SUWITO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
Kepadatan, Perilaku dan Distribusi Spasial adalah karya Saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2010
Suwito
iii SIGIT and SUPRATMAN SUKOWATI.
Malaria is one of a public health problem in Indonesia, causing morbidity and mortality as well as outbreak in remote areas. South Lampung and Pesawaran were medium malaria areas, with annual parasite incidence in 2009 were 2,84000 and 12,48 000 consequently. Vector control remains the most effective measure to prevent malaria transmission. The understanding of bioecology vector species is very important to formulate vector control strategies. The study of Anopheles
mosquito in South Lampung and Pesawaran Districts were carried out on August 2008 to September 2009. Larval species were sampled in all water bodies by dipper according to WHO standard. Anopheline species were collected by human landing and resting collections to study population dynamics and biting activities. Diversity of larva was analyzed by Shannon-Wiener index and T test. The correlation of weather with anopheline density, and anopheline density with malaria cases were analysed by Correlation Pearson test. Mapping of mosquito used GPS and analyzed by Arc view program. There was heterogeneity of diversity larva among land use. Twelve species were found, there were 11 species at Rajabasa and 10 species at Padangcermin, e.g. A. sundaicus, A. barbirostris, A. annularis, A. minimus, A. kochi, A. aconitus, A. tessellatus, A. vagus, A. subpictus, A. indefinitus, A. maculatus and A. hyrcanus group. The A. sundaicus was the
predominant species in both study areas. Thirteen habitats were found, there were 10 at Rajabasa and 11 at Padangcermin, e.g. unproductive fish pounds, unproductive hatchery, lagoon, swamp, ditches, river, paddy field, irrigation channel, ground pool, mud-hole, puddle and water container. The predominant habitats of A. sundaicus were unproductive hatcheries at Rajabasa and
unproductive fish pounds at Padangcermin. The population density of A. sundaicus was fluctuated every month, and the peak occurred on November at
Rajabasa and on Desember at Padangcermin. The biting activities of A. sundaicus
was fluctuated every hour, and the peak occurred at 03.00-04.00 AM at Rajabasa, and 02.00-03.00 AM at Padangcermin, the outdoor man hour density (MHD) higher than indoor. Anopheles sundaicus proved as malaria vector, the
circumsporozoite rate were 0,022 at Rajabasa and 0,003 at Padangcermin. The relative humidity and rain fall have positive correlation with A. sundaicus density.
Key word : Anopheles, diversity, habitat, density, behavior, spatial
iv SUPRATMAN SUKOWATI.
Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran merupakan daerah endemis malaria dengan angka AMI tahun 2009 sebesar 2,84 000 dan 12,48
00 0 . Pengendalian malaria dengan upaya memutuskan mata rantai penularan masih efektif untuk dilaksanakan. Oleh karena itu pemahaman bioekologi spesies
Anopheles penting dipelajari sebagai dasar pengendalian vektor malaria.
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati bioekologi spesies Anopheles di
Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran, meliput i keragaman, karakteristik habitat perkembangbiakan, kepadatan, perilaku dan distribusi spasial.
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran, tepatnya di Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin. Penelitian dilaksanakan selama satu tahun, mulai Agustus 2008 sampai dengan September 2009. Larva dikoleksi menggunakan cidukan plastik standar WHO pada semua jenis perairan. Karakteristik habitat larva Anopheles yang diamati meliputi jenis habitat, luasan,
ketinggian, kedalaman, dasar habitat, salinitas air, suhu air, pH air, arus air, jenis-jenis gulma air, tinggi gulma air dan kerapatan gulma air. Nyamuk dikoleksi pada malam dan pagi hari. Koleksi nyamuk malam hari dilakukan dengan metode HLC pada jam 18.00-06.00, sedangkan pagi hari dilakukan koleksi nyamuk yang istirahat pada jam 06.00-09.00. Nyamuk Anopheles yang unfed dilakukan
pembedahan abdomen untuk melihat status paritas. Kepala dan toraks nyamuk dilakukan pemeriksaan circumsporozoite protein dengan metode ELISA untuk
menentukan status vektor. Titik koordinat larva dan nyamuk Anopheles dicatat
berdasarkan alat GPS. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data cuaca dan kasus malaria.
Keragaman larva Anopheles dihitung berdasarkan indeks keragaman Shanon
Wiener. Perbedaan keragaman larva Anopheles dianalisis menggunakan uji T.
Kepadatan nyamuk Anopheles dianalisis berdasarkan angka MHD dan angka
MBR. Fluktuasi MHD ditampilkan selama 12 jam, sedangkan fluktuasi MBR ditampilkan selama satu tahun. Demikian juga paritas ditampilkan fluktuasinya selama 12 jam dalam satu tahun. Angka EIR dihitung berdasarkan nilai MBR dikalikan dengan nilai sporozoit rate. Hubungan antara cuaca dengan jumlah A. sundaicus dan hubungan jumlah A. sundaicus dengan kasus malaria dianalisis
dengan uji korelasi Pearson. Peta sebaran larva dan nyamuk Anopheles diolah
menggunakan soft wareArc View.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks keragaman larva Anopheles
v
terbengkalai merupakan habitat utama larva A. sundaicus di Padangcermin,
sedangkan bak benur terbengkalai habitat utama larva A. sundaicus di Rajabasa.
Karakteristik habitat larva Anopheles spp. yang ditemukan antara lain ketinggian
maksimal 100 mdpl, kedalaman 5-300 cm, suhu 26-40 ºC, salinitas 0-34 ‰, pH 5,2-8,5, sebagian besar dasar perairan lumpur, sebagian besar kondisi air tidak mengalir dan mengalir lambat. Jenis gulma air yang ditemukan yaitu
Enteromorpha sp., Heteromorpha sp., Spirogyra, Imperata sp., Ipomoea aquatica, Nymphaea alba, Caladium bicolor dan Alsophila glauca.
Nyamuk Anopheles yang berkontak dengan manusia sebanyak 12 spesies,
yaitu A. sundaicus, A. vagus, A. tessellatus, A. aconitus, A. subpictus, A. annularis, A. kochi, A. minimus, A. barbirostris, A. maculatus.A. aconitus dan A. hyrcanus group. Nyamuk A. sundaicus ditemukan sebagai spesies terbanyak,
menghisap darah sepanjang malam dengan puncak kepadatan jam 03.00-04.00 di Rajabasa dan jam 02.00-03.00 di Padangcermin, kepadatan tertinggi bulan November di Rajabasa dan bulan Desember di Padangcermin.
Nyamuk A. sundaicus ditemukan sebagai spesies terbanyak, dan berdasarkan
hasil pemeriksanaan ELISA positif mengandung protein circumsporozoite,
dengan circumsporozoite rate (CS rate) sebesar 0,022 di Rajabasa dan 0,003 di
Padangcermin. Kemampuan A. sundaicus menularkan malaria di Rajabasa lebih
besar (EIR = 0,710 infeksi gigitan per orang per malam) dibandingkan dengan di Padangcermin (EIR = 0,162 infeksi gigitan per orang per malam). Ada hubungan bermakna kelembaban udara dan curah hujan dengan jumlah A. sundaicus
hinggap di badan, sedangkan jumlah A. sundaicus hinggap di badan berhubungan
bermakna dengan kasus malaria satu bulan berikutnya.
Nyamuk Anopheles spp. lebih banyak menghisap darah di luar rumah
dibandingkan di dalam rumah. Di dalam rumah nyamuk Anopheles spp.
ditemukan sebagian besar beristirahat di dinding dalam rumah dan kelambu. Di Kecamatan Rajabasa sebaran Anopheles spp. ditemukan pada 11 desa,
yaitu Desa Cugung, Kerinjing, Pancoran, Batubalak, Kunjir, Rajabasa, Waymuli, Sukaraja, Canti, Banding dan Sebesi. Sementara itu, di Kecamatan Padangcermin sebaran Anopheles spp. ditemukan pada semua desa, yaitu Desa Lempasing,
Hurun, Hanura, Sidodadi, Gebang, Gayau, Durian, Sanggi, Padangcermin, Banjaran dan Hanauberak.
Saran dalam penelitian antara lain perlu Perda yang mengatur pengelolaan tambak benur dan tambak pembesaran, perlu sosialisasi tentang vektor malaria dan manajemen lingkungan, perlu dilakukan pengeringan bak benur dan pengangkatan gulma air pada tambak terbengkelai secara berkala, serta perlu dilakukan peningkatan surveilens vektor malaria untuk mencegah penularan.
Kata kunci : Anopheles, keragaman, habitat, kepadatan, perilaku, distribusi
vi
©
Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
vii
SUWITO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
viii
Penguji pada Ujian Tertutup : Drs. Damar Tri Boewono, M.Si, Ph.D
Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si
Penguji pada Ujian Terbuka : dr. Tri Baskoro Tunggul Satoto, M.Sc, Ph.D
Dr. drh. Susi Soviana, M.Si
ix Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.Si
Prof. Dr. drh. Singgih H Sigit, MS
Anggota Anggota
Prof. Dr. Drs. Supratman Sukowati, M.Si
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Entomologi Kesehatan
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
x
Pesawaran : Keragaman, Karakteristik Habitat, Kepadatan, Perilaku dan Distribusi Spasial.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.Si, Bapak Prof. Dr. drh. Singgih H Sigit, MS dan Bapak Prof. Dr. Drs. Supratman Sukowati, M.Si selaku komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan arahan guna kesempurnaan penelitian ini. Ucapkan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Damar Tri Boewono, M.Si, Ph.D dan Ibu Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, yang telah memberikan banyak masukan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dr. Tri Baskoro Tunggul Satoto, M.Sc, Ph.D dan Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan banyak masukan. Selanjutnya, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Bupati Lampung Selatan dan Pesawaran, Bapak Kepala Dinas Kesehatan Lampung Selatan dan Pesawaran, Bapak Camat Rajabasa dan Padangcermin, serta Pimpinan Puskesmas Waymuli, Hanura dan Padangcermin, yang telah memberikan ijin dan kemudahan pengambilan data di lapangan. Kepada Kementrian Pendidikan Nasional penulis ucapkan terima kasih atas beasiswa pendidikan yang telah diberikan. Kepada Bapak Prof. Dr. Drs. Supratman Sukowati, M.Si atas nama malaria transmission consortium (MTC) Indonesia terima kasih atas dana penelitian yang telah
diberikan. Terima kasih terdalam kepada istri tercinta, ibu dan ayah tersayang serta seluruh keluarga atas segala doanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2010
xi
Diponegoro Semarang lulus tahun 1996. Pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang lulus tahun 2005, dengan beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional. Pada tahun 2006 mendapatkan kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Entomologi Kesehatan Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiwa BPPS Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis bekerja di Kantor Departemen (Kandep) Kesehatan Kota Pangkalpinang (sekarang menjadi Dinas Kesehatan) dengan penempatan pada RSUD Pangkalpinang sebagai tenaga perencanaan dan pengembangan rumah sakit sejak tahun 1998 hingga sekarang. Saat ini Penulis sedang mengurus proses pindah ke Subdit Pengendalian Vektor Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pada tahun 2002 Penulis mejadi staf pengajar di Sekolah Tinggi Kesehatan Abdi Nusa Pangkalpinang hingga sekarang.
Selama mengikuti program doktor, Penulis juga menjadi anggota Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) dan pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Karya ilmiah berjudul “Sebaran tambak benur dan risikonya sebagai habitat larva Anopheles” telah disampaikan pada Seminar
Nasional Hari Nyamuk tahun 2009 dan diterbitkan dalam Prosiding Seminar Nasional Hari Nyamuk 2009, halaman 99-105. Artikel berjudul “Distribusi spasial dan bioekologi Anopheles di Lampung Selatan dan Pesawaran, Provinsi
Lampung” sedang dalam proses penerbitan pada Jurnal Ekologi Kesehatan Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Artikel berjudul “Hubungan iklim, kepadatan nyamuk Anopheles dan kejadian malaria” sedang
dalam proses penerbitan pada Jurnal Entomologi Indonesia. Artikel lain yang akan diusulkan lagi penerbitannya pada Jurnal Ekologi Kesehatan Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan Republik Indonesia berjudul “Metode pengendalian malaria berdasarkan analisis perilaku nyamuk Anopheles”. Karya-karya ilmiah
xii
DAFTAR LAMPIRAN……… xix
1 PENDAHULUAN……….... 1
2.2 Habitat Perkembangbiakan Anopheles spp………. 6
2.2.1 Jenis-jenis Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp………...……….. 6
2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp.………. 8
2.2.2.1 Suhu Air……….. 8
2.2.2.2 Derajat Keasaman (pH) Air... 9
2.2.2.3 Salinitas Air... 9
2.2.2.4 Arus Air... 10
2.2.2.5 Luasan Habitat... 11
2.2.2.6 Ketinggian Habitat... 11
2.2.2.7 Kedalaman Air... 12
2.2.2.8 Gulma Air... 12
2.2.2.9 Keberadaan Ikan (Predator Larva)……….... 13
2.3 Kepadatan Populasi Anopheles spp... 14
2.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keadatan Populasi Anopheles spp... 15
2.3.1.1 Suhu Udara………. 15
2.4.1.2 Kelembaban Udara………. 16
2.4.1.3 Curah Hujan……… 16
2.4 Perilaku Nyamuk Anopheles spp……….. 17
2.4.1 Perilaku Nyamuk Anopheles spp. Menghisap Darah…. 17 2.4.2 Perilaku Nyamuk Anopheles spp. Beristirahat... 18
2.5 Sistem Informasi Geografi... 18
3. BAHAN DAN METODE……… 20
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 20
3.2 Penentuan Sampel Lokasi Penelitian... 21
3.2.1 Lokasi Pengambilan Sampel Larva Anopheles spp... 21
3.2.2 Lokasi Pengambilan Sampel Nyamuk Anopheles spp.... 21
xiii
3.4.4 Kedalaman Habitat... 23
3.4.5 Dasar Habitat... 23
3.5 Pengumpulan Nyamuk Anopheles spp. (Dewasa)... 25
3.5.1 Penangkapan Nyamuk Anopheles spp. Malam Hari... 25
3.5.2 Penangkapan Nyamuk Anopheles spp. Pagi Hari... 25
3.5.3 Pemeriksaan Paritas... 25
3.5.4 Pemeriksaan Circumsporozoite (CS) Protein (ELISA)... 26
3.6 Pemetaan Sebaran Larva dan Nyamuk Anopheles spp….……… 27
3.7 Pengumpulan Data Sekunder... 27
3.7.1 Pengumpulan Data Cuaca... 27
3.7.2 Pengumpulan Data Kasus Malaria... 27
3.8 Analisis Data... 27
3.8.1 Analisis Data Keragaman dan Kelimpahan Nisbi Larva Anopheles spp... 27
3.8.2 Analisis Data Karakteristik Habitat... 28
3.8.3 Analisis Data Kepadatan Nyamuk Anopheles spp... 28
3.8.4 Analisis Data Paritas Nyamuk Anopheles spp... 29
3.8.5 Analisis Data Perilaku Anopheles spp. Menghisap Darah dan Beristirahat... 29
3.8.6 Menghitung sporozoit rate dan entomological inoculation rate... 30
3.8.7 Analisis Data Cuaca... 30
3.8.8 Analisis Data Kasus Malaria... 31
3.8.9 Analisis Data Titik Koordinat Larva dan Nyamuk Anopheles spp………. 31
4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 32
4.1 Keragaman dan Kelimpahan Nisbi Larva Anopheles spp………. 32
4.2 Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp... 37
4.2.1 Jenis-jenis Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp... 37
4.2.2 Luas, Ketinggian dan Kedalaman Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp... 42
4.2.3 Dasar Habitat Perkembangbiakan Anopheles spp... 44
xiv
Larva A. sundaicus……….... 54
4.2.8 Tambak Terbengkalai Sebagai Habitat Perkembangbiakan Larva A. sundaicus……….... 57
4.3 Kepadatan Anopheles spp…...………….. 63
4.3.1 Aktivitas A. sundaicus Menghisap Darah………. 65
4.3.2 Paritas A. sundaicus...…..……….. 69
4.4 Perilaku Anopheles spp………... 74
4.4.1 Perilaku Anopheles spp. Menghisap Darah ……….. 74
4.4.2 Perilaku Anopheles spp. Beristirahat………. 76
4.5 Hasil Pemeriksaan CS Protein…..……….. 81
4.6 Entomological Inoculation Rate (EIR)………. 82
4.7 Hubungan Cuaca dengan Jumlah A. sundaicus Hinggap di Badan……... 84
4.7.1 Hubungan Suhu Udara Dengan Jumlah A. sundaicus Hinggap di Badan... 84
4.7.2 Hubungan Kelembaban Udara Dengan Jumlah A. sundaicus Hinggap di Badan... 85
4.7.3 Hubungan Curah Hujan Dengan Jumlah A. sundaicus Hinggap di Badan... 86
4.8 Hubungan Jumlah A. sundaicus Hinggap di Badan Dengan Kasus Malaria………. 88
4.9 Distribusi Spasial Spesies Anopheles spp………. 91
4.9.1 Sebaran Larva Anopheles spp………. 91
4.9.2 Sebaran Spesies Anopheles spp……….. 92
5 PEMBAHASAN UMUM... 98
6 SIMPULAN DAN SARAN... 104
6.1 Simpulan... 104
6.2 Saran... 104
DAFTAR PUSTAKA... 106
xv
Padangcermin, Pesawaran, Agustus 2008 - September 2009…………. 34 2 Indeks Keragaman Larva Anopheles spp. Berdasarkan Area Tata Guna
Lahan di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan dan Padangcermin,
Pesawaran, Agustus 2008 - September 2009……….. 35
3 Perbedaan Indeks Keragaman Larva Anopheles spp. pada Tata Guna
Lahan yang Berbeda di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan dan
Padangcermin, Pesawaran, Agustus 2008 - September 2009…………. 37 4 Jenis-jenis Habitat Perkembangbiakan dan Sebaran Larva Anopheles
spp. di Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan dan Padangcermin
Pesawaran, Agustus - September 2008………... 38
5 Luas, Ketinggian dan Kedalaman dan Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan,
Agustus - September 2008……….. 43
6 Luas, Ketinggian dan Kedalaman Habitat Perkembangbiakan Larva
Anopheles spp. di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran, Agustus -
September 2008……….. 43
7 Dasar Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di Kecamatan
Rajabasa, Lampung Selatan, Agustus - September 2008……… 45 8 Dasar Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di Kecamatan
Padangcermin, Pesawaran, Agustus - September 2008……….. 45 9 Salinitas, Suhu dan pH Air pada Habitat Perkembangbiakan Larva
Anopheles spp. di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Agustus -
September 2008………... 47
10 Kondisi Salinitas, Suhu dan pH Air pada Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran,
Agustus - September 2008……….. 48
11 Arus Air pada Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di
Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Agustus - September 2008… 49 12 Arus Air pada Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di
Kecamatan Padangcermin, Pesawaran, Agustus - September 2008…... 49 13 Gulma Air pada Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di
Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Agustus - September 2008… 52 14 Gulma Air pada Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di
Kecamatan Padangcermin, Pesawaran, Agustus - September 2008…... 53 15 Tambak Benur yang Ditemukan Larva A. sundaicus di Kecamatan
