PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KERUGIAN
PERSEROAN DALAM SELF DEALING
(Analisis Terhadap Putusan Perkara Perdata
Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL)
TESIS
Oleh
M. FADLI HABIBIE
087005085/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Fiduciary duty merupakan hubungan kepercayaan antara direktur dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direktur hanya berkedudukan sebagai trustee semata, dan dituntut kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik (good faith), dan loyalitas (duty of loyality) terhadap perseroan dengan derajat yang tinggi (high degree). Dalam menjalankan perseroan, direksi sebagai organ didalamnya seringkali mengambil keputusan yang spekulatif dan bertendensi untuk mengalami kerugian, bisa saja dikarenakan ada hal-hal genting yang harus segera diambil untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian atau sebaliknya dapat membawa keuntungan bagi perseroan jika diambil tindakan cepat dan tepat. Bagaimanapun keputusan direksi harus dihormati karena direksi adalah orang yang memahami betul dan berpengalaman dibidangnya, dan mengenai perlindungan atas tindakan tersebut dilindungi oleh Business Judgement Rule. Namun disisi lain ada juga direksi yang mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan dalam transaksi, hal ini tentunya menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) antara kepentingan pribadi direksi (trustee) dan kepentingan perusahaan (beneficiary). Jika hal tersebut terjadi maka segala kerugian yang timbul akibat transaksi tersebut ditanggung oleh pribadi direksi tersebut.
Jenis penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif artinya cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk membatasi studi kepada suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif.
Putusan Perkara Perdata Nomor 305/Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel adalah sebagai contoh kasus yang diambil, dimana seorang direksi bagian investasi melakukan Self Dealing Transaction secara langsung dengan merekayasa pembelian Promissory Note yang telah default atau gagal bayar yang dibuat dengan menerbitkan Promissory Note baru sehingga seolah-olah tidak ada kesalahan dalam transaksi itu. Dalam transaksi tersebut dengan jelas terlihat sebuah tindakan kecurangan (fraud) yang direksi lakukan serta tidak ada itikad baik karena mengorbankan PT Sigma Batara sebagai perusahaan yang dipimpinnya untuk membeli Promissory Note yang default milik PT.CBE dari tangan Indover Bank. Dengan tindakan self dealing tersebut mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban pribadi dikarenakan kegagalan melaksanakan duty of care dan dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty. Sejalan dengan hal itu PN. Jaksel memutuskan Direksi yang bersangkutan bersalah dan dibebankan pertanggungjawaban secara pribadi.
ABSTRACT
Fiduciary duty is a trust-based relationship between a director and the company under his supervision which makes the director holds a position as a trustee only and has high degree duty of care and skill, good faith, and loyalty toward the company. In managing the company, a director, as one of the organs of the company, often makes a speculative decision which tends to inflict loss to the company or he does it because there is a very important action to take to save the company from the loss inflicted or he needs to take the action because the quick and exact action can bring benefit to the company. However, the decision made by the director must be respected because the director is a person who knows much and is well-experienced in his field, and this director’s action is protected by the Business Judgment Rules. But, on the other hands, there is also the director who takes the chance to get benefit in a transaction. This condition results in conflict of interest between the personal interest of the director (trustee) and the interest of company (beneficiary). If this happens, all of the losses inflicted by the transaction will be personally born by the director.
This thesis is based on a normative legal study which tends to use secondary data in the forms of primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were obtained through an analytical descriptive study which described the real-life situation or condition of the problems of this study to limit the study to an analysis or a classification without directly testing the hypothesis and theories used. This descriptive data collection was done through normative juridical approach.
The decision of Civil Case No. 305/Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel is a sample case taken for this thesis in which the investment director directly did a Self Dealing Transaction by engineering the purchase of default or failed to pay Promissory Note by issuing a new Promissory Note that it seems that the transaction has no mistake. In the transaction, a cheating (fraud) done by the director is clearly seen and there is no good faith because it is done by scarifying PT Sigma Batara, the company under his supervision, through the purchase of the default Promissory Note belonged to PT. CBE through Indover Bank. This self-dealing action results in a personal responsibility because of his failure to implement his duty of care and automatically, it becomes a violation of fiduciary duty. Based on this condition, the Jakarta Selatan’s court of first instance decided that the director himself is guilty and must be personally responsible for it.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Wr, Wb.
Alhamdulillah, Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas waktu serta kesehatan yang
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dalam bentuk
Tesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Selawat dan
salam penulis sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabat-sahabatnya.
Adapun Judul Tesis penulis mengenai “Pertanggungjawaban Direksi Terhadap
Perseroan Dalam Self Dealing (Analisis Terhadap Putusan Perkara Perdata Nomor:
305/Pdt.G/1998/PN.Jak.Sel)”. Penyelesaian tesis ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing
maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu. DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A (K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada
Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
untuk meneyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
sebagai Ketua Komisi Pembimbing tesis ini yang telah memberikan bantuan
pembenahan substansi penelitian tesis ini sehingga tesis ini dapat selesai tepat
pada waktunya
4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum
Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
Anggota Komisi Pembimbing tesis ini yang telah memberikan bantuan yang
sangat besar dalam tesis ini dengan segala maukan dan arahan sehingga tesis ini
dapat selesai tepat pada waktunya.
5. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing
tesis ini yang telah memberikan masukan dan saran dalam tesis ini sehingga tesis
ini dapat selesai tepat pada waktunya.
6. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Penguji dalam tesis ini yang telah
memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyempurnaannya.
7. Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum selaku Penguji dalam tesis ini yang telah
memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyempurnaannya.
8. Para Guru Besar dan seluruh Civitas Akademika Sekolah Program Pasca Sarjana
Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan membantu di dalam perkuliahan hingga penulis dapat
9. Kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
khususnya kepada Orang Tua Penulis Tercinta, Ayahanda Bapak Drs. H. M.
Subandi Bsc dan Ibunda Dra. Hj. Nur Ramlah atas segala daya dan upaya yang
telah mendidik, memberikan dukungan dan doa nya sejak perkuliahan hingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
10.Kepada Sahabat-sahabat Terbaikku Agung Y SH, Radian Alfin SH, Mirvan A SH,
Ipda M.S. Fuady, Ipda Dwi Hatmoko, Ipda Candra P., Ipda Adhi P., Ipda Oscar S.,
Ipda Alvin, Rony SE, Demma SH, Sahat SH, Hendry SH dan sahabat-sahabat
lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, Semua memberikan
kontribusi dari pemikiran, saran, support, dan sampai kepada membantu persiapan
Sidang Meja Hijau.
11.Kepada Bapak, Ibu Dosen, Staf dan Pegawai Pasca Sarjana Fakultas Hukum USU
yang telah banyak memberi bantuan dalam proses perkuliahan samapai dengan
penulis menamatkan kuliahnya di Pasca sarjana Fakultas Hukum USU.
Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang
berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan,
untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti
selanjutnya agar penelitian ini selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan
bermanfaat bagi pengemabanagn ilmu pengetahuan. Semoga Allah memberikan berkah,
hidayah dan karunia kepada kita semua. Amin.
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Medan, Agustus 2010
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I Indentitas Pribadi
Nama Lengkap : M. Fadli Habibie
Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 01 Februari 1987
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jl. Karya Bakti No. 99
II Keluarga
Nama Ayah : Drs. H. M. Subandi BSc
Nama Ibu : Dra. Hj. Nur Ramlah
III Pendidikan
SD : Tahun 1992 -1998
SD Muhammadiyah- Medan
SMP : Tahun 1998-2001
SMP Dharma Pancasila- Medan
SMA : Tahun 2001-2004
SMA Negeri I Medan
Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2004- 2008
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2008-2010
DAFTAR ISI
A B S T R A K … … … i
ABSTRACT...………ii
KATA PENGANTAR………iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...vi
D A F T A R I S I … … … . . . … … … v i i BAB I : PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang………... 1
B. Perumusan Masalah………... 10
C. Tujuan Penelitian………... 11
D. Manfaat Penelitian………... 11
E. Keaslian Penelitian……….… 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi………... 12
1. Kerangka Teori………. 12
2. Kerangka Konsepsi………... 21
G. Metode Penelitian………. 25
1. Pendekatan Penelitian………... 25
2. Sumber Data………... 26
3. Teknik Pengumpulan Data ………. 26
4. Analisis Data ……….. 27
BAB II : PENGATURAN SELF DEALING DALAM HUKUM PERUSAHAAN DI INDONESIA………... 28
A. Self Dealing dalam Sejarah Hukum Perusahaan di Indonesia. ……… 28
B. Pengaturan Self Dealing di Amerika ………. 34
BAB III : KRITERIA YANG DAPAT MENJERAT DIREKSI AGAR MEMPERTANGGUNGJAWABKAN
KERUGIAN PERUSAHAAN SECARA PRIBADI... 47
A. Tugas dan Tanggung Jawab yang Diberikan Kepada Direksi... 47
1. Tugas dan Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007... 47
2. Fiduciary Duty Sebagai Amanah yang Diberikan Kepada Direksi....………. 53
B. Coorporate Oportunity…….……… 57
C. Kriteria yang dapat Menjerat Direksi agar Mempertanggungjawabkan Kerugian Perusahaan secara Pribadi ….……….……… 61
BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PUTUSAN PERDATA NO 305 / PDT.G / 1998 / PN.JAK.SEL…………...… 81
A. Perseroan Terbatas dan Prinsip keterbatasan Tanggung Jawab... 81
B. Pengaturan Kewajiban Direksi di dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 90
C. Putusan Perdata No. 305/PDT.G/1998/PN. JAKSEL 1. Duduk Perkara ... 96
2. Pertimbangan Hakim ... 102
D. Analisis Hukum ... 108
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN……….... 112
A. Kesimpulan………... 112
B. Saran………. 114
ABSTRAK
Fiduciary duty merupakan hubungan kepercayaan antara direktur dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direktur hanya berkedudukan sebagai trustee semata, dan dituntut kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik (good faith), dan loyalitas (duty of loyality) terhadap perseroan dengan derajat yang tinggi (high degree). Dalam menjalankan perseroan, direksi sebagai organ didalamnya seringkali mengambil keputusan yang spekulatif dan bertendensi untuk mengalami kerugian, bisa saja dikarenakan ada hal-hal genting yang harus segera diambil untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian atau sebaliknya dapat membawa keuntungan bagi perseroan jika diambil tindakan cepat dan tepat. Bagaimanapun keputusan direksi harus dihormati karena direksi adalah orang yang memahami betul dan berpengalaman dibidangnya, dan mengenai perlindungan atas tindakan tersebut dilindungi oleh Business Judgement Rule. Namun disisi lain ada juga direksi yang mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan dalam transaksi, hal ini tentunya menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) antara kepentingan pribadi direksi (trustee) dan kepentingan perusahaan (beneficiary). Jika hal tersebut terjadi maka segala kerugian yang timbul akibat transaksi tersebut ditanggung oleh pribadi direksi tersebut.
Jenis penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif artinya cenderung menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk membatasi studi kepada suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif.
Putusan Perkara Perdata Nomor 305/Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel adalah sebagai contoh kasus yang diambil, dimana seorang direksi bagian investasi melakukan Self Dealing Transaction secara langsung dengan merekayasa pembelian Promissory Note yang telah default atau gagal bayar yang dibuat dengan menerbitkan Promissory Note baru sehingga seolah-olah tidak ada kesalahan dalam transaksi itu. Dalam transaksi tersebut dengan jelas terlihat sebuah tindakan kecurangan (fraud) yang direksi lakukan serta tidak ada itikad baik karena mengorbankan PT Sigma Batara sebagai perusahaan yang dipimpinnya untuk membeli Promissory Note yang default milik PT.CBE dari tangan Indover Bank. Dengan tindakan self dealing tersebut mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban pribadi dikarenakan kegagalan melaksanakan duty of care dan dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty. Sejalan dengan hal itu PN. Jaksel memutuskan Direksi yang bersangkutan bersalah dan dibebankan pertanggungjawaban secara pribadi.
ABSTRACT
Fiduciary duty is a trust-based relationship between a director and the company under his supervision which makes the director holds a position as a trustee only and has high degree duty of care and skill, good faith, and loyalty toward the company. In managing the company, a director, as one of the organs of the company, often makes a speculative decision which tends to inflict loss to the company or he does it because there is a very important action to take to save the company from the loss inflicted or he needs to take the action because the quick and exact action can bring benefit to the company. However, the decision made by the director must be respected because the director is a person who knows much and is well-experienced in his field, and this director’s action is protected by the Business Judgment Rules. But, on the other hands, there is also the director who takes the chance to get benefit in a transaction. This condition results in conflict of interest between the personal interest of the director (trustee) and the interest of company (beneficiary). If this happens, all of the losses inflicted by the transaction will be personally born by the director.
This thesis is based on a normative legal study which tends to use secondary data in the forms of primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were obtained through an analytical descriptive study which described the real-life situation or condition of the problems of this study to limit the study to an analysis or a classification without directly testing the hypothesis and theories used. This descriptive data collection was done through normative juridical approach.
