• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Penelitian

3. Informan 3 EDT (21)

3. Informan 3 EDT (21)

a. Pengalaman Orang Tua Bercerai

EDT mengalami peristiwa perceraian orang tua ketika ia remaja, saat perceraian terjadi ia tidak merasakan dampak yang berarti. Hal ini disebabkan karena orang tuanya seringkali berpisah dan rujuk sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, sehingga ia tidak merasa keterpisahan dirinya dengan Ayah, terlebih lagi karena relasi yang terjalin tidak dekat. EDT mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki ikatan emosianal dengan Ayah karena jarang terjalin komunikasi diantara keduanya.

EDT menceritakan bahwa keluarganya adalah keluarga yang harmonis sebelum perceraian terjadi, ia bercerita bahwa keluarganya sering menghabiskan waktu bersama:

“Kamu juga cerita bahwa dulu keluargamu adalah keluarga harmonis, bisa kamu ceritakan harmonisnya yang gimana?”

“hmm mungkin gambaranku kek ga ada em ya konflik kecil-kecilan lah tapi ya menurutku harmonis itu ketika kita bisa bersama ga sih jadi dulu e masih sering jalan gitu sih” (EDT (21), 224-226)

Keharmonisan itu tidak berjalan lama sampai akhirnya Ibu mengajukan perceraian. Ayah sempat menyalahkan Ibu atas pilihan Ibu untuk bercerai dan berhenti mengambil tanggung jawab untuk mengurus anak-anak. Hal ini tentu menambah kekecewaan Ibu terhadap Ayah hingga Ibu menunjukkan kebenciaannya pada Ayah dan EDT merasa kecewa karena orang tuanya berpisah dalam keadaan bertengkar, seperti ceritanya:

“Kamu bilang juga kalau perpisahan mereka ga baik-baik apa yang membuatmu berpikir bahwa perpisahan orang tua mu ga baik-baik?”

“Ga baiknya karena yaitu yang aku bilang masalah kokoku itu, awalnya baik aku datang ngajak pergi tapi semenjak itu mereka ga pernah bareng, Mamaku ga pernah minta apa-apa ke Papaku, Papaku mau ngasih syukur ga juga ga. Larinya ke kami itu Mamaku tuh selalu bilang jangan benci Papamu tapi setiap ketemu dia menunjukkan ketidaksenangnya itu nah … baik perkataan maupun secara emosi e ngapain ketemu Papa … ngapain ketemu Papa … ya kayak gitu pokoknya kek buat apa sih ke sana, ya yang aku tau mereka ga pernah ngobrol sama sekali sih sejak saat itu” (EDT (21), 426-436)

b. Faktor Perceraian Orang Tua

Faktor yang menyebabkan orang tua EDT bercerai antara lain, ekonomi yang tidak stabil, kekecewaan Ibu terhadap Ayah, perselingkuhan yang dilakukan Ayah, dan komunikasi yang buruk antara Ibu dan Ayah.

EDT menceritakan bahwa Ibu merasa kecewa dengan Ayah yang tidak mau membuka usaha sendiri, Ayah begitu ketergantungan dengan atasannya hingga lebih memprioritaskan atasannya dibandingkan anak-anaknya. Tampak dalam cerita:

“Itu kamu tau ga siapa yang pertama kali minta cerai?” “Mamaku, kamu tahu alasannya saat itu? tahu sih tapi aku ga tahu itu beneran atau ga tapi keknya iya bener [tertawa] alasannya itu karna Papa ku kan dulu kerja sama orang terus e dia itu kayak terlalu terikat banget sama si bosnya udah lama banget kayaknya udah berapa berapa puluh tahun gitu dari Papaku bujang sampai nikah dan punya anak, Mamaku tuh pengennya dia buka usaha sendiri kerja lepas gitu loh toh a … bisa juga modalnya tapi ga mau terus. Kayak Papaku tuh jadi kayak menomor satukan bosnya kayak kalau ada apa apa bosnya kalau bosnya butuh sesuatu bosnya terus aku inget banget nih suatu ketika kokoku tuh lagi sakit kayaknya step gitu kejang-kejang SD gitu kan Papaku tuh e cuman hilir mudik doang dan bilang mau pergi ketemu bosnya kek gitu pokoknya Mamaku ga

suka banget sama bosnya itu loh terus e Mamaku pengennya kayak gitu sampai akhirnya ah! waktu mau rujuk itu akhirnya Papaku berhenti e waktu yang udah pengajuan pertama itu Papaku berhenti buka sendiri tapi akhirnya tetap pisah karna … ya gitu ternyata masih … jadi Papaku buka bengkel kan nah jadi di Jambi itu ada kompleks bengkel gitu kan jadi bukanya deketan gitu” (EDT (21), 26-47)

Ibu merasa bahwa uang yang didapatkan Ayah dari bekerja dengan atasannya tidak banyak, seperti dalam cerita:

“Menurutmu apa saja sih faktor yang mempengaruhi perceraian orang tuamu?”

“Papaku dulu kerja sama orang sama bosnya gitu udah lama banget dari sebelum nikah sampai sampai punya anak tiga Mamaku tuh ga pengen Papaku di sana terus cobalah mandiri karena di sana juga pas-pasan Papaku ga mau” (EDT (21), 243-247)

Faktor lainnya adalah perselingkuhan yang dilakukan Ayah, namun EDT mengungkapkan bahwa perselingkuhan Ayah ini hanya seperti isu yang beredar tanpa ada kepastiannya, meskipun Ibu seringkali mengungkit hal ini ketika bercerita kepada EDT.

“Menurutmu apa saja sih faktor yang mempengaruhi perceraian orang tuamu?”

“simpang siur soal Papaku main cewek tapi aku ga tau bener apa ga sih terus em … keknya itu sih soalnya dulu tuh yang sering Mamaku bahas kan” (EDT (21), 241-243)

EDT mengungkapkan bahwa faktor utama perceraian orang tuanya adalah kurangnya komunikasi yang terbuka antara Ayah dan Ibu sehingga relasi tidak terjalin dengan baik, seperti ungkapannya:

“Kamu bilang faktor utamanya itu komunikasi bisa jelasin”

”Aku sih mikirnya mungkin ya tidak saling mendengarkan sih mungkin ya Mamaku tipe yang em … gimana ya komunikasinya soalnya Mamaku tipe terbukakan jadi aku sering

tau tapi kayak em … ga ngerti deh komunikasinya sejauh mana tapi aku jarang melihat mereka bicara baik-baik” (259-265)

c. Dampak Perceraian

EDT merasakan dampak dari perceraiannya ketika ia berada di bangku sekolah menengah atas. EDT merasa inferior dengan membandingkan dirinya yang tidak dapat lagi merasakan kehangatan keluarga yang utuh. Saat menceritakan hal ini EDT menangis dan merasa sedih dengan mengungkapkan bahwa ia tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengukir kenangan bersama Ayah. Tampak dalam ceritanya:

“Bagaimana perasaanmu gimana sih melihat orang tuamu pisah terus balik lagi terus pisah lagi?”

“Sebenernya bias … biasa aja … awalnya tuh biasa aja kayak ya karna itu waktu awal sebelum waktu proses pengajuan yang pertama sampai ke mediasi tuh baik-baik aja tuh loh Papaku masih sering datang e terus e sebagainya terus e … e … e sebenarnya aku ga kepikiran apa-apa sih cuma mulai merasa beda itu ketika di sekolah aku ga bisa cerita soal Papaku aku mulai ngerasa beda itu ketika teman-temanku cerita mereka pergi itu aku mulai ngerasa kok aku ga kayak gitu lagi. Jadi di sekolah kamu merasa kamu ga punya cerita tentang Papamu? He em kayak ga ada cerita jadi apa yang mau di ceritain itu aku baru merasa hm makanya itu aku baru merasa struggle akhir SMP masuk SMA mungkin aku mulai paham mulai paham mulai merasa beda” (EDT (21), 321-329)

“Terus ketika kamu menyadari itu apa yang benar-benar kamu rasain?”

“Sedih sih … sedih aduh kan jadi sedih cik [menangis] … [tertawa] sedih … udah lama aku ga cerita soal gini soalnya hiks hiks hiks [membuat suara tangisan] apa ya sedih karna e aku cerita ke siapa ya sampe ada di moment-moment tertentu aku ngerasa aku ga akan bisa dapat kesempatan yang sama tu loh kalau orang tuaku ga pisah kayak em … kayak apa ya kan Mamaku ga bisa melakukan semuanya dengan seorang diri kek ga ada Papaku gimana gitu” (EDT (21), 346-354)

Tidak adanya kenangan dengan Ayah yang dapat EDT ceritakan kepada temannya membuat ia merasa tidak nyaman jika orang lain mengetahui perceraian orang tuanya hingga ia mulai menutup diri dan mencoba untuk berfokus pada akademiknya saja, hal ini didukung oleh keluarganya yang berpesan padanya untuk menjadi anak yang baik dan EDT adalah harapan dalam keluarga. Tampak dalam ceritanya:

“Motivasimu saat itu?” (terkait akademik)

“Dulu cuma aku tuh terlalu terlalu sering sering mendengar jadi anak yang baik cuma kamu yang bisa di andalkan terus Papamu udah kayak gini itu pesan yang diberikan saat orang tua mu bercerai atau belum? Setelah sih setelah kokoku berubah dulukan koko ku sama I,i (tante) ku apa lagi keluargaku banyak di Jakarta aku tuh dulu dipandangnya anak yang manis pinter aku merasa diliatin bukan diliatin dalam konteks yang sesungguhnya ya” (EDT (21), 396-403)

EDT saat ini menjalin relasi heteroseksual, ia sempat mempertanyakan apa manfaat dari menjalin relasi dengan orang lain hingga akhirnya ia memiliki pasangan dan EDT mengungkapkan bahwa menjalin relasi romantis adalah hal yang menarik dan menyenangkan. EDT menjadikan pasangannya sebagai seorang teman yang nyaman untuk diajak bercerita tentang banyak hal, ia juga mengungkapkan bahwa ia bahagia dengan relasi yang saat ini ia jalani. Ibu pernah berpesan padanya untuk mencari pasangan yang tidak seperti Ayahnya, seperti dalam cerita:

“Apakah orang tuamu pernah berpesan denganmu tentang menjalin relasi? Misal kalau pacaran harus gini-gini?”

“E … ngasih secara eks … eksplisit sih ga ada Mamaku sering dengan nada bercanda kalau nyari pacar jangan kayak Papa [tertawa] jangan kayak Mama punya suami kayak Papa kayak gini tuh ga pernah sih bagaimana pendapatmu saat itu?

Ya kadang aku ngomongin cowokku kan ku bilang ga kayak Papaku [tertawa]” (EDT (21), 468-473)

d. Pandangan Relasi Heteroseksual

EDT memandang bahwa relasi heteroseksual adalah relasi yang sudah seharusnya dan merupakan relasi yang umum dilakukan oleh manusia pria dan wanita, seperti ungkapannya:

“Kamu saat ini sedang pacaran? He em, Kamu pernah dengar tentang relasi heteroseksual dan homoseksual? He em, bagaimana pandanganmu tentang relasi heteroseksual?”

“E … awalnya sebenernya aku bingung sih buat apa sih pacaran maksudnya buat apa sih hidup dengan orang lain kek gitu tuh tapi setelah ini pacarku yang pertama gitu kan awalnya itu kayak status pacarannya itu kayak ini maksudnya mengandung eh mengarah ke arah heteroseksual juga sih hubungan yang ee ga punya arti tertentu buat aku” (EDT (21), 145-147)

“Kamu memilih relasi hetero apakah karena keinginan?”

“Hmm aku selama ini ga pernah nyari cowok sih dan kenapa hetero karena kodrat ya [tertawa] maksudnya aku ga punya kelainan sih [tertawa]” (EDT (21), 179-181)

Dokumen terkait