Rajabasa, Lampung Selatan……… 54
16 Karakteristik Bak Benur Sebagai Habitat Perkembangbiakan Larva A.
sundaicus di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan... 55
17 Faktor Risiko Bak Benur Terbengkalai Sebagai Habitat Larva A.
sundaicus di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan... 56
xvi
20 Karakteristik Habitat Perkembangbiakan Anopheles di Kecamatan
Rajabasa Lampung Selatan……….. 59
21 Karakteristik Habitat Perkembangbiakan Anopheles di Kecamatan
Padangcermin Pesawaran……… 61
22 Jumlah Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan di Kecamatan
Rajabasa, Lampung Selatan, September 2008 - September 2009... 66 23 Jumlah Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan di Kecamatan
Padangcermin, Pesawaran, September 2008 - September 2009... 67 24 Tempat Anopheles spp. Beristirahat Pagi Hari di Kecamatan Rajabasa,
Lampung Selatan...……… 77 25 Tempat Anopheles spp. Beristirahat Pagi Hari di Kecamatan
Padangcermin, Pesawaran...………… 78 26 Tempat spesies Anopheles Beristirahat Per Bulan di Kecamatan
Rajabasa, Lampung Selatan, Agustus 2008 - September 2009………... 79 27 Tempat Spesies Anopheles Beristirahat Per Bulan di Kecamatan
Padangcermin, Pesawaran, Agustus 2008 - September 2009………….. 80 28 Kondisi Abdomen Spesies Anopheles Berdasarkan Lokasi Beristirahat
Pagi Hari di Kecamatan Rajabasa Lampung, Selatan dan
Padangcermin Pesawaran, Agustus 2008 - September 2009………….. 81 29 Hasil pemeriksaan CS Protein Spesies Anopheles di Kecamatan
Rajabasa, Lampung Selatan dan Kecamatan Padangcermin,
Pesawaran... 82 30 Angka Entomological Inoculation Rate Spesies Anopheles Per Orang
Per Malam di Rajabasa, Lampung Selatan dan Padangcermin,
Pesawaran………. 83
31 Sebaran larva Anopheles di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan,
Agustus - September 2009………... 91
32 Sebaran larva Anopheles di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran,
Agustus 2008 - September 2009……….. 92
33 Sebaran spesies Anopheles di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan
dan Padangcermin, Pesawaran, Agustus 2008 - September 2009……... 94 34 Perubahan Luas Bak Benur dan Tambak Terbengkalai di Kecamatan
Rajabasa, Lampung Selatan dan Padangcermin, Pesawaran, November
xvii
Rajabasa, Lampung Selatan dan Padangcermin Pesawaran, Agustus -
September 2008... 32 3 Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di Kecamatan
Rajabasa, Lampung Selatan, Agustus - September 2008……….. 39 4 Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp. di Kecamatan
Padangcermin, Pesawaran, Agustus - September 2008………. 41 5 Rata-rata Spesies Anopheles Hinggap di Badan Per Orang Per Malam
(MBR) pada 15 Dusun di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan... 63 6 Rata-rata Spesies Anopheles Hinggap di Badan Per Orang Per Malam
(MBR) pada 15 Dusun di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran…… 64 7 Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan Per Orang Per Jam (MHD)
di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, September 2008 -
September 2009... 65 8 Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan Per Orang Per Jam (MHD)
di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran, September 2008 -
September 2009... 66 9 Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan Per Orang Per Malam
(MBR) di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, September 2008 -
September 2009... 68 10 Nyamuk A. sundaicus Hinggap di Badan Per Orang Per Malam
(MBR) di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran, September 2008 -
September 2009... 69 11 Paritas A. sundaicus Per Jam di Kecamatan Rajabasa, Lampung
Selatan, September 2008 - September 2009... 70 12 Paritas A. sundaicus Per Jam di Kecamatan Padangcermin,
Pesawaran, September 2008 - September 2009... 71 13 Paritas A. sundaicus Per Bulan di Kecamatan Rajabasa, Lampung
Selatan, September 2008 - September 2009... 72 14 Paritas A. sundaicus Per Bulan di Kecamatan Padangcermin,
Pesawaran, September 2008 - September 2009... 72 15 Paritas A.sundaicus Istirahat Per Jam di Kecamatan Rajabasa,
Lampung Selatan dan Kecamatan Padangcermin, Pesawaran,
September 2008 - September 2009... 73 16 Paritas A. sundaicus Istirahat Per Bulan di Kecamatan Rajabasa,
Lampung Selatan dan Kecamatan Padangcermin, Pesawaran,
September 2008 - September 2009... 73 17 Persentase Anopheles spp. Hinggap di Badan di Dalam dan Luar
Rumah di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan…..………. 75 18 Persentase Anopheles spp. Hinggap di Badan di Dalam dan Luar
Rumah di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran,….………
xviii
September 2008 - September 2009……… 86
21 Hubungan Indeks Curah Hujan dengan Jumlah A. sundaicus Hinggap
di Badan (MBR) di Kecamatan Padangcermin, Pesawaran,
September 2008 - September 2009……… 87
22 Hubungan Jumlah A. sundaicus Hinggap di Badan (MBR) dengan
Kasus Malaria di Kecamatan Padangcermin Pesawaran, Januari -
Desember 2009……….. 90
23 Hubungan Jumlah A. sundaicus Hinggap di Badan (MBR) dengan
Kasus Malaria (Satu Bulan Berikutnya) di Kecamatan Padangcermin
Pesawaran, Januari - Desember 2009……… 90
24 Sebaran Larva dan Nyamuk Anopheles spp. di Kecamatan Rajabasa,
Lampung Selatan, Agustus 2008 - September 2009……….. 95 25 Sebaran Larva dan Nyamuk Anopheles spp. di Kecamatan
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria merupakan masalah kesehatan di Indonesia, terutama di daerah pedesaan di luar Jawa dan Bali. Angka malaria klinis atau annual malaria
incidence (AMI) di luar Jawa dan Bali perseribu penduduk selama sembilan tahun
berturut-turut tahun 2000-2009, yaitu 31,09 000, 26,2 000, 22,3 000, 21,8 000, 21,2
0 (Ditjen PP&PL 2010).
Lampung merupakan daerah endemis malaria dengan angka AMI berturut-turut tahun 2007-2009 yaitu 4,47 000, 6,48
00
0 dan 5,33 00
0 (Dinkes Prop. Lampung
2010). Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran merupakan daerah endemis malaria dengan angka AMI tahun 2009 sebesar 2,84 000 dan 12,48
00
0 (Dinkes
Prop. Lampung 2010). Rajabasa merupakan kecamatan paling tinggi kasus malaria di Kabupaten Lampung Selatan, dengan angka AMI tahun 2006 sebesar 94 000, tahun 2007 sebesar 106 000 dan tahun 2008 sebesar 92 000 (Dinkes Kab.
Lamsel 2009). Padangcermin adalah Kecamatan tertinggi kasus malaria di Kabupaten Pesawaran, dengan angka AMI tahun 2006 sebesar 104 000, tahun
2007 sebesar 116 000, dan tahun 2008 sebesar 106 00
0 (Dinkes Kab. Pesawaran
2009).
