• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN KEBAHAGIAAN PADA PENYANDANG

TUNA DAKSA DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ADINDA MELATI

051301081

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip

dari hasil karya orang lain telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma,

kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,

saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan

sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Medan, Juli 2011

Adinda melati

(3)

Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal

Adinda Melati dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Setiap manusia pasti menginginkan kondisi atau keadaan fisik yang normal. Namun kenyataan menjadi berbeda ketika terdapat keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti keterbatasan dalam melakukan suatu aktifitas pada bagian tubuh tertentu atau sering disebut tuna daksa. Keinginan untuk dapat hidup bahagia adalah dambaan setiap manusia, begitu juga dengan penyandang tuna daksa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. Teori aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik orang yang bahagia oleh Seligman dan Myers digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan penyandang tuna daksa.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yang masing-masing memiliki cacat tubuh sejak lahir. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan ternyata orang yang tuna daksa juga memiliki kebahagiaan didalam kehidupannya. Terdapat beberapa aspek dan karakteristik yang menunjukkan ketiga responden mencapai kebahagiaan. Menjalin hubungan yang positif dan optimis membuat ketiga responden mampu menjalani kehidupan seperti orang yang memiliki fisik yang normal. Selain itu ketiga responden merasa bangga karena dengan kecacatan yang ketiga responden miliki tidak mampu menghalangi ketiganya untuk terus berkarya dan bekerja. Ketiga responden mempunyai tujuan hidup yang sama yaitu ingin menjadi orang yang berhasil, membangun keluarga yang bahagia, dan tidak hidup bergantung pada orang lain.

(4)

A description of Happiness In Tuna Daksha Disabled Adult Beginning

ABSTRACT

Every man would want a condition or a normal physical state. But the fact of being different when there are physical limitations that can not be avoided such as limitations in performing an activity on a specific body part or often called the physically disabled. The desire to be happy life is the desire of every human being, as well as the physically disabled. This study aims to determine the picture of happiness at the beginning of the physically disabled adult. Theory aspects of happiness and the characteristics of happy people by Seligman and Myers used to describe the happiness of disabled persons.

This study used qualitative methods because these methods can be understood as the subject experiencing symptoms, so the picture can be obtained in accordance with the subject and not merely causal inferences that are imposed. Respondents in this study as many as three people who each have a physical disability since birth. Data retrieval procedure is based on the operational construct (operational construct sampling). Data collection methods used are in-depth interviews. The results showed that disabled people were also to have happiness in life. There are several aspects and characteristics that indicate a third of respondents to achieve happiness. Establishing a positive and optimistic about making a third of respondents able to live life like a man who had a normal physical. In addition a third of respondents felt proud because a third of respondents with disabilities are not able to inhibit all three have to continue working and working. All three respondents have the same purpose in life is to become successful, build a happy family, and not to live dependent on others.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada Allah Subhanallahu Wata’ala

yang telah memberikan begitu banyak rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat

menyelesaikan skripsi untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna

memperoleh gelar sarjana jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara dengan judul ”Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa

Dewasa Awal”

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda

Drs. H. Iwa Suryapati dan Ibunda Hj. T. Nelwani atas segala kasih sayang, do’a serta

dukungannya baik moril maupun materil yang selalu menyertai langkah penulis.

Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia

maupun di akhirat. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada

saudara-saudara penulis, Kak Reny dan Kak Lona yang memberikan doa dan juga dukungan.

Kepada Kak Emy, Ratih dan Adek, terima kasih untuk dukungan dan doanya. Pada

kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Kakak Juliana I. Saragih M.Si, Psikolog selaku dosen Pembimbing Skripsi.

Terimakasih telah bersedia meluangkan waktu dan menjadi pembimbing bagi penulis

(6)

saran dan kritikan hingga pada akhirnya dapat membantu untuk menyelesaikan

skripsi ini meskipun berada di tengah-tengah kesibukanyang sangat padat.

3. Ibu Filia Dina Anggreini, M.pd, selaku dosen pembimbing Akademik. Terima

kasih atas segala perhatian, waktu, masukan, nasehat, dan bimbingan dalam proses

penyelesaian skripsi ini.

4. Yan Julian, meskipun jauh terima kasih untuk doa, dukungan, semangat serta kasih

sayang yang diberikan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

5. Fani, Yuli, Neni, terima kasih atas doa, dukungan, waktu, masukan yang sudah

membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Endang, teman seperjuangan,

terima kasih atas doa, dukungan dan semangat yang diberikan. Semoga tetap

semangat dalam penyelesaian skripsinya dan tetap menjadi teman yang terbaik.

6. Wahyuni, Retno, Anggi, Risda, Mega, Tia, Ade, Ica terima kasih doa, semangat,

dukungan dan bantuannya pada penulis. Adik-adik angkatan 2006 dan 2007 yang

telah membantu dan memberikan semangat pada peneliti. Terima kasih yang tak

terhingga untuk kalian semua.

7. Nindy, Vivi, Letty, Devi, Intan, terima kasih atas dukungan, doa, semangat dan

waktunya untuk membantu peneliti kesana kemari. Semoga kita bisa menjadi teman

selamanya. Buat Dini, Sasha, Mirna terima kasih untuk dukungan dan semangatnya

pada penulis.

(7)

9. Buat para responden yang telah rela meluangkan waktu dan bersedia untuk berbagi

cerita dan pengalaman kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekuranagn dalam

penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran

yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini

agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya pada Allah juga penulis berserah diri, semoga

penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Juli 2011

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 10

1. Manfaat Teoritis... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 10

(9)

2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal ... 13

B. Kecacatan ... 14

1. Definisi Kecacatan... 14

2. Tuna Daksa………....………..………... 15

3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan...……… 16

4. Hambatan-hambatan Kecacatan……… 16

C. Kebahagiaan………...……….. 18

1. Definisi Kebahagiaan ...……….... 18

2. Aspek- aspek Kebahagiaan……… 19

3. Karakteristik Orang Yang Bahagia……… 20

4. Faktor Yang Mempengaruhi Kebahagiaan……… 21

D. Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa awal.…………... 26

E. Paradigma Berpikir Penelitian ..……….. 29

BAB III. METODE PENELITIAN ... 31

A. Pendekatan Kualitatif ...……….. 31

B. Metode Pengambilan Data ...………....…….. 32

C. Responden Penelitian... 33

1. Karakteristik Responden... 33

2. Jumlah Responden... 33

(10)

4. Lokasi Penelitian... 34

D. Teknik Pengambilan Data…………..………... 34

E. Alat Bantu Pengambilan Data ……….. 36

1. Alat Perekam (Tape Recorder) .………. 36

2. Pedoman Wawancara ... 37

F. Prosedur Penelitian …..……… 37

1. Tahap Persiapan Penelitian ..………... 37

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 40

3. Tahap Pencatatan Data ...………... 42

G. Kredibilitas Penelitian... 43

H. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data... 44

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 45

A. Responden I ... 45

1. Analisa Data... 45

2. Deskripsi Data... 46

B. Responden II ... 59

1. Analisa Data ... 59

2. Deskripsi Data... 59

(11)

D. Pembahasan………. 108

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 115

A. Kesimpulan... 115

B. Saran ... 118

1. Saran Praktis ... 118

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 119

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden I... 50

Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden II ... 50

Tabel 3 Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden III ... 50

Tabel 4 Gambaran Umum Responden I ... 66

Tabel 5 Gambaran Umum Responden II ... 68

Tabel 6 Gambaran Umum Responden III ………... 73

Tabel 7 Resume Hasil Responden I ... 126

Tabel 8 Resume Hasil Responden II ... 129

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

(14)

Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal

Adinda Melati dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Setiap manusia pasti menginginkan kondisi atau keadaan fisik yang normal. Namun kenyataan menjadi berbeda ketika terdapat keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti keterbatasan dalam melakukan suatu aktifitas pada bagian tubuh tertentu atau sering disebut tuna daksa. Keinginan untuk dapat hidup bahagia adalah dambaan setiap manusia, begitu juga dengan penyandang tuna daksa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. Teori aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik orang yang bahagia oleh Seligman dan Myers digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan penyandang tuna daksa.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yang masing-masing memiliki cacat tubuh sejak lahir. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan ternyata orang yang tuna daksa juga memiliki kebahagiaan didalam kehidupannya. Terdapat beberapa aspek dan karakteristik yang menunjukkan ketiga responden mencapai kebahagiaan. Menjalin hubungan yang positif dan optimis membuat ketiga responden mampu menjalani kehidupan seperti orang yang memiliki fisik yang normal. Selain itu ketiga responden merasa bangga karena dengan kecacatan yang ketiga responden miliki tidak mampu menghalangi ketiganya untuk terus berkarya dan bekerja. Ketiga responden mempunyai tujuan hidup yang sama yaitu ingin menjadi orang yang berhasil, membangun keluarga yang bahagia, dan tidak hidup bergantung pada orang lain.

(15)

A description of Happiness In Tuna Daksha Disabled Adult Beginning

ABSTRACT

Every man would want a condition or a normal physical state. But the fact of being different when there are physical limitations that can not be avoided such as limitations in performing an activity on a specific body part or often called the physically disabled. The desire to be happy life is the desire of every human being, as well as the physically disabled. This study aims to determine the picture of happiness at the beginning of the physically disabled adult. Theory aspects of happiness and the characteristics of happy people by Seligman and Myers used to describe the happiness of disabled persons.

This study used qualitative methods because these methods can be understood as the subject experiencing symptoms, so the picture can be obtained in accordance with the subject and not merely causal inferences that are imposed. Respondents in this study as many as three people who each have a physical disability since birth. Data retrieval procedure is based on the operational construct (operational construct sampling). Data collection methods used are in-depth interviews. The results showed that disabled people were also to have happiness in life. There are several aspects and characteristics that indicate a third of respondents to achieve happiness. Establishing a positive and optimistic about making a third of respondents able to live life like a man who had a normal physical. In addition a third of respondents felt proud because a third of respondents with disabilities are not able to inhibit all three have to continue working and working. All three respondents have the same purpose in life is to become successful, build a happy family, and not to live dependent on others.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebahagiaan adalah keadaan yang sangat diidamkan setiap orang dalam

rentang kehidupannya (Carr, 2004). Untuk mencapai hal tesebut tentu saja manusia

dengan segala daya upayanya akan selalu melakukan hal-hal yang membuatnya

bahagia atau menuntunnya pada kebahagiaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa

memang terdapat hubungan antara kesejahteraan dengan berkurangnya kemampuan

menikmati kesenangan atau kebahagiaan. Adapun kesenangan atau kebahagiaan yang

dimaksud adalah perasaan sukacita, kegembiraan, kagum, bangga, terimakasih, dan

sebagainya. Sebuah survey yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa

87% partisipan hidup dalam dunia matrealistis. Dalam dunia matrealisme individu

membeli barang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk membuat dirinya

terlihat lebih baik dimata orang lain. Hal tersebut (membeli barang untuk dilihat

orang lain) ternyata juga mempengaruhi kebahagiaan, individu yang melakukan hal

tesebut hanya mendapat kesenangan sesaat saja, tidak lama kemudian mereka

mencari barang lain untuk dilihat orang lain (Nova, 2010).

Beberapa orang menganggap bahwa kebahagiaan sangat berhubungan dengan

materi. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka semakin bahagia. Uang bisa

(17)

ternyata mendekati teori flow dari Positive Psychology di abad ke duapuluh.

Kebahagiaan itu bukan selalu materi, melainkan ketika tercapainya kepuasan diri

akan suatu pencapaian diri sejati melalui kreativitas ( Nova, 2010).

Berbeda dengan orang yang mengalami kecacatan. Orang-orang yang cacat

fisik seperti tuna daksa adalah mereka yang tubuhnya tidak normal sehingga sebagian

besar kemampuannya untuk berfungsi di masyarakat terhambat. Tuna daksa, yaitu

individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit,

pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan turunnya kemampuan

normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada

bagian tulang-tulang, otot-otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang

disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf (Mangunsong, 1998). Ada bagian-bagian

tertentu yang tidak sanggup mereka lakukan, ada juga bagian-bagian lain yang masih

sanggup mereka lakukan.

Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir

baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum

kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat

disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan

(bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz,

2001).

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal. 1 menyebutkan bahwa

penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau

(18)

kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang

cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda).

Individu-individu yang mengalami cacat tubuh biasanya harus dapat

mencapai penyesuaian-penyesuaian mental yang tidak pernah dihadapi oleh mereka

yang normal. Misalnya, penyesuaian dalam hubungan dengan sikap orang-orang lain

terhadap dirinya. Anak-anak kecil melihat mereka dengan pandangan yang penuh

perhatian, sedangkan orang-orang dewasa mengekspresikannya secara lebih

tersembunyi dengan menghindarkan diri dari keterlibatan dengan mereka

Keadaan rendah diri dan merasa tertolak oleh lingkungan yang dirasakan

seseorang yang mengalami kecacatan (apalagi setelah usianya beranjak dewasa)

menyebabkan ia sulit menerima kondisi yang dialaminya. Hubungan dengan orang

lain seringnya tidak baik dikarenakan ia merasa kecewa dengan dirinya dan merasa

tidak puas dengan keadaannya (Ryff & Singer, 2008). Ia juga menjadi orang yang

sangat sensitif terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat

keputusan sendiri dan cenderung conform terhadap orang lain/grup karena adanya

tekanan grup yang akhirnya membuatnya tidak percaya diri. Karena keterbatasannya

melakukan aktivitas, ia seringkali tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari,

mengabaikan kesempatan yang hadir, dan tidak mampu mengontrol pengaruh dari

(19)

mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa

tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff &

Singer, 2008).

Seperti yang dinyatakan oleh seorang Penyandang Tuna Daksa:

“"Terus terang saya dari keluarga yang broken home dari dua bersaudara, kebetulan saudara saya ini tidak cacat sehingga itu membuat keluarga saya memberi perlakuan berbeda. Ketika orang tua saya bepergian, mereka selalu membawa saudara saya karena dianggap tidak memalukan, sementara saya kan cacat pastinya mereka malu,"

(Komunikasi personal, 8 juni 2010)

Masa dewasa awal adalah masa bagi kehidupan seseorang yang berusia antara

20–40 tahun. Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam

kehidupannya. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan

yang menurut Havighurst (Hurlock, 1999) diartikan sebagai tugas yang muncul pada

saat atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu. Setiap individu yang telah

memasuki masa kedewasaannya dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas

perkembangan sesuai usianya yang salah satunya adalah mulai bekerja dan

menemukan calon pasangan hidup (Havighurst dalam Dariyo, 2003). Havighurst (dalam

Dariyo, 2003) juga mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai

puncak prestasi. Dengan semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka

bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua)

untuk menunjukkan prestasi kerja. Dengan mencapai prestasi kerja yang terbaik,

(20)

Kehidupan beberapa orang yang mengalami cacat fisik adalah beberapa atlet

yang telah banyak mengikuti pertandingan-pertandingan meskipun ia mengalami

kecacatan. Di antara para atlet tersebut pasti ada yang mengalami cacat sejak lahir,

sedangkan yang lain mendapatkan cacat fisik ketika masih kecil atau saat remaja.

Untuk yang mempunyai cacat bawaan, penerimaan lingkungan terhadap kondisi

mereka dan bimbingan yang diterima sejak kecil akan menjadi arah perkembangan

diri mereka. Artinya, kalau lingkungan (orangtua, saudara dan teman-teman)

menerima kondisi yang ada dan menyemangati yang bersangkutan untuk "tetap

maju", walau tahu kalau mempunyai keterbatasan, mereka akan dapat berkembang

menjadi orang yang tidak berbeda dengan orang yang fisiknya lengkap (Adi, 2005).

Sikap lingkungan membuat mereka menyesali kondisi yang tidak sama

dengan orang-orang lain pada umumnya, mereka akan tumbuh dengan perasaan

sedih, sadar betul bahwa mempunyai kelainan dibandingkan orang sehat. Kelainan itu

akan selalu disesali dan akan mempengaruhi arah perkembangan di masa mendatang.

Sedangkan mereka yang mengalami cacat setelah sempat mempunyai keadaan tubuh

lengkap, pendapat mereka sendiri tentang kondisi yang menimpa akan sangat besar

pengaruhnya untuk perkembangan berikut. Awalnya, biasanya mereka mempunyai

perasaan tidak berdaya. Kalau yang timbul kemudian adalah penyesalan terhadap

kondisi yang diderita dan ini terus terus-menerus, perkembangan di masa berikutnya

(21)

Di antara mereka ada juga yang dapat melakukan penyesuaian diri dengan

baik, dimana mereka menemukan hal yang positif di lingkungannya. Mereka merasa

bangga apabila dapat melakukan sesuatu atau melewati gangguan yang dihadapi,

sehingga mereka mendapatkan penghargaan dan penerimaan bahkan dapat dijadikan

contoh oleh masyarakat (Somantri, 2006), seperti menjadi pelukis, penyanyi, aktivis

dan lain sebagainya. Diskriminasi dan pengucilan dari masyarakat yang kerap

diterima sesama penyandang cacat lebih banyak bergantung pada sikap penyandang

cacat sendiri.

Seseorang yang mengalami cacat genetik mempunyai perbedaan yang penting

bila dibandingkan dengan orang yang mengalami kecacatan setelah lahir (dewasa).

Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan tertolak oleh

lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat tetapi

mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka yang cacat. Adanya

dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat

menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, hal yang positif, semangat mereka untuk

lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita

(22)

Seperti yang dialami oleh Gufroni yang sempat dihinggapi perasaan sedih,

dan minder (dalam “Grufoni Sakaril Ingin Memotivasi Penyandang Cacat Lainnya”) :

“Waktu itu saya masih kecil. Teman-teman di kampung selalu ngejek saya. Mereka bilang kok kedua tangan saya kecil ya. Diejek terus-menerus, saya nangis. Saya shock luar biasa. Bahkan sempat mengunci diri di kamar. Beruntung hal itu tidak berlangsung lama. Berkat ketegaran orangtua yang begitu menyayangi dan tulus mendidik saya, saya akhirnya bangkit. Saya bersyukur punya orangtua yang tegar melihat kondisi anaknya. Saya juga bersyukur mereka menyekolahkan saya di sekolah umum, bukan di sekolah penyandang cacat atau sejenisnya.”

Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Barus yang mengalami cacat tubuh:

“Meski hidup dalam kondisi fisik yang tidak sempurna layaknya orang lain, saya masih tetap memiliki kebanggan pada diri saya. Salah satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah karena saya tidak pernah menyusahkan orang tua untuk biaya sekolah. Kebahagiaan lain yang saya rasakan karena saya mampu mengangkat kembali semangat hidup yang sempat runtuh. Diskriminasi dan pengucilan yang sering saya terima membuat pembelajaran hidup yang berharga bagi kematangan dan kedewasaan saya.”

(Komunikasi Personal, 9 Juni 2010)

Adanya semangat hidup untuk menjalani kehidupan membuat seseorang

menjadi merasa bahagia. Merasa bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu

kunci penting dalam menjalani kehidupan. Orang-orang percaya bahwa kebahagiaan

adalah tujuan hidup manusia. Menurut Myers dan Diener (dalam Duffy dan Atwater,

2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang

dijalani seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan

(23)

tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat

perasaan negatif.

Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu

pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang yang tidak

mempunyai komponen perasaan sama sekali. Selanjutnya dia mengkategorikan emosi

yang terkait dengan masa lalu, sekarang dan masa depan. Kebahagiaan merupakan

konsep yang subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda.

Setiap individu juga memiliki faktor yang berbeda sehingga bisa mendatangkan

kebahagiaan untuknya. Faktor-faktor itu antara lain uang, status pernikahan,

kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif, pendidikan, iklim, ras, dan jenis

kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas seseorang (Seligman, 2005).

Selain itu, Carr (2004) berpendapat bahwa pada dasarnya keinginan yang

cukup besar dalam diri manusia ialah keinginan untuk hidup secara baik, dalam arti

semua proses hidup manusia seperti sekolah, bekerja, dan menikah dapat berjalan

sebagaimana mestinya. Menurut Seligman (2002), kebahagiaan bisa tentang masa

lalu, masa sekarang dan masa depan. Kebahagiaan masa lalu mencakup kepuasan,

kelegaan, kesuksesan, kebanggaan, dan kedamaian. Kebahagiaan masa sekarang

mencakup kenikmatan dan gratifikasi. Sedangkan kebahagian masa depan mencakup

optimisme, harapan, keyakinan, dan kepercayaan.

Ketika ada penyandang cacat dan orang normal yang memiliki kemampuan

sama maka penghargaan lebih justru di berikan kepada penyandang cacat. Rasa

(24)

ketidaksempurnaan pada penyandang cacat bukan halangan apalagi menimbulkan

kesedihan untuk mereka. Kecacatan selalu membuat kuat, tegar dan bahagia walau

tanpa dipungkiri sebagai makhluk sosial perasaan malu pasti ada, tapi ternyata nikmat

ini tidak pudar begitu saja. Dengan kecacatan itu, mereka masih bisa berbuat yang

terbaik untuk keluarga, suami dan orang lain. Semua terasa begitu sempurna, diluar

apa yang terlihat sebagai fisik yang aneh, dengan kaki kecil sebelah dan jalan yang

timpang atau tidak mempunyai tangan ( Marlinda, 2008).

Berdasarkan pemaparan diatas, terlihat bahwa tidak semua orang cacat

menjadi percaya diri, hubungan dengan orang lain pun terganggu dan selalu

memandang negatif terhadap mereka. Orang-orang cacat yang dapat hidup dengan

semangat dan bahagia mampu menjalani hidup dengan positif. Oleh sebab itu peneliti

tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa

dewasa awal.

B. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah

gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal.

C. Tujuan Penelitian

(25)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Manfaat dari adanya penelitian ini adalah memperkaya khasanah ilmu pengetahuan

di bidang Psikologi, khusunya Psikologi Klinis.

2. Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang

membangkitkan semangat para penyandang tuna daksa untuk

menunjukkan kemampuan yang dimiliki.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada keluarga dan

masyarakat untuk mengakomodasikan para penyandang tuna daksa untuk

menyalurkan pikiran, wawasan dan keahliannya.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah:

BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat peneltian serta sistematika penulisannya.

Bab II : Landasan Teori

Memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam permasalahan.

Teori-teori yang dimuat adalah teori dewasa awal termasuk di

dalamnya definisi dewasa awal, tugas perkembangan masa dewasa

(26)

daksa, faktor-faktor penyebab kecacatan dan hambatan- hambatan

kecacatan. Teori kebahagiaan termasuk didalamnya defines

kebahagiaan, aspek-aspek kebahagiaan, karakteristik orang yang

bahagia dan faktor-faktor kebahagiaan.

Bab III : Metode Penelitian

Berisi mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode

kualitatif, metode pengumpulan data, karakteristik responden, alat

bantu pengumpulan data, teknik pengambilan data, prosedur

penelitian dan pengolahan data.

Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi

Mendeskripsikan data responden, analisa dan interpretasi data yang

diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan

pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Menjelaskan kesimpulan dari peneltian ini serta saran-saran yang dianjurkan

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Dewasa Awal

1. Definisi dewasa awal

Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang

berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi

dewasa. Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18

tahun sampai umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang

menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.

Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan

menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk

hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) mengemukakan masa muda (youth)

adalah periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, dan perjuangan antara

ketertarikan pada kemandirian dan menjadi terlibat secara sosial. Periode masa muda

rata-rata terjadi 2 sampai 8 tahun, tetapi dapat juga lebih lama. Dua kriteria yang

diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan dari masa dewasa awal

adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Mungkin

yang paling luas diakui sebagai tanda memasuki masa dewasa adalah ketika

seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap (Santrock,

2002).

