• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Penelitian

1. Informan 1 DCC (23)

Ayah yang dapat ia bagikan kepada teman-temannya. Saat itu ia merasa sedih dan mengungkapkan bahwa ia tidak dapat memiliki kesempatan yang sama seperti teman-temannya yang memiliki orang tua utuh.

C. Hasil Penelitian

Wawancara telah dilaksanakan pada ketiga informan. Peneliti kemudian menginterpretasi hasil wawancara setiap informan dan menghasilkan tema-tema yang akan digunakan untuk menganalisis. Sebelum melakukan analisis, peneliti melakukan member checking untuk memastikan kesesuaian hasil wawancara dengan maksud yang ingin disampaikan oleh masing-masing informan. Hasil wawancara telah disetujui oleh ketiga informan tanpa menambahkan ataupun mengoreksi transkrip verbatim yang dibuat peneliti.

Dalam melakukan analisis data, peneliti membaca kembali keseluruhan data (reading and re-reading) kemudian memberi catatan-catatan pada transkrip verbatim (initial noting). Catatan-catatan ini berupa komentar deskriptif, linguistik, dan konseptual. Setelah menuliskan catatan-catatan, peneliti kemudian memberikan tema sebagai representasi makna dari cerita informan. Tema-tema yang memiliki kesamaan digabung menjadi tema superordinat.

1. Informan 1 DCC (23)

a. Pengalaman Orang Tuanya Bercerai

Peristiwa perceraian orang tuanya DCC terjadi ketika ia remaja. Saat perceraian orang tuanya terjadi DCC merasa tidak dilibatkan dalam keputusan perceraian orang tuanya dan segalanya terjadi tanpa

diskusi oleh orang tuanya, ia merasa tidak berdaya karena segala hal seperti kepindahannya ke Jakarta, pemilihan sekolah, tempat tinggal dan keterpisahannya dengan Ayah sudah diurus oleh Ibu, seperti yang diceritakannya:

“Bagaimana perasaanmu saat orang tuamu memutuskan untuk bercerai? Yang kamu lakuin saat itu?”

“Langsung pindah Jakarta jadi ga tahu tanpa negosiasi ke aku, mamaku langsung bawa aku gitu loh ga ada ngomong gitu langsung diajak pergi” (DCC (23), 607-609)

“Saat itu udah tahu?”

“Saat itu udah tahu mau cerai cuman kok tiba-tiba ke Jakarta udah diurusin itu loh berkas-berkasnya, sekolahnya, pindah ya udah ikut aja kan dari pada di Kalimantan, mungkin mamaku udah rencanain agak malas aja ga dilibatkan itu loh, padahal gua pengennya ini. Jadi udah diurusin gitu? Kamu gini gini gini ga bilang gua gitukan, aku ga punya hak untuk mengutarakan [tertawa]” (DCC (23), 611-617)

Seiring berjalannya waktu, DCC yang telah memasuki usia dewasa awal menganggap bahwa perceraian orang tuanya adalah pilihan atau keputusan terbaik. DCC bahkan memahami bahwa perceraian bukanlah perkara yang mudah untuk dijalani. Hal ini DCC pahami dari kesaksiannya melihat kembali orang tuanya bertemu dan menampilkan tayangan ulang akan dinamika yang pernah terjadi di dalam keluarganya. Keluarga yang baginya bukan keluarga yang harmonis dan ideal karena kurangnya kebersamaan seperti menghabiskan waktu bersama, pergi liburan atau hal sederhana seperti menanyakan kabar. Seperti dalam ceritanya:

“Nah aku mau nanya beberapa hal lagi nih, bisa kamu ceritakan lagi ga gimana relasi dalam keluargamu sebelum orang tuamu bercerai apakah dekat atau sebagainya?”

“Kalau relasi tuh dibilang sih kalau masih umur SMP itu sepenglihatan aku ya, jadi pas masih umur segitu pas cerai sebelum cerai berarti ya, keadaanya emang ya bukan bukan keluarga yang deket gitu loh, ya emang jarang … jarang kan kalau misalnya orang yang keluarga yang baik gitulah sering liburan atau sering menanyain keadaan keadaan di sekolah atau gimana gitulah jadi kayak gitu kayak jadi jarang cerita sih, habis tu kayak ya di rumah tuh pada sibuk urusan sendiri-sendiri bukan yang kayak erat yang nanyain, habis itu kayak kalau makan, makan ambil sendiri, bukan kayak makan yang kayak tradisi yang makan bareng-bareng gitu loh, kalau bisa dibilang si ga terlalu deket sih. Komunikasinya ga lancar ya? Komunikasinya ga lancar kurang kurang kurang lancar, malah ga ada kayaknya [tertawa]” (DCC (23), 453-467)

Tidak banyak yang ia harapkan dari keluarganya setelah perceraian. Satu hal yang selalu DCC (23) katakan dalam ceritanya bahwa “bekas anak” itu tidak ada. “Bekas anak” yang DCC maksud adalah anak-anak korban perceraian tetaplah seorang anak dari kedua orang tua yang bercerai, meskipun berpisah orang tua tetap harus memenuhi kebutuhan anaknya. DCC mengungkapkan hal ini sebagai wujud kekesalannya terhadap Ayah yang tidak memperdulikannya.

“Gimana sih kamu memandang atau melihat papamu? Sampai sekarang masih sering kontak-kontakan?”

“Sekarang masih kontak-kontakan dia yang bayarin uang kuliah kalau ga dipaksa [tertawa] kalau ga dipaksa wah ga mau dia, yang maksa mamamu? Aku yang maksa kakak-kakakku juga ya oh wau kan mana ada kan bekas anak kan kalau bekas istri ada bekas anak ga ada” (DCC (23), 142-147)

“Harapanmu untuk relasimu? Relasi ke siapa relasi ke keluarga, pasangan?”

“kalau orang tua tuh kayak lebih prioritasin keluarga sih ya kayak yang aku bilang ke bapakku sih bekas istri ada bekas anak itu ga ada ya kan, ya lebih ke prioritasin ke keluarga” (DCC (23), 426-429)

Kekesalan yang amat sangat DCC arahkan kepada Ayahnya, ia merasa bahwa Ayah tidak dapat diandalkan dan Ayah bukanlah sosok yang dapat ia jadikan contoh yang baik. Bahkan, ia menyalahkan Ayah atas ketidakbahagiaan Ibu. DCC merasa cemas bila orang lain mempertanyakan latar belakang Ayahnya, karna baginya Ayah tidak dapat dibanggakan.

Pandangannya terhadap Ayah juga dipengaruhi oleh Ibu yang sejak awal seringkali menceritakan hal buruk tentang Ayah, sehingga ia menganggap Ayah tidak baik. Kelekatannya dengan Ibu membuatnya merasa bahwa memihak Ibu adalah hal yang benar, bahkan ia merasa bahagia jika Ibunya bahagia meskipun Ibu melakukan perselingkuhan.

Pada saat DCC beranjak dewasa ia memandang bahwa perselingkuhan yang dilakukan Ibu merupakan kesalahan. Kekecewaan DCC terhadap Ibu semakin mendalam ketika ia tinggal berdua bersama Ibu, sedangkan kedua saudaranya memilih untuk tinggal bersama Ayah. DCC merasa kesal karena Ibu tidak memperdulikannya dan ia mengungkapkan bahwa ia jarang sekali makan bersama Ibu di rumahnya:

“Kalau kamu melihat mamamu itu gimana?”

“Apa yah, dia tuh sekarang ya kerja di Gereja kan orangnya tuh dihormati bangetlah sama orang-orang di Gereja tapi dia maksudnya di… pas kerja di Gereja gitu dia keras gitu loh orangnya tapi sama anak-anak itu ga berani keras itu loh sama aku maksudnya aku juga ya itu pembangkang sama mamaku, ga terima sama apa tuh ga terlalu dekat lagi lah mau dia lah ya udah jadi kayak kayak gitulah [tertawa] Mamamu di Gereja pelayanan gitu? Kepala kantor oh kepala kantor dia tegas di Gereja di rumah dia gitu. Ga pernah marahin kamu?

Ga marah, ya bodo amat sih makan aja jarang di rumah cuekin gitu [mengangguk] makan aja jarang [tertawa]” (DCC (23), 149-160)

“Perasaanmu terhadap mamamu?”

“Ya ya udah ya gua juga udah gede gitu udah bisa ngurusin diri juga cuman ya kadang ada keselnya juga ini ngeselin gitu loh ga tanggungjawab gitu loh single parent tapi ga gini juga gitu loh ga diurus gitu rasa ngekos kan jadinya [tertawa]” (DCC (23), 641-645)

b. Faktor Perceraian Orang Tuanya

Akibat ada karena sebab, seperti halnya perceraian pada orang tua DCC yang terjadi karena ada berbagai faktor yang memengaruhi seperti perbedaan agama, kehamilan sebelum pernikahan atau marriage by accident (MBA), egosentrisme, perselingkuhan, dan kekecewaan.

DCC menceritakan bahwa orang tuanya menikah karena keterpaksaan, menikah bukan atas dasar cinta. Hal ini DCC ungkapkan karena orang tua menikah karena kehamilan yang tidak diinginkan atau marriage by accident (MBA). DCC melihat bahwa kehidupan orang tuanya sebelum perceraian tidak mencerminkan pasangan yang saling mencintai, seringkali ia melihat orang tuanya bertengkar bahkan ia melihat Ayah memukuli Ibu. Tampak dalam ceritanya:

“Apa yang kamu rasain saat orang tuamu bertengkar? Kalau nangis di hadapan mereka gitu?”

“Di hadapan mereka mungkin pas mereka berantem gitu kan ada yang kayak mungkin kayak sorry aja kayak bokap gua kayak ngapain gitu loh kayak main fisik atau gimana gitu kan ya wajarkan orang orang kayak gitu kan ya anak kecil paling cuma ngeliatin doang aku sama kakakku cuma ngeliatin sambil nangis, cuma ya nangisnya kayak kayak ngeliatin orang yang tersakiti tau kan bukan yang nangis kayak gara-gara itu loh mamaku dipukul kayak orang dipukul ya sakit kan gitu sih” (DCC (23), 564-572)

“Ada ada main fisik cuman ya pas dulu tuh pernah sih mamaku stroke gara-gara tiba-tiba stroke itu loh gejala stroke gara-gara habis berantem mungkin darahnya naik ya kan [tertawa] trus langsung kayak kayak kaku gitukan” (DCC (23), 573-577)

Pertengkaran terjadi karena adanya kekecewaan Ibu terhadap Ayah yang tidak mau berpindah keyakinan dari Islam ke Kristen. DCC mengungkapkan bahwa Ayah menolak untuk berpindah keyakinan, bahkan Ayah sudah menunaikan ibadah Haji bersama kakeknya. Kekecewaan Ibu memuncak hingga ia pergi ke Jakarta untuk menemui mantan kekasihnya.

Perselingkuhan pun dilakukan oleh Ibu, namun DCC mengungkapkan bahwa Ayah juga melakukan perselingkuhan sehingga ia menganggap bahwa kedua orang tuanya bersalah. DCC merasa kesal dengan Ibu yang berselingkuh, baginya Ibu egois karena tidak memikirkan perasaannya, namun ia juga merasa senang ketika melihat Ibunya senang ketika berselingkuh. DCC menganggap bahwa Ayah berselingkuh karena sudah tidak menyayangi Ibu, seperti yang ia ceritakan:

“Orang tuamu mulai sering berantem pas mamamu ke Jakarta? Oh udah sebelum-sebelumnya, oh sebelum-sebelumnya udah sering bertengkar? Terus …”

“Dikasi tahu ga? Boleh ya orang ketiga bapakku orang ketiga, ya kebanyakan salahnya bukan dari mama sih dari bapak juga sih nah kalau dari mama tuh eh orang ketiga dari bapak tuh mungkin udah beberapa kali ya” (DCC (23). 541-544)

“Menurutmu apa aja faktor yang mempengaruhi perceraian orang tuamu?”

“Ada orang ketiga sih kayaknya bapakku kayaknya loh lupa aku kayaknya ada soalnya pas aku pegang hapenya itu apa sms siapa ini pake sayang-sayang gitukan mungkin orang ketiga

kayak kagak sayang udah kagak sayang juga sih. Orang ketiganya ini kamu tahunya saat kapan? Saat perceraian mungkin pas proses kali ya Terus maksudnya ga sayang? Ya sama istrinya kali ga sayang [tertawa]” (DCC (23), 620-626)

Kekecewaan Ibu kepada Ayah tidak hanya karena Ayah yang menolak untuk berpindah keyakinan, namun juga karena sifat Ayah yang tidak memperdulikan keluarga sehingga Ibu merasa bahwa Ayah egois sehingga memilih untuk berpisah. Tampak dalam cerita:

“Kamu tahu alasan mamamu mau cerai? Apa karna bosen itu?”

“Bukan bosen sih bilangnya mamaku itu kayak optimis itu loh kalau bapakku ini bisa di ga tahulah mamaku kayak mamaku ini agama banget, jadi pengen papaku ke Kristen gitu tapi kan kalau dah naik haji kan ga bisa ke Kristen gitu kan [tertawa] ya udah papaku ya itu ga mau juga, sama papaku tu pas lagi itu tu ini yang lain ya dari sisi lain alasan lainnya ya pas itu kan dia lagi jual tanahkan, jual tanah di Kalimantan ke tambang gitu kan maksudnya bagi-bagi sama keluarganya dapat banyak gitu loh uangnya ya hampir berapa gitulah bukannya, bukannya pentingin apa tuh anak-anaknya keluarga gitu itu dia malah beli mobil beli motor gitu-gitu bukannya yang ya tau lah kalau kayak gitu bukan yang prioritaskan keluarga kan dia prioritas diri sendiri ya udah mamaku lihat ya itu ga bisa prospek ini kedepannya nih ya udah copot aja lah” (DCC (23), 116-125)

Faktor lainnya yang menyebabkan perceraian orang tua DCC adalah ekonomi yang tidak stabil, DCC mengunglapkan ketika ia lahir keluarga mengalami penurunan ekonomi hingga orang tuanya perlu bekerja keras untuk menstabilkan kembali ekonomi keluarga. Turunnya ekonomi membuat DCC menyalahkan kelahirannya saat itu:

“Kamu punya kakak ya? Iya dua Jadi mereka nikahnya tuh waktu hamil kakakmu? Yang pertama Kakakmu cewek?”

“Yang pertama cewek yang kedua cowok, nah trus kan habis tu pas mereka nikah kami pindah pindah tinggal di Kalimantan aku lahirnya di Malang tiga-tiganya lahir di Malang

dulu pas abis tuh pas udah lahir mereka pindah Kalimantan nah situ bapakku pernah jadi dosen kerja di tambang gitu-gitu nah maksudnya ekonominya pas aku sebelum lahir itu ekonominya agak lumayan lah masih di atas masih ya bisa dibilang masih kaya lah pas aku lahir itu ga tahu kenapa bawa sial aku [tertawa] jadi agak kayak turunkan habis itu pindah ke Kalimantan” (DCC (23), 29-38)

c. Dampak Perceraian Orang tuanya

Peristiwa perceraian tidak hanya melukai kedua pasangan, namun anak-anak dari pasangan yang bercerai juga merasakan dampak dari peristiwa itu sendiri. Seperti yang dialami DCC, ia merasa inferior dan cemas.

DCC merasakan bahwa dirinya tidak lagi berharga ketika ia tidak dilibatkan dalam keputusan orang tuanya untuk bercerai. Ketidakterlibatan DCC membuatnya merasa tidak berdaya dengan sikap orang tuanya, ia merasa tidak dapat mengungkapkan keinginannya dan hanya dapat mengikuti saja kemauan orang tua. Kesedihan hanya dapat ia pendam dan menerima orang tuanya apa adanya adalah bentuk kepasrahan diri, seperti ceritanya:

“Apa yang kamu rasain saat orang tuamu bertengkar?” “Ya yang dirasain ya wajarkan kalau ngomong sedih kan ya sedih kan punya keluarga kayak gitu kan, trus yaudah [tertawa] gara-gara mereka sendiri kan masalahnya jadi ya terima mereka apa adanya aja“ (DCC (23), 551-554)

Ketidakberdayaan memaksanya untuk pergi dari rumah sejenak untuk melepaskan beban. Ia mengungkapkan bahwa ia akan pergi menginap ke rumah teman ketika merasa sedih, DCC merasa bahwa ia

tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menghentikan keputusan orang tuanya untuk bercerai. Tampak dalam ceritanya:

“Waktu kamu sedih itu gimana caranya apakah kamu mengungkapkan atau gimana?”

“Kalau mengungkapkan sih ga ungkapin ke mereka kan berartikan? He em ga, jadi kayak lebih main sendiri kalau sama temen ya nginep rumah temen gitu, jadi lebih melarikan diri gitu? Jadi melarikan diri gitu soalnya kalau pun gua mau menghadapi juga kayaknya ga bakal bisa gitukan” (DCC (23), 557-562)

DCC membandingkan dirinya dengan orang lain, ia merasa dirinya tidak seberuntung orang lain yang memiliki keluarga utuh dan Ayah yang dapat diandalkan. DCC menganggap bahwa Ayahnya tidak dapat memberikan harapan untuknya dalam meniti karir sehingga ia merasa cemas dengan masa depannya, seperti dalam cerita:

“Terus gimana kamu memandang diri kamu saat ini? Apa ya? Mandang diri gimana nih luas banget e? Atau kamu melihat kamu itu seorang yang gimana?”

“Aku sih kayaknya mandiri agak mandiri ah mandiri sih bukan agak mandiri trus kayak aku agak takut sih sama masa depanku gitukan dengan kayak aku membandingkan anak-anak lain itu kayak mereka punya apa tuh bukan warisan bukan warisan bukan se bentuk ekonomi gitu loh maksudnya warisan kayak kedudukan bapaknya atau kayak gimana gitu kan jadi kayak bisa memperlu … mempermudah anaknya untuk meraih cita-citanya apa gimana gitu lah maksudnya bisa membantu anaknya untuk masa depannya juga dan aku bukan orang yang punya modal kayak gitu gitu tu loh, dan aku kayaknya orang yang bener-bener habis kuliah ini benar-benar dari nol gitu loh kalau anak-anak lainkan kayak kamu kerja di sini aja gini gini ini ada teman papa gini gini, nah mungkin aku orang yang kayak dan aku kayak harus aku nih bukan pekerja keras bukan yang kayak giat banget gitu loh kalau giat aku 4 tahun kelar kan kuliah [tertawa] gua masih yang santai-santai gitu loh kayak aku harus kerja keras gitu loh untuk capai titik amanku nanti kalau udah tua gitu loh dan aku masih kurang percaya diri gitu kalau lihat latar belakang keluargaku juga aku kurang percara diri, cuman ya

mungkin aku pinter nutupinnya kali ya [tertawa] jadi orang-orang aja yang ga tahu” (DCC (23), 401-422)

Kecemasan yang dirasakan DCC juga karena rasa malu dan tidak percaya diri dengan latar belakang keluarganya, sehingga ia cemas bila orang lain tahu dan terutama ia cemas dengan pendapat orang tua pasangannya. Kecemasan yang DCC alami menjadikan ia seringkali berpikiran berlebihan dan negatif serta ada kecemasan akan stigma dari orang lain terkait latar belakang keluarganya. DCC merasa cemas jika ia akan kesulitan mendapatkan pasangan karena stigma negatif, seperti ceritanya:

“Apa yang kamu khawatirkan kalau orang lain tau?” “Ya itu pandangan ke aku jelek kayak apa tu kayak membatasi aku gitu loh ya tau kan membatasi kayak ya tau lah [tertawa] Maksudmu membatasi itu gimana? Menurutku ya mungkin ya kalau misalnya kayak keluarga apa sih keluarga ga bener nih ga usah lah ga usah kok kamu bisa dapat cowok yang kayak gini sih kok gini sih kok gini sih, takut berdampak ke relasi ku juga ya gua jujur kalau latar belakang gua ya bukan keluarga baik-baik gitu loh ya kayak ya maksudnya jangan judge orang dari latar belakang gitu loh. Perasaanmu saat orang lain tanya tentang keluargamu? Ya takut [tertawa] takut cemas ya ya overthingking banget lah overthingking nya ke negatif banget lah ya ya itu yang gua bilang takut mereka judge yang jelek-jelek aja gitukan” (DCC (23), 753-766)

Rasa cemas dalam menemukan pasangan membuat DCC ketergantungan pada pasangannya saat ini. DCC telah menjalin relasi romantis dengan seorang wanita dan telah terjalin selama lima tahun, DCC mengungkapkan keinginanya untuk menjalin relasi dengan serius yang dapat diartikan bahwa ia ingin setia dan berkomitmen pada pasangannya. DCC mengungkapkan bahwa ia begitu dekat dengan

pasangannya hingga ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama pasangan dibandingkan bersama keluarga atau teman-teman. Tampak dalam ceritanya:

“Gimana kamu memaknai relasi kamu? Memaknai piye? hubungan sama J kan ya. Hubungan relasi dengan pasangan”

“Oh … jadi kayak kayak 24 per 7 kayaknya gua sama dia trus kan ga aktif kuliah ga ngapa-ngapain gitu ya udah dia kayak yang ngerti kita juga itu loh ngerti aku juga itu loh apa yang aku rasa aku lebih banyak ngabisin dia daripada sama keluargaku sama teman-temanku kan ya kayak dekat gitu loh ga tahu deh mungkin ketergantungan kali ya bilangnya kayak gitu ketergantungan he em” (DCC (23), 292-298)

Pengalaman perceraian orang tua yang dialami DCC membuatnya memiliki prinsip dalam menjalin relasi romantis dengan pasangan. DCC mengungkapkan bahwa ia tidak akan melakukan kesalahan seperti orang tuanya yang menikah karena kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga yang terpenting dalam menjalin relasi adalah tidak menghamili pasangannya, seperti ceritanya:

“Mamamu membebaskanmu menjalin hubungan?” “Bebas sih bebas sih tapi cuman ya kalau buat yang serius yang seagamakan katanye yang seagama tapi kan ya udah, mungkin yang paling utama bagi gua itu sih jangan kebablasan aja kan ada tuh ada pas kapan-kapan itu J itu nginap gitukan trus dia kayak takut gitukan gua ngapa-ngapain aneh-aneh gitukan ya udah tapi udah lebih dari setahun dua tahun kayak pas J nginap apa gitu ya biasa aja karna setahun dua tahun [tertawa] ga ada indikator yang aneh-aneh gitukan” (DCC (23), 275-281)

DCC menganggap bahwa hamil sebelum pernikahan adalah hal yang memalukan. Orang tua DCC juga pernah memberi pesan padanya untuk tidak melakukan kesalahan yang sama seperti mereka, selain itu

Ibu juga berpesan untuk memilih pasangan yang memiliki agama yang sama.

d. Pandangan Relasi Heteroseksual

Dalam memandang relasi heteroseksual, DCC berpendapat bahwa relasi heteroseksual adalah relasi yang sudah seharusnya dijalani bagi pria dan wanita. Tampak dalam ungkapannya:

“Apa kamu sudah pernah mendengar relasi hetero dan homo? Sudah Pandanganmu?”

“Heteroseksual ya emang kodratnya manusia ya pasangan cowok cewek ya maksudnya heteroseksual udah seharusnya” (DCC (23), 709-710)

Dokumen terkait