• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemindaan Anak di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian Dalam Persepektif Hukum Islam (Analisis Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemindaan Anak di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian Dalam Persepektif Hukum Islam (Analisis Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Disusun oleh:

YANI SURYANI NIM. 107043203816

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

Yani Suryani. NIM 107043203816. Pemidanaan anak di Indonesia dalam penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dengan pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan pidana pada putusan nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS diatur dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP dan UU No. 12 Tahun 1951 Pasal 2. Yang mengatur tentang anak cukup banyak dan tersebar sifatnya, dalam syariat Islam pun juga begitu sehingga dapat mencerminkan sebagai satu sistem hukum tentang perlindungan anak.

Pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian menurut hukum positif dan hukum Islam dapat dibandingkan antara keduanya, yang mana dalam penulisan ini diharapkan bisa menjadi wacana dan perbandingan hukum demi perbaikan hukum dimasa yang akan datang.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian menurut hukum positif dan hukum Islam terdapat kesamaan dalam memberlakukan pidana yakni, memberlakukan pidana kebijaksanaan dan yang membedakan antara keduanya adalah hukum pidana di Indonesia masih memberlakukan pidana penjara sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak memberlakukan. Disamping itu terdapat batasan usia minimal yang diatur dalam hukum pidana Indonesia, sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak mengenal adanya batasan minimal dalam memberlakukan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

(6)

ii

Bismillahirahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya sehingga saya dapat

menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di Jurusan Perbandingan Mazhab

dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Salawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi

Besar Muhammad SAW yang telah membawa risalah kebenaran untuk umat Islam

khususnya.

Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun menghaturkan

banyak terima kasih kepada yang telah berjasa dan yang terhormat:

1. Dr. Phil. J.M Muslimin, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Ketua Program Studi Perbandingan

Mazhab dan Hukum.

3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Sekretaris Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum.

4. Ismail Hasani, SH. MH. selaku Dosen Pembimbing dalam penyusunan skripsi

ini, yang telah memberikan banyak masukan dan arahan serta meluangkan

(7)

5. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua penulis Ibunda Een Aenah dan Ayahanda Serka Didi

Supriyadi saya haturkan ribuan terima kasih atas do’a, dukungan dan motivasi

yang telah banyak diberikan secara moril maupun materiil kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga diberikan umur panjang

dan rezeki yang luas, Amin Yaa Rabbal ‘Alamin. Dan tidak lupa penulis

haturkan banyak terima kasih untuk keluarga di Sindanghaji - Majalengka

khususnya kakek/engki (alm), nenek, bi ende, bi dede, mang epong, teh ina,

dimas fba dan mama shafa yang tidak henti-hentinya mendo’akan serta

mendukung penulis.

7. Teman-teman Konsentrasi Perbandingan Hukum angkatan 2007 serta

teman-teman KKN, yang telah memberi kesan-kesan baik selama menempuh studi di

kampus UIN JKT.

8. Untuk teman yang sudah banyak memotivasi dan membantu dalam

menyelesaikan skripsi ini Alfiah, Abdul Muktadir, Kak Domen. Untuk Nanda

Fitriyana yang selalu mendo’akan, mendukung dan mendorong penulis.

9. Pihak-pihak yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi ini

(8)

iv

rabbil ‘Alamin atas rahmat dan karunia serta ridho Allah SWT. Besar harapan

semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada

umumnya, sekian dan terima kasih.

Jakarta, 25 September 2014

(9)

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN... . iv

ABSTRAK... v

KATA PENGANTAR... ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Kajian Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIDANA ANAK DI INDONESIA A. Pengertian Pidana dan Hukuman ... 11

B. Batas Usia Pemidanaan Anak ... 15

(10)

vi

A. Pengertian Pencurian ... 24

B. Tindak Pidana Anak Pelaku Pencurian ... 25

C. Ketentuan Tindak Pidana Bagi Anak Pelaku Pencurian Menurut Hukum Positif ... 27

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK A. Penerapan Hukum Pidana Materiil Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.Mks ... 35

1. Posisi Kasus ... 35

2. Dakwaan Penuntut Umum ... 37

3. Tuntutan Penuntut Umum ... 39

4. Amar Putusan... 40

5. Penjatuhan Pidana ... 41

6. Analisis Kasus ... 42

B. Analisis Sanksi Pemidanaan Anak dalam Perspektif Hukum Islam ... 44

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 56

(11)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan berkeluarga anak merupakan salah satu unsur yang

sangat penting sebagai generasi penerus dalam keluarga, dan keluarga bagian dari

masyarakat. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber

daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,

yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,

memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan

dan perkembangan anak.1

Anak bermasalah (anak nakal) adalah anak yang melakukan tindak pidana

atau perbuatan yang terlarang bagi anak. Perbuatan terlarang tersebut menurut

perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku

dalam masyarakat. Anak melakukan tindak pidana yakni apabila melanggar

ketentuan dalam peraturan hukum pidana yang ada, maka pidana dan penjatuhan

sanksi ini dinilai sebagai sebuah fenomena hukum yang mampu mengurangi

tindak kriminal juga sebagai konsekuensi logis terhadap tindakan melawan

hukum.2

1

Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 24. 2

(12)

Kenakalan anak merupakan hal yang sangat kompleks, karena anak tidak

dapat dilepaskan baik dari lingkungan sosialnya, lingkungan keluarga maupun

masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan bahwa anak masih mempunyai masa

depan yang panjang, sehingga masih ada kemungkinan untuk menjadi baik dalam

perkembangannya, maka anak harus diberikan bekal berupa bimbingan, didikan

dan pembinaan yang cukup, agar nantinya setelah selesai menjalani masa

pembinaannya dari hidup wajar dan lebih baik kembali. Dalam menanggulangi

dan menghadapi anak pidana, lapas anak berfungsi sebagai tempat pendidikan dan

pembinaan bagi anak pidana, anak negara, dan anak sipil. Anak yang ditempatkan

di Lapas Anak bertujuan agar anak tersebut memperoleh pendidikan dan latihan

baik formal maupun informal sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta

memperoleh hak-haknya.3

Anak yang telah terbukti melakukan pencurian harus

mempertanggungjawabkan secara hukum melalui proses sidang pengadilan. Dari

beberapa jenis penjatuhan sanksi yang diancamkan terhadap pelaku pencurian,

yang paling sering terjadi adalah pidana perampasan kemerdekaan (Hak Asasi

Manusia) yaitu pidana atau pidana kurungan baik secara tunggal maupun secara

alternatif, juga dapat ditentukan dalam waktu tertentu atau bahkan dalam waktu

15 tahun. Banyak kritik tajam yang ditujukan terhadap pidana jenis ini, baik

3

(13)

dilihat dari eksistensinya maupun dari akibat-akibat negatif lainnya yang

menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang.4

Bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum, khususnya anak

yang melakukan tindak pidana, sebagian besar dikenakan ketentuan pidana

berupa hilangnya kemerdekaan (penjara) untuk sementara waktu. Gunanya adalah

sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat, terpidana ataupun si korban

kejahatan itu sendiri. Adapun tempat pelaksanaan pidana hilangnya kemerdekaan

ini dikenal dengan nama lembaga pemasyarakatan.5

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan oleh anak di bawah umur disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor itu

antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan yang cepat, arus globalisasi

di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua. Perkembangan tersebut sangat

berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau

tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan, dan pembinaan dari orang

tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan

masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan orang tua, wali

atau orang tua asuh. Kurangnya pengawasan akan mudah membawa pengaruh

terhadap anak yang dapat merugikan perkembangan pribadi anak.

4

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), h. 20.

5

(14)

Keadilan diakui sebagai kebutuhan masyarakat yang pada gilirannya akan

melahirkan lembaga atau sebuah institusi hukum yang baik. Dengan demikian

hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan

hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari

masyarakat.6

Berdasarkan pernyataan di atas maka lahirlah perundang-undangan yang

berusaha memberikan suatu kebijakan hukum yang mampu mengakomodir

kepentingan masyarakat dalam menegakkan keadilan, juga kebutuhan anak yang

memerlukan sebuah reaksi hukum yang menitik beratkan pada bimbingan

edukatif disamping tindakan yang bersifat menghukum.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

menentukan bahwa anak merupakan bagian dari generasi muda yang merupakan

potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis

serta mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan

dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan

sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya usia

anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana yang tercantum

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan

6

(15)

dalam Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) bahwa anak adalah seseorang belum

mencapai umur 21 tahun dan belum kawin.7

Melihat pada kondisi ini apakah bijak menghukum seorang tindak pidana

yang masih dikategorikan sebagai anak di bawah umur, yang pada dasarnya anak

merupakan seorang yang belum sepenuhnya mengetahui apa yang dilakukannya.

Dalam menghadapi perbuatan anak, hakim harus menyelidiki dengan teliti apakah

anak tersebut sudah mampu membeda-bedakan secara hukum akibat dari

perbuatan yang dilakukannya atau belum.

Dalam peraturan perundang-undangan mengenai jenis sanksi terhadap

anak dalam konteks hukum positif yang secara rinci ternyata terdapat overlapping

dan kebijaksanaan yang tidak konsisten. Sedangkan pada hukum Islam

penjatuhan pidana bagi anak pelaku pencurian yang termasuk pada kategori

hukuman ta’zir pada dasarnya bersifat fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan

kondisi, pelaku jarimah-nya dan lebih variatif sebagai hukuman ta’zir yang cukup

luas. Karena sistem pemberian sanksi yang hanya bertumpu pada kebijakan hakim

tanpa ditunjang dengan kebijakan lainnya akan memberikan permasalahan baru

yang demikian kompleks.

Dari latar belakang masalah diatas maka penulis tertarik untuk

mengajukan skripsi yang berjudul “Pemidanaan Anak di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian Dalam Perspektif Hukum Islam” (Analisis Putusan No.

7

(16)

808/Pid.B/2011/PN.MKS), karena pemidanaan terhadap anak di bawah umur belum memperoleh kepastian hukum. Sehingga hal ini sangat penting untuk

dibahas sebagai judul skripsi.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka perlu adanya

pembatasan dan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam pembahasan

skripsi ini. Untuk mengefektifkan dan memudahkan pengolahan data, maka

penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku tindak pidana

pencurian yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor:

808/Pid.B/2011/PN.MKS?

2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pelaku pencurian yang

dilakukan oleh anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku

tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor:

808/Pid.B/2011/PN.MKS.

b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pelaku pencurian

(17)

2. Manfaat Penelitian

a. Memberikan masukan bagi pemerintah dalam menegakkan hukum di

Indonesia serta dalam upaya menyelesaikan permasalahan tindak pidana

pencurian yang dilakukan oleh anak.

b. Memberikan hasil penelitian terhadap khazanah keilmuan, khususnya di

bidang hukum pidana Islam terhadap pelaku pencurian yang dilakukan

oleh anak.

D. Kajian Terdahulu

Sebelumnya penulis melakukan tinjauan pustaka dengan tujuan untuk

mengkaji materi-materi terdahulu, khususnya mengenai pidana bagi anak pelaku

pencurian yang telah dibahas berupa penelitian pustaka.

Dari literature yang telah penulis telaah terdapat karya tulis berupa skripsi

yang dijadikan acuan awal oleh penulis, yaitu:

“Tindak Pidana Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum

Islam Dan Hukum Positif (Analisis Putusan Nomor :

1210/PEN/PID.B/2009/PN.TNG)” oleh Achmad Laily Jurusan Perbandingan

Hukum 2006. Di dalam skripsi ini membahas tentang tindak pidana pencurian

yang dilakukan oleh anak di bawah umur, serta prosedur pemeriksaan dan

(18)

E. Metode Penelitian 1. Teknik Penelitian

Metode yang akan dipergunakan dalam penelitian ini, secara

kategorikal termasuk dalam jenis penelitian putusan kasus dan kepustakaan

(Library Research), yakni menjadikan bahan-bahan pustaka sebagai sumber

data yang berhubungan dengan objek pembahasan penelitian.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah menelaah putusan

kasus yang bersifat kualitatif yang dalam pengumpulan datanya menggunakan

putusan dan bahan pustaka yang tersedia, baik berupa data primer maupun

data sekunder.

a. Sumber Primer

Adapun data primer penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, Hukum Pidana Islam dan Putusan No.

808/Pid.B/2011/PN.MKS.

b. Sumber Sekunder

Sedangkan data sekunder yaitu bahan pustaka, buku-buku, data-data

yang mempunyai relevansi dan dapat menunjang penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Setelah data-data kualitatif terkumpul, maka cara pengumpulan data

literalnya dilakukan dengan pengumpulan serta penggalian bahan-bahan

(19)

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi

ini adalah penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi yang

diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Tahun 2012”.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan pokok bahasan

secara sistematis yang terdiri dari lima bab, dan masing-masing terdiri dari

sub-sub bab sebagai perinciannya. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai

berikut:

Bab I : pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian

terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : tinjauan umum tentang pidana anak di Indonesia, pengertian pidana

dan hukuman, batas usia pemidanaan anak, kedudukan anak dalam

hukum positif.

Bab III : tindak pidana pencurian oleh anak, pengertian pencurian, tindak

pidana anak pelaku pencurian, ketentuan hukum mengenai pidana

bagi anak pelaku pencurian.

