• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi optimasi proses biosolubilitas batubara oleh kapang hasil isolasi dari pertambangan batubara sumatera selatan berdasarkan karakteristik enzim ekstraseluler dan produk yang dihasilkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi optimasi proses biosolubilitas batubara oleh kapang hasil isolasi dari pertambangan batubara sumatera selatan berdasarkan karakteristik enzim ekstraseluler dan produk yang dihasilkan"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI OPTIMASI PROSES BIOSOLUBILISASI BATUBARA

OLEH KAPANG HASIL ISOLASI DARI PERTAMBANGAN

BATUBARA SUMATERA SELATAN

BERDASARKAN KARAKTERISTIK ENZIM

EKSTRASELULER DAN PRODUK YANG DIHASILKAN

HIDAYATI

106096003228

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

STUDI OPTIMASI PROSES BIOSOLUBILISASI BATUBARA

OLEH KAPANG HASIL ISAOLASI DARI PERTAMBANGAN

BATUBARA SUMATERA SELATAN

BERDASARKAN KARAKTERISTIK ENZIM

EKSTRASELULER DAN PRODUK YANG DIHASILKAN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

HIDAYATI

106096003228

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Maret 2011

(4)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “ Studi Optimasi Proses Biosolubilisasi Batubara oleh Isolat Kapang dari Pertambangan Batubara Sumatera Selatan Berdasarkan Karakteristik Enzim Ekstraseluler dan Produk yang Dihasilkan” yang ditulis oleh Hidayati NIM 106096003228 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Februari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.

Menyetujui

Penguji 1, Penguji 2,

Sandra Hermanto, M.Si Megga Ratnasari Pikoli, M.Si

NIP. 19750810 200501 1 005 NIP. 19720322 200212 2 002

Pembimbing I, Pembimbing 2,

Irawan Sugoro, M.Si La Ode Sumarlin, M.Si NIP. 19761018 200012 1 001 NIP. 150 408 693

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Kimia

(5)

xv

ABSTRAK

Studi Optimasi Proses Biosolubilisasi Batubara oleh Kapang Hasil Isolasi

dari Pertambangan Batubara Sumatera Selatan Berdasarkan Karakteristik

Enzim Ekstraseluler dan Produk yang Dihasilkan.

Biosolubilisasi adalah proses pencairan batubara dengan memanfaatkan

mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan pada penelitian ini adalah

tujuh isolat kapang hasil isolasi dari batubara dan tanah pertambangan batubara

lignit di Sumatera Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

kadar protein ekstraseluler, mengkarakterisasi enzim ekstraseluler dan mengetahui

produk biosolubilisasi batubara oleh kapang hasil isolasi dari pertambangan

batubara

.

Medium yang digunakan adalah MSS dengan penambahan batubara

lignit 5 %. Kandungan enzim ekstraseluler masing-masing isolat kapang relatif

berbeda. Pada kapang B1, B2, dan B3 terdeteksi enzim lakase (BM=54,8 kDa dan

73, 12 kDa) dan mangan peroksidase (BM=38,12 kDa). Enzim lignin peroksidase

(BM=45,76) hanya terdeteksi pada kapang B2 dan B3. Hasil analisis GCMS

menunjukkan bahwa kapang B3 menghasilkan persentase senyawa terbesar

dengan komposisi karbon yang setara dengan bensin yaitu 65,65% dan kapang B1

yang setara dengan solar yaitu 38,43%.

(6)

xv i

ABSTRACT

Optimation Study of Coal Biosolubilization Process by Fungi the Result of

Isolation from Coal Mining in South Sumatera Based on Extracellular

Enzyme and the Product.

Biosolubilization is coal liquefaction process by utilizing microorganisms.

The microorganism used in this research was seven molds which has isolated

from soil and coal South Sumatra in mining. The purpose of this research was to

determine levels of extracellular proteins, characterization of extracellular

enzymes and biosolubilization products by molds. MSS medium was used with

the addition of 5% lignite. Extracellular enzyme content in each of the diffent

relative mold isolated. In the B1, B2, and B3 molds was detected laccase

(MW=54,8 kDa and 73, 12 kDa) and mangan peroxidase enzyme (MW=38,12

kDa). Lignin peroxidase enzyme (MW=45,76 kDa) only detected in B2 and B3

molds. GCMS analysis showed that the B3 mold has the largest percentage of

compounds with carbon composition which was equivalent to gasoline 65,65%

and B1 mold which was equivalent to diesel 38,43%.

(7)
(8)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Studi Optimasi Proses Biosolubilisasi Batubara oleh Kapang Hasil Isolasi dari Pertambangan Batubara Sumatera Selatan Berdasarkan Karakteristik Enzim Ekstraseluler dan Produk yang Dihasilkan”. Shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta segenap keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga yaumul kiyamah.

Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari peranan berbagai pihak yang

telah ikut secara langsung maupun tidak langsung. Penulis sadar sepenuhnya,

bahwa bagaimanapun usaha yang ditempuh tanpa adanya bimbingan dan bantuan

dari pihak lain, penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Maka

dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak DR. Syopiansyah Jaya Saputra, M.Sis, selaku dekan Fakultas Sains

dan Teknologi.

2. Bapak Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku ketua Program Studi Kimia.

3. Bapak Irawan Sugoro, M.Si, selaku dosen Pembimbing I yang telah

banyak memberikan dukungan, bantuan dalam penelitian maupun

(9)

vii

4. Bapak La Ode Sumarlin, M.Si, selaku dosen Pembimbing II yang telah

banyak membantu dan memberikan kritik dan saran yang membangun

dalam analisa hasil dan penulisan.

5. Ibunda dan Ayahanda tercinta serta kakak-kakak tersayang, yang kasih

sayangnya sepanjang masa dan telah memberikan dukungan moril, materil

serta spiritual.

6. Riska Suraya Dewi dan Miftahul Jannah, teman selama penelitian yang

sudah banyak membantu penulis.

7. Teman-teman seperjuangan prodi kimia ’06 yang telah bersama-sama

berjuang dari awal perkuliahan hingga sampai akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Tak ada gading yang tak retak dan tidak ada sesuatu apapun yang

sempurna di dunia kecuali Allah SWT, sehingga penulis sangat menyadari

akan masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini.

Saran dan kritik yang membangun demi perbaikan sangat diharapkan.

Akhirnya, penulis hanya dapat berdo’a semoga semua amal baik yang

telah diberikan tersebut mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah

SWT. Dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran demi

kemajuan dan keberhasilan bersama. Amin.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Maret 2011

(10)

viii DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

ABSTRAK... xv

ABSTRACT... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4.Tujuan Penelitian ... 4

1.5.Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Batubara ... 5

2.1.1. Klasifikasi Batubara ... 5

2.2. Biosolubilisasi Batubara ... 8

2.3. Kapang ... 10

2.4. Enzim Ekstraseluler ... 12

2.4.1. Lignin Peroksidase ... 15

2.4.2. Mangan Peroksidase ... 16

(11)

ix

2.5. Metode untuk Penentuan Protein Ekstraseluler... 18

2.6. Elektroforesis Protein ... 19

2.7. Spektrofotometer UV-Vis ... 21

2.8. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa ... 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 25

3.1.Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

3.2. Alat dan Bahan ... 25

3.2.1. Alat ... 25

3.2.2. Bahan... 25

3.3. Prosedur Kerja ... 26

3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat ... 26

3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara ... 26

3.3.3. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar (PDA) ... 26

3.3.4. Pembuatan Medium MSS+ ... 26

3.3.5. Uji Kualitatif Enzim Ekstraseluler ... 27

3.3.5.1. Fenol Oksidase ... 27

3.3.5.2. Lignin Peroksidase ... 27

3.3.5.3. Mangan Peroksidase ... 27

3.3.6. Kultur Inokulum Spora ... 28

3.3.7. Biosolubilisasi Batubara ... 28

3.3.8. Pengukuran Kadar Protein Ekstraseluler ... 28

3.3.9. Profil Protein dengan Elektroforesis ... 29

3.3.10. Analisis Hidrolisis FDA ... 30

3.3.11. Pengukuran Biosolubilisasi Batubara ... 31

(12)

x

3.3.13. Analisa Data ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1. Hasil Analisa Enzim Ekstraseluler secara Kualitatif ... 33

4.2. Perubahan pH Medium pada Masing-Masing Kapang selama Proses Solubilisasi………...……….. 34

4.3. Tingkat Biosolubilisasi Batubara Berdasarkan Nilai Absorbansi ... 38

4.4. Kadar Protein Ekstraseluler dalam Biosolubilisasi Batubara ... 43

4.5. Elektroforesis Protein ... 45

4.6. Analisis Hidrolisis Fluorescent Diacetate (FDA) ... 47

4.7. Analisis GC-MS Hasil Solubilisasi Batubara oleh Kapang Menggunakan GCMS ... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 58

5.1. Kesimpulan ... 58

5.2. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(13)

xi

DAFTAR TABEL

[image:13.612.119.539.58.452.2]

Halaman

Tabel 1. Enzim Ekstraseluler Pendegradasi Lgnin dari Kapang

Pelapuk Putih ... 13

Tabel 2. Jenis Perlakuan yang Digunakan………. 28

Tabel 3. Hasil Uji Kualitatif Enzim Ekstraseluler ... 33

Tabel 4. Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Menggunakan

(14)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Batubara Antrasit dan strukturnya ... 5

Gambar 2. Batubara Bituminus dan strukturnya ... 6

Gambar 3. Batubara Subbituminus dan strukturnya ... 7

Gambar 4. Batubara Lignit dan strukturnya ... 7

Gambar 5. Skema Sistem Degradasi Lignin oleh Phanerochaete chrysosporium ... 14

Gambar 6. Reaksi Enzim Peroksidase dengan Metilen Biru ... 16

Gambar 7. Reaksi Oksidasi oleh Enzim Fenol Oksidase ... 17

Gambar 8. Seperangkat Alat Elektroforesis 1 D ... 19

Gambar 9. Denaturasi Protein oleh SDS ………. 20

Gambar 10. Spektrofotometer UV-Vis... 21

Gambar 11. GCMS ... 23

Gambar 12. Grafik Perubahan Nilai pH Medium Selama Proses Solubilisasi Batubara pada Kapang... 35

Gambar 13. Reaksi Dearomatisasi Piridin ... 37

Gambar 14. Absorbansi pada Panjang Gelombang 250 nm pada Masing-Masing Kapang ... 38

Gambar 15. Reaksi Degradasi Lignin oleh Enzim Lignin Peroksidase ……... 39

Gambar 16. Reaksi oksidasi unit non fenolik dan fenolik oleh enzim lakase dan MnP ... 39

Gambar 17. Absorbansi pada Panjang Gelombang 450 nm pada Masing-Masing Kapang ... 40

Gambar 18. Reaksi Degradasi Poli Aromatik Hidrokarbon ... 41

(15)
[image:15.612.134.539.55.449.2]

xiii

Gambar 20. Hasil Elektroforesis SDS PAGE ... 46

Gambar 21. Reaksi Hidrolisis FDA dan Ester ... 48

Gambar 22. Absorbansi FDA pada Masing-Masing Kapang ... 49

Gambar 23. Persentase Area Senyawa Komponen Bensin dan Solar Hasil

(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Komposisi Medium ... 62

Lampiran 2. Skema Kerja ... 63

Lampiran 3. Komposisi Larutan Lowry ... 64

Lampiran 4. Komposisi Larutan Elektroforesis………. 64

Lampiran 5. Data Hasil Penelitian ... 65

Lampiran 6. Kromatogram Hasil GC-MS Kontrol (Tanpa Isolat Kapang) ... 69

Lampiran 7. Kromatogram Hasil GC-MS oleh Kapang B1... 70

Lampiran 8. Kromatogram Hasil GC-MS oleh Kapang B2 ... 71

Lampiran 9. Kromatogram Hasil GC-MS oleh Kapang B3 ... 72

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Batubara menjadi sumber energi yang penting di dunia, seiring dengan

semakin terbatasnya cadangan minyak dan gas alam (Tanaka, 1999). Alternatif

penggunaan batubara sebagai bahan bakar diperkirakan dapat menjadi solusi dari

krisis kelangkaan BBM sampai ratusan tahun mendatang. Berdasarkan laporan

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2008), potensi sumber daya

batubara di Indonesia pada akhir tahun 2008 sebanyak 105 miliar ton (Wahyuni,

2009). Setelah cadangan minyak dan gas alam habis, maka batubara akan

mendominasi pasar energi fosil (Tanaka, 1999).

Teknologi pencairan batubara sebagai bahan bakar yang hampir setara

dengan output minyak bumi merupakan cara untuk meningkatkan kualitas

batubara. Proses tersebut dinamakan liquefaksi. Terdapat berbagai metode

pencairan batubara yang telah diterapkan di berbagai negara di dunia. Pada

umumnya teknik yang digunakan adalah dengan metode kimia dan fisika yang

memakan biaya operasional yang cukup tinggi dan juga memerlukan instalasi

yang cukup rumit (Fakoussa and Hofrichter, 1998).

Alternatif lain untuk proses pencairan batubara yaitu dapat dilakukan

secara biologis dengan bantuan mikroorganisme. Proses pencairan batubara

dengan memanfaatkan mikroorganisme dikenal dengan biosolubilisasi atau

bioliquefaksi. Fakoussa (1981), menemukan bahwa beberapa mikroorganisme

(18)

2 mereka sementara mereka mensolubilisasi LRC, solubilisasi lignit oleh mikroba

telah banyak diselidiki di seluruh dunia. Mikroorganisme yang digunakan dalam

penelitian ini ada tujuh isolat yang berasal dari Sumatera Selatan. Beberapa

peneliti menyatakan bahwa enzim, kelat atau alkali terlibat dalam mekanisme

biosolubilisasi lignit. Secara khusus, enzim adalah faktor kunci (Tao et al., 2009).

Hasil penelitian sebelumnya oleh Sugoro et al., (2009) menyatakan bahwa

batubara cair hasil biosolubilisasi kapang pada batubara subbituminus Sumatera

Selatan dapat digunakan sebagai energi alternatif. Hasil biosolubilisasi batubara

adalah produk dengan berat molekul tinggi, tidak mengandung komponen

berbahaya karena mikroorganisme mampu membersihkan kandungan sulfur dan

nitrogen dari batubara dan kandungan oksigen yang tinggi (Cohen et al., 1990).

Proses biosolubilisasi terjadi karena adanya interaksi antara batubara

dengan enzim ekstraseluler. Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan

oleh kapang ke luar tubuhnya untuk mendegradasi substrat. Enzim ekstraseluler

tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap akibat dari degradasi

batubara selama proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan kultur ketika

ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison et al., 1989). Produk enzim

ekstraseluler dapat diketahui dengan mengukur kadar protein bebas sel.

Diasumsikan jika kadar protein tinggi maka jumlah enzim ekstraseluler juga

tinggi. Karakterisasi enzim dilakukan dengan cara elektroforesis protein dengan

menggunakan Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis

(SDS-PAGE) untuk mengetahui profil protein bagi solubilisasi batubara dan

(19)

3 Enzim ekstraseluler berperan mendegradasi lignin sebagai substratnya.

Enzim pendegradasi lignin secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu

lakase dan peroksidase. Enzim peroksidase terdiri dari lignin peroksidase (LiP)

dan mangan peroksidase (MnP). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab

terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat

molekul rendah, larut dalam air dan CO2 (Akhtar et al., 1997). Ketiga enzim

tersebut memiliki nilai molecular weight (MW) sebesar 38-47 kDa (LiP), 38-50

kDa (MnP), dan 53-110 kDa (lakase) (Fakoussa and Hofrichter, 1998). Hasil

degradasi enzim ekstraseluler selanjutnya dianalisis oleh GCMS dengan

membandingkan komposisi senyawa hidrokarbon yang setara dengan bensin dan

solar.

1.2.Rumusan Masalah

1. Bagaimana kadar protein ekstraseluler pada isolat kapang selama proses

biosolubilisasi?

2. Bagaimana profil enzim ekstraseluler pada isolat kapang hasil isolasi dari

prtambangan batubara?

3. Apakah hasil analisis GCMS terhadap biosolubilisasi batubara memiliki

karakteristik senyawa hidrokarbon yang mendekati bensin atau solar?

1.3.Hipotesis

1. Kadar protein ekstraseluler pada isolat kapang berpengaruh terhadap

biosolubilisasi batubara .

2. Terdapat perbedaan profil enzim ekstraseluler di antara kultur kapang hasil

(20)

4 3. Hasil analisis GCMS terhadap biosolubilisasi batubara memiliki

karakteristik senyawa hidrokarbon yang mendekati bensin dan solar.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kadar protein ekstraseuler pada isolat kapang yang berperan

dalam proses biosolubilisasi batubara.

2. Mengetahui profil enzim ekstraseluler di antara kultur kapang hasil isolasi

dari pertambangan batubara.

3. Mengetahui karakteristik senyawa hidrokarbon dari batubara hasil

biosolubilisasi.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini yaitu profil protein kultur kapang hasil isolasi

dari pertambangan batubaradiharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

informasi tentang enzim yang mampu mengsolubilisasi batubara untuk

(21)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara

Batubara adalah sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi di dalam suatu

cekungan dan kemudian mengalami proses pembatubaraan (coalification) yang

disebabkan oleh faktor tekanan, suhu dan waktu geologi. Oleh karena itu,

batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Batubara dapat terbentuk

berupa lapisan dengan ketebalan beberapa millimeter sampai dengan ratusan

meter atau dapat pula berupa bahan organik yang tersebar pada suatu batuan

sedimen (Rumidi, 1995).

2.1.1. Klasifikasi Batubara

Menurut Speight (1994), secara umum batubara diklasifikasikan menjadi

empat tipe utama berdasarkan kandungan karbon :

1. Batubara antrasit

Batubara antrasit merupakan batubara dengan tingkat metamorfik paling

tinggi (proses perubahan struktur batuan karena peristiwa tekanan atau pemanasan

yang sangat tinggi), dikenal dengan batubara keras dan memiliki kilau berlian.

(22)

6 Kandungan karbonnya mencapai 80-96 % dari beratnya sehingga dapat

menghasilkan energi paling tinggi dari jenis batubara lainnya, yaitu mencapai

20-28 juta British thermal unit (Btu)/ton. Biasanya dipakai untuk bahan pemanas

ruangan di rumah, perkantoran dan untuk pembuatan briket tanpa asap.

2. Batubara bituminus

Batubara bituminus berwarna hitam, agak keras, komposisi air sangat

kecil, mengandung bahan yang mudah menguap seperti sulfur yaitu sekitar 15-20

%, karbon sebanyak 45-80 % dari beratnya dan energi hasil pembakarannya

mencapai 19-32 juta Btu/ton.

[image:22.612.131.537.162.423.2]

Gambar 2. Batubara bituminus dan strukturnya (American Coal Foundation, 2007).

Hasil pembakaran batubara bituminus berupa api berwarna kuning yang

berasap dan berabu. Penggunaan batubara bituminus ditujukan untuk dikonversi

menjadi arang (coke) yang digunakan dalam industri baja.

3. Batubara subbituminus

Batubara subbituminus berwarna hitam, lunak, kandungan karbon sebesar

35-45 % dan energi yang dihasilkan berkisar antara 16-24 juta Btu/ton.

Kandungan karbon batubara subbituminus lebih rendah dibandingkan batubara

bituminus, akan tetapi menghasilkan pembakaran yang lebih bersih karena

(23)

7

Gambar 3. Batubara subbituminus dan strukturnya (American Coal Foundation, 2007).

Batubara ini merupakan batubara yang sering digunakan dalam industri

karena di Indonesia jumlahnya sangat melimpah. Pemanfaatan batubara

subbituminus terutama digunakan sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Listrik

Tenaga Uap (PLTU).

4. Batubara lignit

Batubara lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong

jenis batubara paling muda, sangat lunak, memiliki warna mulai dari cokelat

hingga hitam kecokelatan. Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering

yang terkena tekanan tinggi.

[image:23.612.131.541.54.460.2]

Gambar 4. Batubara lignit dan strukturnya (American Coal Foundation, 2007). Kandungan karbon berkisar antara 20-35 % dari beratnya dan energi yang

dihasilkan berkisar antara 9-17 Btu/ton. Kandungan airnya lebih tinggi daripada

batubara subbituminus sehingga perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum

(24)

8 2.2. Biosolubilisasi Batubara

Biosolubilisaasi batubara adalah proses pelarutan batubara dalam suatu

medium dengan bantuan mikroorganisme. Biosolubilisasi dapat berupa upaya

untuk mencairkan batubara yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar

pengganti minyak bumi. Disamping untuk mencairkan batubara, biosolubilisasi

dapat pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada

batubara (Speight, 1994). Diketahui bahwa terdapat beberapa jenis

mikroorganisme dari jenis bakteri maupun fungi yang dapat mengubah batubara

padat menjadi produk cair, dengan minimalisasi hilangnya kandungan energi total

awal (Faison et al., 1989).

Biosolubiliasi lignit adalah teknologi yang menjanjikan, memanfaatkan

mikorba untuk mensolubilisasi padatan lignit sehingga diperoleh produk bersih,

sebagai sumber energi dengan biaya efektif. Pada tahun 1982, Cohen pertama kali

melaporkan bahwa lignit dari Amerika dapat disolubilisasi oleh jamur Polyporus

versicolor dan Poria montico. Kemudian pada tahun 1991, Catcheside

melaporkan bahwa lignit Australia dapat disolubiliasai oleh Coriolus versicolor,

Phanerochaete chrysosporium, dan 4 spesies lainnya. Pada tahun 1992,

biosolubilisasi dengan lignit Jerman menggunakan tujuh basidiomycetes telah

diteliti dan dikonfirmasi oleh Resis (Yin et al., 2009).

Pada tahun 2002, Machnikowska menemukan bahwa Polish lignite dapat

disolubilisasi oleh strain P. putida. Pada tahun 2003, Basaran dan rekannya telah

sukses menssolubilisasi lignit Turki ke bentuk cairan hitam dengan menggunakan

jamur Corilous versicolor. Saat ini, Shi dan rekan-rekannya telah mensolubilisasi

(25)

9 nilai pemanasan lignit mentah, yang mengemukakan bahwa hampir tidak ada

energi hilang selama proses biosolubilisasi dan hal ini pun menunjukkan proses

yang efisien dari transfer energi tersimpan dalam padatan lignit menjadi minyak

cair (Yin et al., 2009).

Dibandingkan dengan liquefaksi termal lignit, biosolubilisasi memiliki

beberapa keuntungan, yaitu :

1. Proses dilakukan dalam kondisi suhu dan tekanan atmosfer

2. Konversi lignit menjadi produk fase tunggal tanpa menghasilkan sejumlah

besar produk samping.

3. Fakta membuktikan bahwa mikroba dapat menggunakan hidrogen dari air

dan tidak membutuhkan energi eksternal hidrogen untuk membentuk lignit

tersolubilisasi.

4. Produk biosolubilisasi lignit tidak mengandung sulfur atau nitrogen, yang

berarti tidak akan menghasilkan SOx dan NOx selama proses pembakaran

dan itulah sumber energi bersih (Yin et al., 2009).

Dengan alasan di atas, maka biosolubilisasi lignit menjadi menarik untuk

diteliti lebih dalam di seluruh dunia. Akan tetapi, hasil solubilisasi yang rendah

dan dibutuhkannya waktu konversi yang lama menjadi penghambat

pengembangan biosolubilisasi lignit. Sepengetahuan autor, maksimum

biosolubilisasi lignit hanya mencapai 34%. Waktu terpendek untuk konversi

adalah 10 hari. Maksimum waktu biosolubilisasi membutuhkan sekitar 2 bulan.

Karena biosolubilisasi lignit umumnya diinduksi oleh enzim yang disekresikan

oleh mikroba, kebanyakan ilmuwan mencoba menemukan dan mengisolasi enzim

(26)

10 2.3. Kapang

Kapang adalah kelompok mikroorganisme yang tergolong dalam fungi.

Selain kapang, organisme lainnya yang termasuk ke dalam fungi adalah khamir

dan cendawan (mushroom). Kapang merupakan organisme multiseluler,

eukariotik, tidak berklorofil, dinding selnya tersusun dari kitin, bersifat heterotrof,

menyerap nutrien melalui dinding selnya, mengeksresikan enzim ekstraselular ke

lingkungan, menghasilkan spora atau konidia, bereproduksi seksual dan atau

aseksual (Hidayat et al., 2006).

Tubuh kapang terdiri dari hifa. Hifa berfungsi menyerap nutrien dari

lingkungan serta membentuk struktur reproduksi. Hifa adalah suatu struktur

berbentuk tabung menyerupai seuntai benang panjang yang terbentuk dari

pertumbuhan spora atau konidia. Kumpulan hifa yang bercabang-cabang

membentuk suatu jala dan umumnya berwarna putih yang disebut miselium. Ada

beberapa kapang dengan miselia longgar atau seperti bulu kapas sedangkan yang

lainnya kompak. Penampakan miselia ada yang seperti beludru (velvet) pada

permukaan atasnya, beberapa kering seperti bubuk, basah atau memiliki massa

seperti gelatin (Hidayat et al., 2006).

Pertumbuhan pada kapang adalah pertambahan volume sel, karena adanya

pertambahan protoplasma dan senyawa asam nukleat yang melibatkan sintesis

DNA dan pembelahan mitosis. Pada umunya, kapang mengekskresikan enzim

ekstraselular ke lingkungan. Enzim ekstraseluler tersebut menguraikan

komponen-komponen kompleks pada substrat menjadi komponen-komponen

sederhana yang dapat dengan mudah diserap kapang untuk mensintesis berbagai

(27)

11 suatu substrat dapat diketahui dengan adanya perubahan warna atau kekeruhan

pada substrat cair (Gandjar et al., 2006).

Pertumbuhan kapang pada substrat sebenarnya adalah suatu proses

fermentasi, yaitu kapang mengurai komponen-komponen kompleks yang ada

dalam substrat menjadi komponen-komponen sederhana yang dapat diserap sel

dan digunakan untuk sintesis aneka bagian sel dan untuk energi aktivitasnya

(Gandjar et al., 2006).

Sifat-sifat fisiologi kapang sangat penting dipenuhi agar pertumbuhan

kapang menjadi optimal. Gandjar et al., (2006) menerangkan sifat-sifat fisiologi

kapang sebagai berikut :

1. Kebutuhan air

Pada umumnya, fungi tingkat rendah seperti Rhizopus sp. dan Mucor sp.

memerlukan lingkungan dengan kelembaban nisbi 90 %, kapang Aspergillus

sp, Penicillium sp, Fusarium sp. dan banyak hypomycetes lainnya dapat

hidup pada kelembaban yang lebih rendah yaitu 80 % sedangkan kapang

xerofilik mampu hidup pada kelembaban 70 %.

2. Suhu

Kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar.

Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-30°

C, tetapi beberapa kapang dapat tumbuh pada suhu 35-37° C atau lebih tinggi

seperti Aspergillus sp. Beberapa kapang mampu tumbuh pada suhu dingin

(28)

12 3. Kebutuhan oksigen

Semua kapang bersifat aerobik yaitu membutuhkan oksigen yang cukup

untuk pertumbuhannya.

4. Derajat keasaman (pH)

Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas, yaitu 2-8.5,

akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH

rendah.

5. Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi kapang. Nutrien dalam

substrat baru dapat dimanfaatkan apabila kapang telah mengekskresikan

enzim-enzim ekstraseluler untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi

sederhana.

6. Komponen penghambat

Beberapa kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat

organisme lainnya seperti bakteri, komponen tersebut disebut antibiotik.

2.4.Enzim Ekstraselular

Sebagian besar mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin dapat

diaplikasikan juga untuk mendegradasi batubara (Cohen et al., 1990). Kapang

yang memiliki kemampuan paling baik dalam proses biosolubilisasi batubara

adalah Trametes versicolor, Pleurotus florida, P. ostreatus and P. sajorcaju.

Selain keempat isolat kapang tersebut, kapang lainnya seperti Trichoderma

atroviride, Fusarium oxysporum, Penicillium sp, Candida sp, Aspergillus sp,

Mucor sp, dan Sporothrix sp memiliki kemampuan mendegradasi batubara, akan

(29)

13 mendegradasi batubara menggunakan enzim ekstraselular, hal tersebut diperkuat

dengan penelitian bahwa proses biosolubilisasi pada batubara dikatalis melalui

[image:29.612.136.537.102.410.2]

aktivitas enzim ekstraselular (Ward, 1990).

Tabel 1. Enzim ekstraseluler pendegradasi lignin dari kapang pelapuk putih (Akhtar et al.,1997).

Enzim Tipe Enzim Peran dalam Degradasi MW (KDa) pH Optimum Lignin peroksidase

Peroksidase Degradasi unit non fenolik

38-47 2,5-3,0

Mangan peroksidase

Peroksidase Degradasi unit fenolik

38-50 4,0-4,5

Lakase Fenol oksidase Oksidasi unit fenolik dan non fenolik

53-110 3,5-7,0

Kapang Trichoderma atroviride menggunakan enzim lakase (Holker et al.,

2002) dan enzim oksidatif (Dohse et al., 2002) dalam mendegadasi batubara.

Kapang Fusarium oxysporum, Penicillium sp, Candida sp, Aspergillus sp,Mucor

sp. dan Sporothrix sp. hanya menggunakan enzim oksidatif dalam mendegradasi

batubara (Gupta & Crawford, 2000).

Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang ke luar

tubuhnya untuk mendegradasi substrat. Enzim ekstraseluler tersebut akan

menghasilkan medium yang lebih gelap akibat dari degradasi batubara selama

proses kultur cair atau cairan gelap pada permukaan kultur ketika ditumbuhkan

pada permukaan kultur agar (Faison et al., 1989). Skema sistem degradasi lignin

(30)
[image:30.612.147.540.59.395.2]

14 Gambar 5. Skema sistem degradasi lignin oleh kapang

(Akhtar et al., 1997).

Lignin peroksidase (LiP) merupakan enzim utama dalam proses degradasi

lignin karena mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin. Oksidasi substruktur

lignin yang dikatalis oleh LiP dimulai dengan pemisahan satu elektron cincin

aromatik substrat donor dan menghasilkan radikal aril. LiP memotong ikatan Cα

-Cβ molekul lignin, pemotongan tersebut merupakan jalur utama perombakan

lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih (Hammel, 1996).

Mangan peroksidase (MnP) berperan dalam oksidasi unit fenolik, sehingga

LiP dan MnP dapat bekerja secara sinergis. Siklus katalitik MnP dimulai dengan

pengikatan H2O2 atau peroksida organik dengan enzim ferric alami dan

pembentukan kompleks peroksida besi. Pemecahan ikatan oksigen peroksida

membutuhkan transfer dua electron dari heme untuk pembentukan Fe

(31)

15 dikeluarkan satu molekul air. Reaksi berlangsung sampai terbentuk MnP II, ion

Mn2+ bekerja sebagai donor satu-elektron untuk senyawa antara porfirin dan

dioksidasi menjadi Mn3+. Ion Mn3+ merupakan oksidator kuat yang dapat

mengoksidasi senyawa fenolik tetapi tidak dapat menyerang unit non fenolik

lignin (Perez et al., 2002).

Lakase ditemukan pada kapang, khamir, dan bakteri. Enzim ini tidak

membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Lakase mereduksi

oksigen menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron

membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang

terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al., 1990). Aksi lakase pada aromatik

fenolik menghasilkan pembentukan radikal fenoksi (Fakoussa and Hofrichter,

1998).

2.4.1.Lignin Peroksidase

Lignin peroksidase (LiP) adalah enzim pemecah lignin yang paling banyak

diselidiki dan pertama kali ditemukan dalam jamur Phanerochaete

chrysosporium (Glenn et al., 1983; Tien dan Kirk 1983). Kemudian, LiP ini juga

ditemukan pada beberapa jamur basidiomycetes (misalnya Phlebia radiata,

Hatakka et al., 1987; Trametes (Coriolus) versicolor, Dodson et al., 1987;

Bjerkandera adusta, Kimura et al., 1991; Nematoloma frowardii, Hofrichter dan

Fritsche 1997) dan satu ascomycota (Chrysonilia sitophila; Duran et al., 1987).

LiP adalah sebuah glikoprotein yang mengandung besi protoporphyrin IX (heme)

sebagai suatu kelompok prostetik dan membutuhkan H2O2 untuk aktivitas

katalitik (Gold et al., 1984; Tien dan Kirk 1984). Ini dinyatakan dalam beberapa

(32)
[image:32.612.133.542.57.462.2]

16 Gambar 6. Reaksi enzim peroksidase dengan metilen biru (www.

genchem.rutgers.edu)

Reaksi positif LiP ditandai dengan adanya warna yang memudar pada

medium jika diuji dengan metilen biru. Warna yang memudar terjadi karena

enzim peroksidase mereduksi metilen biru menjadi leukometilen biru (Gambar 6).

2.4.2. Mangan Peroksidase

Mangan peroksidase juga ditemukan dalam P. chrysosporium (Kuwahara

et al., 1984). Menyerupai enzim LIP, yaitu ekstraselular, glikosilasi dan

mengandung heme sebagai gugus prostetiknya. Tapi masing-masing

menggunakan Mn (II) dan Mn (III) sebagai substrat spesifik dan mediator. MnP

juga dinyatakan dalam beberapa bentuk dengan MW dari 38-50 kDa. Di samping

P. chrysosporium, MnP juga telah ditemukan di banyak jamur pelapuk putih

lainnya dan basidiomycetes pembusuk sampah, tetapi tidak dalam jamur atau

bakteri lain (Fakoussa and Hofrichter, 1998).

Uji kualitatif enzim mangan peroksidase digunakan medium padat yang

ditambahkan MnCl2.4H2O. Medium yang mengandung MnCl2.4H2O

(33)

17 diinokulasi beberapa hari. MnP mengkatalisis oksidasi MnCl2 menjadi MnO2

sehingga menghasilkan spot berwarna coklat hitam (TAO et al., 2009).

2.4.3. Lakase

Lakase ditemukan pada kapang, khamir, dan bakteri. Enzim ini tidak

membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Lakase mereduksi

oksigen menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron

membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang

terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al., 1990). Aksi lakase pada aromatik

fenolik menghasilkan pembentukan radikal fenoksi (Fakoussa and Hofrichter,

1998).

Beberapa indikasi yang diberikan bahwa lakase terlibat dalam konversi

lignit oleh T. versicolor dan enzim ini dianggap sebagai agen yang bertanggung

jawab pada kemampuan jamur untuk solubilisasi batubara (pembentukan cairan

hitam dari partikel batubara padat). Purifikasi lebih lanjut dari fraksi lakase

menunjukkan terdapat dua protein, yang pertama menunjukkan aktivitas lakase,

tetapi efeknya sedikit pada batubara, sementara yang lain memiliki sedikit lakase,

tetapi aktivitas solubilisasi batubaranya tinggi (Fakoussa and Hofrichter, 1998).

Aktivitas lakase pada medium padat yang ditambahnkan tannin ditandai dengan

[image:33.612.199.442.577.636.2]

terbentuknya difusi warna cokelat pada medium.

Gambar 7. Reaksi oksidasi oleh enzim fenol oksidase (www.brsquared.org). Difusi warna coklat muncul setelah masing-masing kapang diinokulasi

(34)

18 senyawa fenolik kompleks yang memiliki berat molekul 500-3000. Tanin

berfungsi sebagai pengganti batubara, karena dalam batubara juga mengandung

senyawa fenol. Difusi warna cokelat muncul karena adanya proses oksidasi dari

tanin oleh enzim fenol oksidase (Gambar 7).

2.5.Metode untuk Penentuan Protein Ekstraseluler

Protein yang berasal dari kata proteos (utama atau pertama) merupakan

senyawa makromolekul yang memiliki peranan penting pada setiap makhluk

hidup. Protein dihasilkan dari proses ekspresi genetik molekul DNA yang terdapat

di dalam sel. Protein adalah suatu polipeptida dengan bobot molekul yang sangat

bervariasi, dari 5000 hingga lebih dari satu juta. Disamping berat molekul yang

berbeda-beda, protein mempunyai sifat yang berbeda-beda pula, dengan fungsi

yang spesifik ditentukan oleh gen yang sesuai (Poedjiadi dan Titin, 1994).

Pada penelitian ini, untuk menentukan kadar protein ekstraseluler

digunakan metode Lowry. Metode Lowry dikembangkan pada tahun 1951 dengan

menggunakan reagen pendeteksi Folin-Ciocalteu. Reaksi antara Cu2+ dengan

ikatan peptida dan reduksi asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat oleh tirosin

dan triptofan (merupakan suatu protein) akan menghasilkan warna biru. Warna

yang terbentuk terutama dari hasil reaksi fosfomolibdat dan fosfotungstat. Oleh

karena itu warna yang terbentuk tergantung pada kadar tirosin dan triptofan dalam

protein. Metode Lowry mempunyai keuntungan karena 100 kali lebih sensitif dari

metode biuret. Hasil reduksi ini dapat dianalisa lebih lanjut dengan melihat

puncak absorpsi yang lebar pada daerah panjang gelombang sinar tampak

(600-800 nm) (Apriyanto et al., 1989). Dalam kadar analisa protein dengan cara Lowry,

(35)

19 Albumin) yang memiliki rentang konsentrasi tertentu dimana konsentrasi sampel

protein berada di dalam rentang tersebut.

2.6. Elektroforesis Protein

Menurut Yuwono (2005), elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan

molekul selular berdasarkan atas ukurannya, dengan menggunakan medan listrik

yang dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan

dipisahkan. Kecepatan gerak molekul tergantung pada nisbah (rasio) muatan

terhadap massanya, serta tergantung pula pada bentuk molekulnya.

Elektroforesis dapat digunakan untuk keperluan preparatif, selain bersifat

analitik, bentuknya ada yang bersifat kolom, ada pula yang lempengan. Salah satu

jenis elektroforesis adalah elektroforesis SDS-PAGE (Gambar 8). Sodium

Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) terutama

dilakukan untuk menetapkan berat molekul protein. SDS-PAGE adalah suatu

teknik biologi molekular yang digunakan untuk memisahkan protein sesuai

dengan ukuran. Pada tahun 1998, Laborda et al., menganalisis enzim-enzim

pengsolubilisasi batubara dengan menggunakan metode SDS PAGE. Enzim

esterase, lakase, mangan peroksidase serta enzim lignin peroksidase terbukti ada

[image:35.612.240.413.546.654.2]

atau terdeteksi setelah dilakukan karakterisasi dengan SDS PAGE.

(36)

20 Pada mekanisme SDS PAGE, protein bereaksi dengan SDS yang

merupakan deterjen anionik membentuk kompleks yang bermuatan negatif.

Protein akan terdenaturasi dan terlarut membentuk kompleks berikatan dengan

SDS, berbentuk elips atau batang, dan berukuran sebanding dengan berat molekul

protein. Protein dalam bentuk kompleks yang bermuatan negatif ini terpisahkan

berdasarkan muatan dan ukurannya secara elektroforesis di dalam matriks gel

poliakrilamid. Berat molekul protein dapat diukur dengan menggunakan protein

standar yang telah diketahui berat molekulnya (Garfin, 2003). Gambar 9

[image:36.612.134.528.191.451.2]

menunjukkan gambar denaturasi protein oleh SDS.

Gambar 9. Denaturasi protein oleh SDS (Experimental Biosciences, 2007).

Elektroforesis gel SDS dilakukan pada pH mendekati netral. Adanya SDS

menyebabkan protein rantai ganda akan terdisosiasi menjadi rantai-rantai

individual yang terdenaturasi oleh detergent ini, sehingga susunan yang tadinya

teratur (struktur 3 dimensi) menjadi rusak membentuk konfigurasi “Random

Coil”. Peristiwa ini dibantu oleh adanya merkaptoetanol yang memecah

ikatan-ikatan disulfida antar ataupun dalam rantai (mereduksi ikatan-ikatan disulfida menjadi

gugus-gugus sulfihidril) (Hames, 1998). Oleh karena itu protein dapat dipisahkan

(37)

21 besar mempunyai mobilitas yang lebih kecil dibandingkan dengan kompleks yang

lebih kecil (Garfin, 2003).

2.7.Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari

spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum

dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas

cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer

digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut

ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang

[image:37.612.131.532.132.440.2]

gelombang (Khopkar, 2003).

Gambar 10. Spektrofotometer UV-Vis (Dokumentasi Pribadi, 2010).

Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi dalam daerah UV-Vis karena

mereka mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat

dieksitasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang di mana absorpsi

itu terjadi, bergantung pada berapa kuat elektron itu terikat dalam molekul itu.

Gugus-gugus fungsional tertentu seperti karbonil, nitro, dan sistem terkonjugasi,

benar-benar menunjukkan puncak karakteristik, dan sering dapat diperoleh

informasi yang berguna mengenai ada atau tidaknya gugus semacam itu dalam

(38)

22 Pada penelitian ini analisis produk biosolubilisasi batubara dilakukan

dengan menggunakan spektroskopi sinar ultraviolet-visible (UV-Vis) dengan

merk Spectronic Genesys 2 (Gambar 10). Spektroskopi UV-Vis dapat

menentukan apakah ada ikatan tak jenuh dalam produk biosolubilisasi (Shi et al.,

2009). Panjang gelombang yang digunakan yaitu 250 nm (Shi et al., 2009) dan

450 nm (Laborda et al., 1998). Lignit cair yang dianalisis menggunakan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 250 nm bertujuan untuk

mengetahui adanya gugs fenolik, sedangkan pada panjang gelombang 450 nm

bertujuan untuk mengetahui apakah ada ikatan terkonjugasi atau tidak pada lignit

cair tersebut (Selvi and Banerjee, 2007).

Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah sebagai berikut. Larutan

pembanding ditempatkan, misalnya blangko dalam sel petrtama sedangkan larutan

yang akan dianalisis pada sel kedua. Kemudian dipilih fotosel yang cocok 200

nm-650 nm agar daerah yang diperlukan dapat terliputi. Dengan ruang fotosel

dalam keadaan tertutup ”nol” galvanometer dengan menggunakan tombol

dark-curent. Fotosel dibuka dan dilewatkan berkas cahaya pada blangko dan ”nol”

galvanometer didapat dengan memutar tombol sensitivitas. Dengan menggunakan

tombol transmitansi, kemudian diatur besarnya pada 100%. Berkas cahaya

dilewatkan pada larutan sampel yang akan dianalisis. Skala absorbansi

menunjukkan absorbansi larutan sampel (Khopkar, 2003).

2.8. Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (GCMS)

(Shi et al., 2009; Du et al., 2010 dan beberapa peneliti lainnya) melakukan

penelitian terhadap komponen-komponen yang terkandung dalam produk hasil

(39)

23 senyawa-senyawa produk hasil biosolubilisasi batubara. Kromatografi gas (GC)

digunakan untuk memisahkan komponen-komponen kimia dalam produk-produk

hasil biosolubilisasi batubara . Struktur kimia dari masing-masing komponen

kemudian diidentifikasi oleh spektroskopi massa (MS) (Shi et al., 2009). Dalam

kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai

uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase

diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat

pada zat padat penunjangnya Sedangkan spektroskopi massa adalah suatu

instrumen yang dapat menyeleksi molekul-molekul gas bermuatan berdasarkan

[image:39.612.132.526.298.504.2]

massa atau beratnya (Khopkar, 2003).

Gambar 11. GCMS (Dokumen Pribadi, 2010)

Massa dari molekul-molekul gas bermuatan tersebut dapat diukur

berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa. Pada GC hanya terjadi

pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan, sedangkan bila

dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor) akan dapat mengidentifikasi

komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum bobot molekul pada suatu

(40)

24 Cara kerja GCMS secara singkat adalah sebagai berikut. Sampel

diinjeksikan melalui suatu sampel injection port yang temperaturnya dapat diatur,

senyawa-senyawa dalam sampel akan menguap dan akan dibawa oleh gas

pengemban menuju kolom. Zat terlarut akan teradsorpsi pada bagian atas kolom

oleh fase diam, kemudian akan merambat dengan laju rambatan masing-masing

komponen. Komponen-komponen tersebut terelusi menuju ruang spektroskopi

massa yang berfungsi sebagai detektor (Khopkar, 2003). Kemudian

(41)

25 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian.

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, pada bulan April-Juni 2010 dan

bertempat di Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pasar Jumat, Jakarta dan di Pusat

Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, erlenmeyer,

tabung reaksi, rak tabung reaksi, beaker glass, yellow tube, tabung Eppendorf,

short plate, spacer plate, spatula, ose, inkubator, timbangan analitik, mikropipet,

refrigerator, sentrifus, vortex, pH meter, laminar air flow, spektrofotometer

Uv-vis bermerk Ionic Genesys 2, GCMS bermerk Shimadzu dengan tipe QP2010S,

mini tank horizontal elektroforesis system, sisir pembentuk sumuran (comb),

aluminium foil, plastik tahan panas dan bunsen.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tujuh isolat kapang

dari pertambangan batubara Sumatera Selatan, tisu, kapas, alkohol 75 %, minyak

spiritus, batubara, akuades, NaCl 0,85%, medium Potato Dextrose Agar (PDA),

medium Minimal Salt Solution+ (MSS+), larutan Lowry I dan II (Lampiran 3),

(42)

26 3.3.Prosedur Kerja

3.3.1. Persiapan dan Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan dibersihkan, lalu disterilkan dengan

menggunakan autoklaf pada suhu 121oC dan tekanan 2 atm selama 15 menit.

Peralatan yang tidak tahan panas dapat disterilkan dengan menggunakan alkohol

70%.

3.3.2. Persiapan Serbuk Batubara

Batubara dihaluskan menggunakan mortar secara aseptik di dalam

Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), kemudian disaring menggunakan saringan

berukuran 0,2 mm (200 mesh). Serbuk batubara yang telah siap disimpan di dalam

cawan petri steril untuk digunakan sebagai sumber isolasi kapang indigenous

batubara lignit Sumatera Selatan dan campuran untuk pembuatan medium isolasi

dan seleksi kapang hasil isolasi tersebut (Silva et al., 2007).

3.3.3. Pembuatan Medium Potato Dextrose Agar (PDA)

Sebanyak 7,8 g PDA bubuk dilarutkan dalam aquades 200 ml pada

erlenmeyer. Kemudian dipanaskan dengan menggunakan hot plate dan magnetic

stirer hingga larut. Medium PDA tersebut dimasukkan kedalam autoklaf 2 atm

dengan suhu 121oC selama 15 menit setelah itu didinginkan dan dituang pada

cawan petri.

3.3.4. Pembuatan Medium Minimal Salt Solution+ (MSS+)

Pembuatan medium MSS+ dibuat dengan menyiapkan medium MSS

sebanyak 250 ml kemudian ditambahkan sukrosa 2,5 g lalu dihomogenkan.

Medium MSS+ dalam erlenmeyer dan tabung reaksi disterilisasi menggunakan

(43)

27 Minimal Salt (MMS) dibuat dengan cara menimbang sebanyak 0,52 g

MgSO4.7H2O ; 0,003 Zn SO4.7H2O pH 5,5; 5 g K2HPO4; 0,005 g FeSO4 dan 1 g

NH4SO4, lalu ditambahkan 1 liter aquades kemudian dilarutkan sampai homogen

(Silva et al, 2007).

3.3.5.Uji Kualitatif Enzim Ekstraselular 3.3.5.1. Fenol Oksidase

Reaksi-warna Bavendamm secara luas digunakan untuk mengidentifikasi

kapang. Kapang dikultur pada cawan petri yang mengandung tanin, terlihat difusi

cokelat pada permukaan media kultur. Adanya difusi berwarna cokelat

mengindikasikan adanya fenol oksidase. Tanin (4 mM / L) ditambahkan pada

medium PDA dan pada diameter pertumbuhan miselium dan lingkaran cokelat

tercatat setiap hari (Tao et al., 2009).

3.3.5.2. Lignin Peroksidase

Metode memudar digunakan untuk mengidentifikasi adanya peroksidase.

Metilen biru (0,1 g / L) ditambahkan ke dalam medium kultur PDA yang

ditumbuhi dengan kapang. Warna yang memudar dari medium menunjukkan

keberadaan enzim lignin peroksidase (Tao et al., 2009).

3.3.5.3. Mangan peroksidase (MnP)

MnCl2 · 4H2O (0,1g / L) telah ditambahkan ke dalam medium kultur PDA

dan kapang kemudian diinokulasi selama dua minggu. Selama waktu kultur

dilihat perkembangan bintik hitam cokelat. MnP mengkatalisis oksidasi MnCl2

menjadi MnO2 sehingga menghasilkan spot berwarna coklat hitam (Tao et al.,

(44)

28 3.3.6. Kultur Inokulum Spora

Isolat kapang diremajakan menggunakan medium PDA pada cawan petri

dan diinkubasi pada suhu ruang sampai menghasilkan spora. Sebanyak ± 10 ml

NaCl 0,85% dimasukkan kedalam cawan petri inokulum spora kemudian miselia

kapang dipecahkan menggunakan ose steril lalu dimasukkan ke dalam yellow tube

kemudian divortex sampai kapang larut dalam NaCl.

3.3.7. Biosolubilisasi Batubara

Kultur inokulum spora sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung

erlenmeyer yang berisi 200 ml medium MSS+ dengan jumlah spora yang

diinginkan 108 sel/ml, lalu dihomogenkan. Kemudian dilakukan enam perlakuan,

[image:44.612.128.531.154.507.2]

dimana perlakuan I, II, III digunakan sebagai kontrrol (tanpa batubara).

Tabel 2. Jenis Perlakuan yang digunakan

Perlakuan MSS+ (ml) Kultur Inokulum

Spora (1 ml)

Batubara (%)

I 200 ml B1 -

II 200 ml B2 -

III 200 ml B3 -

IV 200 ml B1 5%

V 200 ml B2 5%

VI 200 ml B3 5%

Tahap selanjutnya, yaitu diinkubasi dengan menggunakan shaking

incubator dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruang selama 28 hari.

Pencuplikan sampel kultur dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, 21, dan 28 untuk

dilakukan pengamatan kolonisasi, pH medium, dan solubilisasi terhdap batubara.

3.3.8. Pengukuran Kadar Protein Ekstraselular

Sebanyak 0,5 ml sampel ditambahkan 2,5 ml larutan Lowry I dan

(45)

29 larutan Lowry II, divortek dan diinkubasi pada suhu ruang selam 30 menit.

Setelah itu absorbansi dibaca dengan Spektrofotometer UV/Vis pada panjang

gelombang 750 nm dan dibandingkan dengan standar Bouvine Serum Albumin

(BSA).

3.3.9. Analisis Profil Protein dengan Elektroforesis SDS-PAGE

Pada penelitian ini menggunakan metode elektroforesis 1 dimensi

SDS-PAGE dengan sistem buffer Laemmli. Konsentrasi gel poliakrilamida yang

digunakan adalah 10%.

a. Preparasi sampel

Kultur inokulum spora pada hari ke-21 untuk kapang B1 dan hari ke-7 untuk

kapang B2 dan B3 diambil sebanyak 75 µl dengan mikropipet ke dalam

tabung effendorf, lalu ditambahkan buffer sampel sebanyak 25 µl dan divortek

hingga homogen, kemudian dipanaskankan selama + 5 menit, setelah itu

disentrifugasi selama 5 menit.

b. Preparasi gel elektroforesis

- Separating gel (10%)

30% Acrylamide solution 6 ml ditambahkan separating gel buffer (1,5 M

Tris-HCl, pH 6,8) sebanyak 4,5 ml, kemudian aquabides 7,5 ml, SDS 50 µl dan 10% Ammonium persulfate 0,08 ml serta TEMED 0,01 ml.

- Stacking gel (45%)

30% Acrylamide solution 0,9 ml ditambahkan stacking gel buffer (0,5 M

(46)

30 c. Pembuatan kolom gel

Setelah separating gel dibuat kemudian dimasukkan sedikit demi sedikit ke

dalam alat elektroforesis dengan mikropipet, lalu ditambahkan aquabides

untuk meratakan separating gel tersebut. Setelah separating gel membeku

dimasukkan stacking gel sedikit demi sedikit, lalu pasang sisir pembentuk

kolom biarkan hingga stacking gel membeku lalu diangkat sisirnya. Kemudian

dipasang hasil gel tersebut pada perangkat elektroforesis.

d. Loading sampel

Larutan buffer dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis. Kemudian sampel sebanyak 15 µl dimasukkan ke dalam kolom gel dengan hati-hati lalu

dielektroforesis selama + 100 menit pada 200 Volt, 40 mA.

e. Pewarnaan gel

Gel diangkat lalu diwarnai dengan coomassie brilliant blue staining gel warna

biru Coomassie R-250, selama + 1 jam.

f. Pencucian gel

Gel dicuci dengan larutan destain solution coomassie R-250, selama + 1 hari.

Selanjutnya hasil pencucian discan dan dianalisis menggunakan LabImage 1D.

3.3.10. Analisis Hidrolisis FDA

Dimasukkan 1 ml supernatan ke dalam tabung reaksi, kemudian

ditambahkan 4 ml KH2PO4 buffer (pH 7,8) 60 nM. Reaksi dimulai dengan menambahkan 40 µg FDA kemudian divorteks dan diinkubasi selama 20 menit.

Setelah penginkubasian segera ditambahkan aseton sebanyak 5 ml untuk

menghentikan reaksi lalu ditutup dengan aluminium foil. Suspensi disaring

(47)

31 ditutup dengan parafilm dan disimpan dalam es batu untuk menguapkan aseton.

Nilai absorbansi ditera dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang

gelombang 490 nm (Breeuwer, 1996).

3.3.11.Pengukuran Absorbansi Produk Biosolubilisasi Batubara

Supernatan dari biosolubilisasi batubara disentrifugasi 5400 rpm selama

30 menit kemudian diukur nilai absorbansinya dengan menggunakan

SpektrofotometerUV-Vis Ionic Genesys 2 pada panjang gelombang 250 nm dan

450 nm untuk mengetahui tingkat solubilisasi batubara (Silva, 2007). Nilai

absorbansi yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat solubilisasi batubara yang

tinggi pula, data tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyeleksi isolat kapang.

3.3.12.Analisis Hasil Solubilisasi Batubara oleh Kapang Indigenous dengan Menggunakan GC-MS

Supernatan dari biosolubilisasi batubara dan pelarut dicampurkan dengan

perbandingan 1:1, pelarut yang digunakan adalah benzena : heksana : dietil eter

dengan perbandingan 3:1:1. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong

Buchner lalu diaduk sampai bercampur kemudian didiamkan beberapa saat

sampai terbentuk fase atas dan bawah, fase atas dipakai untuk mengidentifikasi

jenis senyawa dan menentukan kadar hasil solubilisasi batubara dengan

menggunakan GC-MS (Silva, 2007).

Karakteristik produk biosolubilisasi dilakukan menggunakan alat GCMS

merk Shimadzu dengan tipe QP2010S (Gambar 11), suhu injektor 280 oC, injektor

mode split, waktu pengambilan sampel 1 menit, suhu kolom 40 – 270 oC dengan

pengaturan suhu awal 40 oC ditahan selama 5 menit, dan waktu 10 menit untuk

(48)

32 waktu program 88 menit, suhu detektor 280 oC, suhu interval 250 oC, gas

pembawa He, tekanan utama 500-900, Flow control mode pressure, tekanan 10,9

Kpa, total flow 58,8 ml/m, aliran kolom 0,55 ml/m, percepatan linier 26,0 cm/dt,

aliran pembersihan 3.0 ml/m, split ratio 99,8, jenis kolom Rtx-5MS, panjang kolom 30.00 m, ketebalan 0.25 µm, diameter 0,25 mm, dan jenis pengion EI

(Electron Impact) 70 eV (Whetstine et al., 2003).

3.3.13.Analisa Data

Data penelitian ini dianalisis berdasarkan data visual dengan bantuan

(49)

33 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Analisa Enzim Ekstraselular Secara Kualitatif

Untuk uji kualitatif terhadap enzim ekstraselular, digunakan tujuh sampel

kapang hasil isolasi dari pertambangan batubara yang digunakan yaitu dengan

kode B1, B2, B3, B4, B5, B6, dan B7. Ketujuh sampel kapang tersebut diuji

dengan menggunakan metilen biru, MnCl2.4H2O, dan tanin yang masing-masing

untuk mengetahui adanya enzim peroksidase, mangan peroksidase, dan fenol

[image:49.612.121.530.152.521.2]

oksidase. Hasil dari uji kualitatif enzim ini dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil uji kualitatif enzim ekstraseluler. No. Kode Sampel Lignin

Peroksidase

Mangan peroksidase Fenol Oksidase

1. B1 ++ ++ ++

2. B2 ++ + +

3. B3 + + +

4. B4 - - +

5. B5 - - +

6. B6 - + -

7. B7 + - -

Keterangan : (++) : positif kuat, (+) : positif lemah, (-) : negatif.

Reaksi warna digunakan untuk menyelidiki enzim yang dikeluarkan oleh

masing-masing kapang. Dari ketujuh sampel tersebut, lima diantaranya

menunjukkan reaksi positif terhadap tanin (Tabel 3). Pada kapang B1 difusi coklat

yang dihasilkan cukup banyak (++) dibandingkan dengan empat kapang lainnya

yang hanya menunjukkan reaksi positif lemah ditandai dengan dihasilkannya

(50)

34 B7. Hal ini menunjukkan bahwa kapang B1 menghasilkan enzim ekstraselular

fenol oksidase yang lebih banyak dibandingkan kapang lainnya.

Kapang B1 dan B2 menunjukkan reaksi positif yang kuat, sedangkan pada

kapang B3 dan B7 menunjukkan reaksi positif lemah untuk uji kualitatif enzim

lignin peroksidase (Tabel 3). Ini berarti pada kapang B1 dan B2 mengekskresikan

enzim lignin peroksidase yang cukup banyak, sedangkan kapang B3 dan B7 hanya

sedikit. Untuk kapang B4, B5 dan B6 menunjukkan reaksi yang negatif terhadap

metilen biru.

Kapang B1 menunjukkan reaksi positif yang kuat, sedangkan kapang B2,

B3 dan B6 menunjukkan reaksi positif yang lemah, sementara ketiga kapang

lainnya menunjukkan reaksi yang negatif. Dari ketiga hasil uji kualitatif ini,

menunjukkan bahwa kapang yang menghasilkan enzim peroksidase, fenol

oksidase, dan mangan peroksidase adalah kapang B1, B2, dan B3. Ketiga kapang

ini yang selanjutnya akan digunakan untuk pengukuran parameter selanjutnya

pada penelitian ini.

4.2. Perubahan pH Medium pada Masing-Masing Kapang Selama Proses Solubilisasi

Perubahan pH merupakan hal yang menjadi salah satu faktor pengukuran

dalam proses solubilisasi batubara. Perubahan nilai pH medium memiliki pola

yang hampir sama pada masing-masing kapang (Gambar 12). Nilai pH medium

selama proses solubilisasi berfluktuasi berkisar antara 3-4,5. Perubahan pH terjadi

(51)

35 Gambar 12. Grafik perubahan nilai pH medium selama proses solubilisasi

batubara pada: (A) kapang B1, (B) kapang B2, (C) kapang B3.

pH awal pada medium kontrol kapang B1 yaitu 4,55 sedangkan pada

medium kapang yang ditambahkan batubara yaitu 3,845 (Gambar 12 A). Pada hari

ke-7, pH keduanya mengalami penurunan. Penurunan pH pada hari ketujuh ini

terjadi karena kapang masih mengkondisikan diri terhadap medium. Untuk

[image:51.612.149.540.56.540.2]
(52)

36 peningkatan yang tidak terlalu besar pada hari ke-21 dan ke-28. Untuk

medium+batubara, pH meningkat pada hari ke 14 dan cenderung konstan hingga

hari ke-28.

Nilai perubahan pH pada isolat kapang B2 ditunjukkan pada Gambar 12 B.

pH awal pada medium kontrol dan medium+batubara, yaitu 4,545 dan 3,795.

Untuk medium kontrol, pH mengalami penurunan pada hari ke-7 dan meningkat

lagi pada hari ke-14 dan cenderung konstan hingga hari ke-28. Untuk

medium+batubara, pH juga mengalami penurunan yang cukup jauh pada hari ke-7

dan cenderung konstan hingga hari ke-28.

Nilai perubahan pH pada isolat kapang B3 terlihat pada Gambar 12 C. pH

awal pada medium kontrol, yaitu 4, 545 dan pada medium+batubara, yaitu 3,805.

pH keduanya mengalami penurunan pada hari ke-7 dan meningkat kembali pada

hari ke-14 dan cenderung konstan. Setelah hari ke-7 hingga hari ke-28, terlihat

pada gambar bahwa pH kontrol lebih rendah dibandingkan pH sampel.

Dari ketiga gambar tersebut, terlihat bahwa pH awal medium kontrol lebih

besar daripada pH awal medium+batubara. Hal ini terjadi karena pada batubara

terdapat senyawa-senyawa organik yang terlarut ke dalam medium, sehingga pH

nya menjadi lebih asam. pH yang dihasilkan pada proses biosolubilisasi yang

dilakukan oleh ketiga jenis kapang tersebut cenderung bersifat asam.

Penurunan pH terjadi kemungkinan karena terbentuknya asam-asam

organik seperti asam humat, asam fulvat, dan asam karboksilat (Cerniglia,1992).

Selain itu, pada proses solubilisasi batubara juga terbentuk produk berupa fenol,

aldehid dan keton (Shi et al., 2009). Fenol merupakan senyawa yang mengandung

(53)

37 terbentuk dari oksidasi alkohol primer, dan mempunyai kecenderungan untuk

dioksidasi lebih lanjut menjadi asam karboksilat. Keton terbentuk dari oksidasi

alkohol sekunder sehingga keton juga memiliki sifat asam Meningkatnya

konsentrasi asam organik ini diduga terjadi karena batubara tersebut telah

didegradasi oleh enzim lignin peroksidase, fenol oksidase, dan mangan

peroksidase yang telah diuji pada uji kualitatif enzim pada tahap awal penelitian

ini (Tabel 3).

Selain terjadi penurunan pH, juga terjadi peningkatan pH selama proses

biosolubilisasi. Peningkatan pH terjadi karena dihasilkannya senyawa ammonia

dari hasil degradasi piridin pada batubara (gambar 13). Ammonia dihasilkan

karena terbukanya cincin piridin menjadi pentanol dan ammonia (Du et al., 2010).

Menurut Fakoussa dan Hofrichter (1998), senyawa alkali seperti ammonia dan

amina berperan dalam proses biosolubilisasi karena senyawa alkali tersebut dapat

meningkatkan hidrofilisitas sehingga batubara dapat bercampur dengan air dan

[image:53.612.218.452.471.525.2]

medium.

Gambar 13. Reaksi dearomatisasi piridin (Du et al., 2010).

Selain itu juga dihasilkan senyawa kimia alkali seperti amina dari kapang

(Shi et al., 2009). Senyawa amina ini dihasilkan karena terjadi peningkatan

jumlah sel kapang yang lisis. Sel yang lisis tersebut akan menyebabkan suasana

(54)

38 4.3. Tingkat Biosolubilisasi Batubara Berdasarkan Nilai Absorbansi

Dalam proses pencairan (solubilisasi) batubara, tingkat solubilisasi diamati

melalui absorbansi pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm. Pengukuran

absorbansi pada panjang gelombang 250 nm dan 450 nm ini bertujuan untuk

mengetahui produk hasil solubilisasi batubara oleh kapang (Selvi and Banerjee,

2007). Gambar 14 mempresentasikan performa masing-masing kapang dalam

melakukan solubilisasi batubara melalui pendeteksian secara spektroskopik.

Nilai absorbansi dari supernatan hasil fermentasi kapang pada panjang

gelombang 250 nm bernilai antara 0 sampai 0,981 (Gambar 14). Pengukuran

absorbansi pada panjang gelombang 250 nm ini bertujuan untuk mendeteksi

adanya gugus fenolik (Selvi and Banerjee, 2007). Gugus fenolik merupakan

[image:54.612.132.527.284.548.2]

gugus yang terdapat pada proses degradasi lignin.

Gambar 14. Absorbansi pada panjang gelombang 250 nm pada masing-masing kapang.

Nilai absorbansi tertinggi pada λ 250 nm dimiliki oleh kapang B1 pada

hari ke-28 yaitu 0,981. Pada hari ke-7 nilai absorbansi semua kapang meningkat,

untuk kapang B1 nilai absorbansinya terus meningkat hingga hari ke-28.

Peningkatan nilai absorbansi ini terjadi karena adanya proses biosolubilisasi

(55)

39 senyawa fenol hasil solubilisasi senyawa lignin. Senyawa ini merupakan

komponen terbesar penyusun batubara, dengan bantuan enzim lignin peroksidase

yang mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin dengan memotong ikatan Cα -Cβ molekul lignin. Pemotongan tersebut merupakan jalur utama perombakan

lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih (Hammel, 1996) (Gambar 15).

Gambar 15. Reaksi degradasi lignin oleh enzim lignin peroksidase

(Hammel, 1996).

Untuk kapang B2 dan B3 nilai absorbansi menurun pada hari ke-14 hingga

hari terakhir inkubasi. Penurunan absorbansi ini terjadi karena batubara yang

sudah didegradasi dan melarut dalam bentuk senyawa yang lebih sederhana diurai

kembali menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Perez et al.,2002).

Penguraian menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana ini dilakukan oleh

enzim lakase yang mengoksidasi unit fenolik dan mangan peroksidase (MnP)

[image:55.612.138.534.179.396.2]

yang mendegradasi unit fenolik (gambar 16).

(56)

40 Nilai absorbansi dari supernatan hasil fermentasi kapang pada panjang

gelombang 450 nm bernilai antara 0 sampai 0,065 (Gambar 17). Pengukuran pada

panjang gelombang 450 nm ini bertujuan untuk mengukur adanya ikatan

terkonjugasi pada senyawa aromatik batubara (Selvi and Benerjee, 2007). Pada

panjang gelombang 450 nm, senyawa yang terdeteksi adalah dengan sinar tampak.

Nilai absorbansi tertinggi pada λ 450 nm dimiliki oleh kapang B1 pada

hari ke-14, yaitu 0,065. Untuk kapang B1, nilai absorbansi sedikit meningkat pada

hari ke-7 lalu meningkat tajam pada hari ke-14, yaitu dari 0,02 menjadi 0,065.

Absorbansi pada kapang ini mengalami penurunan pada hari ke-21, lalu

meningkat lagi pada hari ke-28. Pada kapang B3, nilai absorbansi terus

mengalami sedikit peningkatan hingga hari ke-14 dan selanjutnya berfluktuasi

Gambar

Tabel 1. Enzim Ekstraseluler Pendegradasi Lgnin dari Kapang
Gambar 20. Hasil Elektroforesis SDS PAGE ................................................
Gambar 2. Batubara bituminus dan strukturnya (American Coal Foundation,
Gambar 4. Batubara lignit dan strukturnya (American Coal Foundation, 2007).
+7

Referensi

Dokumen terkait