DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Disusun oleh:
YANI SURYANI NIM. 107043203816
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Yani Suryani. NIM 107043203816. Pemidanaan anak di Indonesia dalam penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dengan pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan pidana pada putusan nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS diatur dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP dan UU No. 12 Tahun 1951 Pasal 2. Yang mengatur tentang anak cukup banyak dan tersebar sifatnya, dalam syariat Islam pun juga begitu sehingga dapat mencerminkan sebagai satu sistem hukum tentang perlindungan anak.
Pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian menurut hukum positif dan hukum Islam dapat dibandingkan antara keduanya, yang mana dalam penulisan ini diharapkan bisa menjadi wacana dan perbandingan hukum demi perbaikan hukum dimasa yang akan datang.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian menurut hukum positif dan hukum Islam terdapat kesamaan dalam memberlakukan pidana yakni, memberlakukan pidana kebijaksanaan dan yang membedakan antara keduanya adalah hukum pidana di Indonesia masih memberlakukan pidana penjara sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak memberlakukan. Disamping itu terdapat batasan usia minimal yang diatur dalam hukum pidana Indonesia, sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak mengenal adanya batasan minimal dalam memberlakukan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
ii
Bismillahirahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di Jurusan Perbandingan Mazhab
dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Salawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW yang telah membawa risalah kebenaran untuk umat Islam
khususnya.
Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun menghaturkan
banyak terima kasih kepada yang telah berjasa dan yang terhormat:
1. Dr. Phil. J.M Muslimin, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum.
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum.
4. Ismail Hasani, SH. MH. selaku Dosen Pembimbing dalam penyusunan skripsi
ini, yang telah memberikan banyak masukan dan arahan serta meluangkan
5. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua penulis Ibunda Een Aenah dan Ayahanda Serka Didi
Supriyadi saya haturkan ribuan terima kasih atas do’a, dukungan dan motivasi
yang telah banyak diberikan secara moril maupun materiil kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga diberikan umur panjang
dan rezeki yang luas, Amin Yaa Rabbal ‘Alamin. Dan tidak lupa penulis
haturkan banyak terima kasih untuk keluarga di Sindanghaji - Majalengka
khususnya kakek/engki (alm), nenek, bi ende, bi dede, mang epong, teh ina,
dimas fba dan mama shafa yang tidak henti-hentinya mendo’akan serta
mendukung penulis.
7. Teman-teman Konsentrasi Perbandingan Hukum angkatan 2007 serta
teman-teman KKN, yang telah memberi kesan-kesan baik selama menempuh studi di
kampus UIN JKT.
8. Untuk teman yang sudah banyak memotivasi dan membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini Alfiah, Abdul Muktadir, Kak Domen. Untuk Nanda
Fitriyana yang selalu mendo’akan, mendukung dan mendorong penulis.
9. Pihak-pihak yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi ini
iv
rabbil ‘Alamin atas rahmat dan karunia serta ridho Allah SWT. Besar harapan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada
umumnya, sekian dan terima kasih.
Jakarta, 25 September 2014
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN... . iv
ABSTRAK... v
KATA PENGANTAR... ... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Kajian Terdahulu ... 7
E. Metode Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIDANA ANAK DI INDONESIA A. Pengertian Pidana dan Hukuman ... 11
B. Batas Usia Pemidanaan Anak ... 15
vi
A. Pengertian Pencurian ... 24
B. Tindak Pidana Anak Pelaku Pencurian ... 25
C. Ketentuan Tindak Pidana Bagi Anak Pelaku Pencurian Menurut Hukum Positif ... 27
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK A. Penerapan Hukum Pidana Materiil Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.Mks ... 35
1. Posisi Kasus ... 35
2. Dakwaan Penuntut Umum ... 37
3. Tuntutan Penuntut Umum ... 39
4. Amar Putusan... 40
5. Penjatuhan Pidana ... 41
6. Analisis Kasus ... 42
B. Analisis Sanksi Pemidanaan Anak dalam Perspektif Hukum Islam ... 44
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 55
B. Saran ... 56
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan berkeluarga anak merupakan salah satu unsur yang
sangat penting sebagai generasi penerus dalam keluarga, dan keluarga bagian dari
masyarakat. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber
daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,
yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan
dan perkembangan anak.1
Anak bermasalah (anak nakal) adalah anak yang melakukan tindak pidana
atau perbuatan yang terlarang bagi anak. Perbuatan terlarang tersebut menurut
perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat. Anak melakukan tindak pidana yakni apabila melanggar
ketentuan dalam peraturan hukum pidana yang ada, maka pidana dan penjatuhan
sanksi ini dinilai sebagai sebuah fenomena hukum yang mampu mengurangi
tindak kriminal juga sebagai konsekuensi logis terhadap tindakan melawan
hukum.2
1
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 24. 2
Kenakalan anak merupakan hal yang sangat kompleks, karena anak tidak
dapat dilepaskan baik dari lingkungan sosialnya, lingkungan keluarga maupun
masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan bahwa anak masih mempunyai masa
depan yang panjang, sehingga masih ada kemungkinan untuk menjadi baik dalam
perkembangannya, maka anak harus diberikan bekal berupa bimbingan, didikan
dan pembinaan yang cukup, agar nantinya setelah selesai menjalani masa
pembinaannya dari hidup wajar dan lebih baik kembali. Dalam menanggulangi
dan menghadapi anak pidana, lapas anak berfungsi sebagai tempat pendidikan dan
pembinaan bagi anak pidana, anak negara, dan anak sipil. Anak yang ditempatkan
di Lapas Anak bertujuan agar anak tersebut memperoleh pendidikan dan latihan
baik formal maupun informal sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta
memperoleh hak-haknya.3
Anak yang telah terbukti melakukan pencurian harus
mempertanggungjawabkan secara hukum melalui proses sidang pengadilan. Dari
beberapa jenis penjatuhan sanksi yang diancamkan terhadap pelaku pencurian,
yang paling sering terjadi adalah pidana perampasan kemerdekaan (Hak Asasi
Manusia) yaitu pidana atau pidana kurungan baik secara tunggal maupun secara
alternatif, juga dapat ditentukan dalam waktu tertentu atau bahkan dalam waktu
15 tahun. Banyak kritik tajam yang ditujukan terhadap pidana jenis ini, baik
3
dilihat dari eksistensinya maupun dari akibat-akibat negatif lainnya yang
menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang.4
Bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum, khususnya anak
yang melakukan tindak pidana, sebagian besar dikenakan ketentuan pidana
berupa hilangnya kemerdekaan (penjara) untuk sementara waktu. Gunanya adalah
sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat, terpidana ataupun si korban
kejahatan itu sendiri. Adapun tempat pelaksanaan pidana hilangnya kemerdekaan
ini dikenal dengan nama lembaga pemasyarakatan.5
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak di bawah umur disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor itu
antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan yang cepat, arus globalisasi
di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua. Perkembangan tersebut sangat
berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau
tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan, dan pembinaan dari orang
tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan
masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan orang tua, wali
atau orang tua asuh. Kurangnya pengawasan akan mudah membawa pengaruh
terhadap anak yang dapat merugikan perkembangan pribadi anak.
4
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), h. 20.
5
Keadilan diakui sebagai kebutuhan masyarakat yang pada gilirannya akan
melahirkan lembaga atau sebuah institusi hukum yang baik. Dengan demikian
hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan
hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari
masyarakat.6
Berdasarkan pernyataan di atas maka lahirlah perundang-undangan yang
berusaha memberikan suatu kebijakan hukum yang mampu mengakomodir
kepentingan masyarakat dalam menegakkan keadilan, juga kebutuhan anak yang
memerlukan sebuah reaksi hukum yang menitik beratkan pada bimbingan
edukatif disamping tindakan yang bersifat menghukum.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menentukan bahwa anak merupakan bagian dari generasi muda yang merupakan
potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis
serta mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan
dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan
sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya usia
anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
6
dalam Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) bahwa anak adalah seseorang belum
mencapai umur 21 tahun dan belum kawin.7
Melihat pada kondisi ini apakah bijak menghukum seorang tindak pidana
yang masih dikategorikan sebagai anak di bawah umur, yang pada dasarnya anak
merupakan seorang yang belum sepenuhnya mengetahui apa yang dilakukannya.
Dalam menghadapi perbuatan anak, hakim harus menyelidiki dengan teliti apakah
anak tersebut sudah mampu membeda-bedakan secara hukum akibat dari
perbuatan yang dilakukannya atau belum.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai jenis sanksi terhadap
anak dalam konteks hukum positif yang secara rinci ternyata terdapat overlapping
dan kebijaksanaan yang tidak konsisten. Sedangkan pada hukum Islam
penjatuhan pidana bagi anak pelaku pencurian yang termasuk pada kategori
hukuman ta’zir pada dasarnya bersifat fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan
kondisi, pelaku jarimah-nya dan lebih variatif sebagai hukuman ta’zir yang cukup
luas. Karena sistem pemberian sanksi yang hanya bertumpu pada kebijakan hakim
tanpa ditunjang dengan kebijakan lainnya akan memberikan permasalahan baru
yang demikian kompleks.
Dari latar belakang masalah diatas maka penulis tertarik untuk
mengajukan skripsi yang berjudul “Pemidanaan Anak di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian Dalam Perspektif Hukum Islam” (Analisis Putusan No.
7
808/Pid.B/2011/PN.MKS), karena pemidanaan terhadap anak di bawah umur belum memperoleh kepastian hukum. Sehingga hal ini sangat penting untuk
dibahas sebagai judul skripsi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka perlu adanya
pembatasan dan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam pembahasan
skripsi ini. Untuk mengefektifkan dan memudahkan pengolahan data, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku tindak pidana
pencurian yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor:
808/Pid.B/2011/PN.MKS?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pelaku pencurian yang
dilakukan oleh anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materiil terhadap pelaku
tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Nomor:
808/Pid.B/2011/PN.MKS.
b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pelaku pencurian
2. Manfaat Penelitian
a. Memberikan masukan bagi pemerintah dalam menegakkan hukum di
Indonesia serta dalam upaya menyelesaikan permasalahan tindak pidana
pencurian yang dilakukan oleh anak.
b. Memberikan hasil penelitian terhadap khazanah keilmuan, khususnya di
bidang hukum pidana Islam terhadap pelaku pencurian yang dilakukan
oleh anak.
D. Kajian Terdahulu
Sebelumnya penulis melakukan tinjauan pustaka dengan tujuan untuk
mengkaji materi-materi terdahulu, khususnya mengenai pidana bagi anak pelaku
pencurian yang telah dibahas berupa penelitian pustaka.
Dari literature yang telah penulis telaah terdapat karya tulis berupa skripsi
yang dijadikan acuan awal oleh penulis, yaitu:
“Tindak Pidana Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan Hukum Positif (Analisis Putusan Nomor :
1210/PEN/PID.B/2009/PN.TNG)” oleh Achmad Laily Jurusan Perbandingan
Hukum 2006. Di dalam skripsi ini membahas tentang tindak pidana pencurian
yang dilakukan oleh anak di bawah umur, serta prosedur pemeriksaan dan
E. Metode Penelitian 1. Teknik Penelitian
Metode yang akan dipergunakan dalam penelitian ini, secara
kategorikal termasuk dalam jenis penelitian putusan kasus dan kepustakaan
(Library Research), yakni menjadikan bahan-bahan pustaka sebagai sumber
data yang berhubungan dengan objek pembahasan penelitian.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah menelaah putusan
kasus yang bersifat kualitatif yang dalam pengumpulan datanya menggunakan
putusan dan bahan pustaka yang tersedia, baik berupa data primer maupun
data sekunder.
a. Sumber Primer
Adapun data primer penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Hukum Pidana Islam dan Putusan No.
808/Pid.B/2011/PN.MKS.
b. Sumber Sekunder
Sedangkan data sekunder yaitu bahan pustaka, buku-buku, data-data
yang mempunyai relevansi dan dapat menunjang penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Setelah data-data kualitatif terkumpul, maka cara pengumpulan data
literalnya dilakukan dengan pengumpulan serta penggalian bahan-bahan
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi
ini adalah penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi yang
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2012”.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan pokok bahasan
secara sistematis yang terdiri dari lima bab, dan masing-masing terdiri dari
sub-sub bab sebagai perinciannya. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai
berikut:
Bab I : pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : tinjauan umum tentang pidana anak di Indonesia, pengertian pidana
dan hukuman, batas usia pemidanaan anak, kedudukan anak dalam
hukum positif.
Bab III : tindak pidana pencurian oleh anak, pengertian pencurian, tindak
pidana anak pelaku pencurian, ketentuan hukum mengenai pidana
bagi anak pelaku pencurian.
pelaku pencurian yang dilakukan oleh anak dalam putusan nomor:
808/Pid.B/2011/PN.MKS, analisis sanksi pemidanaan anak dalam
perspektif hukum Islam.
TINJAUAN UMUM TENTANG PIDANA ANAK DI INDONESIA
A. Pengertian Pidana dan Hukuman 1. Pengertian Pidana
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Di dalam
hukum modern, pidana juga meliputi apa yang disebut “tindakan” (tata tertib). Dalam pengertian hukum adat, istilah “pidana” dipersamakan dengan istilah
“reaksi”.1
Secara normatif, pidana juga dapat diartikan sebagai kerangka berpikir
tentang hukum, keberlakuannya, penerapannya, pembentukan, dan
penegakannya harus berdasar kepada segala bentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hukum tersebut. Pandangan ini mutlak
memberlakukan dogmatika hukum yang bersumber pada hukum positif,
sehingga memperhitungkan tentang faktor empiris yang mengukur manfaat
keberlakuan hukum dengan melihat kondisi atau fakta di masyarakat, disebut
pandangan positivistik.2
Di Indonesia, suatu pidana diatur dalam sebuah undang-undang hukum
pidana, yang mana berfungsi dalam mengatur tindakan pidana dan pidana
1
H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif,
(Yogyakarta: Lab Hukum FHUMY, 2008), h. 3.
2
yang terjadi dalam masyarakat, sehingga tercipta tata kehidupan yang tentram
dan selaras dengan aturan hukum yang ada.
Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang “soziarelevant”, artinya hukum hanya mengatur segala sesuatu yang
bersangkut paut dengan masyarakat. Hukum pidana pada dasarnya tidak
mengatur sikap batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila,3
sehingga sangat mungkin ada perbuatan yang secara kesusilaan sangat tercela,
tapi hukum pidana atau Negara tidak turun tangan di dalam aturan hukum atau
hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat.4
2. Pengertian Hukuman
Berbicara tentang hukum maka hukum terbagi menjadi dua, yaitu
hukum privat dan hukum publik yang mana hukum pidana termasuk di dalam
hukum publik, hal ini berlaku hingga dewasa ini. Dahulu di Indonesia,
tidaklah dipisah-pisahkan antara kedua hukum itu, sehingga gugatan baik
yang termasuk dalam hukum publik sekarang ini maupun yang termasuk
hukum privat dijatuhkan oleh pihak-pihak yang dirugikan.5
Istilah hukuman ini berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang
sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang
merupakan umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan
berubah-ubah karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang yang
3
Ibid., h. 6. 4
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 26.
5
cukup luas. Pidana (hukuman) ialah perasaan tidak enak (penderitaan
sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis pada orang yang
melanggar undang-undang hukum pidana.6
Penghukuman sering kali sinonim dengan pemidanaan seperti yang
dipaparkan Sudarto, yaitu : penghukuman berasal dari kata hukum, sehingga
dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hukumnya (berechten). Menetapkan hukum oleh suatu peristiwa itu tidak
hanya menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh
karena itu tulisan ini berkisar pada hukum pidana, sehingga istilah tersebut
harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang
kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan
pidana oleh hakim. Penghukuman di sini mempunyai makna sama dengan
sentence atau veroordeling.7
Dari pandangan Sudarto dapat diketahui bahwa penghukuman
merupakan sinonim dari pemidanaan, yang berdasarkan uraian dalam kamus
bahasa Indonesia digunakan istilah hukuman dalam arti khusus yaitu
penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang melanggar
undang-undang, yang dijatuhkan oleh hakim. Hal ini disebabkan tidak adanya atau
belum ada kesepakatan terhadap masalah hukuman ini, yang sama sering
6
R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional), h. 12.
7
71-ditemukan kata-kata hukuman 10 tahun penjara dan kadang didapati kata-kata
dipidana 10 tahun penjara, juga tidak bisa dikatakan bahwa tidak ada sarjana
yang tidak membedakan arti dari hukuman dengan pidana.
Sedangkan menurut Andi Hamzah, bahwa hukuman adalah suatu
pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau penderitaan atau suatu nestapa
yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana yang mana
Andi Hamzah berusaha membedakan kedua istilah tersebut adalah merupakan
suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.8
Lebih jauh lagi penuturan Tirtaamidjaja, bahwa hukuman adalah suatu
penderitaan, yang dikenakan oleh hakim kepada si terhukum karena
melanggar suatu norma hukum. Dan bahwa hukuman sebagai sanksi dari
suatu norma hukum tertentu adalah tanda dari hukum pidana itu, yang
membedakannya dari bagian-bagian hukum yang lain.9
Adapun yang dimaksud dengan hukum anak adalah sekumpulan
peraturan hukum, yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur
dalam hukum anak itu, meliputi : sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku
tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak,
hak-hak anak, pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian,
anak nakal, dan lain sebagainya.10
8
Ibid., h. 12. 9
Ibid., h. 16.
10
B. Batasan Usia Pemidanaan Anak
Dalam hal pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal anak
tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana.
“Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu”.11
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam
penentuan batasan usia anak diperoleh ketidaksamaan antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan kriteria
masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut.
Itu berarti bahwa seseorang yang usianya telah lebih dari 16 (enam belas)
tahun, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka ia dapat dikenakan sanksi pidana
sesuai dengan ketentuan pidana yang berlaku bagi orang dewasa.
Namun ketentuan dalam Pasal 45, 46 dan 47 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan sudah tidak berlaku lagi berdasarkan
ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak. Sedangkan jika kita tinjau pada batasan anak dalam KUHP sebagai korban
kejahatan seperti yang tercantum dalam BAB XIV Pasal 287, 290, 292, 294 dan
295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.
Sementara Pasal 330 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum perdata
menyatakan bahwa :
“Belum dewasa adalah mereka yang belum dewasa mencapai umur genap
21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”.
Dapat ditarik kesimpulan makna dari bunyi pasal tersebut adalah bahwa
seseorang yang genap berusia 21 tahun dan telah pernah menikah, dianggap telah
dewasa atau cakap berbuat hukum, maka semua akibat dari perbuatan hukum
yang dilakukan ditanggung sepenuhnya oleh yang bersangkutan.
Batasan usia dalam peraturan perundang-undangan jika dilihat dalam
hukum adat di Indonesia akan berbeda. Usia bukanlah menjadi suatu ukuran
seorang anak tersebut sudah dianggap dewasa atau belum.
Dalam hukum adat di Indonesia batasan umur untuk disebut anak bersifat
pluralistis. Dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi
disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya, misalnya : telah “kuat gawe”, “akil baliq”, “menek bajang”, dan lain sebagainya.12
Ditiap daerah di Indonesia ukuran kedewasaan seorang anak jika dilihat
dari hukum adatnya akan berbeda-beda, namun secara umum ada beberapa hal
yang bisa dijadikan pedoman untuk mengetahui batasan usia anak.
Di Indonesia sendiri sejak dibentuk Undang-Undang tentang Peradilan
Anak yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, memberikan batasan yang
12
tegas tentang atas usia pemidanaan anak di Indonesia. Dalam Pasal 4 disebutkan
bahwa :13
(1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun
dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan dapat diajukan ke sidang
pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur
tersebut tetapi belum mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan ke
sidang anak.
Jika pelaku kejahatan dilakukan oleh anak dibawah dari batas usia
minimum yang ditentukan atau belum berumur 8 tahun, dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditegaskan bahwa :
1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan
atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut
dapat dilakukan pemeriksaan atau penyidik.
2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh
orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut
kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi
oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan
anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar
pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
Jadi ada 2 (dua) alternatif yang dapat diambil yaitu, pertama jika anak
tersebut masih dapat dibina maka diserahkan kepada orang tua, wali atau orang
tua asuhnya, yang kedua adalah diserahkan kepada Departemen Sosial jika anak
tersebut sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
Pengelompokan anak berdasarkan pertimbangan umur sangatlah penting,
mengingat pada tiap tingkatan usia anak berbeda pula tingkat kematangan anak
dalam berpikir sehingga akan berbeda cara memperlakukan anak tersebut.
Yang terpenting seseorang tergolong dalam usia anak dalam batas bawah
usia seorang anak, yaitu 0 (nol) tahun batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai
dengan batas atas 18 tahun dan belum pernah kawin. Pengelompokan ini,
dimaksud untuk mengenal secara pasti faktor-faktor yang menjadi sebab-sebab
terjadinya tanggung jawab anak dalam hal-hal berikut ini.14
1. Kewenangan bertanggung jawab terhadap anak.
2. Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum.
3. Pelayanan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
4. Pengelompokan proses pemeliharaan.
14
5. Pembinaan yang efektif.
Batasan dari segi usia akan sangat berpengaruh pada kepentingan hukum
anak yang bersangkutan. Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat
kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang
dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental dan sosial anak menjadi
perhatian.15
Adanya batasan usia dimaksudkan agar ada perlindungan dan pembinaan
bagi anak, karena anak merupakan sumber daya manusia dan menjadi generasi
penerus bangsa.
C. Kedudukan Anak dalam Hukum Positif
Pengertian anak dalam hukum positif, dapat ditinjau dari berbagai aspek,
yaitu aspek hukum, aspek psikologis dan aspek biologis.
Pertama Anak ditinjau dari aspek hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa
anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin.
Kedua Anak ditinjau dari aspek psikologis. Proses perkembangan anak
terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada
paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak.
15
Ketiga Anak ditinjau dari aspek biologis dari lebih ditekankan pada
perubahan fisik seseorang. Zakiyah Drajat menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan remaja adalah salah satu dari unsur manusia yang paling banyak
mengalami perubahan, sehingga membawanya pindah dari masa anak menuju
masa dewasa, perubahan yang terjadi meliputi segala segi kehidupan manusia
yaitu jasmani, rohani pikiran, perasaan dan sosial. Biasanya dimulai perubahan
jasmani yang menyangkut segi seksual, biasanya terjadi pada umur 13-14 tahun.
Perubahan itu disertai dan diiringi oleh perubahan-perubahan lain, yang berjalan
sampai umur 20 tahun. Karena itu masa remaja dapat dianggap terjadi antara
umur 13 dan 20 tahun.
Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa seorang anak
diartikan sebagai manusia yang masih kecil atau belum dewasa.16 Di dalam Pasal
45 KUHP juga disebutkan bahwa : “Dalam menuntut orang yang belum cukup
umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, seorang
hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah (anak) dikembalikan kepada orang
tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau
memerintahkan si tersalah (anak) diserahkan kepada pemerintah dengan tidak
dikenakan suatu hukuman, yakni jika perbuatan itu termasuk bagian dari
kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490.
492, dan lain sebagainya.
16
Kedudukan anak yang dihukum dengan diserahkan kepada orang tua,
lembaga perawatan atau pembinaan, balai latihan kerja, atau lembaga sosial, tidak
dapat disebut sebagai gugurnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut
dan atau dihapuskannya hak anak menjalankan hukuman (penjara) dari anak
tersebut.
Adapun di dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang berhak
mendapat perlindungan hukum tidak memiliki batasan minimal umur.17 Dari anak
masih dalam kandungan, sampai ia berhak mendapatkan perlindungan. Dalam
Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak, yang disebut anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 (dua
puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Sedangkan dalam hukum perdata dijelaskan dalam Pasal 370 bab kelima
belas tentang kebelum dewasaan seseorang, yang berbunyi : belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu
kawin.18 Jadi anak adalah orang yang belum berumur 21 tahun dan belum
17
Redaksi Citra Umbara, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung: Citra Umbara, 2003), h. 4.
18
menikah. Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP, bahwa seseorang dikatakan masih
anak-anak haruslah mempunyai dua syarat, yakni :
1. Orang atau anak itu ketika dituntut haruslah belum dewasa, yang dimaksud
belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah
kawin dan bercerai sebelum berumur 21 tahun, maka ia telah dianggap
sebagai seseorang yang sudah dewasa.
2. Tuntutan itu mengenai perbuatan pidana pada waktu ia berumur 16 tahun.
Bismar Siregar dalam bukunya yang berjudul “Keadilan Dalam Berbagai
Aspek Hukum Nasional” menyatakan bahwa dalam masyarakat yang sudah
mempunyai hukum tertulis diterapkan batasan umur yaitu 16 tahun atau 18 tahun
ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan
lagi termasuk atau tergolong anak, tetapi sudah dikatakan dewasa.19
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak, disebutkan bahwa batasan anak adalah sebelum mencapai umur 21 tahun
dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir 1).20 Kemudian dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, membatasi usia anak di bawah
kekuasaan orang tua dan di bawah perwalian sebelum mencapai umur 18 tahun
(Pasal 47 ayat 1) dan Pasal 50 ayat (1).21 Dalam Undang-Undang Pemilihan
Umum, yang dikatakan anak adalah belum mencapai umur 17 tahun (Pasal 9 ayat
19
Bismar Siregar, Keadilan Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 105.
20
Redaksi Citra Umbara, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, (Bandung: Sinar Grafika, 1997), h. 52.
21
1). Sedangkan dalam Undang-Undang Peradilan Anak ditentukan batas minimal
dan maksimal usia anak, yaitu sekurang-kurangnya 8 tahun dan maksimal umur
24
TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK
A. Pengertian Pencurian
Secara etimologi pencurian adalah terjemahan dari bahasa arab yaitu
al-sariqah, yang berarti melakukan suatu tindakan terhadap orang lain secara
tersembunyi. Sedangkan secara istilah, mencuri disebut dengan suatu tindak
kejahatan mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi, baik dari
pandangan pemilik harta yang dicuri atau pihak lain menurut anggapan orang
yang mencurinya dengan tujuan untuk memiliki barang.1
Pencurian dapat dikatakan sebagai tindakan mengambil harta orang lain
dalam keadaan sembunyi, yaitu mengambilnya tanpa sepengetahuan dan kerelaan
pemiliknya, misalnya seseorang mengambil harta dari sebuah rumah ketika
pemiliknya sedang bepergian atau tidur.2
Sedangkan dalam tindak pidana pencurian dalam hukum positif adalah
Pencurian merupakan suatu perbuatan mengambil barang orang lain dengan
maksud untuk memilikinya. Pencurian dibagi menjadi dua yaitu pencurian
didalam bentuknya yang pokok disebut dengan pencurian biasa, dan pencurian
khusus atau biasa disebut dengan pencurian yang berkualifikasi. Tindak pidana
pencurian pertama yang diatur dalam bab XXII buku II Pasal 362 KUHP ialah
tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok, yaitu :
1
Wagiati Soetedjo, Hukum Pidana Islam, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 27. 2
“Barang siapa yang mengambil suatu benda sebagian benda atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum. Karena bersalah melakukan tindak pidana pencurian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah”.
B. Tindak Pidana Anak Pelaku Pencurian
Ahli hukum dan mantan Hakim Agung Republik Indonesia 1968, Sri
Widoyati Lokito, memberikan definisi kenakalan remaja dengan semua perbuatan
yang dirumuskan dalam perundang-undangan dan perbuatan lainnya yang pada
hakekatnya merugikan masyarakat yang harus dirumuskan secara terperinci
dalam Undang-Undang Peradilan Anak.3
Dalam Undang-Undang Peradilan Anak Pasal 1 ayat (2) menggunakan
istilah anak nakal,4 sedang pengertian anak adalah anak yang melakukan tindak
pidana atas anak yang menurut peraturan baik perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum yang dilarang dan ditetapkan dalam peraturan dan
berlaku dalam masyarakat.
Pemaparan tersebut melahirkan kesimpulan bahwa unsur dari perbuatan
atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak nakal adalah:
1. Perbuatan dilakukan oleh anak-anak
2. Perbuatan itu melanggar aturan atau norma
3. Perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.
3
Bentuk kenakalan anak yang didasarkan pada berbagai pengertian tentang
kenakalan anak yang dikemukakan oleh para pakar, misalnya oleh Moedikdo,
setidaknya terdapat tiga kategori perbuatan yang masuk dalam klasifikasi
kenakalan anak Juvenile Delinquency, yaitu sebagaimana dikutip B.
Simanjuntak.5
1. Semua perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa sementara perbuatan itu
menurut ketentuan hukum normatif adalah perbuatan pidana, seperti mencuri,
menganiaya dan lain sebagainya.
2. Semua perbuatan atau perilaku yang menyimpang dari norma tertentu atau
kelompok tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dalam masyarakat.
3. Semua aktifitas yang pada dasarnya membutuhkan perlindungan sosial,
semisal gelandangan, mengemis dan lain sebagainya.
Keseluruhan bentuk kenakalan anak baik yang diklasifikasikan
berdasarkan definisi maupun berdasarkan rujukan normatif (ketentuan hukum
pidana) tersebut selanjutnya dapat dibagi dalam 4 jenis, yaitu :
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti
perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan sebagainya.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian,
pencopetan, dan sebagainya.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban pihak orang lain, seperti
pelacuran dan penyalahgunaan obat terlarang (narkoba).
5
4. Kenakalan yang melawan status, seperti mengingkari status anak sebagai
pelajar dengan cara membolos sekolah, mengingkari status orang tua dengan
cara minggat dari rumah atau tidak taat atau membantah perintah dan lain
sebagainya.
C. Ketentuan Tindak Pidana bagi Anak Pelaku Pencurian menurut Hukum Positif
Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 362
KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggi-tingginya enam puluh rupiah”.
Menurut Sri Widoyati Lokito, banyak yang mempengaruhi pemidanaan
yang terdapat dalam Undang-Undang, yaitu :6
1. Hal-hal yang memberatkan pemidanaan
Hal-hal yang memberatkan pemidanaan dapat dibedakan menjadi dua
hal, yaitu :
a. Kedudukan sebagai pejabat
Menurut Pasal 52 KUHP, apabila seorang pejabat karena melakukan
tindak pidana dari jabatannya, maka kesempatan atau sarana yang
diberikan padanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiganya.
Misalnya seorang agen polisi diperintah untuk menjaga uang di Bank
Negara Indonesia, jangan sampai dicuri orang tetapi ia melanggar
kewajiban yang istimewa dalam jabatannya, maka pidananya dapat
ditambah sepertiganya.
b. Pengulangan tindak pidana (Recidive)
Barang siapa yang melakukan tindak pidana dan dikenakan pidana,
kemudian dalam waktu tertentu diketahui melakukan tindak pidana lagi,
dapat dikatakan pelakunya mempunyai watak yang buruk. Oleh karena itu,
undang-undang memberikan kelonggaran kepada hakim untuk
mengenakan pidana yang lebih berat. Menurut hukum pidana modern,
recidive itu dibedakan menjadi dua, yaitu : recidive kebetulan atau pelaku
kejahatan yang mengulangi kejahatannya karena terpaksa seperti karena
tuntutan ekonomi dan ada istilah recidive biasa yaitu pelaku kejahatn yang
melakukan kejahatannya karena merupakan suatu keiasaan recidive biasa
inilah yang harus diperberat pemidanaannya.
2. Hal-hal yang meringankan pemidanaan
a. Percobaan (poging)
Dalam Pasal 53 KUHP terdapat unsur-unsur dari delik percobaan
yaitu :
1) Harus ada niat
3) Pelaksanaan itu tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak
sendiri
Ancaman pidana itu hanya ditujukan terhadap percobaan
kejahatan, sedangkan untuk percobaan pelanggaran tidak bisa dikenakan
pidana.7
b. Pembantuan (medepllichtige)
Menurut Pasal 56 KUHP, barang siapa yang sengaja membantu
melakukan kejahatan dan memberi kesempatan dengan upaya atau
keterangan untuk melakukan kejahatan dalam hal pembantuan maksimum
pidana pokok dikurangi sepertiga. Dan bila diancam dengan penjara
seumur hidup, maka maksimum hukumannya 15 tahun.
c. Belum cukup umur (minderjarig)
Belum cukup umur (minderjarig) merupakan hal yang
meringankan pemidanaan karena usia yang asih muda belia itu
kemungkinan sangat besar dapat memperbaiki kelakuannya dan
diharapkan kelak bisa menjadi warga yang baik dan berguna bagi nusa dan
bangsa.
Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana timbul
pertanyaan, apakah setiap anak yang bersalah meakukan suatu tindak pidana
dapat dipertanggungjawabkan? pada mulanya, sistem pertanggungjawaban bagi
anak-anak didasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab, sistem yang
mendasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab dan batas usia tertentu bagi
seorang anak, tidak dianut lagi dalam hukum pidana di Indonesia dewasa ini.
Namun yang dianut sekarang adalah sistem pertanggungjawaban yang
menyatakan bahwa semua anak asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggung
jawab dan dapat dituntut.8
Bagi anak yang mampu bertanggung jawab masih tetap dimungkinkan
untuk tidak dipidana, terutama bagi anak yang masih sangat muda. Namun tidak
harus diartikan bahwa Undang-undang masih membedakan antara yang mampu
dan tidak mampu bertanggung jawab.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidan pokok dan pidana
tambahan atau tindakan. Dengan menyimak Pasal 23 ayat 23 (1) dan ayat (2)
diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal.
1. Pidana Pokok
Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal,
yaitu :
a. pidana penjara
b. pidana kurungan
c. pidana denda, atau
d. pidana pengawasan.
8
2. Pidana Tambahan
Pidana tambahan terdiri dari :
a. perampasan barang-barang tertentu
b. pembayaran ganti rugi.
3. Tindakan
Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak)
adalah :9
a. mengmbalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja.
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja.
Selain tindakan tersebut, hakim dapat memberi teguran dan
menetapkan syarat tambahan.
Penjatuhan tindakan oleh hakim dilakukan kepada anak yang
melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain.
Dalam segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih
berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang
telah melampaui umur di atas 12 (dua belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal ini
mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.10
Sedang rumusan pengenaan tindakan terhadap anak menurut Pasal 132
rancangan KUHP adalah :
a. pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya
b. penyerahan kepada pemerintah atau seseorang
c. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau
suatu badan swasta
d. pencabutan surat izin mengemudi
e. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
f. perbaikan akibat tindak pidana
g. rehabilitasi dan atau
h. perawatan di dalam suatu lembaga
4. Pidana Penjara
Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal
lamanya ½ (satu perdua) dari ancaman pidana orang dewasa atau paling lama
10 (sepuluh) tahun. Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati
maupun pidana seumur hidup. Dan sebagai gantinya adalah dijatuhkan salah
satu tindakan.11
10
Ibid., h. 12. 11
5. Pidana Kurungan
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal maksimal
setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi dewasa. Mengenai
apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang
dewasa, adalah maksimum ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana
yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau
Undang-undang lainnya (penjelasan Pasal 27).12
6. Pidana Denda
Seperti pidana penjara dan pidana kurungan maka penjatuhan pidana
denda juga dijatuhkan setengah dari maksimum pidana denda bagi orang
dewasa. Bila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan latihan
kerja selama 90 hari dengan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak
boleh dilakukan di malam hari. Tentunya hal demikian mengingat
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak serta
perlindungan anak.13
7. Pidana Bersyarat
Garis besar ketentuan pidana bersyarat bagi anak nakal sesuai dengan
rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Anak.14
12
Ibid., h. 30. 13
8. Pidana Pengawasan
Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak
yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap
perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan
pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
Anak nakal yang diputus oleh hakim untuk diserahkan kepada negara di
tempatkan di lembaga pemasyarakatan anak sebagai anak negara, dengan
maksud untuk menyelamatkan masa depan anak atau bila anak menghendaki
anak dapat diserahkan kepada orang tua asuh yang memenuhi syarat.15
15
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK
A. Penerapan Hukum Pidana Materiil Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS
Tindak pidana merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum yang
telah dilakukan baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja oleh seseorang
yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dan oleh
Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.1
Berikut kasus yang mengenai tindak pidana pencurian yang dilakukan
oleh anak dalam Studi Kasus Putusan Nomor: 808/Pid.B/2011/PN.MKS yang
disususn dalam bentuk dakwaan yaitu terdakwa melanggar Pasal 365 ayat (1), (4)
dan Undang-Undang darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam.
1. Posisi Kasus
Terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama Rahmat alias Bucek
(dewasa dan sidang tersendiri) pada hari Kamis tanggal 7 April 2011 pukul
23.00 WITA atau setidak-tidaknya dalam tahun 2011 bertempat di Jl. Dg.
Tata Raya Kota Makassar atau setidak-tidajnya tempat lain dalam daerah
hukum Peradilan Negeri Makassar, mengambil barang, seluruh atau sebagian
1
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
ancaman kekerasan, dimana perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara;
berawal terdakwa Rafli Yusuf alias Appi selaku anak dibawah umur sesuai
keterangan hasil ujian sekolah dasar tahun 2005/2006 lahir tanggal 4 Juni
1994 yang dibuat oleh Kepala Sekolah SD Impres Sambung Jawaya Kota
Makassar atas nama Sri Endang K, S.Pd.
Dimana saksi korban Pr. Israwati pulang kerja dengan dibonceng
sepeda motor oleh Lk. Mahardika melewati Jl. Daeng Tata dekat Pasar
Hartaco tiba-tiba sepeda motor Honda Beat putih yang dikendarai oleh
terdakwa yang berboncengan dengan Lk. Rahmat alias Bucek mendekati
korban dan memepet sepeda motor korban dimana terdakwa Rafli Yusuf
menarik tas selempangan yang berisi HP Nokia X2 warna hitam dan
surat-surat penting lainnya milik korban Pr. Israwati dari pundaknya, kemudian
korban terjatuh dari aspal jalan dan menderita luka lecet pada punggung kaki
kanan.
Terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama Rahmat alias Bucek
melarikan diri dan Lk. Rahmat alias Bucek meninggalkan sepeda motor di jalan dimana korban berteriak minta tolong dan mengatakan “jambret” dimana
warga dapat mengamankan terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan Lk. Rahmat
alias Bucek serta diamankan oleh Anggota Unit Khusus Polsekta Tamalate,
dimana terdakwa bersama Lk. Rahmat alias Bucek digeledah dan ditemukan 2
Rahmat alias Bucek, atas perbuatan terdakwa yang mengambil barang milik
korban Pr. Israwati sehingga korban mengalami kerugian yang ditaksir Rp.
1.500.000;- (satu juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar itu,
dan didukung Visum Et Refertum No.2351/M/RS/IV/2011 tanggal 7 April
2011 yang menerangkan bahwa Lk. Mahardika menderita luka lecet pada
punggung kaki kanan ukuran 2 x 2 x 0,5cm dengan kesimpulan karena
kekerasan benda tumpul, dibuat oleh dr. Yusnah Yusuf pada RSU Haji
Makassar. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 (1)
KUHP.
2. Dakwaan Penuntut Umum
Adapun surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama
Rahmat alias Bucek yang dibacakan pada persidangan dihadapan Hakim
Peradilan Makassar sebagai berikut:
Dakwaan Pertama Primair
korban dan memepet sepeda motor korban dimana terdakwa Rafli Yusuf menarik tas selempangan yang berisi HP Nokia X2 warna hitam dan surat-surat penting lainnya milik korban Pr. Israwati dari pundaknya kemudian korban terjatuh dari aspal jalan dan menderita luka lecet pada punggung kaki kanan, dimana terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama Rahmat alias Bucek melarikan diri dan Lk. Rahmat alias Bucek meninggalkan sepeda motor di jalan dimana korban berteriak minta tolong dan mengatakan “jambret” dimana warga dapat mengamankan terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan Lk. Rahmat alias Bucek serta diamankan oleh Anggota Unit Khusus Polsekta Tamalate, dimana terdakwa bersama Lk. Rahmat alias Bucek digeledah dan ditemukan 2 buah busur yang dibawa oleh terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan Lk. Rahmat alias Bucek, atas perbuatan terdakwa yang mengambil barang milik korban Pr. Israwati sehingga korban mengalami kerugian yang ditaksir Rp. 1.500.000;- (satu juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar itu, dan didukung Visum Et Referfum No.2351/M/RS/IV/2011 tanggal 7 April 2011 yang menerangkan bahwa Lk. Mahardika menderita luka lecet pada punggung kaki kanan ukuran 2 x 2 x 0,5cm dengan kesimpulan karena kekerasan benda tumpul, yang dibuat oleh dr. Yusnah Yusuf pada RSU Haji Makassar. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 (1) KUHP.
Dakwaan Subsidair
Appi dan Lk. Rahmat alias Bucek serta diamankan oleh Anggota Unit Khusus Polsekta Tamalate, dimana terdakwa bersama Lk. Rahmat alias Bucek digeledah dan ditemukan 2 buah busur yang dibawa oleh terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan Lk. Rahmat alias Bucek, atas perbuatan terdakwa yang mengambil barang milik korban Pr. Israwati sehingga korban mengalami kerugian yang ditaksir Rp. 1.500.000;- (satu juta lima ratus ribu rupiah) atau setidak tidaknya sekitar itu, dan didukung Visum Et Referfum No.2351/M/RS/IV/2011 tanggal 7 April 2011 yang menerangkan bahwa Lk. Mahardika menderita luka lecet pada punggung kaki kanan ukuran 2 x 2 x 0,5cm dengan kesimpulan karena kekerasan benda tumpul, dibuat oleh dr. Yusnah Yusuf pada RSU Haji Makassar. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 (1) ke-4 KUHP.
Dakwaan Kedua
Bahwa Ia terdakwa Rafli Yusuf alias Appi bersama Lk. Rahmat alias Bucek (dewasa dan sidang tersendiri) pada waktu dan tempat sebagaimana disebutkan dalam Dakwaan Pertama Primair tersebut diatas, tanpa hak menguasai, membawa senjata tajam berupa busur, dimana perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara; berawal terdakwa Rafli Yusuf alias Appi selaku anak di bawah umur sesuai keterangan hasil ujian sekolah dasar tahun 2005/2006 lahir tanggal 4 Juni 1994 yang dibuat oleh Kepala Sekolah SD Impres Sambung Jawaya Kota Makassar atas nama Sri Endang K, S.Pd bersama Lk. Rahmat alias Bucek tertangkap tangan oleh petugas polisi Polsekta Tamalate dimana terdakwa digeledah dan ditemukan membawa masing-masing busur, tanpa izi dari yang berwajib.
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 (1) UU RI Darurat No. 12 Tahun 1951 Lembaran Negara No. 78 Tahun 1951.
3. Tuntutan Penuntut Umum
Adapun tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya
sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa RAFLI YUSUF alias APPI terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana
Darurat No. 12/1951 LN No. 78/1951 sebagaimana dakwaan KESATU
dan KEDUA Penuntut Umum
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa dengan pidana
penjara selama 1 tahun dikurangkan dengan masa penahanan yang telah
dijalani terdakwa dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
3. Menyatakan barang bukti berupa:
1 buah tas selempangan warna coklat merk PRADA
1 unit motor Honda Beat warna putih DD 2880 JZ
Masing-masing dikembalikan kepada yang berhak
4. Menetapkan agar terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.000
4. Amar Putusan
Suatu proses peradilan dapat dikatakan berakhir apabila telah ada
putusan akhir. Dalam putusan akhir tersebut Hakim menyatakan pendapatnya
mengenai hal-hal yang telah yang dipertimbangkan yang berkenaan dalam
memutuskan perkara tersebut.
Pada hakekatnya Hakim diberi kewenangan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya. Namun
kewenangan tersebut harus berdasarkan pada undang-undang, norma-norma
Hakim dalam hal ini harus melihat dan memperhatikan dasar-dasar
tuntutan hukum yang diajukan kepada Terdakwa, dimana Hakim tidak boleh
memutus suatu perkara diluar tuntutan yang tercantum dalam surat dakwaan,
yang pada intinya kewenangan Hakim dalam memutus perkara dibatasi oleh
undang-undang.
Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan dari beberapa barang
bukti dan beberapa pertimbangan-pertimbangan, maka Hakim mengadili
dengan amar putusan sebagai berikut:
a. Menyatakan Terdakwa Rafli Yusuf alias Appi yang identitasnya seperti
tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “pencurian dengan membawa senjata
penikam”
b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 7 (tujuh) bulan;
c. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;
d. Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan;
e. Membebankan biaya perkara Terdakwa sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu
rupiah);
5. Penjatuhan Pidana
pertimbangan tersebut terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan
konteks yang paling penting dalam putusan. Hakim dan merupakan
unsur-unsur dari suatu tindak pidana, yang mana perbuatan Terdakwa tersebut telah
memenuhi syarat suatu tindak pidana yang didakwakan oleh Penuntut Umum.
Pertimbangan-pertimbangan yuridis ini langsung akan berpengaruh besar
terhadap amar putusan Majelis Hakim.
Dengan demikian diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Makassar
yang dilakukan pada hari Rabu, 13 Juli 2011 menyatakan dalam amar
putusannya bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat
(1), serta Pasal 2 (1) UU RI Darurat No.12/1951 LN No.78/1951, dan
menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan.
6. Analisis Kasus
Berdasarkan pasal-pasal yang dipersangkakan oleh para penyidik yang
telah dituangkan dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum nomor: PDM
630/Mks/Ep.1/05/2011 dan diterapkan dalam putusan nomor:
808/Pid.B/2011/PN.MKS. Dimana telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan
pidana dalam KUHP, yakni Pasal 365 ayat (1), dan Pasal 2 (1) UU RI Darurat
No. 12/1951 LN No.78/1951 yaitu tindak pidana pencurian dengan membawa
senjata penikam (busur) yang dilakukan oleh anak.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 2 ayat (1) berbunyi :
mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai
dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul,
senjata penikam, atau senjata penusuk, dihukum dengan hukuman penjara
setinggi-tingginya sepuluh tahun.
Rumusan surat dakwaan tersebut telah sesuai dengan hasil
pemeriksaan penyidikan untuk kemudian diajukan dalam persidangan.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum telah sesuai dengan Pasal-pasal yang
dipersangkakan kepada Terdakwa Rafli Yusuf alias Appi dan fakta-fakta yang
terungkap di persidangan. Hal ini dikarenkaan Terdakwa benar telah terbukti
dimuka persidangan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dalam
KUHP yaitu Pasal 365 ayat (1), serta Pasal 2 (1) UU RI Darurat No. 12/1951
LN No.78/1951.
Bilamana suatu perbuatan yang dapat dihukum menurut
Undang-Undang Darurat ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum,
maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada si
terdakwa.
Dapat dijelaskan bahwa pidana anak termasuk dalam sanksi pidana,
yakni sebuah sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak yang melakukan
terhadap anak tersebut, hanya sebagai upaya terakhir dan bukti alternatif
utama dalam pemidanaan anak.
B. Analisis Sanksi Pemidanaan Anak dalam Perspektif Hukum Islam
Istilah hukum pidana dalam bahasa Arab dikenal dengan jinayah, yang
merupakan bentuk masdar dari kata jana, yang secara etimologi berarti berbuat
dosa atau salah.2 Orang yang berbuat jahat disebut jani, sedangkan orang yang
dikenakan perbuatan disebut mujna ‘alaih.
Jadi, pengertian jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan.
Perbuatan yang diaramkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh syara‟. Apabila dilakukan memiliki konsekuensi yang akan membahayakan
agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.
Pada umumnya para fuqaha menggunakan istilah jinayah, hanya untuk
perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa ataupun anggota badan.
Oleh karena itu kejahatan seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya, secara
otomatis juga termasuk dalam pembahasan jinayah dan membatasi istilah ini
dengan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qisas.
Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah, maka pengertian jinayah
dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu : jinayah dalam pengertian luas dan jinayah
dalam pengertian sempit. Jinayah dalam pengertian luas berarti perbuatan yang
dilarang oleh syara’ yang dapat mengakibatkan hukuman had atau ta’zir.
2
Sedangkan dalam pengertian sempit berarti perbuatan yang dilarang syara‟ yang
dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta’zir.3
Yang dimaksud hukuman had adalah suatu sanksi yang ketentuannya
sudah ditetapkan dalam al-Qur‟an. Sedangkan hukuman ta’zir dijatuhkan dengan
mempertimbangkan berat ringannya pidana dan tuntutan kepentingan umum
dalam artian sanksi apa yang pantas dijatuhkan kepada pelaku pidana. Dalam
implementasinya sanksi ta’zir ini merupakan sanksi yang dijatuhkan oleh ulil
amri, bukan berdasarkan pada ketentuan pokok seperti pada hukum had.
Penggunaan istilah jinayah memiliki pengertian yang sama dengan istilah
jarimah baik dari segi etimologi maupun terminologi. Pada dasarnya istilah
jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi pengertian
jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian jinayah.
Dari segi etimologi jarimah merupakan bentuk masdar dari kata jarama
yang berarti berbuat salah.
Suatu perbuatan dinamakan jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau
delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau
masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata
aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal ini yang harus dipelihara
dan dijunjung tinggi keberadaannya.
Jarimah (tindak pidana) dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya
hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qiyas diyat dan ta’zir.4
Batasan yang dibuat oleh Allah SWT dan ia tidak boleh dilanggar
oleh sesiapa pun. Contohnya : kalau seseorang itu mengaku berzina, maka dia
wajib dihukum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Kalau dia
mengaku mencuri pula, maka diperbolehkan dikenakan sanksi atau hukuman, tapi
wajib dipotong tangannya kerana ia adalah satu batasan yang telah dibuat oleh
Allah SWT.
Hukuman Hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan
Allah di dalam al-Qur‟an. Hukuman Hudud ini adalah hak Allah yang tidak boleh
ditukar ganti hukumannya dan tidak boleh di ubah dan dipindah. Hukuman
Hudud tidak boleh dimaafkan oleh siapapun. Mereka yang melanggar
aturan-aturan hukum Allah, yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah/rasul-Nya yang
disebutkan di dalam al-Qur‟an adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang
zalim.
Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman Hudud ialah:
1. Berzina, yaitu melakukan persetubuhan tanpa nikah yang sah mengikut
hukum syara`.
2. Menuduh orang berzina (qazaf), yaitu membuat tuduhan zina kepada orang
yang baik lagi suci atau menafikan keturunannya, dan tuduhan itu tidak dapat
dibuktikan dengan empat orang saksi.
4