Malaria pada manusia disebabkan oleh infeksi Plasmodium malariae, P.
vivax, P. falciparum, dan P. ovale. Plasmodium penyebab malaria di Lampung
adalah P. vivax dan P. falciparum (Dinkes Prop. Lampung 2010). Demikian juga
di beberapa wilayah lain di Indonesia jenis P. vivax dan P. falciparum merupakan
penyebab malaria terbanyak, seperti di Lahewa, Sirombu dan Mandrehe Kabupaten Nias Sumatera Utara (Syafruddin et al. 2007), demikian juga di
Bagelen Kabupaten Purworejo Jawa Tengah adalah jenis P. falciparum
(Syafruddin et al. 2003).
Jumlah vektor malaria di Indonesia telah diidentifikasi sebanyak 22 spesies, yaitu A. sundaicus, A. aconitus, A. nigerrimus, A. maculatus, A. barbirostris, A.
karwari, A. koliensis, A. ludlowi, A. vagus, A. parangensis, A. umbrosus, A. subpictus, A. longirostris, A. flavirostris, A. minimus dan A. leucosphyrus
(Sukowati 2008). Nyamuk A. sundaicus diketahui merupakan vektor malaria di
Padangcermin Kabupaten Lampung Selatan. Hal ini terbukti dengan pemeriksaan
enzyme linked immunisorbent assay (ELISA) di dalam tubuh A. sundaicus
mengandung P. vivax dan P. falciparum (Idram-Idris 2000).
Permasalahan utama yang menyebabkan tingginya malaria di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran adalah banyaknya jumlah habitat perkembangbiakan larva Anopheles. Keberadaan habitat perkembangbiakan
mempermudah perkembangan Anopheles serta meningkatkan risiko penularan
malaria. Wilayah dengan ekosistem pantai merupakan habitat A. sundaicus. Rosa
et al. (2009) melaporkan bahwa pantai di Sukamaju Teluk Betung Barat Kota
Bandar Lampung merupakan habitat utama A. sundaicus. Sukowati dan Shinta
(2009) juga melaporkan bahwa A. sundaicus ditemukan di pantai Purwodadi
Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.
Kecamatan Rajabasa terletak di wilayah pantai, sebagian lokasinya merupakan wilayah tambak benur udang windu. Di wilayah ini terdapat bak-bak besar yang terbuat dari semen, berukuran 4x6 m sebagai tempat pemeliharaan benur. Sebagian bak tidak digunakan dan dibiarkan terbengkalai. Bak terbengkalai diisi air hujan atau air laut untuk menghindari retak, terkena sinar matahari sehingga salinitas menjadi payau dengan kadar garam 0-9 ‰. Kondisi ini merupakan habitat perkembangan utama larva A. sundaicus (Suwito et al. 2009).
Kecamatan Padangcermin berbatasan langsung dengan laut, sebagian area pantai dimanfaatkan untuk tambak pembesaran udang windu. Sebagian tambak ditinggalkan dan dibiarkan terbengkalai sehinga ditumbuhi lumut. Selain itu di Kecamatan Padangcermin banyak terdapat rawa-rawa dan lagun yang merupakan habitat utama A. sundaicus.
Pengendalian malaria dengan upaya memutuskan mata rantai penularan, yang melibatkan vektor, masih efektif untuk dilaksanakan. Setiap spesies
Anopheles mempunyai daerah penyebaran geografi, habitat perkembangbiakan
bioekologi nyamuk Anopheles penting dipelajari sebagai dasar pengendalian
vektor malaria. Informasi bioekologi dapat diperoleh dengan mempelajari karakteristik habitat perkembangbiakan larva, kepadatan nyamuk, aktivitas menggigit, kebiasaan istirahat dan distribusi spasial. Pengetahuan tetang tipe perairan sebagai habitat perkembangbiakan larva penting dipelajari karena dapat menjadi sumber informasi untuk mempermudah pengendalian nyamuk stadium pradewasa. Pengendalian vektor yang tepat sasaran memerlukan informasi spasial berupa peta sebaran vektor. Informasi area sebaran vektor dapat mempermudah petugas untuk menentukan lokasi dalam pengendalian vektor.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penting dilakukan studi bioekologi spesies Anopheles, sebagai dasar pengendalian vektor malaria yang tepat sasaran.
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah ”Bagaimanakah bioekologi spesies Anopheles di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran Provinsi
Lampung dan kaitannya dengan penularan malaria?”
1.2 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bioekologi spesies Anopheles di Kabupaten Lampung
Selatan dan Pesawaran, meliputi keragaman, karakteristik habitat perkembangbiakan, kepadatan, perilaku dan distribusi spasial.
1.3 Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat dari penelitian ini, yaitu :
1) Mendapatkan informasi ilmiah berupa bioekologi spesies Anopheles, yang
dapat digunakan sebagai dasar pengendalian vektor malaria di Lampung Selatan dan Pesawaran.
2) Mendapatkan informasi geografis, berupa peta sebaran spesies Anopheles
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keragaman Anopheles spp.
Keragaman nyamuk Anopheles spp. dipengaruhi oleh struktur lansekap,
zoogeografi, ketinggian, kebedaan habitat perkembangbiakan pra dewasa dan
sibling spesies. Di Indonesia secara umum, di lingkungan pantai banyak
ditemukan A. sundaicus dan A. subpictus, di lingkungan persawahan A.
barbirostris dan A. aconitus, di lingkungan rawa dan sungai berbatuan A. maculatus dan A. farauti dan di lingkungan perbukitan A. balabacencis (Ditjen
PP&PL 2010).
Kabupaten Lampung Selatan mempunyai keragaman Anopheles spp. yang
tinggi, seperti halnya pernyataan Idram-Idris (1999) bahwa di daerah pantai bekas rawa-rawa Padangcermin Kabupaten Lampung Selatan terdapat 16 jenis nyamuk
Anopheles, yaitu A. sundaicus, A. subpictus, A. vagus, A. indefinitus, A. nigerrimus, A. peditaeniatus, A. kochi, A. barbirostris, A. barumbrosus, A. annularis, A. separatus, A. tessellatus, A. aconitus, A. umbrosus, A. leucosphyrus
dan A. letifer. Rosa et al. (2009) menyatakan di wilayah pantai Sukamaju Teluk
Betung Barat Kota Bandar Lampung terdapat A. sundaicus, A. longilostris, A.
leucosphyrus, A. maculatus, A. ramsayi dan A. subpictus.
Keragaman Anopheles spp. di beberapa daerah lainnya di Indonesia antara
lain A. sundaicus dan A. subpictus ditemukan di Purwodadi Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah (Sukowati dan Shinta 2009). Selanjutnya A. barbirostris, A.
tessellatus, A. vagus, A. kochi, A. indefinitus, A. peditaeniatus, A. subpictus dan A.
parangensis ditemukan di Sidoan Kabupaten Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah
(Garjito et al. 2004). Berikutnya A. annularis, A.aconitus, A. barbirostris, A.
kochi, A. sundaicus, A. tessellatus dan A. vagus ditemukan di Kecamatan Sumur
Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat (Mardiana et al. 2007). Selain itu A.
barbirostris, A. vagus, A. aconitus, A. maculatus dan A. kochi ditemukan di
Langkap Jaya Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Munif et
Tengah (Mardiana et al. 2005). Di Bangsring Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur ditemukan A. sundaicus, A. vagus, A. subpictus, A. flavirostris, A.
barbirostris, A. annularis dan A. indefinitus, sedangkan di Panggul
Hans et al. (2002) mempelajari pengaruh stuktur lansekap terhadap
kepadatan dan keragaman nyamuk Anopheles. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lahan pertanian mempunyai stuktur lansekap yang berukuran kecil-kecil dan sangat bervariasi bentuknya dari pada lokasi hutan. Hal ini mempengaruhi keragaman jenis Anopheles. Pada daerah hutan ditemukan A. maculatus s.s. dan A.
minimus s.l., keduanya merupakan vektor utama di Thailand yang banyak
ditemukan di daerah hutan. Adapun densitas A. aconitus dan A. hyrcanus group di
daerah persawahan tidak berbeda nyata. Nyamuk A. aconitus merupakan vektor
malaria sekunder dan A. hyrcanus group bukan vektor di Thailand. Densitas A.
minimus berhubungan positif dengan lahan hutan, jenis air dan lansekap
persawahan. Perubahan pemanfaatan hutan akibat aktifitas ekonomi meningkatkan heterogenitas lansekap, yang mengakibatkan penurunan keragaman jenis Anopheles. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa bila manajemen
lansekap digunakan untuk pengendalian malaria di bagian Utara Thailand, maka diperlukan upaya agar tidak memanfaatkan perubahan yang besar terhadap hutan yang ada.
Kabupaten Trenggalek ditemukan A. sundaicus, A. vagus, A. subpictus, A. flavirostris, A.
barbirostris, A. maculatus, A. aconitus, A. tesselatus dan A. kochi (Mardiana
2001). Di Sayong dan Longlongan Kabupaten Lombok, NTB ditemukan A.
subpictus (Sukowati 2001). Di Doro Halmahera Selatan, Maluku Utara ditemukan
A. farauti, A. vagus, A. punctulatus dan A. minimus (Mulyadi 2010). Di Santuun
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan ditemukan A. barbirostris, A,
tessellatus, A. vagus, A. kochi dan A. hyrcanus group (Suwito et al. 2010). Di
Emparu Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat ditemukan A. umbrosus, A.
barbirostris, A. tessellatus, A. maculatus dan A. kochi (Suwito et al. 2010). Di
Ela-Ela dan Caile Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan ditemukan A.
2.2 Habitat Perkembangbiakan Anopheles spp.
2.2.1 Jenis-jenis Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp.
Habitat perkembangbiakan merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk pada saat pra dewasa, mulai dari telur, larva dan pupa. Bates (1970) membagi habitat larva menjadi empat kelompok yaitu (1) Habitat yang permanen dan semi permanen seperti rawa, danau, (2) Daerah aliran air yang berasosiasi dengan tumbuhan, (3) Kontainer termasuk genangan air pada ketiak daun tumbuhan, dan 4) Genangan air pada tanah yang bersifat sementara. Sementara itu, Rao (1981) membagi habitat larva menjadi dua kelompok yaitu (1) Habitat yang bersifat alamiah seperti danau, rawa, genangan air, dan (2) Habitat buatan manusia seperti daerah sawah, irigasi, kolam. Adapun Bruce-Chwatt (1985) mengklasifikasikan habitat larva dalam lima kelompok yaitu (1) Air tawar yang menggenang permanen atau temporal seperti rawa-rawa yang terbuka luas atau daerah rawa yang merupakan bagian dari danau, kolam, genangan air, dan mata air, (2) Kumpulan air tawar yang sifatnya sementara seperti genangan air terbuka di lapangan dan bekas tapak kaki binatang, (3) Air yang mengalir permanen atau semi permanen seperti sungai yang terbuka dengan vegetasi, air yang mengalir dari selokan, (4) Tempat penampungan air alami seperti lubang pada batu, pohon, lubang buatan hewan, dan tempat penampungan air buatan manusia seperti kaleng, ban, tempurung kelapa, dan (5) Air payau seperti rawa-rawa pasang surut. Habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. berbeda di beberapa
wilayah di Indonesia. Munif et al. (2007) menyatakan bahwa di Langkap Jaya
Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sawah merupakan habitat perkembangbiakan larva A. barbirostris, A. vagus, dan A. aconitus, saluran irigasi
adalah habitat larva A. barbirostris dan A. aconitus, kubangan/mata air habitat
larva A. barbirostris dan A. maculatus; belas telapak kaki habitat larva A. kochi.
Sementara itu Sukowati (2000) melaporkan bahwa habitat pradewasa nyamuk A.
subpictus di Sayong adalah tambak dan saluran irigasi, di sekitar tambak yang
lain seperti rumput dan eceng gondok dengan kisaran salinitas 10-35 ‰. Larva nyamuk A. maculatus di Kokap Kabupaten Kulonprogo, DIY tumbuh dan
berkembang pada perairan terbuka baik mengalir maupun tidak mengalir, dan dengan dasar berupa batu atau tanah, habitat yang sesuai bagi larva A.
balabacencis adalah pada perairan yang banyak ternaungi sehingga cahaya
matahari tidak dapat menembus langsung, dan dengan dasar berupa batu (Santoso 2002). Di Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah habitat potensial larva
Anopheles pada musim kemarau ditemukan di sungai yang ditanami kangkung
oleh masyarakat setempat (Mardiana et al. 2005).
Di Pulau Sulawesi, tepatnya di Ela-ela dan Caile Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan larva A. barbirostris, A. subpictus dan A. vagus ditemukan pada
habitat rawa-rawa, sedangkan larva A. barbirostris, A. vagus dan A. indefinitus
ditemukan di sawah (Suwito et al. 2010). Di Pulau Kalimantan, tepatnya di
Emparu Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat larva A. umbrosus group, A.
barbirostris, A. tessellatus, A. maculatus dan A. kochi ditemukan pada habitat sawah paca panen, kobakan dan saluran (Suwito et al. 2010), sedangkan di Santuun Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan larva A. barbirostris, A. tessellatus, A.
vagus, A. kochi dan An. hyrcanus group ditemukan pada habitat kobakan bekas
kaki kerbau, sawah pasca panen, genangan air di sekitar permukiman dan parit (Suwito et al. 2010).
Hasil pengindraan jauh menggunakan satelit Landsat, di Pulau Bangka habitat perkembangbiakan potensial Anopheles spp. adalah sungai dengan luas 4.212 Ha, kolong bekas galian
timah seluas 81.056 Ha, sawah seluas 452 Ha, rawa-rawa seluas 158.783 Ha dan
mangrove seluas 31.158 Ha (Suwito 2007).
Larva Anopheles di beberapa negara lain mempunyai habitat yang
bervariasi. Di Gurgaon, India habitat tangki ditemukan larva A. stephensi,
sedangkan di sumur ditemukan A. subpictus (Sharma 1990). Adapun di
Shahjahanpur, India larva A. culicifacies, A. subpictus, A. annularis, A. nigerrimus
dan A. barbirostris ditemukan pada habitat sawah (Prasad et al. 1990). Di dataran
tinggi Kenya larva A. gambiae ditemukan pada habitat rawa-rawa (Minakawa et
habitat kolam dan saluran air (Sattler et al. 2005). Di Kota Mudon, Burma larva A.
balabacensis ditemukan pada habitat sumur (Lin-Tun et al. 1986).
2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Habitat Perkembangbiakan
Larva Anopheles spp. 2.2.2.1Suhu Air
Suhu air sangat mempengaruhi perkembangan larva. Secara umum nyamuk
Anopheles lebih menyukai termperatur yang tinggi jika dibandingkan dengan jenis
Culicinae. Itulah sebabnya jenis Anopheles lebih banyak dijumpai di daerah tropis
(Takken et al. 1990 dalam Susanna 2005). Suhu air dipengaruhi oleh suhu
lingkungan dan paparan sinar matahari pada habitat. Suhu mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air, suhu air semakin tinggi maka semakin rendah kelarutan oksigen di dalam air.
Suhu air berpengaruh terhadap metabolisme pertumbuhan fase telur, larva dan pupa. Telur, larva dan pupa nyamuk menjadi dewasa membutuhkan waktu 14 hari pada suhu air 70 0F (21,1 0C), dan 10 hari pada suhu air 80 0F (26,7 0C) (McCafferty et al. 1983). Hasil penelitian di Ban Khun Huay, Ban Pa Dae dan
Ban Tham Seau Kabupaten Mae Sot, Thailand bahwa suhu air mempengaruhi kepadatan larva A. minimus, A. kochi, A. jamesii (Kengluecha et al. 2005).
Sementara itu di Kakamega, Kenya larva A. gambiae didapatkan pada perairan
dengan suhu air ≈ 3-3,4 0C (Tuno et al. 2005). Selain itu di Kecamatan Kokap
Kabupaten Kulonprogo, DIY larva A. maculatus dan A. balabacencis ditemukan
pada habitat dengan suhu air antara 24,10 - 24.15 0C (Santoso 2002). Selanjutnya di Desa Doro Halmahera Selatan larva A. farauti ditemukan pada habitat dengan
suhu air 25-30 oC (Mulyadi 2010). Adapun di Lengkong Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat larva A. nigerrimus ditemukan pada perairan dengan suhu air
22,9-31,2 0C (Munif
2.2.2.2Derajat Keasaman (pH) Air
Derajat keasaman (pH) air mempengaruhi kehidupan organisme di dalam air. Perairan asam kurang baik untuk perkembangbiakan bahkan cenderung mematikan organisme. Swingle (1961) dalam Boyd (1990) membuat klasifikasi pH terhadap kehidupan di air yaitu (1) pH 6,5-9 dibutuhkan oleh hewan air untuk bereproduksi, (2) pH 5-6,5 perkembangan hewan air lambat, (3) pH 4-5 hewan air tidak bereproduksi, (4) pH 4 merupakan titik kematian asam, dan (5) pH 11 merupakan titik kematian basa.
Jenis Anopheles yang berbeda dapat berkembang dengan kondisi pH air
yang berbeda. Larva A. culicifacies ditemukan hidup pada kisaran pH 5,4-9,8, A.
plumbeus pH 4,4-9,3, sedangkan A. stephensi dan A. varuna ditemukan pada pH
air 6-11 (Clements 1999). Sementara itu di Bengal India ditemukan larva A.
sundaicus pada perairan dengan pH 7,7-8,5 atau rata-rata 8,2 (Sent 1938 dalam
Rao 1981). Selanjutnya di Ban Khun Huay, Ban Pa Dae dan Ban Tham Seau Kabupaten Mae Sot, Thailand pH air mempengaruhi pertumbuhan larva A. dirus,
A. kochi dan A. vagus (Kengluecha et al. 2005). Adapun di Kecamatan Kokap
Kabupaten Kulonprogo, DIY larva A. letifer, A. maculatus dan A. balabacencis
ditemukan pada habitat sawah dan kolam dengan pH 7,13-7,2 (Santoso 2002). Di Doro Kabupaten Halmahera Selatan larva A. farauti ditemukan pada perairan
seperti kobakan, kubangan, kolam, sumur, kali dan rawa-rawa dengan pH air 6,8-7,1 (Mulyadi 2010).
