• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai budaya cina dan jawa dalam novel putri cina karya sindhunata sebagai butir pendidikan karakter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai budaya cina dan jawa dalam novel putri cina karya sindhunata sebagai butir pendidikan karakter"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI BUDAYA CINA DAN JAWA

DALAM NOVEL

PUTRI CINA

KARYA SINDHUNATA

SEBAGAI BUTIR PENDIDIKAN KARAKTER

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Johan Aristya Lesmana NIM 107013001450

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRACT

JOHAN ARISTYA LESMANA, 107013001450, "Cultural Values China and Java in Putri Cina Novel Work Item Sindhunata as Character Education." Education Language and Indonesian literary, Faculty of Tarbiya and ScienceEducation, State Islamic UniversitySyarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. January, 2014.

Culture is one of the typical symptoms of humane values that have to be developed for the benefit of human life. Chinese cultural values in a diverse and Java novel Putri Cina Sindhunata work is an example of that culture can be a major influence for human civilization. From the analysis in this paper there are five Chinese cultural values, among others, the value of religiosity, cultural sharing, the value of struggle, forecasts culture, and culture of simplicity. In addition, there are 7 values of Javanese culture is a culture of love harmony,

unggah-ungguh culture or manners, culture ojo dumeh or do not get cocky, cultural welas asih or affection, culture nyekar, weton culture, and cultural responsibilities. Of all the cultural values are cultural values that constitute 9 grain character education, namely, the value of religiosity, cultural simplicity, sharing culture, the value of struggle, love harmony culture, a culture of compassion or affection, unggah-ungguh culture or manners, culture ojo dumeh or not overbearing, and cultural responsibility. There are also values that are rooted in both cultures, but not including grain character education, which in Chinese culture and cultural divination or fortune-telling weton of calculation day, date, month, and year in Java. There is also nyekar in Javanese culture is still done mostly Java community. Expected research can develop character education granules. Cultural values that can enrich the Indonesian cultural treasure that is currently depleting eroded times. Hence the need for seriousness to tackle the crisis before it happened culture of moral decay everywhere, by formulating the cultural values into an educational framework.

(6)

ABSTRAK

JOHAN ARISTYA LESMANA, 107013001450, “Nilai Budaya Cina dan Jawa

dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata sebagai Butir Pendidikan Karakter”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia, Fakultas Ilmu tarbiyah dan Pendidikan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum. Januari, 2014.

Budaya adalah salah satu gejala khas manusiawi yang memiliki nilai untuk dikembangkan bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Nilai-nilai budaya Cina dan Jawa yang beragam dalam novel Putri Cina karya Sindhunata adalah contoh bahwa budaya dapat memberikan pengaruh besar bagi peradaban manusia. Dari analisis dalam skripsi ini terdapat 5 nilai budaya Cina, antara lain; nilai religiusitas, budaya berbagi, nilai perjuangan, budaya ramalan, dan budaya kesederhanaan. Di samping itu terdapat 7 nilai budaya Jawa yaitu; budaya cinta harmoni, budaya unggah-ungguh atau sopan santun, budaya ojo dumeh atau jangan sombong, budaya welas asih atau kasih sayang, budaya nyekar, budaya

weton, serta budaya tanggung jawab. Dari kesemua nilai budaya tersebut terdapat 9 nilai budaya yang merupakan butir pendidikan karakter, yaitu; nilai religiusitas, budaya kesederhanaan, budaya berbagi, nilai perjuangan, budaya cinta harmoni, budaya welas asihatau kasih sayang, budaya unggah-ungguh atau sopan-santun, budaya ojo dumeh atau jangan sombong, dan budaya tanggung jawab. Selain itu terdapat pula nilai-nilai yang mengakar di kedua budaya tersebut, namun tidak termasuk butir pendidikan karakter, yaitu budaya ramalan di Cina dan budaya

weton atau meramal dari perhitungan hari, tanggal, bulan, dan tahun di Jawa. Adapula budaya nyekar di Jawa yang hingga saat ini masih dilakukan sebagian masyarakat Jawa. Diharapkan penelitian ini dapat mengembangkan butiran pendidikan karakter. Nilai-nilai budaya tersebut dapat memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia yang saat ini semakin menipis tergerus zaman. Maka perlu adanya keseriusan untuk menanggulangi krisis budaya tersebut sebelum terjadi kerusakan moral dimana-mana, yaitu dengan merumuskan nilai-nilai budaya tersebut ke dalam suatu kerangka pendidikan.

(7)

i

Asyhaduallaa ilaahailallah, wa asyhadu anna muhammadarrosulullah. Innasholati, wanusuki, wamahyaaya wa mamaati lillahirabbil aalamiin. Alhamdulillah, segala puji dan puja hanyalah pantas untuk Haqqul Yaqien Rabbul Alamiin, Tuhan seru sekalian alam Allah Azza wa jalla yang senantiasa melindungi segenap makhluk yang ada di langit dan di bumi. Dialah Tuhan Esa yang hanya kepada-Nya penulis berlindung dan meminta pertolongan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah dari seluruh umat kepada Sang Mandataris Tuhan di muka bumi untuk menyampaikan ajaran kebenaran, Yaitu Nabiullah Muhammad SAW. Petunjuknya dan segenap ajarannya akan terus terpatri pada seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini merupakan perjuangan panjang penulis selama tujuh tahun menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah untuk memperoleh kelulusan dengan bekal keilmuan yang insyaallah bisa diterapkan dan dipertanggungjawabkan dalam kehidupan nyata penulis. Penulis sadar dalam proses menjalani perkuliahan jauh dari kesan kesempurnaan, penulis mengakui bahwa penulis belum bisa menjadi mahasiswa yang baik selama mengikuti perkuliahan. Perjalanan panjang berliku ini akhirnya membawa penulis kembali di medan penempuhan Program Sarjana pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis berharap secercah tulisan ini dapat dijadikan setitik bahan renungan dan referensi bagi berbagai pihak yang membacanya. Semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca skripsi ini.

(8)

1. Nurlena Rifa’i, Ph.D., Sebagai Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pengampu matakuliah terakhir dalam proses perbaikan perkuliahan penulis. Atas segala inspirasi dan motivasi beliau, penulis diizinkan mengikuti kuliah dan dapat menempuh perkuliahan dengan baik.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seorang Ibu yang baik bagi para mahasiswa PBSI dan dengan penuh kesabaran menunggu dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan program sarjana serta selalu mendukung kegiatan aktivis penulis selama menjadi mahasiswa.

3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan sekaligus dosen pembimbing akademik penulis yang selalu memotivasi dan menginspirasi serta mengingatkan penulis agar bisa menjadi contoh yang baik, dosen yang selalu memberikan apresiasi pada kegiatan – kegiatan penulis selama menjadi mahasiswa dan segera menyelesaikan studi penulis di jurusan PBSI, juga selalu menyemangati penulis agar terus melanjutkan studi setinggi-tingginya.

4. Drs. Jamal D Rahman, M.Hum., seorang dosen pembimbing skripsi yang penulis kagumi pemikiran dan karyanya. Penulis dengan penuh kesadaran memilih konten judul skripsi agar bisa sesuai dengan bidang beliau dengan penuh pengharapan agar beliau bisa membimbing penbulisan skripsi penulis. Dengan kesabarannya, penulis banyak belajar untuk lebih bersemangat menyelesaikan skripsi ini.

(9)

dengan idealisme anda sebagai seorang leader, bukan sebagai mahasiswa biasa”.

6. Keluarga tercinta, Ibu dan Bapak, kedua orangtua penulis. Perpisahan mereka menorehkan tinta emas di hati penulis untuk memacu semangat menjalani kehidupan dengan segala kompleksitas tantangannya. Dengan segala keterbatasan pendidikan dan finansial mereka, penulis mendapat kesempatan untuk berusaha lebih dari yang biasanya. Penulis merasa sangat bangga memiliki orangtua seperti mereka juga adik semata wayang penulis yang menjadi harta berharga penulis agar lebih giat lagi menggapai impian-impian penulis.

7. Para kakanda-ayunda senior penulis di HMI yang memantik api semangat penulis untuk terus melakukan perbaikan dalam diri penulis, memotivasi, menginspirasi, dan terus membimbing penulis hingga saat ini. Amelya Hidayat, Faisal Anwar, M Fathul Arif, Fathul Munir, Riyan Nurdiansyah, Ujang Syarif Hidayatullah, Budi Kurniawan, Ridwan Afandi, Ahmad Fauzi, Eko Arisandi, Amelia Hidayat, Eko Arisandi, Nunung Nurjanah, Eka Setiawati, Neng Sri Nuraini, Siti Nurhayati, Syukri Rifa’i, Sofwan Tamami, Akbar Khadafi, Aris Maulana Akbar, Zul Hendra, Febrian Shandi, Ali Fuad Hendra, dan senior-senior lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

8. Para teman seperjuangan penulis yang terus memberikan semangat. Terutama keluarga kecil penulis; Didah Nurhamidah, Istika Putri, Hilda Nurul Mawaddah. Juga para teman-teman; Ikhwan, Ahmad Bahrul Ulum, Rudi Sopiyadi, M Nurmilal, Eddy Najmudien, Faqih Mufti, Ahmad Zaenuddin, Siti Zaetun, Nia Nirawati, Iman Lesmana, Fajar Chandra Perdapa, Lutfi Syauki Faznur, Media, Sofyan Adenansi, Sri Wahyuni, Irfan Nawawi, Abdul Ghafur, Heri Darmawan, Aufa Maftuhah, Lindah, Mega Fiyani, Taufikurrahman, dan kawan-kawan lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Terima kasih atas dedikasi kawan-kawan.

(10)

kehidupan yang penuh dengan kesabaran dan rasa syukur. Muhammad Abduh, Ahmad Fuad Basyir, Anang Jatmiko, Fathurrohman, Monica Harfiyani, Nurkamaliah, Fiera Endah Pratiwi, Desi Listyaningrum, Rusmiatun Fitriah, Febriandanu Sulistiawan, Siti Maesaroh, dan adinda-adinda lainnya. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

10.Keluarga Besar HMI Cabang Ciputat, Keluarga Besar HMI Komtar, Keluarga Besar BPL, Keluarga Besar Lapenmi, Keluarga Besar Bakornas LDMI PB HMI, Keluarga Besar Lisuma Jakarta, Keluarga Besar IMABSII, Keluarga Besar Mahasiswa PBSI Angkatan 2007, Keluarga Besar Dewan Pendidikan Kota Tangerang Selatan. Keluarga Besar HMI Cabang Bangka-Belitung, HMI Cabang Bengkulu.

11.Para dewan dosen PBSI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dengan penuh semangat dan kesabaran.

12.Dan berbagai pihak yang telah secara sengaja atau tidak sengaja membantu proses kehidupan penulis hingga saat ini.

Semoga semua bantuan, dukungan, semangat, motivasi, inspirasi yang diberikan kepada penulis senantiasa mendapat balasan kemuliaan dari Allah SWT. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kebaikan bagi setiap pembacanya. Amin.

Jakarta, Januari 2014

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi Masalah...5

C. Pembatasan Masalah...6

D. Rumusan Masalah...6

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

F. Metodologi Penelitian...7

G. Kajian Pustaka...11

H. Sistematika Penulisan...12

BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Nilai Budaya...13

1. Definisi Nilai...13

2. Definisi Budaya...14

3. Hakikat Nilai Budaya...18

B. Budaya Cina...19

C. Budaya Jawa...22

D. Hakikat Novel...27

E. Hakikat Pendidikan...28

F. Pengertian Karakter...29

G. Hakikat Pendidikan Karakter...31

1. Pengertian Pendidikan Karakter...31

(12)

BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG NOVEL PUTRI CINA

A. Tinjauan Umum Terhadap Novel Putri Cina...35

B. Tentang Penulis Novel Putri Cina...42

1. Sejarah Kelam Mengilhami Novel Putri Cina...44

2. Totalitas Seorang Penulis...46

C. Sinopsis Novel Putri Cina...49

BAB IV NILAI BUDAYA CINA DAN JAWA DALAM NOVEL PUTRI CINAKARYA SINDHUNATASEBAGAI BUTIR PENDIDIKAN KARAKTER A. Deskripsi Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina...54

B. Analisis Nilai Budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina...61

1. Nilai Budaya Cina...61

2. Nilai Budaya Jawa...69

C. Nilai Budaya Cina dan Jawa dalm Novel Putri Cina sebagai Butir Pendidikan Karakter...74

BAB V PENUTUP A. Simpulan...80

B. Saran...82

DAFTAR PUSTAKA...83

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 : ...34

Tabel 4.1 : ...63

Tabel 4.2 : ...65

(13)

1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Karya manusia untuk menentukan sejarah peradabannya adalah budaya.Setiap manusia memerlukan suatu konsep kebudayaan yang dapat menjadi landasan untuk menjalani kehidupannya. Landasan tersebut menjadi kerangka terukur bagi setiap tindak-tanduk yang dilakukannyan, karena manusia akan mengolahnya sebagai sebuah aturan yang primer untuk mengatur lingkungannya dan hubungannya dengan makhluk lain secara horizontal. Konsep budaya tersebut juga berlaku bagi keyakinan manusia akan hal yang metafisik. Dimana peran budaya dalam hal ini menegaskan keyakinan manusia akan hal yang metafisik sebagai suatu khazanah pengetahuan, bukan suatu hal yang ditakuti atau tidak terjangkau. Dari hal inilah budaya sangat mempengaruhi karakter manusia.

Bila kini kita tahu mulai bergesernya peradaban adalah karena nilai-nilai penyangganya tidak lagi dijadikan kunci pengukur, tidak lagi dihidupi, persoalan menata kembali serta menghadapi krisis nilai terletak pada tiang penyangganya kebudayaan ini.Penempatan kembali manusia pada titik sentral dengan nilai pada dirinya sendiri serta tujuan pada dirinya sendiri memang menjadi syarat pertama penggunaan manusia hanya sekedar nilai alat yang bisa dimanipulasi. Syarat kedua, setiap usaha merumuskan kembali strategi budaya yang sadar, yaitu penghormatan pada yang suci, apa yang esensial, dan yang spiritual dari manusia.1Jadi pengembangan kebudayaan perlu difokuskan pada strategi budaya yang bersumber pada nilai.Disinilah kebudayaan menjadi format karakter yang melekat pada manusia yaitu peningkatan spiritual.

Pudarnya beberapa nilai salah satunya disebabkan oleh jarangnya penggunaan atau pengejawantahan nilai-nilai tersebut di lingkungan sosial, maka

1

(14)

perlu adanya keseriusan dari semua pihak untuk memberikan perhatian pada pendidikan budaya yang berbasis pendidikan karakter.

Dunia ini sempat terguncang dengan beberapa berita yang memilukan, berbagai fenomena abnormal ini benar-benar terjadi di kehidupan nyata dan menyatu dengan masyarakat.Rutinitas tawuran antara SMAN 70 dengan musuh bebuyutannya SMAN 6 Jakarta adalah contoh kecil dari hilangnya nilai persahabatan di kalangan siswa.Sekolah yang bertetangga ini telah menunjukkan karakter yang buruk yang dapat mencoreng dunia pendidikan di negeri ini. Di manapun tawuran antarpelajar itu merupakan aib yang susah dilerai dan diselesaikan, karena ini merupakan kontak balas dendam dari masing-masing sekolah. Jika dirunut kembali ke belakang, awal terjadinya tawuran antara kedua sekolah tersebut sudah cukup lama, antara tahun 80-an. Salah satu faktor hal ini bisa terjadi karena kurangnya pengawasan orangtua, sekolah, dan masyarakat sebagai tripusat pendidikan, serta kurangnya penghayatan nilai-nilai saling memaafkan pada diri siswa. Nilai karakter tentu menjadi pilar penting bagi penyelesaian peristiwa negatif yang berlarut-larut tersebut. Maka semua elemen perlu mengawasi dan membina perjalanan pendidikan, baik di sekolah, maupun di lingkungan masyarakat dan keluarga.

Pada segmen berita lain, kasus pencabulan, pernikahan di bawah umur dan pemerkosaan kian menjadi berita top range di Indonesia. Menikahi gadis di bawah umur seolah menjadi trend di kalangan para pejabat tinggi, bahkan para ulama dengan dalih mengikuti sunnah Rasulullah. Padahal dalam Undang-Undang telah diatur bahwa wanita yang boleh dinikahi adalah yang usinya telah berumur 18 tahun. Beberapa fenomena pernikahan yang tidak lazim sangat mudah kita temukan di tengah-tengah masyarakat. Budaya seperti ini tidak bisa dijadikan contoh yang baik untuk tumbuh kembang anak. Ini adalah penyimpangan budaya yang harus ditolak dan diperbaiki.

(15)

Dari beberapa fenomena kemanusiaan di atas, penulis mencoba mengkaji konsep kebudayaan yang dibangun di tengah masyarakat yang heterogen dan plural. Tulisan akan difokuskan pada nilai budaya yang memberikan sentuhan pendidikan karakter bagi pengembangan kualitas pendidikan di Indonesia.

Perlu diketahui bahwa salah satu definisi dari budaya adalah gejala khas manusiawi,2 maka untuk menentukan arah budaya yang benar perlu adanya pendidikan, karena pendidikan merupakan sebuah subintegrasi dari kebudayaan yang khusus membina karakter manusia layaknya manusia secara utuh, dalam kesempatan lain, pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses memanusiakan manuisa3. Melalui pendidikan diharapkan manusia dapat menentukan budaya yang baik dan benar untuk dapat membantu dirinya mencapai tujuan hidupnya.Maka perlu adanya pendidikan budaya yang mumpuni untuk dijadikan perangkat pembelajaran yang relevan demi terbinanya karakter manusia yang cerdas dan cakap.Di Indonesia dengan berbagai kompleksitasnya, diharapkan pendidikan karakter menjadi jawaban atas segala keresahan yg merundung masyarakat secara umum.Penerapan pendidikan karakter yang selama ini terus digarap oleh pemerintah mesti menjadi rujukan yang sistematis dan aplikatif dalam menjalankan roda pendidikan di semua tingkatan, tak terkecuali SLB sekalipun.

Pendidikan karakter yang juga dipahami sebagai kerangka budaya yang memuat nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia secara utuh mesti dijadikan

grand design bagi terbinanya masyarakat yang mencintai dan mebnghormati kebudayaan nusantara yang sejak lama dibangun dan dicitrakan sebagai bahan rujukan bagi berbagai dimensi kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara. Semua tertuang dalam dalam senyawa yang utuh sebagai suatu kesatuan nilai yang menjadi penggerak semangat nasionalisme dan menjadi pemersatu bangsa Indonesia. Oleh karenanya, setiap lembaga pendidikan yang terus menerapkan pendidikan karakter pada kurikulumnya senantiasa mengafirmasi nila-nilai

2

Ibid., h.4.

3

(16)

budaya bangsa sebagai pijakan utama dalam memberikan pemahaman akan kekayaan ragam budaya bangsa yang bernilai positif bagi kemajuan bangsa.

Muatan nilai-nilai budaya secara formal diterapkan di sekolah ialah pembelajaran sastra.Bagi siswa sekolah, sastra dapat dipelajari bertahap, mulai dari berdongeng yang diterapkan di Sekolah Dasar, hingga pada tahap penulisan karya sastra itu sendiri yang ada pada Standar Kompetensi di Sekolah Menengah Atas dan sederajat.Sebagai pelajaran yang dirangkapkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, sastra juga erat kaitannya dengan sejarah bangsa seperti yang sering dituangkan dalam dongeng dan roman klasik.Dari berbagai kisah dalam sastra tersebut banyak memuat nilai-nilai budaya yang dapat menjadi daya semangat nasionalisme bagi siswa.

Dalam klasifikasinya, sastra khususnya bagi anak, itu ada citraan tersendiri, sastra anak misalnya. Secara umum sastra anak adalah citraan dan atau metafora kehidupan yang disampaikan kepada anak yang melibatkan baik aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak.4 Di sisi lain, sastra juga dapat dimaksudkan pada kategori yang bertujuan untuk mengungkapkan nilai keindahan, sedangkan nilai keindahan ini kemudian dapat terintegrasi menjadi bebagai nilai-nilai yang dapat memaknai kehidupan. Nilai keindahan juga seringkali dipadukan dengan keharmonisan. James Joyce yang dikutif oleh William J. Grace (1965) mengemukakan bahwa keindahan itu mempunyai tiga cirri atau unsure pokok, yaitu: (1) Kepaduan (integrity), (2) keselarasan (harmony), dan (3) kekhasan (individuation).5 Dalam upaya memperkenalkan sastra sebagai ragam budaya membaca dan bercerita anak, tentu keindahan menjadi faktor penentu keberhasilan anak dalam bersastra pada usia dini. Hal demikian menjadi penting mengingat bahwa pendidikan karaktyer itu harus dimulai dan dibiasakan sedini mungkin.Maka, sastra merupakan bagian penting bagi jalannya fungsi pendidikan karakter sebagai upaya utuh untuk melestarikan budaya bangsa.

4

Rohinah M Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendekatan Moral yang Efektif (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)cet.1, h.37.

5

(17)

Pada novel Putri Cina karya Shindunata terdapat beberapa kisah menarik yang disajikan dengan penuh ketelitian dan meyakinkan akan proses asimilasi budaya yang kaya akan makna. Perpaduan budaya tersebut merupakan ragam budaya yang saat ini masih berjaya di tanah nusantara. Bahwa dari beragamnya budaya nasional, mesti adanya keseriusan warga Negara untuk melestarikan dan terus mengembangkannya di masa depan. Penanaman budaya pada siswa sekolah diharapkan dapat menjadi faktor utama bagi berkembangnya pendidikan karakter yang berkualitas.Bahan sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan budaya harus menjadi perhatian serius untuk diterapkan di sekolah sebagai media untuk meningkatkan pendidikan karakter.

Putri Cina merupakan novel epik yang memuat kisah perjalanan seorang wanita keturunan etnik Tionghoa dalam mengarungi berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, sikap feminis dari seorang wanita sejara tajam dikupas secara heroic untuk mempertahankan identitasnya sebagai warga Negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga Negara yang lain. Perjalanan cerita ini merujuk pada berbagai peristiwa sejarah dan budaya yang cerdas disadur oleh pengarang. Penampilan kisah beberapa sejarah budaya jawa yang kental begitu detil disampaikan menjadi sebuah suatu rangkaian peristiwa nyata yang berhubungan langsung dengan kehidupan nyata saat ini. Ketajaman mengupas budaya bahkan donging yang beredar di Nusantara ini yang kemudian menjadi titik fokus dalam mengkaji novel ini sebagai nilai yang berperan penting dalam pengembangan pendidikan karakter.

B. Identifikasi Masalah

Dari beberapa permasalahan yang dibahas di atas, maka identifikasi masalah pada penelitian ini, antara lain:

1. Pendidikan Karakter belum mengacu pada ragam nilai budaya.

2. Belum tercapainya secara maksimal penanaman pendidikan karakter di lembaga pendidikan.

(18)

4. Terbatasnya analisis novel tentang budaya Cina dan Jawa sebagai bahan ajar di sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Pembahasan dalam latar belakang dan identifikasi masalah di atas menyimpulakn ranah pengkajian masalah cukup umum dan luas, maka perlu adanya pembatasan masalah untuk memberikan titik fokus dalam masalah yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini. Penulis membatasi masalah dalam skripsi ini yaitu nilai budaya Cina dan Jawa yang terdapat dalam novel Putri Cina

karya Sindhunata.

D. Rumusan Masalah

Penulisan skripsi ini akan dirumuskan dari identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas.Rumusan masalah dimaksudkan untuk menemukan solusi pada setiap masalah yang berkaitan dengan penelitian pada judulu skripsi ini. Rumusan masalah tersebut antara lain:

1. Bagaimana gambaran tentang nilai budaya Cina dan Jawadalam novel

Putri Cina karya Sindhunata?

2. Nilai budaya Cina dan Jawa apa saja dalam novel Putri Cina karya Sindhunata yang merupakan butir pendidikan karakter?

E. Tujuan dan Manfaat Pengkajian

Pengkajian ini bertujuan untuk:

1. Memberikan gambaran tentang nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel

Putri Cina karya Sindhunata sebagai keragaman identitas bangsa yang perlu dilestarikan.

2. Menganalisis nilai budaya Cina dan Jawa pada Novel Putri Cina karya Sindhunata yang merupakan butir pendidikan karakter.

Adapun manfaat yang dapat diambil dari kajian ini adalah:

(19)

terkandung dalam Novel Putri CinaKarya Sindhunata sebagai upaya untuk mengembangkan butir Pendidikan Karakter di Indonesia.

2. Secara teoretis, kajian ini dapat menjadi acuan bagi berbagai pihak yang mendalami dunia pendidikan dan kebudayaan untuk menelaah lebih dalam tentang nilai budaya Cina dan Jawapada novel Putri Cina karya Sindhunata sebagai pengembang butir Pendidikan Karakter.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah dan hubungannya dengan konteks keberadaannya.Hal tersebut yang menjadikan metode kualitatif bersifat deskriptif. Dalam penelitian karya sastra, misalnya akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya. Objek penelitian metode kualitatif merupakan makna-makna yang terkandung di balik tindakan yang mendorong timbulnnya gejala sosial.Penelitian mempertahankan hakikat nilai-nilai.Sumber data dalam ilmu sastra adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.

Penelitian kualitatif lebih sesuai untuk penelitian hal-hal yang bersangkutan dengan masalah kultur dan nilai-nilai, seperti sastra.6 Penelitian sastra sebagai wujud penelitian kualitatif tentunya harus menerima kenyataan akan adanya keharusan penelitiannya memiliki wawasan yang luas tentang konvensi bahasa, konvensi sastra, dan konvensi sosial budaya agar dapat memberikan interpretasi yang tepat dan keputusan atau kesimpulan yang benar. Sehingga dengan demikian penelitian sastra akhirnya dapat memberi sumbangan yang berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan, ilmu, dan teori sastra, dan bagi peningkatan taraf hidup manusia.

Penelitian dengan metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai budaya Cina dan Jawa yang terdapat dalam novel Putri Cina karya Sindhunata. Metode penelitian sastra yang digunakan secara khusus adalah

6

(20)

metode Pendekatan Ekspresif. Pendekatan Ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau temperamen penulis. Pada abad ke-18, pada masa Romantik, perhatian terhadapa sastrawan sebagai pencipta karya sastra menjadi dominan. Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang. Karya sastra tidak akan hadir jika tidak ada yang menciptakannya sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya.7

Dalam pendekatan ini, penilaian terhadap karya seni ditekankan pada keaslian dan kebaruan. Penilaian sebuah karya seni sebagian besar bergantung pada kadar kebaruan dan penyimpangannya terhadap karya-karya sebelumnya. Yang itu itu adalah yang baru, yaitu sesuatu yang dianggap lebih baik daripada yang lama. Ada keberatan dan kritik bagi pendekatan ekspresif, antara lain disampaikan oleh kaum formalis, strukturalis, dan pragmatis. Pendekatan ini telah ditonjolkan pada zaman klasik kebudayaan Barat. Walaupun pendekatan ini kemudian tidak begitu besar efeknya dalam sejarah kebudayaan Barat. Hal ini barangkali karena penonjolan diri manusia dalam kebudayaan yang berabad-abad lamanya dikuasai oleh agama Kristen dan filsafat yang coraknya sesuai dengan agama itu.

Sejarah panjang mengenai munculnya pendekatan ekspresif sebenarnya ramai dibicarakan pada abad Pertengahan. Manusia selaku pencipta meneladani ciptaan Tuhan. Ide tentang manusia, khususnya sebagai pencipta baru lahir agak lambat dan secara berangsur-angsur dalam sejarah kebudayaan Barat. Kemudian dalam teologi Masehi dan dalam filsafat serta konsepsi klasik ini ditempatkan dalam rangka pandangan terhadap dunia dan alam sebagai ciptaan Tuhan. Tuhanlah yang menjadi pencipta, pencipta yang sungguh-sungguh sejati. Penciptaan oleh manusia selalu bersifat penciptaan kembali. Dalam rangka uraian ini menitikberatkan masalah point of view terutama penting sebagai gejala yang menggarisbawahi usaha untuk melepaskan pengarang dari karyanya dan menentukan serta mempertahankan otonomi karya sastra dari penulisnya. Gejala

7

(21)

penghilangan atau penghapusan pengarang dari karya atau ciptaannya menjadi perdebatan panjang mengenai pendekatan ekspresif. Beberapa kritik tersebut tentu menimbulkan kritik baru yang berupaya untuk melampauinya. Contoh mutakhir tentang mempertahankan dan menyelamatkan kedudukan penulis karya sastra sebagai faktor yang mustahak dan menentukan dalam penafsiran karya sastra adalah buku P.D. Juhl yang berjudul Interpretation. An essay in the Philosophy of Literary Criticism (1980). Buku ini dengan sangat tegas menentang pendirian struktural dan otonomi yang melepaskan karya sastra dari niat penulisnya. Juhl pada pokoknya mempertahankan tiga dalil atau tesis ataupun tuntutan, yang bukan tidak berkaitan satu sama lain sebagai berikut:

1. Ada kaitan logis antara pernyataan mengenai arti sebuah karya dan pernyataan mengenai niat penulisnya.

2. Penulis adalah orang yang nyatanya terlibat dalam dan bertanggung jawab atas proporsi yang diajukan dalam karyanya.

3. Karya sastra hanya mempunyai satu arti. Niat bukanlah yang dinyatakan secara eksplisit oleh penulis mengenai rencana, motif, atau susunan karyanya, melainkan yang diniatkan oleh kata-kata yang digunakan dalam karyanya. Niat bukanlah sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan atau penulisan karya sastra. Niat justru terwujud dalam proses perumusan kalimat-kalimat yang dipakai dalam karya.8

Daya ekspresi pengarang senantiasa tumbuh dan berkembang sehingga muncul berbagai variasi teknik penulisan, gaya, dan berbagai jenis ekspresif. Sastra dipandang memiliki sistem sendiri namun, tidak terlepas dari masalah penciptaan, masalah ekspresi, dan masalah penerimaan sastra oleh pembaca.9

Bagi banyak orang sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan yang buruk. Ada pesan yang sangat jelas di sampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga

8

A Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984) cet.1, h. 177.

9

(22)

dapat dipakai untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya.10 Kemampuan sastra dalam menyampaikan pesan menempatkan sastra menjadi sarana kritik sosial.11 Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat, memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan system komunikasi secara keseluruhan.12 Dalam masyarakat primitif, misalnya, sastra sulit dipisahkan dari ucapan keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari, dan permainan. Dalam membaca novel atau sajak kita masih bisa mendapatkan kenikmatan seperti yang didapatkan dari permainan. Kita pun mungkin bisa merasa lega sehabis mengikuti upacara keagamaan. Dan apabila kita mampu memahami pesan yang terselubung di dalam karya sastra, batin kita lebih tetap dalam menghadapi pekerjaan sehari-hari. Lebih jauh lagi, sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, dan bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu teks novel

Putri Cina karya Sindhunata,

2. Menentukan fokus penelitian yakni menelaah konteks nilai budaya Cina dan Jawadalam novel Putri Cina karya Shindunata sebagai butir Pendidikan Karakter.

3. Menyusun dan membuat laporan penelitian.

G. Kajian Pustaka

Penelitian novel Putri Cina karya Sindhunata ini merupakan penelitian yang sangat jarang dilakukan. Hal ini disebabkan nilai budaya Cina dan Jawa sebagai pembentuk karakter pendidikan pada novel jarang disinggung dalam pengkajian

10

Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. (Magelang: Indonesia Tera, 2006). Cet.3, h.19.

11

Ibid., h.20.

12

(23)

karya ilmiah. Hal demikian yang mendasari penulis untuk mencoba menelaah lebih dalam mengenai kaitan antara kebudayaan daengan pendidikan karakter. Jika mengenai nilai pendidikan karakter sudah ada, berikut sekilas penjabaran maksud tersebut; Analisis berjudul “Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata sebagai Bahan Ajar Apresiasi Novel dan Model Pembelajaran di SMP” yang disusun oleh Candra Nurjaman dari mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tahun 2012 adalah satu-satunya yang penulis dapatkan informasinya pengkajian novel yang menganalisis dengan pendidikan karakter. Penelitian ini dilatarbelakangi karena belum adanya penelitian yang mengkaji nilai pendidikan karakter dalam sebuah novel. Tujuan yang dicapai oleh peneliti adalah untuk mendeskripsikan berkenaan dengan (1) unsur-unsur dan hubungan antar unsure yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, (2) nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, (3) tingkat kesesuaian novel Sang Pemimpi sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMP, (4) model pembelajaran apresiasi novel dengan menggunakan bahan ajar novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Jadi, kesimpulan yang dapat digarisbawahi dari kajian pustaka ini adalah bahwa belum ada penelitian mengenai nilai Budaya Cina dan Jawa sebagai butir Pendidikan Karakter di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai Nilai Budaya Cina dan Jawa sebagai Pembentuk Karakter Pendidikan Nasional adalah penelitian pertama yang dilakukan. Belum ada penelitian serupa mengenai tema ini.

Pada skripsi ini penulis akan membedakan kajian analisis atau kajian pustaka yang telah dilakukan sebelumnya dengan judul di atas. Perbedaan

(24)

dijadikan program unggulan dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional. Peneliti menganalisis adanya nilai-nilai kebudayaan Cina dan Jawa dalam novel

Putri Cinayang dapat dijadikan dasar sebagai pembentuk nilai-nilai karakter pendidikan nasional.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub sebagai berikut:

BAB 1 Berisi Pendahuluan; membahas Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Kajian Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Berisi Kajian Teoretis; Hakikat Nilai Budaya, Budaya Cina, Budaya Jawa, Hakikat Novel,Hakikat Karakter, Hakikat Pendidkan, dan Hakikat Pendidikan Karakter.

BAB III Berisi Deskripsi Umum Novel Putri Cina; Tentang Penulis Novel Putri Cina, Sinopsis Novel Putri Cina.

BAB IV Berisi Deskripsi Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina, Analisis Nilai Budaya Cina dan Jawa Novel Putri Cina, Nilai Budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cinasebagai Butir Pendidikan Karakter.

(25)

13

KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Nilai Budaya

1. Definisi Nilai

Definisi nilai menurut Rahmat adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia, sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Pada dasarnya nilai merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu obyek, bukan obyek itu sendiri. Sesuatu yang mengandung nilai berarti ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu tersebut. Dengan demikian, nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai. Pandangan ini juga berarti nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu yang telah berhubungan dengan subyek (manusia pemberi nilai).13

Nilai menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seseorang individu mengenai hal-hal benar, baik, dan diinginkan. Para peneliti bidang perilaku organisasi sudah lama memasukkan konsep nilai sebagai dasar pemahaman sikap dan motivasi individu. Individu yang memasuki suatu organisasi dengan pendapat yang telah terbentuk sebelumnya tentang apa yang “seharusnya” dan apa yang “tidak seharusnya” terjadi. Hal ini selanjutnya menimbulkan implikasi pada perilaku atau hasil-hasil tertentu yang lebih disukai dari yang lain. Dengan kata lain, nilai menutupi objektivitas dan rasionalitas.

13

(26)

Kata ‘nilai’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Kata ‘nilai’ diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas untuk mempunyai nilai. Maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau berguna dalam kehidupan manusia.

Memahami nilai akan lebih jelas apabila dilanjutkan dengan usaha mempelajari watak nilai. Dengan memahami watak nilai atau etos nilai, diharapkan seseorang dapat mengetahui sesuatu yang berharga dalam kehidupan ini, dan mengetahui apa yang harus diperbuatnya untuk menjadi manusia dalam arti yang sepenuhnya. Hal lain ialah bahwa nilai itu sendiri mempunyai dasar pembenaran atau sumber pandangan dari berbagai hal seperti metafisika, teologi, etika, logika, dan lain-lain.

Nilai budaya sebagai suatu kesatuan makna merupakan kerangka aturan yang berlaku pada kondisi sosial tertentu. Nilai atau value didefinisikan sebagai alasan dasar bahwa “cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seseorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik dan diinginkan. Nilai memiliki sifat isi dan intensitas. Sifat isi menyampaikan bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir dari kehidupan adalah penting. Sifat intensitas menjelaskan betapa pentingnya hal tersebut.

2. Definisi Budaya

(27)

konsep dan penekanan masing-masing. Bahkan ada yang bertentangan dalam hal pertanyaan tentang segi-segi epistemologis dan ontologis.14

Untuk merumuskan definisi Budaya, penulis mencoba membagi menjadi dua ranah pengertian, yaitu pengertian etimologis dan pengertian semantis. Kedua pengertian tersebut merupakan pengertian primer dalam memahami budaya. 2.1. Definisi Etimologis

Dari segi asala katanya, kata ini kerap disejajarkan dengan kata: cultuur

(Belanda), Kultur (Jerman), culture (Inggris), atau cultura (Latin). Kata budaya sendiri sering diartikan dari suku katanya kemudian diberi arti masing-masing suku kata tersebut.Ada yang memilahnya menjadi satuan kata antara budi dan

daya, atau buah dan budi, bahkan bu dan daya.setelah memilah suku kata tersebut, kemudian suku kata itu diartikan terpisah dan disatukan menjadi satu kesatuan arti dari kata budaya. Kata ini juga sering merujuk pada kata buddhaya

(Sansekerta) yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang artinya akal, maksud, dan pandangan. Dalam bahasa sansekerta ada kata lain yang lebih mendekati maksud dari kata budaya, yaitu abhyudaya yang artinya hasil baik, kemajuan, atau kemakmuran yang serba lengkap.15

Pada kesempatan yang lain kata budaya berasal dari buddhayah (sansekerta) yang merupakan bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.16 Kata budi dan akal sebagai rangkaian makna yang menjadi satu kesatuan kata budaya merupakan hal yang tepat menjelaskan bahwa budaya itu merupakan proses menyejarah dengan akal dan budi sebagai pilar utama untuk menciptakan sebuah kebudayaan yang dapat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia sesuai fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi.17

14

M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Budaya (Bandung: Pustaka Satya, 2001), cet.1, h. 16.

15

Mudji Sutrisno, Filsafat kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks (Jakarta: Hujan Kabisat, 2008) cet.1, h.1.

16

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) cet.60, h.150.

17

(28)

Melihat banyaknya pendefinisian kata budaya tersebut, para ahli pun masih belum menarik kesimpulan makna dari kata budaya.Oleh karena itu, kata budaya tetap dibiarkan mendefinisikan kata budaya sesuai dengan kondisi dan keadaan tertentu dalam ruang masyarakat yang majemuk dan memiliki tata nilai sosial yang dinamis.

2.2. Definisi Semantis

Kata budaya atau kebudayaan secara semantic, identik dengan suatu unsure yang menjadi bekal bagi manusia untuk menggali nilai-nilai.Dalam sejarahnya, kata budaya memang banyak digunakan oleh manusia sebagai seperangkat nilai kebaikan yang dapat mengantarkan suatu tatanan nilai untuk mengatur kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan dan keadaan sosial di mana manusia itu hidup.Budaya yang lekat dengan kehidupan manusia tersebut sering didefinisikan secara semantic oleh berbagai pihak yang serius mengkaji masalah-masalah dalam kebudayaan.

2.3. Macam-macam Definisi Menurut Beberapa Disiplin Ilmu

A.L Kroeber dan C Kluckhohn memberikan makna pada 160 arti kebudayaan ke dalam 6 kategori pokok.Masing-masing menurut pendekatan ilmu tertentu.Ilmu sosiologi menekankan kebudayaan sebagai keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain) yang dimiliki manuisa sebagai subyek masyarakat.Ilmu sejarah menekankan perkembangan kebudayaan dan tradisi atau warisan dari generasi ke generasi.Sementara filsafat menekankan aspek normative, nilai-nilai, realisasi cita-cita, dan way of life.18

Manusia sebagai makhluk yang memiliki cirri khas sebagai makhluk pencari makna dengan kelebihan akalnya merupakan definisi primer dalam kaitannya dengan kebudayaan.Setiap manusia dalam Islam khususnya diberikan tugas sebagai khalifah Fi Al-Ardi atau pemimpin di muka bumi.Firman Allah lain, kata khalifah juga diartikan sebagai pengganti, yaitu manusia yang menggantikan makhluk-makhluk sebelumnya. Dengan kelebihan manusia yaitu memiliki akal, Tuhan menegaskan kepada seluruh makhluk ciptaannya untuk patuh dan menyembah manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna. Pada kesempatan yang sama Iblis adalah makhluk yang membangkang peritah Allah tersebut.

18

(29)

dalam Surat Al-Baqarah Ayat 30 ini menjelaskan bahwa Allah telah menugaskan pada manusia untuk mengelola dunianya di bumi dan menjadi pemimpin atasnya.

Jika dicermati lebih mendalam, dalam upaya manusia dalam mengelola dan memimpin bumi itu diperlukan sebuah tatanan nilai sosial yang dapat dijadikan sebagai aturan dalam pengelolaan tersebut. Aturan itu dapat berupa tatanan nilai yang membudaya pada suatu kelompok manusia tertentu dan dijadikan sebagai rambu-rambu dalam menjalankan tugasnya sebagai Khalifah di muka bumi. Pada zaman saat ini mudah sekali menemukan manusia yang kehilangan makna sejati atau tujuan hidup. Dengan mudah orang melihat tidak adanya nilai-nilai penting yang diperlukan bagi suatu keseimbangan manusiawi yang sejati.19 Padahal, pemenuhan nilai-nilai manusiawi itu adalah hal terpenting untuk mewujudkan keseimbangan manusia berlandaskan pada keutuhan manusia sebagai makhluk berakal atau Insan Kamil.

2.4. Unsur- Unsur Kebudayaan

Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsure-unsur kebudayaan, misalnya Melville J Herskovits mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu:20

1. Alat-alat Teknologi 2. Sistem Ekonomi 3. Keluarga

4. Kekuasaan Politik

Bronislaw Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi menyebut unsur-unsur kebudayaan antara lain:

1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya,

2. Organisasi ekonomi,

3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan, perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama,

19

Louis Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991) cet.1, h.30.

20

(30)

4. Organisasi kekuatan.

Masing-masing unsur tersebut memiliki fungsinya masing-masing dalam menentukan pola kehidupan manusia yang berbudaya. Dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur tersebut dapat diklasifikasikan kembali ke dalam tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagau unsur yang universal, yaitu:

1. Peralatan dan Perlengkapan Hidup Manusia 2. Mata Pencarian Hidup dan Sistem-sistem Ekonomi 3. Sistem Kemasyarakatan

4. Bahasa 5. Kesenian

6. Sistem pengetahuan 7. Religi

3. Hakikat Nilai Budaya

Pemahaman akan suatu nilai tidak lepas dari suatu tatanan sifat yang ada pada fitrah manusia. Nilai yang menjadi konsekuensi hidup manusia dalam mengelola kehidupan di dunia merupaka perangkat penting bagi tercapainya tujuan hidup. Penanaman dan pemahaman nilai yang benar akan melahirkan suatu kebudayaan yang baik dan benar pula untuk menjapai tujuan itu. Maka setiap tujuan hidup manusia harus membawa perangkat nilai budaya yang luhur untuk dilestarikan dan dijaga. Jika proyeksi atau rancangan budaya manusia ke depan ditopangkan pada tatanan nilai luhur pada dirinya sendiri, kemungkina jejak perjalanan manusia juga kea rah nilai yang luhur pula. Di sini yang menentukan adalah kompas dasar langkah pengembangan si amnesia dengan kebudayaan itu.

Agar rancang budaya di atas terlaksana dan berlaku, dibutuhkan dua syarat yaitu, pertama, rancang atau tatanan budaya ini mesti pas dengan manusia.Kedua,

(31)

lain lebih menaruh cinta di depan dari pada kebencian atau ketakutan.21 Maka dapat disimpulkan bahwa nilai budaya yang sejati haruslah mengabdi pada manusia, mengembangkan manusia menjadi semakin manusiawi, mengembangkan pribadi yang memiliki pancaran karakter akhlak yang luhur serta sikap hidup yang cakap dan bisa diterima dengan baik dimanapun ia berada.

B. Budaya Cina

Cina adalah nama dari daerah budaya, dan pemukiman turun temurun dari budaya kuno sejak dahulu kala hingga kini, dan merupakan negara di Asia Timur. Peradaban Cina adalah merupakan salah satu peradaban tertua di dunia, yang terdiri dari sejarah dan budaya beberapa negara yang ada sejak 6 milenia yang lalu.Pada perang saudara terakhir di Cina, perang ini berakhir dengan jalan buntu dan mengakibatkan adanya dua negara yang memiliki dua nama Cina yaitu Republik Rakyat Cina. Cina merupakan peradaban tertua di dunia yang masih ada hingga kini. Cina memiliki sistem penulisan yang konsisten sejak dahulu dan masih digunakan hingga kini. Banyak penemuan-penemuan penting bersumber dari peradaban Cina kuno, seperti kertas, kompas, serbuk mesiu, dan materi-materi cetak.Dokumen tertua yang mencatat istilah "cina" di Nusantara adalah inskripsi (tulisan) pada lempeng tembaga Bungur A berangka tahun 860 M. Prasasti ini menyebut tentang juru cina sebagai orang yang bertugas mengurus pedagang/pemukim dari Cina. Dapat diduga, istilah ini dipinjam dari kata bahasa Sanskerta.

Sebagian besar budaya Cina berdasarkan tanggapan bahwa adanya sebuah dunia roh. Berbagai metode penelahan telah membantu menjawab pertanyaan, dan dijadikan pun alternatif kepada obat. Budaya rakyat telah membantu mengisi kekosongan untuk segala hal yang tiada penjelasannya. Kaitan antara mitos, agama dan fenomena yang aneh memang rapat sekali. Dewa-dewi menjadi sebahagian tradisi, antara yang terpenting termasuk Guan Yin , Maharaja Jed dan Budai. Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi menjadi perayaan tradisional

21

(32)

Cina . Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi menjadi perayaan tradisional Tionghoa . Konsep-konsep lain pula diperluas ke luar mitos menjadi lambang kerohanian seperti dewa pintu dan singa penjaga. Konsep-konsep lain pula diperluas ke luar mitos menjadi lambang kerohanian seperti dewa pintu dan singa penjaga. Di samping yang suci, turut dipercayai yang jahat. Di samping yang suci, turut dipercaya yang jahat. Amalan-amalan seperti menghalau mogwai dan jiang shi dengan pedang kayu pic dalam Taoisme adalah antara konsep yang diamalkan secara turun-temurun. Praktek seperti menghalau mogwai dan Jiang shi dengan pedang kayu pic dalam Taoisme adalah konsep yang dilaksanakan secara turun-temurun. Upacara penilikan nasibCina masih diamalkan pada hari ini selepas bertahun-tahun mengalami perubahan. Upacara penilikan nasibCina masih dilaksanakan pada hari ini setelah bertahun-tahun mengalami perubahan.

(33)

spiritual. Perbedaan nyata di antara ketiga kekuatan pembentuk adalaha Confusianisme menganut paham humanism ( kemanusiaan), Taoisme menganut paham naturalism (kekuataan alam) dab Buddhismen menganut paham spiritualisme(kerohanian). Ketiga ajaran ini tidak bersifat religious secara kaku dalam semua upaya membentuk hidup dengan menggunakan metafisik dan epistemologi yang berbeda. Karena budaya dapat berubah sesuai dengan lingkungan baru, selama abad ke 11 ajaran Taoisme dan Buddhisme berasimilasi ke Confusianisme menjadi satu kesatuan yang mencakup ketiganya. Neo Confucian dan Post Confucianisme. Ajaran ini merupakan sistem yang dominan yang tetap menjadi pengaruh besar dalam pemikiran bangsa Cina.

(34)

Beberapa kisah mengenai orang Cina di tanah air dikisahkan pula oleh Pramudya Ananta Toer dalam Hoa Kiau di Indonesia (1960). Kehadiran orang Cina di Indonesia menuai beragam sikap, ada yang menerima dan ada juga yang menolak. Namun, kehadiran orang-orang Cina di tanah air sejak berabad-abad yang lampau dan kemudian memberikan dampak positif terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di tanah air.22

C. Budaya Jawa

Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau ini merupakan pulau berpenduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Jawa dahulu merupakan pusat dari beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak sangat besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.

Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.

22

(35)

Asal mula nama 'Jawa' tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jáwa-wut, yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti "jauh".Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal. Yawadvipa disebut dalam epik IndiaRamayana.

Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta y vaka dv pa (dv pa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti 'rumah'.

Pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa", ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau.

Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat.

(36)

tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar. Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan sarana perhubungan utama masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.

Budaya Jawa adalah budaya yang berasal dari Jawa dan dianut oleh masyarakat Jawa khususnya di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Budaya Jawa secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu budaya Banyumasan, budaya Jawa Tengah-DIY dan budaya Jawa Timur. Budaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Budaya Jawa selain terdapat di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur terdapat juga di daerah perantauan orang Jawa yaitu di Jakarta, Sumatera dan Suriname. Bahkan budaya Jawa termasuk salah satu budaya di Indonesia yang paling banyak diminati di luar negeri. Beberapa budaya Jawa yang diminati di luar negeri adalahWayang Kulit, Keris, Batik dan Gamelan. Di Malaysia dan Filipina dikenal istilah keris karena pengaruh Majapahit LSM Kampung Halaman dari Yogyakarta yang menggunakan wayang remaja adalah LSM Asia pertama yang menerima penghargaan seni dari AS tahun 2011. Gamelan Jawa menjadi pelajaran wajib di AS, Singapura dan Selandia Baru. Gamelan Jawa rutin digelar di AS-Eropa atas permintaan warga AS-Eropa. Sastra Jawa Negarakretagama menjadi satu satunya karya sastra Indonesia yang diakui UNESCO sebagai Memori Dunia.

(37)

pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni. Budaya Jawa termasuk unik karena membagi tingkat bahasa Jawa menjadi beberapa tingkat yaitu Ngoko, Madya Krama. Ada yang berpendapat budaya Jawa identik feodal dan sinkretik. Pendapat itu kurang tepat karena budaya feodal ada di semua negara termasuk Eropa. Budaya Jawa menghargai semua agama dan pluralitas sehingga dinilai sinkretik oleh budaya tertentu yang hanya mengakui satu agama tertentu dan sektarian.

Jawa adalah kancah pertemuan dari berbagai agama dan budaya. Pengaruh budaya India adalah yang datang pertama kali dengan agama Hindu-Siwa dan Buddha, yang menembus secara mendalam dan menyatu dengan tradisi adat dan budaya masyarakat Jawa. Para brahmana kerajaan dan pujangga istana mengesahkan kekuasaan raja-raja Jawa, serta mengaitkan kosmologi Hindu dengan susunan politik mereka. Meskipun kemudian agama Islam menjadi agama mayoritas, kantong-kantong kecil pemeluk Hindu tersebar di seluruh pulau. Terdapat populasi Hindu yang signifikan di sepanjang pantai timur dekat pulau Bali, terutama di sekitar kota Banyuwangi. Sedangkan komunitas Buddha umumnya saat ini terdapat di kota-kota Besar terutama dari kalangan Tionghoa Indonesia.

(38)

sembilan penyebar agama Islam pertama di Jawa (Walisongo), meskipun tidak ada bukti tertulis yang mendukung tradisi lisan ini.

Saat ini lebih dari 90 persen orang Jawa menganut agama Islam, dengan sebaran nuansa keyakinan antara abangan (lebih sinkretis) dan santri (lebih ortodoks). Dalam sebuah pondok pesantren di Jawa, para kyai sebagai pemimpin agama melanjutkan peranan para resi di masa Hindu. Para santri dan masyarakat di sekitar pondok umumnya turut membantu menyediakan kebutuhan-kebutuhannya. Tradisi pra-Islam di Jawa juga telah membuat pemahaman Islam sebagian orang cenderung ke arah mistis. Terdapat masyarakat Jawa yang berkelompok dengan tidak terlalu terstruktur di bawah kepemimpinan tokoh keagamaan, yang menggabungkan pengetahuan dan praktik-praktik pra-Islam dengan ajaran Islam.

Sejarah kerajaan Jawa juga banyak menghiasi perjalanan peradaban di Jawa. Banyaknya konflik dan pertikaian di Jawa membuat paradigma tersendiri yang unik mengenai Jawa. Konflik tersebut lebih cenderung pada konflik internal. Konflik internal tersebut yang menimbulkan krisis di Jawa khususnya Yogyakarta pada waktu itu. Akibatnya kemerdekaan kerajaan di Jawa perlahan mulai hancur. Hal ini ditandai oleh datangnya orang-orang Eropa ke Jawa untuk tujuan menjajah. Simbol kesejahteraan Jawa baru muncul saat Hamengkubuwono II memimpin Yogyakarya. Penduduk Jawa mulai menikmati kesejahteraan dalam pelbagai segi, dan Yogyakarta khususya merupakan sebuah kerajaan yang sangat kuat.23

D. Hakikat Novel

Novel sebagai salah satu jenis prosa dari karya sastra semakin popular di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bacaan cerita yang memiliki alur, novel dapat memberikan efek ekspresi dan apresiasi bagi pembacanya, bahkan tidak sedikit pembaca yang terkagum dan mengikuti karakter sang tokoh dalam novel. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘novel’ berarti karangan prosa yang

23

(39)

panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku.

Menurut Nurgiyantoro, Dunia kesusastraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan.24

Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dinia imajinatif, yang dibangun melalui sebagai unsur instrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuannya tentu bersifat naratif.

Novel berasal dari bahasa Italia,novella, yang dalam bahasa jerman Novelle,

dan dalam bahasa Yunani novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cakupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.25

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

E. Hakikat Pendidikan

Pengertian pendidikan yang dikemukakan para pakar tentu berbeda satu dengan yang lainnya.Pengertian tersebut didasarkan pada pemahaman, budaya, bangsa, dan lain sebagainya.Maka dalam menentukan pengertian pendidikan perlu kita mengambil beberapa pengertian dari pakar tersebut untuk kemudian dipadukan dan ditarik kesimpulan yang sesuai dengan pengertian atau definisi

24

Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: UGM Press, 2000) cet.1, h. 1

25

(40)

yang diberikan oleh para pakar tersebut. Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara memberikan definisi pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan umumnja berarti daja-upaja untuk memadjukan bertumbuhnja budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-baian itu, agar supaja kita dapat memadjukan kesempurnaan hidup, jakni kehidupan dan penghidupan anak-anak jang kita didik selaras dengan dunianja.26

Sehubungan dengan pembahasan ini Alvin Toffler seperti yang dikutip oleh Louis Leahy (1991) mengungkapkan bahwa:

Gelombang guncangan revolusi industri telah membongkar bangunan nilai-nilai lama.Kondisi-kondisi baru menuntut suatu tata nilai baru, tetapi para pendidik malah menghindarinya. Sebagai reaksi terhadap cara pendidikan yang bersifat klerikal, pengajaran fakta-fakta untuk “membiarkan murid bebas berfikir sesuai dengan kehendaknya sendiri” telah menjadi nilai tertinggi bagi paham progresif. Pendidikan masih tetap mempunyai makna pembentuk kepribadian , namun para pendidik telah membuang gagasan penanaman nilai-nilai.

Pada kesempatan lain, kita dapat menuturkan beberapa pengertian pendidikan dari para pegiat di bidang pendidikan.27 Secara definitif, pendidikan diartikan sebagai berikut:

a. John Dewey

Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kea rah alam dan sesame manusia.

b. Langeveld

Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa.Usaha membimbing adalah adalah usaha yang didasari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa.

c. Hoogeveld

26

Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama; Pendidikan (Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa, 1962), h.14-15.

27

(41)

Mendidik adalah membantu anak supaya ia cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.

d. Rousseau

Pendidikan adalam memberi kita pembekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.

Secara garis besar pendidikan Indonesia mengarah pada definisi yang tertuang pada Undang-Undang No.20 tahun 2003, bahwa pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagmaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

F. Pengertian Karakter

Pengertian karakter secara etimologis berasal dari kata Latin, yaitu

“kharakter,”“kharassein,” dan “kharax,” yang bermakna “tools for marking,” “to angrave,” dan “pointed stake.” Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Perancis sebagai “caractere” pada abad ke-14. Ketika masuk ke dalam bahasa Inggris, kata “caractere” ini berubah menjadi “character.” Selanjutnya dalam bahasa Indonesia kata “character” ini menjadi “karakter.”

Pada pemahaman yang lebih luas, karakter itu didefinisikan sebagai kualitas-kualitas yang teguh dan khusus, yang dibangun dalam kehidupan seseorang, yang menentukan responnya tanpa pengaruh kondisi-kondisi yang ada. Secara ringkas, karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.

(42)

Menurut para ahli, karakter yaitu sebagai berikut:28 1. Karakter Menurut Lickona

Karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat alami ini dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan menghargai orang lain, dan karakter-karakter mulia lainnya.

2. Karakter Menurut Suyanto

Suyanto mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.

3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau keperibadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. 4. Karakter menurut Ki Hadjar Dewantara

Pada dasarnya belum ada kata karakter pada masa Ki Hadjar Dewantara. Namun, bisa dikorelasikan sebagai pendidikan budi pekerti. Menurutnya budi pekerti adalah bersatunya antara gerak dan pikiran, perasaan dan keghendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga. Secara ringkas, budi pekerti adalah sebagai sifatnya jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma menjadi tenaga. Dengan adanya budi pekerti manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian, dan dapat mengendalikan diri sendiri.

Setiap orang menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki ciri khas yang berbeda-beda, sebagaimana mereka memiliki roman muka yang berbeda-beda pula. Manusia satu dengan yang lain tidak ada kesamaan sebagaimana perbedaan

28

Agus Wibowo dan Hamrin, Menjadi Guru Berkarakter, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(43)

guratan tangan atau sidik jari mereka. Karena sifatnya yang konsisten, maka budi pekerti itu menjadi penanda seseorang. Misalnya apakah orang tersebut berbudi pekerti baik atau buruk. Maka pendidikan yang baik itu mestinya mampu mengalahjkan dasar-dasar jiwa manusia yang jahat, menutupi, bahkan mengurangi tabiat-tabiat yang jahat tersebut.

G. Hakikat Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter tidak akan efektif.29 Dalam pendidikan karakter tidak cukup dengan pengetahuan lantas melakukan tindakan dengan pengetahuannya saja. Hal ini karena pendidikan karakter terkait erat dengan nilai dan norma.

Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang baik kepada semua yang terlibat dan sebagai warga pendidikan sehingga mempunyai pengetahuan, kesadaran, dan tindakan dalam melaksanakan nilai-nilai tersebut. Semua warga pendidikan yang terlibat dalam pengembangan karakter yang baik ini sesungguhnya dalam rangka pembangun karakter peserta didik. Hal ini penting untuk menemukan contoh dan lingkungan yang kondusif dengan karakter baik yang sedang dibangun dalam kepribadiannya. Di bawah ini adalah skema pendidikan karakter yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

29

Gambar

Tabel 2.1 : ......................................................................................................34
Tabel2.1: Nilai-nilai Pendidikan Karakter
tabel untuk
Tabel 4.2: Kategori Nilai Pendidikan Karakter dalam Teks Novel Putri Cina Bagian 2

Referensi

Dokumen terkait

pedoman kajian nilai budaya novel “ Laskar Pelangi ” yang meliputi hakikat hidup, hakikat karya, persepsi manusia tentang waktu, pandangan manusia terhadap alam,

Pesan-pesan yang disampaikan dalam novel ini bisa dijadikan bahan pembelajaran dalam dunia pendidikan, baik pendidikan di sekolah maupun di lingkungan masyarakat

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai budaya Jawa yang terdapat dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Adapun tujuan yang lebih

Ism aw ati (2005) d alam buku y ang d iterbitkan Pustaka Cakra, Surakarta berjudul Transformasi Perempuan Jawa dalam Fiksi Indonesia: Kajian Transformasi

Dalam hidup di dunia, manusia tidak terlepas dari berbagai problematika sosial, karena ia akan selalu terikat dengan berbagai kebutuhan, baik secara biologis

Riris Mar’atun Sholekhah. “Pewarisan Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Novel Pasar Karya Kuntowijoyo: Pendekatan Antropologi Sastra”. Skripsi Jurusan/Program Studi Pendidikan

2. Nilai budaya yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam yang tercermin dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. a) Manusia tunduk terhadap

Nilai Budaya dalam Mite Silampari Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya yang terdapat dalam mite Silampari mencakup lima nilai budaya, yaitu: a hakikat hidup manusia