ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN
PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN
DI KABUPATEN INDRAMAYU
H A M D A N
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kebijakan
Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu adalah
karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, Januari 2007
ABSTRAK
HAMDAN. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu (Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, JOKO PURWANTO, SUGENG BUDIHARSONO, dan ARI PURBAYANTO
Pembangunan perikanan pada masa lalu belum dapat memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi, diantaranya adalah rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan dan adanya indikasi tangkap lebih (over fishing) di beberapa wilayah perairan seperti Selat Malaka dan pantai Utara Pulau Jawa. Permasalahan lain yang timbul adalah kecenderungan beberapa daerah menjadikan sumberdaya ikan (SDI) sebagai sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Keadaan ini dikhawatirkan dapat menambah tekanan terhadap SDI akibat penangkapan ikan yang tidak terkendali karena tidak memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memberikan sumbangan terbesar terhadap produksi perikanan yaitu sekitar 43% dari total produksi perikanan tangkap Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2004 tingkat pemanfaatan SDI sebesar 203, 91% dari nilai MSY atau sebesar 32.754 ton.
Penelitian ini bertujuan mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu, mengkaji faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh serta menentukan strategi pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Metode yang digunakan adalah Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) untuk mengetahui status keberlanjutan perikanan dan Data Envelope Analysis (DEA) untuk mengetahui jumlah alat tangkap yang optimal.
Hasil analisis menunjukkan bahwa status perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu tidak berkelanjutan baik ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika maupun kelembagaan dengan masing-masing nilai indeknya di bawah 50, yaitu indek ekologi 25,27 – 26,34; ekonomi 39,72 – 39,95; sosial 43,10 – 43,61; teknologi 38,00 – 38,08; etika 29,33 – 30,85 dan kelembagaan 37,32 – 37,44 pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis menunjukkan tekanan lahan mangrove, besarnya subsidi, tingkat pendidikan yang rendah, mitigasi habitat dan transparansi merupakan faktor pengungkit utama.
Terdapat 8 jenis alat tangkap utama yang digunakan para nelayan Indramayu yaitu purse seine, gillnet, lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai dan dogol. Jumlah alat tangkap tersebut saat ini berdasarkan hasil analisis sudah melampaui
carrying capacity yang ada. Alat tangkap yang efisien dengan nilai efisiensi 100% adalah jaring klitik, payang, gillnet, dan purse seine. Sedangkan, Alat tangkap yang tidak efisien adalah dogol (80%), sero (76,83%), pancing (66,55), dan pukat pantai (46,16%). Kondisi ini menunjukan bahwa alat-alat tangkap yang memiliki daerah penangkapan di luar Kabupaten Indramayu umumnya lebih efisien.
Langkah-langkah kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu adalah (1) konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, (2) pengaturan jumlah alat tangkap, (3) penanganan pasca panen, (4) modernisasi armada besar yang beroperasi di wilayah lepas pantai, (5) pengurangan armada kecil yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan, (6) pengembangan industri pengolahan ikan, (7) peningkatan kapasitas kelembagaan perikanan dan kelautan, (8) penyediaan mata pencaharian alternatif, dan (9) program pengkayaan stok.
ABSTRACT
HAMDAN. Policy Analysis on Sustainability of Capture Fisheries Management in Indramayu District. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, JOKO PURWANTO, SUGENG BUDIHARSONO, and ARI PURBAYANTO .
Fisheries development at past time have not been able to solve encountered problems, such as low fishermen’s prosperity and an existing indication of over fishing in a several areas i.e. Malacca Strait and northern of Java island. Other problem occurred is the tendency of some regions to put marine resources as primarily revenue occurred in the regions. These conditions may increase the pressure to fisheries resource due to uncontrolled fishing activity that is not conducted based on sustainability development principle. Indramayu is one of districts in West Java Province which contributes fisheries product that is around 43% of total fish production in West Java Province. In 2004 the level of exploitation was 203,91% of MSY (32.754 tons). The objectives of this study were to review the status of fishing sustainability in Indramayu, to analysis leverage factors that influence on management strategic of capture fisheries in Indramayu. The method used was Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) to clarify the status of sustainability, and Data Envelope Analysis (DEA) to know optimum fishing number can be used in Indramayu water.
The analysis result showed that status of capture fisheries in Indramayu was not sustained based on ecology, economic, social, technology, ethic and institutional aspects with index value was less than 50. The value of ecology index was 25,27 – 26,34; economic index was 39,72 – 39,95; social index was 43,10 – 43,61; technology index was 38,00 – 38,08; ethic index was 29,33 – 30,85; and institutions index was 37,32 – 37,44 along with a significant test of confidence limit at 95%. Analysis result showed that the pressures on mangrove trees, subsidies, lower education level, and mitigation habitat were the main leverage factors.
Eight types of the main fishing gears were used by Indramayu fishermen that are purse seine, gillnet, lampara, shrimp gillnet, lines, guiding barrier trap, beach seine, and shrimp boat seine net. Based on analysis result, the existing total number of fishing gears had exceeded carrying capacity. The most efficient fishing gear with 100% values are shrimp gillnet, payang gillnet, and purse seine. Where areas inefficient fishing gear are shrimp boat seine net (80%), guiding barrier trap (76,83%), pole and line (66,55%),and beach seine (46,16%). This condition showed that fishing gear with fishing ground in outside Indramayu water were mostly efficient.
The alternative policies should be taken for fisheries management in Indramayu District are (1) mangrove conservation and rehabilitation, (2) fishing gear’s amount supervision, (3) after harvest handling, (4) offshore operating large vessel modernization, (5) inefficient and responsible small vessel reduction, (6) fisheries Industry development, (7) increasing the capacity of fisheries and marine institution, (8) providing alternative livelihoods, and (9) stock enhancement program.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN
PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN
DI KABUPATEN INDRAMAYU
H A M D A N
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi
: Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan
Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten
Indramayu
Nama Mahasiswa
: Hamdan
Nomor Pokok
: C526010144
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja Ketua
Dr. Ir. Joko Purwanto, DEA (Alm.) Anggota
Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota
Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Oktober 1959 di Cipanas, Cianjur Jawa Barat dari bapak bernama Nanang Abdullah (alm) dan ibu bernama Aan Dasinah (alm). Pada tanggal 9 Desember 1984 penulis menikah dengan Tammani dan sampai saat ini telah dikaruniai satu orang putera yaitu : Oky Zulfikar Rahman dan satu orang puteri yaitu Anisa Hamdan.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri V Cipanas tahun 1972. Pada tahun 1975 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama Negeri Cipanas dan selanjutnya menyelesaikan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Negeri di Bogor pada tahun 1979. Pada akhir tahun 1979 penulis diterima di Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Sejak tahun 1981, penulis mengikuti kuliah S-1 di Fakultas Perikanan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1984.
Pada tahun 1985 penulis diangkat menjadi staf pada Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Kegiatan-kegiatan kursus yang pernah diikuti selama menjadi staf tersebut adalah Orientasi Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) pada tanggal 24 Pebruari sampai 16 Maret 1985; kursus Administrasi dan Manajemen Pembangunan Pertanian di Universitas Indonesia mulai tanggal 23 Juni sampai 30 Agustus 1986. Selanjutnya pada tanggal 3 September sampai 27 Nopember 1990 penulis mengikuti General Course in Fisheries Science di Institute of Oceanography and Fisheries di kota Split – Yugoslavia. Pada tanggal 13 Desember 1994 Penulis diangkat sebagai Kepala Seksi Pelaksanaan Program pada Direktorat Bina Program Ditjen Perikanan. Dalam jabatan tersebut penulis berkesempatan mengikuti Pelatihan Pemantapan Perencanaan Pembangunan Perikanan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan dari tanggal 22 sampai 27 Januari 1995. Pada tanggal 26 Nopember 1997 sampai 26 Januari 1998 mengikuti Diklat Administrasi Umum (ADUM) yang diselenggarakan di BPLP Bogor. Selanjutnya pada tanggal 8 Juni 1999 mendapat alih tugas sebagai Kepala Seksi Wilayah I.
Selanjutnya pada tanggal 5 April 2001 mendapat alih tugas menjadi Kepala Bagian Program karena perubahan nomenlatur organisasi. Pada tanggal 26 Juni 2002 penulis mendapat alih tugas kembali sebagai Kasubdit Inventarisasi Sumberdaya Laut Potensial. Pada masa jabatan ini yakni tanggal 17 sampai 27 Juni 2003 mengikuti Training Marine Protected Area Management di James Cook University kota Townsville Australia. Sehubungan perubahan nomenklatur, pada tanggal 9 Agustus 2005 penulis menjadi Kasubdit Identifikasi dan Pemetaan Konservasi. Pada tanggal 25 sampai 26 Agustus 2005 penulis mengikuti
Workshop Sulu Sulawesi Seascape Trinational Collaborator’s Discussion di Kota Kinabalu Sabah Malaysia. Sejak tanggal 5 Desember 2005 penulis diangkat menjadi Asisten Deputi Urusan Industri Strategis pada Kantor Menko Bidang Perekonomian.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul “Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu“.
Pada kesempatan ini penulis secara tulus menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja, Dr. Ir. Joko Purwanto, DEA. (Alm.), Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc., dan Dr. Ir. Sugeng Budiharsono sebagai
Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan semangat, arahan dan bimbingan kepada penulis.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan staf, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, atas segala bantuan, perhatian dan penyediaan fasilitas selama penulis melaksanakan pendidikan.
3. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. (Ketua Program Studi), Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc dan Dr. Maman Hermawan, M.Sc (Penguji Luar Komisi), Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, MS dan Dr. Ir. Akhmad Fa atas saran-saran penyempurnaan disertasinya.
4. Ir. Bambang Wahyudi, M.Sc yang telah memberikan ijin belajar saat menjabat Sekretaris Ditjen P3K Departemen Kelautan dan Perikanan; 5. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., Dr. Ir. V. Nikijuluw, M.Sc, keluarga besar
Dit. KTNL dan Deputi IV Kantor Menko Perekonomian atas bantuannya. 6. Akhmad Solihin, S.Pi, Hawis S.Pi, M.Si, Amak Priatna S.Pi, S.Pi; Ir. RIP
Lestari serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan tenaga, pemikiran, informasi dan data yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. 7. Dra Hj. Tammani isteri setia, Oky dan Nisa ananda tersayang, Hj. Hasunah
ibunda tercinta, Muzni Nazar yang dan seluruh keluarga atas segala kasih sayang, doa dan pengorbanannya.
Akhirnya semoga Allah SWT membalas sesuai amal baiknya..
Bogor, Januari 2007
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL... iv
DAFTAR GAM BAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 7
1.6 Hipotesis ... 8
2 KERANGKA PEMIKIRAN ... 9
3 TINJAUAN PUSTAKA... 17
3.1 Analisis Kebijakan... 17
3.2 Pengelolaan Perikanan ... 19
3.3 Pembangunan Berkelanjutan ... 20
3.4 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ... 25
3.5 Kebijakan Pemerintah ... 36
3.6 Aspek Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan ... 40
3.7 Partisipasi Masyarakat ... 42
3.8 Dasar Hukum Pengelolaan Perikanan Tangkap ... 44
4 METODE PENELIT IAN ... 70
4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 70
4.2 Kerangka Metodologi ... 70
4.3 Pengumpulan Data ... 71
4.4 Analisis Data dan Informasi... 73
5 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 83
5.1 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi... 83
5.3 Potensi Sumber Daya Hayati... 86
5.4 Perikanan ... 87
5.5 Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 91
5.6 Pulau-pulau Kecil ... 91
6 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 94
6.1 Keragaan Sumber Daya Perikanan Tangkap... 94
6.2 Analisis Kondisi dan Status Perikanan Tangkap Kabupaten Indramayu... 99
6.3 Analisis Tingkat Pemanfaatan Potensi Perikanan Tangkap ... 135
6.4 Pengukuran Kapasitas Perikanan Tangkap dengan Data Envelopment Analysis (DEA) ... 140
7 ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP .. 150
7.1 Faktor Pengungkit Dimensi Ekologi ... 151
7.2 Faktor Pengungkit Dimensi Ekonomi ... 155
7.3 Faktor Pengungkit Dimensi Sosial... 157
7.4 Faktor Pengungkit Dimensi Teknologi ... 160
7.5 Faktor Pengungkit Dimensi Etika... 161
7.6 Faktor Pengungkit Dimensi Kelembagaan ... 162
7.7 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap... 163
8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 170
8.1 Kesimpulan... 170
8.2 Saran ... 171
DAFTAR PUSTAKA... 172
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Indikator pembangunan perikanan bertanggung jawab dan
berkelanjutan ... 14
2 Jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan SK Menteri
Pertanian No.607/1976 ... 38
3 Jenis dan sumber pengambilan data ... 72
4 Indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu . 77
5 Jenis-jenis ikan laut ekonomis penting yang didaratkan
di Kabupaten Indramayu ... 89
6 Perkembangan luas lahan budidaya tambak di Kabupaten
Indramayu tahun 1996 – 2000 ... 90
7 Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut di
Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004... 95
8 Perkembangan jumlah RTP dan armada berbagai jenis
kapal di Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004 ... 96
9 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Indramayu pada
tahun 1995 - 2004 ... 97
10 Jenis mangrove yang tumbuh di Kabupaten Indramayu ... 103
11 Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap
Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95 % ... 132
12 Hasil kajian nilai indeks dan nilai statistik pembangunan perikanan
tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu ... 134
13 Total produksi aktual tangkapan tahunan seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten
Indramayu (dalam ton) ... 136
14 Total produksi aktual tangkapan tahunan alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu (dalam ton)... 139
15 Data input dan output dalam analisis DEA Frontier ... 142
16 Hasil analisis DEA Frontier dengan memasukkan seluruh variable.. 142
17 Faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan
sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu ... 151
18 Proyeksi PAD bidang perikanan dan kelautan Kabupaten Indramayu
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian ... 16
2 Bentuk penyusunan kebijakan publik ... 18
3 Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka trans-disiplin ... 23
4 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan ... 25
5 Lokasi penelitian... 70
6 Kerangka metodologi... 71
7 Prosedur RAPFISH menggambarkan perikanan berkelanjutan ... 74
8 Proses aplikasi RAPFISH untuk data perikanan ... . 75
9 Pembatasan produksi model CCR ... 78
10 Pembatasan produksi model BBC... 78
11 Perkembangan total produksi tahunan perikanan laut di Kabupaten Indramayu pada tahun 1995-2004 ... 95
12 Grafik perkembangan jumlah tangkap utama per tahun di Kabupaten Indramayu tahun 1995-2004 ... 97
13 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks ekologi Kabupaten Indramayu... 100
14 Hasil analisis atribut pengungkit (Leverage Attributes) RAPFISH dimensi ekologi ... 101
15 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi ekologi ... 106
16 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi ekonomi Kabupaten Indramayu... 108
17 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi ekonomi ... 109
18 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi ekonomi ... 114
19 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi sosial Kabupaten Indramayu... 115
21 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi
sosial ... 119
22 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi teknologi Kabupaten
Indramayu... 120
23 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi teknologi ... 121
24 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi
teknologi ... 123
25 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi etika Kabupaten
Indramayu... 124
26 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi etika ... 125
27 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi
etika ... 127
28 Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi kelembagaan Kabupaten
Indramayu... 128
29 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi kelembagaan.. 129
30 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi
kelembagaan ... 131
31 Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap
Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95% ... 133
32 Total produksi aktual tangkapan seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu dibandingkan
dengan produksi lestari (dalam ton) ... 137
33 Produksi aktual semua alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari
perikanan tangkap (dalam ton) ... 138
34 Total produksi aktual tangkapan alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu dibandingkan dengan
produksi lestari (dalam ton)... 139
35 Produksi aktual seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari perikanan
tangkap (dalam ton) ... 140
36 Distribusi efisiensi alat tangkap perikanan di Kabupaten
Indramayu... 143
37 Potensi perbaikan efisiensi alat tangkap ... 144
39 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap pancing... 147
40 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap sero ... 148
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Potensi perikanan tangkap Jawa Barat ... 178
2 Dimensi dan Atribut RAPFISH... 179
3 Analisis MDS dengan menggunakan RAPFISH di Kabupaten Indramayu... 185
4 Daftar nama responden RAPFISH... 191
5 Daftar nama responden DEA... 194
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan perikanan pada masa pemerintahan orde baru belum
dapat memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi, antara lain
rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan dan adanya indikasi overfishing
(tangkap lebih) di beberapa wilayah perairan seperti pantai Utara Pulau Jawa
dan perairan Selat Malaka. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pada
masa lalu yang lebih berorientasi kepada pembangunan di darat (continental
oriented), sedangkan sektor perikanan dan kelautan belum mendapat perhatian
dan bahkan menjadi sektor pinggiran (pheripheral sector).
Memasuki era reformasi, sistem pemerintahan telah bergeser dari
sentralistik menjadi desentralistik dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kini diganti oleh
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-Undang-undang ini mengatur tentang
kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya di wilayah laut yang meliputi:
(1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (2)
pengaturan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum; (5)
pemeliharaan keamanan; dan (6) pertahanan kedaulatan negara.
Pada awal pelaksanaan undang-undang tersebut muncul berbagai
permasalahan di wilayah pesisir dan laut yang disebabkan oleh kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat. Contoh dari permasalahan tersebut adalah
timbulnya konflik antar nelayan yang domisilinya berbeda kabupaten. Dalam ilmu
sosiologi, konflik ini dikenal dengan istilah konflik primordial. Mereka
beranggapan bahwa, nelayan dari kabupaten lain tidak boleh melakukan
penangkapan ikan di wilayah perairannya. Hal ini merupakan penafsiran yang
yang dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 18. Pada
pasal tersebut disebutkan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3
(sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Pasal 3 dan
Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 atau Pasal 18 Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 dimaknai oleh daerah sebagai daerah kekuasaan atau
demarkasi. Padahal, makna kedua pasal tersebut adalah sebagai daerah
pengelolaan dalam menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan
(sustainable fisheries) dan bertanggung jawab (responsible fisheries).
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kesalahan penafsiran ini antara lain
disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Ironisnya, maraknya
multi tafsir yang salah yang dilakukan masyarakat daerah terhadap kedua pasal
tersebut, pemerintah belum membuatkan aturan turunan atau peraturan
pelaksanaan mengenai kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya di
wilayah laut.
Masalah lain yang timbul di sektor perikanan dan kelautan adalah adanya
kecenderungan di beberapa daerah yang menjadikan sumber daya ikan menjadi
salah satu sumber utama penghasilan asli daerah (PAD). Hal ini dikhawatirkan
dapat menambah tekanan terhadap sumber daya ikan akibat penangkapan yang
tidak terkendali karena tidak memperhatikan aspek-aspek pembangunan
berkelanjutan.
Di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Indramayu merupakan yang paling
menonjol dalam perolehan PAD yang diantaranya dari sub sektor perikanan laut.
Sekitar 43% produksi ikan laut Provinsi Jawa Barat berasal dari daerah ini.
Namun yang mengkhawatirkan adalah tingkat pemanfaatan sumber daya ikan
diperbolehkan (JTB) atau sekitar 203,91% dari hasil tangkapan maksimum lestari
(maximum sustainable yield/MSY) yang hanya sebesar 32.754,12 ton per tahun
(Darsono. 2004). Hal ini dikhawatirkan upaya perikanan tangkap di Kabupaten
Indramayu tidak sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan. Dalam teori
pembangunan berkelanjutan, selain aspek ekologi juga aspek sosial, ekonomi,
hukum dan kelembagaan memegang peranan yang penting.
Berdasarkan aspek ekonomi, pada umumnya nelayan, lebih khusus lagi
para buruh nelayan masih miskin. Hal ini diperlihatkan dari pendapatan rata-rata
nelayan di daerah pesisir Indramayu masih sekitar Rp 13.000 per hari (Bappeda
Indramayu 2000). Masih banyaknya masyarakat nelayan yang miskin
merupakan indikasi bahwa upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan bukanlah
merupakan hal yang mudah. Ada beberapa hal yang menyebabkan produktivitas
dan pendapatan nelayan belum optimal, antara lain: (1) kualitas sumber daya
manusia relatif masih rendah; (2) sarana dan prasarana perikanan belum
memadai; (3) teknologi masih tertinggal; dan (4) kondisi lingkungan cenderung
menurun (Bappeda Indramayu 2000).
Berbagai masalah sosial, antara lain rendahnya kualitas SDM anggota
rumah tangga nelayan (RTP) terlihat dari jumlah buta huruf mencapai 14,6%
serta banyaknya jumlah anak usia sekolah yang tidak sekolah sekitar 31,81%
(Supriyanto, 2003). Selain itu banyaknya pengangguran terselubung masyarakat
pesisir Indramayu terlihat dari tingginya angka beban tanggungan atau rasio
ketergantungan yang menggambarkan jumlah orang yang secara ekonomi tidak
aktif per seratus penduduk yang aktif secara ekonomi. Peningkatan jumlah
nelayan sebesar 72,16% dalam tujuh tahun terakhir yaitu dari 6.325 rumah
tangga pada tahun 1993, menjadi 11.496 rumah tangga pada tahun 2000 yang
sebagian besar merupakan nelayan skala kecil yang melakukan kegiatan
memunculkan berbagai macam konflik persaingan dalam memanfaatkan sumber
daya ikan (Bappeda Indramayu 2000).
Berdasarkan aspek ekologi, terjadi kerusakan hutan mangrove sekitar
50% dari 17.782 ha luas hutan mangrove yang ada serta kerusakan terumbu
karang di Pulau Biawak dan sekitarnya mencapai 47,58% (Diskan Jabar, 2004)
mengakibatkan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya ikan.
Hal ini disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan sumber daya yang berlebihan
tanpa memperhatikan kaidah ekologis. Hal lain yang mempengaruhi kelestarian
sumber daya ikan di Indramayu adalah pencemaran. Di perairan Indramayu,
pencemaran berasal dari tumpahan atau kebocoran pipa minyak PT Pertamina,
limbah industri, sampah domestik maupun sedimentasi yang berasal dari sungai
(Kompas, 2005).
Berdasarkan aspek hukum dan kelembagaan, belum adanya peraturan
daerah yang mengatur pengelolaan perikanan, khususnya perikanan tangkap
yang berkelanjutan. Hal ini merupakan akar permasalahan tersebut di atas,
karena tidak adanya perangkat hukum sebagai acuan dalam koordinasi antar
instansi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya ikan,
sehingga penegakan hukum tidak dapat terlaksana dengan baik.
Fenomena permasalahan tersebut di atas mengakibatkan terjadinya
konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan dalam pengelolaan perikanan
tangkap di Kabupaten Indramayu. Dalam jangka panjang, contoh kasus tersebut
dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan sumber daya ikan,
berkurangnya keanekaragaman hayati hingga kepunahan beberapa jenis sumber
daya ikan. Dengan demikian, perlu segera dilakukan langkah-langkah antisipatif
untuk membenahi pengelolaan sumber daya ikan. Langkah-langkah pengelolaan
perikanan tangkap yang berkelanjutan hendaknya mempertimbangkan berbagai
Diharapkan melalui analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di
Kabupaten Indramayu dengan merujuk pada prinsip pembangunan berkelanjutan
sebagai implementasi perikanan yang bertanggung jawab dalam kerangka code
of conduct for responsible fisheries (CCRF) 1995 dari FAO, maka permasalahan
yang ada dapat di eliminasi dan diatasi dengan baik.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang ada di Kabupaten Indramayu dapat diidentifikasi
sebagai berikut: (1) kerusakan lingkungan, (2) over fishing, (3) konflik, (4)
rendahnya tingkat pendapatan nelayan. Melihat banyaknya permasalahan yang
ada dalam sektor perikanan dan kelautan khususnya perikanan tangkap, maka
sudah saatnya kebijakan pengelolaan perikanan tangkap bersifat antisipatif
dengan menekankan pada pentingnya suatu kelembagaan yang mampu
meminimumkan kerusakan lingkungan dan mendorong akselerasi perekonomian
serta perlindungan bagi masyarakat nelayan yang berpotensi menjadi korban
kerusakan lingkungan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu
selaku pengambil kebijakan harus melihat potensi sumber daya ikan dan sumber
daya manusia sebagai suatu modal pembangunan. Peluang daerah sangat besar
dalam mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya ikan dengan
mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, budaya masyarakat dan kelestarian
fungsi ekologis sumber daya pesisir dan lautan. Pengelolaan potensi sumber
daya ikan harus terencana dan terkendali pemanfaatannya agar dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada masa kini dan masa yang akan
datang.
Di wilayah perairan Indramayu diduga potensi perikanannya sudah kritis,
sehingga harus ada upaya dari pemerintah daerah untuk mengendalikan over
meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi para nelayan. Apabila kita
membiarkan perikanan dalam kondisi produksi faktual saat ini, dikhawatirkan
tidak akan menghasilkan produksi perikanan yang efisien dan berkelanjutan.
Oleh karenanya, perhatian terhadap tekanan pemanfaatan sumber daya ikan
yang dikaitkan dengan jumlah potensi lestari harus menjadi fokus utama dalam
menciptakan pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
Berbagai kajian telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya
dengan topik dan tujuan yang berbeda (Lampiran 2). Sehubungan dengan
fakta-fakta empiris di atas, maka fokus penelitian ini disusun dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
(1) Bagaimana status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan
kelembagaan?
(2) Faktor-faktor pengungkit apa saja yang berpengaruh terhadap menciptakan
keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu?
(3) Strategi apakah yang dapat diterapkan di Kabupaten Indramayu?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan alternatif
kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten
Indramayu. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu
ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan
kelembagaan.
(2) Mengkaji faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan
sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu.
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji mengenai kebijakan
pengelolaan perikanan tangkap berdasarkan analisis keberlanjutan sumber daya
dan efisiensi penggunaan alat tangkap dengan membandingkan rencana
strategis (Renstra) yang disusun Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu,
khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan untuk jangka waktu lima tahun.
Sedangkan batasan penelitian ini adalah:
(1) Mengukur status keberlanjutan sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten
Indramayu atas dasar enam indikator keberlanjutan, yaitu ekologi, ekonomi,
sosial, teknologi, etika dan kelembagaan.
(2) Data produksi perikanan tangkap serta jumlah alat tangkap yang digunakan untuk menganalisis kebijakan ini diperoleh dari Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Indramayu, dengan mengenyampingkan daerah
penangkapannya (fishing ground).
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
(1) Bagi para pemangku kepentingan perikanan tangkap terutama pemerintah
daerah, dunia usaha dan masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan.
(2) Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan tangkap,
penelitian ini diharapkan memberikan gambaran status keberlanjutan
perikanan tangkap.
(3) Bagi pengelolaan perikanan tangkap, penelitian ini diharapkan memberikan
solusi yang konstruktif dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang
(4) Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan menjadi rujukan terutama mengenai
kondisi keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu.
1.6 Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : Pemanfaatan
2 KERANGKA PEMIKIRAN
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian
yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai
dengan memperhatikan potensi stok sumber daya ikan yang telah dikaji oleh
Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa
perikanan tangkap di kabupaten Indramayu sudah over fishing. Kenapa hal ini
terjadi apakah jumlah alat tangkap dan armada kapal perikanan yang ada saat ini
sudah melebihi batas yang optimum? Bagaimana kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah daerah di bidang perikanan tangkap baik sebelum
maupun sesudah ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ?. Khusus untuk efektivitas kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya ikan perlu
diketahui lebih lanjut adalah:
(1) Apakah di dalam proses penyusunan kebijakan-kebijakan tersebut, sudah
melibatkan masyarakat terkait dan bagaimana implikasinya di lapangan ?.
(2) Apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan konflik ?.
(3) Apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan serta diterima masyarakat ?.
(4) Bagaimana dampak pemanfaatan sumber daya ikan terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan.
Apabila hal tersebut telah dilaksanakan, maka akan diketahui status
perikanan tangkap berdasarkan tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan,
yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Berdasarkan penelitian pendahuluan
(1) Dari faktor ekologi terdapat tiga indikasi permasalahan, yaitu penangkapan
sumber daya ikan berlebih (over fishing), kerusakan lingkungan, dan
degradasi ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang).
(2) Dari faktor sosial ekonomi diperoleh informasi bahwa tingkat kesejahteraan dan pendapatan nelayan sangat rendah, sumber daya manusia rendah, serta
belum ada budaya konservasi.
(3) Dari faktor teknologi terlihat bahwa produksi perikanan sudah tinggi, masih
terdapat alat tangkap ilegal seperti jaring arad serta penggunaan bom dan
racun yang tidak ramah lingkungan.
Ada berbagai metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi aspek
keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan, salah satunya adalah RAPFISH
(Rapid Appraisal for Fisheries). Metode RAPFISH adalah teknik analisis yang
dipakai untuk mengevaluasi keberlanjutan suatu kegiatan perikanan secara
multidisipliner. Teknik RAPFISH didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan
sesuatu pada urutan atribut yang terukur) secara Multi Dimensional Scaling
(MDS). MDS sendiri pada dasarnya merupakan teknik statistik melalui
transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Dimensi dalam
RAPFISH menyangkut aspek keberlanjutan ekologi, ekonomi, teknologi, sosial,
etika dan kelembagaan. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang
terkait dengan keberlanjutan sebagaimana diisyaratkan dalam Code of Conduct
for Responsible Fisheries (CCRF) FAO1995.
Menurut Imron (2000) terdapat tiga pendekatan yang dapat dipergunakan
sebagai dasar pengelolaan sumber daya, yaitu (1) berdasarkan pertimbangan
historis, (2) pertimbangan kepentingan ekonomi dan (3) pertimbangan aspek
bio-oseanografi jangka panjang. Ketiga pendekatan ini sangat fungsional untuk
dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan pengalokasiannya
pada kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan untuk memastikan bahwa
ketersediaan sumber daya alam dapat dinikmati oleh generasi berikutnya.
Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini
tanpa merusak atau menurunkan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya (WCED, 1987).
Sumber daya ikan merupakan salah satu sumber daya hayati yang
terbukti memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kesejahteraan
bangsa. Sifat sumber daya ikan meskipun dapat diperbaharui (renewable) namun
perlu kehati-hatian dalam pemanfaatannya untuk menjamin keberlanjutan. Hal ini
dikarenakan, sifat dari sumber daya ikan yang dikenal open acces telah memberi
peluang dan anggapan bahwa setiap orang berhak dan bebas memanfaatkan
dan memiliki sumber daya tersebut secara bersama-sama (common property
resources). Tidak ada pelarangan sekaligus privilage bagi orang per orang atau
kelompok dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Sifat sumber daya yang
demikian menjadikan masyarakat perikanan banyak terjun dalam ranah
perikanan tangkap.
Usaha penangkapan memang diyakini mendatangkan keuntungan yang
lebih besar dibanding ranah usaha perikanan lainnya seperti budidaya dan
pengolahan. Upaya penangkapan diukur oleh seberapa besar produksi yang
dihasilkan dari upaya tangkap. Sumber daya hayati yang melimpah ditambah
sifat sumber daya yang open access mendorong masyarakat pemanfaat sumber
daya ikan menjadikan produksi sebagai indikator dan target dalam pemenuhan
aktivitas usaha penangkapan. Kondisinya menjadi berbahaya ketika upaya
penangkapan tidak mengindahkan kaidah-kaidah keberlanjutan sumber daya.
Akhirnya kelestarian sumber daya ikan menjadi terancam dan itu berarti
Tahapan kedua dalam kajian ini adalah mengetahui sejauh mana status
perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dengan mendasarkan pada
pertimbangan berbagai aspek. Diketahuinya status perikanan bertujuan untuk
menentukan langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil dalam rangka
pembangunan perikanan berkelanjutan. Penilaian kelestarian sumber daya ikan
umumnya didasarkan pada parameter dimensi biologi dan ekonomi sebagai
indikator. Dengan perubahan paradigma pembangunan menuju ke arah
paradigma pembangunan berkelanjutan, maka penilaian kelestarian sumber
daya ikan mencakup lebih banyak aspek yang menjadi fokus kajian. Interaksi
aspek-aspek tersebut menjadi indikator bagi keberlanjutan usaha perikanan
tangkap. Beberapa aspek tersebut antara lain adalah aspek ekologi, ekonomi,
sosial, teknologi, etika dan kelembagaan. Keenam aspek ini dipandang cukup
merepresentasikan dan dapat mengindikasikan status usaha perikanan yang
dilakukan di suatu wilayah/unit analisis. Penilaian dimensi ini diturunkan lagi
dalam berbagai atribut yang mencirikan dimensi tersebut dengan mengacu pada
Alder et al. (2000).
Aspek ekologi dan teknologi menjadi barometer utama dalam penilaian
status. Hal ini dikarenakan begitu pentingnya keberlanjutan lingkungan perairan
beserta ekosistem dan biota didalamnya yang merupakan landasan bagi
dibangunnya aspek lainnya. Dimensi ekologi diturunkan lagi menjadi beberapa
atribut penciri seperti status ekploitasi, variabel peremajaan, perubahan rantai
makanan, jarak migrasi dan atribut lainnya. Selanjutnya upaya penangkapan
tentu didorong oleh motif ekonomi dan pemenuhan kebutuhan guna peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Kegiatan usaha penangkapan tidak bisa dilepaskan
dari kondisi sosial masyarakat perikanan/nelayan yang berada di wilayah
tersebut perlu “dipotret” untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya
ikan berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
Pemanfaatan sumber daya ikan tidak bisa dilepaskan dari pemanfaatan
teknologi yang menjadi sarana dalam usaha perikanan tangkap. Untuk itu
evaluasi terhadap dimensi teknologi beserta atribut pendukung juga tidak bisa
dipisahkan. Pemanfaatan sumber daya ikan akan menjadi bias dan destruktif
jika tidak dilandaskan pada kaidah-kaidah yang berlaku dan berkesesuaian
dengan etika lingkungan. Tanpa mengindahkan etika lingkungan, maka jaminan
kelestarian sumber daya ikan menjadi isapan jempol semata. Oleh karenanya,
etika menjadi salah satu dimensi yang harus dikaji. Selanjutnya yang terakhir
adalah dimensi kelembagaan. Kebijakan dan peraturan serta sumber-sumber
aturan lokal yang berjalan di tengah masyarakat merupakan penentu bagi
berjalannya arah usaha penangkapan. Aturan yang tidak berpihak dan bias, akan
menghasilkan upaya-upaya penangkapan ynag destruktif dan pada gilirannya
akan mengancam kelestarian sumber daya ikan.
Indikator-indikator kelestarian sumber daya alam di atas sebelumnya
telah diintrodusir dan diterima dalam komunitas ahli perikanan secara luas.
Acuan dasar dalam penetapan dimensi dan atribut tersebut mengacu pada
indikator yang dikembangkan oleh FAO dalam rangka implementasi CCRF 1995.
Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing
aspek/dimensi kelestarian, apakah mendukung atau tidak terhadap kelestarian
sumber daya ikan dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis perikanan yang
spesifik. Hasil analisis ini sangat penting agar dapat merumuskan kebijakan yang
spesifik dapat dilakukan untuk aspek tertentu. Dasar dari penentuan status ini
nantinya menjadi barometer dalam penentuan kebijakan apa yang harus
pembangunan perikanan bertanggung jawab berkelanjutan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Indikator pembangunan perikanan bertanggung jawab dan berkelanjutan
ASPEK INDIKATOR
Ekologi
• Status eksploitasi • Keragaman rekrutmen • Tekanan terhadap terumbu
karang
• Tekanan terhadap mangrove • Tingkat abrasi
• Perubahan ukuran ikan • Penangkapan ikan
sebelum dewasa • Jarak migrasi
• Jumlah spesies tertangkap • Sedimentasi
Ekonomi
• Sektor tenaga kerja • Sumber pemasukan lain • Penghasilan terhadap UMR • Sarana Ekonomi
• Besarnya subsidi
• Besarnya pasar • Transfer keuntungan • Kontribusi PAD • GDP per orang • Keuntungan
Sosiologi
• Waktu
• Waktu perbaikan • Peran masyarakat • Partisipasi keluarga • Frekuensi konflik
• Tingkat pendidikan • Pengetahuan lingkungan • Pertumbuhan tenaga kerja • Jumlah tenaga kerja
pemanfaat
• Sosialisasi terhadap isu perikanan
Teknologi
• Penanganan di atas kapal • Penanganan pasca panen • Alat tangkap destruktif • Fish Aggregating Divice • Alat tangkap selektif
• Kekuatan alat tangkap • Ukuran kapal
• Rambu lalu lintas • Jenis alat tangkap • Penyebaran TPI
Etika
• Pengaturan perundangan • Ikan yang terbuang • Perikanan ilegal
• Hak untuk memasarkan • Mitigasi habitat
• Mitigasi ekosistem • Aturan pengelolaan • Equity in entry • Alternatif • Kedekatan dan
kepercayaan
Kelembagaan
• Lembaga kemitraan • Limited entry
• Intensitas pemanfaatan • Zonasi peruntukkan’ • Transparansi
• Fungsionalisasi • Personil
• Penyuluhan
• Peraturan adat istiadat dan nilai-nilai
• Peraturan formal
Diolah dariAlder et al. (2000)
Setelah mengevaluasi kebijakan yang ada, maka akan dicari suatu
jenisnya di wilayah perairan kabupaten Indramayu sebagai salah satu alternatif
kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan melalui analisis tingkat
efisiensi pemanfaatan menggunakan metode Data Envelope Analysis (DEA).
DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free)
karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan
penilaian (judgement) dari pengambil keputusan (Korhumen et.al., 1998 dalam
Fauzi dan Anna, 2005). Pada analisis ini dibutuhkan data output (penerimaan
bersih dan tenaga kerja) dan input (investasi, biaya per trip, biaya tetap, GT kapal
serta jumlah hari dalam 1 trip.
Selanjutnya dalam melakukan analisis tersebut juga harus memperhatikan
peraturan perundang-undangan nasional yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya serta
memperhatikan ketentuan internasional seperti CCRF 1995. Adapun tujuan dan
target dari pengelolaan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan
pendapatan nelayan, meningkatkan PAD perikanan tangkap, menyerap tenaga
kerja perikanan, dan mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan yang
didasarkan pada pembangunan nasional berkelanjutan dengan memperhatikan
aspek sosial, budaya, ekonomi, ekologi, hukum dan teknologi.
Penyusunan analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap
berkelanjutan di Kabupaten Indramayu dijelaskan pada diagram alir tahapan
Gambar 1 Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian. Keterangan:
SUMBER DAYA IKAN
(Jenis, Sebaran, Potensi Lestari/MSY) Upaya Penangkapan
Hasil Tangkapan
KEBIJAKAN
PENGELOLAAN PERIKANAN Otonomi daerah
STATUS PERIKANAN TANGKAP EKOLOGI Over fishing Kerusakan Lingkungan Perairan, Lingkungan Pesisir TEKNOLOGI Berbagai jenis alat tangkap, ukuran kapal,
dan fishing ground yang semakin jauh SOSIAL EKONOMI
Kesejahteraan Rendah, Tidak Ada Budaya Konservasi,
SDM Rendah
EVALUASI KEBIJAKAN
Partisipasi Masyarakat
Pembangunan Berkelanjutan Sosiologi Ekonomi Budaya Teknologi Hukum Ekologi
Peraturan Perundang-undangan
Ketentuan Internasional
Alternatif Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan
PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN
TUJUAN DAN TARGET PENGELOLAAN
Peningkatan Kesejahteraan dan Pendapatan Nelayan, Peningkatan PAD Perikanan Tangkap,
Penyerapan Tenaga Kerja Perikanan, Mewujudkan Perikanan Tangkap Berkelanjutan
Batas Penelitian Feed Back
Keterkaitan dan Hubungan
3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Analisis Kebijakan
Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengatur atau mengubah suatu
kondisi ke kondisi yang lebih baik (Murtadi 1999). Manusia menetapkan suatu
kebijakan merupakan upaya manusia untuk mengetahui dan mengatasi sesuatu.
Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik (public policy) dan kebijakan
pribadi (privat policy). Salah satu kebijakan publik adalah pengelolaan perikanan
tangkap. Mustodidjaja (1992) mendefinisikan bahwa kebijakan publik merupakan
suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan tertentu atau untuk
mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang secara
formal dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Menurut Hogwood dan Gun (1984) kebijakan publik adalah tindakan
kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk
mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu
atau lembaga swasta). Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok, yaitu: (1) dibuat
atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang
ditetapkan oleh pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh
terhadap tindakan pribadi masyarakat luas (public). Kebijakan privat adalah
tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat
memaksa kepada orang lain atau lembaga lain.
Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan
dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga
dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan
menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi
landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998).
Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna
mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan.
Metode analisis kebijakan diambil dari dan memadukan elemen-elemen
dari berbagai disiplin: ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat. Analisis
kebijakan sebagian bersifat deskriptif, diambil dari disiplin-disiplin tradisional
(misalnya ilmu politik) yang mencari pengetahuan tentang sebab dan akibat dari
kebijakan-kebijakan publik. Namun analisis kebijakan juga bersifat normatif;
tujuan lainnya adalah menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim
pengetahuan tentang nilai kebijakan publik untuk generasi masa lalu, masa kini
dan masa mendatang (Dunn, 1998)
Hogwood dan Gunn (1984) membagi dua proses perumusan suatu
kebijakan, yaitu studi kebijakan dan analisis kebijakan. Studi kebijakan
dipergunakan untuk menggambarkan proses pengetahuan tentang suatu
kebijakan atau proses kebijakan itu sendiri. Di dalam studi kebijakan terdapat
beberapa aktivitas yaitu studi isi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan
sebagaiman Gambar 2berikut.
Analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian
teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah
kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini sering gagal
untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil keputusan
mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan juga
menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat
dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga
menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik.
Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran
kebijakan.
Dunn (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah jenis analisis
yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi
para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisis”
digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung
menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya
pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga
merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini
meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah yang
mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai. Terdapat 3
pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu: (1) pendekatan empiris, (2)
pendekatan evaluatif dan (3) pendekatan normatif.
3.2 Pengelolaan Perikanan
Dalam Ketentuan Umum Bab I pasal 1 ayat 7 Undang-undang Perikanan
Nomor 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan
perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum
dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
3.3 Pembangunan Berkelanjutan
Istilah berkelanjutan berasal dari Bahasa Inggris yaitu “sustainability”.
Istilah ini sebetulnya bukan istilah baru. Di bidang kelautan dan perikanan istilah
ini telah lama digunakan, yaitu maximum sustainable yield dan maximum
sustainable catch. Istilah ini menunjukan besarnya hasil atau tangkapan
maksimum yang dapat diperoleh secara lestari (Supardi 2003). Dengan kata lain,
agar pemanfaatan sumber daya lestari, maka laju pemanfaatan itu harus lebih
kecil atau sama dengan laju proses pemulihan sumber daya tersebut.
Akhir-akhir ini, istilah berkelanjutan digunakan untuk konsep
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi,
ekonomi, dan sosial (Munasinghe 2002).
Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan
hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusiawi. Kebutuhan untuk
kelangsungan hidup hayati adalah kebutuhan yang paling esensial, meliputi
udara, air dan pangan yang harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang
memadai untuk dapat hidup sehat. Sedangkan kebutuhan untuk kehidupan
manusiawi mempunyai arti untuk menaikan martabat dan status sosial (Supardi
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali dipublikasikan oleh The
World Concervation Strategy pada tahun 1980 di Gland, Swiss dan menjadi
pusat pemikiran untuk pembangunan dan lingkungan. Pada WCS tersebut
pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai berikut : Sustainable
development – maintenance of essential ecological processes and life support
systems, the preservation of genetic diversity, and the sustainable utilization of
species and ecosystems. Definisi lain yang terkenal dikemukakan oleh World
Commission on Environtment and Development (WCED) 1978, yang dikenal pula
dengan nama Komisi Bruntland, adalah “pembangunan yang memenuhi generasi
kini tanpa membahayakan generasi mendatang untuk dapat memenuhi sendiri
kebutuhan mereka” (Budiharsono, 2006). Komisi tersebut terdiri dari banyak
perwakilan dari negara maju dan berkembang serta melakukan pertemuan
terbuka di berbagai negara.
Dengan menjelaskan pengertian pembangunan berkelanjutan serta
menerangkan implikasi dibaliknya, Komisi Bruntland kemudian
mengidentifikasikan tujuh tujuan penting untuk kebijakan pembangunan dan
lingkungan. Ketujuh tujuan tersebut, yaitu:
(1) Memikirkan kembali makna pembangunan.
(2) Merubah kualitas pertumbuhan (lebih menekankan pada pembangunan dari pada sekedar pertumbuhan).
(3) Memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan
sanitasi.
(4) Menjamin terciptanya keberlanjutan pada satu tingkat pertumbuhan
penduduk tertentu.
(5) Mengkonversi dan meningkatkan sumber daya.
(7) Memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan
keputusan.
Menindaklanjuti publikasi Our Common Future, banyak upaya telah
dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Hal ini dikarenakan, tanpa pedoman atau prinsip, tidak mungkin
menentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan
berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan
berkelanjutan. Berdasarkan tujuan kebijakan dan lingkungan di atas, selain dapat
meningkatkan kualitas hidup manusia, pembangunan juga mendukung
prinsip-prinsip kehidupan yang berkelanjutan. Adapun prinsip-prinsip-prinsip-prinsip tersebut yaitu: (1)
menghormati dan memelihara komunitas kehidupan, (2) memperbaiki kualitas
hidup manusia, (3) melestarikan daya hidup dan keragaman bumi, (4)
menghindari sumber daya - sumber daya yang tidak terbarukan, (5) berusaha
tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi, (6) mengubah sikap dan gaya
hidup orang per orang, (7) mendukung kreativitas masyarakat untuk memelihara
lingkungan sendiri, (8) menyediakan kerangka kerja nasional untuk memadukan
upaya pembangunan pelestarian, dan (9) menciptakan kerja sama global
(Supardi 2003).
Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang
sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (Gambar 3). Setiap
komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh
kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya
manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa
pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem
ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia,
pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi
Gambar 3Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka trans-disiplin (Munasinghe 2002).
Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan
harus berdasarkan pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep “equity”
lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan
secara khusus aspek ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus aspek
lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya. Dahuri
(2001) menyatakan ada tiga prasyarat yang dapat menjamin tercapainya
pembangunan berkelanjutan yaitu: keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi,
dan pemanfaatan berkelanjutan.
Dari Gambar 3 mengindikasikan bagaimana menggabungkan kerangka
“sustainomics”, dan dasar hubungan pengetahuan trans-disiplin, akan
mendukung pendugaan komprehensif dan keseimbangan trade-off dan sinergi
yang mungkin terjadi dalam pembangunan berkelanjutan antara dimensi
ekonomi, sosial dan lingkungan. Keseimbangan juga diperlukan dalam
pembangunan secara tradisional. Pendekatan dalam pembangunan
perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Secara ideal
pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak tersentuh. Oleh karena itu,
berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan sumber
daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial,
lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan sumber
daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002).
Munasinghe (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa perkembangan
dimensi ekonomi seringkali dievaluasi dari makna manfaat yang dihitung sebagai
kemauan untuk membayar (willingnes to pay) terhadap barang dan jasa yang
dikonsumsi. Konsep modern dari keberlanjutan ekonomi adalah mencari untuk
memaksimalkan aliran pendapatan atau konsumsi yang dapat menghasilkan.
Efisiensi ekonomi memainkan peranan dalam memastikan alokasi sumber daya
dalam produksi dan efisiensi konsumsi yang memaksimalkan pemanfaatan.
Menurut Charles (2001) konsep pembangunan berkelanjutan
mengandung aspek :
(1) Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga
melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas
ekosistem dengan perhatian utama.
(2) Keberlanjutan sosio-ekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai
tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian
keberlanjutan.
(3) Keberlanjutan komunitas: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas
atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang
berkelanjutan.
Gambar 4 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles 2001).
Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan
pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan
antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi (dalam hal ini
kebijakan perikanan tangkap) yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah,
pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi
bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Dalam konteks hubungan
antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi
masyarakat dan swasta.
3.4 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya ikan yang
sangat besar baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Potensi lestari
sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,26 juta ton per tahun
yang terdiri atas potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton per
tahun dan perairan ZEE Indonesia sekitar 1,86 juta ton per tahun. Berdasarkan
pelagis kecil 3,24 juta ton, demersal 1,79 juta ton, dan udang 0,08 juta ton (DKP
dan PKSPL 2001).
Sumber daya ikan bisa diperbaharui, namun sumber daya ikan
mempunyai batas-batas tertentu. Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan tanpa
batas atau tidak rasional serta melebihi batas optimal (MSY), maka dapat
mengakibat kerusakan dan terancamnya kelestarian (Tribawono, 2002). Oleh
karena itu, untuk menciptakan pemanfaatan yang berkelanjutan, maka diperlukan
suatu kebijakan terpadu untuk mengelola sumber daya ikan.
Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pada
Pasal 1 butir disebutkan bahwa sumber daya ikan adalah potensi semua jenis
ikan. Sedangkan pada butir 4 disebutkan bahwa ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam
lingkungan perairan. Sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan
Undang-undang No. 31 Tahun 2004, yang dimaksud dengan "jenis ikan" adalah:
(1) Pisces (ikan bersirip);
(2) Crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya);
(3) Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya);
(4) Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya);
(5) Echinodermata (tripang, bulu babi, dan sebangsanya);
(6) Amphibia (kodok dan sebangsanya);
(7) Reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air, dan sebangsanya);
(8) Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan sebangsanya);
(9) Algae (rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air);
dan
(10) Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di
Besarnya potensi sumber daya ikan di atas disertai dengan kompleksitas
permasalahan, baik struktural maupun fungsional, khususnya pada era
pemerintahan orde baru yang sentralistik. Hal ini dicerminkan dengan kemiskinan
yang masih melilit masyarakat nelayan. Padahal laut Indonesia menyimpan
potensi sumber daya ikan yang sangat besar. Adrianto dan Kusumastanto (2004)
mengatakan bahwa paling tidak ada tiga hal yang menjadi penyebab
ketidakseimbangan dalam pembangunan perikanan Indonesia, yaitu: (1) masih
rendahnya muatan teknologi di sektor kelautan dan perikanan, yang dicerminkan
dengan 87% perikanan tradisional; (2) lemahnya pengelolaan; dan (3) masih
kurangnya dukungan ekonomi-politik. Dengan demikian, agar tercipta
pembangunan perikanan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan perikanan.
Menurut Jones (1977), kebijakan perikanan adalah serangkaian
keputusan yang saling berhubungan yang dibuat oleh seorang aktor perikanan
berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan dalam
situasi yang dikuasai oleh aktor atau kelompok tersebut. Lebih lanjut Jones
(1977) menyatakan kebijakan perikanan adalah suatu keputusan pemerintah
untuk memecahkan masalah-masalah negara atau masyarakat nelayan.
Kebijakan (policy) adalah rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan untuk meningkatkan
sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan merupakan suatu proses
mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia yakni
dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan daya
dukung sumber daya alam. Perairan laut bersifat milik bersama (common
resources), sehingga siapa pun dapat memanfaatkan sumber daya hayati yang
ada didalamnya. Menurut Smith dan Marahuddin (1986), menyatakan bahwa
dimana beberapa pemilik mempunyai hak yang sama untuk menggunakan
sumber daya ikan tersebut. Agar tidak terjadi konflik diantara pemanfaat laut,
maka perlu dibuat peraturan perundang-undangan perikanan, baik yang berlaku
secara lokal, nasional, regional maupun internasional.
Dengan demikian, pengelolaan perikanan merupakan upaya yang
dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa
berkembang. Sebagai implikasi dari perkembangan perspektif tersebut,
penyesuaian atau perubahan dapat terjadi pada tujuan, strategi dan kegiatan
pengelolaan perikanan. Pada awalnya pengelolaan perikanan cenderung hanya
bertujuan melestarikan sumber daya ikan. Namun pada perkembangan
selanjutnya, tujuan ini semakin luas dengan adanya keprihatinan terhadap para
pelaku utama, sehingga pengelolaan perikanan harus juga menguntungkan
mereka. Pada saat kekayaan alam dianggap sebagai milik rakyat maka muncul
perhatian agar sumber daya ikan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
masyarakat luas. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan saat ini bertujuan untuk
melestarikan sumber daya ikan dan kondisi lingkungan, memaksimumkan
manfaat ekonomi sumber daya ikan, dan memastikan diterapkannya keadilan
terhadap para pengguna yang telah memanfaatkan sumber daya alam milik
umum tersebut (Sondita 2004). Dengan tujuan-tujuan tersebut, kegiatan
perikanan diharapkan berkelanjutan.
Sementara itu, kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan ialah
keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong,
mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan dan kelautan guna
mewujudkan tujuan pembangunan nasional (Simatupang 2001). Kebijakan ini
harus dipandang dalam konteks pembangunan nasional yang tujuannya tidak
hanya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan saja tetapi kesejahteraan
termasuk ke dalam kategori kebijakan publik, dilakukan oleh pemerintah dan
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas.
Untuk mewujudkan keberhasilan pencapaian pengembangan kawasan
pesisir, maka penanganan kawasan ini perlu memperhatikan pembangunan yang
berorientasi kepada (DKP dan PKSPL 2001):
(1) Kebijakan yang didasarkan kepada kesesuaian dengan adat istiadat dan
budaya setempat.
(2) Berbasis kepada masyarakat.
(3) Berwawasan lingkungan dengan pengelolaannya yang berdasarkan pada
azas lestari dan berkelanjutan.
(4) Tidak diskriminatif terhadap semua pelaku pembangunan dan stakeholder di kawasan pesisir, namun mempunyai jiwa kepeloporan dalam pembangunan.
Menurut Charles (2001), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem
perikanan berkelanjutan, yaitu: (1) sistem alam (natural system) yang mencakup
ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system)
yang mencakup nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan,
lingkungan sosial/ekonomi/budaya; dan (3) sistem pengelolaan perikanan
(fishery management system) yang mencakup perencanaan dan kebijakan
perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian
perikanan.
Dengan demikian, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa sistem
perikanan adalah sistem yang kompleks. Kompleks didefinisikan apabila sistem
tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik
maupun statis (Charles 2001). Selanjutnya Charles (2001) mengungkapkan,
bahwa dalam prakteknya, keragaman sistem perikanan bersumber dari beberapa
hal, yaitu: (1) banyaknya tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan;
banyakny