The decision of Civil Case No. 305/Pdt.G/1998/Pn.Jak Sel is a sample case taken for this thesis in which the investment director directly did a Self Dealing Transaction by engineering the purchase of default or failed to pay Promissory Note by issuing a new Promissory Note that it seems that the transaction has no mistake. In the transaction, a cheating (fraud) done by the director is clearly seen and there is no good faith because it is done by scarifying PT Sigma Batara, the company under his supervision, through the purchase of the default Promissory Note belonged to PT. CBE through Indover Bank. This self-dealing action results in a personal responsibility because of his failure to implement his duty of care and automatically, it becomes a violation of fiduciary duty. Based on this condition, the Jakarta Selatan’s court of first instance decided that the director himself is guilty and must be personally responsible for it.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perseroan memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional. Banyak
masyarakat yang mengambil badan hukum ini sebagai pilihan dalam menjalankan
usahanya dikarenakan pertanggungjawaban terbatas yang dimiliki oleh badan hukum ini.
Peraturan perundang-undangan tentang perseroan terbatas (untuk selanjutnya disebut
perseroan) telah beberapa kali mengalami perubahan, hingga terakhir kalinya diatur
dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. Perubahan peraturan ini bertujuan
mengakomodasikan kebutuhan masyarakat akan pengaturan badan usaha dengan bentuk
perseroan terbatas.1
Perseroan merupakan suatu badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban
seperti halnya manusia dan oleh karenanya dapat mengadakan suatu hubungan hukum
serta merupakan subjek hukum yang mandiri (Person Standi in Judicio). Sebagai subjek
hukum yang mandiri, badan hukum Perseroan dianggap sama dengan manusia biasa yang
secara hukum dapat digugat dan menggugat, memberikan kuasa, membuat perjanjian,
mengatur kehidupannya sendiri, mempunyai utang piutang serta kekayaan tersendiri
layaknya manusia biasa. 2 Perseroan terbatas juga memberikan kemudahan bagi
1
Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT), (Jakarta : Visimedia, 2009), hal 9
2
pemegang saham untuk mengalihkan sebagian ataupun menjual perusahaannya kepada
setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut.3
Berdasarkan UUPT Nomor 40 Tahun 2007, Pasal 1 ayat (1) dapat diketahui bahwa
perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang
ini serta peraturan pelaksanaannya.
Sebagai badan hukum, perseroan memiliki status, kedudukan dan kewenangan
yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut artificial legal person, maka
ia tidak memiliki kehendak dan tidak dapat bertindak sendiri, Oleh karena itu diperlukan
orang-orang yang memiliki kehendak untuk perseroan sesuai tujuan pendiriannya.
Orang-orang yang menjalankan, mengurus dan mengawasi perseroan inilah yang disebut organ.
Sebagaimana layaknya manusia, perseroan juga memiliki organ, hanya saja organ
perseroan hanya tiga, yaitu Rapat Umum Pemegang Sahan (RUPS), Direksi dan Dewan
Komisaris.4
Direksi adalah organ perseroan pemegang kekuasaan eksekutif di perseroan.
Direksi mengendalikan operasi perseroan sehari-hari dalam batas-batas yang ditetapkan
oleh UUPT, anggaran dasar dan RUPS serta di bawah pengawasan dewan komisaris.
Tugas dan fungsi utama direksi adalah menjalankan roda manajemen perseroan secara
menyeluruh. Dengan demikian, setiap anggota direksi haruslah orang yang berwatak baik,
berpengalaman, mempunyai kompetensi menduduki jabatan dan melaksanakan setiap
3
Sentosa Sembiring, Hukum Perusahan tentang Perseroan Terbatas, (Bandung : Nuansa Aulia, 2006), hal 1
4
kegiatan semata-mata untuk kepentingan perseroan.5 Ketidak-transparanan direksi dalam
hal mengambil keputusan dan cenderung mengambil keuntungan adalah hal yang sering
terjadi di dalam suatu perusahaan. Krisis Moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia
pada tahun 1997 memperlihatkan bukti itu. Perusahaan-perusahaan besar yang dulu
begitu kuat, ternyata hancur oleh sistem pengelolaan yang tidak baik, misalnya
penggunaan dana untuk investasi jangka panjang sementara dana itu diperlukan
perusahaan untuk kegiatan jangka pendek, pengucuran dana yang berlebihan kepada
perusahaan yang dalam satu kelompok.6
UUPT mendefinisikan Direksi dalam Pasal 1 angka 5 yakni direksi sebagai organ
perseoan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar. Sedangkan untuk menjalankan tugasnya terdapat dalam Pasal 97 ayat (1), yang
menyatakan bahwa:
“Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 92 ayat (1)”7
Dalam hal ini perseroan akan tetap terus diwakili oleh Direksi, keberadaan
direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan, tidak mungkin suatu
perseroan tanpa adanya direksi, oleh karena itu, keberadaan direksi dalam perseroan
5
Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia. (Jakarta : Gloria Printing, 2002) Hal 129
6
M. Irsan Nasaruddin- Indah Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta : Preneda Media, 2004), hal 244.
7
terbatas sangat penting.8 Direksi dengan perseroan (korporasi) sebagai badan hukum
terdapat hubungan fiduciary9 sehingga pihak direksi hanya bertindak seperti seorang
trustee atau agen semata yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan dengan
sebaik-baiknya kepada perseroan. Dalam UUPT hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (2)
“Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap
anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”
Dalam menjalankan tugasnya direksi harus memperhatikan beberapa
prinsip-prinsip tanggung jawab direksi dalam menjalankan perseroan yakni duty of skill and care
(prinsip kehati-hatian dalam tindakan direksi), duty of loyalty (itikad baik dari direksi
semata-mata demi tujuan perseroan) dan no secret profit rule doctrine of corporate
opportunity (tidak menggunakan kesempatan pribadi atas kesempatan milik atau
peruntukan bagi perseroan) serta memiliki tugas-tugas dan kewajiban yang berdasarkan
undang-undang (statutory duty).10
Prinsip-prinsip manajemen perseroan yang baik (Good Corporate Governance)
juga merupakan tugas direksi yang harus dikembangkan olehnya dalam kepengurusan
perseroan. Hal yang paling relevan dengan pengembangan sistem dan manajemen
8
Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, keberadaan, tugas, wewenang, dan tangung jawab, (Jakarta : Ghalia, 2008), hal. 40
9
Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.
http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/pertanggungjawaban -direksi diakses tanggal 27 Mei 2010
10
perseroan adalah akuntabilitas dari perseroan itu sendiri. Berdasarkan prinsip tersebut,
masing-masing komponen perusahaan, pemegang saham melalui lembaga RUPS,
komisaris, dan direksi dituntut untuk mengerti dengan baik hak dan kewajiban,
kewenangan, serta tanggung jawabnya.11 Dengan kata lain Lembaga RUPS merupakan
lembaga yang dapat digunakan oleh komponen perusahaan dan pemegang saham untuk
mengetahui bagaimana kinerja dari direksi mereka.12
Dengan demikian, direksi dan komisaris akan selalu menjaga profesionalismenya
dalam mengamankan investasi dan asset perusahaan yang diamanatkan oleh pemegang
saham khususnya dan stake holder pada umumnya. direksi juga dapat dan perlu untuk
membuat mekanisme pengawasan internal bagi perseroan, yang meliputi bidang-bidang
manajemen perusahaan pada umumnya, seperti keuangan, produksi, operasional dan
marketing. Sementara itu, komisaris juga dituntut untuk harus terus menjaga
kebijakan-kebijakan dalam keputusan direksi dan memberikan masukan-masukan untuk
menghindari kesalahan manajemen serta penyalahgunaan wewenang oleh direksi dan
karyawan dalam perseroan.
11
Ibid, hal 122
12
Adapun tanggung jawab direksi dalam kaitannya dengan RUPS pada umumnya adalah merupakan sebagian tugas dan wewenang direksi perseroan, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. karena tugas dan wewenang setiap anggota Direksi serta besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan oleh RUPS, dan Direksi itu sendiri diangkat dan diberhentikan oleh RUPS, maka Direksi bertanggung jawab kepada RUPS untuk memberikan laporan pertanggungjawaban mengenai segala pelaksanaan tugas dan wewenangnya terhadap perseroan.
2. direksi wajib dan bertanggung jawab untuk membuat risalah RUPS.
3. direksi bertanggung jawab melaksanakan pemanggilan dan penyelenggaraan RUPS tahunan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban seperti yang diatus dalam UUPT dan untuk kepentingan perseroan berwenang menyelenggarakan RUPS lainnya.
4. menjalankan semua keputusan RUPS yang telah disahkan pada rapat.
5. direksi wajib memberitahukan hasil keputusan RUPS kepada para pemegang saham.
6. direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang, seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan.
7. direksi wajib mengadakan dan meminta persetujuan RUPS untuk perubahan anggaran dasar, penambahan modal perseroan, penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pembubaran perseroan.
Dalam praktik, masih banyak perusahaan besar yang tetap diatur oleh pemilik.
Penempatan Direktur atau Komisaris yang masih bertalian keluarga atau sahabat karib
dari pemegang saham merupakan konsekuensi dari keengganan pemilik untuk melepas
sepenuhnya kendali perusahaan.13 Mengingat pentingnya peran direksi, maka sebagian
besar perseroan yang baru didirikan, jabatan direksi biasanya dipegang oleh pemilik
modal atau keluarganya, kecuali untuk perseroan-perseroan yang telah go public ataupun
telah cukup lama berkembang sehingga diperlukan tenaga-tenaga professional untuk
menanganinya.
Dalam menjalankan tugasnya tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh direksi
dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh
perseroan. Sepanjang bertindak sesuai apa yang ditentukan dalam anggaran dasar
perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan
direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan direksi yang merugikan perseroan,
yang dilakukannya diluar batas dan kewenangan yang diberikan atau bahkan sesuatu
yang dilakukannya demi kepentingan dirinya sendiri maka atas tindakan tersebut pribadi
direksi dapat dimintakan pertanggung jawabannya.
Direksi dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di
luar pengadilan.14 Tanggung jawab terhadap kerugian perseroan ini dapat ditujukan baik
terhadap perseroan itu sendiri, tiap-tiap pemegang saham atau kreditor dalam hal
terjadinya kepailitan perseroan. Dalam konteks yang demikian berarti baik perseroan,
pemegang saham ataupun kreditor yang dirugikan sebagai akibat berkurangnya harta
13
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktik, Buku Kesatu, cetakan Ketiga, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), , hal 52 (selanjutnya disebut Munir Fuady I)
14
kekayaan perseroan karena tidak adanya itikad baik direksi yang terjadi sebagai akibat
kesalahan atau kelalaiannya dalam bertindak, berbuat atau mengambil keputusan, berhak
untuk menggugat direksi. Ketentuan selanjutnya diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT
menyatakan bahwa “ Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.
Dalam menjalankan sebuah perusahaan seringkali direksi sebagai sebagai organ
didalamnya mengambil keputusan bisnis yang seringkali spekulatif dan bertendensi untuk
mengalami kerugian, bisa saja dikarenakan ada hal-hal genting yang harus segera diambil
untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian yang lebih besar atau sebaliknya dapat
membawa keuntungan besar bagi perusahaan jika diambil tindakan cepat yang tepat,
karena bagaimanapun keputusan direksi harus dihormati oleh semua pihak bahkan
pengadilan, sebab mereka adalah orang-orang yang memang mengerti dan
berpengalaman dibidang bisnisnya, terutama masalah yang kompleks, karena itu direksi
patut diberikan diskresi yang besar, mereka yang berpengalaman dan mempunyai
pengetahuan bisnis tentunya adalah pihak direksi.15
Disisi lain ada juga direktur yang disela-sela kegentingan tersebut juga
mengambil keuntungan pribadi didalamnya, dengan kata lain bukan untuk perusahaan,
oleh karena itu disinilah pentingnya standar mengenai pertanggungjawaban untuk dapat
melihat keputusan bisnis manakah yang diambil sesuai dengan prosedur demi
kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan si
direktur itu sendiri. Tanpa adanya standar yang jelas mengenai pertanggungjawaban
15
direksi maka dikhawatirkan direksi tidak akan berani mengambil keputusan bisnis. Hal
ini bertentangan dengan posisi perusahaan sebagai risk taker sehingga secara tidak
langsung akan menghentikan continuous improvement dari perusahaan itu sendiri. Atas
latar belakang itu pengadilan yang menganut sistem hukum common law
mengembangkan konsep business judgement rule yang dimaksudkan untuk melindungi
direksi dan karyawan hanya yang beritikad baik, dari pertanggungjawaban secara pribadi
akibat keputusan bisnis yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.
Tentu saja tidak semua keputusan dan kebijakan direksi dapat berlindung dengan
alasan pertimbangan bisnis sehingga dapat berlindung dalam business judgement rule,
walaupun business judgement rule merupakan penyeimbang prinsip fiduciary duty. Di
Amerika Serikat, menurut Sutan Remy bahwa setelah beliau mempelajari
putusan-putusan di Amerika, ternyata pengadilan-pengadilan itu tidak seragam dalam
merumuskan pengecualian-pengecualian hal tersebut. Beberapa pengadilan berpendapat
bahwa pertimbangan anggota direksi tidak dapat diganggu guugat kecuali apabila
pertimbangan tersebut didasarkan atas sutau kecurangan (fraud), atau menimbulkan
benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan melanggar hukum
(illegality). Sementara beberapa pengadilan lain berpendapat bahwa, seorang direktur
yang mengambil alih pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan, tidak
dilindungi oleh business judgement rule, jika kerugian tersebut sebagai akibat kelalaian
berat anggota direksi bersangkutan.16
Dipandang secara sekilas hukum perseroan mengisyaratkan bahwa direksi harus
mengelola perseroan dengan kehati-hatian (care) yang semestinya sebagaimana halnya
16
para pengemudi harus mengendarai mobilnya dengan penuh kehati-hatian.17 Direksi tidak
boleh mengambil kesempatan menguntungkan yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan
dan mengambil tindakan yang mengakibatkan benturan kepentingan dengan membuat
tindakan sepihak (self dealing). Jika hal tersebut terjadi maka kerugian yang timbul dalam
keputusan atau tindakan tersebut merupakan tanggung jawab pribadi direksi. Dalam
UUPT Nomor 40 tahun 2007, tidak ada secara khusus mengenai pengaturan hal tersebut
diatas namun secara tersirat terdapat dalam Pasal 97 ayat (3) yaitu;
“Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”
Selanjutnya yang dimaksudkan pada ayat 2 Pasal 97 ayat (3) UUPT tersebut yakni
berisi tentang kewajiban direksi yang harus melaksanakan pengurusan dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain jika direksi melakukan sesuatu yang tidak
beritikad baik yakni dengan melakukan self dealing maka ia bisa dikatakan bersalah dan
lalai dalam menjalankan tugasnya maka kerugian yang timbul ditanggung secara pribadi
oleh direksi.
Berbeda dengan di Indonesia Negara-negara common law telah ada klasifikasi
dari itikad baik tersebut, adapun yang dimaksud dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab di Negara-negara yang menganut sistem hukum common law yakni dengan tidak
melakukan hal-hal seperti menghadiri rapat-rapat, tidak mempelajari hal-hal mendasar
dari bisnis perseroan dipimpinnya, tidak membaca laporan-laporan, tidak berupaya
meminta bantuan yang diperlukan ketika telah ada isyarat mengenai datangnya bahaya
17
terhadap perseroan, atau telah mengabaikan kewajiban untuk melakukan tindakan dengan
berhati-hati. Sehubungan dengan hal ini, sistem hukum common law telah mengecam dan
memperingatkan para anggota direksi perseroan untuk jangan hanya menjadi direksi
boneka, yaitu hanya menjadi pajangan saja di dalam perseroan.18
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, sebagai akibat dari tindakan direksi
yang merugikan perseroan, maka perseroan dapat menggugat direksi tersebut untuk
bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang telah ditimbulkannya. Untuk
membahas mengenai pertanggungjawaban pribadi direksi atas kerugian perseroan yang
akan diteliti dalam tesis ini, maka penulis melakukan analisis terhadap putusan perkara
perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL antara PT. Sigma Batara melawan Mantan
direksi Indover Bank, dimana perseroan yang bergerak dibidang perdagangan efek,
penjamin emisi dan manajer investasi mengajukan gugatan terhadap mantan direksinya
yang telah melakukan tindakan sepihak (self dealing) yang merugikan perseroan dengan
membeli surat utang (prommisory note) yang telah jatuh tempo dan gagal bayar (default)
yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, dapatlah dirumuskan
beberapa pokok permasalahan dalam tesis ini, yaitu:
1. Bagaimana pengaturan self dealing dalam hukum perusahaan di Indonesia?
2. Bagaimana kriteria yang dapat menjerat direksi agar mempertanggungjawabkan
kerugian perusahaan secara pribadi?
18
3. Bagaimana pertanggungjawaban direksi dalam transaksi Self Dealing pada Putusan
Perkara Perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL.?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan self dealing dalam hukum perusahaan di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui kriteria yang dapat menjerat direksi agar
mempertanggungjawabkan kerugian perusahaan secara pribadi
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban direksi dalam transaksi Self Dealing
pada Putusan Perkara Perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL.
D. Manfaat Penelitian
Diharapkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, baik bersifat
teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1. Bersifat Teoritis
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi
pengembangan keilmuan, khususnya ilmu hukum perusahaan dan hukum ekonomi pada
umumnya. Juga diharapkan menambah khasanah kepustakaan yang berkaitan dengan
2. Bersifat Praktis
Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi, agar dapat lebih
mengetahui dan memahami tentang Pertanggungjawaban pribadi direksi atas kerugian
perseroan, serta memberi masukan kepada setiap orang yang merupakan anggota direksi
agar lebih professional dan berhati-hati dalam melakukan pengurusan perseroan.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada yang terdapat di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui penelitian mengenai bahasan yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban direksi sudah ada, tetapi pembahasan mengenai
self dealing belum pernah dilakukan oleh karena itu Pertanggungjawaban Direksi
Terhadap Kerugian Perseroan Dalam Self Dealing belum pernah dilakukan dalam topik
dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan
implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori
Untuk mengetahui tentang Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kerugian
Perseroan Dalam Self Dealing didasarkan kepada teori yang saling berkaitan maksudnya
19
Dalam kaitan teori yang dipergunakan dalam penulisan ini berawal dengan teori
pengaruh manajerial (managerial influence theory), dimana perkembangan tentang
pengaturan self dealing adalah sebagai akibat dari berkembangnya pemikiran-pemikiran
yang lebih memihak kepada manajemen perseroan yang merupakan pelaku self dealing
tersebut. Di mulai pada hak perorangan yang lahir dari perjanjian dalam mendirikan
Badan Hukum yang berbentuk PT. Pasal 1 ayat 1 UUPT Nomor 40 Tahun 2007
menyatakan bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan
hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan mewakili persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Hak dan kewajiban tiap
anggota badan hukum ditetapkan dalam peraturan-peraturan yang menjadikan badan
hukum atau perkumpulan tersebut didirikan atau diakui, menurut akta pendirian sendiri,
perjanjian sendiri, atau peraturan perundang-undangan. Para anggota badan hukum
sebagai perseorangan tidak bertanggung jawab atas perjanjian-perjanjian
perkumpulannya. Semua hutang perkumpulan itu hanya dapat dilunasi dengan harta
benda perkumpulan. 20 Dengan kata lain pertanggungjawaban tersebut adalah
pertanggungjawaban terbatas atau tanggung jawab terbatas berkaitan dengan tindakan
pengurus, pemegang saham maupun perseroan terbatas itu sendiri. Jadi makna terbatas itu
sekaligus mengandung arti keterbatasan, baik dari sudut perseroan terbatas, penanam
19
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta : Andi, 2006), hal 6
20
modal maupun pengurus perseroan terbatas. Oleh karena itulah tanggung jawab terbatas
mengandung arti penting sebagai umpan pendorong agar orang bersedia ikut serta
menanamkan modal. Jadi dengan pertanggungjawaban terbatas itu sudah dapat
diramalkan seberapa besar maksimal resiko kerugian yang mungkin diderita.21
Tugas dan tanggung jawab melakukan pengurusan sehari-hari perseroan untuk
kepentingan perseroan dilimpahkan dengan menunjuk direksi sebagai agen dari perseroan
yang dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun luar
pengadilan. Direksi dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan
tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.22
Dalam sistem common law hal tersebut dikenal dengan prinsip fiduciary duties,
dimana direktur telah mengikatkan diri dengan atau kepada perseroan untuk bertindak
dengan itikad baik (bonafide) untuk kemanfaatan atau keuntungan perseroan. Segala hak
dan kewajiban yang diberikan kepada direktur harus dijalankan untuk memajukan
perseroan. Jadi, terdapat relasi integral antara kepentingan perseroan dengan itikad baik
yang kedua-duanya harus dijalankan, dengan kata lain secara kumulatif bukan
21
Rudhy Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal 12 (selanjutnya disebut Rudhy Prasetya I)
22
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, direksi harus bertolak dari landassan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip, yaitu : pertama, kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (Fiduciary Duty), dan kedua, prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill and care).
