• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN SELF DEALING DALAM HUKUM

A. Self Dealing dalam Sejarah Hukum Perusahaan d

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 telah menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, sebelum tahun 1995, pengaturan perseroan terbatas dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang berasal dari Belanda dan diperlakukan di Indonesia tahun 1848.53

Tanggung jawab pemegang saham dan direktur menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas masih relevan karena bunyi ketentuannya tidak berubah sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1995.54

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ayat (2), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila :

a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi; c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

53

R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1972) Hal 10.

54

Erman Rajagukguk, Pengelolaan Perusahaan yang Baik : Tanggung Jawab Pemegang saham, Komisaris dan Direksi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26. No 3- Tahun 2007

d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.

Pasal 3 ayat (2b) Undang-Undang No 40 tahun 2007 ini yang menyatakan bahwa pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi sama dengan maksud dari Pasal 3 ayat (2b) Undang-Undang No. 1 tahun 1995. Hal ini meunjukkan telah lama ada pengaturan yang walaupun hanya tersirat mengenai transaksi yang berkaitan dengan kepentingan pribadi.

Transaksi self dealing adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh direksi secara pribadi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan yang dipimpinnya sebagai pihak lawan transaksi. Transaksi untuk pribadi ini merupakan perwujudan dari transaksi yang melekat kepentingan (interested transaction) oleh direksi suatu perseroan yang merupakan suatu transaksi yang dilakukan oleh direksi (langsung atau tidak langsung) dengan perseroan itu sendiri.

Transaksi self dealing yang tidak langsung misalnya : 55

1. Transaksi antara anggota famili dari direksi dengan perseroan. 2. Transaksi antara 2 (dua) perseroan dengan direksi yang sama.

3. Transaksi antara perseroan dengan perseroan lain di dalam perusahaan mana pihak direksi mempunyai kepentingan financial tertentu

4. Transaksi antara perusahaan holding dengan anak perusahaan.

55

Transaksi untuk pribadi (self dealing) ini dikatakan bahwa pihak direksi memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perseroan. Transaksi self dealing, yakni transaksi antara perseroan dengan direksi yang dalam sejarah semula dilarang by definition, kemudian dalam perkembangannya mulai dipilah-pilah. Di banyak negara, transaksi self dealing ini dibebankan kewajiban disclosure ke pundak direksi yang berbenturan kepentingan. Karena transaksi self dealing yang tidak layak betentangan dengan kewajiban (fiduciary duty) dari direksi, maka hukum membebankan kewajiban pribadi kepada direksi yang melakukan deal tersebut. Karena itu agar diperkenankan oleh hukum, maka transaksi self dealing tersebut haruslah dilakukan secara fair bagi perseroan, tidak mengandung unsur-unsur penipuan, atau ketidakadilan dan untuk transaksi tertentu dibebankan kewajiban disclosure kepada masyarakat, bahkan bagi perusahaan terbuka, ketentuan hukum di Indonesia selangkah lebih maju, yakni dengan dibebankannya kewajiban persetujuan rapat umum pemegang independen.56

Contoh dari transaksi self dealing yang di dalamnya terdapat benturan kepentingan adalah penjualan aset perseroan kepada pribadi direksi atau kepada salah satu anggota keluarga dari direksi. Umumnya konsekuensi hukum dari transaksi self dealing adalah berupa pertanggungjawaban pribadi dari direksi yang bersangkutan. Karena transaksi self dealing termasuk ke dalam transaksi yang berbenturan kepentingan yakni, dalam transaksi tersebut terdapat kepentingan dari pihak direksi, padahal lawan dari transaksi tersebut adalah perseroan, maka adalah lumrah saja jika transaksi tersebut sangat rentan terhadap akibat tidak fair bagi perseroan. Karena itu, kalaupun transaksi seperti itu diperkenankan, haruslah dibuktikan secara nyata bahwa transaksi tersebut tetap layak dan dilakukan secara fair dan businesslike. Jadi jika menyangkut dengan harga

56

transaksi, harga tersebut tetap harga yang layak tanpa adanya tindakan mark up atau mark down. Karena itu, fokus pengadilan dalam transaksi self dealing tetap kepada fair atau tidaknya trransaksi yang dilakukan oleh direksi tersebut. Dengan demikian, khusus dalam hal transaksi self dealing tidak berlaku doktrin business judgement rule, yang ada pada prinsipnya mengajarkan bahwa pengadilan tidak ikut campur untuk menilai atau melakukan secondguess terhadap kebijaksanaan bisnis dari direksi perseroan.57

Seperti telah disebutkan bahwa pengaturan terhadap transaksi self dealing adalah dimaksudkan sebagai suatu langkah operasionalisasi dari doktrin hukum perseroan bahwa seorang direksi tidak boleh mengambil keuntungan secara pribadi dari perseroan yang belum tentu dirugikan. Namun prinsip hukum ini tidak berlaku mutlak bahkan sering kontroversial. Karena itu, mencari unsur pribadi tersebut akhirnya menimbulkan berbagai teori dan doktrin hukum yang dikaitkan dengan faktor sebagai berikut 58:

1. Pelanggaran total (flat prohibition) terhadap transaksi self dealing.

2. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara fair dan disetujui oleh mayoritas direksi independent.

3. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan pengadilan menganggapnya bahwa transaksi tersebut telah dilakukan secara fair.

4. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara fair atau disetujui oleh mayoritas pemegang saham independent yang telah diinformasikan secara layak (well informed)

57

Ibid, hal 208

58

Sejarah perkembangan hukum tentang transaksi self dealing ini terefleksi dari perkembangannya dalam sejarah hukum di Amerika serikat. Di sana pengaturan hukum tentang transaksi self dealing ini berkembang dalam empat tahap sebagai berikut:59 Tahap I : sejak Tahun 1880

Dalam tahap pertama ini semua kontrak self dealing disamaratakan. Yakni semua kontrak self dealing—by defenition—dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah kontrak tersebut fair atau tidak.

Tahap II: sejak Tahun 1890

Perkembangan doktrin self dealing dalam tahap kedua ini adalah bahwa suatu kontrak self dealing dapat dibenarkan manakala memenuhi kedua syarat sebagai berikut:

1. disetujui oleh mayoritas direksi yang tidak berbenturan kepentingan, dan 2. transaksi tersebut tidak mengandung unsur-unsur ketidakadilan (unfairness)

dan penipuan (fraudlent).

Akan tetapi manakala dalam kontrak tersebut mayoritas direksi memiliki kepentingan, maka kontrak self dealing tersebut—by defenition—dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah kontrakn tersebut fair atau tidak.

Tahap III: sejak Tahun 1960

Dalam tahap ini suatu kontrak self dealing oleh hukum umumnya dianggap sah kecuali di dalamnya mengandung unsur ketidakadilan.

Tahap IV: sejak Tahun 1975

Dalam tahap ini suatu kontrak self dealing dianggap sah manakala terpenuhi salah satu di antara 3 (tiga) unsur sebagai berikut:

59

1. Transaksi tersebut adil dan layak (just dan reasonable), atau

2. disetujui oleh mayoritas direksi yang tidak berbenturan kepentingan, atau 3. diratifikasi oleh pemegang saham yang tidak berbenturan kepentingan.

Pengaturan seperti yang dikembangkan di tahap keempat ini misalnya diberlakukan oleh Undang-undang Perseroan (corporate act) California Tahun 1975, melalui Pasal 310.

Dengan demikian, dalam sejarah hukum perseroan terjadi perkembangan dari prinsip hukum tentang self dealing yang tegas bahkan kaku, yakni yang melarang atau dapat dibatalkan terhadap semua transaksi self dealing, berkembang kepada ketentuan yang lebih relaks. Perkembangan dalam sejarah seperti ini terjadi karena berkembangnya beberapa teori hukum perseroan sebagai berikut:60

1. Teori Pengaruh manajerial

Menurut teori manajerial(managerial influence theory), maka perkembangan sejarah tentang pengaturan self dealing ini adalah sebagai akibat dari berkembangnya pemikiran-pemikiran yang lebih memihak kepada manajemen perseroan yang merupakan pelaku self dealing tersebut. Menurut teori ini, pihak-pihak pengadilan dan legislatif terpesona dalam cengkraman pihak manajer perseroan.

2. Teori Perubahan Sistem Hukum dan Perilaku Sosial

Teori kedua ini menjelaskan adanya perubahan aturan hukum dalam sejarah dari larangan secara mutlak dan rigid terhadap transaksi self dealing kepada aturan hukum dan sejarah yang menjurus kepada sistem hukum dan perilaku sosial yang lebih mengarah kepada adanya sistem hukum yang lebih permisif dan fleksibel untuk disesuaikan dengan keadaan, situasi dan kondisi kasus per kasus.

60

3. Teori Pengaruh lawyer

Teori ketiga ini menjelaskan tentang aturan main untuk self dealing dalam sejarah hukum perseroan berkembang dari sistem larangan secara kaku kepada sistem yang lebih relaks dan fleksibel adalah karena adanya pengaruh dari pihak lawyer yang menyerukan agar kasus-kasus self dealing diuji di pengadilan yang tentu diajukan oleh lawyer, sehingga dengan aturan yang fleksibel, menyebabkan lebih banyak pekerjaan bagi pengadilan yang tentunya bertambah banyaknya pekerjaan dari lawyer.

4. Teori Pengaruh hakim /Pengadilan

Teori ini berasal dari pengadilan yang mulai menyadari bahwa adakalanya transaksi self dealing bukan berbahaya melainkan jutru diperlukan oleh perseroan. Mengakui transaksi self dealing secara selektif ini jauh lebih sesuai dengan kebutuhan daripada melarangnya secara mutlak dengan berpegang secara kaku kepada posisi trustee dengan hubungan fiduciary dari direksi perseroan.

Dokumen terkait