Sementara itu, Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang

(28)

Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan tanggung

jawabnya tentu semakin bertambah besar. Ia tak lagi harus bergantung secara

ekonomis, sosiologis maupun psikologis pada orangtuanya (Dariyo, 2003).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu

yang berada pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun dimana terjadi perubahan

fisik dan psikologis pada diri individu yang disertai berkurangnya kemampuan

reproduktif, merupakan masa dimana individu tidak lagi harus bergantung secara

ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orangtuanya, serta masa untuk

bekerja, terlibat dalam hubungan masyarakat, dan menjalin hubungan dengan lawan

jenis.

2. Tugas perkembangan masa dewasa awal

Hurlock (1980) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal,

antara lain:

a. mulai bekerja

b. memilih pasangan

c. mulai membina keluarga

d. mengasuh anak

e. mengelola rumah tangga

f. mengambil tanggung jawab sebagai warga negara

(29)

B. Kecacatan

1. Definisi Kecacatan

Kecacatan adalah adanya dsifungsi atau berkurangnya suatu fungsi yang

secara objektif dapat diukur/dilihat, karena adanya kehilangan/kelainan dari bagian

tubuh/organ seseorang. Misalnya, tidak adanya tangan, kelumpuhan pada bagian

tertentu dari tubuh. Kecacatan ini bisa selalu pada seseorang, yang dapat

menghasilkan perilaku-perilaku yang berbeda pada individu yang berebeda, misalnya

kerusakan otak dapat menjadikan individu tersebut cacat mental, hiperkatif, buta, dan

lain-lain (Mangunsong, 1998).

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 1 menyebutkan bahwa

penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau

mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan

kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang

cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda).

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi

kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.

Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau

fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan disability adalah ketidakmampuan atau

keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan

cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan

(30)

mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis

kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai

makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang

sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2) Lecet (kerusakan,

noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3)

Cela atau aib; 4) Tidak (kurang sempurna).

2. Tuna Daksa

Tuna daksa atau cacat tubuh atau cacat fisik adalah individu yang lahir dengan

cacat fisik bawaan, seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, individu yang

kehilangan anggota badan karena amputasi, individu dengan gangguan neuro

maskular seperti cerebral palsy, individu dengan gangguan sensori motorik (alat

penginderaan) dan individu yang menderita penyakit kronik (Mangunsong, 1998).

Sementara cacat fisik menurut Departemen kesehatan (dalam Mangunsong,

1998) adalah individu yang menderita kekurangan yang sifatnya menetap pada alat

gerak (tulang, otot, sendi) sedemikian rupa sehingga untuk berhasilnya pendidikan

mereka perlu mendapatkan perlakuan khusus.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyandang cacat tubuh

(tuna daksa) adalah individu yang lahir dengan cacat fisik bawaan, kehilangan

(31)

3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan

Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

yaitu faktor dari dalam ataupun faktor dari luar individu.

Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir

baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum

kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat

disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan

(bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz,

2001). Sedangkan cacat akibat kecelakaan merupakan kelainan/cacat yang terjadi

pada individu akibat kecelakaan yang dapat berupa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan

kerja, kebakaran, tersiram air keras, jatuh, tertimpa benda-benda berat, dan lain-lain.

4. Hambatan-hambatan Kecacatan

Hambatan-hambatan yang dialami oleh orang yang mengalami kecacatan

antara lain:

a. Sosialisasi

Dalam aspek sosialisasi terdapat dua faktor yang menjadi penghambat

bagi orang cacat, yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan dari luar

(eksternal). Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri,

merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan sering

kali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain.

Perasaan-perasaan tersebut yang sering kali menjadi penghambat seorang yang

(32)

tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang cacat

untuk dapat melakukan mobilitas sosial.

b. Pekerjaan

Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang cacat adalah

masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang cacat kurang memungkinkan

mereka untuk bergerak dengan bebas seperti orang normal. Ini membuat

kebanyakan orang beranggapan bahwa orang cacat kurang berkompeten

untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi

orang lain karena kecacatan yang dimilikinya. Padahal orang cacat juga

perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan

pengetahuan yang dimilikinya.

c. Mencari pasangan

Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah dan

berkeluarga apalagi ketika individu memasuki tahap dewasa awal karena

hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus

dilewatinya. Akan tetapi kondisi fisik yang cacat membuat individu

membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu

dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya

apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga

(33)

beranggapan bahwa memiliki menantu yang cacat merupakan suatu hal

yang memalukan.

d. Emosi

Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki individu akan membuat

individu tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu

dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah

tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap

menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering

berprasangka dan mudah curiga terhadap orang lain.

C. Kebahagiaan

1. Defenisi kebahagiaan

Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu

pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktifitas positif yang yang tidak

mempunyai komponen perasaan sama sekali. Seligman memberikan gambaran

individu yang mendapatkan kebahagiaan yang autentik (sejati) yaitu individu yang

telah dapat mengidentifikasi dan mengolah atau melatih kekuatan dasar (terdiri dari

kekuatan dan keutamaan) yang dimilikinya dan menggunakannya pada kehidupan

sehari-hari, baik dalam pekerjaan, cinta, permainan, dan pengasuhan.

Kebahagiaan merupakan konsep yang subjektif karena setiap individu

memiliki tolak ukur yang berbeda-beda. Setiap individu juga memiliki faktor yang

(34)

lain uang, status pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif,

pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas

seseorang (Seligman, 2005).

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah

suatu keadaan individu yang berada dalam aspek positif (perasaan yang positif) dan

untuk mencapai kebahagiaan yang autentik, individu harus dapat

mengidentifikasikan, mengolah, dan melatih serta menggunakan kekuatan (strength)

serta keutamaan (virtue) yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Aspek – aspek kebahagiaan

Menurut Seligman dkk, ada lima aspek utama yang dapat menjadi sumber

kebahagiaan sejati, yaitu :

a. Menjalin hubungan positif dengan orang lain

Hubungan yang positif bukan sekedar memiliki teman, pasangan, ataupun

anak. Status perkawinan dan kepemilikan anak tidak dapat menjamin

kebahagiaan seseorang.

b. Keterlibatan penuh

Bagaimana seseorang melibatkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan yang

ditekuni. Keterlibatan penuh bukan hanya pada karir, tetapi juga dalam

aktivitas lain seperti hobi dan aktivitas bersama keluarga. Keterlibatan penuh

(35)

c. Temukan makna dalam keseharian

Dalam keterlibatan penuh dan hubungan positif dengan orang lain tersirat satu

cara lain untuk dapat bahagia, yakni temukan makna dalam apapun yang

dilakukan.

d. Optimis, namun tetap realistis

Orang yang optimis ditemukan lebih berbahagia. Mereka tidak mudah cemas

karena menjalani hidup dengan penuh harapan.

e. Menjadi pribadi yang resilien

Orang yang berbahagia bukan berarti tidak pernah mengalami penderitaan.

Karena kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak peristiwa

menyenangkan yang dialami. Melainkan sejauh mana seseorang memiliki

resiliensi, yakni kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang terpahit

sekalipun.

3. Karakteristik Orang Yang Bahagia

Setiap orang bisa sampai kepada kebahagiaan akan tetapi tidak semua orang

bisa memiliki kebahagiaan. Menurut David G. Myers, seorang ahli kejiwaan yang

berhasil mengadakan penelitian tentang solusi mencari kebahagiaan bagi manusia

modern. Ada empat karakteristik menurut Myers (1994) yang selalu ada pada orang

yang memiliki kebahagiaan dalam hidupnya, yaitu :

a. Menghargai diri sendiri

Orang yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri. Mereka cenderung

(36)

Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki

kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti

diatas.

b. Optimis

Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau

pesimis, yaitu permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah) dan

pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak situasi).

Orang yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab

permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga mereka berusaha

untuk lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat mengalami peristiwa

baik lagi (Seligman, 2005). Sedangkan orang yang pesimis menyerah di

segala aspek ketika mengalami peristiwa buruk di area tertentu.

c. Terbuka

Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang lain. Penelitian

menunjukkan bahwa orang – orang yang tergolong sebagai orang extrovert

dan mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki kebahagiaan

yang lebih besar.

d. Mampu mengendalikan diri

Orang yang bahagia pada umumnya merasa memiliki kontrol pada hidupnya.

(37)

4. Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan

Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan

seseorang:

1) Budaya

Triandis (2000) mengatakan faktor budaya dan sosial politik yang spesifik

berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang ( dalam Carr, 2004). Hasil penelitian

lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana demokrasi yang sehat dan

stabil lebih daripada suasana pemerintahan yang penuh dengan konflik militer (Carr,

2004). Carr (2004), mengatakan bahwa budaya dengan kesamaan sosial memiliki

tingakat kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan juga lebih tinggi pada

kebudayaan individualitas dibandingkan dengan kebudayaan kolektivistis (Carr,

2004). Carr (2004) juga menambahkan kebahagiaan lebih tinggi dirasakan di negara

yang sejahtera di mana institusi umum berjalan dengan efisien dan terdapat hubungan

yang memuaskan antara warga dengan anggota birokrasi pemerintahan.

2) Kehidupan Sosial

Penelitian yang dilakukan oleh Seligman dan Diener (Seligman 2005)

menjelaskan hampir semua orang dari 10% orang yang paling bahagia sedang terlibat

dalam hubungan romantis. Menurut Seligman (2005), orang yang sangat bahagia

menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit menghabiskan

waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi.

(38)

Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada

orang yang tidak religius (Seligman, 2005). Selain itu keterlibatan seseorang dalam

kegiatan keagamaan atau komunitas agama dapat memberikan dukungan sosial bagi

orang tersebut (Carr, 2004). Carr (2004) juga menambahkan keterlibatan dalam suatu

agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang lebih baik yang

dapat dilihat dari kesetiaan dalam perkawinan, perilaku sosial, tidak berlebihan dalam

makanan dan minuman, dan bekerja keras.

4) Pernikahan

Seligman (2005) mengataka bahwa pernikahan sangat erat hubungannya

dengan kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan

kebahagiaan dengan pernikahan, yaitu orang yang lebih bahagia lebih atraktif sebagai

pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan

memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya

keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan

peran sebagai orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr,

2004). Kebahagiaan orang yang menikah memengaruhi panjang usia dan besar

penghasilan dan ini berlaku bagi pria dan wanita (Seligman, 2005). Carr (2004),

menambahkan orang yang bercerai atau menjanda lebih bahagia pada budaya

kolektifis dibandingkan dengan budaya individualis karena budaya kolektifis

(39)

5) Usia

Penelitian dahulu yang dilakukan oleh Wilson mengungkapkan kemudaan

dianggap mencerminkan keadaan yang lebih bahagia (Seligman, 2005). Namun

setelah diteliti lebih dalam ternyata usia tidak berhubungan dengan kebahagiaan

(Seligman, 2005). Sebuah penelitian otoratif atas 60.000 orang dewasa dari 40 bangsa

membagi kebahgiaan dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek positif dan

afek negatif (Seligman, 2005). Kepuasan hidup sedikitmeningkat sejalan dengan

betambahnya usia, afek positif sedikit melemah dan afek negatif tidak berubah

(Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan hal yang berubah ketika seseorang

menua adalah intensitas emosi dimana perasaan “mencapai puncak dunia” dan

“terpuruk dalam keputusasaan” berkurang seiring dengan bertambhanya umur dan

pengalaman.

6) Uang

Banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara

kebahagiaan dan uang (Seligman, 2005). Umumnya penelitian yang dilakukan

dengan cara membandingkan kebahagiaan antara orang yang tinggal di negara kaya

dengan orang yang tinggal di negara miskin. Perbandingan lintas-negara sulit untuk

dijelaskan karena negara yang lebih kaya juga memiliki angka buta huruf yang lebih

rendah, tingkat kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, kebebasan

yang lebih luas dan barang materil yang lebih banyak (Seligman, 2005). Seligman

(2005) menjelaskan bahwa di negara yang sangat miskin, kaya berarti bias lebih

(40)

memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada

kebahgiaan (Seligman, 2005). Seligman (2005), menyimpulkan penilaian seseorang

terhadap uang akan mempengaruhi kebahagiaannya lebih daripada uang itu sendiri.

7) Kesehatan

Kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan

(Seligman, 2005). Menurut Seligman (2005), yang penting adalah persepsi subjektif

kita terhadap seberapa sehat diri kita. Berkat kemampuan beradapatasi terhadap

penedritaan, seseorang bisa menilai kesehatannya secara positif bahkan ketika sedang

sakit. Ketika penyakit yang menyebabkan kelumpuhan sangat parah dan kronis,

kebahagiaan dan kepuasan hidup memang menurun (Seligman, 2005). Seligman

(2005) juga menjelaskan orang yang memiliki lima atau lebih masalah kesehatan,

kebahagiaan mereka berkurang sejalan dengan waktu.

8) Jenis Kelamin

Jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak konsisten dengan kebahagiaan.

Wanita memiliki kehidupan emosional yang lebih ekstrim daripada pria. Wanita lebih

banyak mengalami emosi positif dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pria. Tingkat emosi rata-rat pria dan wanita tidak berbeda namun wanita lebih

(41)

D. Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal

Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang

menurut Havighurst (Hurlock, 1999) diartikan sebagai tugas yang muncul pada saat

atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu. Setiap individu yang telah

memasuki masa kedewasaannya dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas

perkembangan sesuai usianya yang salah satunya adalah mulai bekerja dan

menemukan calon pasangan hidup (Havighurst dalam Dariyo, 2003). Havighurst (dalam

Dariyo, 2003) juga mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai

puncak prestasi. Dengan semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka

bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua)

untuk menunjukkan prestasi kerja.

Seseorang yang mengalami cacat genetik mempunyai perbedaan yang penting

bila dibandingkan dengan orang yang mengalami kecacatan setelah lahir (dewasa).

Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan tertolak oleh

lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat tetapi

mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka yang cacat. Adanya

dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat

menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, hal yang positif, semangat mereka untuk

lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita

(42)

Adanya semangat hidup untuk menjalani kehidupan membuat seseorang

menjadi merasa bahagia. Merasa bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu

kunci penting dalam menjalani kehidupan. Orang-orang percaya bahwa kebahagiaan

adalah tujuan hidup manusia. Menurut Myers dan Diener (dalam Duffy dan Atwater,

2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang

dijalani seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan

bahwa kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif yang terlihat dari

tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat

(43)

E. Paradigma Berpikir Penelitian

Kondisi fisik sehat Kondisi fisik tidak sehat

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan

tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam

berkaitan dengan kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. Menurut

Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang

memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih

mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun

dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan

berada dalam setting alamiah. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005)

mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami

gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang

sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat

yang dipaksakan.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan “metodologi

kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut

mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik.

(45)

Peneliti berusaha masuk ke dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk

menangkap apa (what) dan bagaimana (how) sesuatu terjadi. Peneliti berharap dengan

menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat mendapatkan gambaran

mengenai apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan responden.

Doley (dalam Irmawati, 2002) mengemukakan bahwa dalam pendekatan kualitatif,

teori tidak dipaksakan untuk mencari hubungan yang pasti antar variabel, melainkan

lebih ditujukan untuk mencari dinamika masalah. Bogdan dan Taylor (dalam

Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah

dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh

gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan

kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Berdasarkan hal di atas, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif

sebagai metode dalam meneliti kebahagiaan pada penyandang tuna daksa sejak lahir,

sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran dan

dinamika yang luas tentang kebahagiaan yang dialami responden.

B. Metode Pengambilan Data

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara.

Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh

pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan

dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut,

(46)

Poerwandari, 2001). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

wawancara semi terstruktur yaitu wawancara yang pertanyaannya telah ditentukan

terlebih dahulu dan berbentuk open-ended question (Gay dan Airasian, 2003).

C. Responden Penelitian 1. Karakteristik Responden

Adapun karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian telah

disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah:

a. Penyandang tuna daksa sejak lahir.

b. Dewasa Awal ( 20-40 tahun)

2. Jumlah Responden

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat

yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang

harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa

yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang

tersedia. Prosedur penentuan subjek atau sumber data dalam penelitian kualitatif

umumnya menampilkan karakteristik sebagai berikut (Sarakantos, dalam

Poerwandari, 2007) :

1. Diarahkan tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada kasus-kasus

(47)

2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam

hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual

yang berkembang dalam penelitian.

3. Tidak diarahkan pada keterwakilan arti jumlah atau peristiwa acak,

melainkan kecocokan konteks.

Pada penelitian ini jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak tiga

orang yang mengalami tuna daksa sejak lahir.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk

operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk

operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian

(Patton, dalam Poerwandari, 2007). Prosedur pengambilan responden ini dilakukan

agar responden benar-benar mewakili fenomena penelitian.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Medan. Pengambilan daerah penelitian

tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian,

(48)

D. Teknik Pengambilan Data

Menurut Poerwandari (2001), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif

sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang

diteliti. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara yang

merupakan teknik utama dalam pengambilan data.

Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang

mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan

jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud

untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami

individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi

terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan tiga pendekatan dasar wawancara

dalam memperoleh data kualitatif yaitu wawancara informal, wawancara dengan

pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka. Penelitian ini

menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum, yaitu mencantumkan isu-isu

yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman digunakan untuk

mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi

daftar pengecek (cheklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan.

(49)

tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi open-ended question

yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian

(Poerwandari, 2001).

Hasil wawancara adalah berupa pernyataan-pernyataan yang menyeluruh dan

mendalam mengenai kebahagiaan responden dalam kehidupannya.

E. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan

dianalisis berdasarkan kutipan hasil wawancara dan observasi. Oleh karena itu,

pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin.

Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, untuk itu diperlukan

instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data

(Moleong, 2005). Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Alat Perekam (Tape Recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk

mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya

hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada

kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali

kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah

memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam

memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan

(50)

aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam

(Padget, 1998).

b. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti

mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek

(checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan

(Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang

dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan juga sebagai alat

bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap

analisa data nantinya.

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II,

sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin

ditanyakan. Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara

(aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik kebahagiaan). Pedoman umum

wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa

menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan

kondisi saat wawancara berlangsung.

F. Prosedur Penelitian

(51)

a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan kebahagiaan pada

penyandang tuna daksa dewasa awal.

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan

dengan kebahagiaan, khususnya yang berkaitan dengan penyandang tuna daksa.

Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan

dalam penelitian ini. Peneliti juga mengumpulkan fenomena-fenomena yang

didapat melalui komunikasi personal denga para penyandang tuna daksa.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian,

peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori untuk

menjadi pedoman dalam wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian. Pada

waktu peneliti telah memperoleh beberapa orang calon responden, peneliti

menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang

dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudian menyepakati waktu

pertemuan selanjutnya bersama calon responden.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Menurut Moleong (2002), rapport adalah hubungan antar peneliti dengan

responden penelitian yang sudah melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi

(52)

sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh

peneliti. Rapport yang peneliti bangun berbeda dari satu responden dengan

responden lain.

Peneliti sebelumnya telah melakukan rapport awal sekaligus inform consent

dengan ketiga responden dalam penelitian ini. Peneliti membangun rapport

dengan mendatangi kedai sepatu tempat responden I bekerja bersama dengan

saudara peneliti yang telah mempertemukan peneliti dengan responden I.

Kedatangan saudara peneliti dan peneliti disambut baik oleh responden I. Saudara

peneliti kemudian memperkenalkan peneliti kepada responden I. Peneliti

menjelaskan tujuan dari penelitian dan meyakinkan kepada responden I bahwa

data yang diperoleh selama penelitian berlangsung akan dijaga kerahasiaannya,

akhirnya responden I menyetujui dan kemudian menyepakati tempat dan hari

yang tepat untuk melakukan wawancara. Begitu juga rapport yang dilakukan

pada responden II. Peneliti mengenal responden II saat peneliti sedang membeli

makanan di warung tempat responden II bekerja. Peneliti mendatangi warung

tempat responden II bekerja untuk membangun rapport. Kedatangan peneliti

disambut baik oleh responden II. Peneliti mengobrol sebentar dengan responden

II dan menjelaskan maksud dan tujuan dari kedatangan peneliti. Peneliti juga

meminta kesediaan responden II untuk membantu dalam penelitian dan

(53)

peneliti disambut dengan sangat baik. Peneliti kemudian memperkenalkan diri

dan menjelaskan maksud dan tujuan dari kedatangan peneliti. Peneliti juga

meminta kesediaan responden III untuk membantu dalam penelitian dan

permintaan disambut dengan sangat baik oleh responden. Setelah mencapai

kesepakatan, peneliti melakukan wawancara I dengan keempat responden.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki

beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan

tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden.

Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan

tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak

berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk

menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa

responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan

yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian

sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan

(54)

melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat

sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil

dan data yang maksimal.

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden I Responden Hari/Tanggal Aman Kamis/ 13 Januari 2011 17.05-18.25 WIB Kedai Sepatu Aman Sabtu/ 21 Januari 2011 17.25-18.15 WIB Kedai Sepatu Aman Jumat/ 28 Januari 2011 13.00-14.10 WIB Kedai Sepatu

Table 2. Jadwal Pelaksana Wawancara Responden II Responden Hari/Tanggal Rini Sabtu/ 12 Februari 2011 15.00-16.30 WIB Warung

Makan Rini Jumat/ 18 Februari 2011 17.35-18.45 WIB Rumah Rini

Rini Sabtu/ 26 Februari 2011 15.15-16.25 WIB Warung Makan

Table 3. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden III Responden Hari/Tanggal Hilma Kamis/ 10 Maret 2011 12.25-13.30 WIB Toko Hilma Hilma Sabtu/ 12 Maret 2011 16.45-17.55 WIB Rumah

Hilma Hilma Rabu/ 16 Maret 2011 12.00-13.25 WIB Ruang Kerja

HIlma

(55)

diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam

verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan

membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan

untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan

mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang

dipelajari (Poerwandari, 2001).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan

salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil

transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan

menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat

wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab

rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan

kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan

saran-saran sesuai dengan kesimpulan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat

perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini

(56)

salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di

atas kertas.

G. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk

menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang

menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa

kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran

kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian

kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah

dan mendeksripsikan setting, proses, kelompok social atau pola interaksi yang

kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian

ini, antara lain dengan:

1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah

penyandang tuna daksa yang dewasa awal.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan aspek-aspek kebahagiaan dan

karakteristik kebahagiaan.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan

Gambar

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden I
Tabel V Gambaran Umum Responden II
Tabel VI Gambaran Umum Responden III
Tabel VII Resume Hasil Penelitian Responden I
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa pada kedua subjek terdapat gambaran kebahagiaan yaitu tenang dalam menjalani kehidupannya yang terhindar dari

Berdasarkan observasi di lapangan kondisi siswa tuna daksa di YPAC Surakarta saat ini mengalami kecacatan ganda yaitu selain cacat fisik (polio) mereka

Perceraian orang tua memengaruhi pandangan individu dalam menjalin relasi romantis, dalam peneleitian ini ditemukan bahwa individu yang menjalani relasi

Para Atlet yang memiliki kondisi fisik yang tidak sempurna beranggapan bahwa kondisi yang ada pada diri mereka adalah sebuah karunia yang diberikan oleh Tuhan

Dari hasil penelitian, tidak hanya emosi positif saja yang didapat, tetapi ketiga subyek Dari hasil penelitian yang didapat, tidak hanya emosi positif saja yang

STUDI KASUS HARGA DIRI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA DEWASA AWAL AKIBAT KECELAKAAN.. Duhita Laksmi Husnul Chotimah

Selain emosi positif berupa perasaan bangga dan bahagia, emosi positif yang lain sebagai dampak kepuasan hidup pada single mother yaitu dapat membuat partisipan merasa lebih kuat

Apabila tuna daksa mampu menjalani tugas-tugas perkembangan seperti yang diharapkan dengan baik, maka hal ini juga akan memengaruhi penilaian diri mereka yang juga dapat