2.2.2.3Salinitas Air
Salinitas air pada habitat perkembangbiakan larva Anopheles dipengaruhi
oleh berubahnya luas genangan air, curah hujan, aliran air tawar dan evaporasi. Salinitas air yang berubah selama satu tahun menyebabkan banyak spesies nyamuk melakukan adaptasi (Mosha dan Mutero 1982 dalam Clements 1999).
Setiap jenis Anopheles memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda
terhadap derajat salinitas air. Salinitas optimum perkembangan A. sundaicus di
menyatakan salinitas optimum pertumbuhan A. sundaicus berkisar antara 15-20
‰. Hasil penelitian di Bangsring Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur larva A.
sundaicus ditemukan pada perairan dengan salinitas 0-4 ‰, sedangkan di Panggul
Kabupaten Trenggalek ditemukan pada salinitas air 9
Habitat pradewasa nyamuk A. subpictus di Sayong Lombok, NTB
ditemukan habitat tambak dan saluran irigasi dengan kisaran salinitas 5-35 ‰, sedangkan di Longlongan pada habitat sawah, sungai, kobakan air dan saluran irigasi dengan kisaran salinitas 10-35 ‰ (Sukowati 2000). Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa salinitas optimum untuk perkembangan larva
A. farauti di dalam medium garam NaCl adalah 10 ‰, dengan lama
perkembangan akan mencapai imago antara 6-8 hari, dengan jumlah rata-rata imago yang hidup sebanyak 96 % (Bowolaksono 2001 dalam Mulyadi 2010). Adapun larva A. farauti di Doro Kabupaten Halmahera Selatan ditemukan pada
air tawar dan payau, dengan salinitas salinitas 0-7 ‰ (Mulyadi 2010). Sementara itu larva A. farauti di Honiara Pulau Solomon ditemukan pada salinitas air
0,22-0,25 ‰ (Bell et al. 1999). Selanjutnya di Batticaloa, Sri Langka larva
‰ (Mardiana et al. 2002).
A. culicifacies ditemukan pada perairan dengan salinitas 0,2-0,3 ‰ (Jude et al.
2010).
2.2.2.4Arus Air
Arus air adalah pergerakan air, dipengaruhi oleh gravitasi bumi, mengalir dari tempat lebih tinggi ke tempat lebih rendah. Habitat perkembangbiakan nyamuk diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu habitat air air mengalir (lotic) dan habitat air tidak mengalir (lentic) (Mattingly 1969). Habitat air
mengalir seperti sungai, parit, saluran irigasi, sawah dan rawa-rawa, sedangkan habitat tidak mengalir adalah kolam, kubangan dan kobakan.
Setiap jenis Anopheles memiliki kebiasaan yang berbeda-beda untuk
memilih habitatnya berdasarkan arus air. Mulyadi (2010) melaporkan di Doro Halmahera Selatan larva Anopheles ditemukan pada perairan yang tidak mengalir
dan mengalir lambat. Larva A. farauti ditemukan pada habitat tidak mengalir
mengalir lambat ditemukan larva A. farauti, A. punctulatus, A. vagus dan A.
minimus. Sementara itu di Kokap Kabupaten Kulonprogo, DIY larva A. minimus, A. maculatus dan A. balabacensis ditemukan pada habitat parit dan sawah yang
mengalair lambat, sedangkan larva A. letifer, A. maculatus dan A. balabacensis
pada habitat sawah dan kolam yang tidak mengalir (Santoso 2002). Selanjutnya di Lengkong Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat larva A. nigerrimus dan A. aconitus
ditemukan pada habitat kolam yang tidak mengalir (Saleh 2002). Adapun di Battaramulla, Sri Lanka larva A. culicifacies dan A. varuna ditemukan pada
habitat parit dan saluran irigasi yang mengalir perlahan (Piyaratne et al. 2005).
2.2.2.5Luasan Habitat
Kepadatan Anopheles dipengaruhi oleh luasan habitat, semakin luas habitat
semakin tinggi kepadatan Anopheles. Larva Anopheles dapat berkembang pada
habitat dengan luasan kecil maupun besar, mulai dari kobakan yang hanya beberapa cm2, hingga sawah hingga ratusan Ha. Mulyadi (2010) di Doro Halmahera Selatan melaporkan A. faurauti pada habitat kubangan dengan luas
2-15 m2, kolam dengan luas 20 m2, sumur dengan luar 3-4 m2, kali dengan 15-20 m2. Sementara itu Suwito (2005) melaporkan di Pulau Bangka habitat perkembangbiakan potensial Anopheles spp. adalah sungai dengan luas 4.212 Ha,
kolong bekas galian timah seluas 81.056 Ha, sawah seluas 452 Ha, rawa-rawa seluas 158.783 Ha dan mangrove seluas 31.158 Ha. Adapun di Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang larva A. sundaicus ditemukan di muara sungai dengan luas
kurang lebih 5 m2 (Mardiana
et al. 2007).
2.2.2.6Ketinggian Habitat
Ketinggian merupakan salah satu faktor yang menentukan cakupan geografis penularan malaria. Penularan malaria jarang terjadi pada ketinggian di atas 2000 mdpl. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata, semakin tinggi letak geografis semakin dingin suhu udara, sehingga semakin panjang masa inkubasi ekstrinsik.
Keberadaan larva Anopheles spp. dipengaruhi oleh ketinggian lokasi. Larva
0-200 mdpl, A. barbirostris dan A. aconitus pada ketinggian 200-500 mdpl, A.
maculatus dan A. farauti pada ketinggian 500-1000 mdpl, sedangkan A. balabacencis pada ketinggian di atas 1000 mdpl (Ditjen PP&PL 2010).
2.2.2.7Kedalaman Air
Larva nyamuk ditemukan sebagian besar di tempat yang airnya dangkal. Perairan yang dangkal akan menyebabkan besarnya produktivitas mahluk air dan tumbuhan air, termasuk larva nyamuk. Hal ini dikarenakan pada perairan yang dangkal persediaan oksigen cukup banyak (Suwignyo 1989 dalam Susanna 2005).
Di Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat larva A. sundaicus
ditemukan di muara sungai dengan kedalaman 15 cm, luas kurang lebih 5 m2, salinitas air 10 ‰, dan pH air 8, sedangkan A. vagus dan A. kochi ditemukan di
sekitar kobakan yang ditumbuhi tanaman semak belukar dengan kedalaman air 10 cm dan pH 8 (Mardiana et al. 2007). Adapun di Langkap Jaya Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat larva A. barbirostris dan A. aconitus ditemukan pada
saluran irigasi dengan tinggi permukaan air antara 5-10 cm (Munif et al. 2007).
Sementara itu di Doro Halmahera Selatan larva A. farauti ditemukan pada habitat
kobakan dengan kedalaman 5-10 cm, kolam kedalaman 15-30 cm, kali kedalaman 5-20 cm dan rawa-rawa kedalaman 5-20 cm (Mulyadi 2010).
2.2.2.8Gulma Air
Gulma air pada habitat perkembangbiakan sangat berperan terhadap keberadaan larva nyamuk Anopheles. Gulma air dapat berfungsi sebagai tempat
menambatkan diri bagi larva nyamuk sewaktu istirahat di permukaan air, tempat berlindung dari arus air dan serangan predator. Tumbuhan air dan ganggang yang membusuk di permukaan air yang menyebar luas dan mendapat sinar matahari langsung sangat membantu perkembangan larva. Hal ini disebabkan oleh mikrofauna dan mikroflora sebagai bahan makanan larva banyak berkumpul di sekitar tumbuhan air yang membusuk (Rao 1981).
Lagun dan rawa-rawa yang ditumbuhi rumput air dan lumut di Bangsring Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur merupakan habitat larva A. sundaicus, A.
indefinitus, sedangkan rawa-rawa di Panggul Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur
merupakan habitat larva A. sundaicus, A. vagus, A. subpictus, A. flavirostris, A.
barbirostris, A. maculatus, A. aconitus, A. tesselatus dan A. kochi (Mardiana
2001). Perairan sebagai habitat larva A. farauti di Doro Kabupaten Halmahera
Selatan banyak ditemukan ganggang (alga), tanaman permukaan air sejenis Pistia
sp. dan tanaman bakau (Mulyadi 2010). Habitat pradewasa nyamuk A. subpictus
di Sayong Lombok, NTB adalah tambak dan saluran irigasi, di sekitar tambak yang banyak ditumbuhi oleh algae, lumut dan rumput; sedangkan di Longlongan Lombok, NTB tempat perkembangbiakannya adalah sawah, sungai, kobakan air, saluran irigasi yang banyak ditumbuhi oleh algae dan gulma air yang lain seperti rumput dan eceng gondok (Sukowati 2000). Sementara itu di Kasimbar Kabupaten Parigi-Mouton lagun sebagai habitat A. subpictus terdapat lumut jenis
Chladophora sp. dan Entheromorpha sp. (Garjito et al.)
2.2.2.9Keberadaan Ikan (Predator Larva)
Predator memiliki peranan yang penting dalam menyeimbangkan kepadatan larva nyamuk, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengendalian biotik. Ikan merupakan salah satu predator larva. Kepadatan nyamuk di suatu daerah ditentukan oleh keberadaan ikan sebagai predator, misalnya ikan kepala timah (Aplocheilus
panchax), ikan gapi (Poecilia reticulata), ikan nila (Oreochromis nilotica), ikan
mujair (O. mozambica), ikan sepat (Trichogaster pectoralis), ikan mas (Cyprinus
carpio), ikan gabus (Ophiio striatus), ikan bandeng (Chanos chanos), ikan lele (Claricis batraus). Larva A. farauti di Doro Kabupaten Halmahaera Selatan
mempunyai predator ikan kecil, udang, nimfa capung dan berudu (Mulyadi 2010). Ikan mujair dan ikan kepala timah merupakan predator larva Anopheles
yang efektif. Mattimu (1989) menyatakan ikan mujair berukuran 2,5 gram dapat memangsa 480 larva A. aconitus per hari tanpa makanan tandingan, sedangkan
dengan makanan tandingan Moina sp. dapat memangsa 362 larva, dengan
makanan tandingan Chlorella sp. dapat memangsa 164 larva. Sementara itu,
per hari. Ikan kepala timah mempunyai kemampuan menembus sela-sela rumpun padi yang merupakan mikrohabitat yang disenangi larva Anopheles.
2.3 Kepadatan Populasi Anophelesspp.
Nyamuk Anopheles spp. pada umumnya beraktivitas pada malam hari.
Kepadatan Anopheles menghisap darah berbeda berdasarkan spesies. Nyamuk A.
sundaicus merupakan spesies dominan di daerah pantai Purwodadi Kabupaten
Purworejo, Jawa Tengah, hinggap di badan sepanjang malam, dengan puncak aktivitas jam 02.00-03.00 (Sukowati dan Shinta 2009). Sementara itu, di Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat puncak aktivitas A.
sundaicus di luar rumah jam 01.00-02.00 dan di dalam rumah jam 24.00-01.00
(Mardiana et al. 2007). Di Langkap Jaya Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat A.
aconitus mencapai puncaknya jam 01.00-02.00, sedangkan A. barbirostris dan A. maculatus jam 19.00-20.00 (Munif et al. 2007). Di daerah Sukamaju Kota Bandar
Lampung Anopheles spp. menghisap darah sepanjang malam dengan puncak
aktivitas jam 24.00 di luar rumah dan jam 23.00 di dalam rumah (Rosa et al.
2010). Adapun di Kasimbar Kabupaten Parigi-Mouton, Sulawesi Tengah A.
barbirostris menghisap darah sepanjang malam, dengan puncak aktivitas jam
22.00-24.00 di luar rumah dan 23.00-01.00 di dalam rumah, sedangkan di Sidoan puncak aktivitas A. barbirostris jam 02.00-03.00 di luar rumah dan jam
23.00-24.00 di dalam rumah, kemudian A. subpictus di Sidoan menghisap darah
sepanjang malam, puncak aktivitas jam 21.00-22.00 di luar rumah dan jam 01.00-02.00 di dalam rumah (Garjito et al. 2004). Selanjutnya di Pulau Nicobar, India A.
sundaicus aktif pada malam hari jam 20.00-03.00 (Dusfour et al. 2004).
Kepadatan Anopheles berhubungan dengan peningkatan kasus malaria.
Mardiana dan Munif (2009) melaporkan bahwa kepadatan A. aconitus di
Purwodadi Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah mempunyai hubungan positif dengan insiden malaria, dengan nilai r2 = 0,491, artinya kasus malaria di Purwodadi 49,1% disebabkan oleh kepadatan Anopheles, selebihnya disebabkan
oleh faktor lain di luar kepadatan Anopheles. Sementara itu di wilayah
Anopheles juga berhubungan bermakna dengan kasus malaria (Achmad et al.
2003).
2.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepadatan Populasi Anopheles
spp.
2.3.1.1Suhu Udara
Suhu diartikan sebagai kandungan panas pada sebuah zat/benda tertentu. Suhu udara adalah derajat panas udara, yang dinyatakan dalam derajat selsius (o
Pengamatan di Amurang, Amurang Barat, Amurang Timur, Tumpean, Tareran, Kumelembuai, Motoling, Suluun, Ranoyapo, Maesaan, Tompaso Baru dan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat kuat antara suhu dengan persentase nyamuk Anopheles spp. terinfestasi P. falciparum yang ditangkap di luar rumah
ditunjukkan dengan nilai r = 0,736 dan p < 0,05, sedangkan antara suhu dengan persentase nyamuk Anopheles terinfestasi P. falciparum yang ditangkap di dalam
rumah ditemukan berkorelasi positif sedang dengan nilai r = 0,427 dan p < 0,05 (Pinontoan 2009). Sementara itu di Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah suhu udara berhubungan bermakna dengan kepadatan nyamuk istirahat di dinding (p = 0,03) dan dengan kepadatan nyamuk istirahat di kandang (p = 0,05) (Yunianto 2003).
C). Suhu udara dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya sinar mata hari, vegetasi dan polusi udara (Flanningan et al. 2000).
Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau masa inkubasi ekstrinsik. Suhu udara yang semakin tinggi (hingga batas tertentu), maka masa inkubasi ekstrinsik akan semakin pendek, sebaliknya semakin rendah suhu semakin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Suhu optimum perkembangbiakan nyamuk adalah 25-27 °C, pada suhu terlalu tinggi dapat meningkatkan mortalitas nyamuk (Martens 1997; Epstein et al. 1998). Suhu udara
optimum untuk perkembangan Plasmodium di tubuh Anopheles dan proses
penularan Plasmodium ke tubuh manusia adalah 20-30 °C. Siklus sporogoni
Plasmodium vivax, P. malariae, P. ovule, serta suhu kurang 19 °C. bagi P. falciparum (Bruce-Chwatt 1985).
2.3.1.2Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah jumlah uap air yang terdapat dalam udara yang dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban relatif adalah persentase uap air yang ada di udara saat pengukuran dibandingkan dengan kelembaban udara jenuh pada suhu dan tekanan pada saat yang sama (Suin 1999). Uap air di udara sebagian besar berasal dari penguapan air laut, sehingga kelembaban udara relatif pada daerah pantai lebih tinggi, disebabkan penguapan air laut relatif besar.
Kelembaban udara mempengaruhi kelangsungan hidup (survival rate),
kebiasaan mencari darah dan istirahat nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Peningkatan kelembaban udara berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan nyamuk, artinya semakin tinggi kelembaban udara maka semakin tinggi pula kepadatan nyamuk (Epstein et al. 1998). Kelembaban
udara yang lebih tinggi menjadikan metabolisme nyamuk meningkat (Clements 1999), sehingga proses pematangan telur menjadi lebih cepat. Proses pematangan telur membutuhkan darah, menyebabkan nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menghisap darah. Kelembaban udara di Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah berhubungan signifikan dengan kepadatan nyamuk istirahat di dinding (p =0,001) dan kepadatan nyamuk istirahat di kandang (p = 0,015) (Yunianto 2003). Sementara itu di wilayah pegunungan Menoreh perbatasan Jawa Tengah dan DIY kasus malaria berhubungan signifikan dengan suhu udara (p = 0,00) dan kelembaban udara (p = 0,00) (Achmad et al. 2003).
2.3.1.3Curah Hujan
Hujan berperan penting dalam epidemiologi malaria, karena menyediakan media bagi tahap akuatik dari daur hidup nyamuk (Martens 1997). Epstein el at.
perkembangbiakan nyamuk jika tidak terlalu deras, karena jika terlalu deras maka akan membilas telur, larva dan pupa nyamuk. Hujan juga dapat meningkatkan kelembaban relatif, sehingga dapat memperpanjang usia nyamuk.
Curah hujan minimum yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang adalah sekitar 1,5 mm per hari (Martens 1997). Curah hujan 150 mm per bulan di Kenya mengakibatkan perkembangan yang pesat dari populasi A. gambiae, vektor
malaria di Kenya (Malakooti et al. 1998). Kasus malaria di Kokap Kabupaten
Kulonprogo meningkat setelah terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi (Suwasono 2000). Hasil pengamatan di Sri Langka selama beberapa tahun relatif kering, saat hujan meningkatkan habitat perkembangbiakan A. culicifacies dan
diikuti oleh epidemi malaria yang hebat (Bruce-Chwat 1985).
2.4 Perilaku Nyamuk Anopheles spp.
2.4.1 Perilaku Nyamuk Anopheles spp. Menghisap Darah
Nyamuk Anopheles tertarik pada cahaya, warna gelap, manusia serta hewan.
Beberapa spesies nyamuk bersifat antropofilik (di sekitar manusia), zoofilik (di sekitar hewan), antropozoofilik (di sekitar manusia dan hewan) dan hidup bebas di alam. Nyamuk betina menghisap darah sebelum bertelur agar reproduksi berlangsung. Beberapa spesies memasuki rumah untuk menghisap darah (endofagik) dan istirahat di dalam rumah (endofilik), sedangkan spesies lain memasuki rumah hanya untuk menghisap darah (endofagik) dan menghabiskan waktu istirahatnya di luar rumah (eksofilik), dan ada yang menghisap darah di luar rumah (eksofagik) dan istirahat di luar rumah (eksofilik).
Hasil penelitian di Kenagarian Sungai Pinang Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat nyamuk A. aconitus, A. barbirostris, A. subpictus dan A.
sundaicus ditemukan bersifat eksofilik (Adrial et al. 2005). Sementara itu di
Lengkong Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat A. aconitus, A. maculatus dan A.
barbirostris ditemukan lebih banyak bersifat eksofagik (Munif et al. 2007). Di
Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah nyamuk Anopheles spp. lebih menyukai
darah hewan, antara lain A. maculatus dengan angka human blood index (HBI)
2.4.2 Perilaku Nyamuk Anopheles spp. Beristirahat
Nyamuk Anopheles spp. pada umumnya dapat beristirahat baik di luar
maupun di dalam rumah. Nyamuk A. maculatus dan A. balabacensis di Kokap
Kabupaten Kulonprogo bersifat eksofilik, lebih banyak beristirahat pada ketinggian 0-75 cm dari permukaan tanah, di luar rumah lebih banyak beritirahat di semak-semak dan tebing parit (Mahmud 2002). Sementara itu, di Loano Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah A. aconitus beristirahat di dalam rumah dan
di luar rumah, di dalam rumah beristirahat di kamar tidur dan ruang tamu, sedangkan di luar rumah banyak beristirahat pada lubang-lubang buatan berjarak 20 m dari rumah, dengan ketinggian 0-75 cm (Riyanti 2002). Di Jawa Tengah A.
maculatus ditemukan beristirahat di luar rumah, hinggap pada pohon kopi dan
tanaman-tanaman yang hidup di tebing yang curam, demikian juga A. barbirostris
beristirahat di luar rumah dan di pohon kopi, pohon nanas dan tanaman lainnya (Boewono dan Ristiyanto 2004 dalam Mulyadi 2010). Adapun di Moshi bagian utara Tanzania A. arabiensis lebih banyak eksofilik sebesar 80,7% dibandingkan
A. gambiae sebesar 59,7% dan Culex spp. sebesar 60,8% (Mahande et al. 2007).
2.5 Sistem Informasi Geografis
Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu teknik pemetaan berbasis komputer yang dapat mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, mengolah dan mengelola berbagai data spasial dari fenomena geografis (Bretas 1996). Data dasar yang terstruktur dalam SIG sangat memudahkan pengawasan suatu penyakit tertentu dengan menggantikan atau menambahkan data dari suatu penyakit dengan data penyakit lainnya (Verding et al. 1999). SIG dapat digunakan oleh tenaga
kesehatan masyarakat dan para profesional termasuk pembuat kebijakan, statistikawan, epidemiolog, dan petugas medis. SIG dalam bidang kesehatan digunakan untuk menentukan sebaran geografis penyakit dan vektor penyakit (Kitron 2008).
Global Positioning System (GPS) adalah alat yang digunakan untuk
dalam bentuk kajian risiko wilayah kejadian. Teknologi informasi tersebut sangat menunjang pelaksanaan kegiatan penyelidikan epidemiologi, khususnya penyelidikan untuk kasus malaria. SIG dimanfaatkan pada bidang kesehatan antara lain untuk memprediksi dinamika populasi nyamuk Anopheles di daerah
pantai, memonitor pola transmisi malaria, memprediksi epidemik, dan merencanakan strategi pengendalian.
Nyamuk Anopheles di Indonesia sangat beragam baik dari aspek jumlah
spesies, sebaran, populasi dan bioekologinya. Setiap spesies mempunyai daerah penyebaran geografi, habitat perkembangbiakan dan ekosistem yang khusus. Distribusi spasial Anopheles dimaksudkan sebagai sebaran berdasarkan tempat
atau wilayah geografis yang meliputi komponen topografi, ketinggian tempat (altitude), kemiringan lahan (slope) dan penggunaan lahan (land use) (Risdiyanto
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di dua wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran yang merupakan wilayah kategori kasus malaria sedang (medium case incidence/MCI) di Indonesia, tepatnya di dua kecamatan
dengan status kasus malaria tinggi (high incidence area/HIA), yaitu Kecamatan
Rajabasa dan Padangcermin. Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran merupakan wilayah yang berbatasan dengan pantai. Bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Lampung Timur, bagian utara berbatasan dengan Kota Bandar Lampung, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus, sedangkan di bagian selatan berbatasan dengan Selat Sunda (Gambar3.1).
Penelitian karakteristik habitat dan pemetaan larva Anopheles spp. dilakukan
selama dua bulan, yaitu Agustus dan September 2008 di seluruh Kecamatan Rajabasa dan Padangcermin. Adapun penelitian kepadatan dan perilaku nyamuk
Anopheles spp. dilaksanakan selama satu tahun, mulai Agustus 2008 sampai
dengan September 2009.
3.2 Penentuan Sampel Lokasi Penelitian
3.2.1 Lokasi Pengambilan Sampel Larva Anopheles spp.
Lokasi pengambilan sampel larva Anopheles spp. adalah semua jenis
perairan (alami atau buatan) yang terdapat di Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan dan Padangcermin Kabupaten Pesawaran.
3.2.2 Lokasi Pengambilan Sampel Nyamuk Anopheles spp.
Lokasi pengambilan sampel nyamuk Anopheles spp. dibedakan berdasarkan
dua kegiatan, yaitu survei longitudinal dan pemetaan. Survei longitudinal nyamuk
Anopheles spp. dilakukan di dua desa, yaitu Desa Canti Kecamatan Rajabasa
Kabupaten Lampung Selatan dan Desa Lempasing Kecamatan Padangcermin Kabupaten Pesawaran. Adapun untuk kegiatan pemetaan nyamuk, sampel diambil dari 30 dusun secara random. Besar sampel diambil berdasarkan rumus Lemenshow et al. (1997) :
3.3 Pengumpulan Larva Anopheles spp.
Larva dikoleksi menggunakan cidukan plastik standar WHO dengan kapasitas 400 cc. Pencidukan larva dilaksanakan oleh empat orang dengan frekuensi 20 kali per orang untuk setiap habitat. Pencidukan dilakukan di pinggir dan di tengah habitat perkembangbiakan secara merata. Larva yang tertangkap dipelihara, diberi makan serbuk hati, dan diidentifikasi spesiesnya setelah menjadi nyamuk. Identifikasi nyamuk menggunakan kunci identifikasi dari O’Connor dan Soepanto (1999).
Kegiatan pengumpulan larva Anopheles spp. dilakukan pada lima area tata
guna lahan, yaitu permukiman, persawahan, semak belukar, hutan dan pantai. Yang dimaksud dengan permukiman adalah area perumahan dan kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal manusia. Persawahan adalah area tempat menanam padi dan sejenisnya. Semak belukar adalah area tempat tumbuhnya tanaman liar, seperti rerumputan dan tanaman perdu yang jaraknya minimal 500 m dari permukiman. Hutan adalah area tempat tumbuhnya tanaman besar, pepohonan dan tanaman rawa-rawa yang jarang dikunjungi manusia. Pantai adalah area pesisir laut yang berbatasan langsung dengan laut, dengan jarak minimal 500 m dari permukiman.
3.4 Pengukuran dan Pengamatan Karakteristik Habitat Perkembangbiakan Larva Anopheles spp.
Karakteristik habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diperoleh
dengan melakukan pengamatan dan pengukuran terhadap jenis habitat, luasan, ketinggian, kedalaman, dasar habitat, salinitas air, suhu air, pH air, arus air, jenis-jenis gulma air, tinggi tinggi air dan kerapatan gulma air. Pengukuran dan pengamatan karakteristik habitat dilakukan satu kali terhadap semua habitat yang ada di lokasi penelitian, yang dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Agustus dan September 2008.
3.4.1 Jenis Habitat
Habitat perkembangbiakan larva Anopheles spp. diamati secara langsung,