• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian pemanfaatan ruang dalam kaitannya dengan resiko banjir di Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian pemanfaatan ruang dalam kaitannya dengan resiko banjir di Kabupaten Bandung"

Copied!
259
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM KAITANNYA

DENGAN RESIKO BANJIR DI KABUPATEN BANDUNG

SEKOLAH PASCASARJANA

XNSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Resiko Banjir di Kabupaten Bandung adalah karya saya sendiri dan belurn diajukan dalarn bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2007

(3)

;

ABSTRAK

ASRI SAVITRI. Kajian Pemanfaatan Ruang Dalam Kaitannya dengan Resiko

Banjir

di

Kabupaten Bandung. Dibiibing oleh BABA BARUS, SUDARMO dan

BOEDI TJAHJONO.

Banjir merupakan fenomena yang selalu terjadi d a i melanda daerah rawan banjir

di

cekungan Bandung pada tiap musim hujan.

am&

dalam betierapa tahun terakhir, banjir yang melanda Kabupaten Bandung telah menimbulkan kerugian yang sangat besar hingga melumpuhkan kegiatan ekonomi. Pemerintah setempat sebagai pengelola wilayah telah berupaya secara struktmd maupun non struklural untuk mengendalikan. banjir. Penataan ruang sebagai sal& satu upaya non struktur dalam mitigasi Kencana belum .berhasil menangani resiko akibat banjir di Kabupaten Bandung terbukti masih besarnya kerugian dan masalah sosia pasca banjir.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis realisasi pemanfaatan mang

di Kah~paten Bandung,.

(2)

membuat peta bahaya dan resiko banjir Kabupaten

Bandung, (3) mengetahui kaitan spasid pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten Bandung, (4) mengetahui persepsi masyarakat terhadap banjir dan

penataan ruang, dan (5) memberi masukan upaya penataan ruang dalam

mengurangi resiko banjir di Kabupaten Bandung.

Data yang digunakan berasal dari data primer seperti penggunaan lahan dan persepsi masyarakat yang diperoleh menggunakan GPS dan kuesioner,. serta data sekunder berupa peta-peta tematik maupun data-data sosial ekonomi yang dikumpulkan dari instansi terkait. Analisis data yang dipakai adalah analisis spasial dari Sistem Informasi Geografis yang kemudian dilanjutkan dengan analisis deskripsi. Metode yang dilakukan meliputi wawancarauntuk persepsi masyarakat, tumpang tindii pem untuk menghasilkan peta kontrol pemanfaatan ruang serta peta bahaya dan resiko banjir, dan pengharkatan dalam pengelompokan data.

Hasil analisis menunjukkan penyimpangan tata ruang di Kabupaten Bandung cukup tinggi yaitu 73%, namun penggunaanlpenutupan lahan hutan (23.4%) dan perkebunan PTP (0.8%) mendekati luas peruntukan, sedangkan luas kebun campuran melebihi luis peruntukan (32.6%), dan sawah kurang dari peruntukan (5.6%). Berdasarkin peta bahaya banjir, daerah bahaya banjir di Kabupaten Bandung terdiri dari bahaya tinggi (2 416.5 ha), bahaya sedang (2 767.2 ha), bahaya rendah (8 338.8 ha) dan tidak bahaya (293 848.5 ha) yang termasuk pada sub DAS Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, dan Ciwidey. Peta resiko banjir dikelompokan atas resiko tinggi (159.5 ha), resiko sedang (3 971.6 ha), resiko rendah (9 391.3 ha), dan tidak beresiko (293 848.5 ha). Mayoritas responden tidak mengetahui teknik-teknik konservasi d G informasi tentang penataan mang, tapi mempunyai keinginan untuk berperan serta dalarn kegiatan penataan ruang. Karena itu diperlukan penataan ruang yang memperhatikan aspek resiko banjir dan aspirasi masyarakat, terutama di daerah aliran sungai stimulan banjir di Kabupaten Bandung

Kata Kunci : bahaya, resiko banjir, pemanfaatan ruang, penyimpangan,

(4)

ABSTRACT

ASRI SAVITRI. Analysis of Relationship between Spatial Utilization and Flood Risk in Bandung District. Supervised by BABA BARUS, SUDARMO and BOEDI TJAHJONO.

Flood and its problems have to be a regular phenomenon in Bandung Basin every rainy season, causing immense loss so that paralyze economic activity in recent years. Indeed, Bandung District Government has tried to control flooding by structural and non structural efforts. A spatial arrangement as one of non structural policies for disaster mitigation has been one of unsuccessful efforts to cope flood risk in Bandung District, pmved by losses and further social problems after flood event.

The aims of this research were 1) to analyze realization of spatial utilization in Bandung District, 2) to make flood hazard and flood risk map of Bandung District; 3) to know a relationship between spatial utilization and flood in Bandung District; 4) to know community perception about flood and spatial arrangement; and 5) to give spatial arrangement suggestion for policy maker by concerning flood risk reduction.

Data sources were derived from primary data such as landuse, community perception by using GPS and questionnaire, and secondary data such as thematic maps and socio-economic data collected froni relevant institutions. The datas were analyzed spatially through GIs analysis then by descriptive analysis. Research method covered interviewing to get responden perception, map overlay to reveal land use map control, flood hazard and flood risk map, also scoring for data classification.

Analysis results showed discrepancy of the spatial regional planning which is 73%, but actual forest (23.4%) and private plantation (0.8%) area are close to the spatial allocation, whereas mix garden area (32.6%) exceed its allocation, and paddy field area (5.6%) less than its allocation. Based on flcod hazard map, hazardous area in Bandung District comprise high hazard (2 416.5 ha), moderate hazard (2 767.2 ha), low hazard (8 338.8 ha), and no hazard (293 848.5 ha), distributed in Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, and Ciwidey sub watershed. Flood risk map contains several classes, viz: high risk (159.5 ha), moderate risk (3 971.6 ha), low risk (9 391.3 ha), and no risk (293 848.5 ha). Majority of the responden do not know conservation techniques and spatial arrangement information but they have high willingness to participate on spatial arrangement activity. It is necessary for spatial mangement implementation by concerning flood risk aspect and community aspiration, especial!^ in flood stimulant sub watersheds of Bandung District.

(5)

KAJIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM KAITANNYA

DENGAN RESIKO BANJIR DI KABUPATEN BANDUNG

ASRI SAVITRI

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan, Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Resiko Banjir di Kabupaten Bandung

Nama : Asri Savitri NRP : A 253050354

Disetujui Komisi Pembimbing

-

Dr. Ir. Baba Barus, MSc Ketua

Dr. Ir. Sudarmo, MSi Anggota

Dr. Boedi Tiahiono Anggota

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pendekatan upaya penataan ruang sebagai mitigasi bencana banjir, dengan judul Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Resiko Banjir di Kabupaten Bandung.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc., Dr. Sudarmo, M.Si., dan Dr. Boedi Tjahjono atas bantuan pemikiran dan kritik selama membimbing penulis, juga Dr. 11. Suria Darma Tarigan, M.Sc yang telah banyak memberi saran sebagai penguji luar komisi pembimbing. Disamping itu penghargaan penulis sa~npaikan pada pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi penulis, segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Bupati Bandung atas kesempatan yang diberikan bagi penulis, serta semua pihak yang telah membantu psnulis dalam pengumpulan data yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. Tak lupa pula kepada rekan-rekan PWL 2005 dan kos-an QShop atas segala keceriaan dan rasa kebersamaan selama penulis menjadi mahasiswa. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya spesial penulis tujukan kepada orang tua, suami, serta anak-anak penulis tercinta atas segala doa dan dukungannya.

Suatu ciptaan manusia tidak ada yang sempurna dan setidaknya telah dilakukan upaya untuk mencapai yang terbaik, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(8)

RIWAYAT

HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 1 September 1972 di Bandung, Jawa Barat, dari ayah IG Westra dan ibu Asma Iljas. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Setelah lulus pendidikan menengah dari SMAN 3 Bandung pada tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, dan menyelesaikannya pada tahun 1997. Tahun 1998-2000 penulis sempat terlibat di LSM yang bergerak dalam bidang pertanian dan pelestarian hutan. Penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2000 di lingkungan pemerintahan Kabupaten Bandung pada Dinas Perhutanan Konservasi Tanah, dan sejak tahun 2002 menjadi staf pada Dinas Lingkungan Hidup.

(9)

DAFTAR IS1

Halamao

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTARGAMB AR

...

vii

DAFTARLAMPIRAN

. . .

ix

PENDAHULUAN

. . .

1

LatarBelakang

. . .

