GAMBARAN KEBAHAGIAAN PADA PENYANDANG
TUNA DAKSA DEWASA AWAL
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
ADINDA MELATI
051301081
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul:
Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip
dari hasil karya orang lain telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma,
kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Medan, Juli 2011
Adinda melati
Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal
Adinda Melati dan Juliana I. Saragih
ABSTRAK
Setiap manusia pasti menginginkan kondisi atau keadaan fisik yang normal. Namun kenyataan menjadi berbeda ketika terdapat keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti keterbatasan dalam melakukan suatu aktifitas pada bagian tubuh tertentu atau sering disebut tuna daksa. Keinginan untuk dapat hidup bahagia adalah dambaan setiap manusia, begitu juga dengan penyandang tuna daksa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. Teori aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik orang yang bahagia oleh Seligman dan Myers digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan penyandang tuna daksa.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yang masing-masing memiliki cacat tubuh sejak lahir. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan ternyata orang yang tuna daksa juga memiliki kebahagiaan didalam kehidupannya. Terdapat beberapa aspek dan karakteristik yang menunjukkan ketiga responden mencapai kebahagiaan. Menjalin hubungan yang positif dan optimis membuat ketiga responden mampu menjalani kehidupan seperti orang yang memiliki fisik yang normal. Selain itu ketiga responden merasa bangga karena dengan kecacatan yang ketiga responden miliki tidak mampu menghalangi ketiganya untuk terus berkarya dan bekerja. Ketiga responden mempunyai tujuan hidup yang sama yaitu ingin menjadi orang yang berhasil, membangun keluarga yang bahagia, dan tidak hidup bergantung pada orang lain.
A description of Happiness In Tuna Daksha Disabled Adult Beginning
ABSTRACT
Every man would want a condition or a normal physical state. But the fact of being different when there are physical limitations that can not be avoided such as limitations in performing an activity on a specific body part or often called the physically disabled. The desire to be happy life is the desire of every human being, as well as the physically disabled. This study aims to determine the picture of happiness at the beginning of the physically disabled adult. Theory aspects of happiness and the characteristics of happy people by Seligman and Myers used to describe the happiness of disabled persons.
This study used qualitative methods because these methods can be understood as the subject experiencing symptoms, so the picture can be obtained in accordance with the subject and not merely causal inferences that are imposed. Respondents in this study as many as three people who each have a physical disability since birth. Data retrieval procedure is based on the operational construct (operational construct sampling). Data collection methods used are in-depth interviews. The results showed that disabled people were also to have happiness in life. There are several aspects and characteristics that indicate a third of respondents to achieve happiness. Establishing a positive and optimistic about making a third of respondents able to live life like a man who had a normal physical. In addition a third of respondents felt proud because a third of respondents with disabilities are not able to inhibit all three have to continue working and working. All three respondents have the same purpose in life is to become successful, build a happy family, and not to live dependent on others.
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada Allah Subhanallahu Wata’ala
yang telah memberikan begitu banyak rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna
memperoleh gelar sarjana jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara dengan judul ”Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa
Dewasa Awal”
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda
Drs. H. Iwa Suryapati dan Ibunda Hj. T. Nelwani atas segala kasih sayang, do’a serta
dukungannya baik moril maupun materil yang selalu menyertai langkah penulis.
Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia
maupun di akhirat. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
saudara-saudara penulis, Kak Reny dan Kak Lona yang memberikan doa dan juga dukungan.
Kepada Kak Emy, Ratih dan Adek, terima kasih untuk dukungan dan doanya. Pada
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.
2. Kakak Juliana I. Saragih M.Si, Psikolog selaku dosen Pembimbing Skripsi.
Terimakasih telah bersedia meluangkan waktu dan menjadi pembimbing bagi penulis
saran dan kritikan hingga pada akhirnya dapat membantu untuk menyelesaikan
skripsi ini meskipun berada di tengah-tengah kesibukanyang sangat padat.
3. Ibu Filia Dina Anggreini, M.pd, selaku dosen pembimbing Akademik. Terima
kasih atas segala perhatian, waktu, masukan, nasehat, dan bimbingan dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
4. Yan Julian, meskipun jauh terima kasih untuk doa, dukungan, semangat serta kasih
sayang yang diberikan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.
5. Fani, Yuli, Neni, terima kasih atas doa, dukungan, waktu, masukan yang sudah
membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Endang, teman seperjuangan,
terima kasih atas doa, dukungan dan semangat yang diberikan. Semoga tetap
semangat dalam penyelesaian skripsinya dan tetap menjadi teman yang terbaik.
6. Wahyuni, Retno, Anggi, Risda, Mega, Tia, Ade, Ica terima kasih doa, semangat,
dukungan dan bantuannya pada penulis. Adik-adik angkatan 2006 dan 2007 yang
telah membantu dan memberikan semangat pada peneliti. Terima kasih yang tak
terhingga untuk kalian semua.
7. Nindy, Vivi, Letty, Devi, Intan, terima kasih atas dukungan, doa, semangat dan
waktunya untuk membantu peneliti kesana kemari. Semoga kita bisa menjadi teman
selamanya. Buat Dini, Sasha, Mirna terima kasih untuk dukungan dan semangatnya
pada penulis.
