• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gordang Sambilan (Video etnografi tentang penggunaannya ditengah-tengah masyarakat Mandailing di kota Medan).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gordang Sambilan (Video etnografi tentang penggunaannya ditengah-tengah masyarakat Mandailing di kota Medan)."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan :

Nama : Ibnu Avena Matondang Nim : 030905021

Departemen : Antropologi

Judul : Gordang Sambilan (Video etnografi tentang penggunaannya ditengah-tengah masyarakat Mandailing di kota Medan)

Medan, Juni 2008

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen Antropologi

(Irwansyah Harahap, MA) (Drs. Zulkifli Lubis, MA) NIP: 132 179 221 NIP: 131 882 278

Dekan FISIP USU

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Tujuan utama penulisan skripsi ini untuk memenuhi keinginan penulis mempraktekkan ilmu yang diperoleh selain itu juga untuk memenuhi tugas akhir untuk mendapatkan gelar kesarjanaan dalam bidang Antropologi pada Universitas Sumatera Utara. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof.Dr. M Arif Nasution, MA. Selaku Dekan FISIP USU. Terima kasih kepada Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA. Selaku ketua Departemen Antropologi FISIP USU. Terima kasih penulis ucapkan kepada kepada Bapak. Irwansyah Harahap, MA. Selaku Dosen pembimbing mulai dari proposal hingga penyusunan skripsi ini, terima kasih atas kesempatan dan kepercayaan yang beliau berikan kepada penulis sebagai asisten beliau pada mata kuliah Antropologi Visual. Serta penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Nurman Achmad, M.Soc selaku Dosen wali selama penulis dalam masa perkuliahan. Ucapan terima kasih kepada Dosen-dosen Antropologi yang telah berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan.

Terima kasih untuk Prof. Bruno Nettl atas saran masukan serta bantuannya kepada penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Barry D Kass yang bersedia berbagi ilmu dan pengalaman dengan penulis.

Terima Kasih kepada seluruh informan yang telah bersedia berbagi pengalaman dan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

Kepada kedua orang tua penulis, Chairul Azhar Matondang, SH, MH dan Tetty Lisna Fauziah Harahap. Terima Kasih buat Dra. Annie Chalida Harahap. Terima Kasih kepada adik-adik penulis, Ibnu Aulia, SH dan Ichsan Syuhada serta saudaraku Rahmat Ramadhan Syahputra, Spd. Terima Kasih kepada Atina Mardhatilla Lubis, S.Sos yang telah banyak membantu penulis selama proses pengerjaan skripsi ini.

(3)

kepada Rumah Musik Suarasama atas kepercayaan dan kesempatan yang telah diberikana kepada penulis.

Terima kasih kepada kerabat Antropologi 2003 dan juga tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman komunitas Medan Photography Club serta Medan Short Movie.

Medan, Juni 2008

Penulis

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ……… i

ABSTRAK ……… ii

KATA PENGANTAR ………. iii

DAFTAR ISI ……… v

DAFTAR LAMPIRAN ……… viii

BAB I. PENDAHULUAN ……… 1

1.1 Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2 Perumusan Masalah ……… 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ……… 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ………. 7

1.4 Lokasi Penelitian ………... 8

1.5 Tinjauan Pustaka ……… 8

1.6 Metode Penelitian ……….. 16

1.6.1 Jenis Penelitian ……… 16

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ……….. 17

1.6.3 Analisis Data ………... 19

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……… 21

2.1 Sejarah Kota Medan ……… 21

2.2 Letak Lokasi dan Keadaan Alam Lokasi Penelitian ……… 23

(5)

2.2.2 Wilayah Mariendal (Sitirejo), Kecamatan Medan Amplas …… 24

2.2.3 Wilayah Sei Agul, Kecamatan Medan Barat ………. 25

2.2.4 Wilayah Bandar Selamat dan Pancing, Kecamatan Medan Tembung ……… 26

2.3 Geografis ……… 28

2.4 Visi dan Misi Kota Medan ………. 28

2.4.1 Visi Kota Medan ……… 28

2.4.2 Misi Kota Medan ……… 29

2.5 Keadaaan Penduduk ………. 30

2.6 Organisasi Masyarakat ………. 30

2.7 Keberadaan Gordang Sambilan di kota Medan ……….………... 31

BAB III. DESKRIPSI GORDANG SAMBILAN ……… 33

3.1 Latar Belakang Gordang Sambilan ……… 33

3.2 Pertunjukan Gordang Sambilan ……….. 36

3.2.1 Jenis Pertunjukan Gordang Sambilan ………. 37

3.2.2 Tahapan Pertunjukan Gordang Sambilan ………... 43

3.3 Tujuan Pertunjukan Gordang Sambilan ……….. 52

3.4 Gordang Sambilan Di Kota Medan ………..…………... 53

BAB IV. SCRIPT VIDEO ETNOGRAFI TENTANG PENGGUNAAN DAN FUNGSI GORDANG SAMBILAN DI KOTA MEDAN ... 55

4.1 Video Etnografi ………... 55

4.2 Penggunaan script video etnografi ………. 56

(6)

4.4 Script Video Etnografi Tentang Penggunaan dan Fungsi Gordang Sambilan

Di Kota Medan ……….. 58

4.4.1 Pendahuluan ………... 58

4.4.2 Bentuk Acara dan Penggunaan Gordang Sambilan …………... 59

4.4.3 Penggunaan dan Fungsi Gordang Sambilan di Kota Medan …. 60 4.4.4 Perubahan Pada Gordang Sambilan di Kota Medan …………. 64

4.4.5 Bentuk script visual etnografi sebagai bahan kerja visual antropologi ………. 66

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 71

5.1 Kesimpulan ……….. 71

5.2 Saran ……… 74

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Sumatera dan letak kota Medan

2. Peta lokasi penelitian – kecamatan di kota Medan 3. Interview Guide

4. Daftar Informan

(8)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Gordang Sambilan, Video Etnografi tentang penggunaannya ditengah-tengah masyarakat Mandailing di kota Medan.” Disusun oleh Ibnu Avena Matondang, 030905021, 2008. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 75 Halaman, dan 2 lampiran yang terdiri dari surat penunjukan dosen pembimbing, surat izin penelitian dari FISIP-USU.

Gordang Sambilan adalah salah bentuk kesenian tradisonal masyarakat Mandailing, sebagai bentuk kesenian, Gordang Sambilan memiliki ciri khas. Atas dasar ini maka penelitian terhadap kesenian Gordang Sambilan dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang penggunaan dan fungsi Gordang Sambilan di kota Medan. Untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap maka dalam penelitian ini dipergunakan media video yang merupakan bagian dari kerja antropologi visual. Proses pengumpulan data dilakukan melalui serangkaian observasi, wawancara mendalam dan dihadirkan dalam bentuk tulisan yaitu skripsi dan bentuk audio-visual yaitu video etnografi. Observasi dilakukan untuk mendapatkan pemahaman terhadap lingkungan dan menilai keadaan yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat, hanya dapat dirasakan) dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan dalam konteks penggunaan dan fungsi Gordang Sambilan. Wawancara dilakukan kepada seluruh informan tentang asal-usul, tahapan penyelenggaraan, penggunaan dan fungsi serta keterlibatan individu maupun kelompok dalam penggunaan Gordang Sambilan di kota Medan. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis secara kwalitatif.

Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa penggunaan Gordang Sambilan mengalami proses perubahan dari bentuk penggunaan tradisional kepada bentuk penggunaan hiburan. Adapun fungsi Gordang Sambilan tidak mengalami perubahan karena pada dasarnya fungsi dalam hal ini merupakan suatu hal yang menjadi dasar Gordang Sambilan. Proses perubahan terjadi karena adanya beberapa faktor yang menyebabkannya, seperti peran agama dalam adat, turut serta peran pemerintah dalam pertunjukan.

Pola hidup masyarakat kota yang kompleks serta didasari komposisi masyarakat yang heterogen telah membentuk satu varian dari penggunaan Gordang Sambilan, yaitu hiburan. Adanya pengaruh dari unsur masyarakat telah mempengaruhi perkembangan Gordang Sambilan dan menyebabkan perubahan penggunaan Gordang Sambilan.

(9)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Gordang Sambilan, Video Etnografi tentang penggunaannya ditengah-tengah masyarakat Mandailing di kota Medan.” Disusun oleh Ibnu Avena Matondang, 030905021, 2008. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 75 Halaman, dan 2 lampiran yang terdiri dari surat penunjukan dosen pembimbing, surat izin penelitian dari FISIP-USU.

Gordang Sambilan adalah salah bentuk kesenian tradisonal masyarakat Mandailing, sebagai bentuk kesenian, Gordang Sambilan memiliki ciri khas. Atas dasar ini maka penelitian terhadap kesenian Gordang Sambilan dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang penggunaan dan fungsi Gordang Sambilan di kota Medan. Untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap maka dalam penelitian ini dipergunakan media video yang merupakan bagian dari kerja antropologi visual. Proses pengumpulan data dilakukan melalui serangkaian observasi, wawancara mendalam dan dihadirkan dalam bentuk tulisan yaitu skripsi dan bentuk audio-visual yaitu video etnografi. Observasi dilakukan untuk mendapatkan pemahaman terhadap lingkungan dan menilai keadaan yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat, hanya dapat dirasakan) dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan dalam konteks penggunaan dan fungsi Gordang Sambilan. Wawancara dilakukan kepada seluruh informan tentang asal-usul, tahapan penyelenggaraan, penggunaan dan fungsi serta keterlibatan individu maupun kelompok dalam penggunaan Gordang Sambilan di kota Medan. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis secara kwalitatif.

Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa penggunaan Gordang Sambilan mengalami proses perubahan dari bentuk penggunaan tradisional kepada bentuk penggunaan hiburan. Adapun fungsi Gordang Sambilan tidak mengalami perubahan karena pada dasarnya fungsi dalam hal ini merupakan suatu hal yang menjadi dasar Gordang Sambilan. Proses perubahan terjadi karena adanya beberapa faktor yang menyebabkannya, seperti peran agama dalam adat, turut serta peran pemerintah dalam pertunjukan.

Pola hidup masyarakat kota yang kompleks serta didasari komposisi masyarakat yang heterogen telah membentuk satu varian dari penggunaan Gordang Sambilan, yaitu hiburan. Adanya pengaruh dari unsur masyarakat telah mempengaruhi perkembangan Gordang Sambilan dan menyebabkan perubahan penggunaan Gordang Sambilan.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Antropologi secara harfiah dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia beserta kebudayaannya, menurut Koentjaraningrat kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (1980:193). Dari definisi tersebut maka ilmu antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari manusia beserta segala aspek kehidupan manusia.

Antropologi visual adalah salah satu sub-ilmu dari antropologi yang mempelajari manusia dan kebudayaannya dengan perhatian terhadap bentuk penyajian data secara visual, Sejalan dengan hal tersebut ada dua fokus penting dalam kajian visual antropologi, yaitu penggunaan materi visual dalam suatu bentuk penelitian antropologi dan studi mengenai sistem visual dan budaya kasat mata/terlihat (Morphy dan Marcus, 1999:1-2). Kemunculan sub-ilmu visual antropologi menimbulkan dua golongan pendapat dalam ilmu antropologi secara umum, kedua golongan tersebut adalah golongan pertama yang memiliki pendapat bahwa visual antropologi hanyalah suatu data-subtitution (data tambahan/pelengkap) dalam penelitian antropologi, golongan kedua

adalah golongan yang berpendapat bahwa visual antropologi merupakan suatu sub-ilmu dari antropologi yang memiliki konsekuensi metodologis terhadap antropologi (Ibid, 1999:1-2).

Tulisan ini tidak memihak pada salah satu golongan pendapat mengenai visual antropologi karena penulis mencoba untuk melihat kedua hal tersebut bukan sebagai suatu perbedaan melainkan sebagai dua hal yang memiliki keterkaitan serta memiliki peran yang penting dalam penelitian.

Penggunaan visual antropologi dalam tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan penggunaan Gordang Sambilan secara menyeluruh, adapun penggunaannya adalah sebagai bentuk kesenian.

(11)

kebudayaan, kesenian memiliki peranan yang menentukan dalam suatu bentuk kebudayaan, salah satunya adalah upacara keagamaan, dalam upacara keagamaan terdapat unsur menyanyi nyanyian suci dan memainkan drama (Koentjaraningrat, 1980:393), dipandang dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan itu dinikmati, maka ada dua lapangan besar, yaitu : (1) seni rupa, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata, dan (2) seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga (Koentjaraningrat, 1980:395-396), dalam hal ini kesenian dimunculkan salah satunya dalam bentuk alat musik.

Menurut Koentjaraningrat bagi masyarakat Indonesia, pada umumnya kebudayaan adalah “kesenian”, yang bila dirumuskan, bunyinya sebagai berikut :

Kebudayaan (dalam arti kesenian) adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis, dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan pancainderanya (yaitu penglihat, penghidu, pengecap, perasa, dan pendengar) (1999:19).

Masyarakat Sumatera Utara terdiri dari enam sub-grup Batak yaitu : Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola Sipirok (Purba, 2004:60), keenam sub-grup Batak ini memiliki akar kebudayaan yang sama seperti adat istiadat dan kekerabatan, keenam sub-grup ini memiliki budaya merantau ke pusat kota dalam hal ini kota Medan, kebudayaan merantau pada keenam sub-grup masyarakat Batak ke pusat kota seperti kota Medan diawali pada masa kolonial, tepatnya ketika perkebunan-perkebunan besar dibuka di Sumatera Timur dengan pusat pemerintahan terletak di kota Medan.

Dari keenam sub-grup Batak yang menjadi pekerja perkebunan di masa kolonial Belanda ini salah satunya adalah etnis Mandailing1 yang mendapatkan keistimewaan dari pihak Sultan Deli berupa hak pakai tanah sebagai tempat tinggal para pekerja di daerah Sei Mati. Sebagai masyarakat yang melakukan perpindahan dari desa ke kota sebagai pekerja perkebunan, masyarakat Mandailing tidak serta merta melupakan kebudayaannya.

1 Etnis Mandailing adalah orang yang berasal dari Mandailing secara turun temurun dimanapun ia

(12)

Kebudayaan masyarakat Mandailing salah satunya dimunculkan dalam bentuk upacara adat yang memiliki unsur kesenian, dimana Gordang Sambilan digunakan sebagai alat musik pengiring upacara adat tersebut.

Gendang secara harfiah dapat dikatakan sebagai suatu jenis alat musik pukul, di daerah Tapanuli (Batak pada umumnya) gendang dikenal dengan berbagai macam nama, gendang yang diangkat dalam masalah ini adalah Gordang Sambilan. Gordang dapat diartikan sebagai suatu lagu dari keseluruhan musik Gordang. Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (Manortor) pada saat upacara berlangsung (http://www.silaban.net/2006/07/02/).

Gordang Sambilan yang menjadi fokus adalah penggunaan Gordang Sambilan bagi masyarakat etnik Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan, memang pada kenyataannnya banyak alat musik tradisional Mandailing lainnya namun pemilihan Gordang Sambilan menjadi fokus tulisan ini dikarenakan Gordang adalah suatu alat musik yang memiliki susunan atau formasi lengkap dalam memainkannya tidak seperti alat musik lainnya yang dapat dimainkan secara tunggal sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa gordang merupakan alat musik ritmis, ritmis dalam hal ini berarti bahwa Gordang Sambilan dalam penggunaannya berupa alat musik yang memiliki kemampuan untuk mengiringi suatu komposisi (repertoir) lagu.

Kegunaan Gordang Sambilan yang terdapat pada masyarakat Mandailing secara tradisional diperuntukkan dan hanya dimiliki serta dapat digunakan oleh raja dan keturunannya. Oleh sebab itu, Gordang Sambilan ditempatkan disebuah tempat khusus yang disebut dengan Bagas Gondang (Rumah Besar) di dekat kediaman Raja. Dalam masyarakat Mandailing, Gordang Sambilan pada dasarnya memiliki makna ganda. Secara linguistik dapat diartikan sebagai : 1. menunjukkan pada perangkat gendang yang terdiri dari sembilan buah, atau 2. sebagai suatu kesatuan antara Gordang Sambilan beserta kelengkapannya. Beberapa komposisi dalam permainan Gordang Sambilan secara tradisional diantaranya berhubungan dengan ritual maupun seremonial yang bersifat spiritual (Harahap dan Rithaony, 2004:4).

(13)

musik ternyata memiliki penggunaan yang lain yaitu sebagai suatu media ritual adat dan yang menjadi fenomena adalah penggunaan Gordang Sambilan daerah perantauan etnik Mandailing (Medan).

Gordang Sambilan menarik untuk diteliti karena pada saat sekarang ini sudah jarang sekali upacara adat Mandailing di kota Medan yang menggunakan Gordang Sambilan kalaupun ada kemungkinan Gordang tersebut telah mengalami perubahan dari bentuk dan makna aslinya, seperti jenis irama yang dibawakan, peruntukkannya serta adanya alat musik tambahan yang tidak termasuk dalam perlengkapan Gordang Sambilan secara mainstream. Makna yang terkandung dari Gordang Sambilan merupakan suatu bentuk manifestasi dari sistem kebudayaan masyarakat Mandailing, dan hal ini menjadi suatu daya tarik sendiri serta menjadi kekayaan dalam khasanah budaya Indonesia secara luas. Makna Gordang pada masyarakat Mandailing adalah sebagai suatu alat musik yang memiliki peranan penting dalam setiap kegiatan masyarakat, dalam upacara-upacara masyarakat Mandailing, Gordang selalu ada untuk mengiringi acara tersebut, seperti : kelahiran, perkawinan, kematian, dan lain lain.

Secara praktis tujuan penulisan mengenai penggunaan Gordang Sambilan suatu video etnografi pada masyarakat Mandailing di kota Medan adalah untuk melihat seberapa jauh eksistensi Gordang Sambilan (hiburan dan ritual) dalam konteks masyarakat Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan serta sebagai sebentuk kajian visual antropologi. Dalam masyarakat Mandailing sendiri Gordang Sambilan sudah mengalami pergeseran makna menjadi suatu bentuk hiburan, sedangkan pada asal mulanya Gordang adalah suatu media kesenian yang mengandung nilai-nilai ritual bagi masyarakat Mandailing sendiri.

1.2. Perumusan Masalah

(14)

Penelitian ini mencoba untuk melihat peruntukan Gordang Sambilan oleh masyarakat Mandailing kota Medan. Gordang Sambilan sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya memiliki peruntukkan yang merupakan suatu bentuk kekayaan kesenian yang juga memiliki makna yang didasarkan pada budaya masyarakat Mandailing. Gordang Sambilan pada penelitian ini dideskriptifkan secara rinci sebagai alat ritual adat dan hiburan pada masyarakat Mandailing kota Medan serta dianalisis dalam lingkup visual antropologi melalui penyajian video etnografi.

Permasalahan yang menjadi penulisan ini dapat dirumuskan dalam beberapa pernyataan penelitian, yaitu :

1. Sebagai gambaran umum pada bentuk materi yang dijadikan objek dasar, yaitu Gordang Sambilan maka, jenis atau variasi bentuk Gordang pada masyarakat Mandailing kota Medan akan dideskripsikan sebagai unsur fundamental untuk menjabarkan maksud dari penelitian ini.

2. Pemahaman terhadap Gordang Sambilan sebagai suatu media ritual adat maupun sebagai suatu sarana hiburan.

3. Penggunaan video etnografi sebagai bentuk perkembangan dalam penyajian data penelitian antropologi.

4. Penggunaan Gordang Sambilan pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, Gordang adalah suatu jenis alat musik pukul yang ada ditengah-tengah masyarakat Mandailing, Gordang sebagai salah satu alat musik pada kenyataannya memiliki fungsi dan makna didalam sistem kebudayaan masyarakat Mandailing, selain memiliki fungsi, Gordang juga memiliki makna tersendiri, tergantung dari kapan waktu pelaksanaan permainan Gordang, pada saat kapan Gordang dapat dimainkan dan sebagainya.

(15)

pembatasan diharapkan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini menjadi fokus terhadap penggunaan Gordang Sambilan dalam masyarakat Mandailing di kota medan.

Pembatasan dilakukan dengan cara hanya memasukkan suatu informasi maupun data yang didapat dilapangan maupun kepustakaan yang memiliki kaitan langsung dengan masalah penelitian.

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, permasalahan utama dari penulisan ini adalah penggunaan Gordang Sambilan oleh masyarakat Mandailing kota Medan dalam bentuk video etnografi.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan harus memiliki tujuan yang hendak dicapai dan manfaat dari penelitian tersebut, adapun yang menjadi tujuan dan manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini juga bertujuan sebagai sebentuk tulisan ilmiah dengan penggunaan video etnografi yang bermaksud untuk dapat menghadirkan suasana dan gambaran mengenai penggunaan Gordang Sambilan secara utuh dan menyeluruh.

Tujuan selanjutnya adalah untuk melihat secara keseluruhan penggunaan Gordang Sambilan bagi masyarakat Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan, hal ini ditujukan untuk melihat bagaimana penggunaan terhadap Gordang Sambilan sebagai suatu manifestasi kebudayaan Mandailing dan diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu bentuk studi antropologis.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Sebagai sebentuk penelitian, besar harapan penulis agar nantinya hasil dari penelitian dapat memberikan sumbangan nyata yang berarti bagi khalayak umum dan masyarakat Mandailing pada khususnya, secara sederhana manfaat yang diharapkan dari penelitian dan hasil penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

(16)

mendapatkan gambaran tentang penggunaan Gordang Sambilan pada masyarakat Mandailing di kota Medan secara utuh, penelitian ini melihat Gordang sebagai suatu alat musik yang memiliki nilai ritual adat dan hiburan dalam lingkup masyarakat Mandailing di kota Medan didalam penerapannya. Penelitian tentang Gordang Sambilan ini juga bermanfaat sebagai suatu yang penting, menarik dan berguna untuk melestarikan bentuk alat dan bentuk ritual adat dari penggunaan Gordang Sambilan tersebut.

Menariknya penelitian ini untuk semakin memperkokoh jatidiri masyarakat Mandailing melalui media Gordang Sambilan dengan tujuan utama agar para generasi berikutnya mengenal alat dan bentuk kesenian tradisional mengingat bentuk kesenian modern, seperti musik populer (pop, rock, dll). Peran media elektronik telah merasuk dalam penggunaan Gordang Sambilan di kota Medan, hal ini telah diungkapkan oleh Nakagawa bahwa penggunaan media elektronik dalam musik telah merasuki musik tradisional dan ditenggarai dapat merubah bentuk asli bahkan menghilangkan sama sekali bentuk musik tradisional (2000:10). Adapun manfaat penelitian ini nantinya adalah :

 Pada bidang akademis, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi penambah

khasanah penelitian bidang visual antropologi.

 Penelitian ini secara akademis diharapkan dapat memberikan sumbangan secara

nyata mengenai penggunaan video etnografi dalam studi antropologi.

 Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi suatu bahan evaluasi terhadap penelitian

yang telah ada sebelumnya mengenai Gordang Sambilan sebagai suatu ritual adat maupun sebagai suatu bentuk hiburan.

1.4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kota Medan, dengan lokasi yang dianggap merepresentasikan etnis Mandailing di kota Medan, adapun lokasi tersebut meliputi : 1. Kawasan Sei Mati, 2. Kawasan Bandar Selamat serta 3. Kawasan Simpang Limun, 4. Kawasan Sei Agul, 5. Kawasan Medan Tembung, pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan dengan didasarkan atas :

 Kota Medan merupakan pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, sehingga

kota Medan adalah bentuk kota modern yang dihuni oleh berbagai masyarakat dalam hal ini yang menjadi fokus adalah masyarakat Mandailing.

(17)

 Kawasan Bandar Selamat dan Simpang Limun, merupakan daerah pusat

transportasi antar daerah di kota Medan yang didiami oleh masyarakat Mandailing.

 Kawasan Sei Mati, secara historis kawasan ini merupakan kawasan yang didiami

oleh masyarakat Mandailing pada saat Kesultanan Deli berkuasa di Medan.

 Kawasan Medan Tembung, pada kawasan ini banyak bertempat tinggal seniman

Gordang Sambilan.

 Kawasan Sei Agul, merupakan kawasan alternatif yang didiami oleh masyarakat

Mandailing di kota Medan.

Masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini nantinya, hal ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap sebagai suatu lokasi yang mewakili keberadaan etnik Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan.

1.5. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka diperlukan untuk dapat menentukan arah dari penelitian tersebut, maka dengan adanya tinjauan pustaka diharapkan penelitian nantinya akan berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan sebelumnya. Dalam tinjauan pustaka ini akan dijelaskan secara sistematis mengenai hal-hal yang bersifat teoritik serta dapat membantu menjelaskan penelitian ini, adapun hal-hal bersifat teoritik yang akan dijelaskan secara sistematis adalah : 1. Kebudayaan, konsepsi mengenai kebudayaan yang sesuai dengan arah dan tujuan penelitian ini, 2. Penggunaan dan Fungsi, berkaitan dengan penjelasan tentang penggunaan dan fungsi Gordang Sambilan dalam konteks masyarakat kota, 3. Visual antropologi, hal ini menjelaskan tentang penggunaan sistem visual beserta budaya visual dalam mendeskripsikan Gordang Sambilan.

1. Konsepsi Kebudayaan

(18)

selanjutnya, proses transmisi ini meliputi cara pandang, cara pembuatan maupun penggunaan yang dapat diperoleh melalui tiga wujud kebudayaan yang secara singkat dapat dituliskan sebagai berikut, yaitu : - wujud ide/gagasan, - wujud sistem sosial serta wujud kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1980:201-203), ketiga wujud kebudayaan ini berjalan seiring dan berkaitan serta dalam penjelasan suatu fenomena kebudayaan ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak dapat dipisahkan manun dapat dijelaskan secara terpisah. Dari definisi dan wujud kebudayaan tersebut Gordang Sambilan dalam penelitian ini dilihat sebagai suatu bagian dari kebudayaan fisik, dalam hal ini Gordang Sambilan sebagai suatu alat musik yang memiliki keterkaitan dengan sistem sosial masyarakat Mandailing yaitu bentuk upacara adat/ritual dan hiburan, ide dan gagasan mengenai Gordang Sambilan merupakan suatu karya kognitif yang menjadi milik masyarakat Mandailing, untuk memperkuat hal ini digunakan analisis folklor, dimana folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat peraga pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1986:2), hal ini juga berlaku bagi Gordang Sambilan.

Gordang Sambilan sebagai suatu alat ritual dan hiburan pada masyarakat Mandailing merupakan salah satu jenis alat musik tradisional yang terdapat pada masyarakat Mandailing, adapun tatacara penggunaan atau saat dimainkannya gondang tersebut tergantung pada waktu dan upacara tertentu saja. Pengetahuan menjadi dasar utama untuk melihat Gordang Sambilan secara holistik sehingga semua aspek pada Gordang Sambilan dapat terungkap secara menyeluruh, seperti kegunaan Gordang Sambilan ditengah-tengah masyarakat Mandailing di kota Medan.

2. Penggunaan dan Fungsi

Penggunaan dan fungsi merupakan bagian penting dalam tinjauan pustaka, karena hal ini adalah instrumen primer dalam menjelaskan tentang Gordang Sambilan dalam konteks kota yang menjadi judul dan fokus penelitian ini.

Allan P. Merriam menjelaskan :

(19)

themselves of importance, make their most significant contribution when they are applied to broader problems of understanding of the phenomenon which has been described…to know not only what a thing is, but, more significantly, what it does for people and how it does it (1964:209).”

“Penggunaan dan fungsi dari musik mewakili salah satu dari beberapa masalah penting…tidak hanya untuk menggambarkan kenyataan tentang musik, akan tetapi, lebih penting lagi yaitu arti sesungguhnya dari musik. Proses penggambaran kenyataan tersebut, menjadikan hal ini penting, menjadikannya sebagai bagian dari masukan yang yang cukup berarti, ketika hal tersebut diaplikasikan untuk dapat menjelaskan fenomena yang digambarkan…tidak hanya untuk mengetahui hal itu saja, tetapi, lebih penting lagi, bagaimana hal tersebut (musik) buat masyarakat dan bagaimana hal tersebut bekerja.”

Secara singkat pernyataan ini dapat diartikan bahwa penggunaan dan fungsi musik merupakan suatu hal yang memuat banyak persoalan yang harus dijelaskan dan hal ini berhubungan dengan tingkah laku manusia pendukung dari musik tersebut (musik tradisional, dalam hal ini etnis Mandailing dengan Gordang Sambilan) serta segala usaha untuk mendeskripsikan bukan hanya sekedar menjelaskan musik saja melainkan juga untuk menjelaskan hubungan antara musik dan manusia agar dapat menggambarkan fenomena yang terkait, selaras dengan pernyataan ini maka Gordang Sambilan dilihat bukan hanya sekedar alat musik saja melainkan juga dilihat bagaimana Gordang Sambilan tersebut berfungsi dalam sistem sosial masyarakat Mandailing beserta dengan segala peruntukkannya. Allan P. Merriem juga menyebutkan bahwa “music may be used in a given society in a certain way, and this may be expressed directly as part of folk evaluation (1964:209)”, dengan sederhana dapat dikatakan bahwa musik memiliki kemampuan untuk memberikan bentuk atau nilai lain kepada masyarakat, dalam hal ini secara tepat diekspresikan sebagai bagian dari evaluasi masyarakat tersebut, sehingga dalam konteks penelitian ini (Gordang Sambilan) merupakan musik yang memiliki nilai dalam sistem sosial dan budaya masyarakat Mandailing, kegiatan-kegiatan upacara adat dan hiburan yang menggunakan Gordang Sambilan juga merupakan sebagai sarana evaluasi terhadap budaya Mandailing.

Secara fungsi (Function), musik dalam masyarakat adalah :

(20)

analytical point of view understanding of what music does for human beings as evaluated by the outside observer who seeks to increase his range of comprehension by this mean (Allan P Merriem, 1964:210).”

“Mempelajari sesuatu tentang nilai dari budaya dengan menganalisa teks lagu untuk melihat apa yang mereka tunjukkan (ekspresi); bagaimanapun juga, hal tersebut dilakukan dengan dasar masyarakat dan hal penting dari analisa tersebut adalah cara pandang untuk mengetahui bagaimana musik berpengaruh terhadap setiap manusia sebagai evaluasi dari peneliti yang mencari pengembangkan dari pemahaman arti (fungsi musik) tersebut.”

Musik memiliki fungsi sebagai evaluasi bagi kehidupan masyarakat dan bagaimana kelengkapan musik dianalisa sebagai fungsi sosial dalam masyarakat, hal ini bertujuan untuk melihat fungsi dari musik (Gordang Sambilan) sebagai musik yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat Mandailing, fungsi musik juga berfungsi untuk dapat menggambarkan hubungan antara musik dan kelengkapannya dengan sistem kehidupan masyarakat, gambaran ini dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman tentang arti Gordang Sambilan dan sebagai gambaran yang menyeluruh dari Gordang Sambilan.

Secara penggunaan (Use) :

“When we speak of the uses of music, we are reffering to the ways in which music is employed in human society, to the habitual practice or customary exercise of music either as a thing in itself or in conjuction with other activities…When the supplicant uses music to approach his god, he is employing a particular mechanism in conjuction with other mechanisms such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts (Allan P Merriem, 1964:210).”

“Ketika kita berbicara tentang penggunaan dari musik, kita sedang kembali kepada tatacara dimana musik dipekerjakan di masyarakat manusia, bagi praktek kebiasaan atau latihan yang biasa tentang musik baik sebagai suatu hal dengan sendirinya atau dihubungkan dengan aktivitas yang lain…Ketika permintaan penggunaan musik untuk mendekati dewanya, ia sedang memanfaatkan mekanisme tertentu dikaitkan dengan mekanisme yang lain seperti tarian, doa, upacara agama yang diorganisir, dan peraturan adat bertindak.”

(21)

musik yang memiliki keterkaitan dengan aktivitas lainnya, aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan Gordang Sambilan terbagi atas dua bagian besar, yaitu : 1. sebagai suatu ritual adat, dan 2. sebagai alat musik yang bernilai hiburan.

Penggunaan dan fungsi digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk melihat seberapa jauh penggunaan dan fungsi musik (dalam hal ini Gordang Sambilan) bagi masyarakat Mandailing yang merupakan pendukung dari kebudayaan tersebut.

Penggunaan dan fungsi dalam menerjemahkan musik sebagai suatu bagian dari sistem sosial, memiliki bagian untuk dapat menjelaskannya, adapun bagian-bagian tersebut adalah :

“1. The function of aesthetic enjoyment, 2. The function of entertainment, 3. The Function of communication, 4. The Function of symbolic representation, 5. The function of physical response, 6, The function of enforcing conformity to social norms, 7. The function of validation of social institutions and religious ritual, 8. The function of contribution to the continuity and stability of culture, 9. The function of contribution to the integration of society (Devereux dan La Barre dalam Allan P Merriem, 1964:221).”

“1. fungsi dari kenikmatan estetik, 2. fungsi dari pertunjukan, 3. fungsi dari komunikasi, 4. fungsi dari penyajian yang simbolis, 5. fungsi dari tanggapan secara fisik, 6. fungsi dari menguatkan penyesuaian ke norma-norma yang sosial, 7. fungsi dari pengesahan dari institusi sosial dan upacara agama yang religius, 8. fungsi dari kontribusi bagi stabilitas dan kesinambungan dari budaya, 9. fungsi dari kontribusi kepada pengintegrasian dari masyarakat.”

(22)

Kegunaan serta fungsi musik dalam kehidupan masyarakat tradisional Mandailing setidaknya dapat dibagi atas tiga kategori umum: 1. terkait dengan ritual maupun upacara spiritual loka-tradisional dan berbagai ritual adat, 2. aktifitas musik sebagai hiburan pribadi, atau penggunaan alat musik yang dipakai dalam konteks kebutuhan yang lebih bersifat hiburan sosial (social gathering); dan 3. terkait dengan lingkungan kerja (sound technology) terutama dalam konteks pertanian (Harahap dan Rithaony, 2004:4). Dari hal

ini dapat dilihat bahwa Gordang Sambilan sebagai aplikatif musik memiliki keterkaitan dengan ritual maupun upacara spiritual loka-tradisional dan berbagai ritual adat yang ada pada masyarakat Mandailing, hal ini untuk semakin menegaskan tujuan utama penelitian yaitu melihat Gordang Sambilan sebagai media ritual adat dan sebagai media hiburan semata. Kegunaan dan fungsi serta pengetahuan yang terangkum dalam Gordang Sambilan sebagai representatif ritual adat Mandailing merupakan suatu sistem simbol :

“A system of beliefs held in common by members of a collectivity…which is oriented to the evaluative integration of the collectivity, by interpretation of the empirical nature of the collectivity and of the situation in which it is placed, the processes by which it developed to its given state, the goals to which its members are collectively oriented, and their relation to the future course of events (Talcott Parsons dalam Clifford Geertz, 1973:251).”

“Suatu sistem dari kepercayaan disimpan umum oleh anggota dari suatu keseluruhan…yang mana hal sistem kepercayaan diorientasikan kepengintegrasian yang evaluatif dari keseluruhan, dengan penafsiran dari sifat empiris dari keseluruhan tentang situasi dimana hal tersebut ditempatkan, proses pengembangan status yang diberi, keberhasilan bagi anggotanya yang mana adalah secara bersama- diorientasikan, dan hubungan mereka kepada kelakuan peristiwa yang masa depan.”

(23)

3. Visual Antropologi

Visual antropologi merupakan sub-bagian dari disiplin ilmu antropologi, penggunaan dan studi visual antropologi menitikberatkan perhatian terhadap penggunaan sistem visual dan budaya visual dalam aplikatif lapangan penelitian antropologi. Secara garis terdapat dua fokus perhatian dari visual antropologi, yaitu : penggunaan materi visual dalam penelitian antropologi, kedua, visual antropologi merupakan studi mengenai sistem visual dan budaya yang terlihat (kasat mata) serta memproduksi dan menggunakan hasil dari visual antropologi (Morphy, 1999:1-2), memperjelas hal tersebut Ruby Jay mengatakan bahwa studi visual antropologi merupakan suatu usaha menganalisa dari berbagai kelengkapan dari sistem visual, menentukan kelengkapan dari sistem-sistem visual dan berbagai kondisi, meliputi : intepretasi yang terdapat didalamnya dan menghubungkan sistem-sistem tertentu kepada berbagai kerumitan dari berbagai proses sosial maupun budaya politis dimana sistem-sistem tersebut menjadi bagian didalamnya, kedua, studi visual adalah menguraikan berbagai tujuan/makna visual terhadap penyebarluasan (disseminasi) pengetahuan antropologi itu sendiri (Jay dalam Morphy, 1999:2), sejalan dengan hal tersebut penelitian ini menggunakan video etnografi yang merupakan bagian dari studi visual antropologi dengan tujuan untuk melihat Gordang Sambilan secara utuh dan menyeluruh melalui sudut pandang visual antropologi serta sebagai perkembangan ilmu antropologi dalam penggunaan sistem visual dalam studi antropologi.

Penggunaan visual antropologi memiliki konsekuensi metodologi, yaitu merekam hal yang terlihat atau fenomena yang terlihat yang memiliki data visual, dengan konsekuensi metodologi tersebut terdapat dua bagian data penting dalam visual antropologi yaitu merekam (visual recording) dan produk material dari kebudayaan (visible culture). Visual antropologi sebagai suatu jalan memberikan bentuk data lapangan secara visual, dengan maksud semakin memperkokoh kedudukan data dalam penelitian serta sebagai cara untuk memberikan gambaran lapangan penelitian secara kasat mata kepada khalayak ramai, hal ini sejalan dengan pendapat Ruby Jay yang mengatakan bahwa :

(24)

ceremonies, rituals, and artifacts situated in constructed and natural environments (Ruby Jay, 1996:1345).”

“Ilmu antropologi visual yang secara logika berasal dari kepercayaan bahwa budaya dinyatakan melalui simbol yang kelihatan ditempelkan di isyarat, upacara, upacara agama, dan artefak yang diposisikan di lingkungan dibangun dan alami.”

Berdasarkan pendapat Ruby Jay tersebut, antropologi visual dalam penelitian ini ditempatkan sebagai metode penelitian, hal ini kemudian diperkuat dengan pernyataan Howard Morphy dan Marcus Banks :

“As method, visual anthropology is in the first instance a flag, a reminder that much that is observable, much that can be learned about a culture can be recorded most effectively and comprehensively through film, photography or by drawing (1999:14).”

“Sebagai metoda, ilmu antropologi yang visual pertama adalah sebagai suatu titik pandang, suatu peringatan yang banyak memuat pengamatan, banyak yang dapat dipelajari sekitar suatu budaya dapat direkam paling secara efektif dan dengan penuh pemahaman melalui film, fotografi atau dengan gambar.”

Berdasarkan dua pendapat diatas, penelitian yang nantinya akan dilakukan adalah penelitian deskriptif yang menggunakan visual antropologi sebagai metode penelitian, sebagai konsekuensi penggunaan metode visual antropologi, data penelitian nantinya akan disajikan secara audio visual dalam lingkup antropologi.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan bersifat Deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang bermaksud menggambarkan secara terperinci Gordang Sambilan pada masyarakat Mandailing kota Medan, selain melihat Gordang sebagai suatu jenis alat musik tradisional Mandailing, juga akan melihat Gordang Sambilan sebagai suatu keseluruhan, hal ini sejalan dengan Goodenough :

(25)

describe. We have often reffered to these other things as culture, also consequently (1970:101).”

“Ketika berbicara tentang menguraikan suatu budaya, kemudian merumuskan satu standar yang akan dihadapkan pada test kritis ini adalah tujuan dari menguraikan suatu budaya. Ada banyak hal lain, juga yang terkait dengan hal tersebut, maka kita sebagai antropolog ingin mengetahui dan berusaha untuk menguraikan budaya tersebut. Kita sering masuk ke berbagai hal lain dari perihal budaya, hal ini merupakan konsekwensi dari menguraikan suatu budaya.”

Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah orientasi teoritik dalam bentuk kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif, cara-cara memainkan, cara-cara pandang, ataupun ungkapan-ungkapan emosi dari masyarakat yang diteliti mengenai makna yang ada dalam ritual adat melalui media Gordang, itu justru digunakan sebagai data dalam penelitian ini.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal mendeskripsikan tentang makna gordang sambilan pada masyarakat Mandailing, maka dilakukan penelitian lapangan sebagai suatu upaya untuk memperoleh data primer. Selain itu diperlukan juga penelitian dari berbagai sumber kepustakaan sebagai upaya untuk memperoleh data sekunder. Dalam penelitian kualitatif, untuk memperoleh data primer tersebut, metode yang digunakan adalah metode observasi atau pengamatan dan wawancara.

Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu :

(26)

Metode yang dipakai adalah observasi (partisipasi maupun non-partisipasi) observasi partisipasi membantu untuk memahami lingkungan dan menilai keadaan yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat, hanya dapat dirasakan) dengan memperhatikan kenyataan atau realitas lapangan, yang mana dalam observasi jenis ini peneliti tidak hanya sebatas melakukan pengamatan, tetapi juga ikut serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dimana penelitian ini akan dilakukan, hal ini tidak tidak terlalu sulit bagi peneliti dikarenakan peneliti merupakan penduduk kota Medan sendiri, observasi diharapkan dapat berjalan dengan baik oleh karena sebelumnya telah dilakukan pra-penelitian dan peneliti telah membangun rapport yang baik. Walaupun demikian peneliti akan berusaha berfikir secara objektif sehingga data yang diperoleh di lapangan adalah benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan.

Dalam hal perlengkapan pada saat melakukan kegiatan penelitian yang bersifat observasi non-partisipasi, digunakan kamera dan video kamera untuk mempublikasikan hal-hal penting yang dianggap mendukung penelitian. Dengan adanya kamera dan video kamera dapat memudahkan peneliti untuk menggambarkan keadaan dari masyarakat tempat penelitian berlangsung.

Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth interview) kepada beberapa informan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Informan

disini adalah para pemain-pemain gondang sebagai informan utama, para tokoh-tokoh adat dan masyarakat Mandailing lainnya sebagai informan biasa. Para pemain Gordang Sambilan adalah mereka yang secara luas mengetahui seluk beluk tentang Gordang tersebut secara menyeluruh, selain para pemain Gordang tersebut tokoh-tokoh adat dan masyarakat Mandailing dikategorikan sebagai informan untuk memperoleh pengetahuan masyarakat luas tentang makna Gordang. Besar kecilnya jumlah informan tergantung pada data yang diperoleh di lapangan.

(27)

Teknik wawancara juga dilakukan dengan cara komunikasi verbal atau langsung dengan informan utama maupun informan biasa dengan berpedoman pada interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mendapatkan data konkrit yang lebih

rinci dan mendalam. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara adalah catatan tertulis untuk mencatat bagian-bagian yang penting dari hasil wawancara dan tape recoder serta video kamera yang digunakan untuk merekam proses wawancara dalam

rangka antisipasi terhadap keabsahan data yang diperoleh ketika melakukan wawancara serta sebagai bahan video lapangan etnografi (field video ethnography).

Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi memiliki keterkaitan fungsi dengan salah satu aspek pendukung bagi keabsahan suatu penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, data sekunder dalam penelitian ini adalah :

Studi kepustakaan sebagai teknik pengumpul data selanjutnya, dimaksudkan peneliti sebagai suatu sarana pendukung untuk mencari dan mengumpulkan data dari beberapa buku dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan masalah penelitian guna lebih menambah pengertian dan wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir penelitian ini.

1.6.3. Analisis Data

Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam penelitian ini penulis berusaha untuk bersikap objektif terhadap data yang diperoleh di lapangan. Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan tersebut akan diteliti kembali atau diedit ulang, pada akhirnya kegiatan ini bertujuan untuk memeriksa kembali kelengkapan data lapangan dan hasil wawancara.

(28)
(29)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Kota Medan

Kehadiran kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan sebagai “Medan” ini menuju pada bentuk kota metropolitan. Sebagai hari lahir kota Medan adalah 1 Juli 1590, sampai saat sekarang ini usia kota Medan telah mencapai 418 tahun.

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, kota Medan berkembang dari sebuah kampung bernama Kampung Medan Putri, yang didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590-an. Guru Patimpus adalah seorang putra Karo bermerga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang putri Datuk Pulo Brayan. Dalam bahasa Karo, kata "Guru" berarti "Tabib" ataupun "Orang Pintar", kemudian kata "Pa" merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata "Timpus" berarti bundelan, bungkus, atau balut. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat diperhatikan pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan di sekitar Balai Kota Medan (http://id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 27-Desember-2007).

(30)

perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu.

Foto 1

Monumen Guru Pattimpus di persimpangan jalan Gatot Subroto, Medan. (Sumber : Ibnu Avena)

[image:30.595.212.385.146.362.2]

Keberadaan kota Medan tidak lepas dari peranan para pendatang asing yang datang ke Medan sebagai pedagang maupun lainnya, peranan Nienhuys sebagai pemilik modal perkebunan tembakau yang berkawasan di daerah Maryland telah menjadi cikal-bakal pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau telah memindahkan pusat perdagangan tembakau miliknya ke daerah Medan Putri, yang pada saat sekarang ini dikenal dengan kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan perkembangan cikal-bakal kota Medan seperti sekarang ini, sedang dijadikannya Medan menjadi ibukota dari Deli juga telah mendorong Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus ibukota Sumatera Utara.

(31)

penelitian ini, hal ini disebabkan lokasi tersebut dianggap mewakili keberadaan masyarakat Mandailing beserta dengan kelengkapan adat istiadatnya terutama kesenian Gordang Sambilan, oleh karenanya daerah tersebut menjadi lokasi penelitian.

2.2. Letak lokasi dan Keadaan alam lokasi penelitian

Letak lokasi penelitian berada pada wilayah administratif kotamadya Medan yang juga merupakan ibukota dari Sumatera Utara, secara khusus, lokasi penelitian berada pada lima lokasi penelitian, yaitu :

1. Wilayah Sei Mati, Medan Maimun

2. Wilayah Mariendal (Simpang Limun), Medan Amplas 3. Wilayah Sei Agul, Medan Barat

4. Wilayah Bandar Selamat, Medan Tembung 5. Wilayah Pancing, Medan Tembung

adapun ke-lima wilayah ini merupakan unsur keterwakilan dari masyarakat Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan. Letak lokasi dan keadaan alam yang akan dijelaskan merupakan penjelasan terhadap lima lokasi penelitian tersebut.

2.2.1. Wilayah Sei Mati, Medan Maimun

Sejarah berdirinya, munculnya daerah Sei Mati ini diawali ketika pada zaman penjajahan Belanda, maka perkebunan yang dikelola oleh Belanda memerlukan tenaga pekerja dalam mengerjakan perkebunan tersebut, oleh karena itu banyak pekerja yang berdatangan ke kota Medan, diantara para pekerja tersebut terdapat pekerja-pekerja yang berasal dari daerah Mandailing.

Seiring berjalannya waktu, maka semakin bertambah jumlah tenaga kerja yang diperlukan pada sektor perkebunan milik Belanda tersebut, hal ini juga mengakibatkan semakin bertambahnya jumlah tenaga kerja yang berasal dari daerah Mandailing, pada masa itu dikarenakan mayoritas tenaga kerja perkebunan yang berasal dari Mandailing tersebut beragama Islam, maka mereka menghadap sultan Deli, hal ini dikarenakan mereka berpendapat tentunya sultan Deli yang beragama Islam juga maka tentu akan membantu mereka. Sultan Deli kemudian memberikan pinjaman wilayah sebagai tempat tinggal para pekerja yang berasal daerah Mandailing tersebut.

(32)

berada dibawah naungan kelurahan Medan Maimun. Adapun luas kecamatan Medan Maimun adalah 2,98 km², pada tahun 2006 kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 48.995 jiwa. dan kepadatan penduduknya adalah 16.441,28 jiwa/km² (Kecamatan dalam angka, 2006).

Kecamatan Medan Maimun, Medan adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Medan Maimun berbatasan dengan Medan Polonia di sebelah barat, Medan Kota di timur, Medan Johor di selatan, dan Medan Petisah di utara.

Istana peninggalan Kesultanan Deli yang terkenal, Istana Maimun, terletak di kecamatan ini. Kecamatan ini mempunyai 6 kelurahan, yaitu :

 Sukaraja  Aur  Jati  Hamdan  Sei Mati

 Kampung Baru (http://www.pemkomedan.go.id diakses pada 25-Maret-2008).

2.2.2. Wilayah Mariendal (Simpang Limun), Kecamatan Medan Amplas Daerah Mariendal pada saat ini merupakan suatu istilah untuk menyebutkan daerah administratif kelurahan Sitirejo. Pada mulanya daerah ini merupakan pusat moda transportasi darat di kota Medan, sebagai pusat moda transportasi darat, daerah ini merupakan suatu wadah berkumpulnya masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis suku dan golongan, hal tersebut dimungkinkan karena sebagai pusat transportasi yang merupakan daerah “pintu gerbang” bagi masyarakat yang berada diluar kota Medan untuk memasuki kota Medan.

(33)

dan perkembangan tercermin dari proses migrasi yang terjadi di kota Medan, kota Medan menjanjikan kehidupan yang lebih baik.

Kecamatan Medan Amplas adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Medan Amplas berbatasan dengan Medan Johor di sebelah barat, Kabupaten Deli Serdang di timur, Kabupaten Deli Serdang di selatan, dan Medan Kota dan Medan Denai di utara.

Pada tahun 2006 kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 88.638 jiwa. Luasnya adalah 11,19 km² dan kepadatan penduduknya adalah 7.921,18 jiwa/km². Kecamatan ini mempunyai 7 kelurahan, adalah:

 Amplas  Sitirejo  Sitirejo III  Timbang Deli  Harjosari  Harjosari II  Bangun Mulia

2.2.3. Wilayah Sei Agul, Kecamatan Medan Barat

Sei Agul merupakan salah satu wilayah yang didiami oleh masyarakat Mandailing dikota Medan, pemilihan daerah ini didasarkan sebagai daerah alternatif sebagai tempat tinggal, hal ini disebabkan mayoritas penduduk masyarakat Mandailing di wilayah Sei Agul memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Profesi sebagai pedagang ini pada awalnya bermula dilakukan di Pajak Bundar1 atau sekarang ini dikenal dengan Pajak Petisah, diwilayah inilah mereka melakukan proses perdagangan dan perekonomian.

Perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Mandailing yang berdomisili di kota Medan ini adalah berdagang hasil-hasil alam, seperti sayuran, buah-buahan maupun hasil kerajinan tangan, meliputi kain, peralatan rumah tangga. Untuk mempersingkat jarak antara tempat berdagang dan wilayah tempat tinggal, maka wilayah Sei Agul dianggap sebagai wilayah yang cukup menjanjikan.

Kecamatan Medan Barat adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan,

1 Sejarah mengenai muncul dan berdirinya Pajak Bundar atau yang kini dikenal dengan Pajak Petisah

(34)

Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Medan Barat berbatasan dengan Medan Deli di sebelah barat, Medan Petisah di timur, Medan Timur di selatan, dan Medan Helvetia di utara.

Pada tahun 2006, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 86.706 jiwa. Luasnya adalah 6,82 km² dan kepadatan penduduknya adalah 12.713,49 jiwa/km².

Medan Barat adalah salah satu daerah jasa dan perniagaan di Kota Medan. Di sini ini terdapat sebuah bengkel khusus kereta api yang dimiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia Eksploitasi Sumatera Utara (PT. KAI-ESU).

Kecamatan ini mempunyai 6 kelurahan, adalah:  Glugur Kota

 Karang Berombak  Pulo Brayan Kota  Sei Agul

 Silalas  Kesawan

2.2.4. Wilayah Bandar Selamat dan Pancing, Kecamatan Medan Tembung Bandar Selamat pada perkembangannya merupakan wilayah pusat transportasi antar kota yang terdapat di kota Medan, sama hal seperti wilayah Mariendal, kecamatan Medan Amplas. Terbentuknya wilayah Bandar Selamat sebagai pusat transportasi kota Medan dipengaruhi oleh pembangunan jalan tol yang terdapat di wilayah tersebut. Kebijakan pemerintah kota Medan yang melarang kendaraan berat melintas didalam kota, memunculkan pembangunan jalan tol, untuk memudahkan perjalanan kendaraan berat yang ingin melintas di kota Medan.

(35)

masyarakat Mandailing di kota Medan.

Wilayah Pancing dalam penelitian ini juga diikutsertakan sebagai lokasi penelitian dikarenakan masyarakat Mandailing banyak mendiami wilayah ini, sama halnya seperti wilayah Sei Agul, dikarenakan wilayah ini merupakan daerah alternatif tempat tinggal, sebab lainnya adalah faktor jarak, dalam hal ini masyarakat ataupun individu Mandailing yang datang ke kota Medan dengan tujuan untuk menetap memilih jarak yang dekat dengan pusat transportasi yang menghubungkan antara tempat tinggal di kota Medan dan perwakilan transportasi serta kampong halaman mereka.

Kecamatan Medan Tembung, Medan adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan, Sumatra Utara, Indonesia. Kecamatan Medan Tembung berbatasan dengan Medan Perjuangan di sebelah barat, Kabupaten Deli Serdang di timur, Medan Denai di selatan, dan Kabupaten Deli Serdang di utara.

Pada tahun 2006, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 134.113 jiwa. Luasnya adalah 7,99 km² dan kepadatan penduduknya adalah 16.785,11 jiwa/km². Kecamatan ini mempunyai 7 kelurahan, yaitu:

 Tembung  Bandar Selamat  Indra Kasih  Sidorejo  Sidorejo Hilir  Bantan  Bantan Timur

2.3. Geografis2

Koordinat geografis kota Medan adalah 3º 30' - 3º 43' LU dan 98º 35' - 98º 44' BT. Permukaan tanahnya cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 m di atas permukaan laut.

Kota Medan berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara, sedangkan di

2 Dimulai dari bagian geografis sampai dengan organisasi masyarakat merupakan data kependudukan kota

(36)

sebelah barat, selatan dan timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Kota Medan sendiri menjadi kota induk dari beberapa kota satelit di sekitarnya seperti Kota Binjai, Lubuk Pakam, Deli Tua dan Tebing Tinggi.

Luas Kota Medan saat ini adalah 265,10 km². Sebelumnya hingga tahun 1972 Medan hanya mempunyai luas sebesar 51,32 km², namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1973 yang memperluas wilayah Kota Medan dengan mengintegrasikan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang.

2.4. Visi dan Misi Kota Medan

Untuk mewujudkan pembangunan kota Medan yang lebih terarah, terencana, menyeluruh, terpadu, realistis dan dapat dievaluasi, maka perlu dirumuskan rencana strategik sebagai broad guide line penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di kota Medan untuk lima tahun kedepan.

Rencana strategik yang ditetapkan sekaligus menjadi strategi dasar bagi kebijakan, program dan kegiatan pembangunan dan pengembangan kota, serta memberikan orientasi dan komitmen bagi penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian, di samping adanya rencana pembangunan kota yang handal, perlu adanya pengukuran capaian kinerja sebagai bentuk akuntabilitas publik guna menjamin peningkatan pelayanan umum yang diinginkan.

2.4.1. Visi Kota Medan

Pembangunan kota Medan merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu visi merupakan simpul dalam upaya menyusun rencana strategis pembangunan kota. Sebagai gambaran identitas masa depan kota Medan maka, perumusan visi itu didasarkan pada pertimbangan :

(37)

2. Masalah dan tantangan serta kebutuhan pembangunan kota Medan dalam rangka mewujudkan kemajuan kota Medan yang metropolitan.

3. Kebijakan pembangunan nasional, sektoral dan regional yang mendorong perkembangan kota Medan sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan Indonesia bagian barat.

4. Kecenderungan globalisasi dan regionalisasi.

5. Nilai-nilai luhur, norma dan budaya yang telah lama dianut seluruh warga kota Medan.

2.4.2. Misi Kota Medan

Untuk mempertegas tugas dan tanggung jawab pembangunan dari seluruh stakeholder maka visi pembangunan kota dijabarkan ke dalam misi yang jelas, terarah dan terukur. Misi ini menjelaskan tujuan dan saran yang ingin dicapai dalam pembangunan kota sehingga diharapkan seluruh stakeholder dapat mengetahui dan memahami kedudukan dan peran masing-masing masyarakat dalam pembangunan.

Adapun misi kota Medan adalah :

1. Mewujudkan percepatan pembangunan daerah pinggiran, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk kemajuan dan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat kota.

2. Mewujudkan tata pemerintahan yang lebih baik dengan birokrasi yang lebih efisien, efektif, kreatif, inovatif dan responsif.

3. Penataan kota yang ramah lingkungan berdasarkan prinsip keadilan sosial, ekonomi, budaya. Membangun dan mengembangkan pendidikan, kesehatan serta budaya daerah.

4. Meningkatkan suasana religius yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

2.5. Keadaan Penduduk

(38)

Komposisi masyarakat kota Medan yang heterogen terbagi-bagi atas beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut merupakan daerah awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di kota Medan. Perbedaan lokasi tersebut bukan merupakan gambaran penduduk yang terpecah-belah melainkan sebagai wujud persatuan etnisitas yang dimiliki setiap masyarakat di kota Medan.

Luas kota Medan yang mencapai 265,10 km² dan terdiri dari 21 daerah kecamatan yang terpecah lagi pada 155 daerah kelurahan. Kepadatan penduduk kota Medab mencapai 2.036.018 jiwa, dengan tingkat kepadatan 7.681 jiwa/km².

2.6. Organisasi Masyarakat

Dari lima wilayah penelitian yang tersebar di kota Medan, masing-masing wilayah tersebut memiliki organisasi masyarakat yang menjadi wadah persatuan masyarakat yang didasarkan oleh aspek-aspek tertentu. Dalam penelitian ini organisasi masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat Mandailing di kota Medan terdapat pada beberap organisasi masyarakat yang didasarkan oleh perkumpulan marga maupun asal daerah.

Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini, karena organisasi masyarakat merupakan kunci pembuka kepada beberapa hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun organisasi masyarakat tersebut adalah :

(39)

Gambar 2

Foto Dewan Pimpinan Daerah – HIKMA – Sumatera Utara (Sumber : Ibnu Avena)

2. IKANAS, adalah organisasi masyarakat yang didasarkan pada marga Nasution, organisasi ini tidak saja beranggotakan marga Nasution melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan pada organisasi.

3. Organisasi lainnya, pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan kepada garis keturunan yang didasarkan pada marga ataupun tempat asal (daerah Mandailing).

2.7. Keberadaan Gordang Sambilan di Kota Medan

Kota Medan sebagai pusat pemerintahan Sumatera Utara terdiri dari berbagai suku yang mendiami wilayah tersebut, adapun salah satu suku yang turut mendiami wilayah kota Medan adalah suku Mandailing, keberadaan suku Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan secara langsung telah mempengaruhi komposisi masyarakat kota Medan.

(40)

BAB III

DESKRIPSI GORDANG SAMBILAN

3.1. Latar Belakang Gordang Sambilan

Gordang Sambilan secara harfiah berarti sembilan buah gendang. Sembilan buah gendang yang terkait dengan instrumen musik lainnya, pengertian Gordang Sambilan merupakan penjelasan yang mencakup keseluruhan ensambel Gordang Sambilan termasuk gong, simbal, dan alat musik tiup masyarakat Mandailing. Pengertian secara harfiah ini sejalan dengan pendapat Edi Nasution “Perkataan gondang mengandung beberapa arti: (1) alat musik; (2) nama lagu atau repertoar; (3) komposisi musik; (4) jenis musik tertentu; dan (5) sebagai musik itu sendiri. Sedangkan istilah go(r)dang jelas tidak sama dengan go(n)dang.” (Surat Edi Nasution, tanggal 17 – desember – 2007), hal ini semakin ditegaskan kembali oleh Edi Nasution “Istilah Gordang, ada kaitanya dengan sistem bercocok tanam orang Mandailing di hauma (berladang di bukit-bukit, baik tanaman palawija maupun padi). Dalam bercocok tanam di hauma ini, ada satu alat semacam "tugal" yang disebut Ordang yang digunakan untuk melobangi tanah, setelah tanah berlobang barulah biji-biji tanaman dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditutup seperlunya dengan tanah. Proses kegiatan bercocok tanam ini disebut Mangordang, sedangkan menurut Ahmad Samin Siregar (1977:87) adalah, Gondang

merupakan gendang, dalam artian gondang tunggu-tunggu dua, Gordang adalah gendang, dalam artian sebagai gendang besar (dalam hal ini gordang sambilan).

Informan dilapangan menyebutkan bahwa asal mula Gordang Sambilan merupakan wujud dari 9 (sembilan) ripe/ ripa/ puak/ kampung1 yang terdapat di daerah Huta Pungkut. Pada zaman dahulu, disaat diadakannya upacara di daerah Huta Pungkut maka ke 9 (sembilan) kepala kampung atau Raja Pamusuk tersebut akan berkumpul untuk menghadiri upacara tersebut. Dari 9 (sembilan) kepala kampung atau pengetua adat tersebut ada satu orang yang diangkat sebagai seorang Hatobangon yang merupakan perwakilan dari suatu kampung. Seorang Hatobangon dipilih berdasarkan pertimbangan usia serta pengalaman, pemahaman adat yang dimilikinya.

1 Keterangan ini didapat melalui hasil wawancara dengan Bapak Samsul Bahri Lubis, Bapak Ridwan

(41)

Persekutuan diantara 9 (sembilan) kampung tersebut memiliki seorang raja daripada raja yang disebut dengan Raja Panusunan. menurut L. S Diapari gelar Patuan Naga Humala Parlindungan, Raja Panusunan merupakan peralihan nama dari sebelumnya yaitu Raja Janjian. Raja Janjian merupakan kepala atau raja dari suatu persekutuan kampung-kampung di Mandailing sebelum kedatangan Belanda sedangkan Raja Panusunan merupakan Raja Pamusuk di kampungnya sedangkan Raja Pamusuk

merupakan pengetua adat atau biasa disebut raja kampung (1990:160).

Gordang Sambilan yang terdiri dari sembilan buah gendang, memiliki penamaan yang berdasarkan ukuran, adapun ukuran Gordang yang terbesar disebut dengan Jangat, Jangat ini terdiri dari dua buah gendang terbesar, selanjutnya adalah Hudong-Kudong, sama seperti Jangat, Hudong-Kudong ini terdiri dari dua buah gendang, adapun Gordang selanjutnya disebut dengan Padua, lalu Gordang berikutnya adalah Patolu, penyebutan kedua Gordang tersebut mewakili empat buah gendang, masing-masing dua buah gendang Padua dan dua buah gendang Patolu, yang terakhir pada susunan Gordang Sambilan adalah Enek-enek, yang berjumlah satu buah gendang.

Adapun susunan Gordang Sambilan, tampak pada gambar berikut :

Foto 3

Susunan Gordang Sambilan (Sumber foto : Irwansyah Harahap)

(42)

Di daerah Ulu Pungkut dan Tamiang, nama-nama Gordang ini dilihat dari ukuran yang terbesar hingga terkecil, yaitu : Jangat, yang terdiri dari tiga buah gendang, dan masing-masing memiliki penamaan yang berbeda, Jangat Siangkaan untuk penyebutan pertama, kemudian Jangat Silitonga untuk menyebutkan urutan yang kedua, kemudian Jangat Sianggian, untuk ketiga. Pasangan gordang pada urutan keempat dan kelima disebut Pangoloi, sedangkan pasangan Gordang urutan keenam dan ketujuh disebut Paniga. Gordang urutan kedelapan disebut dengan Hudong-Kudong serta yang kesembilan pada daerah Huta Pungkut disebut Teke-teke dan pada daerah Tamiang disebut Eneng-eneng.

Dalam adat Mandailing kedudukan musik yang mempergunakan ensambel Gordang Sambilan dianggap lebih tinggi dari ensambel musik lainnya, karena pada kenyataannya bahwa untuk meletakkan perangkat musik Gordang Sambilan di tenpat berlangsungnya upacara, harus terlebih dahulu diadakan upacara tersendiri dengan menyembelih seekor kambing, kemudian dilakukan pemukulan Jangat sebagai tanda permohonan izin kepada arwah leluhur. Memukul Jangat ini dinamakan Maniggung Gordang. Setelah acara ini selesai barulah Gordang Sambilan dapat dipergunakan (menurut informan penulis Bapak Ridwan Nasution).

Gordang Sambilan ini pada penggunaannya hanya boleh dipergunakan atas izin dan kehendak raja2, hal ini dibuktikan dengan adanya tempat penyimpanan khusus Gordang Sambilan yang disebut dengan Bagas Godang, tempat tersebut berada disekitar lingkungan tempat tinggal raja tersebut. Penggunaan Gordang Sambilan merupakan suatu bentuk seni pertunjukan musik yang melibatkan aspek lain dari suatu bentuk kehidupan sosial, hal ini terlihat dari penggunaan Gordang Sambilan yang harus melalui izin raja serta memiliki tempat penyimpanan tersendiri yang terdapat pada halaman rumah raja (Bagas Godang).

3.2. Pertunjukan Gordang Sambilan

Gordang Sambilan sesuai dengan namanya, terdiri dari sembilan buah gendang besar. Ukuran gendang ini panjang dan besarnya berbeda satu dengan lainnya. Jumlah

(43)

keseluruhan pemain dari ensambel Gordang Sambilan adalah 11 (sebelas) orang pemusik, meliputi : satu orang pemain Sarune, lima orang untuk memainkan Gordang Sambilan, dengan pembagian satu orang memainkan dua buah Jangat atau Panjangati, satu orang memainkan dua buah Hudong-Kudong, satu orang memainkan dua buah Padua, satu orang memainkan dua buah Patolu, dan seorang memainkan sebuah Enek-enek, satu orang memainkan Ogung Dada Boru dan Ogung Jantan, satu orang memainkan Mongmongan atau gong Panolongi dan Panduai dan satu orang memainkan Pamulosi, satu orang memainkan gong Doal, dan satu orang memainkan Tali Sasayak. Formasi dengan jumlah pemain sebanyak 11 (sebelas) orang pemusik merupakan formasi yang umum digunakan pada setiap pertunjukan ensambel Gordang Sambilan, dalam konteks kota Medan, pertunjukan Gordang Sambilan juga turut menggunakan formasi 11 (sebelas) orang pemain.

Dalam hal formasi pemain, sesunggunya pada penggunaan secara tradisional gordang sambilan dibutuhkan 9 (sembilan) orang pemain gordang dengan masing-masing pemain memainkan satu buah gordang namun pada perkembangannya dengan jumlah pemain yang terlalu besar jumlahnya (dengan catatan pada formasi ini keseluruhan jumlah pemain gordang sambilan adalah 14 orang) menyebabkan penggunaan dana yang besar dalam penyelenggaraan upacara dan dapat menyebabkan kurangnya kekompakan diantara pemain gordang sambilan.

Sebagai suatu bentuk kesenian masyarakat Mandailing, Gordang Sambilan dipergunakan dalam berbagai jenis acara atau pertunjukan, baik secara ritual maupun dalam bentuk acara hiburan. Adapun bentuk-bentuk acara tersebut adalah dalam upacara adat perkawinan, penggunaan Gordang Sambilan pada bentuk tradisional hanya terbatas pada acara perkawinan raja saja namun pada perkembangannya seluruh upacara adat menggunakan Gordang Sambilan. Pada bentuk lainnya Gordang Sambilan dipergunakan dalam acara yang mencakup nilai-nilai hiburan seperti pada hari raya Idul Fitri, penyambutan tamu, dan lain lain.

3.2.1. Jenis Pertunjukan Gordang Sambilan

(44)

Sambilan di tempat berlangsungnya acara, harus dilakukan dengan upacara tersendiri yang dilakukan dengan penyembelihan seekor kambing. Kemudian baru dilanjutkan dengan pemukulan Jangat sebagai pertanda meminta izin kepada arwah leluhur. Memukul jangat ini dinamakan Maningung Gordang. Setelah acara ini selesai barulah Gordang dapat dimainkan. Selain pada saat mengiringi tarian adat (tor-tor), Gordang Sambilan ini boleh saja dimainkan setiap ada kesempatan selama upacara atau acara tersebut berlangsung. Karena hal ini akan membuat suasana menjadi lebih meriah dan gembira. Bahkan juga diberikan kesempatan kepada siapa saja untuk memainkan Gordang Sambilan ini.

Bentuk pertunjukan Gordang Sambilan umumnya terbagi atas dua bagian besar, yaitu pertunjukan Gordang Sambilan secara ritual atau yang berhubungan dengan aturan-aturan adat maupun bentuk pertunjukan hiburan. Sedangkan sifat penggunaan Gordang Sambilan terbagi atas upacara adat siriaon (suka cita) dan upacara adat siluluton (duka cita).

Penggunaan Gordang Sambilan pada bentuk upacara ritual adat3, terbagi atas beberapa bagian, yaitu : upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, upacara memasuki rumah baru. Secara adat dapat diketahui bahwa selama proses perjalanan hidup seseorang harus dilakukan acara adat, dimulai sejak masih dalam kandungan ibu, lahir, menginjak dewasa, remaja, perkawinan, melahirkan anak hingga sampai pada tahap kematian, semua itu merupakan proses perputaran hidup yang harus selalu diwarnai dengan adat.

Pada dahulunya penggunaan Gordang Sambilan hanya dapat dipergunakan oleh raja untuk kepentingan raja dan masyarakat tersebut, namun penggunaan Gordang Sambilan pada masyarakat Mandailing yang berdomisili di kota Medan merupakan suatu bentuk penggunaan dengan menghadirkan perwakilan dari sosok raja tersebut yang

3 Menurut informan yaitu Bapak Ridwan Nasution mengatakan bahwa penggunaan Gordang Sambilan

(45)

dimanifestasikan pada diri pengetua adat atau yang dianggap sebagai tokoh adat pada masyarakat Mandailing kota Medan.

Penggunaan Gordang Sambilan pada acara perkawinan berfungsi sebagai bentuk pengumuman kepada masyarakat mengenai proses perkawinan yang dilaksanakan selain itu juga berfungsi sebagai media pertemuan antar pemuka atau tokoh adat Mandailing dan kehadiran tokoh adat juga sebagai suatu bentuk restu kepada perkawinan tersebut , ajang ini sebagai sarana silaturahim diantara mereka selain itu bagi anggota masyarakat yang ingin mempergunakan Gordang Sambilan pada acara perkawinannya terlebih dahulu harus mengetahui makna sebenarnya dari penggunaan Gordang Sambilan tersebut dan juga harus dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diminta dan ditetapkan oleh pemusik Gordang Sambilan beserta tokoh-tokoh adat.

Pada penggunaan Gordang Sambilan dalam acara adat memasuki rumah baru, yang termasuk kedalam sifat upacara adat siriaon (suka cita), Gordang Sambilan dimainkan sebagai bentuk wujud syukur pemilik rumah karena telah menempati rumah baru, selain itu penggunaa

Gambar

Gambaran umum kota Medan merupakan sekilas penjelasan mengenai

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengujian kuat tekan pada gambar 7 menunjukkan bahwa kuat tekan terbesar terdapat pada beton dengan jenis campuran OPC tanpa abu sekam padi

LAPORAN PERUBAHAN SALDO ANGGARAN LEBIH PER 31 DESEMBER

 Secara kelompok, diskusi tentang dampak negative pembangunan terhadap linglkungan hidup  Merumuskan pengertian lingkungn hidup  Mengidentifikasi komponen- komponen

Baca petikan di bawah dengan teliti, kemudian buat satu rumusan tentang langkah- langkah meningkatkan taraf hidup orang kurang upaya dan kekangan yang dihadapi

- Isi cukup dan lengkap /relevan tetapi ayat kurang gramatis 3 - Isi tidak cukup/ kurang lengkap tetapi ayat masih gramatis 2 - Isi kurang lengkap /kurang relevan dan ayat

memberikan kesimpulan bahwa hilāl (bulan sabit) yang muncul di siang hari tidak bisa dijadikan pedoman dalam penentuan awal bulan Kamariyah baik itu terjadi setelah

Dalam sejarah pelaksanaan ru’yat al-hilāl di Malaysia 14 , Baitul Hilal Teluk Kemang merupakan salah satu tempat pertama yang ditetapkan secara legal sebagai tempat pelaksanaan

Berbagai bentuk kekerasan yang dapat dialami oleh perempuan. Maidin Gultom menjelaskan pada bukunya yang berjudul "Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan