• Tidak ada hasil yang ditemukan

hukum perdata islam Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "hukum perdata islam Indonesia"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Allah SWT tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat hidayah

serta inayah-Nya berupa kemampuan berpikir sehingga selesainya makalah “Perspektif Fiqh

Klasik terhadap Peminangan, Syarat dan Akibat Hukumnya” .

Makalah ini disusun melalui bertahap, mulai dari pembahasan buku secara intensif,

sampai dengan diskusi dengan beberapa teman kelas. Makalah ini tidak mungkin tersusun tanpa

adanya komitmen dari saya maupun teman lainnya. Oleh karna itu saya memberikan apresiasi

dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak : Dr. Ahmad Zaenal Fanani. S.HI. M.Si, selaku dosen mata kuliah Hukum

Perdata Islam di Indonesia yang telah membimbing saya dalam penulisan

makalah ini.

2. Seluruh teman-teman yang telah memberikan konstribusi dan sumbengsih

pemikirannya dalam penyelesaian makalah Perspektif Fiqh Klasik terhadap

Peminangan, Syarat dan Akibat Hukumnya.

Dan pada akhirnya, tidak ada usaha yang besar tanpa diawali dengan usaha yang kecil.

Semoga hasil karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca, kritik saran akan kekurangan dari

makalah ini sangat saya harapkan untuk perbaikan dikemudian hari.

Malang,13 Oktober 2015

(2)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum melakukan perkawinan hendaknya terlebih dahulu melakukan khitbah. Dalam pandangan islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekadar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan urusan agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi.

Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.

Hukum pekawinan nasional Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 dan khusus untuk masyarakat Islam Indonesia, hukum perkawinan itu dijabarkan dan dijelaskan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam uraian singkat ini dikemukakan beberapa hal yang penting tentang hukum perkawinan dan halhal yang berkaitan dengan perkawinan tersebut.

Pada pokoknya, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI bidang Hukum Perkawinan adalah penegasan ulang tentang tentang hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 diikuti dengan penjabaran lanjut terhadap ketentuan-ketentuan UU itu dan PP No. 9 Tahun 1975.

Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan dan dijabarkan yang akan dijadikan ketentuan yang bersifat khusus sebagai aturan Hukum Islam yang akan diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam. Dengan kata lain buku I KHI bidang perkawinan merupakan aturan dan hukum khusus yang akan diberlakukan dan diterapkan secara khusus bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam.

Kemudian kami disini akan lebih fokus dalam masalah peminangan, sebagaimana yang telah diatur dalam Undangundang perkawinan maupun KHI (Kompilasi Hukum Islam).

B. Rumusan Masalah

Dari uraiyan Latar Belakang diatas, maka penulis dapat menarik beberapa Rumusan Masalah yang akan dipaparkan sebagai berikut:

(3)

2. Apa saja syarat-syarat diperbolehkanya melakukan pertunangan? 3. Bolehkah melihat wanita yang dipinang?

4. Apa saja ketentuan-ketentuan yag diperbolehkan dan dilarang setelah peminangan? 5. Bolehkah perempuan melamar laki-laki?

6. Apa hikmah disyariatkanya peminangan?

7. Apa akibat hukum dari peminangan yang ada diIndonesia ?

C. Tujuan Pembahasan

Dari uraiyan Rumusan Masalah diatas yang terlah disusun, maka penulis dapat menarik beberapa Tujuan Pembahasaan yang akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Memaparkan kepada pembaca tentang definisi pemingangan

2. Memaparkan pada pembaca tentang syarat-syarat dipperbolehkannya melakukan peminangan 3. Memaparkan kepada pembaca tentang batas-batas mana saja yang boleh dilihat saat

meminang

4. Memaparkan kepada para pembaca tentang kketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan saat peminangan

5. Memaparkan kepada para pembaca tentang hukum perempuan meminang laki-laki

6. Memaparkan kepada para pembaca tentang apa saja hikah disyariatkannya pertunangan dalam hukum Islam

(4)

BAB 2 PEMBAHASAN

A. Definisi Peminangan

Peminangan dalam ilmu fiqih disebut “khitbah” artinya “permintaa”. Menurut istilah peminangan diartikan sebagai pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk mengawininya baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung ataupun dengan perantaraan pihak lain yang dipercayainya seusai dengan ketentuan-ketentuan agama.1

Ada pun pengertian lain pinangan biasa disebut khitbah (ةبطخلا) adalah bahasa arab standar yang terpakai pergaulan sehari-hari,Terdapat dalam firman Allah dan terdapat pula dalam ucapan Nabi serta di syari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksananya di adakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat Dan di laksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.Jadi khitbah artinya adalah peminang,yaitu melamar untuk menyatakan permitaan atau ajakan menginggat perjodohan,Dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan calon istrinya.Hukum meminang adalah boleh (mubah) adapun dalil yang memperbolehkannaya adalah.

Artinya:“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itudengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqoroh: 235)2

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.3

Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang

1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hal 23.

2 Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung, hal 43

(5)

(bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.

B. Syarat-syarat Peminangan

Adapun Syarat-syarat peminangan ada dua antara lain:

1) Syarat Mustahsinah

Mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meninang seorang wanita, agar ia meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya itu. Yang termasuk di dalam syarat ini adalah:

(1) Sekufu (sederajat dengan orang yang melamar missal dari segi keilmuan, kekayaan,dan status social.

(2) Wanita yang akan dipinang adalah wanita yang mempunyai sifat kasih saying dan peranak (subur)

(3) Jauh hubungan kekerabatan dengan laki-laki peminang, dalam hal ini sayyidina Umar bin Khottob menjelaskan bahwa, pernikahan antara orang yang dekat hubungan Darah atau hubungan kekeluargaan akan mengakibatkan lemahnya jasmani dan rohani keturunannya.

(4) Hendaknya mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti (ahlaq) dan sebagainya dari wanita yang akan dipinang.

(6)

Lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Syahnya peminangan tergantung pada syarat-syarat lazimah. Yang termasuk dalam syarat lazimah adalah:

(1) Wanita tersebut tidak dalam pinangan lelaki lain. Hukum meminang pinangan orang lain adalah haram, karena dapat menghalangi hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan, dan mengganggu ketentraman. Berdasarkan hadits nabi saw

Artinya: “Dari ‘Abdurrahman bin Syamasah, ia mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir mengatakan di Minbar bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, maka tidak halal baginya untuk membeli barang yang dibeli saudaranya,

dan jangan meminang pinangan saudaranya hingga ia meninggalkannya.”

(2) Wanita tersebut tidak dalam masa iddah, Ulama sepakat atas keharaman meminang atau berjanji untuk menikah secara jelas (sarih) kepada wanita yang sedang dalam masa iddah, baik iddah karena kematian suami maupun iddah karena terjadi talaq raj’iy maupun ba’in. Allah SWT. berfirman dalam surat alBaqarah ayat 235:

(3) Wanita tersebut bukan mahram, Adapun penjelasan tentang wanitawanita yang haram dinikahi terdapat dalam firman Allah surat anNisa’ ayat 22-23.4

Dalam KHI, tentang perempuan yang boleh dipinang dan tidak boleh dipinang disebutkan dalam pasal 12 yang secara lengkap rumuusannya adalah sebagai berikut:

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.

(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iyyah, haram dan dilarang untuk dipinang.

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.

(4) Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Tentang cara melakukan peminangan diatur dalam pasal 11 dengan rumusan:

(7)

“Peminangan dapat dilakukan lansung oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.”5

Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :

1) Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan : “saya berkeinginan untuk menikahimu”.

2) Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”.6

C. Melihat Wanita yang di Pinang

Demi kebaikan dalam berumah tangga, kesejahteraan dan kesenangannya, seyogianya laki-lakinya mlihat dulu perempuan yang akan dipinangnya sehingga ia dapat menentukan apakah pemingangan itu perlu diteruskan atau diurungkan.

Melihat wanita yang dipinang dianjurkan oleh agama. Tujuannya adalah agar mengetahui keadaan wanita yang dipinang agar tidak ada alas an untuk mencerai istri dengan alasan tersebut (misalnya cacat dls).

Dalam agama islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu, Mengenai bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Abu daud membolehkan melihat seluuh badan, kecuali dua kemaluan. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan. Berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman dalam surah al Nuur ayat 31: “...Dan janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak pada dirinya...” yang di maksud “perhiasan yang biasa tanpak daripadanya” adalah muka dan dua telapak tangan.7

5 Soesilo dan Pramudji R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Rhedbook Publisher, cet 1, 2008), hal 508

6 Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke9.UII Press. Yogyakarta, hal, 125

(8)

Perbedan pendapat ini disebabkan adanya suruhan untuk melihat perempuan secara mutlak, juga terdapat larangan secara mutlak pula. Ada juga suruhan yang bersifat terbatas, yakni hanya muka dan kedua telapak tangan, berdasarkan pendapat kebanyakan ulama berkenaan dengan firman Allah SWT:

Artinya:“...dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya...” (QS.AnNuur: 31)

Berdasarkan salah satu riwayat dari Abu Razaq dan said bin Mansur, bahwa umar pernah meminang putri ali yang benam ummu kulsum. Ketika itu Ali menjawab bahwa, putrinya maih kecil. Kemudian ali berkata lagi, “nanti akan saya suruh Umu kulsum itu kepada Engkau. Bila Engkau suka Engkau dapat menjadikan sebagai calon istri Engkau.” Setelah Ummu kulsum datang kepada umar, lalu umar membuka pahanya. Serentak Ummu Kulsum berkata, “seandainya tuan bukan kholifah, tentu sudah saya colok kedua mata tuan.”8

D. Masa Pertunangan

Setelah terjadi peminangan dan pinangan tersebut diterima, maka secara tidak langsung kedua belah pihak dengan persetujuan disertai kerelaan hati telah mengadakan perjanjian untuk melaksanakan akad nikah. Dengan adanya perjanjian tersebut maka secara tidak langsung maupun langsung calon mempelai telah terikat pertunangan. Masa antara penerimaan pinangan dengan pelaksanaan akad nikah disebut sebagai masa pertungan.

Dalam masa ini, masih belum berlaku hukum suami istri, baik melakukan hubungan seks atau hak dan kewajiban suami istri.

Ketika calon suami memberikan sesuatu kepada calon istri, adalah sama dengan pemberian biasa, tidak ada ikatan, dan tidak wajib dikembalikan seandainya pertunangan diputuskan. Pertunangan adalah semacam perjanjian biasa, Karen itu membatalkan pertunangan sama hukumnya dengan membatalkan perjanjian biasa. Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat, yaitu:

1) Menurut madzhab Hanafi bahwa masing pihak harus mengembalikan kepada masing-masing, bila hadiah itu masih ada wujudnya, tetapi kalau sudah tidak ada wujudnya maka tidak perlu diganti dengan uang

(9)

2) Menurut madzhab Syafi’I bahwa para pihak peminang yaitu pihak laki-laki berhak menerima kembali barang-barang yang telah diberikan pada pihak wanita jika wujudnya masih ada dan harus diganti harganya jika barang-baang itu sudah tidak ada wujudnya.

3) Menurut madzhab Maliki membedakankan pihak mana yang memutuskan pertunangan, apabila yang memutuskan pihak laki-laki, maka pihak wanita tidak berkewajiban mengembalikan hadiah-hadiah yang diterima, tetapi apabila yang membatalkan wanita, maka pihak wanita wajib mengembalikan hadiah-hadiah itu kepada pihak laki-laki.

Dari beberapa pendapat diatas pendapat madzhab Malikilah yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku sekarang khususnya di Indonesia dan mendekati dengan keadilan.9

Haram menyendiri dengan tunangan, karena bukan mahramnya. Agama tidak memperbolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali melihat saja, sedangkan perbuatanperbuatan yang lainnya tetap haram. Akan tetapi apabila ditemani oleh salah seorang mahramnya guna mencegah terjadinya perbuatanperbuatan maksiat, dibolehkan. Dari Jabir, Rosulullah saw bersabda : Artinya: “……barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah sekalikali menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai oleh mahramnya, sebab yang ketiga adalah setan”10

Di atas tertera bahwa meminang wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung. Keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :

1) Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.

2) Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau isyarat.

3) Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi peminangan itu.

9 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hal 28-29

(10)

Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang. Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama’ diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama. Tentang hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan (melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain – dalam perbedaan pendapat ulama’).

Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy Syafi’ie serta Imam Abu Hanifah pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut ulama’ Dzahiry pernikahan tersebut tidak sah dengan arti harus dibatalkan. Sedangkan pendapat ketiga dikalangan Malikiyah berpendapat, bila telah berlangsung hubungan kelamin dalam pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak dibatalkan sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam pernikahannya maka pernikahan tersebut harus dibatalkan.11

E. Perempuan Melamar Laki-laki

Biasanya prialah yang menentukan pilihanya pada seorang wanita, inilah adat di Negara kita dan budaya ketimuran pada umumnya, sebab mayoritas wanita dihiasi perasaan malu yang tinggi dan enggan mengutarakan isi hatinya, justru karena tabiat inilah yang membuat kaum lelaki tertarik dan ingin segera mempersuntingnya. Namun juga sering terjadi pihak keluarga mempelai wanita yang memulai jalinan tali pertunangan dan bahkan banyak wanita yang berani mengungkapkan cintanya pada sang pria.

Memang ini bukan hal yang baru atau imbas dari era modern, namun budaya ini adalah warisan nenek moyang kita, karena masalah ini sudah berjalan di zaman Nabiyullah Suaib a.s. tertera dalam Al Qur'an surat al-Qishos ayat 27 bahwa Nabiyullah Suaib a.s. pernah menawarkan puterinya pada Nabi Musa as. Begitu juga di zaman Rasulullah saw. ketika Ummul mukminin Khodijah ra. Mengungkapkan cintanya terhadap Rasulullah dan memohon agar Rasulullah berkenan menikahinya.12

F. HIKMAH DISYARIATKANNYA PEMINANGAN

11 Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung, hal 90

(11)

Setiap hukum yang disyariatkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib,selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.hal ini sebagaimana dalam hadis Nabi : Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Bahwa Nabi saw berkata kepada (dia) seseorang yang telah meminang seorang perempuan : Lihatlah dia karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”.

Dalam khitbah dianjurkan bagi lelaki untuk melihat perempuan (dalam batas yang diperbolehkan agama), bahkan sebelum menyatakan khitbah secara resmi. Dalam riwayat Mughirah bin Syu'bah ketika hendak melakukan khitbah kepada seorang perempuan, Rasulullah menasehatinya "Lihatlah dulu, itu lebih baik dan akan bisa mendatangkan rasa cinta di antara kalian".13

G. Hukum Peminangan dan Akibat Hukum Peminangan di Indonesia

Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa peminangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama’ cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.

Disamping itu, kebolehan peminangan ini sudah dijelaskan sesuai dengan hadis Fatimah binti Qais r. a., pada waktu itu Fatimah bercerita kepada nabi SAW bahwa dia telah dilamar dua orang laki- laki. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa peminangan adalah sudah ada dan diperbolehkan.14

Undang-undang Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal 1a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1 pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu :

1) Pasal 11 menjelaskan peminagan dapat dilakukan oleh orang yang mencari pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya.

13 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm. 25

(12)

2) Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda yang habis masa iddahnya. ayat (2-3) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah raj’iah, dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain. Ayat (4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki.

3) Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi harus sesuai dengan agama dan adat setempat.15

Karena peminangan pada prinsipnya belum berakibat hukum, maka diantara mereka yang telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (bersepisepi berdua) sampai dengan mereka melangsungkan akad perkawinan.

(13)

BAB 3 PENUTUP

A. Simpulan

Peminangan dalam ilmu fiqih disebut “khitbah” artinya “permintaa”. Menurut istilah peminangan diartikan sebagai pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk mengawininya baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung ataupun dengan perantaraan pihak lain yang dipercayainya seusai dengan ketentuan-ketentuan agama.

Syarat-syarat peminangan ada dua, Syarat Mustahsinah dan Syarat Lazimah, Dalam KHI, tentang perempuan yang boleh dipinang dan tidak boleh dipinang disebutkan dalam pasal 12.

Dalam agama islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu, Mengenai bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Abu daud membolehkan melihat seluuh badan, kecuali dua kemaluan. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan. Berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman dalam surah al Nuur ayat 31: “...Dan janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak pada dirinya...” yang di maksud “perhiasan yang biasa tanpak daripadanya” adalah muka dan dua telapak tangan.

Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal 1a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1 pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu :

1) Pasal 11 menjelaskan peminagan dapat dilakukan oleh orang yang mencari pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya.

2) Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda yang habis masa iddahnya. ayat (2-3) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah raj’iah, dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain. Ayat (4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki.

3) Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi harus sesuai dengan agama dan adat setempat.

(14)

1) Penulis menyadari, dalam makalah yang penulis buat ini masih banyak kekurangan,

baik dari bahasa, struktur penulisan, sumber, maupun isinya. Oleh karena itu, kritik

dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya.

(15)

Daftar Pustaka

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997)

Soesilo dan Pramudji R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Rhedbook Publisher, cet 1, 2008)

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, cet 1 2006)

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. Ke-2, Jakarta: Rajawali Press, 2010

Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung

Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke9.UII Press. Yogyakarta

Artikel Muhammad Dimas Sasongko PDF, diakses pada Rabu, 07 Oktober 2015 jam 18.00

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, karena tidak adanya dalil yang melarang untuk bertanya kepada orang lain, maka demi kemaslahatan umat dan menjaga kesalahan dalam mengamalkan hukum Islam,

Anak tunanetra SDLB-A YPAB Surabaya lebih menyukai keterampilan khusus memainkan alat-alat musik termasuk bermain gitar karena mereka dapat menggunakan indra

Bila gelombang berjalan menemui titik peralihan, misalnya: hubungan terbuka, hubungan singkat dan perubahan impedansi, maka sebagian gelombang itu akan dipantulkan dan sebagian

Berdasarkan hasil dari studi literatur dan studi banding yang telah dilakukan kepada para karyawan yang bekerja di perusahaan kantor Startup, maka dapat

Setelah selesainya kegiatan ini diharapkan kepada anak-anak, orang tua dan para guru untuk dapat meneruskannya dalam kegiatan sehari-hari untuk mencuci tangan dan

jenis pekerjaan terkait sosial budaya, dengan diskusi kelompok, kalian dapat mengelompokkan jenis pekerjaan terkait sosial budaya, setelah mengamati gambar, kalian

Uji coba media merupakan proses penerapan media sebelum digunakan langsung pada siswa dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Uji coba media ini dilakukan dua kali,

Dalam hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia (pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada para