meliputi negosiasi, pencarian fakta,
mediasi dan jasa baik, konsiliasi dan arbitrasi.39
2.3.1 Penyelesaian dalam Kerangka antar Negara
1) Negosiasi ( Perundingan )40
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tua
digunakan oleh umat manusia.41 Negosiasi atau perundingan adalah cara
penyelesaian sengketa yang paling dan banyak ditempuh, serta efektif dalam
menyelesaikan sengketa internasional.42 Negosiasi (yang mencakup konsultasi
dan pertukaran pandangan) adalah metode dengan mana sebagian besar sengketa
internasional diselesaikan.43 Menurut Fleischhauer, dengan tidak adanya
keikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa, masyarakat internasional
Louis B. Sohn, The Future of Dispute Settlement dalam R.St.J. MacDonald and D.M Johnston (eds.), The Structure and Process of International Law, The Hague : Martinus Nijhoff, 1983, hlm.1121.,et seqq. Sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Ibid., hlm. 26
41
W.Poeggel and E. Oeser, Method of Diplomatic Settlement, dalam Mohammed Bedjaoui (ed.),
Internasional Law : Achievement and Prospects, Dordrecht : Martinus Nijhoff and UNESCO, 1991, hlm 514 Sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Op.Cit. hlm. 19
42
J.G. Merrills, International Dispute Settlement (Cambridge : Cambridge Publication, cet.2, 1991), hlm. 2 Sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Op. Cit. hlm. 26
43
telah menjadikan negosiasi ini sebagai langkah pertama dalam penyelesaian
sengketa.44 Praktik negara- negara menunjukan bahwa mereka lebih cenderung
untuk menggunakan semua negosiasi sebagai langkah awal untuk menyelesaikan
sengketa.45 Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap tahap
penyelesaian sengketa dalam bentuknya, apakah negosiasi secara tertulis, lisan,
bilateral, multilateral, dan lain-lain.46
2) Penyelidikan dan Pencarian Fakta
Para pihak yang bersengketa dapat pula menunjuk suatu badan independen untuk
menyelidiki fakta- fakta yang menjadi sebab sengketa. Tujuan utamanya adalah
untuk memberikan laporan kepada pihak mengenai fakta yang ditelitinya. Dengan
adanya fakta demikian, diharapkan proses penyelidikan sengketa di antara para
pihak dapat segera diselesaikan.47 Dalam bahasa Inggris, dipergunakan dua istilah
untuk “pencarian fakta” yang sama- sama artinya acap kali digunakan secara
bertukar, yaitu inquiry dan fact-finding. Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya ini adalah untuk :
a) Membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua negara;
b) Mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian internasional;
44
Carl August Fleischhauer, Negotiation, dalam R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law ( Instalment 1, 1981), hlm. 153 Sebagaimana dikutip Huala Adolf, Op. Cit. hlm. 27
45
Ion Diaconu, Peaceful Settlement of Disputes between states : History and Prospects, dalam R.St. J. MacDonald and Douglas M. Johnston, Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff, 1986, hlm. 1102 Sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Op. Cit. hlm. 26
46
Walter Poeggel dan Edith Oeser, Methods of Diplomatic Settlement, dalam bedjaout (ed.)
International Law : Achievement and Prospects , The Netherlands : Martinus Nijhoff, Sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Op. Cit. hlm. 27
47
c) Memberikan informasi guna membuat putusan di tingkat internasional
(Pasal 34 Piagam PBB).48 Misalnya pembentukan UNSCOM (United Nations Special Comission) yang dikirim ke wilayah Irak untuk memeriksa ada tidaknya senjata pemusnah masal.
3) Jasa baik (Good Office)
Secara singkat, jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui
keikutsertaan jasa pihak ke-3. Sarjana Jerman Bindschedler mendefinisikan jasa
baik sebagai :
the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.49
Tujuan jasa baik ini adalah agar kontak langsung di antara para pihak tetap
terjamin. Tugas yang diembanya, yaitu mempertemukan para pihak yang
bersengketa agar mereka mau berunding. Cara ini biasanya bermanfaat manakala
para pihak tidak mempunyai hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik
mereka telah berakhir. Pihak ketiga ini bisa negara, orang perorangan (seperti
mantan kepala negara) atau suatu organisasi, lembaga atau badan internasional,
misalnya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.50 Keikutsertaan pihak
ke-3 memberikan jasa-jasa baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk
bersama-sama mempercepat perundingan mereka.51
48
Karl J Partsch, Fact-finding and inquiry, dalam R. Bernhardt (ed), Op.Cit., hlm 61 Sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Op. Cit. hlm. 29
49
Rudolf L. Bindschedler, Good Offices, dalam R. Bernhardt, Encycopedia of Public International Law, Instalment 1, 1981 hlm. 67 Sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Op. Cit. hlm. 30
50
Huala Adolf, Ibid., hlm. 31
51
4) Mediasi
Sama halnya dengan jasa-jasa baik, mediasi melibatkan pula keikutsertaan pihak
ketiga (mediator) yang netral dan independen dalam suatu sengketa. Tujuanya
adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara
para pihak. Mediator bisa negara, individu, organisasi internasional, dan lain-lain
Para mediator ini dapat bertindak baik atas inisiatifnya sendiri, menawarkan
jasanya sebagai mediator, atau menerima tawaran untuk menjalankan fungsinya
atas permintaan dari salah satu atau kedua belah pihak yang bersangkutan. Dalam
hal in, agar mediator dapat berfungsi, diperlukan kesepakatan atau konsensus dari
para pihak sebagai prasyarat utama. 52
5) Konsiliasi
Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga
(konsiliator) yang tidak berpihak atau netral dan keterlibatanya karena diminta
oleh para pihak. Menurut Bindschedler, unsur ketidakberpihakan dan kenetralan
merupakan kata kunci untuk keberhasilan fungsi konsiliasi. Hanya dengan
terpenuhnya dua unsur ini, objektivitas dari konsiliasi dapat terjamin.53
Pengertian konsiliasi diatas diambil dari batasan yang diberikan oleh institut
Hukum Internasional yang dituangkan dalam Pasal 1 the Regulations on the procedure of International Conciliation tahun 1961. Badan Konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara). Proses seperti ini berupaya mendamaikan pandangan-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun
52
Huala Adolf, Ibid., hlm. 34
53
usulan- usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya tidak
mempunyai kekuatan hukum. 54
2.3.2 Penyelesaian Sengketa Internasional dalam Kerangka PBB
Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) merupakan organisasi terbesar dengan
jumlah anggota meliputi 192 negara pada saat ini.55 PBB sebagai salah satu
organisasi internasional terbesar saat ini, memiliki tujuan utama yang termuat
dalam Pasal 1 Piagam PBB, tujuan utama PBB adalah menciptakan perdamaian
dan keamanan internasional. Dua tujuan tersebut tidak terlepas dari reaksi atas
pecahnya Perang Dunia II.56 Dengan tujuan tersebut PBB berupaya agar perang
dunia terbuka baru (Perang Dunia III) tidak sampai pecah kembali. Untuk itu PBB
berupaya keras agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan dengan
sesegera mungkin secara damai.57 Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB mencantumkan
asas penyelesaian sengketa dengan cara damai. Isi dari Pasal 2 ayat (3) adalah
sebagai berikut:
Seluruh anggota harus menyelesaikan sengketa dengan jalan damai dan
menggunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan
internasional serta keadilan tidak terancam. 58
54
Ibid., hlm. 36
55
Staff of the United Nations Department of Public Information,UNITED NATIONS GENERAL ASSEMBLY (UNGA), Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes © Center for Nonproliferation Studies, dapat dilihat pada http://cns.miis.edu/inventory/pdfs/unga.pdf diakses pada 19 Maret 2011.
56
Gita Arja Pratama, Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan African Union (AU) dalam Menyelesaikan Konflik Bersenjata Non-Internasional di Darfur-Sudan, Skripsi Universitas Lampung, Lampung, 2010, hlm. 20
57
Huala Adolf, Op. Cit. hlm. 95 Sebelum PBB, Liga Bangsa-bangsa (LBB) pun dibentuk sebagai reaksi atas pecahnya Perang Dunia, yaitu Perang Dunia I. Penyelesaian sengketa melalui lembaga internasional merupakan praktik yang telah berlangsung lama. Cara tersebut sama tuanya dengan penyelesian melalui arbitrase.
58
Asas ini sejalan dan erat hubungannya dengan tujuan PBB yang tertuang dalam
Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB yaitu:
Memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan untuk tujuan itu: melakukan tindakan- tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan anaman-ancaman terhadap pelanggaran- pelanggaran perdamian; dan akan menyelesaikan dengan jalan damai, serta sesuai dengan prinsip- prinsip keadilan dan hukum internasional, mencari penyelesaian terhadap pertikaian-pertikaian internasional atau keadaan-keadaan yang dapat menggangu perdamaian.59
Pasal 2 ayat (6) Piagam PBB menyatakan:
Organisasi ini menjamin agar negara-negara bukan anggota perserikatan bangsa-bangsa bertindak dengan prinsip-prinsip ini apabila dianggap perlu demi perdamaian dan keamanan internasional.60
Merupakan suatu yang tidak lazim sebab biasanya hanya anggota-anggota saja
yang harus taat pada asas-asas dari suatu organisasi.61 Namun inilah suatu
keistimewaan yang dimiliki organisasi internasional universal seperti PBB.62
Kewajiban ini diimbangi oleh hak-hak negara bukan anggota untuk meminta
perhatian Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB terhadap suatu perselisihan
di mana negara bersangkutan terlibat, seperti diatur dalam Pasal 35 ayat (2)
Piagam PBB sebagai berikut:
Negara yang bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat meminta perhatian Dewan Keamanan atau Majelis Umum mengenai suatu pertikaian apabila sebelumnya untuk mengatasi persengketaan tersebut ia sebagai pihak bersedia menerima kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari penyelesian secara damai seperti tercantum dalam Piagam ini.63
Tugas pemeliharan perdamaian dan keamanan menjadi agenda utama PBB
sebagai organisasi internasional terbesar di dunia. Namun tugas tersebut
diserahkan wewenangnya pada tiga organ utama PBB yaitu, Majelis Umum,
Dewan Keamanan dan Sekertaris Jendral, yang memiliki peran masing-masing.
Pada tanggal 25 Juni 1945 konferensi di San Fransisco selesai dan menerima bulat
seluruh Piagam PBB. Tanggal 26 Juni diadakan upacara penandatanganan yang
dilakukan di gedung opera di San Fransisco. Menurut ketentuan Piagam PBB
berlaku setelah diratifikasi oleh negara penanda tangan dan termasuk lima negara
tetap Dewan Keamanan.64 Syarat berdirinya PBB dipenuhi tanggal 24 Oktober
1945 dengan Resolusi Majelis Umum pada tanggal 31 Oktober 1947.65
Piagam PBB terdiri dari 19 Bab, yaitu terdiri dari mukadimah dan pasal-pasal
yang tersusun dalam bab. Mukadimah terdiri dari 2 bagian utama. Bagian pertama
terdiri dari ajakan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional serta
menghormati hak asasi manusia. Bagian ke dua dari mukadimah adalah deklarasi
dari tiap- tiap negara anggota PBB telah menyetujui piagam tersebut.66
1) Bab I memaparkan tujuan dari PBB, termasuk ketentuan penting dalam
menjaga perdamaian dan keamanan internasional;
2) Bab II mendefinisikan kriteria dari keanggotaan PBB;
3) Bab III dan XV, sebagian besar dari dokumen, mendeskripsikan organ dan
lembaga dari PBB dan wewenangnya masing- masing;
4) BAB XVI dan Bab XVII mendeskripsikan pengaturan mengenai
pengintegrasian PBB dengan hukum internasional;
64
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pasal 110
65
Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press, 2004), hlm. 264
66
5) Bab XVIII dan Bab XIX memberikan amandemen dan ratifikasi pada
piagam;
Bab berikut mengenai penegakan wewenang lembaga PBB
6) Bab VI mendeskripsikan wewenang dewan keamanan untuk
meninvestigasi dan penengah sengketa;
7) Bab VII mendeskripsikan wewenang dewan keamanan untuk memberikan
sanksi ekonomi, diplomatik dan militer, serta penggunaan kekuatan militer
untuk menyelesaikan sengketa;
8) Bab VIII memungkinkan peraturan regional untuk menjaga perdamaian
dan keamanan internasional dalam wilayah masing-masing;
9) Bab IX dan X mendeskripsikan wewenang PBB dalam kerjasama ekonomi
dan sosial, dan dewan ekonomi sosial sebagai pengawas;
10)Bab XII dan XIII mendeskripsikan tentang dewan perwalian yang
mengawasi dekolonisasi;
11)Bab XIV dan XV menetapkan wewenang dari mahkamah internasional
dan sekretariat PBB;
12) Bab XVI sampai XIX menguraikan mengenai ketentuan lainnya,
ketentuan-ketentuan keamanan peralihan yang berhubungan dengan
perang dunia II, proses amandemen piagam dan pengesahan piagam.67
Penyelesaian dalam kerangka organisasi PBB memberikan wewenang intervensi
untuk menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa baik pada Dewan Kamanan
67
maupun Majelis Umum walaupun pada prinsipnya tanggung jawab utama berada
di tangan Dewan Keamanan.68 Di samping Dewan Keamanan dan Majelis Umum,
Sekjen PBB juga dapat menarik perhatian Dewan Keamanan menurut Piagam
PBB.69
2.3.3 Penyelesaian dalam Kerangka Organisasi-Organisasi dan Badan-
Badan Regional
Pasal 33 Piagam PBB menetapkan bahwa salah satu cara untuk menyelesaikan
sengketa internasional secara damai adalah melalui pengaturan regional (regional arrangement) serta campur tangan organisasi-organisasi dan badan-badan regional berdasarkan pilihan para pihak sendiri. Selain itu, Bab VIII Piagam PBB
juga menetapkan hal yang sama, khususnya Pasal 52 yang merujuk pada
penyelesaian sengketa internasional melalui regional arrangement dan regional agencies. Istilah regional arrangement atau pengaturan regional memberi pengertian perjanjian (agreement) yang dibuat secara bilateral maupun multilateral di mana negara-negara yang terletak dalam suatu kawasan (region) tertentu sepakat untuk menyelesaikan sengketa antar mereka tanpa melibatkan
institusi lainnya yang permanen atau organisasi regional sebagai badan hukum
internasional sedangkan regional agencies justru merujuk pada organisasi-organisasi regional dan institusi-institusi yang permanen, yang dibentuk
berdasarkan perjanjian multilateral antara negara- negara di dalam suatu wilayah
tertentu sebagai badan hukum internasional untuk melaksanakan fungsinya di
68
Boer Mauna, Op. Cit. hlm. 217
69
dalam memelihara perdamaian dan keamanan regional, termasuk penyelesaian
sengketa secara damai.70
2.4 Penyelesaian Sengketa Secara Hukum
Penyelesaian secara hukum melalui arbitrase ataupun Mahkamah Internasional
akan menghasilkan keputusan- keputusan mengikat terhadap negara-negara yang
bersengketa. Sifat mengikat ini didasarkan atas kenyataan bahwa
penyelesaian-penyelesaian atau keputusan-keputusan yang diambil, seluruhnya berlandaskan
pada ketentuan-ketentuan hukum. Dalam ini, sepintas lalu terlihat adanya
kesamaan antara fungsi yuridiksional internasional dan fungsi yuridiksional
intern.71
2.4.1 Arbitrasi Internasional
Dalam pengertian yang luas istilah Arbitrasi Internasional merujuk pada cara
penyelesaian secara damai sengketa internasional yang dirumuskan dalam suatu
keputusan oleh arbitrator yang dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak-
pihak tersebut sebelumnya menerima sifat mengikat keputusan yang akan
diambil.72
Disamping itu, keputusan arbitrasi dalam arti yang luas ini dapat didasarkan baik
atas konsiderasi hukum maupun konsiderasi politik dan lain- lainnya. Karena itu,
arbitrasi baru betul- betul merupakan suatu sistem penyelesaian secara hukum bila
70
Boer Mauna, Op. Cit. hlm. 223
71
Ibid. hlm. 227
72