(20)

pelaku pencurian yang dilakukan oleh anak dalam putusan nomor:

808/Pid.B/2011/PN.MKS, analisis sanksi pemidanaan anak dalam

perspektif hukum Islam.

(21)

TINJAUAN UMUM TENTANG PIDANA ANAK DI INDONESIA

A. Pengertian Pidana dan Hukuman 1. Pengertian Pidana

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang

yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Di dalam

hukum modern, pidana juga meliputi apa yang disebut “tindakan” (tata tertib). Dalam pengertian hukum adat, istilah “pidana” dipersamakan dengan istilah

“reaksi”.1

Secara normatif, pidana juga dapat diartikan sebagai kerangka berpikir

tentang hukum, keberlakuannya, penerapannya, pembentukan, dan

penegakannya harus berdasar kepada segala bentuk peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang hukum tersebut. Pandangan ini mutlak

memberlakukan dogmatika hukum yang bersumber pada hukum positif,

sehingga memperhitungkan tentang faktor empiris yang mengukur manfaat

keberlakuan hukum dengan melihat kondisi atau fakta di masyarakat, disebut

pandangan positivistik.2

Di Indonesia, suatu pidana diatur dalam sebuah undang-undang hukum

pidana, yang mana berfungsi dalam mengatur tindakan pidana dan pidana

1

H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif,

(Yogyakarta: Lab Hukum FHUMY, 2008), h. 3.

2

(22)

yang terjadi dalam masyarakat, sehingga tercipta tata kehidupan yang tentram

dan selaras dengan aturan hukum yang ada.

Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang “soziarelevant”, artinya hukum hanya mengatur segala sesuatu yang

bersangkut paut dengan masyarakat. Hukum pidana pada dasarnya tidak

mengatur sikap batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila,3

sehingga sangat mungkin ada perbuatan yang secara kesusilaan sangat tercela,

tapi hukum pidana atau Negara tidak turun tangan di dalam aturan hukum atau

hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat.4

2. Pengertian Hukuman

Berbicara tentang hukum maka hukum terbagi menjadi dua, yaitu

hukum privat dan hukum publik yang mana hukum pidana termasuk di dalam

hukum publik, hal ini berlaku hingga dewasa ini. Dahulu di Indonesia,

tidaklah dipisah-pisahkan antara kedua hukum itu, sehingga gugatan baik

yang termasuk dalam hukum publik sekarang ini maupun yang termasuk

hukum privat dijatuhkan oleh pihak-pihak yang dirugikan.5

Istilah hukuman ini berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang

sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang

merupakan umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan

berubah-ubah karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang yang

3

Ibid., h. 6. 4

Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 26.

5

(23)

cukup luas. Pidana (hukuman) ialah perasaan tidak enak (penderitaan

sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis pada orang yang

melanggar undang-undang hukum pidana.6

Penghukuman sering kali sinonim dengan pemidanaan seperti yang

dipaparkan Sudarto, yaitu : penghukuman berasal dari kata hukum, sehingga

dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang

hukumnya (berechten). Menetapkan hukum oleh suatu peristiwa itu tidak

hanya menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh

karena itu tulisan ini berkisar pada hukum pidana, sehingga istilah tersebut

harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang

kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan

pidana oleh hakim. Penghukuman di sini mempunyai makna sama dengan

sentence atau veroordeling.7

Dari pandangan Sudarto dapat diketahui bahwa penghukuman

merupakan sinonim dari pemidanaan, yang berdasarkan uraian dalam kamus

bahasa Indonesia digunakan istilah hukuman dalam arti khusus yaitu

penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang melanggar

undang-undang, yang dijatuhkan oleh hakim. Hal ini disebabkan tidak adanya atau

belum ada kesepakatan terhadap masalah hukuman ini, yang sama sering

6

R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional), h. 12.

7

(24)

71-ditemukan kata-kata hukuman 10 tahun penjara dan kadang didapati kata-kata

dipidana 10 tahun penjara, juga tidak bisa dikatakan bahwa tidak ada sarjana

yang tidak membedakan arti dari hukuman dengan pidana.

Sedangkan menurut Andi Hamzah, bahwa hukuman adalah suatu

pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau penderitaan atau suatu nestapa

yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana yang mana

Andi Hamzah berusaha membedakan kedua istilah tersebut adalah merupakan

suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.8

Lebih jauh lagi penuturan Tirtaamidjaja, bahwa hukuman adalah suatu

penderitaan, yang dikenakan oleh hakim kepada si terhukum karena

melanggar suatu norma hukum. Dan bahwa hukuman sebagai sanksi dari

suatu norma hukum tertentu adalah tanda dari hukum pidana itu, yang

membedakannya dari bagian-bagian hukum yang lain.9

Adapun yang dimaksud dengan hukum anak adalah sekumpulan

peraturan hukum, yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur

dalam hukum anak itu, meliputi : sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku

tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak,

hak-hak anak, pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian,

anak nakal, dan lain sebagainya.10

8

Ibid., h. 12. 9

Ibid., h. 16.

10

(25)

B. Batasan Usia Pemidanaan Anak

Dalam hal pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal anak

tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana.

“Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu”.11

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam

penentuan batasan usia anak diperoleh ketidaksamaan antara peraturan

perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan kriteria

masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut.

Itu berarti bahwa seseorang yang usianya telah lebih dari 16 (enam belas)

tahun, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka ia dapat dikenakan sanksi pidana

sesuai dengan ketentuan pidana yang berlaku bagi orang dewasa.

Namun ketentuan dalam Pasal 45, 46 dan 47 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan sudah tidak berlaku lagi berdasarkan

ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan

Anak. Sedangkan jika kita tinjau pada batasan anak dalam KUHP sebagai korban

kejahatan seperti yang tercantum dalam BAB XIV Pasal 287, 290, 292, 294 dan

295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.

(26)

Sementara Pasal 330 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum perdata

menyatakan bahwa :

“Belum dewasa adalah mereka yang belum dewasa mencapai umur genap

21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

Dapat ditarik kesimpulan makna dari bunyi pasal tersebut adalah bahwa

seseorang yang genap berusia 21 tahun dan telah pernah menikah, dianggap telah

dewasa atau cakap berbuat hukum, maka semua akibat dari perbuatan hukum

yang dilakukan ditanggung sepenuhnya oleh yang bersangkutan.

Batasan usia dalam peraturan perundang-undangan jika dilihat dalam

hukum adat di Indonesia akan berbeda. Usia bukanlah menjadi suatu ukuran

seorang anak tersebut sudah dianggap dewasa atau belum.

Dalam hukum adat di Indonesia batasan umur untuk disebut anak bersifat

pluralistis. Dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi

disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya, misalnya : telah “kuat gawe”, “akil baliq”, “menek bajang”, dan lain sebagainya.12

Ditiap daerah di Indonesia ukuran kedewasaan seorang anak jika dilihat

dari hukum adatnya akan berbeda-beda, namun secara umum ada beberapa hal

yang bisa dijadikan pedoman untuk mengetahui batasan usia anak.

Di Indonesia sendiri sejak dibentuk Undang-Undang tentang Peradilan

Anak yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, memberikan batasan yang

12

(27)

tegas tentang atas usia pemidanaan anak di Indonesia. Dalam Pasal 4 disebutkan

bahwa :13

(1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah

sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun

dan belum pernah kawin.

(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan dapat diajukan ke sidang

pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur

tersebut tetapi belum mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan ke

sidang anak.

Jika pelaku kejahatan dilakukan oleh anak dibawah dari batas usia

minimum yang ditentukan atau belum berumur 8 tahun, dalam Pasal 5

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditegaskan bahwa :

1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan

atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut

dapat dilakukan pemeriksaan atau penyidik.

2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa

anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh

orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut

kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.

(28)

3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa

anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi

oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan

anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar

pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.

Jadi ada 2 (dua) alternatif yang dapat diambil yaitu, pertama jika anak

tersebut masih dapat dibina maka diserahkan kepada orang tua, wali atau orang

tua asuhnya, yang kedua adalah diserahkan kepada Departemen Sosial jika anak

tersebut sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya.

Pengelompokan anak berdasarkan pertimbangan umur sangatlah penting,

mengingat pada tiap tingkatan usia anak berbeda pula tingkat kematangan anak

dalam berpikir sehingga akan berbeda cara memperlakukan anak tersebut.

Yang terpenting seseorang tergolong dalam usia anak dalam batas bawah

usia seorang anak, yaitu 0 (nol) tahun batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai

dengan batas atas 18 tahun dan belum pernah kawin. Pengelompokan ini,

dimaksud untuk mengenal secara pasti faktor-faktor yang menjadi sebab-sebab

terjadinya tanggung jawab anak dalam hal-hal berikut ini.14

1. Kewenangan bertanggung jawab terhadap anak.

2. Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum.

3. Pelayanan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

4. Pengelompokan proses pemeliharaan.

14

(29)

5. Pembinaan yang efektif.

Batasan dari segi usia akan sangat berpengaruh pada kepentingan hukum

anak yang bersangkutan. Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat

kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang

dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental dan sosial anak menjadi

perhatian.15

Adanya batasan usia dimaksudkan agar ada perlindungan dan pembinaan

bagi anak, karena anak merupakan sumber daya manusia dan menjadi generasi

penerus bangsa.

C. Kedudukan Anak dalam Hukum Positif

Pengertian anak dalam hukum positif, dapat ditinjau dari berbagai aspek,

yaitu aspek hukum, aspek psikologis dan aspek biologis.

Pertama Anak ditinjau dari aspek hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa

anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8

(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin.

Kedua Anak ditinjau dari aspek psikologis. Proses perkembangan anak

terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada

paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak.

15

(30)

Ketiga Anak ditinjau dari aspek biologis dari lebih ditekankan pada

perubahan fisik seseorang. Zakiyah Drajat menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan remaja adalah salah satu dari unsur manusia yang paling banyak

mengalami perubahan, sehingga membawanya pindah dari masa anak menuju

masa dewasa, perubahan yang terjadi meliputi segala segi kehidupan manusia

yaitu jasmani, rohani pikiran, perasaan dan sosial. Biasanya dimulai perubahan

jasmani yang menyangkut segi seksual, biasanya terjadi pada umur 13-14 tahun.

Perubahan itu disertai dan diiringi oleh perubahan-perubahan lain, yang berjalan

sampai umur 20 tahun. Karena itu masa remaja dapat dianggap terjadi antara

umur 13 dan 20 tahun.

Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa seorang anak

diartikan sebagai manusia yang masih kecil atau belum dewasa.16 Di dalam Pasal

45 KUHP juga disebutkan bahwa : “Dalam menuntut orang yang belum cukup

umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, seorang

hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah (anak) dikembalikan kepada orang

tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau

memerintahkan si tersalah (anak) diserahkan kepada pemerintah dengan tidak

dikenakan suatu hukuman, yakni jika perbuatan itu termasuk bagian dari

kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490.

492, dan lain sebagainya.

16

(31)

Kedudukan anak yang dihukum dengan diserahkan kepada orang tua,

lembaga perawatan atau pembinaan, balai latihan kerja, atau lembaga sosial, tidak

dapat disebut sebagai gugurnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut

dan atau dihapuskannya hak anak menjalankan hukuman (penjara) dari anak

tersebut.

Adapun di dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang berhak

mendapat perlindungan hukum tidak memiliki batasan minimal umur.17 Dari anak

masih dalam kandungan, sampai ia berhak mendapatkan perlindungan. Dalam

Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan

Anak, yang disebut anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua

puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Sedangkan dalam hukum perdata dijelaskan dalam Pasal 370 bab kelima

belas tentang kebelum dewasaan seseorang, yang berbunyi : belum dewasa adalah

mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu

kawin.18 Jadi anak adalah orang yang belum berumur 21 tahun dan belum

17

Redaksi Citra Umbara, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung: Citra Umbara, 2003), h. 4.

18

(32)

menikah. Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP, bahwa seseorang dikatakan masih

anak-anak haruslah mempunyai dua syarat, yakni :

1. Orang atau anak itu ketika dituntut haruslah belum dewasa, yang dimaksud

belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah

kawin dan bercerai sebelum berumur 21 tahun, maka ia telah dianggap

sebagai seseorang yang sudah dewasa.

2. Tuntutan itu mengenai perbuatan pidana pada waktu ia berumur 16 tahun.

Bismar Siregar dalam bukunya yang berjudul “Keadilan Dalam Berbagai

Aspek Hukum Nasional” menyatakan bahwa dalam masyarakat yang sudah

mempunyai hukum tertulis diterapkan batasan umur yaitu 16 tahun atau 18 tahun

ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan

lagi termasuk atau tergolong anak, tetapi sudah dikatakan dewasa.19

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan

Anak, disebutkan bahwa batasan anak adalah sebelum mencapai umur 21 tahun

dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir 1).20 Kemudian dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, membatasi usia anak di bawah

kekuasaan orang tua dan di bawah perwalian sebelum mencapai umur 18 tahun

(Pasal 47 ayat 1) dan Pasal 50 ayat (1).21 Dalam Undang-Undang Pemilihan

Umum, yang dikatakan anak adalah belum mencapai umur 17 tahun (Pasal 9 ayat

19

Bismar Siregar, Keadilan Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 105.

20

Redaksi Citra Umbara, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, (Bandung: Sinar Grafika, 1997), h. 52.

21

(33)

1). Sedangkan dalam Undang-Undang Peradilan Anak ditentukan batas minimal

dan maksimal usia anak, yaitu sekurang-kurangnya 8 tahun dan maksimal umur

(34)

24

TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK

A. Pengertian Pencurian

Secara etimologi pencurian adalah terjemahan dari bahasa arab yaitu

al-sariqah, yang berarti melakukan suatu tindakan terhadap orang lain secara

tersembunyi. Sedangkan secara istilah, mencuri disebut dengan suatu tindak

kejahatan mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi, baik dari

pandangan pemilik harta yang dicuri atau pihak lain menurut anggapan orang

yang mencurinya dengan tujuan untuk memiliki barang.1

Pencurian dapat dikatakan sebagai tindakan mengambil harta orang lain

dalam keadaan sembunyi, yaitu mengambilnya tanpa sepengetahuan dan kerelaan

pemiliknya, misalnya seseorang mengambil harta dari sebuah rumah ketika

pemiliknya sedang bepergian atau tidur.2

Sedangkan dalam tindak pidana pencurian dalam hukum positif adalah

Pencurian merupakan suatu perbuatan mengambil barang orang lain dengan

maksud untuk memilikinya. Pencurian dibagi menjadi dua yaitu pencurian

didalam bentuknya yang pokok disebut dengan pencurian biasa, dan pencurian

khusus atau biasa disebut dengan pencurian yang berkualifikasi. Tindak pidana

pencurian pertama yang diatur dalam bab XXII buku II Pasal 362 KUHP ialah

tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok, yaitu :

1

Wagiati Soetedjo, Hukum Pidana Islam, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 27. 2

(35)

“Barang siapa yang mengambil suatu benda sebagian benda atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum. Karena bersalah melakukan tindak pidana pencurian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah”.

B. Tindak Pidana Anak Pelaku Pencurian

Ahli hukum dan mantan Hakim Agung Republik Indonesia 1968, Sri

Widoyati Lokito, memberikan definisi kenakalan remaja dengan semua perbuatan

yang dirumuskan dalam perundang-undangan dan perbuatan lainnya yang pada

hakekatnya merugikan masyarakat yang harus dirumuskan secara terperinci

dalam Undang-Undang Peradilan Anak.3

Dalam Undang-Undang Peradilan Anak Pasal 1 ayat (2) menggunakan

istilah anak nakal,4 sedang pengertian anak adalah anak yang melakukan tindak

pidana atas anak yang menurut peraturan baik perundang-undangan maupun

menurut peraturan hukum yang dilarang dan ditetapkan dalam peraturan dan

berlaku dalam masyarakat.

Pemaparan tersebut melahirkan kesimpulan bahwa unsur dari perbuatan

atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak nakal adalah:

1. Perbuatan dilakukan oleh anak-anak

2. Perbuatan itu melanggar aturan atau norma

3. Perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.

3

(36)

Bentuk kenakalan anak yang didasarkan pada berbagai pengertian tentang

kenakalan anak yang dikemukakan oleh para pakar, misalnya oleh Moedikdo,

setidaknya terdapat tiga kategori perbuatan yang masuk dalam klasifikasi

kenakalan anak Juvenile Delinquency, yaitu sebagaimana dikutip B.

Simanjuntak.5

1. Semua perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa sementara perbuatan itu

menurut ketentuan hukum normatif adalah perbuatan pidana, seperti mencuri,

menganiaya dan lain sebagainya.

2. Semua perbuatan atau perilaku yang menyimpang dari norma tertentu atau

kelompok tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dalam masyarakat.

3. Semua aktifitas yang pada dasarnya membutuhkan perlindungan sosial,

semisal gelandangan, mengemis dan lain sebagainya.

Keseluruhan bentuk kenakalan anak baik yang diklasifikasikan

berdasarkan definisi maupun berdasarkan rujukan normatif (ketentuan hukum

pidana) tersebut selanjutnya dapat dibagi dalam 4 jenis, yaitu :

1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti

perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan sebagainya.

2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian,

pencopetan, dan sebagainya.

3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban pihak orang lain, seperti

pelacuran dan penyalahgunaan obat terlarang (narkoba).

5

(37)

4. Kenakalan yang melawan status, seperti mengingkari status anak sebagai

pelajar dengan cara membolos sekolah, mengingkari status orang tua dengan

cara minggat dari rumah atau tidak taat atau membantah perintah dan lain

sebagainya.

C. Ketentuan Tindak Pidana bagi Anak Pelaku Pencurian menurut Hukum Positif

Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 362

KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggi-tingginya enam puluh rupiah”.

Menurut Sri Widoyati Lokito, banyak yang mempengaruhi pemidanaan

yang terdapat dalam Undang-Undang, yaitu :6

1. Hal-hal yang memberatkan pemidanaan

Hal-hal yang memberatkan pemidanaan dapat dibedakan menjadi dua

hal, yaitu :

a. Kedudukan sebagai pejabat

Menurut Pasal 52 KUHP, apabila seorang pejabat karena melakukan

tindak pidana dari jabatannya, maka kesempatan atau sarana yang

(38)

diberikan padanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiganya.

Misalnya seorang agen polisi diperintah untuk menjaga uang di Bank

Negara Indonesia, jangan sampai dicuri orang tetapi ia melanggar

kewajiban yang istimewa dalam jabatannya, maka pidananya dapat

ditambah sepertiganya.

b. Pengulangan tindak pidana (Recidive)

Barang siapa yang melakukan tindak pidana dan dikenakan pidana,

kemudian dalam waktu tertentu diketahui melakukan tindak pidana lagi,

dapat dikatakan pelakunya mempunyai watak yang buruk. Oleh karena itu,

undang-undang memberikan kelonggaran kepada hakim untuk

mengenakan pidana yang lebih berat. Menurut hukum pidana modern,

recidive itu dibedakan menjadi dua, yaitu : recidive kebetulan atau pelaku

kejahatan yang mengulangi kejahatannya karena terpaksa seperti karena

tuntutan ekonomi dan ada istilah recidive biasa yaitu pelaku kejahatn yang

melakukan kejahatannya karena merupakan suatu keiasaan recidive biasa

inilah yang harus diperberat pemidanaannya.

2. Hal-hal yang meringankan pemidanaan

a. Percobaan (poging)

Dalam Pasal 53 KUHP terdapat unsur-unsur dari delik percobaan

yaitu :

1) Harus ada niat

(39)

3) Pelaksanaan itu tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak

sendiri

Ancaman pidana itu hanya ditujukan terhadap percobaan

kejahatan, sedangkan untuk percobaan pelanggaran tidak bisa dikenakan

pidana.7

b. Pembantuan (medepllichtige)

Menurut Pasal 56 KUHP, barang siapa yang sengaja membantu

melakukan kejahatan dan memberi kesempatan dengan upaya atau

keterangan untuk melakukan kejahatan dalam hal pembantuan maksimum

pidana pokok dikurangi sepertiga. Dan bila diancam dengan penjara

seumur hidup, maka maksimum hukumannya 15 tahun.

c. Belum cukup umur (minderjarig)

Belum cukup umur (minderjarig) merupakan hal yang

meringankan pemidanaan karena usia yang asih muda belia itu

kemungkinan sangat besar dapat memperbaiki kelakuannya dan

diharapkan kelak bisa menjadi warga yang baik dan berguna bagi nusa dan

bangsa.

Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana timbul

pertanyaan, apakah setiap anak yang bersalah meakukan suatu tindak pidana

dapat dipertanggungjawabkan? pada mulanya, sistem pertanggungjawaban bagi

anak-anak didasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab, sistem yang

(40)

mendasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab dan batas usia tertentu bagi

seorang anak, tidak dianut lagi dalam hukum pidana di Indonesia dewasa ini.

Namun yang dianut sekarang adalah sistem pertanggungjawaban yang

menyatakan bahwa semua anak asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggung

jawab dan dapat dituntut.8

Bagi anak yang mampu bertanggung jawab masih tetap dimungkinkan

untuk tidak dipidana, terutama bagi anak yang masih sangat muda. Namun tidak

harus diartikan bahwa Undang-undang masih membedakan antara yang mampu

dan tidak mampu bertanggung jawab.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidan pokok dan pidana

tambahan atau tindakan. Dengan menyimak Pasal 23 ayat 23 (1) dan ayat (2)

diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal.

1. Pidana Pokok

Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal,

yaitu :

a. pidana penjara

b. pidana kurungan

c. pidana denda, atau

d. pidana pengawasan.

8

(41)

2. Pidana Tambahan

Pidana tambahan terdiri dari :

a. perampasan barang-barang tertentu

b. pembayaran ganti rugi.

3. Tindakan

Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24

ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak)

adalah :9

a. mengmbalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,

b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja.

c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial

kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja.

Selain tindakan tersebut, hakim dapat memberi teguran dan

menetapkan syarat tambahan.

Penjatuhan tindakan oleh hakim dilakukan kepada anak yang

melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut

peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain.

Dalam segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih

berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang

(42)

telah melampaui umur di atas 12 (dua belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal ini

mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.10

Sedang rumusan pengenaan tindakan terhadap anak menurut Pasal 132

rancangan KUHP adalah :

a. pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya

b. penyerahan kepada pemerintah atau seseorang

c. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau

suatu badan swasta

d. pencabutan surat izin mengemudi

e. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana

f. perbaikan akibat tindak pidana

g. rehabilitasi dan atau

h. perawatan di dalam suatu lembaga

4. Pidana Penjara

Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal

lamanya ½ (satu perdua) dari ancaman pidana orang dewasa atau paling lama

10 (sepuluh) tahun. Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati

maupun pidana seumur hidup. Dan sebagai gantinya adalah dijatuhkan salah

satu tindakan.11

10

Ibid., h. 12. 11

(43)

5. Pidana Kurungan

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal maksimal

setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi dewasa. Mengenai

apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang

dewasa, adalah maksimum ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana

yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau

Undang-undang lainnya (penjelasan Pasal 27).12

6. Pidana Denda

Seperti pidana penjara dan pidana kurungan maka penjatuhan pidana

denda juga dijatuhkan setengah dari maksimum pidana denda bagi orang

dewasa. Bila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan latihan

kerja selama 90 hari dengan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak

boleh dilakukan di malam hari. Tentunya hal demikian mengingat

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak serta

perlindungan anak.13

7. Pidana Bersyarat

Garis besar ketentuan pidana bersyarat bagi anak nakal sesuai dengan

rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan

Anak.14

12

Ibid., h. 30. 13

(44)

8. Pidana Pengawasan

Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak

yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap

perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan

pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.

Anak nakal yang diputus oleh hakim untuk diserahkan kepada negara di

tempatkan di lembaga pemasyarakatan anak sebagai anak negara, dengan

maksud untuk menyelamatkan masa depan anak atau bila anak menghendaki

anak dapat diserahkan kepada orang tua asuh yang memenuhi syarat.15

15

(45)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK

A. Penerapan Hukum Pidana Materiil Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS

Tindak pidana merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum yang

telah dilakukan baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja oleh seseorang

yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dan oleh

Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.1

Berikut kasus yang mengenai tindak pidana pencurian yang dilakukan

oleh anak dalam Studi Kasus Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS yang

disususn dalam bentuk dakwaan yaitu terdakwa melanggar Pasal 365 ayat (1), (4)

dan Undang-Undang darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam.

1. Posisi Kasus

Terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama Rahmat alias Bucek

(dewasa dan sidang tersendiri) pada hari Kamis tanggal 7 April 2011 pukul

23.00 WITA atau setidak-tidaknya dalam tahun 2011 bertempat di Jl. Dg.

Tata Raya Kota Makassar atau setidak-tidajnya tempat lain dalam daerah

hukum Peradilan Negeri Makassar, mengambil barang, seluruh atau sebagian

1

(46)

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum

ancaman kekerasan, dimana perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara;

berawal terdakwa Rafli Yusuf alias Appi selaku anak dibawah umur sesuai

keterangan hasil ujian sekolah dasar tahun 2005/2006 lahir tanggal 4 Juni

1994 yang dibuat oleh Kepala Sekolah SD Impres Sambung Jawaya Kota

Makassar atas nama Sri Endang K, S.Pd.

Dimana saksi korban Pr. Israwati pulang kerja dengan dibonceng

sepeda motor oleh Lk. Mahardika melewati Jl. Daeng Tata dekat Pasar

Hartaco tiba-tiba sepeda motor Honda Beat putih yang dikendarai oleh

terdakwa yang berboncengan dengan Lk. Rahmat alias Bucek mendekati

korban dan memepet sepeda motor korban dimana terdakwa Rafli Yusuf

menarik tas selempangan yang berisi HP Nokia X2 warna hitam dan

surat-surat penting lainnya milik korban Pr. Israwati dari pundaknya, kemudian

korban terjatuh dari aspal jalan dan menderita luka lecet pada punggung kaki

kanan.

Terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama Rahmat alias Bucek

melarikan diri dan Lk. Rahmat alias Bucek meninggalkan sepeda motor di jalan dimana korban berteriak minta tolong dan mengatakan “jambret” dimana

warga dapat mengamankan terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan Lk. Rahmat

alias Bucek serta diamankan oleh Anggota Unit Khusus Polsekta Tamalate,

dimana terdakwa bersama Lk. Rahmat alias Bucek digeledah dan ditemukan 2

(47)

Rahmat alias Bucek, atas perbuatan terdakwa yang mengambil barang milik

korban Pr. Israwati sehingga korban mengalami kerugian yang ditaksir Rp.

1.500.000;- (satu juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar itu,

dan didukung Visum Et Refertum No.2351/M/RS/IV/2011 tanggal 7 April

2011 yang menerangkan bahwa Lk. Mahardika menderita luka lecet pada

punggung kaki kanan ukuran 2 x 2 x 0,5cm dengan kesimpulan karena

kekerasan benda tumpul, dibuat oleh dr. Yusnah Yusuf pada RSU Haji

Makassar. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 (1)

KUHP.

2. Dakwaan Penuntut Umum

Adapun surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap

tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama

Rahmat alias Bucek yang dibacakan pada persidangan dihadapan Hakim

Peradilan Makassar sebagai berikut:

Dakwaan Pertama Primair

(48)

korban dan memepet sepeda motor korban dimana terdakwa Rafli Yusuf menarik tas selempangan yang berisi HP Nokia X2 warna hitam dan surat-surat penting lainnya milik korban Pr. Israwati dari pundaknya kemudian korban terjatuh dari aspal jalan dan menderita luka lecet pada punggung kaki kanan, dimana terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama Rahmat alias Bucek melarikan diri dan Lk. Rahmat alias Bucek meninggalkan sepeda motor di jalan dimana korban berteriak minta tolong dan mengatakan “jambret” dimana warga dapat mengamankan terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan Lk. Rahmat alias Bucek serta diamankan oleh Anggota Unit Khusus Polsekta Tamalate, dimana terdakwa bersama Lk. Rahmat alias Bucek digeledah dan ditemukan 2 buah busur yang dibawa oleh terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan Lk. Rahmat alias Bucek, atas perbuatan terdakwa yang mengambil barang milik korban Pr. Israwati sehingga korban mengalami kerugian yang ditaksir Rp. 1.500.000;- (satu juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar itu, dan didukung Visum Et Referfum No.2351/M/RS/IV/2011 tanggal 7 April 2011 yang menerangkan bahwa Lk. Mahardika menderita luka lecet pada punggung kaki kanan ukuran 2 x 2 x 0,5cm dengan kesimpulan karena kekerasan benda tumpul, yang dibuat oleh dr. Yusnah Yusuf pada RSU Haji Makassar. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 (1) KUHP.

Dakwaan Subsidair

(49)

Appi dan Lk. Rahmat alias Bucek serta diamankan oleh Anggota Unit Khusus Polsekta Tamalate, dimana terdakwa bersama Lk. Rahmat alias Bucek digeledah dan ditemukan 2 buah busur yang dibawa oleh terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan Lk. Rahmat alias Bucek, atas perbuatan terdakwa yang mengambil barang milik korban Pr. Israwati sehingga korban mengalami kerugian yang ditaksir Rp. 1.500.000;- (satu juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak tidaknya sekitar itu, dan didukung Visum Et Referfum No.2351/M/RS/IV/2011 tanggal 7 April 2011 yang menerangkan bahwa Lk. Mahardika menderita luka lecet pada punggung kaki kanan ukuran 2 x 2 x 0,5cm dengan kesimpulan karena kekerasan benda tumpul, dibuat oleh dr. Yusnah Yusuf pada RSU Haji Makassar. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 (1) ke-4 KUHP.

Dakwaan Kedua

Bahwa Ia terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama Lk. Rahmat alias Bucek (dewasa dan sidang tersendiri) pada waktu dan tempat sebagaimana disebutkan dalam Dakwaan Pertama Primair tersebut diatas, tanpa hak menguasai, membawa senjata tajam berupa busur, dimana perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara; berawal terdakwa Rafli Yusuf alias Appi selaku anak di bawah umur sesuai keterangan hasil ujian sekolah dasar tahun 2005/2006 lahir tanggal 4 Juni 1994 yang dibuat oleh Kepala Sekolah SD Impres Sambung Jawaya Kota Makassar atas nama Sri Endang K, S.Pd bersama Lk. Rahmat alias Bucek tertangkap tangan oleh petugas polisi Polsekta Tamalate dimana terdakwa digeledah dan ditemukan membawa masing-masing busur, tanpa izi dari yang berwajib.

Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 (1) UU RI Darurat No. 12 Tahun 1951 Lembaran Negara No. 78 Tahun 1951.

3. Tuntutan Penuntut Umum

Adapun tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya

sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa RAFLI YUSUF alias APPI terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana

(50)

Darurat No. 12/1951 LN No. 78/1951 sebagaimana dakwaan KESATU

dan KEDUA Penuntut Umum

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa dengan pidana

penjara selama 1 tahun dikurangkan dengan masa penahanan yang telah

dijalani terdakwa dengan perintah terdakwa tetap ditahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

 1 buah tas selempangan warna coklat merk PRADA

 1 unit motor Honda Beat warna putih DD 2880 JZ

Masing-masing dikembalikan kepada yang berhak

4. Menetapkan agar terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 2.000

4. Amar Putusan

Suatu proses peradilan dapat dikatakan berakhir apabila telah ada

putusan akhir. Dalam putusan akhir tersebut Hakim menyatakan pendapatnya

mengenai hal-hal yang telah yang dipertimbangkan yang berkenaan dalam

memutuskan perkara tersebut.

Pada hakekatnya Hakim diberi kewenangan untuk memeriksa,

mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya. Namun

kewenangan tersebut harus berdasarkan pada undang-undang, norma-norma

(51)

Hakim dalam hal ini harus melihat dan memperhatikan dasar-dasar

tuntutan hukum yang diajukan kepada Terdakwa, dimana Hakim tidak boleh

memutus suatu perkara diluar tuntutan yang tercantum dalam surat dakwaan,

yang pada intinya kewenangan Hakim dalam memutus perkara dibatasi oleh

undang-undang.

Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan dari beberapa barang

bukti dan beberapa pertimbangan-pertimbangan, maka Hakim mengadili

dengan amar putusan sebagai berikut:

a. Menyatakan Terdakwa Rafli Yusuf alias Appi yang identitasnya seperti

tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “pencurian dengan membawa senjata

penikam”

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 7 (tujuh) bulan;

c. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa

dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;

d. Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan;

e. Membebankan biaya perkara Terdakwa sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu

rupiah);

5. Penjatuhan Pidana

(52)

pertimbangan tersebut terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan

konteks yang paling penting dalam putusan. Hakim dan merupakan

unsur-unsur dari suatu tindak pidana, yang mana perbuatan Terdakwa tersebut telah

memenuhi syarat suatu tindak pidana yang didakwakan oleh Penuntut Umum.

Pertimbangan-pertimbangan yuridis ini langsung akan berpengaruh besar

terhadap amar putusan Majelis Hakim.

Dengan demikian diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Makassar

yang dilakukan pada hari Rabu, 13 Juli 2011 menyatakan dalam amar

putusannya bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat

(1), serta Pasal 2 (1) UU RI Darurat No.12/1951 LN No.78/1951, dan

menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.

6. Analisis Kasus

Berdasarkan pasal-pasal yang dipersangkakan oleh para penyidik yang

telah dituangkan dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum nomor: PDM

630/Mks/Ep.1/05/2011 dan diterapkan dalam putusan nomor:

808/Pid.B/2011/PN.MKS. Dimana telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan

pidana dalam KUHP, yakni Pasal 365 ayat (1), dan Pasal 2 (1) UU RI Darurat

No. 12/1951 LN No.78/1951 yaitu tindak pidana pencurian dengan membawa

senjata penikam (busur) yang dilakukan oleh anak.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 2 ayat (1) berbunyi :

(53)

mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,

menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai

dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,

mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul,

senjata penikam, atau senjata penusuk, dihukum dengan hukuman penjara

setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Rumusan surat dakwaan tersebut telah sesuai dengan hasil

pemeriksaan penyidikan untuk kemudian diajukan dalam persidangan.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum telah sesuai dengan Pasal-pasal yang

dipersangkakan kepada Terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan fakta-fakta yang

terungkap di persidangan. Hal ini dikarenkaan Terdakwa benar telah terbukti

dimuka persidangan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dalam

KUHP yaitu Pasal 365 ayat (1), serta Pasal 2 (1) UU RI Darurat No. 12/1951

LN No.78/1951.

Bilamana suatu perbuatan yang dapat dihukum menurut

Undang-Undang Darurat ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum,

maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada si

terdakwa.

Dapat dijelaskan bahwa pidana anak termasuk dalam sanksi pidana,

yakni sebuah sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak yang melakukan

(54)

terhadap anak tersebut, hanya sebagai upaya terakhir dan bukti alternatif

utama dalam pemidanaan anak.

B. Analisis Sanksi Pemidanaan Anak dalam Perspektif Hukum Islam

Istilah hukum pidana dalam bahasa Arab dikenal dengan jinayah, yang

merupakan bentuk masdar dari kata jana, yang secara etimologi berarti berbuat

dosa atau salah.2 Orang yang berbuat jahat disebut jani, sedangkan orang yang

dikenakan perbuatan disebut mujna ‘alaih.

Jadi, pengertian jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan.

Perbuatan yang diaramkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh syara‟. Apabila dilakukan memiliki konsekuensi yang akan membahayakan

agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.

Pada umumnya para fuqaha menggunakan istilah jinayah, hanya untuk

perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa ataupun anggota badan.

Oleh karena itu kejahatan seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya, secara

otomatis juga termasuk dalam pembahasan jinayah dan membatasi istilah ini

dengan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qisas.

Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah, maka pengertian jinayah

dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu : jinayah dalam pengertian luas dan jinayah

dalam pengertian sempit. Jinayah dalam pengertian luas berarti perbuatan yang

dilarang oleh syara’ yang dapat mengakibatkan hukuman had atau ta’zir.

2

(55)

Sedangkan dalam pengertian sempit berarti perbuatan yang dilarang syara‟ yang

dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta’zir.3

Yang dimaksud hukuman had adalah suatu sanksi yang ketentuannya

sudah ditetapkan dalam al-Qur‟an. Sedangkan hukuman ta’zir dijatuhkan dengan

mempertimbangkan berat ringannya pidana dan tuntutan kepentingan umum

dalam artian sanksi apa yang pantas dijatuhkan kepada pelaku pidana. Dalam

implementasinya sanksi ta’zir ini merupakan sanksi yang dijatuhkan oleh ulil

amri, bukan berdasarkan pada ketentuan pokok seperti pada hukum had.

Penggunaan istilah jinayah memiliki pengertian yang sama dengan istilah

jarimah baik dari segi etimologi maupun terminologi. Pada dasarnya istilah

jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi pengertian

jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian jinayah.

Dari segi etimologi jarimah merupakan bentuk masdar dari kata jarama

yang berarti berbuat salah.

Suatu perbuatan dinamakan jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau

delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau

masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata

aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal ini yang harus dipelihara

dan dijunjung tinggi keberadaannya.

Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya

hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qiyas diyat dan ta’zir.4

(56)

Batasan yang dibuat oleh Allah SWT dan ia tidak boleh dilanggar

oleh sesiapa pun. Contohnya : kalau seseorang itu mengaku berzina, maka dia

wajib dihukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Kalau dia

mengaku mencuri pula, maka diperbolehkan dikenakan sanksi atau hukuman, tapi

wajib dipotong tangannya kerana ia adalah satu batasan yang telah dibuat oleh

Allah SWT.

Hukuman Hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan

Allah di dalam al-Qur‟an. Hukuman Hudud ini adalah hak Allah yang tidak boleh

ditukar ganti hukumannya dan tidak boleh di ubah dan dipindah. Hukuman

Hudud tidak boleh dimaafkan oleh siapapun. Mereka yang melanggar

aturan-aturan hukum Allah, yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah/rasul-Nya yang

disebutkan di dalam al-Qur‟an adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang

zalim.

Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman Hudud ialah:

1. Berzina, yaitu melakukan persetubuhan tanpa nikah yang sah mengikut

hukum syara`.

2. Menuduh orang berzina (qazaf), yaitu membuat tuduhan zina kepada orang

yang baik lagi suci atau menafikan keturunannya, dan tuduhan itu tidak dapat

dibuktikan dengan empat orang saksi.

4

Gambar

Grafika, 1997.

Referensi

Dokumen terkait

kebutuhan petani yang sangat mendesak, karena dengan menjual produksi karet kepada pedagang pengumpul, petani akan menerima uang secara langsung, sedangkan apabila

Unit tersebut seperti suatu blok yang dimasukkan ke dalam rak atau kerangka yang besar dari kolom dan balok beton....

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Berkaitan dengan masalah tersebut, Program pengabdian kepada masyarakat (IbM) khususnya di desa Bangoan dan desa Tulungrejo ini memberikan solusi untuk

1) Syarat edukatif yaitu; a) pembuatan APE disesuaikan dan dengan memperhatikan program kegiatan pembelajaran atau kurikulum yang berlaku, b) pembuatan APE disesuaikan

Dari teori-teori tersebut diatas gangguan mental yang penulis maksudkan adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada individu dan

Dari hasil pengujian hipotesis tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa variabel GCG berpengaruh signifikan terhadap IHSG dengan tingkat alpha 5%, nilai tukar rupiah