• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Spasial dan Temporal Larva Ikan Di Perairan Pulau Abang Galang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribusi Spasial dan Temporal Larva Ikan Di Perairan Pulau Abang Galang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

MOH. ASMAN BAHARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul Distribusi Spasial dan Temporal Larva Ikan di Perairan Pulau Abang Galang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau adalah benar-benar karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Semua informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, Januari 2009

Moh. Asman Bahara

(3)

Moh. Asman Bahara. Spatial and Temporal Distribution of Fish Larvae in Pulau Abang Sea of Galang Baru Batam Province of Kepulauan Riau that guided by Sulistiono, M. Mukhlis Kamal, and Muhammad Husni Amarullah.

A research on species and temporal distribution of fish larva has been conducted in Pulau Abang during three month that on May, July, and October in 2006. The research was aimed to investigate fish larvae composition and to analyze correlation between habitat and the distribution of fish larvae abundance, as well as to analyze the correlation between plankton abundance and fish larvae distribution. The sampling and data analyses were carried out in the field and in the laboratory.

Larvae data and bio-phisycal-chemical parameter samplings were taken once, day and night on each munsoon and each station. Fish larvae were caught by using larvae net of 0.5 mm mesh size and 1 x 1 m opening. Larvae net was fixed behind the boat and it was horizontally pulled 1.5 knot at velocity for 10 minutes. Plankton sampling was done by using 2 plankton nets that are (scoop plankton net) plankton net and operated at the some time with larvae net. Plankton net used 0.04 mm mesh size and 25 ml of cod end. Phisycal chemical parameters were together taken with larva and plankton sampling on each research station.

Bio-phisycal chemical parameters were grouped by PCA analysis which was aimed to know the character of each stasiun based on bio-phisycal chemical parameters and to know is correlation with fish larvae. Fish larvae and plankton abundance was analyzed by community structure analysis.

Composition and abundance of fish larvae and fish juveniles obtanined in this research consisted of 52 families, 84 genus made up a total of 1,572 individu/m3 they were dominated by Carangidae, Engraulididae, Clupeidae, Monacanthidae, Gobiidae, Sillaginidae and Mugilidae.

Fitoplankton abundace on May, July and October is 679,150 individu/m3, 4,377,800 individu/m3, and 2,482,100 individu/m3. Respertively, Zooplankton abundance at the some season was 291,000 individu/m3, 166.500 individu/m3, and 747.900 individu/m3.

Temporally, respective larvae distribution on July was higher during May. Larva distribution spatially on May amounts to 439 individu/m3, on July amounts to 608 individu/m3 and on October amounts to 525 individu/m3. The result of PCA analysis showed that the informations are concentrated in axis 1, 2, and 3 (F1, F2, and F3). Each axis explains 42,90%, 19,12%, and 9,6% of variation. Total of varian explained in the 3-prime component is 71,65%. From the value of the coordinat, it is concluded that variables which are near with the larvae (support larva living) are fitoplankton in axis F1.

(4)

Moh. Asman Bahara. Distribusi Spasial dan Temporal Larva Ikan di Perairan Pulau Abang Galang Baru Batam Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh Sulistiono, M. Mukhlis Kamal , dan Muhammad Husni Amarullah.

Penelitian dilakukan di perairan Pulau Abang Kecamatan Galang Baru Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Penelitian berlangsung selama tiga kali yaitu pada bulan Mei, Juli, dan Oktober 2006.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi larva ikan, menganalisis keterkaitan antara kondisi habitat dengan distirbusi kelimpahan larva serta menganalisis kelimpahan plankton dengan kelimpahan larva ikan. Sampling dan analisis dilaksanakan dilapangan dan di laboratorium.

Pengambilan contoh larva dan parameter bio-fisikakimia dilakukan sekali dalam setiap bulan pada setiap stasiun penelitian siang dan malam hari. Larva ikan ditangkap dengan menggunakan larva net dengan ukuran mata jaring 0,5 mm dengan bukaan mulut jaring 1 x 1 meter yang dipasang atau diikat pada bagian belakang perahu motor dan ditarik horizontal dengan kecepatan perahu 1,5 knot selama 10 menit dengan kedalaman 10 – 30 meter. Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menggunakan 2 jaring plankton net yaitu plankton net saring (scoop net) dan plankton net tarik. Untuk plankton tarik pengoperasiannya bersamaan dengan jaring larva. Ukuran jaring plankton yang digunakan berdiameter 20 cm dan ukuran mata jaring (mesh size) 0,040 mm dan cod end 25 ml. Parameter fisika kimia diukur pada setiap stasiun penelitian bersamaan dengan waktu pengambilan sampel larva dan plankton.

Parameter bio-fisikakimia dikelompokan dengan menggunakan analisis PCA yang bertujuan untuk mengelompokan stasiun berdasarkan ciri-ciri parameter fisikakimia serta untuk melihat hubungan antara parameter bio-fisikakimia dengan larva ikan. Sedangkan kelimpahan larva ikan dan plankton dihitung agar dapat dianalisis dengan menggunakan analisis struktur komunitas (indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominasi).

Hasil penelitian ditemukan komposisi dan kelimpahan larva ikan sebanyak 52 famili dan 84 genus dengan total individu 1.572 individu/m3 didominasi famili Carangidae, Engraulididae, Clupeidae, Monacanthidae, Gobiidae, Sillaginidae dan Mugilidae.

(5)

individu/m3. