• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diplomasi multilateral six party talks dalam proses denuklirisasi Korea Utara periode 2003-2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diplomasi multilateral six party talks dalam proses denuklirisasi Korea Utara periode 2003-2009"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

DIPLOMASI MULTILATERAL SIX PARTY TALKS

DALAM PROSES DENUKLIRISASI KOREA UTARA

PERIODE 2003-2009

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Muhammad Nabil

109083000052

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis pengaruh diplomasi multilateral Six Party Talks terhadap proses denuklirisasi Korea Utara periode 2003-2009. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pencapaian serta kontribusi yang dihasilkan oleh Six Party Talks

dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009. Peneliti menemukan bahwa pengembangan nuklir Korea Utara mengundang kritik dari berbagai negara, karena dianggap mengancam keamanan kawasan. Pendirian awal Six Party Talks yang bertujuan untuk menyelesaikan isu nuklir Korea Utara ternyata belum mampu menghentikan nuklir yang dikembangan Korea Utara. Walaupun pada akhirnya tercapai sebuah kesepakatan, akan tetapi kesepakatan tersebut belum mampu diimplementasikan. Pendapat ini kemudian dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat perkembangan nuklir Korea Utara dari tahun ke tahun, mengamati proses pembicaraan Six Party Talks, serta memperhatikan faktor-faktor penghambat Six Party Talks dalam melakukan denuklirisasi di Korea Utara. Kemudian melihat pencapaian-pencapaian yang telah dihasilkan oleh Six Party Talks

selama 2003-2009 dan selanjutnya dianalisa menggunakan kerangka teori.

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah Realis, kebijakan luar negeri, dan diplomasi multilateral. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Dari hasil analisa dengan menggunakan kerangka pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa Six Party Talks telah memberikan kontribusi bagi perkembangan isu nuklir Korea Utara, sebagaimana yang tertuang dalam ketiga kesepakatan bersama yang telah dicapai Six Party Talks. Kontribusi tersebut antara lain, Six Party Talks mampu menjadi sarana diplomasi dan negosiasi, mendorong proses pembongkaran program nuklir Korea Utara, memperbaiki hubungan antar anggota Six Party Talks, menjaga perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung Korea dan Asia Timur, serta meningkatkan kerjasama antara anggota

Six Party Talks dengan Korea Utara. Kontribusi yang diberikan Six Party Talks

belum dapat menyelesaikan isu nuklir Korea Utara secara keseluruhan karena hambatan yang dihadapi Six Party Talks. Alasan terhambatnya usaha Six Party Talks,

disebabkan oleh adanya konflik kepentingan antar anggota Six Party Talks, pengaruh

Juche Idea dan Songun Policy, serta ketiadaan aturan yang mengikat secara hukum (non-legally binding).

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Allah SWT, Pemilik dan pemelihara seluruh alam raya beserta isinya, atas limpahan nikmat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Shalawat bermutiarakan salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjadi tauladan dan panutan terbanyak di dunia. Akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Diplomasi Multilateral Six Party Talks Dalam Proses Denuklirisasi Korea Utara Periode 2003-2009.” Tugas akhir ini dikerjakan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Program Studi Hubungan Internasional. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari proses pembelajaran selama ini, karena belajar tidak mengenal batas waktu dan tempat.

Terselesaikannya skripsi ini, tentunya tidak lepas dari dorongan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Teguh Santosa, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta banyak membantu dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas nasihat dan masukan yang diberikan selama proses skripsi ini berjalan.

2. Bapak Drs. Aiyub Mohsin, MA, MM,. dan Ibu Mutiara Pertiwi, MA., selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan waktunya untuk membaca dan mengujikan skripsi ini.

3. Bapak Kiki Rizky, M.Si, selaku Ketua Prodi Hubungan Internasional, serta Bapak Agus Nilmada Azmi, S. Ag M.Si, selaku Sekretaris Prodi Hubungan Internasional.

4. Bapak Arisman, M.Si, selaku dosen sekaligus mentor penulis yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkarya di Pusat Kajian Asia Tenggara (CSEAS) dan banyak memberikan pengalaman berharga selama bergabung dalam organisasi ini.

(7)

vii

mengajarkan dan mengarahkan penulis dalam bidang keilmuan Hubungan Internasional.

6. Ibu Dr. Adriana Elisabeth, terima kasih atas waktu dan bantuan yang diberikan selama wawancara yang dilakukan dengan penulis.

7. Tidak lupa skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis. Untuk Papa dan Mama, H. Ahmad Jauhar Tanwiri dan Hj. Eti Cahyati yang dengan sabar dan tiada hentinya memberikan motivasi serta doa demi terselesaikannya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat mengeringkan keringat, menghapus air mata, dan membayar semua pengorbanan yang telah Papa Mama berikan selama ini.

8. Tidak lupa pula untuk saudara-saudara penulis: Teh Syaima, Aa Romzi, Irsyad, dan Faiha yang telah mendampingi penulis dengan penuh kasih sayang dan selalu memberikan dukungan untuk tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Tetaplah menjadi anak kebanggaan orang tua. 9. Sahabat terbaik dan seperjuangan penulis dalam menyelesaikan tulisan ini,

yaitu Arif Rahman, Corryatul Fillacano, Fajar Shidiq, Edwin Saputra, Dafi Hifdzillah, Andri Zainal, dan Amrullah Rafioeddin, yang telah bersama-sama berjuang dalam suka dan duka, saling berbagi pengalaman, pencerahan, motivasi, dan banyak memberi masukan kepada penulis.

10.Teman-teman sepermainan, khususnya anggota grup Pakzi: Baihaqi, Rizki, Mel, Elva, Novi, Ayu, Algi, Riza, Dwi. Terima kasih atas berbagai trip kita selama ini. Semoga perjalanan kita akan berlanjut di masa yang akan datang. 11.Teman-teman Hubungan Internasional, khususnya kelas B angkatan 2009,

selaku rekan sekelas penulis yang banyak memberi saran dan inspirasi dalam penulisan penelitian ini.

12.Teman-teman senior penulis yang selalu memberikan senyum dan memberikan masukan terhadap diri penulis: Kang Wadiin, Mas Zainudin, Bang Salman, Kiki, Abib, Fitria, Yeni, Dida, Akmal. Para junior kece yang telah berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini: Gus Ibad, Bung Arya, Bisti, Afina, dan Zahra.

(8)

viii

14.Kepada seluruh kolega dari berbagai acara dan organisasi yang pernah penulis geluti selama kuliah, Delegates of UIN Jakarta for HNMUN dengan pengalaman Amerika nya, Center for Southeast Asian Studies dengan

research dan ASEAN trip, Global Citizen Corps dengan proyek-proyek sosialnya, International Studies Club dengan Model United Nations,

Volunteer Nation dengan pengalaman volunteerism nya.

15.Wanita-wanita hebat yang selalu menemani penulis dalam berbagai pengalaman dan semangat dalam menjalani proses perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

16.Terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah berjasa dan terlibat dalam penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah membantu menyelesaiakan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Semoga karya penelitian tugas akhir ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi banyak pihak demi kemaslahatan bersama serta bernilai ibadah dihadapan Allah SWT. Amin.

(9)

ix

BAB II PERKEMBANGAN PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA A. Sejarah Perkembangan Program Nuklir Korea Utara………19

1. Asal Mula Pembangunan Program Nuklir Korea Utara Tahun 1959-1970)……….………....20

2. Perkembangan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1970-1994)………..……….22

3. Peluncuran Uji Coba Nuklir Korea Utara………..26

B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya……….28

BAB III TUJUAN DAN PERKEMBANGAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA A. Sejarah Pembentukan Six Party Talks……….37

B. Tujuan Pendirian dan Perkembangan Six Party Talks……….43 BAB IV IMPLEMENTASI TUJUAN-TUJUAN SIX PARTY TALKS DALAM

(10)

x

A. Pencapaian Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di

Korea Utara..………..55

1. Pencapaian dalam Six Party Talks………..55 2. Implementasi hasil pencapaian Six Party Talks………58

a. Six Party Talks sebagai Sarana Diplomasi dan

Negosiasi………59

b. Pembongkaran Program Nuklir Korea Utara……….60 c. Normalisasi Hubungan antar Anggota Six Party Talks......62 d. Meningkatkan Kerjasama Negara Anggota Six Party Talks

dengan Korea Utara………66 e. Menjaga Perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung

Korea ………...………..69

B. Faktor Penghambat Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara……….73 1. Konflik Kepentingan (Conflict of Interests)………..73

2. JucheIdea dan Songun Policy………….77

3.Ketiadaan Aturan yang Mengingkat Secara Hukum (Non- Legally

Binding)……….80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………84

DAFTAR PUSTAKA ………...xiii

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel III.B.1 Perkembangan Pertemuan Six Party Talks…………...50

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Kerangka Persetujuan (Agreed Framework) 1994…..…... xx Lampiran II Pernyataan Bersama (Joint Statement) 19 September 2005.….xxiii Lampiran III Perjanjian 13 Februari 2007 (Beijing Agreement)…………... xxvi

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Energi nuklir pertama kali dibuat percobaan pada 1896 oleh fisikawan Perancis yang digunakan sebagai sumber energi. Semakin meningkatnya permintaan energi setiap negara, maka mendorong negara-negara besar seperti Jerman, Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Perancis, dan Cina untuk mengembangkan sumber energi baru yang dapat menghasilkan energi dalam jumlah besar. Dengan energi nuklir, manusia dapat mengekstrak lebih banyak panas dan listrik dari jumlah yang diberikan dibandingkan sumber lainnnya dengan jumlah yang setara (Herbst 2007, h.128).

(14)

2

mampu dikembangkan menjadi sebuah senjata yang kita kenal saat ini sebagai senjata nuklir.

Ketika mengetahui Jerman sedang mengembangkan teknologi nuklirnya, maka Amerika Serikat bersama Inggris dan Kanada pada tahun 1942 membangun sebuah proyek bersama pembuatan bom atom untuk melawan proyek bom atom Nazi Jerman yang dikenal sebagai Manhattan Project (Molander dan Nichols 1985, h.33). Setelah Manhattan Project dianggap berhasil, Uni Soviet, Perancis, dan Cina mengikuti langkah yang dilakukan Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada tersebut untuk melindungi negaranya dari berbagai ancaman serangan yang datang dari luar (Ardisasmita dan Bunjamin 2010, h.56)

Kepemilikan program nuklir yang dilakukan negara-negara di atas ternyata mendorong negara lain seperti Korea Utara untuk mengembangkan juga program modern tersebut. Pembangunan program nuklir Korea Utara diawali selama kurun waktu enam tahun dari 1959-1965. Pada periode ini, bantuan Uni Soviet sangat membantu dalam pembentukan fasilitas nuklir Yongbyon, karena Uni Soviet membantu secara langsung dalam pembentukan dan pengawasan terhadap fasilitas nuklir tersebut (Niksch 2003, h.6).

(15)

3

h.47). Hal tersebut membuat Korea Utara percaya diri melakukan tes peluncuran nuklirnya tahun 1998. Uji coba peluncuran nuklir Korea Utara mengundang berbagai kritik negara lain, khususnya negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina karena dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kawasan Asia Timur yang dapat berujung pada peperangan.

Untuk mencegah situasi yang semakin tidak kondusif di Asia Timur, maka dibuatlah sebuah usaha diplomatik. Dalam upaya tersebut, AS sangat berperan dalam mendesak denuklirisasi di Korea Utara, yaitu sebuah proses terwujudnya penghapusan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara (Kimball 2012). Usaha diplomatik yang dilakukan adalah memprakarsai perundingan multilateral yang dikenal dengan Six Party Talks pada tahun 2003.

Six Party Talks yang dibentuk Agustus 2003 merupakan serangkaian upaya multilateral untuk menggandeng Korea Utara kembali bergabung ke dalam meja perundingan yang melibatkan AS, Rusia, Jepang, Cina, Korea Selatan (Ceuster & Melissen 2008, h.11). Six Party Talks ini bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara melalui proses negosiasi. Pembicaraan dibangun sebagai respon terhadap pengunduran diri Korea Utara dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir pada Januari 2003 (Gershman 2005).

(16)

4

putaran pertama ini, Wakil Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menguraikan enam poin konsensus yang telah disepakati pada akhir pertemuan. Salah satu poin tersebut mewajibkan semua anggota berkomitmen mengatasi isu nuklir secara damai melalui dialog serta menghindari tindakan yang dapat memperburuk situasi (Liang 2012).

Pada putaran selanjutnya, sikap Korea Utara mulai melunak dan bersedia berkompromi. Hal ini ditunjukkan dengan penawaran Korea Utara untuk memusnahkan program senjata nuklirnya, tetapi tetap dengan melanjutkan aktivitas program teknologi nuklirnya untuk tujuan damai. Sebagai imbalan, Korea Utara meminta uang ganti rugi untuk proses pembuangan senjata nuklirnya tersebut. Tawaran tersebut dilanjutkan dalam putaran keempat sesi dua pada September 2005, ketika para anggota Six Party Talks merumuskan pernyataan bersama (joint statement) dalam menyetujui langkah terhadap denuklirisasi di Semenanjung Korea (Ceuster & Melissen 2008, h.11).

(17)

5

Pencapaian Joint Statement telah membuka harapan baru dalam penyelesaian masalah nuklir Korea Utara. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya ternyata tidak mudah, dimana perundingan sempat memburuk ketika AS menjatuhkan sanksi dengan membekukan rekening milik Korea Utara di Banco Delta Asia (BDA) Macau untuk menghindari pemalsuan dolar oleh Korea Utara (Park dan Kim 2012, h.81). Akibatnya Korea Utara memboikot penyelenggaraan Six Party Talks dan meluncurkan kembali serangkaian tes rudal balistiknya pada 5 Juli 2006 (Ceuster & Melissen 2008, h.46). Uji coba rudal Korea Utara tersebut menyebabkan turunnya resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam peluncuran rudal Korea Utara.

Pada Februari 2007 Korea Utara berhasil digandeng kembali oleh Cina untuk dapat kembali ke meja perundingan setelah AS menyetujui untuk menghapus Korea Utara dari daftar negara penyokong terorisme dan mencairkan dana Korea Utara di Banco Delta Asia Macau (Ceuster & Melissen 2008, h.47).

(18)

6

Pada Juni 2007, secara resmi Badan Atom Dunia (IAEA) mengonfirmasikan bahwa reaktor nuklir Yongbyon telah di nonaktifkan dan ditutup. Korea Utara juga berkomitmen untuk tidak mentransfer bahan nuklirnya.

Pada 13 November 2008 Korea Utara menolak proposal yang diajukan AS untuk mengizinkan pemeriksaan seluruh situs nuklir Korea Utara. Selama ini, pemeriksaan hanya dibatasi untuk fasilitas nuklir Yongbyon saja (Ceuster & Melissen 2008, h.32).

AS terus mendesak Korea Utara untuk mengizinkan pemeriksaan di luar fasilitas nuklir Yongbyon. Namun, Korea Utara tetap teguh pada penolakannya. Karena tidak adanya mutual understanding antar kedua pihak, maka pertemuan Six Party Talks dihentikan sementara waktu. Hal ini berujung pada krisis nuklir berikutnya ketika Korea Utara melakukan kembali tes uji coba rudal balistiknya pada 5 April 2009. Korea Utara sendiri mengundurkan diri dari Six Party Talks pada 14 April 2009. Setelah pengunduran dirinya, Korea Utara kembali melakukan tes uji coba nuklir bawah tanahnya pada 25 Mei 2009 (Kimball 2012).

(19)

7

kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan yang sempat terhenti pada tahun 2006.

Pembahasan mengenai keamanan di Semenanjung Korea sudah pernah dibahas sebelumnya oleh Timothy S. Reed dalam jurnalnya The Korean Security Dilemma: Shifting Strategies Offer a Way pada 2002. Timothy membahas mengenai pandangannya terhadap permasalahan dilema keamanan (security dilemma) di Semenanjung Korea sejak bergulirnya perang tahun 1950-1953.

Amerika Serikat (AS) yang memiliki kepentingan menjaga proliferasi nuklir dunia, ternyata juga memiliki pengaruh besar menjaga keamanan di Semenanjung Korea. AS merasa bahwa Korea Utara merupakan ancaman serius bagi masa depan keamanan di kawasan Semenanjung Korea. Dalam menghadapi ancaman Korut tersebut, jika dilihat dari sudut pandang Realis, AS akan tetap mengedepankan opsi militer apabila Korut menyerang Korea Selatan yang merupakan sekutu AS dan sangat menggantungkan keamanannya kepada AS.

Telah terdapat penelitian yang membahas mengenai Krisis Nuklir Korea Utara. Aditia Harisasongko dalam skripsinya yang berjudul “Diplomasi Amerika Serikat terhadap Korea Utara dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Nuklir di

(20)

8

Dalam skripsinya tersebut dijelaskan bahwa terdapat dua perbedaan mendasar mengenai kebijakan dalam menangani krisis tersebut. Clinton cenderung menggunakan hubungan bilateral dengan pendekatan halus. Sementara itu, Bush cenderung menggunakan forum multilateral yang digabungkan dengan pendekatan keras seperti sanksi ekonomi, pembekuan aset Korea Utara, hingga ancaman militer. Namun, walaupun terdapat perbedaan gaya, keduanya tetap memberikan kompensasi ketika Korea Utara bersedia menutup fasilitas nuklirnya.

Sedangkan Fina dalam skripsinya uang berjudul “Upaya Menuju Denuklirisasi Korea Utara Oleh Negara Anggota Six Party tahun 2006-2009”

menjelaskan secara umum mengenai peranan Six Party Talks periode 2006-2009. Dalam penelitiannya, ia menggunakan pendekatan teori resolusi konflik, dimana mediasi menjadi salah satu cara efektif dalam menyelesaikan konflik secara damai.

Fina juga menganalisa bahwa nuklir yang dikembangkan Korea Utara akan membuat Korea Utara lebih kuat dari Korea Selatan dan memberikan jaminan keamanan bagi Korea Utara yang selama ini tidak ditawarkan oleh negara manapun dalam komunitas internasional. Selain itu, pengembangan nuklir tersebut untuk menangkal serangan AS dan memperkecil ketergantungan Korea Utara terhadap Cina dan Uni Soviet.

(21)

9

khusus menjelaskan mengenai pencapaian dalam Six Party Talks periode 2003-2009 dan hambatan-hambatan yang dihadapai selama pembicaraan berlangsung. Untuk itu penelitian ini akan difokuskan mengenai apa saja pencapaian yang telah didapat dalam diplomasi multilateral Six Party Talks terhadap denuklirisasi Korea Utara periode 2003-2009 dengan menggunakan pendekatan Realisme, teori kebijakan luar negeri, dan konsep diplomasi multilateral. Pemilihan periode 2003-2009 dikarenakan Korea Utara mulai menjadi anggota Six Party Talks pada 2003 dan menyatakan pengunduran dirinya dari keanggotaan Six Party Talks tahun 2009.

B. Pertanyaan Penelitian

1. Apa pencapaian Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009?

2. Apa faktor-faktor yang menghambat Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Dengan mengetahui pencapaian Six Party Talks, maka dapat memberikan gambaran mengenai kontribusi yang telah dihasilkan Six Party Talks dalam mewujudkan denuklirisasi di Korea Utara periode 2003-2009.

2. Menganalisa faktor-faktor penghambat Six Party Talks dalam denuklirisasi di Korea Utara.

(22)

10

4. Sebagai penambah wawasan bagi mahasiswa Hubungan Internasional, khususnya mengenai peranan sebuah diplomasi multilateral.

D. Kerangka Pemikiran

Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini menggunakan perspektif Realisme, teori kebijakan luar negeri, dan konsep diplomasi multilateral.

1. Perspektif Realisme

Dalam perspektif Realisme, negara memiliki karakteristik yang sama dengan manusia. Dalam level internasional, negara direpresentasikan oleh States Men. Oleh karenanya, negara merupakan aktor utama dalam Hubungan Internasional. Politik domestik merefleksikan politik internasional. Asumsi dasar Realisme sebagaimana yang dikemukakan Morgenthau, bahwa dasar dari hubungan internasional yaitu struktur yang anarki, yang membuat posisi negara menjadi sejajar dalam struktur internasional (Burchill & Linklater 1996, h.104).

Negara juga bersifat egois, self help, dan kompetitif dalam mencari jaminan keamanan. Sifat negara yang kompetitif tersebut menciptakan pertarungan power

(23)

11

Struktur yang anarki membuat setiap negara merasa terancam dari negara lainnya. Dalam keadaan anarki, setiap negara harus menolong dirinya sendiri (self help). Negara tidak dapat percaya begitu saja pada negara lain, sehingga setiap negara harus mencari cara sendiri untuk dapat bertahan, terutama meningkatkan kekuatan militernya (Hara 2011, h.36).

Jackson dan Sorensen (Suryadipura, terjemah 2005, h.112) menambahkan bahwa kompetisi yang anarki tersebut menyebabkan adanya distribusi kapabilitas. Dengan adanya distribusi kapabilitas ini, struktur bersandar pada major units yaitu

great power. Oleh karena itu, setiap negara percaya bahwa semakin besar power negara, maka akan semakin besar potensinya memenuhi kepentingan nasional negaranya.

(24)

12 2. Teori Kebijakan Luar Negeri

Politik Luar negeri suatu negara menentukan interaksi antarnegara dalam menentukan hubungannya dengan negara lain. Dalam mempelajari politik luar negeri, pengertian dasar yang harus kita ketahui yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke

negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah, serta sasaran, untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam ruang lingkup dunia internasional (Perwita & Yani 2005, h.47). Oleh karena itu kebijakan luar negeri (foreign policy) suatu negara merupakan elemen yang sangat penting dalam upaya pencapaian kepentingan nasional suatu negara.

Holsti menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri adalah ide atau gagasan atau tindakan yang dirumuskan oleh pembuat keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah, melakukan perubahan dalam kebijakan, sikap atau tindakan suatu negara, aktor non-negara atau lingkungan dunia (1992, h.82).

Faktor-faktor eksternal mempengaruhi substansi kebijakan luar negeri yang meliputi kondisi perekonomian dunia, struktur sistem internasional, kebijakan dan tindakan negara lain, hukum internasional, masalah global dan regional yang muncul dari kegiatan individual, serta opini global (Holsti 1992, h.271-288).

(25)

13

pemerintahan, letak geografis, opini publik, pertimbangan etis, serta birokrasi (Holsti 1992, h.271-274).

Holsti dalam bukunya International Politics : A Framework of Analysis

(1992, h.98) menyebutkan bahwa:

Orientasi dasar politik luar negeri ada tiga. Pertama disebut isolasi dimana untuk menjaga kepentingannya, negara memilih membatasi hubungannya dengan negara lain. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Korea Utara dalam setiap kebijakan luar negerinya. Kedua yaitu nonalignment atau non-blok dan sering juga disamakan dengan netralitas. Ketiga yaitu pembuatan koalisi dan pembangunan aliansi. Berbeda dengan isolasi, orientasi yang ketiga ini berangkat dari ketidakmampuan negara, baik dalam pertahanan maupun ekonomi, untuk berdiri sendiri. Jadi karena itulah mereka berusaha melakukan koalisi diplomatik dan melakukan aliansi militer untuk melinduungi pertahanan negaranya.

Kebijakan luar negeri suatu negara akan mempengaruhi hubungan antarnegara. Kebijakan luar negeri tersebut mencerminkan kepentingan dalam negeri nya yang akan dipromosikan ke luar negeri. Dengan kata lain kebijakan luar negeri suatu negara merupakan bagian dari politik dalam negerinya dan oleh karenanya kebijakan luar negeri dan politik dalam negeri memiliki tujuan yang sama (Dipoyudo 1989, h.47).

3. Konsep Diplomasi Multilateral

(26)

14

dasar yang menyebabkan negara-negara melakukan diplomasi yakni adanya kepentingan bersama (common interest) dan adanya isu yang dipersengketakan (issues of conflict).

Hannah Slavik mendefinisikan istilah diplomasi sebagai sebuah seni dari praktek negosiasi yang dilakukan oleh wakil negara (2007, h.188). Adapun wakil negara yang dimaksud dapat berarti pejabat senior, menteri, kepala pemerintahan, diplomat, atau kedutaan besar. Pertemuan yang dilakukan antar wakil-wakil negara satu dengan wakil negara lainnya bertujuan untuk merundingkan suatu permasalahan agar dapat mencapai hasil yang bisa diterima oleh semua pihak.

Berdasarkan aktornya, diplomasi ada yang bersifat bilateral (dua negara), regional (negara-negara kawasan), dan multilateral (banyak negara). Maka dalam penelitian ini terjadi diplomasi multilateral yang melibatkan banyak negara. Diplomasi multilateral dapat didefinisikan sebagai negosiasi dan diskusi yang memungkinkan tindakan kolektif dan kerjasama antar negara ataupun aktor non-negara (Langhorne 2000).

(27)

15

mediator yang memiliki kekuasaan penuh dapat menyelenggarakan konferensi multilateral sebagai upaya memulai negosiasi bilateral untuk membahas masalah mendasar yang sebelumnya diselenggarakan di tempat lain .

Dalam diplomasi multilateral, komunikasi dilakukan secara verbal melalui diskusi dan perdebatan. Diplomasi semacam ini ditandai dengan adanya beragam masalah yang akan dibahas, ruang lingkup yang lebih luas, dan jumlah negara yang hadir (Rumintang 2008, h.31). Diplomasi multilateral memiliki berbagai keuntungan. Pertama, kemungkinan mengkonsolidasikan perpecahan. Suatu masalah dapat tetap diamati terus menerus. Kedua, memunculkan sebuah lobby untuk menyelesaikan masalah.Selanjutnya, negara-negara yang membutuhkan dapat diberikan bantuan teknis (Djelantik 2008, h.142).

E. Metode Penelitian

(28)

16

yang secara utuh dan akan dijelaskan secara deskripsi dalam bentuk kata-kata (Moleong 1988, h.6).

Proses penyusunan dilaksanakan melalui beberapa langkah. Pertama, metode pengumpulan data. Sumber pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti (responden), seperti wawancara dengan salah satu ahli isu nuklir Korea Utara dan Six Party Talks

(Moleong 1988, h.18). Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, melalui dokumentasi seperti buku, koran, jurnal, artikel, laporan resmi, arsip-arsip, dan data dari situs internet lembaga resmi atau institusi.

Kedua, setelah data terkumpul, lalu diadakan pemisahan terhadap data tersebut dengan mengklasifikasikannya. Dalam tahap ini, maka akan dipilih data sedemikian rupa sehingga hanya data yang berkaitan saja yang digunakan. Ketiga, pertanyaan penelitian akan dianalisa sesuai dengan kerangka pemikiran. Setelah tahap-tahap sebagaimana telah diuraikan tersebut, maka langkah selanjutnya adalah menyusun laporan.

F. Sistematika Penulisan

(29)

17 I. Tujuan dan Manfaat Penelitian J. Kerangka Pemikiran

1. Perspektif Realisme

2. Teori Kebijakan Luar Negeri 3. Konsep Diplomasi Multilateral K. Metode Penelitian

L. Sistematika Penulisan

BAB II PERKEMBANGAN PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA B. Sejarah Perkembangan Program Nuklir Korea Utara

1. Asal Mula Pembangunan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1959-1970)

2. Perkembangan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1970- 1994) 3. Peluncuran Uji Coba Nuklir Korea Utara

B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya

BAB III TUJUAN DAN PERKEMBANGAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA

C. Sejarah Pembentukan Six Party Talks

D. Tujuan Pendirian dan Perkembangan Six Party Talks

BAB IV IMPLEMENTASI TUJUAN-TUJUAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA

A. Pencapaian Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara.

1. Pencapaian Six Party Talks

2. Implementasi hasil pencapaian Six Party Talks

(30)

18

b. Pembongkaran Program Nuklir Korea Utara

c. Normalisasi Hubungan antar Anggota Six Party Talks

d. Meningkatkan Kerjasama Negara Anggota Six Party Talks

dengan Korea Utara

e. Menjaga Perdamaian dan Stabilitas Kawasan Semenanjung Korea

B. Faktor Penghambat Six Party Talks dalam Mewujudkan Denuklirisasi di Korea Utara

1. Konflik Kepentingan (Conflict of Interests) 2. JucheIdea dan Songun Policy

3. Ketiadaan Aturan yang Mengikat secara Hukum (Non- Legally Binding)

BAB V PENUTUP

(31)

19 BAB II

PERKEMBANGAN PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA

A. Sejarah Perkembangan Program Nuklir Korea Utara

Perkembangan teknologi nuklir Korea Utara berawal sejak berakhirnya Perang Korea (1950-1953), sebuah perang yang digambarkan sebagai “Proxy War” pertama atau perang yang terjadi antara dua negara yang menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti untuk berperang satu sama lain secara langsung pada masa Perang Dingin (Powell 1990, h.12). Keberpihakan Korea Utara dengan Blok Timur, membuat Korea merasa terancam dari serangan nuklir yang dilancarkan Amerika Serikat (AS). Ancaman tersebut memaksa Pyongyang untuk mengembangkan teknologi nuklir secara reaksioner (Pinkston 2008, h.5).

(32)

20

dari Kim Sung Il kepada Kim Jong Il (5) Untuk mengurangi ketergantungan pada Cina dan Rusia.

Pendapat Mazaar di atas berbeda dengan pengakuan Korea Utara, sebagaimana yang disampaikan dalam pidato Kim Jong Un di depan petinggi partai pekerja Korea Utara menjelaskan bahwa motif pengembangan nuklir Korea Utara dilandasi oleh beberapa poin yaitu: (1) Terinspirasi oleh gagasan Juche dan Songun

dimana militer memiliki prioritas khusus. Salah satu prioritas tersebut diantaranya bahwa senjata merupakan garis hidup negara dan sumber kemenangan revolusi. (2) Adanya ancaman serangan militer dan bom atom dari negara lain. (3) Memepertahankan warisan penting para leluhur berupa partai dan rakyat yang tidak terkalahkan serta terciptanya tentara revolusioner yang kuat (Foreign Languange Publishing House 2012).

Dalam menjelaskan secara rinci perkembangan program nuklir Korea Utara dari masa ke masa, maka penjelasan akan dibagi ke dalam beberapa fase, yaitu:

1. Asal Mula Pembangunan Program Nuklir Korea Utara (Tahun 1959-

1970)

(33)

21

sumber daya alam yang dimiliki dan kebutuhan energi Korea Utara, maka mendorong Korea Utara untuk mencoba mengembangkan program nuklir (Pinkston 2008, h.15).

Program nuklir Korea Utara dibangun atas bantuan Uni Soviet. Kedua negara menandatangani sebuah perjanjian kerjasama nuklir pada 1959. Lebih dari 30 tahun selanjutnya, Moskow membantu Pyongyang dengan memberikan pelatihan dan pemanfaatan energi dalam mengembangkan dasar teknologi nuklirnya. Bantuan yang diberikan Uni Soviet tersebut merupakan bentuk pemberian bantuan selama berlangsungnya Perang Dingin. Dalam perjanjian tersebut, memungkinkan dilakukan berbagai pertukaran proyek, teknis dan ilmiah. Termasuk pembangunan Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon, pelatihan teknisi Korea Utara, dan peninjauan teknis untuk penggunaan nuklir (Mazaar 1995, h.21).

Pelatihan teknisi Korea Utara oleh Soviet dilaporkan telah dimulai beberapa tahun sebelum 1959. Bantuan Soviet tersebut tidak secara spesifik berniat membantu perkembangan program senjata nuklir, akan tetapi memperbolehkan Pyongyang memiliki teknologi dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi dan pemisahan plutonium. Untuk itu, pada tahap awal pembangunan program nuklir Korea Utara, Soviet fokus pada pada pelatihan dan penilitian sampai pada tahap transfer teknologi (Albright dan Kevin 2000).

(34)

22

IRT-2M. Reaktor IRT-2M memiliki kekuatan 2 Mega Watt (MW). Namun dalam perkembangannya, kekuatan IRT-2M ini ternyata mampu dikembangkan menjadi 4MW hingga 8MW. Selama tahun 1965-1970, sepuluh persen pengayaan bahan bakar untuk kebutuhan energi di Korea Utara dihasilkan dari reaktor IRT-2M (Kristensen 2006).

Para ahli nuklir Soviet terlibat langsung dalam membantu pembangunan sebuah fasilitas situs nuklir bawah tanah untuk menyimpan pembuangan radio aktif dari hasil isotop. Walaupun reaktor IRT-2M dan laboratorium radiokimia ditujukan untuk penelitian nuklir dasar dan produksi isotop, bahan-bahan serta peralatannya juga disediakan untuk Korea Utara sebagai sarana untuk melakukan percobaan dengan membuat dan mengekstrak sejumlah kecil plutonium. (Kristensen 2006).

Dibawah kerangka perjanjian Uni Soviet-Korea Utara tahun 1959, Soviet telah melatih lebih dari 300 insinyur dan fisikawan Korea Utara di lembaga Soviet. Termasuk Institut Bersama Penelitian Nuklir di Dubna dan Sekolah Tinggi Teknik Bauman. Sementara itu, berdasarkan survey geologi yang dilakukan Uni Soviet, bahwa Korea Utara memiliki banyak simpanan bijih uranium dan grafit yang kemudian dikembangkan Pyongyang untuk membentuk blok bangunan program pembuatan plutonium (Park dan Kim 2012 h.132).

(35)

23

berhasil memodernisasi reaktor riset Soviet IRT-2M yang memiliki standar yang sama dengan Uni Soviet dan negara-negara maju lainnya. Selanjutnya teknisi Korea Utara mampu menghasilkan reaktor nuklir yang akhirnya menjadi inti dari program nuklir Korea Utara (Mazaar 1995, h.23). Pada fase ini, Korea Utara telah mampu melakukan penambangan dan penggilingan uranium secara mandiri, pengubahan uranium, serta pengolahan bahan bakar. Korea Utara juga mampu mengelola pabrik serta laboratorium radiokimia (Mazaar 1995, h.24).

Korea Utara mulai melakukan penambangan uranium dalam skala besar di berbagai lokasi dekat Sunchon dan Pyongsan pada awal tahun 1970. Bijih mentah uranium dikirim ke pabrik penggilingan uranium di Pakchon dan Pyongsan. Dalam proses ini, bijih uranium tersebut dihancurkan dan diproses secara kimia untuk menghasilkan U3O8 yang kemudian dikirim ke pusat penelitian nuklir Yongbyon untuk diproses lebih lanjut sehingga menghasilkan bahan bakar reaktor nuklir. Biasanya satu ton bijih uranium Korea Utara mengandung sekitar satu kilogram uranium, yang berarti bahwa sekitar 50.000 ton bijih harus ditambang dan diproses untuk memperoleh 50 ton uranium alam yang dibutuhkan untuk bahan bakar reaktor nuklir (Bermudez 1999, h.4).

(36)

24

memproduksi rudal balistik. Akan tetapi, kerjasama bilateral tersebut tidak juga dimulai hingga tahun 1977 ketika insinyur Korea Utara berpartisipasi dalam program pengembangan untuk DF-61 yang menjadi asal mula perkembangan bahan bakar rudal balistik Korea Utara dengan jarak sekitar 600km. Kemudian program ini dibatalkan pada tahun 1978 karena alasan politik dalam negeri Cina (Bermudez 1999, h. 4).

Pengubahan uranium serta pengolahan bahan bakar fasilitas nuklir di Yongbyon dirancang menghasilkan bahan bakar untuk seluruh reaktor grafit yang sedang dalam pembangunan di Korea Utara selama tahun 1980. Konstruksi reaktor grafit tersebut dimulai tahun 1980 dan mulai mendapatkan kritikan dari PBB pada Agustus 1985. Reaktor ini mulai dioperasikan pada tahun 1986-1994 hingga reaktor tersebut ditutup berdasarkan Kerangka Persetujuan antara AS dan Korea Utara (Bermudez 1999, h.5).

Pada tahun 1980, Korea Utara meluncurkan program nasional terpadu untuk membangun serangkaian fasilitas skala industri yang mampu memproduksi sejumlah besar plutonium untuk program senjata nuklir, disamping untuk industri tenaga nuklir negara tersebut. Program senjata nuklir Korea Utara dikembangkan kembali pada tahun 1980. Pada 1980an Korea Utara sangat fokus pada praktik penggunaan energi nuklir dan penyelesaian sistem perkembangan senjata nuklir (Pinkston 2008, h.18).

(37)

25

nuklir MWe 200 dan fasilitas pemrosesan ulang nuklir di Yongbyon dan Taechon (Kimball 2012). Kemudian Korea Utara melakukan tes peledakan ledak tinggi. Sejak pertengahan 1980, Korea Utara memang telah melakukan serangkaian tes daya ledak tinggi yang berkaitan dengan pengembangan sistem ledakan senjata nuklir (Russian Federation Foreign Intelligence Service, 1995).

Pada akhir tahun 1980, Korea Utara memulai pembangunan reaktor 50MW berskala besar di Taechon berbasis teknologi yang hampir sama dengan reaktor sebelumnya. Keunggulan reaktor tersebut yaitu memiliki model yang sama dengan reaktor G2 yang dimiliki Perancis. Reaktor ini mampu menghasilkan lebih dari 220kg plutonium sekelas senjata setiap tahunnya jika beroperasi penuh selama 300 hari per tahun (Dreicer 2000).

(38)

26

Korea Utara juga mencoba menambahkan reaktor terbesar di Yongbyon yang pembangunannya dimulai akhir tahun 1984. Pembangunan reaktor tersebut menggunakan bahan dasar dan teknologi yang sama dengan reaktor 5MW sebelumnya. Walaupun secara konsep sama dengan reaktor G2 milik Perancis, namun proses dan cara pengoperasiannya berbeda. Reaktor ini hanya mampu menghasilkan 55kg plutonium (Dreicer 2000).

Korea Utara melaporkan memulai pengembangan Nodong pada tahun 1989. Sebagian besar literatur menegaskan bahwa Nodong tersebut dirancang dan dikembangkan oleh para insinyur Korea Utara dengan sedikit bantuan asing. Perkembangan pesat ini tanpa adanya uji coba yang signifikan selain penyebaran teknologi tersebut dan ekspor sistem teknologi dari Uni Soviet ke Korea Utara (Bermudez 1999, h.20).

3. Peluncuran Uji Coba Nuklir Korea Utara

(39)

27

Untuk itu, pada 31 Agustus 1998 pertama kalinya Korea Utara meluncurkan sebuah roket tiga tingkatan, yang merupakan bentuk dasar dari roket Taepodong-1. Ketiga tingkatan roket tersebut rupanya merupakan usaha Korea Utara untuk meluncurkan sebuah satelit. Roket Taepodong-1 memiliki jarak jelajah 1.500-2.000km yang mampu mencapai Alaska, dan sempat terbang diatas perairan Jepang. Pyongyang mengumumkan bahwa roketnya tersebut berhasil ditempatkan pada sebuah satelit dalam orbit (Niksch 2003 h.6).

Merasa belum puas dengan uji coba nuklir pertamanya, Korea Utara kembali melakukan uji coba pada 5 Juli 2006 dengan menembakkan tujuh roket, termasuk roket terpanjang, Taepo Dong-2. Keenam roket lainnya termasuk gabungan dari roket jarak pendek dan menengah, Scud-C dan roket Nodong. Ketujuh roket tersebut diluncurkan dari tempat uji coba Kittaraeyong. Walaupun uji coba roket jarak pendek Korea Utara tersebut terlihat sukses, akan tetapi roket Taepo Dong-2 gagal meluncur dan jatuh kurang dari satu menit setelah peluncuran (Andrea 2006).

(40)

28

Berbagai aksi peluncuran uji coba nuklir didukung oleh rezim Kim Jong Il yang sudah pasti dapat meningkatkan perhatian dunia terhadap Korea Utara. Hal terebut tentu saja mengundang kritik dan sanksi yang sangat keras dari PBB. Aksi ini dinilai sebagai tindakan provokatif yang melanggar moratorium sukarela Korea Utara dalam uji coba peluncuran rudal jarak jauh.

Peluncuran beberapa roket di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan beberapa negara di kawasan karena dikhawatirkan mengganggu stabilitas keamanan regional yang dapat berujung pada konflik antar kedua Korea. Ketegangan antara kedua negara Korea tersebut menimbulkan dibentuknya zona demiliterisasi. Akan tetapi, pengaturan latihan militer bersama antara AS dan Korea Selatan ternyata semakin menambah masalah baru di kawasan tersebut (Branigan, 2010).

B. Krisis Nuklir di Korea Utara dan Upaya Penyelesaiannya

Keberhasilan Korea Utara dalam pengembangan nuklir, akhirnya tertangkap mata dunia internasional. Sehingga pada 1977 Korea Utara menandatangani perjanjian dengan Badan Energi dan Atom Internasional (IAEA) yang mengizinkan IAEA melakukan pemeriksaan terhadap reaktor riset yang dibangun atas bantuan Uni Soviet tersebut (Ceuster dan Melissen 2008, h.9).

(41)

29

1985. NPT merupakan suatu perjanjian yang membatasi kepemilikan senjata nuklir. Dengan masuknya Korea Utara ke dalam NPT, maka mewajibkan Korea Utara melakukan proses denuklirisasi, yaitu proses terwujudnya penghapusan kepemilikan senjata nuklir (Kimball 2012).

Pada tahun 1992, ketika pemeriksa IAEA pertama kalinya diizinkan mengakses reaktor, Pyongyang mengklaim bahwa reaktor mengalami kesulitan dalam menghidupkan reaktor dan mengalami kesulitan kontrol yang mencegah pengoperasian daya secara penuh dan mengakibatkan mesin sering mati selama beberapa tahun pertama beroperasi (Pinkston 2008, h.24).

Sebelum tahun 1992, Korea Utara melakukan uji coba pengembangan terkait nuklir ledak tinggi di Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon. Hal ini sebagaimana laporkan Komite Keamanan Rusia pada 22 Februari 1990 yang dibocorkan kepada media Rusia pada Maret 1992. Badan intelijen Soviet telah menyimpulkan bahwa Korea Utara telah berhasil mengembangkan bom nuklir di Pusat Penelitian Nuklir Yongbyon (Badan Intelijen Rusia, 1995). Padahal selama kunjungan inspeksi IAEA terhadap situs ini pada 1992, IAEA tidak menemukan bukti bahan nuklir.

(42)

30

1995, h.79). Korea Utara menyatakan bahwa bangunan tersebut tidak memiliki ruang bawah tanah. Setelah Korea Utara berulang kali menolak tuntutan untuk pemeriksaan yang lebih luas, IAEA tetap meminta izin dilakukan pemeriksaan khusus pada Februari 1993 di situs yang diduga menjadi pembuangan uranium (Mazaar 1995, h.81).

Keikutsertaan Korea Utara dalam perjanjian NPT, ternyata tidak membuka jalan bagi terciptanya hubungan diplomatik yang lebih harmonis antara Korea Utara dan dunia internasional pada dekade berikutnya. Korea Utara berulang kali menjelaskan bahwa situs yang selama ini dicuriggai IAEA merupakan sebuah fasilitas militer non-nuklir diluar jangkauan pemeriksaan IAEA. Karena IAEA terus menerus mendesak, maka Pyongyang menanggapi desakan IAEA tersebut dengan mengajukan pengunduran diri dari Perjanjian Non-proliferasi Nuklir pada Maret 1993 (Kimball 2012).

(43)

31

menanggapi resolusi ini dan memfasilitasi penyelesaiannya (Ceuster dan Melissen 2008, h.10).

Amerika Serikat kemudian segera mengambil langkah cepat untuk menanggapi resolusi tersebut dan mencoba meredakan krisis nuklir yang terjadi. Amerika Serikat menggelar pembicaraan tingkat politik bersama Korea Utara pada awal Juni 1993. Pembicaraan tersebut menjadi asal mula perumusan “Agreed Framework” yang menjadi prinsip dasar untuk melanjutkan dialog AS-Korut. Akhirnya berkat pembicaraan tersebut, Korea Utara menunda pengunduran dirinya dari NPT (Niksch 2003 h.6).

Kemudian pembicaraan putaran kedua dilanjutkan pada 14-19 Juli 1993 di Geneva. Pembicaraan tersebut menentukan pedoman untuk menyelesaikan masalah nuklir, meningkatkan hubungan AS-Korut, dan memulai kembali pembicaraan kedua Korea. Namun, negosiasi ini menemukan jalan buntu (Lee 2004, h.107).

Pada Juni 1994 mantan Presiden AS, Jimmy Carter mengunjungi Pyongyang untuk membantu meredakan ketegangan dan mencoba bernegosiasi dengan Korea Utara agar Pyongyang bersedia menghentikan program senjata nuklirnya dan bersedia melanjutkan pembicaraan tingkat tinggi dengan AS. Kemudian pembicaraan putaran ketiga antara AS-Korut dibuka di Geneva pada 8 Juli 1994. Akan tetapi kematian Kim Il Sung pada 8 Juli 1994 menunda rencana pertemuan (Mazaar 1995, h.166).

(44)

32

Framework pada 21 Oktober 1994 (Park dan Kim 2012 h.76). Di bawah kerangka persetujuan tersebut, Korea bersedia menghentikan dan secepatnya membongkar keberadaan program nuklir yang dicurigai selama ini, termasuk reaktor grafit-moderat 50MW dan 200MW yang sedang dalam pembangunan, selain reaktor 5MW dan fasilitas pemrosesan ulang bahan bakar nuklirnya. Dalam Agreed Framework juga dibahas mengenai perbaikan hubungan bilateral secara bertahap antara AS-Korut dalam bidang politik serta ekonomi, dan memasukkan Korea Utara kedalam dialog Utara-Selatan (Lihat lampiran I).

Sebagai gantinya, Pyongyang akan disediakan energi alternatif, dalam bentuk minyak berat, kemudian secepatnya akan dibangun dua reaktor air ringan bertekanan udara masing-masing berkapasitas 1.000MW disertai dua alat pendingin. Dua reaktor nuklir air ringan 1.000MW tersebut lebih aman dan mampu menghasilkan cukup plutonium untuk membantu menambah pasokan listrik di Korea Utara, yang sedang mengalami krisis energi (Park dan Kim 2012 h.133).

(45)

33

konferensi di New York pada Maret 1995 yang menghasilkan pendirian KEDO secara resmi (Lee 2004, h.110).

KEDO menjadi sebuah organisasi internasional non-profit berbentuk badan konsorsium multinasional yang didirikan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip pokok dari Agreed Framework. Dalam perjanjian KEDO tersebut dijelaskan bahwa KEDO bertugas mengirimkan energi sementara hingga reaktor air ringan pertama selesai dibangun. Sebagai tambahan, KEDO juga melaksanakan berbagai bentuk tindakan lainnya yang dianggap perlu demi tercapainya tujuan Agreed Framework

(Lee 2004, h.110).

Selanjutnya IAEA melakukan pemeriksaan terhadap kandungan isotop radioaktif dalam limbah nuklir yang disampaikan Korea Utara bahwa pihaknya telah mengekstrak sekitar 24kg plutonium. Oleh karenanya, Korea Utara diperkirakan telah menghasilkan 0,9 gram plutonium per megawat setiap harinya dalam periode empat tahun dari 1987-1991. Jika dijumlahkan selama empat tahun dengan sebuah reaktor 30 megawat dan rasio pengoperasian sebesar 60% per tahun, maka Korea Utara telah berhasil menghasilkan 23kg plutonium (Leventhal dan Steven 1994).

(46)

34

menanggapi keputusan Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya serta bekerjasama dengan Amerika Serikat dan upaya verifikasi IAEA dengan menghapus sanksi ekonomi terhadap Korea Utara (Mazaar 1995, h.175).

Dalam Kesepakatan Kuala Lumpur untuk Agreed Framework Geneva, Korea Utara setuju untuk bernegosiasi langsung dengan KEDO dalam isu yang berkaitan dengan proyek reaktor air ringan. Pada tanggal 15 Desember 1995, Korea Utara menandatangani Perjanjian Pasokan Reaktor Air Ringan. Tim KEDO telah melakukan sejumlah perjalanan ke Korea Utara untuk meninjau lokasi reaktor yang diusulkan. Pada musim semi 1996, KEDO dan Korea Utara memulai negosiasi pada pelaksanaan protokol Perjanjian Pasokan Reaktor Air Ringan (Lee 2004, h.112).

Sejak perjanjian pemasokan energi untuk Korea Utara disetujui pada bulan Desember 1995, maka enam protokol terkait telah mulai berlaku dan tiga putaran perundingan tingkat ahli telah menghasilkan keputusan penuh (Park dan Kim 2012, h.133). Korean Electric Power Corp (KEPCO), perusahaan listrik Korea Selatan menjadi kontraktor utama dalam proyek ini yang mengemban tugas menentukan bentuk, manufaktur, kontruksi, dan pengelolaan reaktor. Akhirnya pada 19 Agustus 1997, KEDO dan Korea Utara menggelar upacara peletakan batu pertama untuk memulai pembangunan dua reaktor air ringan (Lee 2004, h.113).

(47)

35

menolak pemeriksaan fasilitas nuklir yang tidak dilaporkan kepada IAEA. Pyongyang juga menolak untuk bergabung dalam Perjanjian Larangan Uji Komprehensif dan menolak berpartisipasi dalam konferensi tahunan PBB mengenai perlucutan senjata nuklir pada 25 Februari 1997 (Park dan Kim 2012, h.133).

Insiatif AS menginsiasi pembicaraan bilateral dengan Korea Utara yang menghasilkan Agreed Framework diatas ternyata tidak berjalan lancar sesuai yang diharapkan. Hal ini dikarenakan kurangnya sikap saling percaya antar kedua pihak. Oleh karena itu, Korea Utara mulai melangkah lebih jauh dengan mengembangkan kembali senjata nuklirnya yang ditandai dengan uji coba peluncuran roket Taepodong-1 pada tahun 1998.

Pada Oktober 2002, utusan khusus AS, James Kelly mengunjungi Korea Utara, dimana Kelly mencurigai program pengayaan uranium masih berlangsung. Sebagai tanggapannya, maka rezim Kim Jong Il menyatakan penundaan penghentian program nuklirnya dan menghidupkan kembali fasilitas nuklir negara tersebut pada 12 Desember 2002. Setelah itu, Korea Utara mengundurkan diri dari Perjanjian Non-proliferasi Nuklir pada 10 Januari 2003 (Park dan Kim 2012, h.133).

(48)

36

menganggap tindakan Korea Utara telah melanggar Kerangka Persetujuan dan perjanjian lainnya.

(49)

37 BAB III

TUJUAN DAN PERKEMBANGAN SIX PARTY TALKS DALAM MEWUJUDKAN DENUKLIRISASI DI KOREA UTARA

Pengunduran diri Korea Utara dari keanggotaan perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT) pada Januari 2003 menambah deretan panjang aksi Korea Utara dalam uji coba nuklir yang dimilikinya. Keadaan ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kemanan di Semenanjung Korea. Oleh karena itu, pada Agustus 2003 Amerika Serikat (AS) bersama Cina membentuk sebuah pembicaraan multilateral untuk menggandeng kembali Korea Utara ke dalam meja perundingan dengan melibatkan Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Pembicaraan multilateral tersebut yang saat ini kita kenal dengan nama Six Party Talks.

A. Sejarah Pembentukan Six Party Talks

(50)

38

Sebelumnya, tugas AS hanyalah mengawasi keputusan Organisasi Perkembangan Energi Sememenanjung Korea (KEDO) untuk menyelesaikan pengiriman minyak ke Korea Utara yang telah dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Persetujuan tahun 1994 (Niksch 2005). Oleh karena itu, para pejabat AS merasa terkejut atas meningkatnya intensitas Korea Utara pada akhir Desember 2002, dimana Korea Utara memulai kembali fasilitas nuklirnya berbasis plutonium di Yongbyon. Selain itu, Korea Utara juga mengusir para pejabat IAEA yang ditempatkan disana berdasarkankan Kerangka Persetujuan antara AS dan Korea Utara untuk mengawasi penghentian fasilitas nuklirnya tersebut.

Setelah mengusir pejabat IAEA yang ditempatkan disana, Korea Utara menghidupkan kembali reaktor nuklir lima megawatt yang sempat ditutup atas kesepakatan dengan AS di bawah “Agreed Framework”. Selanjutnya, Korea Utara menyatakan akan membuka kembali pabrik pengolahan plutonium yang pernah beroperasi hingga tahun 1994. Korea Utara juga akan memproses ulang 8.000 batang bahan nuklir yang telah disimpan sejak tahun 1994. Terakhir, Korea Utara menarik diri dari keanggotaan NPT pada Januari 2003 (Niksch 2005).

(51)

39

pencegahan agar Korea Utara tidak mengambil langkah lebih jauh lagi (Mun 2009, h.115).

Merasa sudah tidak terikat lagi dengan aturan yang berlaku, Korea Utara mengancam akan menguji coba kembali rudal jarak jauh dengan melakukan proliferasi bahan-bahan nuklir ke berbagai negara, serta melakukan uji coba senjata nuklirnya. Pembukaan kembali fasilitas nuklir Yongbyon telah membuktikan bahwa Korea Utara benar-benar serius dalam mengembangkan program nuklir dengan memproduksi secara terbuka senjata nuklir melalui pemrosesan 8.000 batang bahan bakar. Dengan pemrosesan 8.000 batang bahan bakar tersebut, maka Korea Utara dapat menghasilkan 4 hingga 6 bom atom (Martin 2009, h.3).

Sebelum Six Party Talks dibentuk, Presiden Bush pada awal tahun 2003, mengajukan dibentuknya forum pembicaraan multilateral yang difokuskan membahas isu nuklir Korea Utara melalui jalur diplomatik. Kemudian diselenggarakanlah pertemuan tiga negara yang dikenal dengan forum Trilateral Talks, Forum pertemuan tiga negara tersebut melibatkan AS, Cina, Korea Utara pada April 2003 di Beijing (Mun 2009, h.118).

(52)

40

Korea merupakan sebuah isu internasional dan AS membentuk opini publik bahwa Korea Utara lah penyebab krisis nuklir tersebut (KCNA 2003).

Sikap Korea Utara mulai berubah ketika mengetahui aksi agresi AS ke Iraq pada 2003 serta melihat antusiasme Cina untuk aktif ke dalam pembicaraan. Akhirnya Korea Utara bersedia menerima pembahasan isu nuklirnya diselesaikan secara multilateral (Mun 2009, h.119). Pada 12 April 2003, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Korea Utara menyatakan bahwa Korea Utara mencari pembicaraan langsung yang bertujuan untuk memastikan apakah AS akan mengubah kebijakan politik untuk menghentikan kebijakan permusuhan terhadap Korea Utara atau tidak. Jika AS tidak siap mengubah kebijakan terhadap Korea untuk menyelesaikan isu nuklir, maka Korea Utara tidak akan lagi masuk ke dalam dialog bersama AS (KCNA 2003).

Oleh karena sikap multilateralisme AS yang kuat, kebijakan komitmen Cina untuk aktif dalam penyelesaian isu nuklir Korea Utara, serta sikap fleksibilitas yang diperlihatkan Korea Utara, maka pada akhirnya ketiga sikap tersebut mampu menghasilkan multilateralisasi isu nuklir Korea Utara melalui format dialog bersama (Mun 2009, h.120).

(53)

41

Utara (Sanger 2003). Korea Utara mengajukan sebuah proposal yang berisi empat langkah aksi bersama untuk membongkar program nuklir milik Korea Utara.

Berdasarkan proposal tersebut, langkah pertama yang seharusnya dilakukan adalah melanjutkan pengiriman bahan bakar minyak untuk Korea Utara. Maka sebagai gantinya, Korea Utara bersedia untuk meninggalkan ambisi mengembangkan program senjata nuklir. Langkah kedua, yaitu Korea Utara akan bersikap terbuka atas pemeriksaan fasilitas nuklir negaranya dibawah pengawasan Badan Energi Atom Dunia (IAEA). Namun, sebagai gantinya AS harus menjamin keamanan Korea Utara dengan menandatangani sebuah kesepekatan non-agresi (Bluth 2005, h.98).

Pada langkah ketiga, isu-isu lainnya seperti normalisasi hubungan diplomatik antara AS-Korea Utara harus segera dibangun sebagai pengganti dari penerimaan Korea Utara atas pembatasan internasional terhadap program misil negaranya. Kemudian langkah terakhir yaitu Korea Utara berjanji akan membongkar program senjata nuklirnya jika pembangunan reaktor air ringan untuk keperluan pembangkit listrik di Korea Utara telah selesai dibangun (Bluth 2005, h.99).

(54)

42

Sejak penyelenggaraan Trilateral Talks di Beijing pada April 2003, AS memulai strategi tekanan dan dialognya terhadap Korea Utara. AS terus menyuarakan keinginannya untuk menghasilkan sebuah solusi diplomatik melalui format multilateral dengan melibatkan aktor regional lainnya. Hal ini dilakukan AS karena AS meyakini bahwa semua aktor regional memiliki perhatian yang besar terhadap isu perdamaian di Semenanjung Korea (Olsen 2003).

Pada saat bersamaan, AS juga meningkatkan kemampuan militer dan aksi diplomatiknya untuk mengisolasi Korea Utara. Bahkan, Presiden Bush sempat mengadakan pertemuan tingat tinggi dengan Presiden Korea Selatan, Perdana Menteri Jepang, serta Presiden Cina untuk memperoleh dukungan publik terhadap AS yang menuntut Korea Utara untuk meninggalkan program nuklirnya (TCOG 2003).

Korea Utara tetap menolak permintaan AS untuk meninggalkan program nuklirnya terlebih dahulu sebelum memulai kembali berbagai pembicaraan. Korea Utara menuduh desakan AS terhadap perlucutan nuklir Korea Utara, hanya untuk melemahkan Korea Utara. Terlebih, Korea Utara menyoroti haknya untuk memiliki sebuah kekuatan pertahanan nuklir sebagai pertahanan diri. Disamping itu, konfrontasi nuklir antara AS dan Korea Utara seharusnya diselesaikan melalui aksi bersama (Mun 2009, h. 123).

(55)

43

kesepakatan tersebut memungkinkan Korea Utara untuk berharap bahwa forum tersebut

memungkinkan dilakukannya diskusi masalah nuklir dengan AS secara bilateral ketika

dibutuhkan. Dengan demikian, Six Party Talks memberikan kesempatan kepada Korea

Utara tidak hanya sebagai forum untuk melakukan negosiasi bilateral, juga agar AS lebih mengerti dengan keinginan Korea Utara.

Isu perlucutan program nuklir Korea Utara memang tidak menandakan adanya kemajuan yang dihasilkan selama pembicaraan ketiga negara itu berlangsung. Hal ini disebabkan sebuah sistem kekuatan bersama seperti kesepakatan pembentukan forum

Trilateral Talks berjalan tanpa membentuk institusi formal. Namun, sebuah forum kekuatan yang disepakati bersama tersebut dapat menjadi check & balance berbagai aktivitas dan kepentingan-kepentingan anggotanya melalui berbagai pola pertemuan yang teratur.

Pada pertemuan teakhir Trilateral Talks, tercapailah sebuah persetujuan untuk membentuk forum multilateral yang lebih luas, yaitu membentuk forum yang kita kenal saat ini sebagai Six Party Talks. Forum multilateral yang lebih luas tersebut melibatkan juga Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Sehingga anggota dari Six Party Talks ini berjumlah 6 negara yaitu AS, Korea Utara, Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Forum ini menjadi langkah penting terhadap sebuah forum kesepakatan bersama melalui jalur diplomasi.

(56)

44

Kekhawatiran AS akan pengembangan program nuklir Korea Utara sudah disampaikan AS sejak pengembangan program nuklir tersebut dimulai atas bantuan Uni Soviet. Seperti halnya negara-negara besar lain yang menggunakan berbagai cara untuk menghentikan aktivitas yang mengancam negaranya, maka AS pun terus menerus mencoba menghentikan program nuklir Korea Utara dengan cara membujuk Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya hingga memberikan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara.

Salah satu cara AS untuk menghentikan program nuklir Korea Utara yaitu melalui jalur diplomasi, baik diplomasi bilateral maupun multilateral. Pendirian Six Party Talks berawal dari dibentuknya Trilateral Talks yang bertujuan untuk membahas peyelesaian isu nuklir yang terjadi di Korea Utara. Sejak pembentukannya, Six Party Talks bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara dan membongkar program nuklirnya melalui proses negosiasi. Pembicaraan dibangun sebagai respon terhadap pengunduran diri Korea Utara dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir pada Januari 2003 (Gershman 2005).

Pembicaraan Six Party Talks terbentuk bukan hanya karena adanya usaha AS semata, akan tetapi peran Cina juga sangat membantu dalam pembentukan forum Six Party Talks. Keterlibatan Cina dalam proses pembentukan forum Six Party Talks

(57)

45

nuklir Korea Utara merupakan sebuah contoh nyata dalam perkembangan pembagian tanggung jawab global dan regional antara dua kekuatan regional yang sangat penting (Kim 2006).

Sebuah kerangka multilateral kedua untuk mengatasi isu nuklir Korea Utara, yakni Six Party Talks dibentuk pada Agustus 2003. Putaran pertama Six Party Talks

diselengarakan di Beijing pada 27-29 Agustus 2003. Pada putaran pertama ini, topik yang dibahas masih seputar tujuan dan prinsip Six Party Talks yang menyangkut teknis formasi sebuah konsensus untuk melakukan denuklirisasi serta prinsip damai mengatasi isu nuklir Korea Utara melalui sebuah dialog (Mun 2009, h.124).

Dalam pertemuan pertama ini, AS juga mendesak Korea Utara agar bersedia meninggalkan program nuklir sebelum melangkah ke pembahasan lebih lanjut. Namun, Pyongyang membantah bahwa program nuklir yang dikembangkan negaranya disebabkan oleh sikap AS yang menciptakan permusuhan menentang Pyongyang. Sehingga Pyongyang meminta AS untuk menghentikan permusuhannya melawan Pyongyang serta mengimplementasikan tindakan yang diperlukan dibawah prinsip aksi bersama (Park dan Kim 2012 h.79).

(58)

46

harus segera dilaksanakan Pyongyang. Namun AS tidak akan menentang bantuan energi untuk Korea Utara yang disediakan oleh Korea Selatan, Cina, Jepang, dan Rusia (Kementerian Luar Negeri Jepang 2004).

Bagaimanapun juga Korea Utara menyanggah tuduhan AS mengenai program uranium milik Pyongyang. Korea Utara menegaskan akan mengembangkan program nuklinya untuk tujuan damai. Korea Utara juga menuntut penggantian kompensasi atas penghentian program nuklirnya dengan bantuan ekonomi. Kemudian dalam putaran kedua ini, semua anggota juga menyepakati pembentukan sebuah kelompok kerja yang bertugas mengatur pertemuan berikutnya (Park dan Kim 2012 h.80).

Cina mengeluarkan pernyataan resminya melalui pimpinan rapat Six Party Talks pada hari terakhir pertemuan. Berdasarkan pernyataan tersebut, pimpinan rapat menyatakan bahwa para anggota Six Party Talks sudah mulai terlihat saling memahami posisi mereka satu sama lain melalui dialog dalam semangat saling menghormati, serta berunding di atas kedudukan yang setara (FMPRC 2004). Cina sangat mengapresiasi hasil dari pertemuan putaran kedua tersebut sebagai pencapaian berarti dari sebuah pendekatan multilateral. Wakil Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi menyatakan:

(59)

47

sebuah kelompok kerja harus dibentuk secepat mungkin. Ketiga, mencegah segala bentuk pernyataan ataupun tindakan yang mungkin akan meningkatkan ketegangan untuk mempertahankan lingkungan yang kooperatif dalam proses pembicaraan (Wang 2004).

Selanjutnya, putaran ketiga dilaksanakan pada 23-26 Juni 2004. Selama putaran ketiga, AS mengajukan dua pilihan solusi bagi Pyongyang. Pertama, AS menawarkan waktu tiga bulan bagi Pyongyang untuk mendiskusikan pembongkaran nuklir Pyongyang seluruhnya. Termasuk menghentikan pengayaan uranium yang dikembangkan Pyongyang. Selama penghentian program tersebut, Pyongyang akan mendapatkan bantuan pasokan minyak dari anggota Six Party Talks. Selain itu, Pyongyang juga akan mendapatkan jaminan keamanan sementara dari AS. Proposal tersebut diberikan kepada Korea Utara sebagai antisipasi masa persiapan tiga bulan untuk menghentikan program nuklirnya (Kimball 2012).

Dalam opsi kedua, AS menawarkan Pyongyang untuk membongkar seluruh program nuklir sepenuhnya. Maka sebagai bentuk kompensasi, AS akan menjamin keamanan Pyongyang selamanya, memperbaiki hubungan AS-Korea Utara, serta memberikan bantuan ekonomi yang lebih luas lagi. Proposal tersebut diajukan AS pada puncak pertemuan (Mun 2009, h.132).

(60)

48

ekonomi, serta menawaran kompensasi lain kepada Korea Utara. Maka, Korea Utara akan membongkar semua fasilitas nuklirnya (Park dan Kim 2012 h.80).

Pada sesi kedua putaran keempat yang dilaksanakan di Beijing pada 13-19 September 2005 menghasilkan sebuah pernyataan bersama (Joint Statement) yang akan menjadi sebuah pedoman atas prinsip damai untuk mengakhiri krisis nuklir Korea Utara. Menurut pernyataan bersama yang dideklarasikan pada 19 September tersebut, semua pihak yang terlibat sepakat untuk menyiapkan Semenanjung Korea yang bebas nuklir dan diverifikasi secara damai. Semua pihak juga berjanji untuk membuat upaya bersama untuk mewujudkan perdamaian abadi dan stabilitas di Timurlaut Asia (Park dan Kim 2012, h.80).

Pada akhir pertemuan, suasana forum negosiasi memburuk secara signifikan. Sanksi AS terhadap entitas perdagangan Korea Utara di Banco Deltas Asia (BDA) Macau memicu kemarahan Pyongyang (Mun 2009, h.78). Korea Utara memboikot penyelenggaraan Six Party Talks dan kembali melakukan uji coba rudal balistik dan nuklirnya pada 9 Oktober 2006 (Sanger 2006). Atas tindakannya tersebut, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) mengeluarkan Resolusi 1718 pada 14 Oktober 2006 yang berisi himbauan kepada Korea Utara untuk menahan diri dari uji coba nuklir, meninggalkan senjata pemusnah massal dan segera kembali bergabung kedalam Six Party Talks (UNSC 2006).

(61)

49

bantuan Cina, akhirnya Korea Utara menyetujui untuk bergabung kembali ke dalam pembicaraan Six Party Talks (Mun 2009, h.79). Dengan kembalinya Korea Utara ke dalam pembicaraan, maka semua anggota Six Party Talks mengharapkan isu BDA harus segera dipecahkan.

Pada sesi ketiga, putaran kelima pertemuan yang dilaksanakan di Beijing pada 8-13 Februari 2007 mencapai sebuah kesepakatan dalam “Initial implementations measures of the September 19 Joint Statement (February 13 Agreements)”. Kesepakatan ini lebih dikenal dengan nama “Beijing Agreement”. Pembicaraan ini

dirancang untuk menunjukkan langkah-langkah awal membongkar program senjata nuklir Korea Utara. Berdasarkan Beijing Agreement pada 13 Februari 2007, keenam pihak kembali menegaskan pentingnya upaya multilateral dengan menyatakan bahwa semua pihak sepakat mengambil langkah-langkah terkoordinasi untuk melaksanakan pernyataan bersama secara bertahap, dimana sejalan dengan prinsip “action for

action” (Lihat table III.B.1).

Perundingan Six Party Talks putaran keenam diselenggarakan pada 19-22 Maret 2007. Pada kesempatan ini dibahas laporan lima kelompok kerja, termasuk tentang rencana denuklirisasi, mekanisme perdamaian dan keamanan di Asia Timur, normalisasi hubungan AS-Korea Utara dan Jepang-Korea Utara, serta kerjasama energi dan ekonomi (Park dan Kim 2012, h.81).

(62)

50

(October 3 Agreement)”. Dalam hal tertentu, perjanjian ini dirancang untuk

mengidentifikasi proses penghentian fasilitas nuklir Korea Utara. Namun, secara umum Beijing Agreement 3 Oktober tahun 2007 juga dapat dilihat sebagai salah satu kesuksesan dari koordinasi multilateral (Mun 2009, h.127).

Tabel III.B.1 Perkembangan Pertemuan Six Party Talks

Putaran Waktu Pembahasan

Pertama Aug. 27-29,

2003

 • Pembentukan konsensus tentang denuklirisasi Semenanjung Korea dan prinsip resolusi damai melalui dialog

Kedua Feb. 25-28,

2004

• Penegasan kembali konsensus tentang

denuklirisasi Semenanjung Korea dan prinsip resolusi damai

Ketiga Jun. 23-26,

2004

• Pembentukan konsensus tentang perlunya tindakan awal untuk denuklirisasi Semananjung Korea dan proses bertahap berdasarkan prinsip “commitment for

commitment, action for action”

• Pengangkatan Pernyataan Bersama 19

September

• Penegasan kesediaan untuk sepenuhnya

melaksanakan Pernyataan Bersama 19 September

• Penegasan kembali keinginan untuk

sepenuhnya melaksanakan Pernyataan Bersama 19 September dan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah yang terkoordinasi dalam pelaksanaannya

• Perjanjian mengenai fase tindakan awal untuk implementasi Pernyataan Bersama 19 September (Pernyataan 13 Februari)

Gambar

Tabel IV.A.1
gambaran mengenai kontribusi yang telah dihasilkan Six Party Talks dalam
Tabel III.B.1 Perkembangan Pertemuan Six Party Talks

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini mengandung makna bahwa Jaminan, yang terdiri dari kompetensi, kesabaran serta kemampuan petugas Laboratorium Komputer dalam memberikan layanan kepada

Parameter arsitektur gundukan atau ka- rakteristik sarang lobster lumpur pada penelitian ini, diantaranya tinggi gun- dukan, diameter atas gundukan, diame- ter bawah gundukan,

Budi re Bahasa merupakan suatu bentuk laku dan tutur yang terjaga ketika disampaikan kepada sesama, terlebih lagi kepada orang tua. Budi Bahasa yang

Eksistensi kesenian Wayang Krucil tidak dapat bertahan lebih lama dan mulai mengalami kelunturan hingga saat ini. Hal ini dimulai ketika kesenian Wayang Krucil

Walaupun citra rumah Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas sudah baik namun dengan banyaknya rumah sakit di wilayah Kabupaten Banyumas mendorong Rumah Sakit Umum

Simulasi yang dilakukan menggunakan Network Simulator 3 (NS 3) untuk membandingkan protokol routing DSDV dan OLSR. Pembatasan simulasi akan dijelaskan sebagai berikut.

Perangkat repeater GSM memerlukan sebuah antena yang memiliki gain besar terutama pada antena penerima, salah satu antena yang memiliki karakteristik gain besar adalah antena

Kehadiran amyrin yang dihasilkan dari microbial degradation atau akibat dari oxidative degradation di iklim tropis dan beberapa turunan amyrin yang khas dari batubara