1

Perumusan Masalah

. . .

3

Tujuan dan Manfaat Penelitian

. . .

5

Kerangka Pemikiran Penelitian

. . .

5

TINJAUANPUSTAKA

. . .

7

PenataanRuang . . . 7

Penggunaan Lahan

. . .

9

. . .

Siklus Hidrologi 11 Bahaya Banjir dan Pengurangan Resiko Banjir

. . .

14

. . .

Sistem Infomasi Geografis 19 DESKRIPSI UMUM WILAYAH

. . .

Lokasi dan Kondisi Fisik Geografis

. . .

Sejarah dan Kondisi Sosial Ekonomi

. . .

Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bandung . Perkeinbangan Bencana Banjir

. . .

METODOLOCI PENELITIAN

. . .

35

Lokasi dan Waktu Penelitian

. . .

35

MetodePeneliti an

. . .

35

. . .

Persiapan dan Pemasukan Data

. .

37

. . .

A n a l ~ s ~ s Data 39 Penyajian Hasil Analisis

. . .

47

Analisis Deskriptif

. . .

47

. . .

HAS= DAN PEMBAHASAN

Realisasi Pemanfaatan Ruang

. . .

. . .

Hutan

Industri

. . .

Kebun Campuran

. . .

Ladang

. . .

. . .

Perkebuna~ PTP

Pemukiman

. . .

. . .

Sawah

(10)

Daerah Bahaya Banjir

...

Wilayah Resiko Banjir

. . .

Kaitan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Banjir ...

...

Persepsi Masyarakat

. .

...

Frekuensi Banjir

...

Persepsi Penyebab Banjir

...

Pengetahuan Konsewasi

. . .

Pengetahuan Informasi Tata Ruang

. . .

Kesadaran Partisipasi Masyarakat

. . .

Penataan Ruang Berdasarkan Aspek Resiko Banjir

. . .

Perencanaan Tata Ruang

Pemanfaatan Ruang

...

. . .

Pengendalian Tata Ruang

KESIMPULAN DAN SARAN

. . .

Kesimpulan

. . .

Saran

. . .

. . .

GLOSARI

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Data sekunder penelitian

...

37

Kelasbahayabanjir

. . .

42

Skorkomponenproperti

...

44

. .

...

Tingkat resiko baqlr 46

. . .

Luas area ketidaksesuaian penggunaan lahan 51

. . .

Luas daerah bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir) 64

. . .

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Diagram kerangka pemikiran penelitian

...

6

Siklus hidrologi

...

13

Diagram mekanisme terjadinya banjir

. . .

15

. . .

DAS dan jaringan sungai Kabupaten Bandung 26

. . .

Jaringan jalan Kabupaten Bandung 28 Peta administrasi kecamatan dan kepadatan penduduk Kabupaten 29 Bandungtahun2004

. . .

Peta rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Bandung

...

31

Genangan di wilayah Bandung dan sekitamya (kompilasi tahun 34 1986-2006)

. . .

~. Debit rata-rata tahunan Sungai Citarum dan pada saat banjir tahun 34 1994-2005

. . .

Peta lokasi penelitian

. . .

35

Diagram tahapan penelitian

. . .

36

Tahapan pembuatan peta kontrol penggunaan lahan terhadap 41 RTRW

. . .

. . .

Tahap pembuatan peta bahaya banjir 41

. . .

Bagan pembuatan peta resiko banjir 43 Penentuan skor totai dari atribut properti

. . .

45

Pemanggilan lokasi data responden

. . .

47

.

[image:12.539.67.487.70.713.2]

Penggunaan lahan Kabupaten Bandung (hasil verifikasi)

. . .

49

Grafik kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap RTRW

. . .

59
(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner

...

105

2 Luas wilayah dan kependudukan Kabupaten Bandung tahun 2004. 109

3 Peta kontrol RTRW terhadap penggunaan lahan a h a 1 Kabupaten 110 Bandung (detail)

. . .

(14)

Peta kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW (global).

. . .

. .

.

. .

60

Daerah genangan di Bandung dan sekitarnya pada peristiwa banjir tahun 1986-2006 (verifikasi)

.

.

. .

. .

.

. .

.

. . . .

.

. . .

.

. .

. .

. .

.

. .

.

Peta bahaya bai~jir berdasarkan kejadian banjir.

.

. . .

. .

. .

.

.

. .

. .

.

Sub DAS yang meliputi daerah bahaya banjir.

. . .

. .

.

. .

.

. . .

. .

.

.

.

Peta resiko banjir Kabupaten Bandung.

. . .

Jaringan jalan dan fasos fasum di daerah beresiko banjir

.

. . .

. .

. .

Penggunaan lahan pada sub DAS yang meliputi daerah beresiko

.

. banjir

. . .

Penyimpangan tata mang pada Sub DAS penyuplai banjir.

.

. . .

. .

. .

Frekuensi banjir menurut masyarakat.

.

. .

. .

. .

. . .

. .

. .

. . .

. .

. .

. . .

Penyebab banjir menurut masyarakat.

.

. .

. .

. . .

.

. . .

. .

. . .

. .

.

.

.

. .

Distribusi pengetahuan konservasi masyarakat. .

. . . .

.

. . .

Pengetahuan masyarakat tentang penyebaran infonnasi tata mang

. .

Sebaran keinginan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang.

. .

Skema upaya penataan ruang Kabupaten Bandung memperhatikan aspek resiko banjir

. .

.

. . .

.

. . .

. .

. . .

.

. . .

.

. . . .

. .

. . . .

.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan manusia dan mahluk hidup membutuhkan ruang sebagai lokasi berbagai kegiatan atau sebaliknya suatu ruang dapat inewadahi berbagai kegiatan sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan. Oleh karena itu, pemanfaatan ruang yang baik memerlukan suatu penataan yang komprehensif. Penataan ruang hams mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan yang mencakup perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Bila suatu penataan ruang tidak didasari deugan pertimbangan rasional sesuai dengan potensi wilayah tersebut, maka dapat terjadi inefisiensi ruang atau penurunan kualitas ruang. Hal ini dapat berdampak pada rusaknya ekologi lingkungan dan beresiko mengalami bencana yang dapat muncul secara tak terduga.

Seiring dengan perkembangan wilayah, pemanfaatan ruang cenderung mengalami suatu perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas manusia untuk kepentingan ekonomi dan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai aktivitas ekonomi dan permukiman. Kesemuanya itu akan mengakibatkan kompetisi pemanfaatan lal~an untuk usaha, permukiman, dan pembangunan prasarana dan sarana publik.

(16)

Sejauh ini, pemerintah daerah Kabupaten Bandung telah mencoba mengakomodir kebutuhan penduduk maupun tuntutan pembangunan yang ada sesuai dengan kemampuan daerahnya, diantaranya dengan tersusunnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten yang diharapkan dapat menjadi acuan pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan. Dari RTRW yang dirancang sampai tahun 2010 ini telah dialokasikan kawasan lindung seluas 84 462 hektar dan kawasan budidaya seluas 227 013 hektar (Pemkab Bandung 2001).

Pada kenyataannya, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan pemanfaatan mang kawasan lindung sebagai daerah budidaya, ditandai dengan aktivitas tegalan (ladang) maupun penebangan liar di hutan lindung, adanya permukiman dan industri di sckitar waduk, sempadan sungai, maupun di daerah resapan. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat tentang peraturan-peraturan yang berlaku, tekanan ekonomi, ataupun lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggar aturan. Di Kabupaten Bandung, perubahan penggunaan lahan paling tinggi terjadi di bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung seperti di Kecamatan Baleendah, Katapang, Pameungpeuk, dan Dayeuhkolot. Peristiwa ini berkaitan dengan relokasi industri dari Kota Bandung ke Kabupaten Bandung maupun timbulnya kawasan industri bam di Kabupaten Bandung (LPPM ITB 2003). Selain itu kepindahan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung dari Alun-Alun Kota Bandung ke Soreang (Kabupaten Bandung) pada tahun 1994 juga mendukung percepatan pembahan tata guna lahan. Perubahan ini tidak terlepas juga dengan karakteristik wilayah di sekitar kecamatan-kecamatan tersebut yang relatif datar sehingga memudahkan untuk dilakukan pembangunan, dan dilewati oleh aliran sungai yang memudahkan aktivitas-aktivitas manusia yang memerlukan air permukaan seperti permukiman dan industri.

(17)

Cikapundung, Sungai Citarik, Sungai Cisangkuy, dan Sungai Cirasea, sehingga merupakan daerah yang potensial terhadap banjir karena tingginya debit sungai di daerah pertemuan sungai tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Warlina (2000) serta Hidayat dan Mulyana (2002), daerah-daerah tersebut mempakan daerah yang berdrainase buruk dan berbakat banjir. Sedangkan penelitian Suherlan (2000), melalui parameter curall hujan, lereng, tekstur tanah, dan penggunaan lahan menunjukkan bahwa sebagian besar kecamatan-kecamatan yang terletak di selatan Bandung dan dilalui oleh aliran Sungai Citarum termasuk daerah rentan banjir. Pada saat debit air yang melintasi anak-anak Sungai Citarum melebihi kapasitas salurannya, maka pada daerah pertemuan anak-anak sungai tersebut, terjadi luapan air atau banjir, sehingga menimbulkan bencana bagi populasi dan permukilnan pada daerah tersebut.

Permukiman identik dengan manusia dengan berbagai macam aktivitas, sehingga perilaku masyarakat juga tidak terlepas dari permasalahan banjir. Menumt Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, sampah donestik yang dibuang masyarakat ke saluran air seperti sungai, berkoniribusi besar terhadap penyumbatan saluran, pendangkalan sungai, sehingga kapasitas tampung sungai menumn yang dapat mengakibatkan banjir jika terjadi hujan yang sangat deras (Kompas 2005).

Perurnusan Masalah

Banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung telah menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun harta benda. Pada tahun 2005, banjir terjadi pada musim penghujan yaitu bulan Januari hingga Maret, dan telah menenggelamkan lebih dari 18 000 rumah. Kegiatan industri d m jasa menjadi lumpuh dan mengakibatkan kerugian ratusan juta rupiah hanya dalam beberapa jam (Kompas 2005). Banjir menyisakan pula masalah sekunder seperti penyakit menular, kerawanan sosial, dan penurunan kesejahteraan

.

(18)

ekonomi (Pemkab Bandung 2001). Namun, tampaknya upaya fisik maupun informasi-informasi yang telah dikompilasi baik dalam bentuk peta maupun data lain sebagai dasar penataan ruang masih belum efektif, sehingga banjir tetap tejadi dan membawa akibat yang tidak ringan. Selain itu, kondisi masyarakat yang secara sosial, ekonomi, maupun budaya beluin menyadari bahaya banjir, sehingga juga dapat menjadi keterbatasan dalam upaya ini. Tidak adanya tindakan tegas dari aparat dalam menegaMcan aturan yang telah dibuat turut berkontribusi terhadap masalah banjir. Selma ini penataan ruang Icabupaten Bandung seolah- olah tidak menjadi jaminan bahwa wilayahnya akan terhindari dari problematika banjir, karena banjir di Kabupaten Bandung selalu mengakibatkan kerugian fisik maupun materil yang rutin setiap tahun, sehingga kejadian banjir bisa m e q a k a n salah satu indikasi kurang berfimgsinya penataan ruang. Situasi seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan terus, tapi harus segera dicarikan solusi mitigasi untuk mengurangi te rjadinya bencana.

Akar permasalahan dalam ha1 ini antara lain kurangnya informasi kepada pembuat keputusan sebagai dasar pengambilan kebijakan, khususnya untuk perencanaan tata ruang. Menurut Departemen

PU

(20051, s e l m a ini sifat dan resiko kebencanaan belum dipertimbangkan sebagai salah satu aspek penting dalam penataan ruang di berbagai daerah, termasuk beium lengkapnya data kebencanaan untuk penataan ruang terutama peta bencana banjir dan peta resiko (mikrozoning) banjir di berbagai daerah, sehingga mengakibatkan masalah banjir menjadi bencana yang berulang dan tidak tertangani secara tuntas. Menurut Abidin (2006), keterlambatan dalam memahami faktor-faktor banjir umumya disebabkan kurang tersedianya data dan informasi keruangan yang rinci dan komprehensif dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Karena itu, penyediaan peta yang aktual dan valid merupakan salah satu ha1 yang per111 dilaksanakan untuk dapat memberikan informasi kepada para pembuat keputusan di pemerintahan yang dapat membantu dalam penentuan kebijakan.

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, inaka masalah-masalah yang dapat dilumuskan adalah sebagai berikut :

(19)

2. Bagaimanakah sebaran lokasi bahaya dan resiko banjir di Kabupaten Bandung?

3. Bagaimanakah kaitan spasial pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten Bandung?

4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang?

5. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir resiko banjir di Kabupaten Bandung?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini edalah untuk :

1. Menganalisis realisasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Bandung.

2. Membuat peta bahaya dan resiko banjir Kabupaten Bandung.

3. Mengetahui kaitan spasial pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten Bandung.

4. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang.

5. Memberi masukan upayz penataan ruang dalam mengurangi resiko banjir di Kabupaten Bandung.

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai informasi bagi pihak pengambil keputusan di pemerintahan untuk menentukan kebijakan dalam upaya mengendalikan banjir di Kabupaten Bandung

Kerangka Pemikiran Penelitian

(20)

bisa merupakan peristiwa alam atau sebagai akibat degradasi lingkungan yang akan terus berlangsung dan merusak jika tidak segera ditangani.

Penanganan masalah banjir ini tidak bisa dilakukan secara parsial, karena seluruh sistem yang ada di suatu wilayah dapat memiliki pengaruh terhadap banjir, dan kondisi itulah yang seharusnya dipahami oleh manusia. Keterbatasan manusia dalam memahami karakteristik wilayahnya dari faktor-faktor penyebab banjir salah satunya dapat dikarenakan kurang tersedianya informasi keruangan yang valid. Sebagai langkah awal dalam upaya pengendalian banjir, diperlukan wawasan dan pemahaman yang cukup terhadap karakteristik wilayah dan masyarakat di daerahnya.

Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram yang ditampilkan pada Gambar 1

Program Pembangunan RTRW Wilayah Kabupaten Kabupaten Bandung I

kurang lengkap

Penegakan hukum lemah

RTRW kurang pemban, masyarakat

Perubahan penggunaan lahan

*

(ekosistem terganggu)

Bencana Banjir

.L

r~nalisis dan ~enilaian bahava serta resikol

Kesimoulan I solusi

1

[image:20.539.63.429.239.701.2]

0

= tidak diteliti
(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Penataan Ruaug

Menurut definisi

W

24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, mang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup d m melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Dalam ha1 ini pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pe~nerintahan dan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan. Undang-undang tersebut membagi kawasan menjadi dua, yaitu kawasan Iindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung meliputi hutaa lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan kawasan sekitar wadukldanau, sernpadan sungai, daerah sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan bencana (bahaya banjir, aliran lahar, gempa bumi, longsor, tsunami). Kawasan budidaya meliputi kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat pertahanan keamanan.
(22)

Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenIKota menurut

UU

2411992 merupakan pedoman yang digunakan untuk perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang wilayah KabupatenKota untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar sektor secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, juga menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan. Adapun

UU

No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberi kewenangan yang luas dalam mengatur, membagi dan memanfaatkan sumber daya daerah dengan memberi peluang peran serta masyarakat. Setiap rencana disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing yang diserasikan dengan rencana dari daerah lain. Hal ini terkait dengan konsistensi aparat terhadap RTRW dalam mengeluarkan izin-izin yang memanfaatkan ruang di daerahnya.

Pemanfaatan ruang adalah menurut

UU

No. 24 tahun 1992 adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Dengan kata lain pemanfaatan ruang merupakan usaha memanifestasikan rencana tata ruang kedalam bentuk program-program pemanfaatan ruang oleh sektor- sektor pembangunan yang secara teknis didasarkan pada pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya alam lainnya, misalnya hutan, perkebunan dan pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang tersebut, batas-batas fisik tanah diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh penatagunaan tanah. Secara formal, ekspresi penlanfaatan ruang umumnya digambarkan dalam berbagai bentuk peta. Peta-peta kenlampuan lahan dan kesesuaian lahan untuk berbagai aktivitas penggunaan adalah bentuk deskripsi umum dalam menggambarkan daya dukung dan potensi sumber daya alam. Peta penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover tizap)

adalah bentuk deskripsi terbaik dalam menggambarkan pemanfaatan ruang terkini (Rustiadi et al. 2004). Maka, melalui usaha pemqfaatan ruang ini diharapkan dapat mencapai keseimbangan lingkungan serta mencerminkan pembangunan yang benvawasan lingkungan.

(23)

sistemik tanpa dibatasi oleh batas-batas kewilayahan dan sektor. Oleh karena itu dirumuskan 4 (empat) pnnsip pokok penataan ruang yang perlu dipertimbangkan yaitu ; (a) holistik dan terpadu, @) keseimbangan kawasan hulu dan hilir, (c) keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah-dengan skala provinsi untuk keterpadnan lintas kabupatenlkota dan skala kabupatenlkota untuk keterpaduan lintas kecamatan, serta (d) pelibatan peranserta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan amanat

W

24/92 yang ditindaklanjuti PP 69/96 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang dan diperjelas dengan Permendagri No 911998 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (CIFOR 2002). W 24/92 tentang Penataan Ruang memang tidak secara eksplisit ditujukan untuk mengendalikan banjir, tetapi antara lain dapat digunakan untuk mengurangi kejadian banjir melalui dibedakannya fungsi kawasan lindung dan budidaya yang mempertimbangkan banjir sebagai salah satu faktor dalam menentukan pemanfaatan ruang. Selain itn, terdapat p u l a ' ~ No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa minimal luas hutan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah 30%. Hal ini pun dapat digunakan sebagai aturan pendukung dalam penataan ruang. Penataan ruang lebih berperan sebagai upaya preventif, dan ha1 ini dilakukan pula oleh negara lain seperti Arnerika Serikat maupun berbagai negara di Eropa yang menyusun semacam rencana tata ruang (zortingplan, land useplan) untuk mengatasi banjir (Kuswartojo 2002).

Penggunaan Lahan

(24)

P W 3 F a a n adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Vink 1975, diacu dalam Sitorus 2004). Menurut Barlowe (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi, dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai Fenggunaan lahan dail penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan. Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penggunaan laban berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi vegetasi maupun buatan.

Saefulhakim et al. (1997), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat. Berhubung perekonomian dan preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka penggunaan lahan pun bersifat dinamis sehingga dapat berkembang ice arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga sebaliknya.

(25)

yang diubah menjadi permukiman akan menyebabkan aliran permukaan tidak ditampung dulu, melainkan langsung menggenangi daerah sekitamya (Isnugroho 2002).

Siklus Hidrologi

Air adalah material yang paling berlimpah di bumi ini, menutupi sekitar 71 persen dari muka bumi. Dalam siklus hidrologi (Gambar 2), jumlah air relatif tidak berubah, dan air akan selalu ada karena air bersirkulasi tidak pemah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir (Linsley & Franzini 1985). Air tidak saja perlu untuk kehidupan manusia, hewan, dan tanaman tetapi juga merupakan media pengangkutan, sumber energi dan berbagai keperluan lain, tetapi pada suatu saat dalam bentuk hujan lebat dan banjir, air menjadi perusak menimbulkan kerugian harta dan jiwa, juga menghanyutkan berjuta-juta ton tanah subur (Arsyad 1989).

Siklus hidrologi dimulai dari penguapan air dari samudera akibat energi panas matahari, yang kemudian oleh massa udara yang bergerak dibawa di atas daratan. Uap tersebut mengalami kondensasi dan menjadi butiran air yang dapat membentuk awan atau kabut. Butiran-butiran air kecil itu akan berkembang cukup besar untuk jatuh ke permukaan bumi sebagai presipitasi (air hujan, salju, es).

(26)

yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-ltomponen siklus hidrologi yang membentuk sistem DAS (Asdak 1995).

Jika permukaan tanah porus, sebagian air akan meresap ke dalam tanah melalui peristiwa yang disebut infiltrasi. Sebagian lagi akan kembali ke atmosfir melalui penguapan atau evapotranspirasi yaitu sekitar 80 000 mil kubik dari lautan, sedangkan sekitar 15 000 mil kubik berasal dari daratan, danau, sungai, lahan basah. dan melalui tanaman. Di bawah permukaan tanah, pori-pori tanah berisi air dan udara. Daerah ini disebut zona kapiler atau zona aerasi. Air yang tersimpan di zona ini disebut kelengasan tanah atau air kapiler, yang merupakan air tersedia yang dapat diambil oleh tumbuhan. Pada kondisi tertentu air dapat mengalir secara lateral pada zona kapiler, proses ini disebut interflow. Uap air pada zona kapiler dapat juga kembali ke permukaan tanah kemudian menguap.

Kelebihan kelengasan tanah akan ditarik masuk oleh gravitasi, proses ini disebut drainase gravitasi. Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan akan jenuh air yang mana batas atas zona jenuh air tersebut disebut muka air tanah (water table). Air yang tersimpan dalam zona jenuh air disebut air tanah yang bergerak sebagai aliran air tanah (perkolasi) melalui batuan atau lapisan tanah sampai akhimya keluar di permukaan sebagai sumber air (spring), atau sebagai rembesan ke danau, waduk, sungai atau ke laut. Aliran sungai yang berasal dari air tanah yang merembes di dasar sungai disebut sungai bertipe effluent, sedangkan terdapat pula tipe sungai yang memberikan rembesan air ke dalam tanah, disebut tipe influent. Kontribusi air tanah pada aliran sungai disebut sebagai aliran dasar, sedang total aliran dalam satuan waktu disebut debit (Suripin 2002).

(27)
[image:27.761.104.700.100.446.2]
(28)

Bahaya Banjir dan Pengurangan Resiko Banjir

Banjir menurut terminologi ilmiah adalah suatu kondisi di suatu wilayah dimana terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung pada saluran-saluran air atau tempat-tempat penarnpungan air sehingga meluap dan menggenangi daerah di luar saluran, lernbah sungai, ataupun penarnpungan air tersebut (Sudaryoko 1987). Gambar 3 menampilkan mekanisme terjadinya banjir.

Banjir dapat membahayakan suatu wilayah yang karena dipengaruhi faktor-faktor alamiah yaitu curah hujan, topograii, dan geomorfologi (proses fluvial) menyebabkan terjadinya genangan yang berpotensi menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi manusia (Kuswartojo 2002). Menurut Isnugroho (2002) di Indonesia terdapat 5 faktor penting penyebab terjadinya banjir yaitu :

-

curah hujan; di daerah tropis curah hujan cukup tinggi pada musim hujan, maka hujan yang terus menerus akan sampai pada kondisi tanah menjadi jenuh air dan hujan yang jatuh langsung menjadi aliran permukaan

- karakteristik DAS (luas, bentuk dan kemiringan lereng)

-

kemampuan alur sungai mengalirkan air, yang dipengaruhi oleh pendangkalan dan penyempitan alur sungai.

-

perubahan penggunaan lahan di DAS, yang mempengaruhi kemampuan DAS dalaln meresapkan air

- pengelolaan sungai, yang dipengaruhi oleh preferensi pengelola dengan

mempertiinbangkan aspek lingkungan, ekonomi, dan politik.

Ayala (2002) menyatakan suatu bahaya alam termasuk banjir dapat diketahui dari karakteristik bahaya, yaitu melalui besaran (magnitude, intensitas) dan fiekuensinya. Adapun besaran bahaya banjir dapat dilihat melalui luas genangan (krn2, hektar), kedalamanlketinggian air (m), kecepatan aliran (mldt, kmljam), material yang dihanyutkan (batu, pohon, benda keras lain), tingkat kepekatan air atau tebal endapan lumpur (m,cm), la~nanya penggenangan (jam, hari, bulan), aliran puncak, dan volume total air larian. Sedangkan frekuensi banjir adalah jumlah kejadian banjir di suatu daerah dalam satuan waktu (Cooke &

(29)

Hujan

P

Pengendalian banjir

n

Perubahan koefisien

- - r a n

+

Aliran permukaan

Banjir

[image:29.532.65.481.57.736.2]

n

Gambar 3 Diagram mekanisme terjadinya banjir (Sudaryoko 1987). Keterangan : Qa = debit pengaliran sungai

Qc = kapasitas pengaliran alur sungai

4 = fenomena alam

- - + = kondisi non alanliah yang berpengaruh pada fenomena alam

(30)

mengeluarkan biaya milyaran dolar sejak tahun 1936 untuk membiayai program perlindungan penduduk dari bencana banjir (Paripumo 2004). Penelitian Ayala (2002) menunjukkan bahwa dari tahun 1900-1999, sebagian besar bencana alam terjadi di benua Asia yang notabene merupakan negara berkembang, yaitu sebanyak 42% dan 50% dari bencana tersebut adalah banjir, termasuk Indonesia.

Menurut BAKORNASPBP (2005) bencana banjir mengakibatkan kerugian berupa korban manusia dari aspek jumlah penduduk yang meninggal, hilang, dan luka-luka; prasarana umum bempa prasarana transportzsi, fasilitas sosial, fasilitas pemerintahan, prasarana pertanian, perikanan, dan pengairan ;

serta harta benda perorangan berupa rumah tinggal yang tergenang, rusak dan hany~i, asetlmodal, temak, dan lain-lain, sehingga dapat mengganggu dan bahkan melumpul&an kegiatan sosial ekonomi penduduk.

Daerah-daerah yang paling beresiko terhadap terjangan banjir adalah daerah dekat sungai yang terdiri atas bangunan dari bahan tanah atau bata, bangunan dengan pondasi clangkal, bangunan dengan pondasi tidak kedap air, perpipaan, saluran listrik, mesin, barang elektronik, tanaman pertanian, maupun temak dalam kandang.

Semakin tinggi resiko banjir dapat berasal dari pilihan masyarakat pula Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang bahaya banjir dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau peluang lainnya yang dijanjikan lokasi tersebut, walaupun mereka tahu resiko banjir yang akan diterima (Paripumo 2004). Terlepas dari ha1 itu, pemerintah seolah tidak ada realisasi untuk menertibkan dan mengamankan daerah bahaya banjir tersebut walaupun sudah ada Perda-Perda yang mengatumya. Lemahnya penegakan hukum ini dapat menjadi celah bagi para pelanggar aturan, dan resiko akibat banjir ini pun menjadi konsekuensi yang diterima pemerintah.

UNDRO (1991), diacu dalarn Alhasanah (2006), menyatakan resiko adalah gabungan dari unsur-unsur resiko, bahaya dan kerentanan, dengan formulasi matematis sebagai berikut :

(31)

dimana :

Rt : Resiko (risk)

E : Unsur-unsur yang beresiko ( r i s b elements) H : Bahaya (hazard)

V : Kerentanan (vulnerability)

Resiko (Rt) diartikan sebagai kondisi buruk yang hams diterima karena fenomena alam tertentu yang dihasilkan dari unsur-unsur yang beresiko, bahaya, dan kerentanan, seperti jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan hancumya aktivitas ekonomi. Adapun unsur-unsur beresiko (E) terdiri dari populasi, bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas umum, infrastruktur, dan lain-lain yang memiliki resiko pada suatu area. Bahaya (H) merupakan kecenderungan terjadinya kondisi bahaya akibat suatu fenomena. Sedangkan kerentanan (V) merupakan ukuran kerugian yang mungkin dialami suatu obyek bila tertiinpa bahaya, sebagai eontoh bantaran sungai yang padat permukiman akan rentan jika diterjang banjir.

Femer dan Haque (2003), menyatakan bahwa penilaian resiko terdiri dari

3 komponen yaitu identifikasi bahaya, estimasi resiko dan kerentanan, serta evaluasi konsekuensi sosial. Identifikasi bahaya pada intinya adalah melakukan kajian terhadap suatu fenomena dengan mengumpulkan berbagai informasi sejarah suatu fenomena bahaya, frekuensi, pemantauan, dan sebagainya sehingga suatu bahaya dapat dikenali, dipahami berdasarkan ciri-ciri yang telah dikaji. Adapun estimasi resiko dan kerentanan terhadap suatu bahaya dipedukan untuk ~nengetahui kemungkinan yang akan tejadi terhadap lingkungan dan seluruh isinya jika ada bahaya mengancam. Sedangkan evaluasi terhadap korisekuensi sosial dapat dilihat dari komposisi masyarakat peneiima dampak, tingkat kerusakan infrastruktur, ataupun kesejahteraan.

(32)

sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dimanipulasi, sehingga kemampuan daerah dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat.

Westen (2006), menyatakan bahwa terjadinya suatu bencana berasal dari faktor bahaya dan kerentanan yang ditimbulkan oleh suatu fenomena alamiah. Faktor bahaya yang d i a k s u d dapat berasal dari fenomena alam seperti gempa, longsor, ataupun banjir, sedangkan nilai kerentanan terhadap suatu fenomena bahaya diperoleh dari penilaian / pembobotan terhadap properti, maupun aktivitas penduduk di suatu wilayah. Sedangkan resiko bencana merupakan kombinasi dari bahaya serta kerentanan tersebut. Maka pada fenoinena banjir, resiko bencana yang dihadapi dapat berasal dari bahaya merusak pondasi bangunan, hanyntnya harta benda karena tergenang dan terbawa aliran air di daerah yang dilewati. Saat surut, material yang terbawa banjir dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman dan timbulnya wabah penyakit.

Meskipun tidak dapat dicegah, banjir dapat diusahakan untuk dikendalikan. Usaha pengendalian banjir flood control) tidak bertujuan untuk menghilangkan sama sekali kemungkinan terjadinya banjir, tetapi hanya memperkecil kemungkinan banjir tersebut sampai batas tertentu. Secara umum, pengendalian banjir merupakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan rencana, dan pemeliharaan yang secara mendasar dimaksudkan iintuk mengendalikan banjir, pengaturan penggunaan lahan daerah dataran banjir dan bagi pengurangan ataupun pencegahan terhadap resiko akibat banjir (Irianto 2003).

Suatu strategi dapat dilakukan untuk meminimalkan dampaknegatif akibat banjir. Metode-metode perencanaan tata guna lahan dilakukan oleh negara-negara barat untuk mengantisipasi resiko-resiko buruk yang terjadi baik secara perorangan maupun bagi masyarakat terhadap kemungkinan bencana alarn (Laheij

(33)

peninjauan ulang RTR yang ada dan kemudian menetapkan zoning regulation

yang mempertimbangkan aspek resiko kebencanaan suatu kawasan bahaya banjir. Penilaian resiko bencana banjir dapat dilakukan pula dengan rnengumpulkan data- data mengenai daerah bahaya ataupun sistem tata air di daerah tersebut melalui prediksi hujan, kajian sejarah banjir, kelembaban tanah, topografi daerah, dan longsoran tebing daerah hulu, dimana untuk daerah-daerah dengan 4 musim ditambah dengan catatan lelehan salju, sedangkan untuk daerah pesisir ditambah dengan catatan pasang surut gelombang laut / badai dan geografi pesisir (Arduino

et al. 2005).

Kajian atas kejadian banjir yang telah terjadi sebagai data historis dan empiris dapat dipakai untuk menentukan kerawanan suatu daerah, dan data tersebut hams selalu ada, dipelajari dan diperbaharui terus menerus tiap kali ada kejadian baru (Paripumo 2004). Data tersebut dapat berupa tulisan atau pun data spasial (keruangan dan kewilayahan) baik dalam bentuk peta kertas maupun sistem informasi geografis. Abidin (2006) menyatakan bahwa data-data spasial yang rinci dan up to date untuk mengompilasi informasi banjir masih kurang tersedia sehingga timbul keterlarnbatan dalarn memahami karakteristik faktor- faktor banjir. Pihak pemerintah menyatakan bahwa kondisi yang terjadi saat ini adalah sifat dan resiko kebencanaan belum dipertimbangkan sebagai salah satu aspek penting dalam penataan ruang di berbagai daerah, sehingga data kebencanaan yaitu peta bencana banjir dan peta resiko (mikrozoning) banjir di berbagai daerah bahaya belum lengkap tersedia (Departemen PU 2005).

Melalui pendekatan mitigasi atau pengurangan resiko bencana, masyarakat dipandang sebagi subyek dan bukan obyek dari penanganan bencana dalam proses pembangunan. Hal ini layak untuk diterapkan di era otonomi daerah sehingga pemerintah daerah dan masyarakatnya secara mandiri dapat berusaha mengatasi permasalahan bencana di daerahnya (BAKORNASPBP 2005).

Sistem Informasi Geografis

(34)

melakukan integrasi data, dan permodelan data sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih komprehensif. Sistem ini mengintegrasikan operasi basis data umum seperti query dan analisa statistik dengan visualisasi yang unik. Kemampuan ini menjadi penciri SIG dibanding sistem informasi lainnya, dan sangat berguna bagi suatu cakupan luas perusahaan swasta dan pemerintah untuk menjelaskan peristiwa, meramalkan hasil, dan strategi perencanaan. Analisis dengan SIG ini untuk memperoleh jawaban dari pennasalahan - permasalahan keruangan, walaupun tidak selalu mudah. Hal itu tergantung dari bagaimana analis melakukan klasifikasi, atau simbolisasi suatu fitur. Informasi tersebut nantinya dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan (Mitchell 2005)

SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhimya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta 2005). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), kemampuan SIG melakukan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, serta tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan terus menerus.

Kelompok analisis dalam SIG terdiri dari 4 kategori, yaitu fungsi klasifikasi

pemanggilanklasifikasi/pengukuran, fungsi tumpang tindih, fungsi tetangga dan

(35)

peta yang saling beririsan. Operasi turnpang tindih umumnya dilakukan dengan salah satu dari 5 cara yaitu :a) pemanfaatan fungsi logika dan fungsi Boolean, seperti gabungan, irisan, pilihan, perbedaan, dan pernyataan bersyarat; b) pemanfaatan fungsi relasional, seperti ukuran lebih besar, lebih kecil, sama besar, dan kombinasinya; c) pemanfaatan fungsi aritmatika seperti penambahan, pengurangan, pengalian dan pembagian; d) pemanfaatan data atribut atau tabel dua dimensi; dan e) menyilangkan dua peta langsung.

(36)

DESKRIPSI UMUM WILAYAH

Lokasi dan Kondisi Fisik Geografis

Di dalam wilayah Jawa Barat, Kabupaten Bandung terletak pada koordinat 6"41'

-

7'19' LS dan 107'22'

-

108"05' BT, serta memiliki ketinggian antara 100 m sampai 2 429 m di atas permukaan laut (Bapeda Kab. Bandung 2002). Iklim di Kabupaten Bandung merupakan iklim tropis yang dipengaruhi iklim muson dengan curah hujan berkisar 1500 mm - 4500 mm per tahun, suhu 19 "C-24 "C

dengan penyimpangan harian 5 OC, serta kelembaban udara bervariasi antara 78% pada musim hujan dan 70% pada musim kemarau. Daerah dengan curah hujan tertinggi (3500-4500 mdtahun) berada di daerah pegunungan seperti di Gunung Tangkuban Parahu, G. Patuha dan G. Kuda, sedangkan curah hujan terendah (

+

1500 mdtahun) terdapat di daerah dataran seperti di Kecamatan Batujajar, Soreang, Bojongsoang, Katapang, dan Pameungpeuk.

Wilayah Kabupaten Bandung mempunyai geomorfologis bervariasi yaitu; (1) dataran dengan kemiringan lereng 0 4 % yang terdapat di sebagian Kecamatan Soreang, Bojongsoang dan Rancaekek; (2) bergelombang dengan kemiringan lereng 8-15% yang antara lain berada di Kecamatan Pasirjanlbu, dan Pangalengan; (3) perbukitan dengan kemiringan lereng 15-40% yang menempati lembah antar gunung seperti bagian timur kaki G. Patuha dan lereng atas perbukitan Ciburial

-

G.Manglayang; dan (4) berpegunungan dengan kemiringan lereng > 40% yang menempati bagian puncak pegunungan seperti G. Wayang, G. Windu, dan G. Tangkubanparahu. Sebagian besar wilayah kaki bukit dan pegunungan terbentang sepanjang bagian utara, selatan dan barat dengan kemiringan beragam antara 26-40% dan >40%. Dengan demikian secara umum Kabupaten Bandung merupakan suatu cekungan, sehingga wilayah ini merupakan daerah tangkapan air yang penting, dan merupakan kawasan lindung yang menjaga keaeimbangan hidroorologis cekungan Bandung (Badri dan Wahyono 2005).
(37)

Kendang, dan G. Rakutak ; (3) breksi, lahar dan lava yang tersebar di sekitar hulu Sungai Cikapundung ke arah G. Manglayang, dan sekitar G. Malabar; (4) pasir tufaan, breksi lava, dan aglomerat yang merupakan hasil kegiatan gunung api seperti di daerah Lebaksari, G. Malabar, dan G. Mandalawangi ; (5) evata dan aliran lava seperti yang terdapat di G. Wayang-Windu, dan G. Manglayang ; ( 6 )

breksi tufaan berbatu gamping seperti yang terdapat di utara Kecamatan Gununghalu; (7) tuf kaca yang berada di sekitar G. Mandalawangi dan G. Mandalagiri; (8) lempung organik, tufaan, pasir tufaan yang merupakan hasil endapan danau yang terletak di daerah dataran seperti Kecamatan Margahayu dan Margaasih; dan (9) koluvium yang berasal dari breksi bersifat andesit, basalt, lava, batu pasir tufaan yang terdapat di sebelah utara Kabupaten Bandung.

Wilayah dengan morfologi datar di daerah Cilampeni, Dayeuhkolot, Cipamokolan, rnernpunyai litologi endapan kuarter berupa aluvial, pasir, kerikil, dan lernpung yang mempunyai sifat fisik sangat lunak dengan drainase buruk sampai kedalaman 20 m (Hidayat & Mulyana 2002). Warlina (2000) mengemukakan bahwa berdasarkan kondisi geologi, Kecamatan Baleendah, Ciparay, Majalaya, Bojongsoang, Paseh, Rancaekek, Pameungpeuk, Cikancung dan Dayeuhkolot merupakan daerah dengan tanah berdrainase buruk dan berbakat banjir dengan luas 11 599 hektar. Pada wilayah dataran tersebut Sungai Citarum membelah dari tirnur ke arah barat kabupaten dan terdapat pertemuan anak-anak Sungai Citarum. Di daerah Dayeuhkolot tejadi pertemuan antara dua anak Sungai Citarurn yaitu Cikapundung dan Cisangkuy, begitu pula di Sapan (Majalaya) terdapat pertemuan antara Sungai Citarik dan Sungai Citarum Hulu, lalu di Ciparay dan Banjaran terdapat perternuan Sungai Citarik dan Cirasea. Karenanya menurut Arwin Sabar (seorang pakar hidrologi) tak mengherankan jika daerah- daerah tersebut jadi daerah langganan banjir (IndoNews 1998).

(38)

Lebaksari, Kecamatan Majalaya; (4) lempung pasiran, pasir lempungan, dan pasir kerikilan yang merupakan hasil hasil lapukan dari gunung api dan terdapat di kaki

G. Patuha (Badri & Wahyono 2005).

Penelitian Suherlan (2000) dengan parameter curah hujan, kemiringan lahan, penggunaan lahan dan tekstur tanah menetapkan daerah rentan banjir di Kabupaten Bandung seluas 42 506.14 hektar. Daerah-daerah tersebut berada di sebagaian besar kecamatan Cipatat, Cipeundeuy, Cikalong Wetan, Cileunyi, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Pameungpeuk, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Margaasih, dan Margahayu. Berdasarkan penelitian Badri dan Wahyono tahun 2005, pemicu banjir di wilayah Kabupaten Bandung antara lain curah hujan

c

3

atas normal, limpasan air di daerah aliran sungai bagian hulu meningkat dan daerah resapan mulai terganggu. Sedangkan di bagian hilir, kondisi topografis yang rendah, morfologi datar, tanah di tempat tertentu relatif kedap air, limpasan lambat, sistem drainase yang bumk, dan kondisi lingkungan sungai yang cenderung memburuk (sumbatan aliran karena sampah dan pendangkalan sungai).
(39)

Hampir seluruh wilayah Kabupaten Bandung m e ~ p a k a n Daerah Aliran Sungai @AS) Citarum bagian hulu dengan luas daerah tangkapan kurang lebih 250 ribu hektar (Gambar 4). Disamping itu terdapat wilayah yang mempakan bagian dari DAS Cimanuk, Cibuni, Cilaki, dan Cisokan. DAS Citarum Hulu mempunyai tujuh sungai utama yang mempengaruhi pola aliran Sungai Citarum baik secara kuantitas maupun kualitas yaitu Sungai Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, Ciwidey, Ciminyak, dan Cihaur. DAS Citamm Hulu mempunyai sumber mata air di Gunung Wayang (2 182 m) yang dikenal dengan nama Pangsiraman, Cikahuripan, Cisanti, dan Cipaedah, yang termasuk pada Sub DAS Cirasea. Dari sumber ini air kemudian mengalir ke daerah perbukitan Pacet dan kemudian bergabung dengan Sungai Citarik (Sub DAS Citarik) pada awal cekungan Bandung di daerah Jolok (Majalaya) yang bermorfologi datar. Selanjutnya aliran Sungai Citanun membelah cekungan di Kabupaten Bandung dari timur ke barat, bergabung dengan Sungai Cikapundung (Sub DAS Cikapundung) dan Sungai Cisangkuy di daerah Dayeuhkolot, lalu bergabung dengan Sungai Ciwidey di daerah Cimahi. Aliran ini kemudian mengalir pada bebatuan porous melalui suatu celah di daerah kapur di Kecamatan Padalarang dan bergabung dengan Sungai Cihaur lalu masuk ke waduk Saguling sebagai outletnya. Aliran Sungai Citanun banyak dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan ekonomi seperti untuk irigasi pertanian, untuk air minum, pembangkit listrik, perikanan, dan pariwisata (PC1 2003).

(40)

tejadi kareaa luapan dari masing-masing anilk sttngai niaupun Sungai Citamm sendiri saling bertemu sehiigga menimbulkan banjir di daerah sekitamya (Badri

8: xJ:n_h;.yono 2002).

PETA DAS DAN JARINGAN SUNGAI WILAYAH KABWATEN BANDUNG

PROVINSI JAWA BARAT

I

I

UIAS DDI WILAYAH

NAMA KAOUPA1.W BANDUX0 01.4)

33.3

I

I I

Giunbar 4 DAS dan jaringan sungai Kabupaten Bandung. ma mumonrc~w~air ZIIJ3

SUsrMs ClllAllK IS 8m.l

sun ~nsahtaunr IS ?%.I

st,,> u*scnt,rn 3s m.5

sl SIIIIU~FCI~ANIII(IIUI.U zz811

SUII DAS CISDUN ~ 9 x 9

Nr*'"<*,,w., engihn=*br uii*ri,Krh rlnnlling

:.- h Wnm.,

Somber:

BPSDA Wly Citarum

(41)

Sejarah dan Kondisi Sosial Ekonomi

Pemerintahan Kabupaten Bandung telah berdiri sejak pertengahan abad ke-17 yang dahulu beribukota di daerah Dayeuhkolot yang berada di hilir Sungai Cikapundung. Pada tahun 1810 ibukota Kabupaten Bandung pindah ke daerah yang saat ini termasuk wilayah Kota Bandung di sekitar Alun-alun kota. Sejak saat itu, tejadi pernbangunan permukirnan dan sarana transportasi sehingga wilayah tersebut berkembang rnenjadi daerah otonom Kota Bandung seperti sekarang. Adapun kernudian pusat pemerintahan Kabupaten Bandung pada tahun 1994 pindah ke Soreang yang terletak di selatan kabupaten (Bappeda Prov. Jabar 2006).

Luas wilayah Kabupaten Bandung saat ini adalah 307 371 hektar yang secara administratif terdiri dari 45 kecamatan dengan 440 desa. Luas wilayah tersebut sudah rnerupakan hasil pemekaran Kota Bandung seluas 16 732 ha dan Kota Cirnahi seluas 4 025.73 ha. Adapun batas-batas administratif Kabupaten Bandung adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Punvakarta dan Kabupaten Subang; sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Garut d m Kabupaten Sumedang; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, sedangkan bagian tengahnya berbatasan dengan Kota Bandung dan Kota Cimahi (UU No.9 tahun 2001; Bapeda Kab. Bandung 2002).

Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung sebagai ibukota Proinsi Jawa Barat, pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bandung cukup pesat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bandung tahun 2004, kepadatan penduduk rnencapai 13.49 jiwa per hektar (Lanlpiran 2) dan cenderung terus meningkat dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 3.19%.

(42)
[image:42.539.126.451.19.263.2]

Gambar 5 Jaringan jalan Kabupaten Bandung

Berdasarkan data BPS Kabupaten Bandung (2004), kepadatan penduduk

tahun 2004 di Kecamatan Margahayu 101.54 jiwdha, Dayeuhkolot 95.76 jiwalha

dimana pada daerah-daerah tersebut banyak terdapat industri serta merupakan

daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Sedangkan untuk

kecamatan-kecamatan yang relatif jauh dari Kota Bandung antara lain Kertasari,

Pasirjambu, dan Sindangkerta masing-masing mempunyai kepadatan penduduk

4.10 jiwdha, 3.08 jiwdha dan 4.97 jiwdha. Sebaran kepadatan penduduk

Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Gambar 6.

Adapun sumber penghasilan utama penduduk Kabupaten Bandung

sebagian besar berasal dari pertanian, industri pengolahan, perdagangan

besarteceran, jasa, dan angkutan. Aktivitas pertanian umumnya berlangsung di

kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten-kabupaten lain, yaitu

Ciwidey, Rancabali, Pasirjambu, Cimaung, Gununghalu, Cipongkor,

Cikalongwetan, Nagreg, dan Cicalengka. Industri pengolahan yang berkembang

adalah tekstil, kerajinan, pengolahan hasil pertanian, tersebar di kecamatan

Rancaekek, Majalaya, Pameungpeuk, Soreang, dan Dayeuhkolot. Potensi

perdagangan berada di kecamatan Margahayu, Margaasih, Ibun, Soreang, dan

Baleendah. Sedangkan jasa dan angkutan berkembang dengin baik di daerah

(43)
[image:43.761.159.668.106.460.2]
(44)

Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bandung

Secara umum skenario pengembangan tata ruang Kabupaten Bandung mengarah pada pola ring radial dengan Kota Bandung sebagai kota inti. Pengembangan Kabupaten Bandung diarahkan untuk pengembangan kegiatan agribisnis, industri manufaktur, pariwisata, industri jasa, dan pendidikan (Bappeda Prop. Jabar 2003). Titik berat pembangunan jangka panjang Kabupaten Bandung diletakkan pada bidang ekonomi sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan tetap memperhatikan keterkaitan dengan bidang-bidang lainnya. Pada pelaksanaan pembangunan, seluruh daya harus digali dan dimanfaatkan disertai kebijaksanaan serta langkah-langkah guna membimbing dan meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah. Sementara itu, visi pengembangan Kabupaten Bandung adalah untuk mewujudkan pola pemanfaatan lahan di wilayah Kabupaten Bandung yang efisien dan berorientasi lingkungan, dengan terbebaskannya wilayah Kabupaten Bandung dari masalah banjir dan masalah pencemaran limbah industri (Penlkab Bandung 2001). Pemerintah daerah berupaya menerapkan strategi pemanfaatan ruang dengan menjamin keIestarian lingkungan dan pengelolaan sumber daya alan. Strategi tersebut antara lain dengan berupaya menlpertahankan luas kawasan lindung yang ada, memanfaatkan ruang kawasan budidaya secara optimal sesuai kemampuan daya dukung lingkungan, mengendalikan pemanfaatan ruang agar tidak terjadi konflik antar kegiatan, dan dalam menentukan prioritas hams lebih fleksibel dan terarah.

(45)
(46)

Menurut pemerintah Kabupaten Bandung, setiap rencana pemanfaatan ruang baik dari masyarakat, pengusaha maupun pemerintah diharapkan dapat menyesuaikan dengan RTRW yang telah dibuat dan disahkan melalui Perda RTRW. Sejauh ini pemerintah daerah telah memberikan izin-izin untuk pemanfaatan tanah sebanyak 511 izin dari tahun 1993-2006. Perincian izin tersebut adalah sebanyak 255 izin untuk pembangunan perumahan dari tahun 1993-2000 (Pemkab Bandung 2001), serta sebanyak 256 izin untuk berbagai aktivitas termasuk perumahan, industri, pertarnbangan, pasar, dan lain-lain (Dinas Lingkungan Hidup Kab. Bandung 2006).

Ferkembangan Bencana Banjir

Dataran tinggi Bandung terletak pada daerah yang berketinggian 600-700 m dpl. Tapi, ketinggian suatu wilayah belum jaminan daerah tersebut akan terbebas banjir. Laporan Van Benunelen pada tahun 1949 menurut Suganda (2002) telali mengungkapkan bahwa sampai menjelang Perang Dunia I1 daerah selatan dataran tinggi Bandung yang berupa rawa di sepanjang Sungai Citarum selalu tergenang tiap musim hujan. Rawa tersebut merupakan peninggalan danau Bandung purba yang lebih dari 6 000 tahun lalu membentang dari daerah Dago di utara sampai Soreang di selatan sejauh 30 kilometer, dan dari Padalarang di barat sampai Cicalengka di timur sejauh 50 kilometer. Rawa tersebut kemudian surut hingga kering dan terbentuklah palung Sungai Citarum dengan anak-anak sungainya.

(47)

Dalam Renstrada Kabupaten Bandung Tahun 2001-2005 (2001), perilaku masyarakat yang sering membuang sampah ke sungai, serta berkurangnya daerah resapan air di hulu-hulu sungai merupakan faktor yang mendorong meluapnya Sungai Citarum dan beberapa anak sungainya di musim penghujan. Kondisi ini menimbulkan tergenangnya daerah Kecamatan Margahayu akibat meluapnya Sungai Cimariuk, daerah Kecamatan Cileunyi oleh luapan Sungai Ciendog, daerah Kecamatan Cicalengka oleh Sungai Cikijing, daerah Kecamatan Majalaya oleh Sungai Leuwiteureup, daerah Kecamatan Ciparay dan Bojongsoang akibat luapan Sungai Cirasea dan Sungai Jelekong, dan lain-lain.

Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Wilayah Citarum beserta Unit Pelaksana Teknis (UPT) nya yang tersebar di beberapa daerah telah berusaha mengompilasi data banjir yang terjadi di Kota maupun Kabupaten Bandung dari tahun 1986 sampai 2006 berdasarkan laporan-laporan di lapangan, meskipun tidak setiap tahun dan selumh kejadian banjir dapat didokumentasikan. Gambar 8 memperlihatkan wilayah yang pemah tergenang akibat banjir yang terjadi dari tahun 1986 sampai 2006 di Bandung dan sekitarnya. Adapun data debit Sungai Citarum saat kejadian banjir dari tahun 1994 sampai 2005 dapat dilihat pada Gambar 9. Tampak perbedaan yang besar antara debit saat kejadian banjir dan debit rata-rata tahunan.

(48)
[image:48.532.134.434.50.304.2]

Gambar 8 Genangan di wilayah Bandung dan sekitarnya (kompilasi tahun 1986-2006)

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

(Tahun)

Gambar 9 Debit rata-rata tahunan Sungai Citarum dan pada saat banjir tahun 1994-2005

Keterangan :

= debit Sungai Citarum saat peristiwa banjir

(49)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di wilayah administratif Kabupaten Bandung

(Gambar 10)

.

Penelitian dilaksanakan pada Juli - September 2006. Selanjutnya

dilakukan pengolahan dan analisis data.

105 1 0 s

[image:49.532.78.465.87.656.2]

107 108

Gambar 10 Peta lokasi penelitian.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis yang

dilaksanakan dalam 3 tahap utama yaitu persiapan dan pemasukan data, analisis,

serta penyajian hasil analisis. Hasil analisis disajikan dalam bentuk peta-peta

dengan referensi geografis dan langkah selanjutnya dilakukan analisis deskripsi

dari informasi yang ditampilkan peta-peta tersebut. Adapun diagram tahapan

(50)

...

1

I \ I

I :I ' I ' ,

- 2 , I

I I

Peta kantol Peta Penepsi

pengunvan lallan Masyvrakat ' 8 I 0

terhadap RTRW ' I

[image:50.536.73.492.27.622.2]

I

I

5 I I I

Gambar 11 Diagram tahapan penelitian.

(51)

Persiapan dan Pemasnkan Data

Pada tahap ini penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner, kemudian cek lapang untuk verifikasi penggunaan lahan dan genangan banjir. Sedangkan data sekunder (Tabel 1) diperoleh dari berbagai sumber, melalui studi pustaka maupun konsultasi ke instansi terkait untuk memperoleh informasi banjir dan tata ruang. Data tersebut berupa data dijital, tabular, paper, dan peta-peta,

Tabel 1 Data sekunder penelitian

No. Jenis Format Tahun Skala Sumber

1 Peta administrasi JPEG 2002 (diolah) 1:100 000 Bapeda Kab. Bandung Peta penggunaan dijital 2002 BPN Kab.

lahan 1:100 000 Bandung

Peta RTRW (rencana dijital

2001 1:100 000 Bapeda Kab. Bandung pemanfaatan ruang)

4 Peta infrastruktur dijital 2000 (diolah) 1:25 000 Peta Bakosurtanal RBI

Peta fasilitas sosial Peta RBI

5 dan fasilitas umum dijital 2000 (diolah) 1:25 000 Bakosurtanal (fasos fasum)

6 Peta banjir, peta DAS cetakan sld 2006 1986,1992, 1994 1: 100 000 Balai PSDA Wly Citarum Data - data sosial Tabular 2004 BPS Kab.

ekonomi Bandung

Data-data Bapeda Kab.

8 infrastruktur, dan Tabular 2004 Bandung fasos-fasum

Penyusunan Kuesioner. Kuesioner disusun untuk mencari informarsi tentang pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap :

(1) kejadian dan penyebab banjir (2) penataan ruang

(52)

Pembuatan kuesioner didasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan adalah tingkat pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan partisipasi masyarakat mengenai program-program pemerintah yang terkait dengan penataan ruang maupun pengendalian banjir.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka data-data dari masyarakat kemudian diolah untuk memberikan deskripsi tentang persepsi masyarakat terhadap penataan mang dan kaitannya dengan banjir.

Verifikasi Lapang. Pelaksanaan verifikasi lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan aktual dan daerah bahaya banjir di Kabupaten Bandung. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan GPS navigasi berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2002 dari BPN Kabupaten Bandung

.

dan peta genangan banjir dari Balai PSDA Wilayah Citarum yang merupakan

kompilasi dari tahun 1986-2006.

Hasil verifikasi lapang merupakan data-data yang dituangkan sebagai informasi untuk memperbahami peta penggunaan lahan aktual tahun 2006, dan peta genangan banjir aktual. Pada penelitian ini peta genangan banjir tersebut digunzkan sebagai peta bahaya banjir untuk digunakan dalam analisis pembuatan peta resiko banjir. Pengolahan peta dilakukan dengan menggunakan seperangkat komputer berprocessor setara Pentium 111, RAM 256 MB, dan berkecepatan 1 GHz. Adapun perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian adalah ArcView versi 3.3 untuk pengolahan peta, dan Microsoft Excel untuk pengolahan data-data terkuantifikasi.

(53)

koordinat-koordinat geografis. Adapun data-data tabular dimasukkan langsung kedalam komputer menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Peta infrastruktur diperoleh dari jaringan jalan pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal skala I : 25 000.

Pada peta infrastruktur, jaringan infrastruktur yang digunakan dalam analisis ditarnpilkan dalam bentuk garis (line) berupa jaringan jalan sebagai sarana bagi pergerakan aktivitas manusia, yaitu jalan arteri primer, kolektor primer, lokal primer, jalan to1 dan jalan kereta api. Peta fasilitas sosial dan m u m (fasos fasum) berasal dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal skala 1:25 000 dalam bentuk titik (point), data dari Bapeda Kabupaten Bandung, dan verifikasi. Jenis fasos fasum yang digunakan adalah tempat ibadah, kantor pemerintahan daerah

. ,

.

(bupati, camat, desallurah), kantor polisi, pasar, kantor pos, pelayanan telekomunikasi, puskesmas/rumah sakit, sekolah, terminaWstasiun, dan menara saluran udara tegangan tinggi (SUTT). Pemilihan fasos fasum tersebut dengan asumsi bahwa pada tempat-tempat tersebut sering dilakukan aktivitas manusia, dan merupakan fasilitas pelayanan yang sangat berguna bagi manusia (sarana vital) dalam menjalankan kehidupannya.

Analisis Data

Pada tahap ini seperti yang dapat dilihat pada diagram alir (Gambar lo), dilakukan analisis SIG pada peta-peta dijital yang sudah ada yaitu peta rencana pemanfaatan ruang (RTRW), peta penggunaan lahan 2006 (hasil verifikasi), peta bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir), peta infrastruktur, serta peta fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos fasum). Analisis data tersebut dilakukan untuk menghasilkan kontrol penggunaan lahan terhadap R

Gambar

Grafik kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap RTRW . . . . . . . . . .  59
Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 2 Siklus hidrologi (Christensen 1991)
Gambar 3 Diagram mekanisme terjadinya banjir (Sudaryoko 1987).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seit dem Jahr 2007 organisiert das Institut für Ostrecht der Universität zu Köln mit finanzieller Unterstützung durch den Deutschen Akademischen Austausch Dienst (DAAD) und

Hingga saat ini, kebijakan non tarif untuk produk udang Indonesia ke Uni Eropa mendapat hambatan berat oleh ketentuan yang diterapkan Komisi Eropa dalam CD 220/2010 yang

MB 2 Anak sudah mampu melempar bola tepat sasaran dengan satu tangan namun masih dibantu oleh guru BSH 3 Anak mampu melempar. bola tepat sasaran dengan satu tangan dengan

menunjukkan bahwa motivasi perawat dalam pelaporan Insiden Keselamatan Pasien penting untuk diteliti dengan tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat beberapa

[r]

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat variabel penelitian mengenai karakteristik persalinan dengan cara ekstraksi vakum dan forsep yaitu dari rekam medik

tidak penerapan sistem e-procurement di Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat dari ukuran indikator tujuan yang tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

Personel tim transfer harus mengikuti pelatihan transfer; memiliki kompetensi yang sesuai; berpengalaman; mempunyai peralatan yang memadai, protokol dan panduan rumah sakit,