9. Buat para responden yang telah rela meluangkan waktu dan bersedia untuk berbagi
cerita dan pengalaman kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekuranagn dalam
penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran
yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini
agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya pada Allah juga penulis berserah diri, semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Juli 2011
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian... 9
D. Manfaat Penelitian... 10
1. Manfaat Teoritis... 10
2. Manfaat Praktis ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 10
2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal ... 13
B. Kecacatan ... 14
1. Definisi Kecacatan... 14
2. Tuna Daksa………....………..………... 15
3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan...……… 16
4. Hambatan-hambatan Kecacatan……… 16
C. Kebahagiaan………...……….. 18
1. Definisi Kebahagiaan ...……….... 18
2. Aspek- aspek Kebahagiaan……… 19
3. Karakteristik Orang Yang Bahagia……… 20
4. Faktor Yang Mempengaruhi Kebahagiaan……… 21
D. Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa awal.…………... 26
E. Paradigma Berpikir Penelitian ..……….. 29
BAB III. METODE PENELITIAN ... 31
A. Pendekatan Kualitatif ...……….. 31
B. Metode Pengambilan Data ...………....…….. 32
C. Responden Penelitian... 33
1. Karakteristik Responden... 33
2. Jumlah Responden... 33
4. Lokasi Penelitian... 34
D. Teknik Pengambilan Data…………..………... 34
E. Alat Bantu Pengambilan Data ……….. 36
1. Alat Perekam (Tape Recorder) .………. 36
2. Pedoman Wawancara ... 37
F. Prosedur Penelitian …..……… 37
1. Tahap Persiapan Penelitian ..………... 37
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 40
3. Tahap Pencatatan Data ...………... 42
G. Kredibilitas Penelitian... 43
H. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data... 44
BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 45
A. Responden I ... 45
1. Analisa Data... 45
2. Deskripsi Data... 46
B. Responden II ... 59
1. Analisa Data ... 59
2. Deskripsi Data... 59
D. Pembahasan………. 108
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 115
A. Kesimpulan... 115
B. Saran ... 118
1. Saran Praktis ... 118
2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 119
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden I... 50
Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden II ... 50
Tabel 3 Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden III ... 50
Tabel 4 Gambaran Umum Responden I ... 66
Tabel 5 Gambaran Umum Responden II ... 68
Tabel 6 Gambaran Umum Responden III ………... 73
Tabel 7 Resume Hasil Responden I ... 126
Tabel 8 Resume Hasil Responden II ... 129
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal
Adinda Melati dan Juliana I. Saragih
ABSTRAK
Setiap manusia pasti menginginkan kondisi atau keadaan fisik yang normal. Namun kenyataan menjadi berbeda ketika terdapat keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti keterbatasan dalam melakukan suatu aktifitas pada bagian tubuh tertentu atau sering disebut tuna daksa. Keinginan untuk dapat hidup bahagia adalah dambaan setiap manusia, begitu juga dengan penyandang tuna daksa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. Teori aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik orang yang bahagia oleh Seligman dan Myers digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan penyandang tuna daksa.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yang masing-masing memiliki cacat tubuh sejak lahir. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan ternyata orang yang tuna daksa juga memiliki kebahagiaan didalam kehidupannya. Terdapat beberapa aspek dan karakteristik yang menunjukkan ketiga responden mencapai kebahagiaan. Menjalin hubungan yang positif dan optimis membuat ketiga responden mampu menjalani kehidupan seperti orang yang memiliki fisik yang normal. Selain itu ketiga responden merasa bangga karena dengan kecacatan yang ketiga responden miliki tidak mampu menghalangi ketiganya untuk terus berkarya dan bekerja. Ketiga responden mempunyai tujuan hidup yang sama yaitu ingin menjadi orang yang berhasil, membangun keluarga yang bahagia, dan tidak hidup bergantung pada orang lain.
A description of Happiness In Tuna Daksha Disabled Adult Beginning
ABSTRACT
Every man would want a condition or a normal physical state. But the fact of being different when there are physical limitations that can not be avoided such as limitations in performing an activity on a specific body part or often called the physically disabled. The desire to be happy life is the desire of every human being, as well as the physically disabled. This study aims to determine the picture of happiness at the beginning of the physically disabled adult. Theory aspects of happiness and the characteristics of happy people by Seligman and Myers used to describe the happiness of disabled persons.
This study used qualitative methods because these methods can be understood as the subject experiencing symptoms, so the picture can be obtained in accordance with the subject and not merely causal inferences that are imposed. Respondents in this study as many as three people who each have a physical disability since birth. Data retrieval procedure is based on the operational construct (operational construct sampling). Data collection methods used are in-depth interviews. The results showed that disabled people were also to have happiness in life. There are several aspects and characteristics that indicate a third of respondents to achieve happiness. Establishing a positive and optimistic about making a third of respondents able to live life like a man who had a normal physical. In addition a third of respondents felt proud because a third of respondents with disabilities are not able to inhibit all three have to continue working and working. All three respondents have the same purpose in life is to become successful, build a happy family, and not to live dependent on others.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebahagiaan adalah keadaan yang sangat diidamkan setiap orang dalam
rentang kehidupannya (Carr, 2004). Untuk mencapai hal tesebut tentu saja manusia
dengan segala daya upayanya akan selalu melakukan hal-hal yang membuatnya
bahagia atau menuntunnya pada kebahagiaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
memang terdapat hubungan antara kesejahteraan dengan berkurangnya kemampuan
menikmati kesenangan atau kebahagiaan. Adapun kesenangan atau kebahagiaan yang
dimaksud adalah perasaan sukacita, kegembiraan, kagum, bangga, terimakasih, dan
sebagainya. Sebuah survey yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
87% partisipan hidup dalam dunia matrealistis. Dalam dunia matrealisme individu
membeli barang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk membuat dirinya
terlihat lebih baik dimata orang lain. Hal tersebut (membeli barang untuk dilihat
orang lain) ternyata juga mempengaruhi kebahagiaan, individu yang melakukan hal
tesebut hanya mendapat kesenangan sesaat saja, tidak lama kemudian mereka
mencari barang lain untuk dilihat orang lain (Nova, 2010).
Beberapa orang menganggap bahwa kebahagiaan sangat berhubungan dengan
materi. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka semakin bahagia. Uang bisa
ternyata mendekati teori flow dari Positive Psychology di abad ke duapuluh.
Kebahagiaan itu bukan selalu materi, melainkan ketika tercapainya kepuasan diri
akan suatu pencapaian diri sejati melalui kreativitas ( Nova, 2010).
Berbeda dengan orang yang mengalami kecacatan. Orang-orang yang cacat
fisik seperti tuna daksa adalah mereka yang tubuhnya tidak normal sehingga sebagian
besar kemampuannya untuk berfungsi di masyarakat terhambat. Tuna daksa, yaitu
individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit,
pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan turunnya kemampuan
normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada
bagian tulang-tulang, otot-otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang
disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf (Mangunsong, 1998). Ada bagian-bagian
tertentu yang tidak sanggup mereka lakukan, ada juga bagian-bagian lain yang masih
sanggup mereka lakukan.
Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir
baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum
kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat
disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan
(bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz,
2001).
UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal. 1 menyebutkan bahwa
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang
cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda).
Individu-individu yang mengalami cacat tubuh biasanya harus dapat
mencapai penyesuaian-penyesuaian mental yang tidak pernah dihadapi oleh mereka
yang normal. Misalnya, penyesuaian dalam hubungan dengan sikap orang-orang lain
terhadap dirinya. Anak-anak kecil melihat mereka dengan pandangan yang penuh
perhatian, sedangkan orang-orang dewasa mengekspresikannya secara lebih
tersembunyi dengan menghindarkan diri dari keterlibatan dengan mereka
Keadaan rendah diri dan merasa tertolak oleh lingkungan yang dirasakan
seseorang yang mengalami kecacatan (apalagi setelah usianya beranjak dewasa)
menyebabkan ia sulit menerima kondisi yang dialaminya. Hubungan dengan orang
lain seringnya tidak baik dikarenakan ia merasa kecewa dengan dirinya dan merasa
tidak puas dengan keadaannya (Ryff & Singer, 2008). Ia juga menjadi orang yang
sangat sensitif terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat
keputusan sendiri dan cenderung conform terhadap orang lain/grup karena adanya
tekanan grup yang akhirnya membuatnya tidak percaya diri. Karena keterbatasannya
melakukan aktivitas, ia seringkali tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari,
mengabaikan kesempatan yang hadir, dan tidak mampu mengontrol pengaruh dari
mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa
tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff &
Singer, 2008).
Seperti yang dinyatakan oleh seorang Penyandang Tuna Daksa:
“"Terus terang saya dari keluarga yang broken home dari dua bersaudara, kebetulan saudara saya ini tidak cacat sehingga itu membuat keluarga saya memberi perlakuan berbeda. Ketika orang tua saya bepergian, mereka selalu membawa saudara saya karena dianggap tidak memalukan, sementara saya kan cacat pastinya mereka malu,"
(Komunikasi personal, 8 juni 2010)
Masa dewasa awal adalah masa bagi kehidupan seseorang yang berusia antara
20–40 tahun. Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam
kehidupannya. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan
yang menurut Havighurst (Hurlock, 1999) diartikan sebagai tugas yang muncul pada
saat atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu. Setiap individu yang telah
memasuki masa kedewasaannya dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas
perkembangan sesuai usianya yang salah satunya adalah mulai bekerja dan
menemukan calon pasangan hidup (Havighurst dalam Dariyo, 2003). Havighurst (dalam
Dariyo, 2003) juga mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai
puncak prestasi. Dengan semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka
bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua)
untuk menunjukkan prestasi kerja. Dengan mencapai prestasi kerja yang terbaik,
Kehidupan beberapa orang yang mengalami cacat fisik adalah beberapa atlet
yang telah banyak mengikuti pertandingan-pertandingan meskipun ia mengalami
kecacatan. Di antara para atlet tersebut pasti ada yang mengalami cacat sejak lahir,
sedangkan yang lain mendapatkan cacat fisik ketika masih kecil atau saat remaja.
Untuk yang mempunyai cacat bawaan, penerimaan lingkungan terhadap kondisi
mereka dan bimbingan yang diterima sejak kecil akan menjadi arah perkembangan
diri mereka. Artinya, kalau lingkungan (orangtua, saudara dan teman-teman)
menerima kondisi yang ada dan menyemangati yang bersangkutan untuk "tetap
maju", walau tahu kalau mempunyai keterbatasan, mereka akan dapat berkembang
menjadi orang yang tidak berbeda dengan orang yang fisiknya lengkap (Adi, 2005).
Sikap lingkungan membuat mereka menyesali kondisi yang tidak sama
dengan orang-orang lain pada umumnya, mereka akan tumbuh dengan perasaan
sedih, sadar betul bahwa mempunyai kelainan dibandingkan orang sehat. Kelainan itu
akan selalu disesali dan akan mempengaruhi arah perkembangan di masa mendatang.
Sedangkan mereka yang mengalami cacat setelah sempat mempunyai keadaan tubuh
lengkap, pendapat mereka sendiri tentang kondisi yang menimpa akan sangat besar
pengaruhnya untuk perkembangan berikut. Awalnya, biasanya mereka mempunyai
perasaan tidak berdaya. Kalau yang timbul kemudian adalah penyesalan terhadap
kondisi yang diderita dan ini terus terus-menerus, perkembangan di masa berikutnya
Di antara mereka ada juga yang dapat melakukan penyesuaian diri dengan
baik, dimana mereka menemukan hal yang positif di lingkungannya. Mereka merasa
bangga apabila dapat melakukan sesuatu atau melewati gangguan yang dihadapi,
sehingga mereka mendapatkan penghargaan dan penerimaan bahkan dapat dijadikan
contoh oleh masyarakat (Somantri, 2006), seperti menjadi pelukis, penyanyi, aktivis
dan lain sebagainya. Diskriminasi dan pengucilan dari masyarakat yang kerap
diterima sesama penyandang cacat lebih banyak bergantung pada sikap penyandang
cacat sendiri.
Seseorang yang mengalami cacat genetik mempunyai perbedaan yang penting
bila dibandingkan dengan orang yang mengalami kecacatan setelah lahir (dewasa).
Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan tertolak oleh
lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat tetapi
mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka yang cacat. Adanya
dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat
menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, hal yang positif, semangat mereka untuk
lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita
Seperti yang dialami oleh Gufroni yang sempat dihinggapi perasaan sedih,
dan minder (dalam “Grufoni Sakaril Ingin Memotivasi Penyandang Cacat Lainnya”) :
“Waktu itu saya masih kecil. Teman-teman di kampung selalu ngejek saya. Mereka bilang kok kedua tangan saya kecil ya. Diejek terus-menerus, saya nangis. Saya shock luar biasa. Bahkan sempat mengunci diri di kamar. Beruntung hal itu tidak berlangsung lama. Berkat ketegaran orangtua yang begitu menyayangi dan tulus mendidik saya, saya akhirnya bangkit. Saya bersyukur punya orangtua yang tegar melihat kondisi anaknya. Saya juga bersyukur mereka menyekolahkan saya di sekolah umum, bukan di sekolah penyandang cacat atau sejenisnya.”
Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Barus yang mengalami cacat tubuh:
“Meski hidup dalam kondisi fisik yang tidak sempurna layaknya orang lain, saya masih tetap memiliki kebanggan pada diri saya. Salah satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah karena saya tidak pernah menyusahkan orang tua untuk biaya sekolah. Kebahagiaan lain yang saya rasakan karena saya mampu mengangkat kembali semangat hidup yang sempat runtuh. Diskriminasi dan pengucilan yang sering saya terima membuat pembelajaran hidup yang berharga bagi kematangan dan kedewasaan saya.”
(Komunikasi Personal, 9 Juni 2010)
Adanya semangat hidup untuk menjalani kehidupan membuat seseorang
menjadi merasa bahagia. Merasa bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu
kunci penting dalam menjalani kehidupan. Orang-orang percaya bahwa kebahagiaan
adalah tujuan hidup manusia. Menurut Myers dan Diener (dalam Duffy dan Atwater,
2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang
dijalani seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan
tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat
perasaan negatif.
Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu
pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang yang tidak
mempunyai komponen perasaan sama sekali. Selanjutnya dia mengkategorikan emosi
yang terkait dengan masa lalu, sekarang dan masa depan. Kebahagiaan merupakan
konsep yang subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda.
Setiap individu juga memiliki faktor yang berbeda sehingga bisa mendatangkan
kebahagiaan untuknya. Faktor-faktor itu antara lain uang, status pernikahan,
kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif, pendidikan, iklim, ras, dan jenis
kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas seseorang (Seligman, 2005).
Selain itu, Carr (2004) berpendapat bahwa pada dasarnya keinginan yang
cukup besar dalam diri manusia ialah keinginan untuk hidup secara baik, dalam arti
semua proses hidup manusia seperti sekolah, bekerja, dan menikah dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Menurut Seligman (2002), kebahagiaan bisa tentang masa
lalu, masa sekarang dan masa depan. Kebahagiaan masa lalu mencakup kepuasan,
kelegaan, kesuksesan, kebanggaan, dan kedamaian. Kebahagiaan masa sekarang
mencakup kenikmatan dan gratifikasi. Sedangkan kebahagian masa depan mencakup
optimisme, harapan, keyakinan, dan kepercayaan.
Ketika ada penyandang cacat dan orang normal yang memiliki kemampuan
sama maka penghargaan lebih justru di berikan kepada penyandang cacat. Rasa
ketidaksempurnaan pada penyandang cacat bukan halangan apalagi menimbulkan
kesedihan untuk mereka. Kecacatan selalu membuat kuat, tegar dan bahagia walau
tanpa dipungkiri sebagai makhluk sosial perasaan malu pasti ada, tapi ternyata nikmat
ini tidak pudar begitu saja. Dengan kecacatan itu, mereka masih bisa berbuat yang
terbaik untuk keluarga, suami dan orang lain. Semua terasa begitu sempurna, diluar
apa yang terlihat sebagai fisik yang aneh, dengan kaki kecil sebelah dan jalan yang
timpang atau tidak mempunyai tangan ( Marlinda, 2008).
Berdasarkan pemaparan diatas, terlihat bahwa tidak semua orang cacat
menjadi percaya diri, hubungan dengan orang lain pun terganggu dan selalu
memandang negatif terhadap mereka. Orang-orang cacat yang dapat hidup dengan
semangat dan bahagia mampu menjalani hidup dengan positif. Oleh sebab itu peneliti
tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa
dewasa awal.
B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah
gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal.
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Manfaat dari adanya penelitian ini adalah memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
di bidang Psikologi, khusunya Psikologi Klinis.
2. Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
membangkitkan semangat para penyandang tuna daksa untuk
menunjukkan kemampuan yang dimiliki.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada keluarga dan
masyarakat untuk mengakomodasikan para penyandang tuna daksa untuk
menyalurkan pikiran, wawasan dan keahliannya.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah:
BAB I : Pendahuluan
Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat peneltian serta sistematika penulisannya.
Bab II : Landasan Teori
Memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam permasalahan.
Teori-teori yang dimuat adalah teori dewasa awal termasuk di
dalamnya definisi dewasa awal, tugas perkembangan masa dewasa
daksa, faktor-faktor penyebab kecacatan dan hambatan- hambatan
kecacatan. Teori kebahagiaan termasuk didalamnya defines
kebahagiaan, aspek-aspek kebahagiaan, karakteristik orang yang
bahagia dan faktor-faktor kebahagiaan.
Bab III : Metode Penelitian
Berisi mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode
kualitatif, metode pengumpulan data, karakteristik responden, alat
bantu pengumpulan data, teknik pengambilan data, prosedur
penelitian dan pengolahan data.
Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi
Mendeskripsikan data responden, analisa dan interpretasi data yang
diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan
pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Menjelaskan kesimpulan dari peneltian ini serta saran-saran yang dianjurkan
BAB II
LANDASAN TEORI A. Dewasa Awal
1. Definisi dewasa awal
Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang
berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi
dewasa. Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18
tahun sampai umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang
menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan
menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk
hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) mengemukakan masa muda (youth)
adalah periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, dan perjuangan antara
ketertarikan pada kemandirian dan menjadi terlibat secara sosial. Periode masa muda
rata-rata terjadi 2 sampai 8 tahun, tetapi dapat juga lebih lama. Dua kriteria yang
diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan dari masa dewasa awal
adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Mungkin
yang paling luas diakui sebagai tanda memasuki masa dewasa adalah ketika
seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap (Santrock,
2002).
Sementara itu, Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang
Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan tanggung
jawabnya tentu semakin bertambah besar. Ia tak lagi harus bergantung secara
ekonomis, sosiologis maupun psikologis pada orangtuanya (Dariyo, 2003).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu
yang berada pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun dimana terjadi perubahan
fisik dan psikologis pada diri individu yang disertai berkurangnya kemampuan
reproduktif, merupakan masa dimana individu tidak lagi harus bergantung secara
ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orangtuanya, serta masa untuk
bekerja, terlibat dalam hubungan masyarakat, dan menjalin hubungan dengan lawan
jenis.
2. Tugas perkembangan masa dewasa awal
Hurlock (1980) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal,
antara lain:
a. mulai bekerja
b. memilih pasangan
c. mulai membina keluarga
d. mengasuh anak
e. mengelola rumah tangga
f. mengambil tanggung jawab sebagai warga negara
B. Kecacatan
1. Definisi Kecacatan
Kecacatan adalah adanya dsifungsi atau berkurangnya suatu fungsi yang
secara objektif dapat diukur/dilihat, karena adanya kehilangan/kelainan dari bagian
tubuh/organ seseorang. Misalnya, tidak adanya tangan, kelumpuhan pada bagian
tertentu dari tubuh. Kecacatan ini bisa selalu pada seseorang, yang dapat
menghasilkan perilaku-perilaku yang berbeda pada individu yang berebeda, misalnya
kerusakan otak dapat menjadikan individu tersebut cacat mental, hiperkatif, buta, dan
lain-lain (Mangunsong, 1998).
UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 1 menyebutkan bahwa
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang
cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda).
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi
kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.
Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau
fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan disability adalah ketidakmampuan atau
keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan
cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan
mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis
kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai
makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang
sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2) Lecet (kerusakan,
noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3)
Cela atau aib; 4) Tidak (kurang sempurna).
2. Tuna Daksa
Tuna daksa atau cacat tubuh atau cacat fisik adalah individu yang lahir dengan
cacat fisik bawaan, seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, individu yang
kehilangan anggota badan karena amputasi, individu dengan gangguan neuro
maskular seperti cerebral palsy, individu dengan gangguan sensori motorik (alat
penginderaan) dan individu yang menderita penyakit kronik (Mangunsong, 1998).
Sementara cacat fisik menurut Departemen kesehatan (dalam Mangunsong,
1998) adalah individu yang menderita kekurangan yang sifatnya menetap pada alat
gerak (tulang, otot, sendi) sedemikian rupa sehingga untuk berhasilnya pendidikan
mereka perlu mendapatkan perlakuan khusus.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyandang cacat tubuh
(tuna daksa) adalah individu yang lahir dengan cacat fisik bawaan, kehilangan
3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan
Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu faktor dari dalam ataupun faktor dari luar individu.
Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir
baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum
kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat
disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan
(bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz,
2001). Sedangkan cacat akibat kecelakaan merupakan kelainan/cacat yang terjadi
pada individu akibat kecelakaan yang dapat berupa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, kebakaran, tersiram air keras, jatuh, tertimpa benda-benda berat, dan lain-lain.
4. Hambatan-hambatan Kecacatan
Hambatan-hambatan yang dialami oleh orang yang mengalami kecacatan
antara lain:
a. Sosialisasi
Dalam aspek sosialisasi terdapat dua faktor yang menjadi penghambat
bagi orang cacat, yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan dari luar
(eksternal). Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri,
merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan sering
kali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain.
Perasaan-perasaan tersebut yang sering kali menjadi penghambat seorang yang
tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang cacat
untuk dapat melakukan mobilitas sosial.
b. Pekerjaan
Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang cacat adalah
masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang cacat kurang memungkinkan
mereka untuk bergerak dengan bebas seperti orang normal. Ini membuat
kebanyakan orang beranggapan bahwa orang cacat kurang berkompeten
untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi
orang lain karena kecacatan yang dimilikinya. Padahal orang cacat juga
perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan
pengetahuan yang dimilikinya.
c. Mencari pasangan
Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah dan
berkeluarga apalagi ketika individu memasuki tahap dewasa awal karena
hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus
dilewatinya. Akan tetapi kondisi fisik yang cacat membuat individu
membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu
dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya
apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga
beranggapan bahwa memiliki menantu yang cacat merupakan suatu hal
yang memalukan.
d. Emosi
Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki individu akan membuat
individu tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu
dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah
tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap
menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering
berprasangka dan mudah curiga terhadap orang lain.
C. Kebahagiaan
1. Defenisi kebahagiaan
Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu
pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktifitas positif yang yang tidak
mempunyai komponen perasaan sama sekali. Seligman memberikan gambaran
individu yang mendapatkan kebahagiaan yang autentik (sejati) yaitu individu yang
telah dapat mengidentifikasi dan mengolah atau melatih kekuatan dasar (terdiri dari
kekuatan dan keutamaan) yang dimilikinya dan menggunakannya pada kehidupan
sehari-hari, baik dalam pekerjaan, cinta, permainan, dan pengasuhan.
Kebahagiaan merupakan konsep yang subjektif karena setiap individu
memiliki tolak ukur yang berbeda-beda. Setiap individu juga memiliki faktor yang
lain uang, status pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif,
pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas
seseorang (Seligman, 2005).
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah
suatu keadaan individu yang berada dalam aspek positif (perasaan yang positif) dan
untuk mencapai kebahagiaan yang autentik, individu harus dapat
mengidentifikasikan, mengolah, dan melatih serta menggunakan kekuatan (strength)
serta keutamaan (virtue) yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Aspek – aspek kebahagiaan
Menurut Seligman dkk, ada lima aspek utama yang dapat menjadi sumber
kebahagiaan sejati, yaitu :
a. Menjalin hubungan positif dengan orang lain
Hubungan yang positif bukan sekedar memiliki teman, pasangan, ataupun
anak. Status perkawinan dan kepemilikan anak tidak dapat menjamin
kebahagiaan seseorang.
b. Keterlibatan penuh
Bagaimana seseorang melibatkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan yang
ditekuni. Keterlibatan penuh bukan hanya pada karir, tetapi juga dalam
aktivitas lain seperti hobi dan aktivitas bersama keluarga. Keterlibatan penuh
c. Temukan makna dalam keseharian
Dalam keterlibatan penuh dan hubungan positif dengan orang lain tersirat satu
cara lain untuk dapat bahagia, yakni temukan makna dalam apapun yang
dilakukan.
d. Optimis, namun tetap realistis
Orang yang optimis ditemukan lebih berbahagia. Mereka tidak mudah cemas
karena menjalani hidup dengan penuh harapan.
e. Menjadi pribadi yang resilien
Orang yang berbahagia bukan berarti tidak pernah mengalami penderitaan.
Karena kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak peristiwa
menyenangkan yang dialami. Melainkan sejauh mana seseorang memiliki
resiliensi, yakni kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang terpahit
sekalipun.
3. Karakteristik Orang Yang Bahagia
Setiap orang bisa sampai kepada kebahagiaan akan tetapi tidak semua orang
bisa memiliki kebahagiaan. Menurut David G. Myers, seorang ahli kejiwaan yang
berhasil mengadakan penelitian tentang solusi mencari kebahagiaan bagi manusia
modern. Ada empat karakteristik menurut Myers (1994) yang selalu ada pada orang
yang memiliki kebahagiaan dalam hidupnya, yaitu :
a. Menghargai diri sendiri
Orang yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri. Mereka cenderung
Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki
kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti
diatas.
b. Optimis
Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau
pesimis, yaitu permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah) dan
pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak situasi).
Orang yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab
permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga mereka berusaha
untuk lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat mengalami peristiwa
baik lagi (Seligman, 2005). Sedangkan orang yang pesimis menyerah di
segala aspek ketika mengalami peristiwa buruk di area tertentu.
c. Terbuka
Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang lain. Penelitian
menunjukkan bahwa orang – orang yang tergolong sebagai orang extrovert
dan mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki kebahagiaan
yang lebih besar.
d. Mampu mengendalikan diri
Orang yang bahagia pada umumnya merasa memiliki kontrol pada hidupnya.
4. Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan
seseorang:
1) Budaya
Triandis (2000) mengatakan faktor budaya dan sosial politik yang spesifik
berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang ( dalam Carr, 2004). Hasil penelitian
lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana demokrasi yang sehat dan
stabil lebih daripada suasana pemerintahan yang penuh dengan konflik militer (Carr,
2004). Carr (2004), mengatakan bahwa budaya dengan kesamaan sosial memiliki
tingakat kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan juga lebih tinggi pada
kebudayaan individualitas dibandingkan dengan kebudayaan kolektivistis (Carr,
2004). Carr (2004) juga menambahkan kebahagiaan lebih tinggi dirasakan di negara
yang sejahtera di mana institusi umum berjalan dengan efisien dan terdapat hubungan
yang memuaskan antara warga dengan anggota birokrasi pemerintahan.
2) Kehidupan Sosial
Penelitian yang dilakukan oleh Seligman dan Diener (Seligman 2005)
menjelaskan hampir semua orang dari 10% orang yang paling bahagia sedang terlibat
dalam hubungan romantis. Menurut Seligman (2005), orang yang sangat bahagia
menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit menghabiskan
waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi.
Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada
orang yang tidak religius (Seligman, 2005). Selain itu keterlibatan seseorang dalam
kegiatan keagamaan atau komunitas agama dapat memberikan dukungan sosial bagi
orang tersebut (Carr, 2004). Carr (2004) juga menambahkan keterlibatan dalam suatu
agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang lebih baik yang
dapat dilihat dari kesetiaan dalam perkawinan, perilaku sosial, tidak berlebihan dalam
makanan dan minuman, dan bekerja keras.
4) Pernikahan
Seligman (2005) mengataka bahwa pernikahan sangat erat hubungannya
dengan kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan
kebahagiaan dengan pernikahan, yaitu orang yang lebih bahagia lebih atraktif sebagai
pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan
memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya
keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan
peran sebagai orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr,
2004). Kebahagiaan orang yang menikah memengaruhi panjang usia dan besar
penghasilan dan ini berlaku bagi pria dan wanita (Seligman, 2005). Carr (2004),
menambahkan orang yang bercerai atau menjanda lebih bahagia pada budaya
kolektifis dibandingkan dengan budaya individualis karena budaya kolektifis
5) Usia
Penelitian dahulu yang dilakukan oleh Wilson mengungkapkan kemudaan
dianggap mencerminkan keadaan yang lebih bahagia (Seligman, 2005). Namun
setelah diteliti lebih dalam ternyata usia tidak berhubungan dengan kebahagiaan
(Seligman, 2005). Sebuah penelitian otoratif atas 60.000 orang dewasa dari 40 bangsa
membagi kebahgiaan dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek positif dan
afek negatif (Seligman, 2005). Kepuasan hidup sedikitmeningkat sejalan dengan
betambahnya usia, afek positif sedikit melemah dan afek negatif tidak berubah
(Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan hal yang berubah ketika seseorang
menua adalah intensitas emosi dimana perasaan “mencapai puncak dunia” dan
“terpuruk dalam keputusasaan” berkurang seiring dengan bertambhanya umur dan
pengalaman.
6) Uang
Banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara
kebahagiaan dan uang (Seligman, 2005). Umumnya penelitian yang dilakukan
dengan cara membandingkan kebahagiaan antara orang yang tinggal di negara kaya
dengan orang yang tinggal di negara miskin. Perbandingan lintas-negara sulit untuk
dijelaskan karena negara yang lebih kaya juga memiliki angka buta huruf yang lebih
rendah, tingkat kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, kebebasan
yang lebih luas dan barang materil yang lebih banyak (Seligman, 2005). Seligman
(2005) menjelaskan bahwa di negara yang sangat miskin, kaya berarti bias lebih
memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada
kebahgiaan (Seligman, 2005). Seligman (2005), menyimpulkan penilaian seseorang
terhadap uang akan mempengaruhi kebahagiaannya lebih daripada uang itu sendiri.
7) Kesehatan
Kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan
(Seligman, 2005). Menurut Seligman (2005), yang penting adalah persepsi subjektif
kita terhadap seberapa sehat diri kita. Berkat kemampuan beradapatasi terhadap
penedritaan, seseorang bisa menilai kesehatannya secara positif bahkan ketika sedang
sakit. Ketika penyakit yang menyebabkan kelumpuhan sangat parah dan kronis,
kebahagiaan dan kepuasan hidup memang menurun (Seligman, 2005). Seligman
(2005) juga menjelaskan orang yang memiliki lima atau lebih masalah kesehatan,
kebahagiaan mereka berkurang sejalan dengan waktu.
8) Jenis Kelamin
Jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak konsisten dengan kebahagiaan.
Wanita memiliki kehidupan emosional yang lebih ekstrim daripada pria. Wanita lebih
banyak mengalami emosi positif dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pria. Tingkat emosi rata-rat pria dan wanita tidak berbeda namun wanita lebih
D. Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal
Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang
menurut Havighurst (Hurlock, 1999) diartikan sebagai tugas yang muncul pada saat
atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu. Setiap individu yang telah
memasuki masa kedewasaannya dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas
perkembangan sesuai usianya yang salah satunya adalah mulai bekerja dan
menemukan calon pasangan hidup (Havighurst dalam Dariyo, 2003). Havighurst (dalam
Dariyo, 2003) juga mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai
puncak prestasi. Dengan semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka
bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua)
untuk menunjukkan prestasi kerja.
Seseorang yang mengalami cacat genetik mempunyai perbedaan yang penting
bila dibandingkan dengan orang yang mengalami kecacatan setelah lahir (dewasa).
Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan tertolak oleh
lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat tetapi
mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka yang cacat. Adanya
dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat
menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, hal yang positif, semangat mereka untuk
lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita
Adanya semangat hidup untuk menjalani kehidupan membuat seseorang
menjadi merasa bahagia. Merasa bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu
kunci penting dalam menjalani kehidupan. Orang-orang percaya bahwa kebahagiaan
adalah tujuan hidup manusia. Menurut Myers dan Diener (dalam Duffy dan Atwater,
2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang
dijalani seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan
bahwa kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif yang terlihat dari
tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat
E. Paradigma Berpikir Penelitian
Kondisi fisik sehat Kondisi fisik tidak sehat
BAB III
METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan
tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam
berkaitan dengan kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. Menurut
Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang
memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih
mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun
dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan
berada dalam setting alamiah. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005)
mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami
gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang
sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat
yang dipaksakan.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan “metodologi
kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut
mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik.
Peneliti berusaha masuk ke dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk
menangkap apa (what) dan bagaimana (how) sesuatu terjadi. Peneliti berharap dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat mendapatkan gambaran
mengenai apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan responden.
Doley (dalam Irmawati, 2002) mengemukakan bahwa dalam pendekatan kualitatif,
teori tidak dipaksakan untuk mencari hubungan yang pasti antar variabel, melainkan
lebih ditujukan untuk mencari dinamika masalah. Bogdan dan Taylor (dalam
Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah
dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh
gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan
kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
sebagai metode dalam meneliti kebahagiaan pada penyandang tuna daksa sejak lahir,
sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran dan
dinamika yang luas tentang kebahagiaan yang dialami responden.
B. Metode Pengambilan Data
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara.
Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan
dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut,
Poerwandari, 2001). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara semi terstruktur yaitu wawancara yang pertanyaannya telah ditentukan
terlebih dahulu dan berbentuk open-ended question (Gay dan Airasian, 2003).
C. Responden Penelitian 1. Karakteristik Responden
Adapun karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian telah
disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah:
a. Penyandang tuna daksa sejak lahir.
b. Dewasa Awal ( 20-40 tahun)
2. Jumlah Responden
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat
yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang
harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa
yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang
tersedia. Prosedur penentuan subjek atau sumber data dalam penelitian kualitatif
umumnya menampilkan karakteristik sebagai berikut (Sarakantos, dalam
Poerwandari, 2007) :
1. Diarahkan tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada kasus-kasus
2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam
hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual
yang berkembang dalam penelitian.
3. Tidak diarahkan pada keterwakilan arti jumlah atau peristiwa acak,
melainkan kecocokan konteks.
Pada penelitian ini jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak tiga
orang yang mengalami tuna daksa sejak lahir.
3. Prosedur Pengambilan Responden
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk
operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk
operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian
(Patton, dalam Poerwandari, 2007). Prosedur pengambilan responden ini dilakukan
agar responden benar-benar mewakili fenomena penelitian.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Medan. Pengambilan daerah penelitian
tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian,
D. Teknik Pengambilan Data
Menurut Poerwandari (2001), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif
sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang
diteliti. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara yang
merupakan teknik utama dalam pengambilan data.
Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud
untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami
individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi
terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.
Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan tiga pendekatan dasar wawancara
dalam memperoleh data kualitatif yaitu wawancara informal, wawancara dengan
pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka. Penelitian ini
menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum, yaitu mencantumkan isu-isu
yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman digunakan untuk
mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi
daftar pengecek (cheklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan.
tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi open-ended question
yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian
(Poerwandari, 2001).
Hasil wawancara adalah berupa pernyataan-pernyataan yang menyeluruh dan
mendalam mengenai kebahagiaan responden dalam kehidupannya.
E. Alat Bantu Pengumpulan Data
Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan
dianalisis berdasarkan kutipan hasil wawancara dan observasi. Oleh karena itu,
pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin.
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, untuk itu diperlukan
instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data
(Moleong, 2005). Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Alat Perekam (Tape Recorder)
Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk
mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya
hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada
kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali
kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah
memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam
memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan
aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam
(Padget, 1998).
b. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti
mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek
(checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan
(Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang
dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan juga sebagai alat
bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap
analisa data nantinya.
Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II,
sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin
ditanyakan. Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara
(aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik kebahagiaan). Pedoman umum
wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa
menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi saat wawancara berlangsung.
F. Prosedur Penelitian
a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan kebahagiaan pada
penyandang tuna daksa dewasa awal.
Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan
dengan kebahagiaan, khususnya yang berkaitan dengan penyandang tuna daksa.
Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan
dalam penelitian ini. Peneliti juga mengumpulkan fenomena-fenomena yang
didapat melalui komunikasi personal denga para penyandang tuna daksa.
b. Menyusun pedoman wawancara
Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian,
peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori untuk
menjadi pedoman dalam wawancara.
c. Persiapan untuk mengumpulkan data
Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian. Pada
waktu peneliti telah memperoleh beberapa orang calon responden, peneliti
menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang
dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.
Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudian menyepakati waktu
pertemuan selanjutnya bersama calon responden.
d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara
Menurut Moleong (2002), rapport adalah hubungan antar peneliti dengan
responden penelitian yang sudah melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi
sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh
peneliti. Rapport yang peneliti bangun berbeda dari satu responden dengan
responden lain.
Peneliti sebelumnya telah melakukan rapport awal sekaligus inform consent
dengan ketiga responden dalam penelitian ini. Peneliti membangun rapport
dengan mendatangi kedai sepatu tempat responden I bekerja bersama dengan
saudara peneliti yang telah mempertemukan peneliti dengan responden I.
Kedatangan saudara peneliti dan peneliti disambut baik oleh responden I. Saudara
peneliti kemudian memperkenalkan peneliti kepada responden I. Peneliti
menjelaskan tujuan dari penelitian dan meyakinkan kepada responden I bahwa
data yang diperoleh selama penelitian berlangsung akan dijaga kerahasiaannya,
akhirnya responden I menyetujui dan kemudian menyepakati tempat dan hari
yang tepat untuk melakukan wawancara. Begitu juga rapport yang dilakukan
pada responden II. Peneliti mengenal responden II saat peneliti sedang membeli
makanan di warung tempat responden II bekerja. Peneliti mendatangi warung
tempat responden II bekerja untuk membangun rapport. Kedatangan peneliti
disambut baik oleh responden II. Peneliti mengobrol sebentar dengan responden
II dan menjelaskan maksud dan tujuan dari kedatangan peneliti. Peneliti juga
meminta kesediaan responden II untuk membantu dalam penelitian dan
peneliti disambut dengan sangat baik. Peneliti kemudian memperkenalkan diri
dan menjelaskan maksud dan tujuan dari kedatangan peneliti. Peneliti juga
meminta kesediaan responden III untuk membantu dalam penelitian dan
permintaan disambut dengan sangat baik oleh responden. Setelah mencapai
kesepakatan, peneliti melakukan wawancara I dengan keempat responden.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki
beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:
a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan
tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden.
Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan
tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak
berhalangan dalam melakukan wawancara.
b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk
menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa
responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan
yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian
sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan
melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat
sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil
dan data yang maksimal.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden I Responden Hari/Tanggal Aman Kamis/ 13 Januari 2011 17.05-18.25 WIB Kedai Sepatu Aman Sabtu/ 21 Januari 2011 17.25-18.15 WIB Kedai Sepatu Aman Jumat/ 28 Januari 2011 13.00-14.10 WIB Kedai Sepatu
Table 2. Jadwal Pelaksana Wawancara Responden II Responden Hari/Tanggal Rini Sabtu/ 12 Februari 2011 15.00-16.30 WIB Warung
Makan Rini Jumat/ 18 Februari 2011 17.35-18.45 WIB Rumah Rini
Rini Sabtu/ 26 Februari 2011 15.15-16.25 WIB Warung Makan
Table 3. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden III Responden Hari/Tanggal Hilma Kamis/ 10 Maret 2011 12.25-13.30 WIB Toko Hilma Hilma Sabtu/ 12 Maret 2011 16.45-17.55 WIB Rumah
Hilma Hilma Rabu/ 16 Maret 2011 12.00-13.25 WIB Ruang Kerja
HIlma
diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam
verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan
membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan
untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan
mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang
dipelajari (Poerwandari, 2001).
d. Melakukan analisa data
Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan
salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil
transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan
menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat
wawancara.
e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran
Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab
rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan
kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan
saran-saran sesuai dengan kesimpulan data hasil penelitian.
3. Tahap Pencatatan Data
Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat
perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini
salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di
atas kertas.
G. Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk
menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang
menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa
kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran
kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian
kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah
dan mendeksripsikan setting, proses, kelompok social atau pola interaksi yang
kompleks.
Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian
ini, antara lain dengan:
1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah
penyandang tuna daksa yang dewasa awal.
2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan aspek-aspek kebahagiaan dan
karakteristik kebahagiaan.
3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan