• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN RELASI HETEROSEKSUAL PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MEMILIKI PENGALAMAN ORANG TUA BERCERAI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANDANGAN RELASI HETEROSEKSUAL PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MEMILIKI PENGALAMAN ORANG TUA BERCERAI SKRIPSI"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN RELASI HETEROSEKSUAL PADA INDIVIDU DEWASA

AWAL YANG MEMILIKI PENGALAMAN ORANG TUA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Stefany Margareth

149114116

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus yang tidak pernah meninggalkan dan yang tiada hentinya menyertai hidup saya

Orang tua yang selalu mengerti, mendukung dan percaya pada kemampuan saya Ko Beni, Ce Winni, Ricky, Clarissa, dan Audrey yang memberi warna dalam

langkahku

DCC, VF, dan EDT untuk segala keterlibatannya dalam penelitian ini serta kisah yang menginspirasi peneliti dalam tulisan ini, terima kasih.

(5)

v

HALAMAN MOTTO

Do it now! You’ll thank yourself later – unknown

(6)
(7)

vii

PANDANGAN RELASI HETEROSEKSUAL PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MEMILIKI PENGALAMAN ORANG TUA BERCERAI

Stefany Margareth

ABSTRAK

Perceraian menimbulkan berbagai dampak terutama bagi anak-anak yang menyaksikan langsung proses perceraian orang tuanya. Dampak yang dirasakan menimbulkan perspektif tertentu pada jalinan relasi heteroseksual di usia dewasa awal. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana individu dewasa awal yang memiliki pengalaman orang tuanya bercerai memaknai relasi heteroseksual. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara semi-terstruktur. Data yang diperoleh akan dilakukan analisis dengan pendekatan IPA (Intepretative Phenomenological Analysis). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa individu yang tidak mengalami distorsi terhadap perceraian orang tuanya, menganggap bahwa menjalani relasi heteroseksual adalah hal yang sudah seharusnya, namun individu yang mengalami distorsi akan pengalaman perceraian orang tuanya menunjukkan bahwa relasi heteroseksual tidak dapat dijalani dengan baik dan tidak ada komitmen didalamnya. Selain itu, dampak dari perceraian orang tuanya juga menyebabkan individu merasa inferior dan cemas.

(8)

vii

PERSPECTIVE OF HETEROSEXUAL RELATIONSHIP IN EARLY ADULT WITH THE EXPERIENCE OF DIVORCED PARENTS

Stefany Margareth

ABSTRACT

Divorce has various impacts, especially for the children who witness the divorce process of their parents. Children that were affected will have a specific perspective about heterosexual relationship in their early adulthood. Based on that, this research’s aims is to find how early adult individuals who experience their parents divorced interpret a heterosexual relationship. The method used in this research was a qualitative method with a semi-structured interview and the data was being analyzed with intepretative phenomenological analysis approach. The result indicate that individual who doesn’t have distortion because of their parent’s divorcement will view a heterosexual relationship as a normal thing to do, but individual who have distortion because of their parents divorcement will view a heterosexual relationship as a relationship that they can’t be lived properly and there is no commitment Along with it. In addition, the impact of their parents divorce also shows that will cause an individuals to feel inferior and anxious.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Perjuangan tidak berakhir saat itu saja, merupakan ungkapan yang dirasa tepat untuk menggambarkan individu yang pernah mengalami perceraian orang tuanya di usia remaja untuk menjalani kehidupan. Bertemu dan mendengarkan cerita teman yang menyaksikan secara langsung pertengkaran orang tuanya yang berujung pada perceraian mendorong peneliti untuk menuliskan kisahnya. Individu yang kini telah dewasa bertumbuh dalam ingatan masa lalu akan kisah kasih orang tuanya. Penelitian ini diperuntukkan pada individu yang sedang dan akan menjalin relasi romantis.

Peneliti mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya hingga diselesaikannya skripsi ini. Penelitian ini tentu mengalami proses yang cukup panjang, namun segala proses yang sulit tidak terlepas dari bantuan orang-orang yang selalu hadir dalam mendukung, membantu dan membimbing peneliti. Ucapan terima kasih peneliti haturkan kepada:

1. Bapak Y.B. Cahya Widiyanto, M.Si., Ph.D selaku dosen pembimbing, yang telah membuat peneliti berkembang jauh secara akademik maupun pribadi, atas segala hal yang diberikan kepada peneliti, atas afeksi yang diberikan dan pengalaman-pengalaman hidup yang sungguh menginspirasi. Terima kasih atas segala dukungan, bantuan dan bimbingan yang telah diberikan.

2. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi yang telah mengajarkan saya banyak hal selama proses perkuliahan dan membantu saya selama menempuh pendidikan.

(11)

xi

3. DCC, VF, dan EDT yang bersedia menceritakan kisah hidupnya dan berbagi pengalaman. Terima kasih atas kesediaan dan waktu yang diluangkan untuk berbagi kisah.

4. Kedua orang tua yang senantiasa mendukung setiap langkah kehidupan peneliti, yang tidak pernah membuat peneliti merasa tertekan akan tuntutan-tuntutan apapun dalam hidup, yang selalu memberi kebebasan dalam bekarya. I just wanna say “I love you Dad, I love you Mom” 5. Saudara-saudara saya, Ko Beni, Ce Winni, Ricky dan kedua ponakan

saya Clarissa dan Audrey yang selalu menjadi penyemangat bagi peneliti.

6. Fajar Bintang Putra Lingga, sahabat yang tidak pernah absen memberikan dukungan dan menemani peneliti selama menempuh pendidikan. Yang selalu mengajarkan peneliti untuk mensyukuri segala hal.

7. Dhani Heryatna, sahabat peneliti yang selalu hadir disaat suka maupun duka, terima kasih dukungan yang tidak pernah hentinya diberikan agar peneliti kembali bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Bego Squad, kelompok sosial pertemanan peneliti selama menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi, sejak semester satu. Awalnya adalah teman makan sampai menjadi social support yang tidak pernah berhenti untuk menghibur satu sama lain. Untuk Linda, Intan, Vera, Lona, Hanny, dan Restu yang satu-satu udah lulus dan menyisakan aku untuk

(12)

xii

menyusul haha. Terima kasih ya untuk segala gojekan yang ga penting di kala suntuk.

9. Untuk teman-teman yang sangat luar biasa, datang di saat akhir-akhir perjuangan peneliti. Teman-teman yang tak terduga terima kasih ya. Untuk Rika, Fina dan teman-teman kelas B lainnya, yang di saat peneliti di ujung tanduk datang untuk memberikan dukungan dan semangat.

10. Untuk rekan kerja yang lama kembali lagi Kak Dian, Kak Edo, Cik Lenny, Kak Ivie, Kak Panca dan lainnya. Terima kasih ya telah memberikan wejangan kepada adikmu ini untuk terus hidup dan semangat.

11. Tempat yang mengajarkan banyak hal pada peneliti, pelajaran-pelajaran yang tidak mungkin didapatkan dari perkuliahan. Terima kasih P2TKP yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk berdinamika di sana. Bertemu banyak pribadi tentunya dan menemukan banyak pelajaran hidup berharga yang jika diceritakan akan sangat panjang hehe. Tapi yang pasti adalah peneliti sangat bersyukur dan berterima kasih.

12. Kepada teman-teman skripsi Berani dan Akurat. Untuk Ella, Restu, Pak de Krisna, Hoho, Mahar, Tita, Gerry, Arya, terima kasih untuk perhatian dan dukungannya. Ayo ngopi bareng lagi, ngobrol banyak hal yang bikin kepala panas haha.

(13)

xiii

13. Kepada psikolog dan sahabat peneliti, Mba Otik yang selalu saya ganggu ketika sedang gundah. Terima kasih atas konseling-konseling pribadi yang sudah diberikan. Selain menjadi klien saya belajar banyak bagaimana menjadi seorang psikolog, belajar banyak terapi dan teori baru yang bahkan belum diajarkan di perkuliahan. Terima kasih atas segala hal Mba Otik.

14. Kepada bapak Parkir (yang bahkan saya tidak ingat namanya) yang setiap kali saya datang tidak pernah absen untuk bertanya “wes mba?”, “kapan lulus?”, “udah ujian mba?”, “aku memotivasi mba toh dengan nanya-nanya”, “piye mba Fany? Wes?” dan banyak sapaan lainnya. Terima kasih pak untuk selalu mengingatkan saya untuk segera lulus, dan tidak pernah muak melihat wajah saya atau sudah muak haha. 15. Kepada rumah yang selalu menyambutku dengan hangat dan

menerimaku dengan apa adanya, @rumahmaguwo dengan segala kisah disetiap pertemuannya, dengan individu-individu unik yang luar biasa mengajarkan banyak hal pada peneliti, kepada Bu Janti terima kasih atas kesempatan yang diberikan, kepada teman-teman seninan mba Dian, mas Rangga, mba Plap, mas Aam, mba Viki, mba Sita, dan banyak lagi yang tak muat bila dituliskan satu persatu. Terima kasih banyak sudah memberi warna setiap hari seninku.

16. Dan semua pihak yang sudah membantu peneliti yang akan sangat panjang jika peneliti ceritakan satu per satu. Terima kasih atas bantuan dan dukunganya.

(14)

xiv

17. Terakhir peneliti sangat berterima kasih pada diri sendiri yang mampu untuk terus melangkah dan berdiri meskipun proses yang dilalui tidaklah mudah.

Peneliti menyadari keterbatasan, kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan skripsi ini. Maka saran dan kritikan tentu akan diterima dengan baik. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan membantu. Terima kasih.

(15)

xv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xx

DAFTAR GAMBAR ... xxi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

(16)

xvi

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

1. Manfaat Teoritis ... 5

2. Manfaat Praktis ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Perceraian ... 6

1. Pengertian Perceraian ... 6

2. Faktor Penyebab Perceraian ... 6

3. Dampak Perceraian ... 9

a. Pengaruh Perceraian Terhadap Perkembangan Anak ... 10

B. Dewasa Awal ... 13

1. Individu Dewasa Awal ... 13

2. Pandangan Individu Dewasa Awal Terhadap Relasi Romantis ... 13

C. Relasi Heteroseksual Sebagai Identitas Seksual ... 14

D. Relasi Heteroseksual Pada Individu yang Mengalami Perceraian Orang Tuanya ... 15

BAB III. METODE PENELITIAN... 18

A. Strategi Penelitian ... 18

B. Fokus Penelitian ... 19

(17)

xvii

D. Saturasi Data ... 20

E. Metode Pengambilan Data ... 20

F. Prosedur Pengumpulan Data ... 21

G. Metode Analisis Data ... 22

H. Kredibilitas Penelitian ... 23

I. Refleksivitas Peneliti ... 24

J. Pedoman Wawancara ... 25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 27

1. Persiapan dan Perizinan ... 27

2. Pelaksanaan Penelitian ... 28

B. Informan Penelitian ... 29

1. Demografi Informan... 29

2. Latar Belakang Informan ... 30

C. Hasil Penelitian ... 32

1. Informan 1 DCC (23) ... 32

a. Pengalaman Orang Tuanya Bercerai ... 32

b. Faktor Perceraian Orang Tua ... 36

c. Dampak Perceraian ... 39

d. Pandangan Relasi Heteroseksual... 43

(18)

xviii

a. Pengalaman Orang Tua Bercerai ... 43

b. Faktor Perceraian Orang Tua ... 44

c. Dampak Perceraian ... 46

d. Pandangan Relasi Heteroseksual... 49

3. Informan 3 EDT (21) ... 50

a. Pengalaman Orang Tua Bercerai ... 50

b. Faktor Perceraian Orang Tua ... 51

c. Dampak Perceraian ... 53

d. Pandangan Relasi Heteroseksual... 55

D. Pembahasan ... 55

1. Pengalaman Orang Tua Bercerai ... 55

2. Faktor Perceraian Orang Tua ... 56

a. Ekonomi yang Tidak Stabil ... 56

b. Perselingkuhan ... 57

c. Egosentrisme ... 58

d. Komunikasi yang Buruk ... 59

e. Marriage by Accident (MBA) ... 59

f. Perbedaan Keyakinan ... 60

3. Dampak Perceraian ... 60

a. Inferioritas ... 60

b. Kecemasan ... 61

(19)

xix

d. Pemilihan Orientasi Seksual ... 62

e. Kebutuhan Afeksi... 62

f. Akademik ... 63

4. Pandangan Relasi Heteroseksual... 64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Keterbatasan Penelitian ... 67

C. Saran ... 67

1. Bagi Individu yang Mengalami Peristiwa Perceraian Orang Tua ... 67

2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(20)

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pelaksanaan Penelitian: Perizinan dan Wawancara Terhadap Informan ... 28 Tabel 2. Member Checking ... 29 Tabel 3. Demografi Informan ... 29

(21)

xxi

DAFTAR GAMBAR

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus perceraian yang terjadi di Indonesia di tahun 2016 tercatat sebanyak 1.837.185 kasus (Badan Pusat Statistik, 2017). Data dalam website milik Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perceraian mengalami peningkatan di tahun 2016, dimana sebelumnya pada tahun 2015 tercatat 347.256 kasus. Kenaikan yang cukup tinggi ini dapat dipahami bahwa kasus perceraian mengalami peningkatan, sehingga semakin banyak pasangan yang memutuskan ikatan perkawinanya secara hukum.

Perceraian yang terjadi pada suami dan istri dapat memberikan dampak pada anak-anak, hal ini dapat terjadi karena interaksi pertama anak-anak adalah dengan orang tua. Orang tua menjadi role model atau contoh bagi anak, sehingga pepatah yang mengungkapkan tentang “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” dapat diartikan sebagai sikap yang ditunjukkan orang tua akan tercermin dalam perilaku anak. Perilaku mencontoh ini dikatakan oleh Bandura (dalam Passer & Smith, 2007) sebagai teori observational learning yaitu adanya pembelajaran perilaku melalui observasi terhadap model atau orang terdekat.

Dampak yang dialami oleh anak-anak yang mengalami perceraian orang tuanya diteliti oleh Wallerstein dan Kelly (1983) yang menemukan bahwa anak-anak cenderung merasa tersakiti, kesepian, dicampakkan, dan merasa tak berdaya. Anak-anak mengalami bahkan masa depresi dan mengalami ketakutan

(23)

akan dibuang dan tidak dianggap. Hetherington (dalam Dagun, 1990) juga menambahkan bahwa perceraian orang tua akan membawa trauma pada anak-anak.

Dampak perceraian juga memengaruhi pemilihan gender anak pada usia dewasa hal ini terdapat dalam penelitian yang dilakukan oleh MacCallum dan Golombok (2004) yang mengungkapkan bahwa anak-anak yang dibesarkan tanpa ada figur ayah maupun ibu akan berdampak pada pemilihan gender anak diusia dewasa, hal ini tampak pada perilaku anak laki-laki akan menjadi kurang maskulin ataupun anak perempuan yang akan tumbuh menjadi kurang feminin. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kurangnya kasih sayang yang didapatkan anak-anak dari salah satu orang tua akan menunjukkan perubahan pandangan dalam pemilihan gender dan pasangan hidup (MacCallum & Golombok, 2004).

Santrock (2009) menambahkan bahwa pernikahan yang akan dijalani oleh individu yang mengalami perceraian orang tuanya ketika masih kanak-kanak atau remaja akan mengalami ketidakstabilan. Selaras dengan penelitian yang dilakukan Lee (1995) yang menemukan bahwa anak-anak melakukan observasi dan pembelajaran dengan modeling dari perceraian orang tuanya sehingga anak-anak cenderung memiliki pernikahan yang tidak stabil dan mengalami perceraian pula ketika dewasa.

Anak-anak yang tumbuh dewasa, mengalami masa krisis yaitu krisis dalam intimasi dan isolasi (Santrock, 2009). Pada masa ini Erikson mengungkapkan bahwa individu memiliki tugas untuk membangun intimasi

(24)

dengan pasangan. Apabila tugas ini tidak dapat dipenuhi maka individu akan mengalami isolasi atau kesulitan untuk membangun keintiman dengan pasangan. Kesulitan ini juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman individu yang mengalami peristiwa perceraian orang tuanya, seperti dalam penelitian Lee (1995) yang mengungkapkan bahwa individu tersebut mengobservasi dan juga mempelajari dinamika pernikahan orang tuanya sehingga individu cenderung mengalami ketidakstabilan dalam menjalin relasi dan bahkan cenderung akan mengalami perceraian ketika dewasa. Individu yang juga menyaksikan langsung proses perceraian orang tuanya menunjukkan bahwa mereka memiliki rasa ketakutan akan disakiti dan ditolak, sehingga memunculkan rasa kurang percaya pada relasi (Bowless, 2005).

Relasi yang dijalani oleh orang tua adalah relasi romantis yang diantaranya ada ayah dan ibu, relasi ini merupakan relasi heteroseksual. Relasi heteroseksual merupakan pilihan dari orientasi seksual individu, dan merupakan ketertarikan individu terhadap lawan jenis (King, 2017; Krafft-Ebing, 2012). Pandangan terhadap relasi heteroseksual juga dipengaruhi oleh pengalaman perceraian orang tua yang dialami oleh individu, pada penelitian Lee (1995), individu yang mengalami perceraian orang tuanya akan merasa kurang percaya diri dan menunjukkan konflik yang hampir sama dengan orang tuanya, dan cenderung akan mengalami perceraian kembali.

Relasi heteroseksual menjadi penting perannya dalam dinamika keluarga, hal ini dikarenakan relasi heteroseksual memungkinkan sepasang individu untuk memiliki anak, yang akan menyaksikan dinamika keluarganya. Pada

(25)

teori perkembangan Erikson dalam Santrock (2009), individu dewasa awal memiliki tugas menjalin keintiman, dimana keintiman ini akan merujuk pada peran sebagai pasangan baik suami maupun istri dan menjadi orang tua. Sehingga, perilaku relasi orang tua dalam kehidupan keluarga yang tampak dalam pandangan anak-anak adalah relasi heteroseksual, relasi ini melibatkan pemilihan orientasi anak ketika dewasa, serta memiliki pengaruh pada relasi dengan lawan jenis maupun sesama jenis.

Peneliti tertarik untuk melihat bagaimana individu yang mengalami peristiwa orang tuanya bercerai ketika ia berusia anak-anak dan remaja menjalin relasi romantis dan pandangannya terhadap relasi heteroseksual ketika mencapai usia dewasa awal. Peneliti fokus pada individu dewasa awal, karena merujuk pada tahap perkembangan milik Erikson yang mengungkapkan bahwa pada usia ini individu mulai memiliki keinginan untuk menjalin relasi dengan orang lain dengan lebih intim (Santrock, 2009).

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini didasarkan dengan rumusan masalah “bagaimana pandangan relasi heteroseksual pada individu dewasa awal yang memiliki pengalaman orang tuanya bercerai”.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana pandangan relasi heteroseksual individu dewasa awal yang mengalami perceraian orang tuanya.

(26)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan bidang keilmuan psikologi perkembangan khususnya pada topik mengenai perkembangan dewasa awal dan keluarga. Sehingga bagi praktisi psikologi keluarga dapat menambah informasi yang lebih mengenai kondisi yang akan dialami oleh individu yang memiliki pengalaman perceraian orang tua. Harapan dalam penelitian ini agar dapat memberikan referensi bagi peneliti lainnya dengan topik yang berkaitan.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi praktisi psikologi keluarga untuk mengarahkan pasangan suami dan istri yang sedang mengalami konflik dan akan bercerai untuk menyadari akan adanya dampak dari keputusan tersebut baik kepada pribadi maupun anak-anaknya.

(27)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini, peneliti berupaya untuk memberikan gambaran mengenai perceraian dan relasi heteroseksual. Pembahasan diawali dengan definisi perceraian kemudian pada faktor serta dampak dari perceraian bagi tiap anggota keluarga, dan pembahasan akan mendalam pada dampak perceraian bagi anak-anak. Selain itu, peneliti juga menjelaskan mengenai dewasa awal yang dikaitkan pada relasi heteroseksual serta kaitan antara perceraian dengan pandangan relasi heterosekusal.

A. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian merupakan pemutusan ikatan pernikahan oleh suami dan istri (Galvin, Braithwaite, & Bylund, 2015). Dariyo (2004) menambahkan bahwa perceraian merupakan peristiwa perpisahan pasangan suami dan istri sehingga kedua belah pihak tidak lagi menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai istri maupun suami. Suami dan istri yang bercerai memutuskan ikatan pernikahannya dan tidak lagi hidup bersama dan menjalankan peran sebagai suami maupun istri.

2. Faktor Penyebab Perceraian

Perceraian disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomi yang tampak dalam sikap boros atau menggunakan uang untuk hal yang tidak dibutuhkan (Dagun, 1990; Santrock, 2012; Berk, 2010). Faktor sosial

(28)

dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang menekan (Dagun, 1990), pasangan yang berselingkuh atau tidak setia (Berk, 2010; Santrock, 2012), pernikahan dini, memiliki riwayat orang tua bercerai (Berk, 2010; Santrock, 2009), pernah bercerai dipernikahan sebelumnya (Amato & Rogers, 1997 dalam Berk, 2010), memiliki anak atau hamil sebelum menikah (Sauber & Cotrigan, 1970 dalam Santrock, 2002 ; Santrock, 2009).

Faktor individu tampak dalam sifat atau kebiasaan yang tidak menyenangkan, seperti pasangan yang seringkali meminum-minuman keras (Berk, 2010; Santrock, 2012), masalah psikologis yang dialami individu, adanya kekerasan dalam relasi, pembagian tugas rumah tangga yang tidak adil (Hoelters dalam Santrock, 2012), perasaan cemburu, penggunaan obat-obatan terlarang, sifat yang kurang menyenangkan (Amato & Rogers, 1997 dalam Berk, 2010), usia individu saat melangsungkan pernikahan perbedaan keinginan jenis kelamin anak, prinsip hidup yang berbeda, cara mendidik anak yang berbeda (Dagun, 2010).

Faktor-faktor lainnya yang menyebabkan perceraian seperti konflik, tidak memiliki keterikatan keagamaan (Santrock, 2009). Faktor akademis seperti tingkat pendidikan individu yang rendah juga memengaruhi (Santrock, 2009). Luthfi (2017) menambahkan mengenai faktor komunikasi sebagai salah satu faktor yang mendorong perkelahian dalam rumah tangga yang berujung pada keputusan perceraian. Berdasarkan faktor yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa pengalaman pribadi individu, lingkungan yang mendukung serta sikap egois dari masing-masing individu

(29)

yang memunculkan perilaku tidak menyenangkan akan cenderung mendorong terjadinya perceraian.

Sebuah penelitian yang dilakukan Macionis (2007) menemukan bahwa perceraian terjadi pada empat pasangan dari sepuluh pernikahan, perceraian ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor pertama adalah sikap individualis, terlihat dari sikap anggota keluarga yang tidak atau jarang sekali menghabiskan waktu bersama. Kedua, relasi cinta romantis yang memudar antara suami dan istri, karena budaya yang mendasarkan pernikahan pada relasi cinta romantis, maka relasi yang dibangun akan memudar menjadi nafsu seksual. Ketiga, kurangnya ketergantungan wanita terhadap pria, saat ini wanita banyak yang bekerja keras sehingga hal ini mengurangi ketergantungan finansial wanita terhadap pria.

Faktor keempat adalah banyak pernikahan yang dijalani dengan penuh stres, pasangan yang keduanya bekerja akan memiliki sedikit kesempatan untuk bersama berada di dalam rumah, bahkan pekerjaan mengurangi waktu dan energi untuk kehidupan berumah tangga. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk mendapatkan anak, padahal anak dapat menstabilkan pernikahan. Kenyataannya perceraian banyak terjadi di usia awal pernikahan ketika pasangan baru saja memiliki anak yang usianya masih sangat muda.

Faktor Kelima, perceraian diterima dalam kehidupan sosial. Hal ini menyebabkan perceraian tidak lagi menjadi stigma yang kuat atau momok karena keluarga dan teman tidak lagi ada perasaan takut atau khawatir akan pasangan yang berkonflik yang berujung pada perceraian. Faktor terakhir

(30)

mengatakan bahwa perceraian adalah legal dan mudah untuk didapatkan sehingga perceraian menjadi hal yang sederhana karena dianggap sebagai kegagalan dalam pernikahan.

Pada akhirnya wanita dan pria yang pernah mengalami perceraian sekali akan mudah untuk bercerai lagi karena banyaknya faktor dalam pernikahan mereka sebelumnya yang akan memengaruhi pernikahan selanjutnya (Gleen & Shelton, 1985 dalam Macionis, 2007).

3. Dampak Perceraian

Peristiwa perceraian menimbulkan banyak dampak dalam kehidupan berumah tangga. Tekanan yang akan dihadapi oleh individu yang mengalami peristiwa perceraian dapat berupa stres berkepanjangan, adanya perubahan fisik dan mental individu (Cavanagh, dalam Dagun, 1990). Perubahan fisik dan mental dialami semua anggota keluarga yang terlibat dalam perceraian tersebut (Dagun, dalam Safitri 2017). Dampak yang dialami oleh tiap anggota keluarga adalah perasaan tertekan, adanya ketegangan dan pikiran yang tidak tenang. Ketegangan yang dialami individu tersebut menimbulkan hasrat naluriah untuk menyelamatkan diri dari situasi yang tidak nyaman dan keinginan untuk keluar dan menyesuaikan diri dengan situasi hidup yang baru.

Perceraian yang berdampak pada kehidupan berumah tangga disebabkan oleh salah satu anggota keluarga yang akan memengaruhi setiap anggota keluarga lainnya (Dagun, 1990). Perasaan tertekan menjadi dampak yang paling banyak dialami oleh individu yang bercerai. Individu yang

(31)

mengalami perceraian merasakan kesepian dan harga diri yang berkurang, adapula kecemasaan akan hal-hal yang tidak terduga yang dapat muncul dalam hidup mereka setelah perceraian. Selain itu, individu yang telah mengalami peristiwa perceraian memiliki kesulitan untuk membangun relasi romantis yang intim dengan individu baru sehingga muncul perasaan tidak percaya diri baik untuk menjalani relasi tersebut maupun merasa kesulitan untuk memercayai pasangan yang baru (Santrock, 2009).

Dampak dari perceraian menyebabkan individu merasa cemas dan hilangnya harga diri serta kepercayaan akan diri sendiri maupun terhadap orang lain dan cenderung enggan untuk memulai relasi romantis kembali dengan orang lain.

a. Pengaruh perceraian terhadap perkembangan anak

Keputusan perceraian yang diambil oleh orang tua memiliki dampak yang cukup tinggi terhadap anak-anak korban perceraian. Seperti yang dikatakan Hetherington (dalam Dagun, 1990) bahwa perceraian membawa trauma pada anak-anak. Dalam penelitiannya, Hetherington (dalam Dagun, 1990) menemukan bahwa anak-anak yang mengalami perceraian orang tuanya di usia yang sangat muda yaitu sebelum memasuki usia sekolah memiliki kecenderungan untuk menangisi dan menyalahkan dirinya sendiri akan peristiwa tersebut, dan dibayangi oleh perasaan cemas yang menghantui. Sedangkan anak-anak dalam usia sekolah menanggapi perceraian orang tuanya dengan perasaan takut akan

(32)

perubahan situasi keluarganya dan merasa cemas karena ditinggalkan oleh salah satu orang tuanya.

Hetherington menyampaikan bahwa anak-anak yang mengalami perceraian orang tuanya yang telah memasuki usia remaja sudah mulai memahami seluk beluk dari perceraian orang tuanya, mereka dapat memahami apa saja akibat yang akan terjadi dari peristiwa tersebut dan menyadari masalah-masalah lainnya yang akan muncul terkait dengan ekonomi dan sosial.

Salah satu studi menemukan bahwa 20 tahun setelah orang tua mereka bercerai saat mereka masih anak-anak, secara kurang lebih hampir 80 persen orang dewasa menyimpulkan bahwa keputusan orang tua mereka untuk bercerai adalah tindakan yang bijak (Santrock, 2009). Berdasarkan penelitian yang dipaparkan dapat disimpulkan bahwa perceraian memiliki dampak yang mendalam bagi anak-anak. Dampak ini menyebabkan trauma dan seiring bertambahnya usia dan kedewasaan anak-anak tersebut, banyak dari mereka yang menyetujui keputusan orang tua mereka untuk bercerai.

Banyak peneliti menyetujui bahwa anak-anak dari keluarga bercerai menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk daripada anak-anak dengan keluarga tidak bercerai (Santrock, 2009). Hal ini juga dikatakan oleh Ahrons dalam Santrock (2009) yang mengatakan bahwa sebagian besar anak-anak di keluarga yang bercerai tidak memiliki penyesuaian diri yang signifikan.

(33)

Santrock (2009) mengungkapkan bahwa anak-anak dari keluarga yang mengalami peristiwa perceraian lebih cenderung untuk mengalami masalah akademis daripada anak-anak dari keluarga yang tidak mengalami peristiwa perceraian, seperti cenderung untuk putus sekolah dan adanya tingkat pendidikan yang rendah di masa dewasa. Selain itu, Santrok (2009) mengatakan pula bahwa anak-anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan dan depresi, serta memiliki sikap kurang bertanggungjawab secara sosial sehingga kurang memiliki hubungan intim yang baik dengan orang lain.

Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa ketika individu mengalami perceraian orang tua mereka pada masa kanak-kanak dan remaja akan terkait dengan hubungan romantis atau perkawinan yang tidak stabil (Santrock, 2009). Namun, beberapa anak kemungkinan akan menjadi aktif secara seksual sejak usia dini, menggunakan obat-obatan terlarang, dan merasa harga diri rendah.

Santrock (dalam Safitri, 2017) mengungkapkan bahwa remaja akan lebih rentan mengalami permasalahan secara sosial seperti sulit untuk menyesuaikan diri, kurang memiliki rasa tanggung jawab, kecenderungan untuk antisosial, dan permasalahan secara akademik yang memungkinkan remaja untuk putus sekolah. Remaja korban perceraian seringkali memaknai peristiwa perceraian orang tuanya sebagai hal yang tidak menyenangkan dan menyakitkan (Safitri, 2017). Pernyataan tersebut selaras dengan penyataan Arthasari (dalam Safitri, 2017) bahwa

(34)

remaja akan cenderung memiliki emosi marah, kecewa, tertekan, malu, menarik diri, dan sakit hati.

Dampak dari perceraian orang tuanya menyebabkan anak-anak cenderung untuk berperilaku buruk dan menimbulkan berbagai permasalahan secara psikis seperti kecemasan dan depresi.

B. Dewasa Awal

1. Individu Dewasa Awal

Berk (2012) mengungkapkan rentang usia individu dewasa awal adalah berkisar dari angka 18 tahun hingga 40 tahun. Dalam teori Erikson, individu dewasa awal berada dalam tahapan psikososial intimasi versus isolasi dengan rentang usia 20 tahun hingga 30 tahun (Berk, 2012; Santrock, 2002). Selain itu, klasifikasi usia dewasa menurut undang-undang negara Republik Indonesia adalah usia dewasa dimulai dari individu memasuki usia 18 tahun (Kusumasari, 2016). Berdasarkan klasifikasi ini maka peneliti menggunakan rentang usia dewasa awal mulai dari individu berusia 18 tahun.

2. Pandangan Individu Dewasa Awal Terhadap Relasi Romantis

Erikson (dalam Berk, 2012) telah mengklasifikasi individu dewasa awal pada tahap psikososial intimasi versus isolasi. Pada tahap ini individu dewasa awal memiliki tugas untuk menjalin sebuah hubungan dekat. Individu di usia ini masih berkutat dengan identitas diri mereka, namun inilah tantangannya. Individu dewasa awal ditantang untuk menetapkan identitas diri mereka dan memulai untuk memaknai kembali nilai-nilai yang mereka pegang. Sehingga banyak individu usia ini yang merasa dirinya

(35)

belum siap dan matang untuk menjalin relasi jangka panjang. Konflik individu dewasa awal terlihat dari keinginan individu untuk bebas dan juga keinginan untuk menjalin relasi intim.

Menurut Erikson (dalam Berk, 2012) tanpa adanya keintiman, individu akan meningkatkan sifat egois dan rasa kesepian, sehingga individu akan sulit untuk menjalin relasi dekat dengan orang lain. Apabila individu dapat melewati tahap ini maka ia akan mempersiapkan dirinya ke relasi intim yang serius hingga ke jenjang pernikahan. Berdasarkan klasifikasi Erikson (dalam Berk, 2012) maka dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal adalah masa persiapan individu untuk menjalin relasi romantis yang lebih intim dengan melibatkan konflik akan keinginan untuk bebas dan juga menjalin relasi dengan orang lain.

C. Relasi Heteroseksual Sebagai Identitas Seksual

Relasi heteroseksual merupakan pilihan orientasi seksual seseorang, dengan ketertarikan secara seksual. Galliano dalam Gallink (2013) mendefinisikan orientasi seksual sebagai ketertarikan erotis terhadap individu berbeda jenis kelamin maupun sama. Gallink (2013) menambahkan bahwa orientasi seksual bersifat emosional dan hanya dirasakan secara pribadi oleh individu yang menjalaninya, ia juga mengungkapkan bahwa orientasi seksual melibatkan fisik, emosi, dan perilaku seksual. Individu yang menjalani relasi heteroseksual memiliki ketertarikan seksual dengan lawan jenis, seperti pria yang tertarik pada wanita ataupun sebaliknya.

(36)

Heteroseksual dijelaskan secara epistemologi oleh Reber & Reber (2010) yang mengatakan bahwa kata “hetero” berasal dari bahasa Yunani yang artinya adalah berbeda atau tidak sama. Sedangkan seks dapat diartikan sebagai aktivitas seks atau disebut juga perilaku seks (Gallink, 2013). Sehingga, heteroseksual merupakan ketertarikan secara seksual dengan lawan jenis. Selaras dengan yang diungkapkan Krafft-Ebing (2012) bahwa heteroseksual merupakan ketertarikan individu terhadap lawan jenis. King (2017) juga menambahkan bahwa relasi yang terjalin atas dasar ketertarikan dengan lawan jenis disebut relasi heteroseksual dan merupakan pilihan dari orientasi seksual seseorang.

Johnson (2005) mengungkapkan bahwa heteroseksualitas dapat diartikan sebagai praktik seksual dan identitas seksual yang ditujukan pada jenis kelamin berbeda. Identitas seksual adalah cara seseorang memandang dirinya secara seksual, dalam hal ini adalah terkait dengan feminisme dan maskulinisme dan terkait pula dengan orientasi seksual (Gallink, 2013). Seseorang yang mengaku memiliki ketertarikan dengan lawan jenis dan menjadikannya sebagai orientasi sesualnya merupakan ungkapan identitas dirinya secara seksual sebagai individu heteroseksual.

D. Relasi Heteroseksual Pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami Perceraian Orang Tuanya

Individu dewasa memiliki krisis dalam intimasi dan lawannya dengan isolasi. Erikson dalam Santrock (2009) mengungkapkan bahwa individu dewasa awal memiliki tugas untuk membangun intimasi dengan pasangannya

(37)

baik dalam status berpacaran maupun menikah, Erikson juga mengungkapkan bahwa individu yang tidak memenuhi tugasnya dalam waktu ini akan mengalami isolasi atau kesulitan dalam membangun intimasi dengan orang lain. Sehingga individu perlu untuk membangun intimasi agar dapat melewati masa dewasa awal dengan baik.

Menjalani relasi dengan orang lain bukanlah tugas yang mudah bagi individu dewasa awal, terlebih individu tersebut mengalami peristiwa perceraian orang tuanya ketika masa kanak-kanak yang menimbulkan berbagai dampak. Dampak tersebut hadir karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam dinamika keluarga yang memengaruhi hubungan orang tua dan anak, perubahan berupa sosio-ekonomi, peran, dan struktur keluarga yang akan memberikan dampak jangka panjang (Lee, 1995). Selaras dengan penelitian Bowless (2005) yang menunjukkan bahwa individu yang mengalami orang tuanya bercerai memiliki ketakutan akan disakiti dan ditolak, sehingga menunjukkan rasa kurang percaya pada hubungan intim.

Luepnitz (1979) mengungkapkan bahwa pada masa pra-perceraian adalah masa yang menyebabkan stres paling besar pada anak karena seringkali mereka menyaksikan konflik dalam keluarga. Goode (dalam Luepnitz, 1979) menambahkan bahwa peristiwa pra-perceraian merupakan peristiwa yang paling traumatis bagi anak-anak. Selaras pula dengan yang pernyataan Kelly dan Wallerstein (dalam Cantrell, 1986) bahwa anak-anak merasa sangat stress karena situasi dari perceraian orang tuanya. Tidak dipungkiri bahwa perceraian orang tua merupakan peristiwa yang sangat besar bagi anak-anak, terlebih pada

(38)

kesiapan anak-anak untuk menerima kenyataan bahwa orang tuanya harus berpisah. Dampak begitu besar dirasakan anak karena seringkali anak-anak tidak dilibatkan dalam keputusan orang tua untuk bercerai.

Anak-anak menjadi saksi dalam pernikahan yang dijalani orang tuanya, menjalani kehidupan keluarga yang banyak konflik dan berujung pada perceraian. Lee (1995) menjelaskan hubungan antara perceraian orang tua dengan pandangan relasi heteroseksual pada anak-anak ketika sudah mencapai usia dewasa, ia mengatakan bahwa dalam membangun pandangan terhadap relasi heteroseksual, individu akan dipengaruhi oleh pemaknaan dari perceraian orang tuanya dengan dipengaruhi oleh dinamika setelah peristiwa perceraian terjadi, interaksi terhadap lingkungan sekitar, berbagai pengalaman seiring pertumbuhan individu menuju dewasa awal. Pandangan ini terjadi karena dipengaruhi oleh kemampuan anak untuk mengobservasi relasi romantis yang ditampilkan oleh orang tuanya, seringkali anak-anak yang mengalami peristiwa perceraian orang tuanya menyaksikan pertengkaran selama masa pra-perceraian.

Observasi yang dilakukan oleh anak-anak menumbuhkan persepsi akan relasi heteroseksual yang akan ia jalani ketika dewasa, meskipun dalam penelitian Lee (1995) menunjukkan bahwa dampak yang diterima tidak semua negatif, beberapa informan penelitian menunjukkan bahwa beberapa individu tidak mengalami distraksi akan observasi dari relasi romantis yang dijalani orang tuanya, bahkan individu tersebut dapat memiliki relasi yang intim dengan pasangannya.

(39)

18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Strategi penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai pengalaman individu dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua dalam memandang relasi heteroseksual. Penggalian data secara mendalam dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah penelitian ini, sehingga informasi terkait pengalaman tersebut dapat diperoleh secara lengkap dan menyeluruh. Peneliti menggunakan desain penelitian kualitatif untuk mencapai informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui pengalaman atau makna dari individu dalam memandang dunianya secara detil dan bagaimana individu memaknai pengalaman yang dialami (Smith, 2008). Hal ini berkaitan dengan esensi dari penelitian kualitatif yaitu “memahami”. Metode kualitatif dalam kajian psikologi memiliki tujuan untuk mengetahui dan memahami mengapa seseorang berperilaku tertentu dan bagaimana mereka memandang perilakunya serta emosi-emosi yang mendasari perilaku tersebut (Herdiansyah, 2015). Oleh karena itu, peneliti memiliki harapan diperolehnya informasi mengenai pandangan individu pada relasi heteroseksual serta makna dari pengalaman perceraian orang tua yang dialami.

Metode Analisis yang digunakan peneliti adalah analisis fenomenologi interpretatif (IPA). Pendekatan ini berfokus pada pengalaman dan peristiwa yang dialami oleh informan. Sehingga, hal utama yang dieksplorasi adalah

(40)

pengalaman subjektif informan dan bagaimana informan dapat memahami serta memaknai dunia pribadi dan sosialnya (Smith, 2008). Proses dalam metode IPA melibatkan dua hal, yaitu interpretasi informan dan juga interpretasi peneliti dalam pengalaman informan itu sendiri. Sehingga metode ini disebut juga sebagai penelitian hermeneutika (Kahija, 2017).

IPA seringkali digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan seks dan seksualitas, hal ini karena adanya sensitivitas subjek dalam memberikan informasi mengenai orientasi seksual maupun kelainan seksualnya (Smith, Flowers, & Larkin, 2009). Hal ini menjadi kekuatan peneliti untuk meneliti dengan isu yang serupa yaitu mengenai relasi heteroseksual. Selain itu, metode IPA memiliki tiga pilar yang menjadikannya kekuatan dalam penelitian ini, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan idiografi.

Kahija (2017) mengungkapkan pilar pertama dalam metode IPA yaitu fenomenologi yang berfokus pada pengalaman langsung dari informan, pilar kedua yaitu hermeneutika yang melibatkan proses penafsiran dalam analisis data yang sudah didapatkan, dan pilar ketiga yaitu idiografi yang menjadikan manusia sebagai pribadi yang unik dan memiliki keunikannya masing-masing, sehingga pengalaman tiap individu adalah unik. Ketiga pilar ini menjadi kekuatan bagi peneliti untuk mendalami pengalaman informan sebagai individu yang unik sehingga dapat memahami fenomena yang terjadi.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada pandangan individu dewasa awal yang memiliki pengalaman perceraian orang tuanya terhadap relasi heteroseksual,

(41)

dengan mencangkup pikiran dan perasaan infoman selama mengalami perceraian orang tuanya, melewati fase-fase berpisah dengan orang tuanya, hingga pada persepsi informan terhadap relasi heteroseksual.

C. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah individu dewasa awal yang berusia 22 hingga 23 tahun yang memiliki pengalaman orang tuanya bercerai.

D. Saturasi Data

Data mencapai titik jenuh disebut juga sebagai saturasi data. Apabila data atau informasi yang diperoleh oleh peneliti memiliki kesamaaan berkali-kali dan tidak ada informasi baru yang muncul ketika pengambilan data baru, hal inilah yang dikatakan bahwa data telah tersaturisasi (Merriam, 2002). Dalam kasus lain adalah ketika peneliti mengumpulkan data atau informasi baru dan peneliti tidak mendapatkan pengetahuan tambahan untuk menjelaskan suatu pemahaman yang ia teliti secara lebih lanjut (Bogdan dan Biklen, 1998 dalam Merriam, 2002).

E. Metode Pengambilan Data

Metode yang digunakan peneliti untuk menggali informasi adalah dengan menggunakan metode wawancara. Berdasarkan tujuan penelitian ini yaitu menggali pengalaman baik pikiran dan perasaan informan yang mengalami perceraian orang tuanya, maka metode wawancara adalah metode yang dirasa tepat. Stewart & Cash (dalam Herdiansyah, 2015) mengungkapkan bahwa wawancara dapat diartikan sebagai suatu interaksi yang melibatkan pertukaran informasi yang dilakukan secara dua arah dengan tujuan tertentu.

(42)

Teknik wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara semi terstruktur. Alasan peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur karena terkait dengan tujuan wawancara ini yaitu memahami suatu fenomena, sehingga memiliki tujuan yang sama dengan esensi dari penelitian kualitatif yaitu “memahami” (Herdiansyah, 2015). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk melakukan wawancara dengan pertanyaan terbuka namun dengan tema dan alur yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pertanyaan terbuka memungkinkan informan untuk menjawab dengan leluasa, dalam hal ini dapat dikatakan bersifat fleksibel. Keuntungan lainnya yang didapatkan peneliti adalah kesempatan untuk memahami dan mendengarkan banyak hal yang dikatakan oleh informan terkait dengan pandangannya terhadap pengalaman yang dialami (Herdiansyah, 2015).

F. Prosedur Pengumpulan Data

1. Peneliti menentukan informan dengan karakteristik dewasa awal usia 18 tahun hingga 40 tahun yang memiliki pengalaman perceraian orang tuanya. 2. Peneliti melaksanakan penyerahan informed consent kepada informan untuk

dibahas bersama dan ditanda tangani. Informed consent meliputi informasi mengenai identitas peneliti, tujuan dari penelitian, informan penelitian, metode pengambilan data, kode etik penelitian terkait kerahasiaan data penelitian, hak dan kewajiban peneliti dan informan serta penandatanganan informan sebagai wujud pernyataan kesediaan untuk berpartisipasi dalam penelitian.

(43)

3. Wawancara dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama antara peneliti dan informan. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur dengan adanya panduan wawancara yang telah dibuat oleh peneliti sebagai acuan.

4. Hasil wawancara akan peneliti proses dalam transkrip yang nantinya akan di analisis.

G. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah metode IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). Dalam melakukan analisis data terdapat beberapa tahap (Smith, Flowers, & Larkin, 2009) :

1. Membaca transkrip berulang kali (reading and re-reading)

Tahap ini berfokus pada informan penelitian dan peneliti diharapkan dapat menyelami dunia informan dengan terus membaca dan mengulangi perkataan informan demi mengurangi kecenderungan peneliti untuk terburu-buru dalam menganalisis.

2. Memberikan komentar atau catatan pada transkrip (initial notting) Tahap ini memerlukan ketelitian dan cukup menguras waktu, peneliti akan mengeksplorasi transkrip dan menemukan beberapa isu atau topik yang menarik dari informan dan mencoba untuk memahami dan mengartikan isu tersebut dalam bentuk komentar-komentar. Komentar yang diberikan dapat berupa komentar deskriptif, yaitu komentar yang berfokus pada mendeskripsikan isi dari perkataan informan. Sedangkan komentar linguistik berfokus pada eksplorasi

(44)

penggunaan bahasa pada informan dan komentar konseptual berfokus pada tingkatan yang lebih interogratif dan konseptual.

3. Mengembangkan tema-tema yang muncul dalam transkrip (developing emergent themes)

Pada tahap ini peneliti melakukan pemaparan atas tema-tema yang ditemukan dalam setiap komentar yang telah dibuat sebelumnya. Selain melihat pandangan dan pikiran informan, tahap ini juga melibatkan intepretasi dari peneliti.

4. Mencari hubungan antar tema-tema yang didapatkan (searching for connections across emergent themes)

Tahap selanjutnya adalah memaparkan tema-tema yang telah ditemukan dan mencari keterkaitan antar tiap tema. Namun, tidak semua tema perlu dihubungkan beberapa tema mungkin akan dibuang. Tahap ini juga mendorong peneliti untuk membuat sebuah gambaran dari data yang ada yang merujuk pada pertanyaan dan konteks penelitian.

H. Kredibilitas Penelitian

Validitas didefinisikan dengan sejauh mana suatu penelitian dapat menggambarkan, mengukur, dan menjelaskan suatu fenomena atau data (Willig, 2008). Validitas kualitatif merupakan pengecekan atas keakuratan dari hasil penelitian yang dilakukan, yang diukur oleh keakuratan perspektif antara peneliti, partisipan, dan pembaca (Creswell, 2016). Peneliti menggunakan strategi validitas yang diungkapkan Creswell sebagai berikut:

(45)

1. Member checking, yaitu keakuratan data didapat dengan melakukan pengecekan ulang oleh partisipan penelitian dengan peneliti melampirkan hasil penelitian. Strategi ini memungkinkan akan adanya penambahan data ataupun komentar oleh partisipan, sehingga memungkinkan adanya wawancara untuk menambah data penelitian. 2. Reflektivitas peneliti untuk mengungkapkan kemungkinan

subjektivitas peneliti dalam menginterpretasi data, sehingga adanya refleksi peneliti memunculkan pemahaman akan intepretasi data yang dipengaruhi oleh latar belakang peneliti.

3. External auditor yang merupakan dosen pembimbing, memberikan penilaian objektif atas penelitian yang dilakukan peneliti serta melibatkan proses tanya jawab.

I. Refleksivitas Peneliti

Perceraian menuai pro dan kontra dalam diri peneliti. Peneliti bukanlah pelaku maupun korban dari perceraian, namun peneliti tertarik untuk meneliti mengenai perceraian dan dampak yang akan dialami oleh anak-anak dari orang tuanya yang bercerai karena begitu dekatnya topik ini disekitar peneliti. Berawal dari bincang-bincang dengan seorang teman mengenai kehidupan keluarganya yang broken home, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana ia dapat menghadapi konflik dalam keluarganya dan menjalani kehidupan relasi romantisnya.

Informan yang membagikan ceritanya dalam penelitian ini merupakan teman-teman informan meskipun tidak memiliki kedekatan yang begitu dalam

(46)

dengan ketiganya, peneliti menyadari akan bias yang tercipta selama proses wawancara dan analisis data, sehingga peneliti berusaha untuk terus berdiskusi dengan dosen pembimbing dalam proses tersebut. Suasana yang terbangun selama proses wawancara terasa santai dan peneliti membuka keleluasaan informan untuk bercerita menggunakan bahasanya dengan nyaman.

J. Pedoman Wawancara

1. Mengetahui gambaran keluarga sebelum orang tua bercerai a. Orang tua bercerai saat umur berapa?

b. Bagaimana gambaran atau keadaan keluargamu sebelum orang tua bercerai?

c. Bagaimana kedekatan kamu dengan anggota keluarga sebelum orang tua bercerai?

2. Mengetahui proses perceraian orang tua

a. Bagaimana proses atau terjadinya perceraian orang tuamu? Faktor apa saja yang memngaruhi?

b. Bagaimana peranmu saat perceraian itu terjadi? Dan apa yang kamu lakukan?

c. Dampak dari perceraian yang memngaruhi hingga saat ini?

3. Mengetahui sudut pandang informan mengenai perceraian orang tuanya a. Bagaimana perasaanmu ketika orang tuamu bercerai?

b. Bagaimana kamu menanggapi atau memandang perceraian orang tuamu? 4. Mengetahui kehidupan informan setelah perceraian orang tua

(47)

b. Bagaimana hubunganmu dengan anggota keluarga? c. Bagaimana perasaanmu setelah orang tuamu bercerai? 5. Pengetahuan mengenai relasi romantis

a. Bagaimana kamu memahami relasi cinta? Apa saja yang kamu ketahui mengenai relasi cinta?

b. Menurutmu relasi cinta yang ideal yang seperti apa?

c. Bagaimana pandanganmu atau pendapatmu terhadap relasi heteroseksual dan homoseksual?

6. Untuk mengetahui peran orang tua terhadap relasi romantis yang dijalani informan

a. Apakah saat ini kamu sedang menjalin relasi romantis (pacaran, tunangan, atau menikah)

 Jika ya : Apakah orang tuamu mengetahui relasi romantis yang kamu jalani? bagaimana peran orang tuamu terhadap relasimu saat ini?  Jika tidak : Menurutmu apakah kamu akan memberitahukan kepada

orang tuamu jika kelak kamu memiliki pasangan? Mengapa? 7. Untuk mengetahui pandangan informan terhadap relasi yang dijalani

a. Bagaimana pandanganmu atau pendapatmu terhadap relasi romantis yang saat ini kamu jalani atau kelak kamu jalani?

b. Seperti apa harapanmu dalam relasi yang kamu jalani atau akan kamu jalani kelak?

c. Bagaimana kamu memandang dirimu saat ini?

(48)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai proses pelaksanaan penelitian serta hasil dari penelitian, kemudian melakukan analisis dari data yang telah diperoleh hingga pada pembahasan penelitian.

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan dan Perizinan

Penelitian ini melibatkan tiga orang dewasa awal yang memiliki pengalaman orang tuanya bercerai sebagai informan penelitian. Proses pengambilan data didahului dengan perizinan dan persetujuan informan untuk diwawancarai dengan penandatanganan informed consent. Informan dan peneliti bersama-sama membaca dan memahami poin dalam informed consent sehingga mengetahui segala konsekuensi yang akan dihadapi selama penelitian.

Selama proses persiapan dan perizinan, peneliti melakukan pendekatan kepada informan untuk memperoleh kepercayaan dan keterbukaan informan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti. Dalam pengambilan data, peneliti dan informan menentukan waktu dan tempat sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menanyakan kondisi informan saat itu dengan menanyakan aktivitas yang dilakukan sebelum dan setelah wawancara agar informan merasa nyaman dan peneliti mengetahui batas waktu wawancara,

(49)

untuk menghindari terputusnya wawancara jika informan memiliki kegiatan lainnya setelah pengambilan data.

Wawancara dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur dengan harapan informan memiliki keleluasaan dalam menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti. Selama proses wawancara peneliti meminta izin informan untuk menggunakan alat perekam suara berupa ponsel. Hasil dari rekaman tersebut digunakan peneliti untuk menuliskan transkrip berupa verbatim yang akan digunakan untuk analisis data.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan waktu dan tempat yang terpisah antara ketiga informan sesuai dengan kesepakatan. Berikut merupakan waktu dan tempat pelaksanaan :

Tabel 1.

Pelaksanaan Penelitian: Perizinan dan Wawancara Terhadap Informan

Informan Hari/tanggal Waktu Tempat

Informan 1 (DCC)

Selasa, 11 September 2018 15.00-16.54 Café Bjong Ngopi

Kamis, 6 Desember 2018 16.16-17.30 Lantai 3 Fakultas Psikologi, Sanata Dharma

Informan 2 (VF)

Selasa, 2 Oktober 2018 16.00-16.45 Café K24 Kamis, 13 Desember 2018 13.00-15.00 Café Milkcan Informan 3

(EDT)

Kamis, 4 Oktober 2018 16.30-16.56 Kost EDT Kamis, 20 Desember 2018 13.25-15.10 R. Konseling

(50)

Tabel 2.

Member Checking

Informan Hari/tanggal Keterangan

Informan 1 (DCC)

Selasa, 1 November 2019 Melalui e-mail

Balasan: “udah. Gaada tambahan”

Informan 2 (VF)

Selasa, 1 November 2019 Melalui e-mail

Balasan: “Sudah ku baca hehe. Aku setuju kok. Hehehe. Dan sudah sesuai” Informan 3

(EDT)

Selasa, 1 November 2019 Melalui e-mail Balasan: “Udah oke” B. Informan Penelitian

1. Demografi Informan Tabel 3.

Demografi Informan

No Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3

1. Inisial DCC VF EDT

2. Usia 23 Tahun 23 Tahun 21 Tahun 3. Jenis

Kelamin Laki-laki Perempuan Perempuan

4. Urutan Kelahiran Anak ketiga dari tiga bersaudara Anak pertama dari lima bersaudara Anak kedua dari tiga bersaudara 5. Pendidikan

Terakhir S1 SMA SMA

6. Pekerjaan Fresh Graduate Sekretaris pribadi menteri kooperasi Timor Leste Mahasiswa

7. Suku Jawa-Manado Timor Leste-Jawa Tionghoa

8. Agama Kristen Katolik Katolik

(51)

tua tahun Tahun

Ibu : 57 tahun Ibu : 48 tahun Ibu : 46 Tahun

10.

Tingkat Pendidikan

Orang tua

Ayah : S2 Ayah : D3 Ayah : SMP Ibu: D3 Ibu : D3 Ibu : SD

11. Pekerjaan Orang tua Ayah : Wiraswasta Ayah : Polisi Perhutani Ayah : Wirausaha Ibu : Ibu rumah tangga

Ibu : Ibu rumah tangga

Ibu : Wirausaha 2. Latar Belakang Informan

Berikut merupakan latar belakang infoman terkait dengan peristiwa perceraian orang tua

a) Informan I (DCC, 23 tahun)

DCC mengalami peristiwa orang tuanya bercerai ketika berusia 13 tahun. DCC mengungkapkan bahwa Ibu yang pertama kali mengajukan perceraian karena adanya perbedaan keyakinan antara Ibu dan Ayah. DCC merasa bahwa dirinya tidak diinginkan sejak dilahirkan dan merasa bahwa tidak diperdulikan oleh orang tuanya, karena ketika perceraian terjadi ia tidak mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaanya. Ibu dan Ayah DCC menikah karena kehamilan diluar pernikahan atau marriage by accident (MBA), hal ini pula yang DCC anggap bahwa orang tuanya tidak menikah karena cinta tetapi karena keterpaksaan keadaan. Perselingkuhan dilakukan oleh Ayah dan Ibu juga menjadi faktor penyebab perceraian orang tuanya. Perceraian orang tuanya DCC menyebabkan dirinya cemas jika orang tua pasangannya

(52)

mengetahui latar belakang keluarganya yang baginya tidak dapat ia banggakan. DCC juga merasa cemas akan pandangan orang lain terhadap orang tuanya dan merasa cemas untuk menjalin relasi dengan orang lain. b) Informan II (VF, 23 tahun)

Orang tua VF bercerai ketika ia berusia 12 tahun, namun ia tidak mengetahui persis kapan dan alasan orang tuanya bercerai karena ketika peristiwa tersebut terjadi, ia tidak dilibatkan. VF merasa tidak adil karena keputusan orang tuanya, hal ini semakin berat ia terima karena ia sempat tinggal jauh dari kedua orang tuanya dan mengetahui orang tuanya bercerai membuatnya merasa sedih dan kecewa. VF mengungkapkan bahwa orang tuanya bercerai karena adanya orang ketiga baik dari sisi Ayah maupun Ibu.

c) Informan III (EDT, 21 Tahun)

Orang tua EDT bercerai ketika usianya 12 tahun, saat itu ia tidak begitu merasakan dampak apapun terhadap perceraian orang tuanya karena kurangnya kelekatan emosi antara ia dan Ayah sehingga EDT tidak merasa kehilangan. Perceraian orang tuanya disebabkan oleh perbedaan prinsip antara Ayah dan Ibu serta adanya orang ketiga dari pihak Ayah. Ibu yang bersikeras agar Ayah dapat membuka usaha sendiri, ditolak oleh Ayah yang begitu ketergantungan dengan atasannya hingga menimbulkan konflik berkepanjangan yang berujung pada perceraian. EDT merasakan ada yang berbeda dari keluarganya ketika ia beranjak dewasa, ia merasa bahwa ia tidak memiliki kenangan dengan

(53)

Ayah yang dapat ia bagikan kepada teman-temannya. Saat itu ia merasa sedih dan mengungkapkan bahwa ia tidak dapat memiliki kesempatan yang sama seperti teman-temannya yang memiliki orang tua utuh.

C. Hasil Penelitian

Wawancara telah dilaksanakan pada ketiga informan. Peneliti kemudian menginterpretasi hasil wawancara setiap informan dan menghasilkan tema-tema yang akan digunakan untuk menganalisis. Sebelum melakukan analisis, peneliti melakukan member checking untuk memastikan kesesuaian hasil wawancara dengan maksud yang ingin disampaikan oleh masing-masing informan. Hasil wawancara telah disetujui oleh ketiga informan tanpa menambahkan ataupun mengoreksi transkrip verbatim yang dibuat peneliti.

Dalam melakukan analisis data, peneliti membaca kembali keseluruhan data (reading and re-reading) kemudian memberi catatan-catatan pada transkrip verbatim (initial noting). Catatan-catatan ini berupa komentar deskriptif, linguistik, dan konseptual. Setelah menuliskan catatan-catatan, peneliti kemudian memberikan tema sebagai representasi makna dari cerita informan. Tema-tema yang memiliki kesamaan digabung menjadi tema superordinat.

1. Informan 1 DCC (23)

a. Pengalaman Orang Tuanya Bercerai

Peristiwa perceraian orang tuanya DCC terjadi ketika ia remaja. Saat perceraian orang tuanya terjadi DCC merasa tidak dilibatkan dalam keputusan perceraian orang tuanya dan segalanya terjadi tanpa

(54)

diskusi oleh orang tuanya, ia merasa tidak berdaya karena segala hal seperti kepindahannya ke Jakarta, pemilihan sekolah, tempat tinggal dan keterpisahannya dengan Ayah sudah diurus oleh Ibu, seperti yang diceritakannya:

“Bagaimana perasaanmu saat orang tuamu memutuskan untuk bercerai? Yang kamu lakuin saat itu?”

“Langsung pindah Jakarta jadi ga tahu tanpa negosiasi ke aku, mamaku langsung bawa aku gitu loh ga ada ngomong gitu langsung diajak pergi” (DCC (23), 607-609)

“Saat itu udah tahu?”

“Saat itu udah tahu mau cerai cuman kok tiba-tiba ke Jakarta udah diurusin itu loh berkas-berkasnya, sekolahnya, pindah ya udah ikut aja kan dari pada di Kalimantan, mungkin mamaku udah rencanain agak malas aja ga dilibatkan itu loh, padahal gua pengennya ini. Jadi udah diurusin gitu? Kamu gini gini gini ga bilang gua gitukan, aku ga punya hak untuk mengutarakan [tertawa]” (DCC (23), 611-617)

Seiring berjalannya waktu, DCC yang telah memasuki usia dewasa awal menganggap bahwa perceraian orang tuanya adalah pilihan atau keputusan terbaik. DCC bahkan memahami bahwa perceraian bukanlah perkara yang mudah untuk dijalani. Hal ini DCC pahami dari kesaksiannya melihat kembali orang tuanya bertemu dan menampilkan tayangan ulang akan dinamika yang pernah terjadi di dalam keluarganya. Keluarga yang baginya bukan keluarga yang harmonis dan ideal karena kurangnya kebersamaan seperti menghabiskan waktu bersama, pergi liburan atau hal sederhana seperti menanyakan kabar. Seperti dalam ceritanya:

“Nah aku mau nanya beberapa hal lagi nih, bisa kamu ceritakan lagi ga gimana relasi dalam keluargamu sebelum orang tuamu bercerai apakah dekat atau sebagainya?”

(55)

“Kalau relasi tuh dibilang sih kalau masih umur SMP itu sepenglihatan aku ya, jadi pas masih umur segitu pas cerai sebelum cerai berarti ya, keadaanya emang ya bukan bukan keluarga yang deket gitu loh, ya emang jarang … jarang kan kalau misalnya orang yang keluarga yang baik gitulah sering liburan atau sering menanyain keadaan keadaan di sekolah atau gimana gitulah jadi kayak gitu kayak jadi jarang cerita sih, habis tu kayak ya di rumah tuh pada sibuk urusan sendiri-sendiri bukan yang kayak erat yang nanyain, habis itu kayak kalau makan, makan ambil sendiri, bukan kayak makan yang kayak tradisi yang makan bareng-bareng gitu loh, kalau bisa dibilang si ga terlalu deket sih. Komunikasinya ga lancar ya? Komunikasinya ga lancar kurang kurang kurang lancar, malah ga ada kayaknya [tertawa]” (DCC (23), 453-467)

Tidak banyak yang ia harapkan dari keluarganya setelah perceraian. Satu hal yang selalu DCC (23) katakan dalam ceritanya bahwa “bekas anak” itu tidak ada. “Bekas anak” yang DCC maksud adalah anak-anak korban perceraian tetaplah seorang anak dari kedua orang tua yang bercerai, meskipun berpisah orang tua tetap harus memenuhi kebutuhan anaknya. DCC mengungkapkan hal ini sebagai wujud kekesalannya terhadap Ayah yang tidak memperdulikannya.

“Gimana sih kamu memandang atau melihat papamu? Sampai sekarang masih sering kontak-kontakan?”

“Sekarang masih kontak-kontakan dia yang bayarin uang kuliah kalau ga dipaksa [tertawa] kalau ga dipaksa wah ga mau dia, yang maksa mamamu? Aku yang maksa kakak-kakakku juga ya oh wau kan mana ada kan bekas anak kan kalau bekas istri ada bekas anak ga ada” (DCC (23), 142-147)

“Harapanmu untuk relasimu? Relasi ke siapa relasi ke keluarga, pasangan?”

“kalau orang tua tuh kayak lebih prioritasin keluarga sih ya kayak yang aku bilang ke bapakku sih bekas istri ada bekas anak itu ga ada ya kan, ya lebih ke prioritasin ke keluarga” (DCC (23), 426-429)

(56)

Kekesalan yang amat sangat DCC arahkan kepada Ayahnya, ia merasa bahwa Ayah tidak dapat diandalkan dan Ayah bukanlah sosok yang dapat ia jadikan contoh yang baik. Bahkan, ia menyalahkan Ayah atas ketidakbahagiaan Ibu. DCC merasa cemas bila orang lain mempertanyakan latar belakang Ayahnya, karna baginya Ayah tidak dapat dibanggakan.

Pandangannya terhadap Ayah juga dipengaruhi oleh Ibu yang sejak awal seringkali menceritakan hal buruk tentang Ayah, sehingga ia menganggap Ayah tidak baik. Kelekatannya dengan Ibu membuatnya merasa bahwa memihak Ibu adalah hal yang benar, bahkan ia merasa bahagia jika Ibunya bahagia meskipun Ibu melakukan perselingkuhan.

Pada saat DCC beranjak dewasa ia memandang bahwa perselingkuhan yang dilakukan Ibu merupakan kesalahan. Kekecewaan DCC terhadap Ibu semakin mendalam ketika ia tinggal berdua bersama Ibu, sedangkan kedua saudaranya memilih untuk tinggal bersama Ayah. DCC merasa kesal karena Ibu tidak memperdulikannya dan ia mengungkapkan bahwa ia jarang sekali makan bersama Ibu di rumahnya:

“Kalau kamu melihat mamamu itu gimana?”

“Apa yah, dia tuh sekarang ya kerja di Gereja kan orangnya tuh dihormati bangetlah sama orang-orang di Gereja tapi dia maksudnya di… pas kerja di Gereja gitu dia keras gitu loh orangnya tapi sama anak-anak itu ga berani keras itu loh sama aku maksudnya aku juga ya itu pembangkang sama mamaku, ga terima sama apa tuh ga terlalu dekat lagi lah mau dia lah ya udah jadi kayak kayak gitulah [tertawa] Mamamu di Gereja pelayanan gitu? Kepala kantor oh kepala kantor dia tegas di Gereja di rumah dia gitu. Ga pernah marahin kamu?

(57)

Ga marah, ya bodo amat sih makan aja jarang di rumah cuekin gitu [mengangguk] makan aja jarang [tertawa]” (DCC (23), 149-160)

“Perasaanmu terhadap mamamu?”

“Ya ya udah ya gua juga udah gede gitu udah bisa ngurusin diri juga cuman ya kadang ada keselnya juga ini ngeselin gitu loh ga tanggungjawab gitu loh single parent tapi ga gini juga gitu loh ga diurus gitu rasa ngekos kan jadinya [tertawa]” (DCC (23), 641-645)

b. Faktor Perceraian Orang Tuanya

Akibat ada karena sebab, seperti halnya perceraian pada orang tua DCC yang terjadi karena ada berbagai faktor yang memengaruhi seperti perbedaan agama, kehamilan sebelum pernikahan atau marriage by accident (MBA), egosentrisme, perselingkuhan, dan kekecewaan.

DCC menceritakan bahwa orang tuanya menikah karena keterpaksaan, menikah bukan atas dasar cinta. Hal ini DCC ungkapkan karena orang tua menikah karena kehamilan yang tidak diinginkan atau marriage by accident (MBA). DCC melihat bahwa kehidupan orang tuanya sebelum perceraian tidak mencerminkan pasangan yang saling mencintai, seringkali ia melihat orang tuanya bertengkar bahkan ia melihat Ayah memukuli Ibu. Tampak dalam ceritanya:

“Apa yang kamu rasain saat orang tuamu bertengkar? Kalau nangis di hadapan mereka gitu?”

“Di hadapan mereka mungkin pas mereka berantem gitu kan ada yang kayak mungkin kayak sorry aja kayak bokap gua kayak ngapain gitu loh kayak main fisik atau gimana gitu kan ya wajarkan orang orang kayak gitu kan ya anak kecil paling cuma ngeliatin doang aku sama kakakku cuma ngeliatin sambil nangis, cuma ya nangisnya kayak kayak ngeliatin orang yang tersakiti tau kan bukan yang nangis kayak gara-gara itu loh mamaku dipukul kayak orang dipukul ya sakit kan gitu sih” (DCC (23), 564-572)

Gambar

Tabel 1. Pelaksanaan Penelitian: Perizinan dan Wawancara Terhadap Informan ...... 28  Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Mulakan jawapan bagi setiap soalan pada helaian yang baru. Anda dibenarkan menggunakan kalkulator saintifik yang tidak

Untuk maksud tersebut sistem pemanas dibuat dari lapisan tipis emas dengan sistem larik dan ditumbuhkan pada salah satu sisi substrat alumina (Al 2 O 3 ), sedangkan sistem

Marimba (1980) mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani

Mereka adalah mahluk ghaib, kita tidak melihat mereka, akan tetapi kita beriman kepada mereka dengan keimanan yang teguh.. Malaikat adalah salah satu mahluk

Inspektorat Kota Padang juga disarankan agar melakukan koordinasi secara berkala dan berkelanjutan dengan PPK- PPKD dan PPK-SKPD untuk membuat program kegiatan yang dapat

Calon perusahaan penyedia jasa harus menyerahkan daftar bengkel milik sendiri (dilampirkan daftar nama karyawan dan peralatan bengkel yang dimiliki), atau

Apabila dikemudian hari terbukti dan atau dapat dibuktikan bahwa skripsi hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi apapun dari Fakultas Ekonomi dan atau gelar dan

Uji Hidup Dipercepat (UHD) adalah uji yang dilakukan terhadap suatu produk atau komponen untuk kondisi yang lebih keras dibandingkan dengan ketika produk berada di