TANAH ABANG JAKARTA
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
Oleh :
PINGKY KOMALA
NIM : 106070002285
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii
PENGARUH NILAI BUDAYA
UNCERTAINTY AVOIDANCE
TERHADAP PERILAKU INOVATIF PADA
WIRAUSAHAWAN SUKU MINANGKABAU DI PASAR
TANAH ABANG JAKARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Meraih Gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
PINGKY KOMALA
106070002285
Dibawah Bimbingan:
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.Dr.Abdul Mujib, M.Ag
Miftahuddin M.Si
NIP. 1980614 199704 1 001
NIP. 19730317 200604 1 001
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iii
diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1)
pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 15 Maret 2011
Sidang Munaqosyah
Dekan/
Pembantu Dekan/
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D
Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si.
NIP. 130 885 522
NIP.
19561223 198303 2001Anggota
Ikhwan Lutfi, M.Psi
Prof.Dr.Abdul Mujib, M.Ag
NIP.
1973-710 2005011 006NIP. 1980614 199704 1 001
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Pingky Komala
NIM : 106070002285
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
“Pengaruh Nilai Budaya
Uncertainty Avoidance
Terhadap Perilaku Inovatif Pada Wirausahawan
Suku Minangkabau Di Pasar Tanah Abang Jakarta ”
adalah benar merupakan
karya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam dalam menyusun
skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini
telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai sesuai dengan
undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau
jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, Maret 2011
v
Motto:
vi
vii
(C) Pingky Komala
(D) Pengaruh Nilai Budaya
Uncertainty Avoidance
Terhadap Perilaku Inovatif
Pada Wirausahawan Suku Minangkabau di Pasar Tanah Abang Jakarta
(E)
Halaman : XVII + 84 haman + 27 Lampiran
(F) Kewirausahaan tidak dapat lepas dan individu yang terlibat di dalamnya. Dari
sekian atribut personal yang terdapat dalam diri seorang wirausahawan,
perilaku inovatif merupakan salah satu hal yang berperan penting. Perilaku
inovatif yang dimiliki oleh seorang wirausahawan dapat mengimbangi
perubahan yang terjadi dengan begitu cepatnya, khususnya dalam menghadapi
tantangan globalisasi. Budaya merupakan salah satu faktor yang berperan
dalam kewirausahaan, dimana terdapat nilai-nilai budaya tertentu yang
mendukung peningkatan potensi-potensi yang ada dalam diri seorang
wirausahawan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana nilai budaya
uncertainty avoidance
(mencemasakan ketidakpastian, mementingkan
peraturan , menghindari konflik dan kompetisi, memiliki motivasi berprestasi
rendah, memiliki tingkat stress tinggi, menghindari perubahan, meyakini
pendapat ahli, dan partisipasi rendah pada kegiatan sukarela), usia, lama
berwirausaha, jenis kelamin dan tingkat pendidikan terhadap perilaku inovatif,
sehingga dapat disusun rekomendasi untuk meningkatkan perilaku inovatif.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan analisis regresi untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pengaruh nilai budaya
uncertainty avoidance
terhadap perilaku inovatif.
Sampel penelitian ini terdiri dari 100 responden dengan tehnik
accidental
sampling
. Masing-masing responden diberikan angket dengan jumlah item
sebanyak 69 item yang terdiri dari 25 item skala
uncertainty avoidance
dan 44
item skala perilaku inovatif.
Hasil atau kesimpulan yang terdapat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan nilai budaya
uncertainty avoidance
viii
diujikan satu per satu, tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perilaku inovatif
.
Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada pusat pelatihanwirausaha
memperhatikan aspek-aspek psikologis dan nilai budaya masyarakat
indonesia, dalam hal ini sebaiknya pelatihan yang mendalami bidang
wirausaha, memformulasikan bagaimana caranya menghilangkan nilai budaya
uncertainty avoidance
tinggi, karena hal ini akan memberikan pengaruh
negatif yaitu menghambat berkembangnya perilaku inovatif.
ix
berbagai nikmat, taufik dan hidayah kepada hamba-Nya. Shalawat beserta salam
senantiasa tercurah kepada junjungan alam, penegak keadilan, pemberantas
kedzaliman pengubah dekadensi moral manusia Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, para sahabat dan semua umat manusia yang selalu berusaha
melaksanakan sunahnya.
Akhirnya, berakhir juga langkah awal dari sebuah perjuangan panjang yang
penuh kerja keras dan doa. Meskipun penulis menemui banyak hambatan dan
rintangan dalam proses penyusunan skripsi yang ditujukan untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengaruh Nilai Budaya
Uncertainty Avoidance
Terhadap Perilaku Inovatif
Pada Wirausahawan Suku Minangkabu di Pasar Tanah Abang Jakarta.”
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
keberhasilan yang diperoleh bukanlah semata-mata hasil usaha penulis sendiri,
melainkan berkat dukungan, bantuan, dorongan dan bimbingan yang tidak ternilai
harganya dari pihak-pihak lain. Ucapan terimakasih tak terhingga, penulis
sampaikan kepada :
1.
Bapak Jahja Umar, Ph.D, dekan Fakultas Psikologi, ibu Dra. Fadhila Suralaga,
M.Si, pembantu dekan I sekaligus dosen pembimbing akademik.
2.
Bapak Prof.Dr.Abdul Mujib, M.Ag, pembimbing I, dan Bapak Miftahudin
M.Si, pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu, pikiran, dan
tenaganya serta dengan sabar memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, saran
dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
3.
Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmunya kepada
penulis, dari awal perkuliahan hingga selesai skripsi ini. Para pegawai bidang
akademik dan kemahasiswaan, bagian keuangan, bagian umum, serta seluruh
civitas akademika Fakultas Psikologi atas bantuannya.
4.
Kedua orang tua penulis Bapak (Alm) Hasan Basri dan Ibu Hamidah yang
telah memberikan kasih sayang dan dukungannya baik dari segi moril maupun
materiil, terima kasih sekali dengan kesabaranmu dan do’amu akhirnya skripsi
ini selesai juga. Kedua saudara kandung penulis Muhammad Fauzi S.T, Nuri
Haqi, S.Kom beserta suami (Bagus Priambodo, M.Ti) terima kasih atas
perhatian dan semangat kalian karena kalianlah yang membuat penulis
bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
x
6.
Kepada saudaraku dan sahabatku Raisa Azmi S.Psi dan Raguan Hana. Kalian
benar-benar memberikan warna-warni dalam kehidupan perkuliahan Penulis.
7.
Rekan-rekan pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Komisaiat Psikologi
Cabang Ciputat, Dewan Pimpinan Pusat Partai Reformasi Mahasiswa dan
Lembaga Semi Otonom Trainers Community. Terima kasih atas proses
berorganisasi yang sangat luar biasa.
8.
Kepada teman-teman dan sahabatku yang membantu merampungkan skripsi
ini: Fahry Wibowo, Idham Qodr Muthohar, Arif Rahman, Saiful Bahri, Saiful
Arif, Fredy Kundarto Nazar Fathan, Yudi Rafrianto, Roby Sayahdien,
Triyono, Elis, Kak Agus Noorbani S.Psi, Adiyo R S.Psi, Kak Nurhayatunnisa
S.Psi
,
Kak Ashry Rizqan, Isni P. Noviansjah S.Psi, Elis Bunga Islamia, Aep
Saepuloh dan Doni Priambodo.
9.
Teman-teman psikologi angkatan 2006 khususnya kelas C dan D serta
teman-teman angkatan di atas dan di bawah penulis, terima kasih banyak atas
kebersamaannya dalam bersahabat dan begitu pula atas pembelajarannya
selama ini.
10.
Terima kasih kepada seluruh pedagang suku minangkabau yang telah bersedia
menjadi responden, khususnya keluarga besar bapak Djasmar Sutan Penghulu
pemilik toko Quintana dan kak Asril pemilik toko Folexo.
Hanya asa dan doa yang penulis panjatkan semoga pihak yang membantu
dalam penyelesaian skripsi ini mendapatkan ridho dan balasan yang berlipat
ganda dari Allah SWT, amin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih cukup jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk
dapat menyempurnakan skripsi ini.
Akhir kata, sangat besar hasrat dan harapan penulis semoga skripsi ini
memberikan manfaat yang sangat besar, khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi siapa saja yang membaca dan berkeinginan untuk mengeksplorasinya lebih
lanjut.
Jakarta, Maret 2011
xi
Halaman Persetujuan ... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Halaman Pernyataan ... iv
Abstrak ... vii
Kata pengantar ... ix
Daftar Isi ... xi
Daftar tabel ... xiv
Daftar Gambar ... xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
...
1
1.2.Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
...
9
1.2.1 Pembatasan Masalah ... 9
1.2.2 Perumusan Masalah ... 10
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian... 12
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 12
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 12
1.4 Sistematika Penulisan ... 13
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1.Perilaku Inovatif Pada Wiausaha
...
15
2.1.1.Definisi Perilaku Inovatif Pada Wirausaha ... 15
2.1.2.Ciri-ciri Perilaku Inovatif ... 16
2.2.Nilai Budaya
Uncertainty Avoidance ...
20
2.2.1.Definisi Budaya ... 20
2.2.2 Definisi Nilai ... 21
2.2.3 Penelitian Mengenai Nilai ... 22
xii
2.2.5 Ciri-ciri Nilai Budaya
Uncertainty Avoidance ...
25
2.3.Kerangka Berpikir ... 29
2.4.Hipotesis... 38
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Pendekatan dan Metode Penelititan ... 40
3.1.1.Pendekatan Penelitian ... 40
3.1.2.Metode Penelitian ... 41
3.2.Variabel Penelitian... 41
3.2.1. Definisi Konseptual ... 42
3.2.2. Definisi Operasional... 43
3.3.Pengambilan Sampel... 44
3.3.1.Populasi ... 44
3.3.2.Sampel ... 44
3.3.3.Teknik Pengambilan Sampel ... 44
3.4.Pengumpulan Data ... 45
3.4.1.Teknik Pengumpulan Data ... 45
3.4.2.Instrumen Pengumpulan Data... 47
3.5.Uji Instrumen Penelitian ... 51
3.5.1 Uji Validitas ... 51
3.5.2 Uji Reliabelitas ... 52
3.6.Metode Analisis Data. ... 54
3.7.Prosedur Penelitian ... 55
BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA
4.1.Gambaran Umum Responden ... 57
4.2. Analisis Deskriptif ... 60
4.3. Uji Hipotesis ... 63
xiii
5.2.Diskusi ... 81
5.3.Saran ... 83
5.3.1 Saran Teoritis ... 83
5.3.2 Saran Praktis ... 83
Daftar pustaka ... 84
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan Masyarakan
Uncertaity Avoidence
Tinggi dan Rendah ... 29
Tabel 3.1. Skor Skala Likert
...
46
Tabel 3.2.
Blue Print Try Out
Skala Nilai Budaya
Uncertainty Avoiance
... 48
Tabel 3.3.
Blue Print
Penelitian Skala Nilai Budaya
Uncertainty Avoiance
... 49
Tabel 3.4.
Blue Print Try Out
Skala Perilaku Inovatif ... 50
Tabel 3.5.
Blue Print
Penelitian Skala Perilaku Inovatif ... 51
Tabel 3.6. Kriteria Reliabelitas ... 53
Tabel 4.1. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57
Tabel 4.2. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia ... 58
Tabel 4.3. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 59
Tabel 4.4. Gambaran Umum Responden Berdasarkan Lama Berwirausaha ... 60
Tabel 4.5. Distribusi Skor Nilai Buaya
Uncertainty Avoidance
... 61
Tabel 4.6. Kategorisaasi Skor Nilai Buaya
Uncertainty Avoidance ...
61
Tabel 4.7. Distribusi Skor Perilaku Inovatif ... 62
Tabel 4.8. Kategorisaasi Skor Perilaku Inovatif ... 62
Tabel 4.9. Koefisien 12 Variabel ... 63
Tabel 4.10.
Model Summary
Analisis Regresi 12 Variabel ... 68
Tabel 4.11. Anova Analisis Regresi 12 Variabel ... 68
Tabel 4.12.
Model Summary
Analisis Regresi 8 Variabel ... 69
Tabel 4.13. Anova Analisis Regresi 8 Variabel ... 70
Tabel 4.14. Koefisien Regresi 8 Variabel ... 71
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian. Pembahasan tersebut
meliputi lima bagian, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
1.1
Latar Belakang Penelitian
Kewirausahaan telah lama menjadi perhatian penting dalam mengembangkan
pertumbuhan sosioekonomi suatu negara. Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri
bahwa kewirausahaan dapat membantu menyediakan begitu banyak kesempatan
kerja, berbagai kebutuhan konsumen, jasa pelayanan, serta menumbuhkan
kesejahteraan dan tingkat kompetisi suatu negara. (Zahra dalam Peterson & Lee,
2000).
Dr. Suparman Sumahami Jaya (Bapak Kewirausahaan di Inodonesia)
mengatakan istilah kewirausahaan merupakan pengembangan dari istilah
kewiraswastaan. Perubahan istilah kewiraswastaan menjadi kewirausahaan lebih
banyak didasarkan pada alasan bahasa. Secara maknawi pengertian
kewiraswastaan pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan kewirausahaan. Ahli
bahasa diduga khawatir karena penggunaan istilah kewiraswastaan dapat
mempersempit makna yang sebenarnya, khususnya istilah swasta bila dikaitkan
dipopulerkan pada tahun 1990 (www.otakusaha.wordpress.com). Herawaty
(1998) dalam bukunya mengungkapkan bahwa kewirausahaan adalah bekerja
pada bidang usaha tertentu
Seiring dengan berkembangnya arus globalisasi, kewirausahaan juga
semakin menjadi perhatian penting dalam menghadapi tantangan globalisasi yaitu
kompetisi ekonomi global dalam hal kreativitas dan inovasi (Peterson & Lee,
2000). Dalam menghadapi tantangan global, diperlukan inovasi untuk
menumbuhkan semangat kewirausahaan.(www.okezone.com)
Menurut Felix Jansen (2000), kini dunia memasuki era inovasi setelah
sebelumya berada di era efisiensi di tahun 1950-1960 dan era kualitas di tahun
1970-1980. Organisasi yang tidak melakukan inovasi yang berkelanjutan akan
terlindas oleh pesaing lainnya. (Usmara dan Diwantara, 2004). Artinya
organisasi-organisasi yang terampil dalam berinovasi, sukses menghasilkan
ide-ide baru akan mendapatkan keunggulan bersaing dan tidak akan tertinggal di
pasar dunia yang terus berubah dengan cepat.
Kewirausahaan tidak dapat lepas dan individu yang terlibat di dalamnya.
Individu yang bergelut dalam kewirausahaan biasa disebut dengan wirausahawan.
Wirausahawan (enterpreneur) adalah orang yang membeli jasa-jasa faktor
produksi dalam harga tertentu dan kemudian menjualnya dengan harga-harga
yang belum pasti dan dengan demikian kegiatan bisinis di masyarakat dapat terus
3
Kewirausahaan melekat pada diri manusia, sementara manusia dalam
dunia ini merupakan mahluk utama dan merupakan titik sentral berkembangnya
peradaban masyarakat. Pengembangan peradaban masyarakat yang digerakkan
dan didinamisir oleh unsur kewirausahaan dalam diri adalah untuk kesejahteraan
manusia (Herawaty, 1998). Sumarsono (2010) mengatakan bahwa seorang
wirausahawan yang unggul memiliki sifat-sifat kreatif, origanilitas, berani
mengambil resiko, berorientasi ke depan dan mengutamakan prestasi tahan uji,
tekun, tidak gampang patah semangat, bersemangat tinggi, berdisiplin baja, teguh
dalm pendirian dan inovatif.
Dari sekian atribut personal yang terdapat dalam diri seorang
wirausahawan, perilaku inovatif merupakan salah satu hal yang berperan penting
dalam menghadapi tantangan globalisasi. Perilaku inovatif yang dimiliki oleh
seorang wirausahawan secara umum dapat mengimbangi perubahan yang terjadi
dengan begitu cepatnya, khususnya dalam menghadapi tantangan globalisasi
(Peterson & Lee, 2000). Penelitian ini ingin melihat perilaku inovatif pada
wirausahawan.
Dalam bidang pendidikan, banyak usaha yang dilakukan untuk kegiatan
yang sifatnya pembaruan atau inovasi pendidikan. Suatu proses pendidikan yang
benar-benar inovatif harus mempersiapkan anak didik untuk menghadapi
perubahan serta memberikan kemampuan kepada mereka untuk dapat menjawab
Dalam birokrasi pemerintah, perilaku inovatif juga menjadi pembahasan
yang penting. Mengacu pada definisi Lawson dan Samson (2001) tentang
kemampuan inovasi, kemampuan inovasi birokrasi pemerintah dimaknai sebagai
kemampuan birokrasi pemerintah untuk mentransformasikan secara berkelanjutan
pengetahuan dan gagasan ke dalam berbagai bentuk pelayanan, proses, dan sistem
yang baru, bagi keuntungan lembaga dan stakeholder. (Asropi, 2008).
Wahyu Aditya peraih World Winner of British Council - International
Young Creative Entrepreneur of The Year - Film Category (2007) sebagai
anggota Komite Inovasi Nasional (KIN) juga menekankan pentingnya inovasi
dalam persaingan kewirausahaan.(
http://permitha.net/2010/10/simposium-internasional-ppi-2010/.
Konsep inovatif tampaknya sudah menjadi satu dengan diri seorang
wirausahawan (Hisrich & Peters, 1998). Hal ini tercermin dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Johnson, Danis, dan Dollinger (2008) yang menyatakan
bahwa seorang wirausahawan lebih berperan sebagai seorang inovator daripada
sebagai adaptor. Seorang inovator berani membuat perubahan, ingin melakukan
sesuatu secara berbeda daripada hanya membuatnya menjadi lebih baik,
sedangkan seorang adaptor mempunyai kecenderungan mengikuti pola yang
sudah ada, mengembangkan dan tidak mengubahnya. Dalam hal ini, seorang
wirausahawan yang inovatif suka dengan tantangan dimana mereka merupakan
pencari "masalah" sekaligus pemecah "masalah". Mereka tidak dapat bertahan
lama dengan tugas-tugas rutin. Mereka lebih suka mengambil kontrol pada
5
tradisi yang ada. Wirausahawan yang inovatif juga tampak mempunyai tingkat
keraguan yang rendah dalam menghasilkan ide-ide baru dan juga kemampuan
mengambil keputusan secara mandiri (Danis & Dollinger dalam Johnson, Danis,
& Dollinger, 2008).
Perilaku inovatif yang dimiliki oleh seorang wirausahawan secara umum
dapat mengimbangi perubahan yang terjadi dengan begitu cepatnya, khususnya
dalam menghadapi tantangan globalisasi (Peterson & Lee, 2000). Dalam hal ini
dapat dilihat bahwa, seorang wirausahawan merupakan agen perubahan yang
mengenalkan inovasi-inovasi seperti produk, metode produksi, teknik penjualan,
dan tipe alat pekerjaan yang baru (Schumpeter dalam Mueller & Thomas 2000).
Perilaku inovatif yang dimiliki oleh para wirausahawan membuat mereka mampu
menghadapi tantangan dengan mengubahnya menjadi peluang. Hal ini dapat
menunjang kemajuan bisnis yang mereka geluti karena dengan perilaku inovatif,
mereka mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dan mengimplementasikan
gagasan atau ide baru yang lebih baik dan berbeda dalam bentuk produk, teknik,
jasa, dan lain sebagainya (Shane Scott, 2005). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa dalam menghadapi tantangan globalisasi dimana perkembangan dan
persaingan dalam dunia bisnis terus berkembang pesat, perilaku inovatif sangat
dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena tanpa gagasan atau ide baru yang inovatif,
kemungkinan bisnis yang digeluti menjadi ketinggalan karena konsumen selalu
menuntut hal baru seiring dengan berkembangnya arus globalisasi (Sangeeta
Berger (dalam Peterson & Lee, 2000) mengatakan budaya merupakan salah
satu faktor yang berperan dalam kewirausahaan, dimana terdapat nilai-nilai
budaya tertentu yang mendukung peningkatan potensi-potensi yang ada dalam
diri seorang wirausahawan .
Asair (1996) lebih detail mengatakan budaya atau kepribadian kelompok
memainkan peran penting dalam inovasi. Beberapa budaya mendukung inovasi
tetapi yang lain tidak. Ketika invididu seorang yang kreatif dan membangun
sebuah tim dengan kemampuan pemecahan masalah yang kreatif, kurang optimal
jika lingkungan organisasi kurang menghargai pendapat ide-ide baru.
Budaya didefnisikan sebagai suatu sistem yang membawahi nilai-nilai dari
kelompok dalam suatu masyarakat, yang membentuk beberapa trait
kepribadian yang mendorong individu di dalamnya untuk terlibat dalam suatu
perilaku atau kegiatan yang mungkin berbeda dari kelompok masyarakat yang
ada (Petrakis, 2003). Di Indonesia sendiri, terdapat berbagai macam budaya yang
dapat dilihat dari keragaman suku bangsa yang ada. Salah satu suku bangsa di
Indonesia yang identik dengan kepiawaiannya dalam berwirausaha adalah
suku Minangkabau.
Dalam hubungannya dengan budaya, penelitian yang dilakukan Hofstede
mengelompokkan nilai budaya menjadi empat dimensi yaitu uncertainty
avoidance, power distance, masculinity-feminity, individual-collectivism (Wagner
dan Holenbeck, 1995). Uncertainty avoidance merupakan tingkat dimana anggota
dari suatu kelompok budaya merasa terancam dengan situasi yang tidak pasti atau
7
Budaya dengan uncertainty avoidance yang rendah dapat menerima
ketidakpastian dalam hidup secara lebih mudah, sehingga mereka umumnya
mempunyai keinginan yang kuat untuk mengambil resiko. Mereka memiliki
kontrol terhadap konflik dan kompetisi. Selain itu, mereka juga menganggap
bahwa sesuatu yang berbeda yang ada di lingkungan bukanlah sesuatu yang
mengancam oleh karena itu mereka mempunyai toleransi yang tinggi terhadap
perilaku kreatif dan baru (Hotstede dalam Mueller & Thomas, 2000). Sedangkan
budaya dengan uncertainty avoidance yang tinggi biasanya menghindari adanya
konflik dan kompetisi sehingga mereka biasanya terpaku pada pola perilaku
tertentu. Oleh karena itu, mereka memiliki toleransi yang rendah kepada sesuatu
yang mereka anggap "berbeda" dan baru (Hofstede dalam Sangeeta Singh, 2006).
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa nilai budaya uncertainty
avoidance dan perilaku inovatif cenderung memiliki hubungan dalam hal
toleransi terhadap ambiguitas atau ketidakpastian. Perilaku inovatif cenderung
dihubungkan dengan peran seorang wirausaha dalam menjalankan usahanya
(Cohumpeter, 1934 dalam Mueller & Thomas, 2000). Dalam hal ini,
wirausahawan dituntut mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan
dibawah kondisi yang tidak pasti misalnya saja ketika seorang wirausahawan
membuat keputusan mengenai bagaimana mengkombinasikan sumber yang ia
miliki menjadi sebuah produk yang baru tanpa mengetahui secara pasti apakah
Di sisi lain, budaya dengan uncertainty avoidance yang rendah lebih
mempunyai toleransi yang tinggi dalam menerima sesuatu yang baru atau
berbeda, hal ini dapat membuat wirausahawan lebih menikmati dan bebas dalam
menciptakan ide-ide yang baru atau berbeda di kondisi tersebut. Budaya ini juga
mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap konflik dan kompetisi dimana
individu di dalamnya tidak terpaku pada suatu pola perilaku tertentu seperti
mengumpulkan berbagai bukti-bukti atau mekanisme formal sebelum mengambil
keputusan sehingga kondisi ini memudahkan individu mengambil keputusan
dalam penciptaan ide-ide baru walaupun informasi yang ada hanya terbaias. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa, uncertainty avoidance yang rendah memacu
individu-individu di dalamnya untuk mencoba hal baru walaupun tidak ada
garansi bahwa akan ada kesuksesan yang mengikutinya sehingga kondisi ini
membuat individu di dalamnya semakin leluasa untuk mcnghasilkan ide-ide baru
yang inovatif.
Di Indonesia terdapat berbagai macam budaya yang dapat dilihat dari
suku-suku bangsa yang ada. Dari sekian banyak suku bangsa, suku Minangkabau
terkenal dengan kepiawaiannya dalam berwirausaha. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya wirausaha yang berasal dari suku tersebut. Suku Minangkabau
juga termasuk suku yang tidak rentan terhadap perubahan dan perbedaan (Navis,
1984), sehingga dapat dikatakan suku Minangkabau mempunyai tingkat
uncertainty avoidance yang rendah. Namun, penelitian yang dilakukan oleh
9
Faktor yang mendasari perbedaan masyarakat dengan nilai budaya
Uncertainty Avoidance rendah atau tinggi adalah: mencemasakan ketidakpastian,
mementingkan peraturan, menghindari konflik dan kompetisi , memiliki motivasi
berprestasi rendah, memiliki tingkat stress tinggi, menghindari perubahan,
meyakini pendapat ahli, dan partisipasi rendah pada kegiatan sukarela.
Pada penelitian ini penulis juga ingin melihat faktor-faktor demografi yang
mempengaruhi perilaku inovatif, yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan
lama berwirausaha.
Berdasarkan alasan tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti
mengenai nilai budaya uncertainty avoidance dan perilaku inovatif pada
wirausahawan bersuku bangsa Minangkabau, sehingga penulis membuat
penelitian dengan judul: “Pengaruh nilai budaya uncertainty avoidance terhadap perilaku inovatif pada wirausahawan suku Minangkabau di Pasar Tanah Abang Jakarta”.
1.2
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka penelitian ini akan diberi
batasan sebagai berikut:
1. Uncertainty Avoidance yang dimaksud adalah Uncertainty Avoidance
menurut Hofstede & Hofstede yaitu besarnya perasaan terancam yang
dialami oleh anggota dari sebuah masyarakat budaya tertentu, akan
2. Perilaku Inovatif yang dimaksud adalah Perilaku Inovatif menurut
Rosenfeld & Servo, yaitu mengubah ide kreatif ke dalam bentuk produk
atau proses yang nyata dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan
dan pemotongan biaya produksi dalam organisasi.
3. Wirausahawan yang dimaksud sesuai dengan pendapat Cantillon, yaitu
orang membeli jasa-jasa faktor produksi pada tingkat dalam harga
tertentu dan kemudian menjualnya dengan harga-harga yang belum
pasti. Adapun batasan dari subjek penelitian yang hendak peneliti angkat
dalam penelitian ini adalah wirausaha bersuku minangkabau di Pasar
Tanah Abang Jakarta, dimana yang dimaksud dengan bersuku
minangkabau adalah salah satu orang tua responden merupakan
keturunan suku minangkabau.
1.2.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Apakah ada pengaruh nilai budaya uncertainty avoidance terhadap perilaku
inovatif pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar Tanah Abang Jakarta.
1.1Apakah mencemaskan ketidakpastian memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perilaku inovatif pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar
Tanah Abang Jakarta.
1.2 Apakah mementingkan peraturan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perilaku inovatif pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar
11
1.3Apakah menghindari konflik dan kompetisi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perilaku inovatif pada wirausahawan suku
minangkabau di Pasar Tanah Abang Jakarta.
1.4Apakah memiliki motivasi berpestasi rendah memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perilaku inovatif pada wirausahawan suku
minangkabau di Pasar Tanah Abang Jakarta.
1.5Apakah memiliki tingkat stress tinggi memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perilaku inovatif pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar
Tanah Abang Jakarta.
1.6Apakah menghindari perubahan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perilaku inovatif pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar
Tanah Abang Jakarta.
1.7Apakah meyakini pendapat ahli memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perilaku inovatif pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar
Tanah Abang Jakarta.
1.8Apakah partisipasi rendah terhadap kegiatan sukarela memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap perilaku inovatif pada wirausahawan suku
minangkabau di Pasar Tanah Abang Jakarta.
2. Apakah usia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku inovatif
pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar Tanah Abang Jakarta.
3. Apakah lama berwirausaha memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perilaku inovatif pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar Tanah
4. Apakah jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku
inovatif pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar Tanah Abang Jakarta.
5. Apakah tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perilaku inovatif pada wirausahawan suku minangkabau di Pasar Tanah
Abang Jakarta.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh
mana nilai budaya uncertainty avoidance (mencemasakan ketidakpastian ,
mementingkan peraturan , menghindari konflik dan kompetisi, memiliki motivasi
berprestasi rendah, memiliki tingkat stress tinggi, menghindari perubahan,
meyakini pendapat ahli, dan partisipasi rendah pada kegiatan sukarela), usia, usia
mulai berwirausaha, jenis kelamin dan tingkat pendidikan terhadap perilaku
inovatif, sehingga dapat disusun rekomendasi untuk meningkatkan perilaku
inovatif.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap:
1. Dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan kepada pemerintah
atau pusat-pusat pelatihan kewirausahaan untuk membuat program
pengembangan kewirausahaan dalam meningkatkan perilaku inovatif
13
agar dapat bersaing di era globalisasi yang ditandai dengan begitu
cepatnya perubahan yang terjadi.
2. Dapat memberikan informasi dan masukan kepada wirausahawan yang
berada di dalam maupun diluar kawasan penelitian untuk terus
memperhatikan dan meningkatkan aspek-aspek psikologi dalam kaitannya
dengan kinerja wirausahawan melakukan kewirausahaan.
3. Dapat menambah informasi untuk memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan khususnya Psikologi Industri dan Organisasi agar dapat
dijadikan pedoman untuk penelitian lebih lanjut terutama dalam mengkaji
variable lain yang berkaitan dengan nilai budaya uncertainty avoidance
dan perilaku inovatif degn kancah penelitian yang berbeda.
1.4
Sistematika Penulisan
Pada penulisan tugas akhir ini penulis menggunakan kaidah American
Psychologycal Association (APA) style. Dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB 1 : Pendahuluan
Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian. Pembahasan tersebut
meliputi lima bagian, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan
BAB 2 : Kajian Teori
Bab ini membahas mengenai dasar penelitian ini. Pembahasan tersebut meliputi
empat bagian, yaitu teori nilai budaya uncertainty avoidace, teori perilaku
inovatif, kerangka berpikir dan pengajuan hipotesa.
BAB 3 : Metodelogi Penelitian
Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.
Pemahasan tersebut meliputi tujuh bagian yaitu pendekatan dan metode penelitian,
variabel penelitian, pengambilan sampel, pengumpulan data, uji instrumen
penelitian, metode analisa data dan prosedur penelitian.
BAB 4 : Analisis Hasil Penelitian
Bab ini membahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan
tersebut meliputi tiga bagian yaitu gambaran umum responden analisis deskriptif
dan uji hipotesis.
BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan.
BAB 2
KAJIAN TEORI
Bab ini membahas mengenai dasar penelitian ini. Pembahasan tersebut meliputi
empat bagian, yaitu teori nilai budaya uncertainty avoidace, teori perilaku
inovatif, kerangka berpikir dan pengajuan hipotesa.
2.1 Perilaku Inovatif Pada Wirausaha
2.1.1 Definisi Perilaku Inovatif Pada Wirausaha
West (2000) menyatakan bahwa inovasi merupakan pengenalan dan penerapan
ide, proses, produk, atau prosedur baru yang lebih baik secara sengaja kepada
pekerjaan, tim kerja atau organisasi yang ada dengan tujuan menguntungkan
pekerjaan, tim kerja atau organisasi itu. Dalam hal ini inovasi bersifat relatif,
inovasi tidak harus setara dengan menentukan mesin uap. lnovasi adalah segala
bentuk produk baru yang lebih baik atau cara baru yang lebih baik dalam
mengerjakan berbagal hal, yang diperkenalkan oleh individu, kelompok atau
organisasi, dan yang mempengaruhi pekerjaan, individu, kelompok atau
organisasi (West, 2000).
Bird dalam Thomas & Mueller (2000), mengaitkan inovasi dengan
beberapa hal yaitu:
Kemudian lebih lanjut Rosenfeld & Servo (dalam West dan Farr, 2000)
menambahkan mengenai tantangan dari inovasi adalah:
“The challenge is to transform creative ideas into tangible products or processes that will improve customer services, cut costs and or generate new earning for an organization”
Bird dalam Thomas & Mueller (2000), menyatakan bahwa inovasi
berkaitan dengan komersialisasi ide, implementasi, dan modifikasi produk, sistem,
dan sumber daya yang ada. Lalu Rosenfeld & Servo (dalam West dan Farr. 2000),
menjelaskan bahwa tantangan dari inovasi adalah mengubah ide kreatif ke dalam
bentuk produk atau proses yang nyata dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan dan pemotongan biaya produksi dalam organisasi.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa inovasi merupakan
pengenalan dan penerapan ide baru yang lebih baik secara sengaja kepada
pekerjaan, tim kerja, atau organisasi yang ada melibatkan komersialisasi dari ide
tersebut, impelementasi, dan modifikasi dari produk, sistem dan sumber daya
yang sudah ada dimana terdapat tantangan dalam hal mengubah ide-ide kreatif ke
dalam bentuk produk dan jasa yang nyata agar dapat menguntungkan perusahaan
dan juga membawa manfaat bagi individu, kelompok, organisasi atau masyarakat
yang lebih luas.
2.1.2 Ciri-Ciri Perilaku Inovatif
Definisi mengenai perilaku inovatif itu sendiri pada awalnya dikemukakan oleh
Amabile (dalam Scott & Bruce, 1995) yang menyatakan bahwa individu yang
mempunyai perilaku inovatif merupakan individu yang gigih, penuh dengan
17
mempunyai kemampuan kognitif yang luar biasa (seperti kemampuan untuk
berpikir kreatif atau bakat dalam bidang tertentu), berorientasi pada risiko,
mempunyai keahlian di bidangnya, senang bergaul serta mempunyai berbagai
macam pengalaman. Selain itu Farr & Ford dalam West & Fan (2000), juga
menjelaskan perilaku inovatif dengan menggunakan istilah work role innovation
dan memberikan definisinya sebagai :
“work role innovation as the intentional introduction within one’s work role of
new and usefull ideas, processes, products, and procedures”
Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan
mempunyai perilaku inovatif jika ia mempunyai usaha untuk memperkenalkan
secara sengaja sesuatu yang baru dan berguna, baik berupa ide, proses, produk,
atau prosedur dalam peran kerjanya. Selain itu West (1997) juga menjelaskan
mengenai individu yang mempunyai perilaku inovatif dimana mereka umumnya
mempunyai kecendrungan untuk menciptakan ide-ide baru dan lebih baik,
toleransi terhadap ambiguitas, mempunyai motivasi untuk menjadi efektif,
berorientasi pada inovasi, dan berorientasi pada pencapaian.
Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai ciri-ciri perilaku inovatif:
a. Kecenderungan menciptakan dan menerapkan ide-ide baru yang lebih baik
Individu yang mempunyai perilaku inovatif mempunyai kecenderungan
untuk menghasilkan ide-ide yang baru yang lebih baik. Ide-ide baru yang
lebih baik ini diimplementasikan dan diterapkan dalam bentuk produk,
keuntungan dari ide-ide baru tersebut. Oleh karena itu, individu-individu
ini biasanya sangat terbuka untuk menerima ide-ide baru dari orang lain.
b. Toleransi terhadap ambiguitas
Seseorang dengan perilaku inovatif mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap situasi yang tidak jelas atau ambigu. Hal ini menstimulasi mereka
untuk mengeluarkan ide baru yang kreatif dan inovatif (out of the box).
Mereka cenderung mencerna situasi yang sedang terjadi dan menikmati
proses yang berlangsung.
c. Mempunyal motivasi untuk menjadi efektif
Individu yang mempunyai perilaku inovatif cenderung memotivasi diri
untuk mencapai hasil yang efektif dari hal yang ingin dicapai agar
mendapatkan kepuasan tersendiri. Mereka umumnya merasa puas jika
dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan merasa kecewa jika
hasil pekerjaanya dibawah standar kerja. Oleh karena itu, mereka mencari
cara yang lebih baik untuk mencapai hasil yang efektif.
d. Orientasi pada inovasi
Orang yang inovatif umumnya akan berorientasi pada hal baru yang lebih
baik dari sebelumnya. Maka dari itu, dalam menghadapi
persoalan-persoalan yang rumit mereka umumnya berusaha memahaminya sehingga
dapat rnenghasilkan solusi baru untuk mengatasi masalah tersebut. Mereka
juga mempunyai tujuan yang akan dicapai sehingga dalam keadaan
frustasi sekalipun mereka akan tetap berusaha mencapai tujuan mereka
19
terhadap kelebihan dan keterampilan yang mendukung tujuan mereka
sehingga mereka tidak terpaku pada cara yang sudah ada dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan dan mencapai tujuan mereka.
e. Orientasi pada pencapaian
Orang-orang yang inovatif menganggap bahwa pekerjaanya adalah hal
yang sangat penting. Ia tidak cepat puas dengan apa yang di dapat saat ini,
maka dari itu mereka cenderung ingin mencapai pekerjaan yang lebih baik
dari sebelumnya dan mendapat kesuksesan pada akhirnya. Individu
cenderung berpikir ke masa depan yaitu kepada hal yang lebih baik
daripada saat ini, sehingga pada umumnya mereka mempunyai jiwa
kepemimpinan yang besar dan selalu menjadi orang yang terdepan dalam
menghasilkan hal yang baru danlebih baik. Ia menginginkan sesuatu yang
lebih baik bagi dirinya dan juga orang lain. Ia juga berusaha sebaik
mungkin agar orang lain dapat menaruh kepercayaan padanya sehingga
walaupun ia mempunyai kemandirian dalam membuat keputusan, ia masih
dapat menghargai pendapat orang lain.
Dari penjelasan mengenai perilaku inovatif tersebut, peneliti hanya akan
memfokuskan penelitian ini pada perilaku inovatif menurut West (1997). Hal ini
disebabkan karena, West menjelaskan perilaku inovatif secara lebih dalam dan
memiliki keterkaitan dengan kemampuan seorang wirausaha dalam menjalankan
2.2 Nilai Budaya
Uncertainty Avoidance
2.2.1 Definisi BudayaTerdapat beberapa pakar yang telah mencoba mendefinisikan budaya. Pengertian
budaya menurut Berry, Portinga, Seggall, dan Dassen (1992) adalah "The shared
way of life of a group of people" (p.165). Definisi lain dari budaya yaitu "a set of
attitudes, behaviors, and symbols shared by a large group of people and usually
communicated from one generation to the next" (Shiraev & Levy. 2004, p.4).
Disamping kedua definisi di atas, Hofstede & Hofstede (2005; Mead, 1990) juga
memberikan pendapatnya mengenai budaya yaitu: "(Culture is) the collective
programming of the mind which distinguishes the members of one human group
from another ".
Definisi budaya di atas saling mendukung, berdasarkan penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan suatu bentuk penyusunan
kolektif dalam pikiran masyarakat tertentu yang terdiri dari sikap, perilaku, dan
simbol yang dimiliki bersama dan menjadi bagian dari cara hidup mereka yang
diwariskan secara turun temurun serta dapat membedakan anggota masyarakat
yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, budaya tidak terbawa sejak
lahir, tetapi dipelajari melalui lingkungan sosial seseorang.
Dalam Hofstede & Hofstede (2005), konsep budaya secara keseluruhan
mencakup empat hal, yaitu simbol, tokoh pahlawan/ pemujaan, ritual, dan nilai.
Simbol menjelaskan budaya dari sisi yang paling luar, nilai menggambarkan sisi
terdalam dari suatu budaya, sementara tokoh pemujaan dan ritual ada di antaranya
21
Gambar 2.1
Manifestasi Budaya dalam Tingkat Kedalaman Berbeda
(Sumber: Hofstede & Hofstede, 2005)
2.2.2 Definisi Nilai
Terdapat beberapa definisi mengenai nilai, Hofstede dan Hofstede (2005)
berpendapat bahwa nilai adalah :
"A broad tendencies to prefer certain states of affairs over others".
Kluckhohn (dalam Hofstede, 1980) memberikan definisi yang lebih luas terhadap
nilai, yaitu
"A value is a conception explicit or Implicit, distinctive of an individual or characteristics of a group, of the desirable which influences the selection from available modes, means and ends of actions".
Selain itu, Rokeach (1973) mendefmisikan nilai sebagai:
Definisi dari beberapa pakar tersebut saling melengkapi, sehingga dapat
disimpulkan nilai adalah konsep keyakinan mendasar yang sudah berlangsung
lama dan menetap. Keyakinan tersebut bisa menjadi acuan utama dalam
menjelaskan cara berperilaku yang mempengaruhi tujuan akhir yang diinginkan
dan dapat diterima baik secara personal maupun sosiai. Nilai membedakan
karakteristik antar individu maupun kelompok.
Dalam Hofstede (2005), nilai terbentuk sejak awal kehidupan seseorang
melalui lingkungannya. Pada manusia, masa penyerapan informasi tentang nilai
ini berlangsung ketika berumur 10-12 tahun. Pada masa tersebut manusia dapat
dengan cepat dan secara tidak sadar mengambil informasi yang dibutuhkan
melalui lingkungannya. Informasi ini mencakup simbol (termasuk bahasa), tokoh
pahlawan (termasuk orang tua), ritual (termasuk toilet training), dan yang paling
penting adalah nilai-nilai dasar yang dimiliki manusia (Hofstede & Hofstede,
2005).
2.2.3 Penelitian Mengenai Nilai
Penelitian mengenai nilai yang paling banyak menjadi bahan acuan untuk
menganalisis variasi nilai budaya adalah penelitian dimensi budaya Hofstede.
Geert Hofstede (2005) melakukan penelitian mengenai nilai untuk mengetahui
dimensi budaya nasional yang ada pada masyarakat suatu negara. Dimensi
budaya merupakan aspek budaya yang dapat diukur dan berfungsi sebagai alat
23
mereduksi domain nilai ke dalam dimensi, akan lebih mudah dalam mengukur
dan mernbandingkannya dengan budaya lain (Hofstede & Hofstede, 2005).
Dari penelitian Hofstede pada rentang tahun 1967-2001 terhadap pegawai
perusahaan IBM di 74 negara, diperoleh empat dimensi budaya yang menjadi
pembeda antar budaya (Hofstede & Hofstede, 2005), yaitu :
a. Power Distance (PD)
Kesenjangan antara pihak yang berkuasa dan tidak berkuasa. Kesenjangan ini
dari yang sangat kecil hingga yang sangat jauh/besar.
b. Uncertainty Avoidance (UA)
Toleransi terhadap ketidakpastian dan kebutuhan akan aturan formal. UA
dibagi menjadi UA rendah dan UA tinggi.
c. Individualism - Collectivism (I/C)
Individualism yaitu individu memilih tidak menjadi bagian dari kelompok,
sedangkan collectivism yaitu individu memilih hidup bersama-sama sebagai
bagian dari kelompok.
d. Masculinity - Femininity (MAS/FEM)
Apakah orientasi terletak pada tujuan atau pada pemeliharaan hubungan
interpersonal.
Dalam perkembangannya, pada tahun 2001 dilakukan replikasi penelitian
oleh Michael Harris Bond di 23 negara. Hasilnya, ditemukan dimensi budaya
yang kelima yaitu time orientation yang menggambarkan scjauh mana individu
(2005) ini dapat dilihat secara terpisah. Dari kelima dimensi tersebut, peneliti
hanya akan memfokuskan pada dimensi uncertainty avoidance.
2.2.4 Definisi Nilai Budaya Uncertainty Avoidance
Hofstede & Hofstede (2005) mendefnisikan uncertainty avoidance-adalah: "the
extent to which the members of a culture feet threatened by ambigous or unknown
situations,". Disamping definisi tersebut, Wagner & Hollenbeck (1995)
menyatakan bahwa uncertainty avoidance adalah: "the degree to which people
are comfortable with ambiguous situation and with the inability to predict future
events with assurance".. Mead (1990) menyatakan bahwa uncertainty avoidance
adalah: "how far different cultures socialize their members into accepting
ambiguous situations and tolerating uncertainty about future" (p. 18).
Definisi dari pakar-pakar tersebut tidak memiliki perbedaan makna yang
jauh. Oleh sebab itu, definisi uncertainty avoidance yang digunakan dalam
penelitian ini adalah definisi dari Hofstede & Hofstede (2005). Berdasarkan
definisi Hofstede & Hofstede (2005), maka uncertainty avoidance adalah
besarnya perasaan terancam yang dialami anggota masyarakat budaya tertentu
oleh situasi yang tidak pasti atau ambigu.
Ketidakpastian yang di luar batas dapat menyebabkan kecemasan yang
tidak dapat ditoleransi. Inti dari ketidakpastian adalah suatu pengalaman atau
perasaan yang subjektif. Perasaan ini ditunjukkan melalui stres, rasa gelisah, dan
kebutuhan akan sesuatu untuk dapat menentukan kepastian, seperti kebutuhan
25
personal, tetapi juga terbagi dengan anggota lainnya dalam suatu masyarakat.
Perasaan ini diwarisi dan dapat dipelajari melalui kelompok dasar dalam suatu
budaya, seperti masyarakat, sekolah, dan negara (Hofstede, 1997). Pola perilaku
dari suatu masyarakat dapat berbeda dengan anggota dari masyarakat yang lain.
Terdapat dua karakteristik uncertainly avoidance di masyarakat, yaitu
masyarakat dengan uncertainty avoidance tinggi dan rendah. Berikut ini adalah
gambaran ciri-ciri masyarakat dengan tingkat uncertainty avoidance tinggi dan
rendah pada lingkungan keluarga, masyarakat dan organisasi.
2.2.5 Ciri-ciri Nilai Budaya Uncertainty Avoidance
Berikut adalah penjelasan Hoftede lebih lanjut mengenai masyarakat yang
mempunyai nilai budaya uncertainty avoidance:
a. Mencemasakan ketidakpastian.
Masyarakat dengan uncertainty avoidance tinggi merasa nyaman bila
masa kini dan masa depan mereka berada dalam situasi dan kondisi yang
jelas. Mereka cenderung merasa cemas terhadap ketidakpastian hidup dan
memandangnya sebagai sesuatu yang mengancam dan harus dilawan.
Sedangakn individu yang memiliki uncertainty avoidance yang
rendah akan tetap merasa nyaman walaupun mereka tidak memiliki
kepastian terhadap masa kini maupun masa depan. Sikap tersebut
ditunjukkan dengan ciri-ciri pada masyarakat uncertainty avoidance
[image:40.612.115.506.247.514.2]ketidakpastian dan cara menghadapinya adalah dengan menjalani masa
kini.
b. Mementingkan peraturan.
Masyarakat uncertainty avoidance tinggi mementingkan adanya
peraturan, institusi hukum, dan kontrol yang dapat mengurangi
ketidakpastian.. Oleh karena itu, masyarakat uncertainty avoidance tinggi
memiliki aturan yang ketat dan rinci dalam mengatur kehidupannya
sehari-hari. Dalam konteks keluarga, aturan diajarkan secara tegas kepada
anak-anak, antara lain tentang hal-hal apa yang dianggap tabu dan
pemikiran yang harus dihindari. Bagi keluarga dengan uncertainty
avoidance tinggi, perbedaan adalah hal yang harus dihindari karena
membahayakan.Dalam kehidupan bermasyarakat dengan uncertainty
avoidance tinggi, cenderung memiliki jumlah peraturan dalam kehidupan
bernegara yang lebih banyak dan lebih spesifik daripada negara dengan
uncertainty avoidance rendah. Bagi mereka kehadiran peraturan sangatlah
penting, walaupun tidak dipatuhi oleh warganya. Dalam lingkungan
organisasi, masyarakat uncertainty avoidance tinggi memiliki banyak
aturan untuk mengendalikan kinerja karyawan.
Masyarakat uncertainty avoidance rendahmeiliki sedikit peraturan
yang benar-benar dipakai dan perlu. Di dalam keluarga, orang dengan
uncertainty avoidance rendah tidak memiliki aturan yang ketat.
27
memutuskan mana yang dianggap baik dan tidak baik. Sehingga
perbedaan yang muncul dalam keluarga dipandang sebagai sesuatu yang
wajar dan tidak harus dihindari. Dalam kehidupan bermasyarakat, hanya
terdapat sedikit aturan dan umum. Aturan yang ada dapat menjadi sesuatu
yang menyeramkan. Bagi mereka, aturan dan hukum hanya dibutuhkan
dalam situasi yang sangat penting. Mereka berkeyakinan bahwa masalah
dapat dipecahkan meskipun tanpa aturan formal.
c. Menghindari konflik dan kompetisi
Pada Masyarakat uncertainty avoidance tinggi, konflik dalam organisasi
adalah sesuatu yang tidak diinginkan, kompetisi antara karyawan tidak
bisa diterima.
Dalam organisasi masyarakat uncertainty avoidance rendah
memungkinkan antar karyawan untuk saling berkompetisi, adanya
harapan untuk sukses. Masyarakat uncertainty avoidance rendah dapat
mengatur konflik dan kompetisi sebagai suatu hal yang membangun.
d. Memiliki motivasi berprestasi rendah
Masyarakat uncertainty avoidance tinggi memiliki motivasi berprestasi
yang rendah. Sedangkan masyarakat nilai budaya uncertainty avoidance
rendah memiliki motivasi berprestasi yang kuat.
e. Memiliki tingkat stress tinggi
Masyarakat uncertainty avoidance tinggi memiliki tingkat stress yang
tinggi sedangkan masyarakat uncertainty avoidance rendah memiliki
f. Menghindari perubahan
Dalam konteks organisasi, masyarakat dengan uncertainty avoidance
tinggi memiliki kecenderungan menghindari perubahan sedangkan
masyarakat uncertainty avoidance rendah terbuka dalam menghadapi
perubahan dan hal-hal baru.
g. Meyakini pendapat ahli
Organisasi pada masyarakat yang memilik nilai budaya uncertainty
avoidance tinggi cenderung memiliki banyak ahli karena mereka tidak
mempercayai pendapat awam.
Sedangkan di dalam lingkungan organisasi, masyarakat
uncertainty avoidance rendah mempercayai pendapat awam bila
menghadapi suatu masalah.
h. Partisipasi rendah pada kegiatan sukarela.
Masyarakat uncertainty avoidance rendah cenderung memiliki partisipasi
yang tinggi dalam kegiatan-kegiatan sosial dan aktivitas yang bermanfaat
bagi masyarakat.
Berikut ini pada tabel 2.1 adalah karakteristik mnasyarakat uncertainty
avoidance tinggi dan rendah pada lingkungan keluarga, masyarakat serta
29
Tabel 2. 1. Perbedaan Masyarakat Uncertainty Avoidance Tinggi dan Rendah
Lingkungan Uncertainty Avoidance Rendah Uncertainty Avoidance Tinggi Keluarga Aturan yang lemah mengenai hal-hal
yang kotor dan tabu bagi anak-anak
Aturan yang keras mengenai hal- hal yang kotor dan tabu bagi anak-anak
Perbedaan menimbulkan rasa ingin tahu
Perbedaan merupakan hal yang membahayakan
Tingkat ketegangan dan kecemasan rendah
Tingkat ketegangan dan
kecemasan tinggi Ketidakpastian merupakan hal biasa,
dan setiap harinya dianggap sebagai situasi yang tidak pasti
Ketidakpastian yang terjadi terus menerus dalam hidup merupakan ancaman yang harus dilawan Nyaman dengan situasi ambigu dan
risiko yang tidak dikenal
Menerima risiko yang dikenal, takut akan situasi ambigu dan risiko yang tidak dikenal.
Masyarakat Jika peraturan tidak lagi dipatuhi, sebaiknya diganti
Adanya peraturan adalah
keharusan, meski tidak dipatuhi Partisipasi tinggi terhadap gerakan
dan kegiatan sukarela
Partisipasi rendah terhadap
gerakan dan kegiatan sukarela Toleransi, bahkan terhadap pendapat
ekstrim
Menekan ekstrimis Liberal
Konservatif, hukum, dan teratur Aturan sedikit dan umum, baik
tertulis maupun tidak tertulis
Aturan banyak dan spesifik, baik tertulis maupun tidak tertulis
Organisasi Mempercayai pendapat awam Meyakini pendapat ahli dan solusi Teknis
Toleransi pada ide-ide baru dan Berbeda
Menekan perubahan, ide-ide dan penlaku berbeda.
Baik dalam inovasi, buruk dalam Implementasi
Buruk dalam inovasi, baik dalam Implementasi
Fokus pada proses pengambilan Keputusan
Fokus terhadap isi keputusan
Toleransi pada ambiguitas dan
kemungkinan mengalami kekacauan
Adanya kebutuhan akan ketepatan dan formalisasi
(Sumber: Hofstede & Hofstede
2.3
Kerangka Berpikir
Budaya merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kewirausahaan dimana
terdapat nilai-nilai budaya tertentu yang mendukung peningkatan potensi-potensi
yang ada dalam diri seorang wirausaha
Budaya yang terdiri dari berbagai nilai erat hubungannya dengan ciri
kemampuan seorang wirausaha menjalankan kewirausahaannya dalam
menghadapi tantangan globalisasi.
Dari sekian ciri personal yang terdapat dalam diri seorang wirausaha,
perilaku inovatif merupakan salah satu ciri yang berperan penting dalam
menghadapi tantangan globalisasi Perilaku inovatif yang dimiliki oleh seorang
wirausaha secara umum dapat mengimbangi perubahan yang terjadi dengan begitu
cepatnya di era globalisasi yang ada. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa, seorang
wirausaha merupakan agen perubahan yang mengenalkan inovasi-inovasi seperti
produk, metode prroduksi, teknik penjualan, dan tipe alat pekerjaan yang baru
Perilaku inovatif tersebut membuat mereka mampu dalam menghadapi tantangan
dengan mengubahnya menjadi peluang. Hal ini dapat menunjang kemajuan bisnis
mereka karena dengan perilaku inovatif, mereka mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan dan mengimplementasikan gagasan atau ide baru yang lebih baik
dalam bentuk produk. Teknik, jasa, dan sebagainya Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa. dalam menghadapi tantangan globalisasi dimana perkembangan
dan persaingan dalam dunia bisnis terus berkembang pesat, perilaku inovatif
sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena tanpa gagasan atau ide baru yang
inovatif kemungkinan bisnis yang digelutinya menjadi ketinggalan atau tidak
dapat bertahan karena konsumen selalu menuntut hal yang baru seiring dengan
berkembangnya arus globalisasi
Perilaku inovatif yang dimiliki oleh seorang wirausaha tampak erat
hubungannya dengan budaya yang ada. Asair (1996) mengatakan budaya atau
31
mendukung inovasi tetapi yang lain tidak. Ketika invididu seorang yang kreatif
dan membangun sebuah tim dengan kemampuan pemecahan masalah yang
kreatif, kurang optimal jika lingkungan organisasi kurang menghargai pendapat
ide-ide baru.
Budaya merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kewirausahaan
dimana terdapat nilai-nilai budaya tertentu yang mendukung peningkatan
potensi-potensi yang ada dalam diri seorang wirausaha. uncertainty avoidance merupakan
salah salah satu nilai budaya yang dapat mempengaruhi ciri personal seorang
wirausaha Budaya dengan uncertainty avoidance yang rendah dapat menerima
ketidakpastian dalam hidup secara lebih mudah sehingga mereka umumnya
mempunyai keinginan yang kuat untuk mengambil risiko. Mereka meyakini
memiliki kontrol terhadap konflik dan kompetisi. Selain itu, mereka juga
menganggap bahwa sesuatu yang “berbeda” yang ada di lingkungan bukanlah
sesuatu yang mengancam. Oleh karena itu, mereka mempunyai toleransi yang
tinggi terhadap perilaku kreatif dan inovatif. Sedangkan budaya dengan
uncertainty avoidance yang tinggi biasanya menghindari adanya konflik dan
kompetisi sehingga mereka biasanya terpaku pada pola perilaku tertentu. Oleh
karena itu, mereka memiliki toleransi yang rendah kepada sesuatu yang mereka
anggap “berbeda” dan baru
Berdasarkan penelitian mengenai dimensi budaya yang telah dilakukan
oleh Hofstede dan Hofstede (2005) terhadap 74 negara, Indonesia yang
memperoleh skor 48 dan menempati posisi 60 untuk dimensi uncertainty
avoidance yang rendah. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mangundjaya (2006) pada sebuah BUMN X di Indonesia, menyatakan bahwa
pegawai pada BUMN X tersebut memiliki uncertainty avoidance tinggi. Adanya
perbedaan hasil penelitian ini mengarahkan pada perlunya penelitian-perielitian
lebih lanjut yang komprehensif mengenai dimensi uncertainty avoidance pada
masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan, masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat multi etnis yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki
karakteristik yang beragam pula. Pada penelitian kali ini akan dikaji dimensi
uncertainty avoidance khususnya pada suku Minangkabau. Walaupun pada
penelitian yang dilakukan oleh Mangundjaya (2006) ditemukan hasil bahwa
pegawai BUMN X yang bersuku Minangkabau mempunyal tingkat uncertainty
avoidance yang tinggi. Namun jika dilihat dari pernyataan Navis (1984),
masyarakat Minangkabau cenderung dapat menerima perubahan dan perbedaan
dalam masyarakat. Masyarakat Minangkabau juga cukup mempunyai fleksibilitas
dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian sehingga mereka cenderung
mempunyai uncertainty avoidance yang rcndah. Hal ini dapat dilihat dari
aturan-aturan yang dapat berubah sesuai kesepakatan yang ada. Dari hal tersebut dapat
dilihat bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai tingkat uncertainty
avoidance pada masyarakat Minangkabau.
Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan perilaku inovatif. Masyarakat dengan
uncertainty avoidance yang rendah lebih mudah menerima perilaku yang bersifat
nontradisional. Hal ini membuat wirausaha pada konteks atau situasi ini dapat
33
yang umumnya berbeda dari biasanya. Pada situasi uncertainty avoidance yang
tinggi perilaku dan ide yang berbeda dilihat sebagai hal yang mencurigakan dan
membahayakan sehingga sulit untuk menampilkan perilaku inovatif.
Masyarakat uncertainty avoidance tinggi cenderung mencemaskan
ketidakpastian. Hal ini tidak sesuai dengan ciri perilaku inovatif yang memiliki
toleransi terhadap ambigiusitas. Namun hal sebaliknya yang akan terjadi pada
masyarkat uncertainty avoidance rendah.
Dalam menciptakn ide-ide baru, individu perlu berfikir out of the box hal
ini sesuai dengan masyarakat uncertainty avoidance rendah yang tidak erlalu
mementingkan peraturan yang ada. Namun hal sebaliknya yang akan terjadi pada
masyarkat uncertainty avoidance tinggi.
Individu yang memiliki perilaku inovatif adalah individu yang berorientasi
pada pencapaian. Hal ini tidak menutup kemungkinan pada persaingan.
Masyarakat uncertainty avoidance tinggi akan menghindari konflik dan
kompetisi., namun hal sebaliknya yang akan terjadi pada masyarkat uncertainty
avoidance tinggi.
Individu yang memiliki perilaku inovatif adalah individu yang berorientasi
pada pencapaian. Hal ini sejalan dengan masyarakat uncertainty avoidance rendah
yangmemiliki motivasi berprestasi tinggi, namun hal sebaliknya yang akan terjadi
pada masyarkat uncertainty avoidance tinggi.
Masyarakat uncertainty avoidance rendah, memiliki tingkat stress yang
inovatif. Karena individu yang inovatif adalah individu yang dapat memotivasi
dirinya sendiri untuk hasil yang efektif.
Inovatif adalah menciptakan ide-ide baru dalam bentuk produk, ataupun
jasa. Inovasi menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik, hal ini sejalan
dengan masyarakat uncertainty avoidance rendah yang tidak menghindari
perubahan namun hal sebaliknya yang akan terjadi pada masyarkat uncertainty
avoidance tinggi.
Organisasi pada masyarakat yang memilik nilai budaya uncertainty
avoidance tinggi cenderung memiliki banyak ahli karena mereka tidak
mempercayai pendapat awam. Hal ini akan menghabat timbulnya perilaku
inovatif.
Masyarakat uncertainty avoidance rendah cenderung memiliki partisipasi
yang tinggi dalam kegiatan-kegiatan sosial dan aktivitas yang bermanfaat bagi
masyarakat. Dengan banyak bergabung dengan kegiatan sukarela akan
menumbuhkan peilaku inovatif, yaitu menimbulkan motivasi untuk menjadi lebih
efektif, untuk menolong orang banyak.
Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda
atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati Umur diukur dari lahir sampai
masa kini atau dari kejadian bermula sampai masa yang sedang dijalani. Semakin
dewasa manusia,semakin mudah individu tersebut memiliki sikap toleransi.
Toleransi tehadap ambigiusitas adalah salah satu ciri dari individu yang meiliki
35
Jenis kelamin adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu
spesies sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi
seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu. Jenis kelamin
merupakan suatu akibat dari dimorfisme seksual, yang pada manusia dikenal
menjadi laki-laki dan perempuan. Pada masyarakat yang mengenal "machoisme",
umpamanya, seorang laki-laki diharuskan berperan secara maskulin ("jantan"
dalam bahasa sehari-hari) dan perempuan berperan secara feminin. Laki-laki dan
perempuan mempunyai kondisi psikologis dan orientasi yang berbeda.
Berorientasi pada inovasi dan berorientasi pada pencapaian adalah cirri individu
yang memiliki perilaku inovatif.
Pengalaman adalah guru yang sangat berharga. Dari pengalaman, individu
dapat mengetahui hal yang buruk dan baik serta belajar mengambil hikmahnya
untuk memperbaiki/mengoreksi kesalahan masa lalu guna mencapai kualitas
hidup yang lebih bernilai. Konsep ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan
berbisnis, berelasi, membangun jejaring (networking) ataupun bermasyarakat
Salah satu faktor yang menentukan banyaknya-tidaknya wirausahawan memiliki
pengalaman adalah lama nya wirausahawan bergelut dibidang wirausaha. Individu
yang mempunyai banyak pengalaman dan mengetahui kondisi sebelum masa kini,
cenderung mmpunyai motivasi untuk menjadi efektif dibanding sebelumnya.
Tingkat pendidikan individu sangat penting untuk diperhatikan karena
tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap
dan tingkah laku mereka. Oleh karena itu untuk menunjang keberhasilan kegiatan
Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi tampak memiliki
produktivitas yang lebih tinggi pula, apalagi ditambah adanya tingkat lamanya
bekerja yang dapat mempengaruhi tingkat ketrampilan dan kreativitas kerjanya.
Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung akan menciptaan dan
menerapkan ide-ide baru yang lebih baik.
Dari penjelasan diatas, apat diambil kesimpulan bahwa nilai budaya
uncertainty aoidance (mencemasakan ketidakpastian, mementingkan peraturan,