alternatif.23 Direksi dapat digugat secara pribadi kepengadilan negeri jika perseroan
mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannya.24
Prinsip-prinsip manajemen perseroan yang baik, yang telah diakomodasi dalam
ketentuan-ketentuan undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tersirat dalam Pasal 97 ayat
(2) UUPT ini bahwa anggota direksi Wajib melaksanakan tugasnya dengan iktikad baik
(in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab (an withful sense of resposibility).
Direksi tidak boleh mengambil kesempatan menguntungkan yang seharusnya dimiliki
oleh perusahaan dan mengambil tindakan yang mengakibatkan benturan kepentingan
dengan membuat tindakan sepihak (self dealing). Di Indonesia tidak ada pengaturan
secara khusus mengenai hal ini namun hanya tesirat dalam ketentuan selanjutnya yakni
diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa “ Setiap anggota direksi
bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Berkaitan dengan hal tersebut apabila direksi
ternyata terbukti bersalah karena sengaja atau lalai dalam menjalankan kewajiban
fiduciary duty25 –nya tersebut, maka terhadap kerugian yang diderita perseroan,
perseroan berhak untuk menuntutnya dari direksi tersebut.26
23
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening juncto UU No. 4 Tahun 1998, (Pustaka Utama Grafiti : Jakarta), 2002, hal 425
24
Frans Satrio Wicaksono, Op. cit., hal 119
25
Fiduciary berasal dari akar bahasa latin yaitu fides yang berarti faith (kepercayaan). Benny S. Tabalajuan dan Valerie Du Toit-low,1997, seperti dikutip oleh Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) , hal 39
26
Hal ini berkaitan dengan Prinsip Tanggung Jawab Direktur atau yang sering
disebut dengan Fiduciary Duty. 27 Prinsip ini meletakkan direktur sebagai trustee dalam
pengertian hukum trust, sehingga seorang direktur haruslah mempunyai kepedulian dan
kemampuan (Duty of Care dan Duty of Loyality), itikad baik, loyalitas dan kejujuran
terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (High Degree).28
Dalam hal kelalaian tersebut, prinsip fiduciary duty oleh direksi ini dikembangkan
sampai batas –batas tertentu dan diterapkan pula terhadap beberapa pihak lain dalam
perseroan, jika terdapat unsur kelalaian dan pelampauan wewenang yang diberikan
padanya maka kerugian yang diderita pihak ketiga bukan menjadi tanggungjawab
perseroan, melainkan menjadi tanggung jawab pribadi direksi seluruhnya. Sebaliknya,
direksi tidak bertanggungjawab secara pribadi kepada pihak ketiga, seandainya dapat
membuktikan bahwa direksi telah menjalankan kepengurusan dan perwakilan perseroan
dengan sebaik-baiknya dengan batas wewenang yang diberikan anggaran dasar. Dalam
hal demikian, perseroanlah yang memikul tanggung jawab atas segala akibat hukum dari
perikatan perseroan yang dilakukan dengan pihak ketiga dan direksi terbebas dari
tanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga yang telah melakukan perikatan
dengan perseroan.29
Namun dalam ketentuan undang-undang tersebut hanya menjelaskan tanggung
jawab direksi secara umum berdasarkan hubungan kepercayaan (fiduciary of
27
. Prinsip ini ditemukan dan dielaborasi oleh Court of Chancery pada sekitar abad 18-19 untuk menjamin bahwa orang yang memegang aset atau menjalankan fungsi dalam kapitasnya sebagai perwakilan untuk kepentingan orang lain berlaku dengan itikad baik dan secara konsisten melindungi kepentingan dari orang yang diwakilinya
28
. Munir Fuady, Perseroan Terbatas- Paradigma Baru, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal 81.(selanjutnya disebut Munir Fuady III)
29
relationship) antara direksi dan perseroan. Jika diperjelas lebih dalam, fiduciary of
relationship tersebut mengandung tiga faktor penting, yaitu:
1. prinsip kehati-hatian dalam bertindak bagi direksi (duty of skill and care);
2. prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung
jawab perseroan (duty of loyality); dan
3. prinsip tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu kesempatan yang
sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan (no secret profit
rule-doctrine of corporate opportunity)30
Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan
kekhawatiran yang mendalam bagi para direktur untuk mengambil keputusan bisnisnya.
Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi direktur untuk mengambil sebuah keputusan yang
bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha.
Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan
perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, direktur tersebut
melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para direktur yang
beritikad baik tersebut maka muncul Teori Business Judgement Rule yang merupakan
salah satu teori yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang
mempunyai itikad baik.
Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan,
khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu
keputusan bisnis. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, berdasarkan Business Judgement Rule,
pertimbangan bisnis para anggota direksi tidak dapat ditantang atau diganggu gugat atau
ditolak, baik oleh pengadilan maupun pemegang saham. Para anggota direksi tidak dapat
30
dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu
pertimbangan bisnis oleh anggota direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu
keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu, kemudian disebutkan juga bahwa hal tersebut
prinsipnya mencegah campur tangan judisial terhadap tindakan direksi yang didasari
iktikad baik dan kehati-hatian dalam rangka mencapai tujuan perusahaan yang sah
menurut hukum.31
Dalam Ilmu hukum Teori Business Judgement Rule diartikan sebagai aplikasi
spesifik dari standar tingkah laku direktur pada sebuah situasi dimana setelah
pemeriksaan secara wajar, Direktur yang tidak mempunyai kepentingan pribadi
menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya
bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan perusahaan.
Menurut Hukum Common Law direktur akan bertanggung jawab secara pribadi jika
dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar tertentu. misalnya: Direktur
dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau menyalahgunakan dana perusahaan,
juga akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia mengisukan sebagai saham yang
disetor penuh padahal secara faktual saham tersebut belum disetor sama sekali,
disamping itu menurut hukum Common Law (di Amerika Serikat) tanggung jawab
direktur secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, akan
tetapi untuk dibebankan tanggung jawab direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal
berikut ini terhadap perusahaannya,yakni32:
a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau
31
Jamin Ginting, Hukum Perseroan Terbatas ( UU No. 40 Tahun 2007), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal 119
32
b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau
c. ikut dalam berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut
Terhadap transaksi yang di lakukan atas nama dewan direksi, dalam keadaan
tertentu di Amerika Serikat seseorang direktur bahkan bertanggung jawab secara pribadi
sungguhpun dia berkeberatan dengan voting untuk menolaknya. menurut RMBCA Pasal
8.24(d), seorang direktur dipresumsi menyetujui terhadap perbuatan dewan direksi dan
karenanya harus bertanggung jawab secara hukum,kecuali dia voting untuk menolaknya
dan penolakannya dicatat menurut cara-cara yang tertentu.
Pengadilan-Pengadilan Amerika Serikat cukup berhati-hati dalam mencari
keseimbangan, dimana salah satu pihak menyalahkan direktur yang berbuat tidak layak
untuk perusahaannya yakni bertentangan dengan prinsip “duty of care” tetapi di lain
pihak pengadilan tidak layak jika tidak terlalu jauh mencampuri dan/atau menilai
kebijaksanaan yang telah di lakukan oleh direktur. Dengan perkataan lain pengadilan
tidak akan second guess terhadap keputusan bisnis yang telah diambil oleh direktur,
sungguhpun keputusan direktur tersebut jelas-jelas tidak tepat (clear mistakes) yang lebih
sering disebut (honest mistakes) kecuali terhadap beberapa pengecualiannya. inilah yang
sering disebut dengan sebutan “Business Judgement Rule”.33
Business Judgement Rule ini sering juga diterapkan terhadap kasus-kasus yang
berhubungan dengan kebijaksanaan dan pembagian deviden, berarti umumnya pengadilan
33
dalam hal ini tidak akan meninjau kembali segala keputusan direktur terhadap hal
tersebut. Business Judgement Rule disini mengandung unsur “reasonable deligence”34
Ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT menggambarkan dengan jelas makna dari
itikad baik (good faith) dan prinsip kehati-hatian (due care) dalam businesss judgment
rule bagi setiap anggota Direksi. Setiap pembuktian yang secara tegas dan jelas
menyatakan bahwa direksi telah melanggar fiduciary duty atau telah melakukan kelalaian
berat (gross negligence), kecurangan (fraud), hal-hal yang di dalamnya memiliki unsur
atau menerbitkan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan
yang melanggar hukum (illegality), maka prinsip business judgment rule tidak lagi
melindungi direksi secara keseluruhan. Dengan aturan Pasal 97 ayat (4) UUPT, tanggung
jawab tersebut menjadi tanggung jawab renteng bagi seluruh anggota direksi. Jadi bagi
anggota direksi yang ingin lepas dari tanggung jawab renteng ataupun tanggung jawab
pribadi direksi tersebut maka ia harus dapat membuktikan sebaliknya, bahwa :
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
a t a s t i n d a k a n p e n g u r u s a n m e n g a k i b a t k a n k e r u g i a n ; d a n
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut. 35
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka penulis melakukan analisis terhadap
putusan perkara perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL, dimana perseroan yang
34
Ibid
35
bergerak dibidang perdagangan efek, penjamin emisi dan manajer investasi mengajukan
gugatan terhadap mantan direksinya yang telah melakukan tindakan sepihak (self
dealing) yang merugikan perseroan dengan membeli surat utang (prommisory note) yang
telah jatuh tempo dan gagal bayar (default). Pelanggaran prinsip fiduciary duty dalam
melakukan pengurusan perseroan dimana direksi melakukan sebuah kecurangan (fraud),
sehingga seorang direksi yang mempunyai duty of care dan duty of loyality terhadap
perseroan melakukan self dealing dimana pada saat itu kepentingan keuangan secara
potensial bertentangan dengan kepentingan perseroan.
2. Kerangka Konsepsi
Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, maka
untuk menghindari terjadinya salah tafsir dalam penelitian dan untuk menyamakan
persepsi maka perlu penulis kemukakan beberapa konsep yang mengandung:
1.
P.T adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.36
2. Badan Hukum adalah suatu badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari
anggota-anggotanya, dianggap sebagai subjek hukum mempunyai
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai tanggung jawab
dan memiliki hak-hak serta kewajiban seperti yang dimiliki oleh seseorang.
Pribadi hukum ini memiliki kekayaan tersendiri, mempunyai pengurus atau
36
pengelola dan dapat bertindak sendiri sebagai pihak di dalam suatu
perjanjian.37
3. Pertanggungjawaban adalah Perbuatan bertanggung jawab (berkewajiban
menanggung; memikul tangung jawab)38
4. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan
Komisaris.39
5. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah
Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.40
6. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwewenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan perseroan, baik di dalam
maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.41
7. Fiduciary Duty adalah tugas yang dijalankan oleh Direktur dengan penuh
tanggung jawab untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain
(perseroan).42 Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary
menyatakan bahwa: “fiduciary duty, a duty to act for someone else’s benefit,
while subordinating one’s personal interest to that of the other person. It’s
the hignest standars of duty implied by law”43 artinya : suatu tindakan untuk
37
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata, (Jakarta ; Rajawali, 1983) hal 51
38
http://www.sms-anda.com/indonesia/kamus/indonesia. diakses tanggal 31 Mei 2010
39
Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 40 Tahun 2007
40
Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 40 Tahun 2007
41
Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 40 Tahun 2007
42
Munir Fuady II, hal 33
43
dan atas nama orang lain, di mana seseorang mewakili kepentingan orang lain
yang merupakan standar tertinggi dalam hukum.
8. Business Judgment Rule adalah aturan yang memberikan kekebalan atau
perlindungan bagi manajemen perseroan dari setiap tanggung jawab yang
lahir sebagai akibat dari transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya
sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan
kepadanya, dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut telah dilakukan
dengan memperhatikan standar kehati-hatian dan itikad baik.44
9. Self Dealing adalah suatu keadaan dimana seorang pengambil keputusan dan
perusahaan berada pada sisi yang berlawanan didalam sebuah transaksi
tersebut atau dengan kata lain pengambil keputusan itu membantu
mempengaruhi pengambilan keputusan perusahaan untuk memasuki atau
menerima transaksi tersebut. “Ketika seorang pemegang kepercayaan
memasuki sebuah transaksi dimana dalam transaksi itu kondisi perusahaan
dalam kondisi yang tidak wajar, maka adalah sama halnya dengan ia
merampas transaksi wajar dan nilai transaksi milik perusahaan yang
bersangkutan”45
10.Conflict of Interest adalah suatu keadaan ketika kepentingan pribadi
perseroan bercampur dengan kepentingan dari perusahaan. Situasi benturan
tersebut dapat timbul ketika pegawai, pemimpin atau direktur mengambil
tindakan atau mempunyai keinginan yang dapat membuat hambatan dalam
keobjektifan dan keefektifan berlangsungnya kegiatan perusahaan. Benturan
44
GunawanWidjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, (Jakarta; Forum Sahabat, 2008), hal 66
45
kepentingan juga dapat timbul ketika pegawai, pemimpin atau direktur atau
keluarga dari mereka menerima keuntungan pribadi sebagai hasil dari posisi
mereka di perusahaan. 46 Perbuatan atau tindakan dalam mengambil
keputusan dimana terdapat unsur benturan kepentingan antara para pihak
dalam pengambilan keputusan.47
11.Tanggung Jawab Pribadi Direksi adalah keadaan dimana direksi tidak
melakukan fiduciary duty dalam kepemimpinannya sehingga merugikan
perseroan dan pemegang saham, dan dalam hal ini ukuran saham tidak lagi
sebagai patokan batasan nilai tanggung jawab tersebut, sehingga harta-harta
milik pribadi direksi dapat juga terikut untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya.48
12.corporate opportunity adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa seorang
direktur, komisaris atau pegawai perseroan lainnya ataupun pemegang saham
utama, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari
keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut
sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan
dalam menjalankan bisnisnya itu Dengan demikian, manakala tindakan
tersebut merupakan kesempatan (opportunity) bagi perseroan dalam
menjalankan bisnisnya, direksi tidak boleh mengambil kesempatan tersebut
untuk kepentingan pribadinya.49
46
http://www.lee.net/governance/code.pdf. Diakses tanggal 22 Agustus 2010
47
Gunawan Wijaya, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hal 32
48
M. Yahya harahap, Hukum Perseroan terbatas (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), hal 383
49
G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif artinya ini cenderung
menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan
yang berkaitan dengan pertanggungjawaban direksi sebagai organ perseroan misalnya
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bahan hukum
sekunder yaitu pandangan para ahli hukum khususnya dibidang perseroan terbatas Bahan
hukum tersier atau bahan penunjang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus
hukum jurnal ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat
dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.
Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang
bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau
keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk
membatasi studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa
secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. Pengumpulan
data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan
melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap
asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
2. Sumber Data
Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari
penelitian kepustakaan (library research), penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara
mengumpulkan data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih
dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang
bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan
bahasan terhadap masalah yang dihadapi selanjutnya dikumpulkan dan dipelajari
beberapa tulisan yang berhubungan topik tesis ini.
3. Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian
kepustakaan (library research).
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:50
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa undang-undang dan peraturan-peraturan
yang terkait dengan Pertanggungjawaban Pribadi Direksi Atas Kerugian
Perseroan. Dalam hal ini khususnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer ,51seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan
ilmiah lainnya, bahan dokumen pribadi berupa pendapat pakar hukum yang erat
kaitamnya dengan objek penelitian.
50
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal 88
51
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun
sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus
hukum.52 Surat kabar, internet, serta majalah mingguan juga dapat menjadi
bahan dalam penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang berkaitan
dengan objek penelitian.
4. Analisis Data
Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian tersebut selanjutnya diteliti kembali
sehingga diperoleh bahan hukum yang mempunyai kaedah-kaedah hukum yang mengatur
tentang Pertanggungjawaban Pribadi Direksi dalam self dealing. Kemudian bahan hukum
tersebut disesuaikan sehingga dapat dihasilkan klasifikasi yang sejalan dengan
permasalahan tentang Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kerugian Perseroan dalam
Self Dealing. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif
kualitatif untuk sampai pada suatu kesimpulan. Diharapkan melalui penelitian ini dapat
diperoleh gambaran yang lebih jelas lagi mengenai bagaimana pertanggungjawaban
Direksi Perseroan sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang asas-asas
hukum atau kaedah-kaedah hukum guna penyempurnaan ataupun penyesuaian
pengaturan mengenai Pertanggungjawaban Pribadi Direksi Terhadap Kerugian Perseroan.
52
BAB II
PENGATURAN SELF DEALING DALAM HUKUM PERUSAHAAN DI INDONESIA
A. Self Dealing dalam Sejarah Hukum Perusahaan di Indonesia
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 telah menggantikan Undang-Undang No. 1
Tahun 1995, sebelum tahun 1995, pengaturan perseroan terbatas dimuat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang berasal dari Belanda dan diperlakukan
di Indonesia tahun 1848.53
Tanggung jawab pemegang saham dan direktur menurut Undang-Undang
Perseroan Terbatas masih relevan karena bunyi ketentuannya tidak berubah sejak
berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan kemudian digantikan
oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1995.54
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan
bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan
yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan
melebihi saham yang dimiliki. Ayat (2), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku apabila :
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
53
R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1972) Hal 10.
54
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
hutang perseroan.
Pasal 3 ayat (2b) Undang-Undang No 40 tahun 2007 ini yang menyatakan bahwa
pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad
buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi sama dengan maksud dari
Pasal 3 ayat (2b) Undang-Undang No. 1 tahun 1995. Hal ini meunjukkan telah lama ada
pengaturan yang walaupun hanya tersirat mengenai transaksi yang berkaitan dengan
kepentingan pribadi.
Transaksi self dealing adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh direksi secara
pribadi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan yang
dipimpinnya sebagai pihak lawan transaksi. Transaksi untuk pribadi ini merupakan
perwujudan dari transaksi yang melekat kepentingan (interested transaction) oleh direksi
suatu perseroan yang merupakan suatu transaksi yang dilakukan oleh direksi (langsung
atau tidak langsung) dengan perseroan itu sendiri.
Transaksi self dealing yang tidak langsung misalnya : 55
1. Transaksi antara anggota famili dari direksi dengan perseroan.
2. Transaksi antara 2 (dua) perseroan dengan direksi yang sama.
3. Transaksi antara perseroan dengan perseroan lain di dalam perusahaan mana
pihak direksi mempunyai kepentingan financial tertentu
4. Transaksi antara perusahaan holding dengan anak perusahaan.
55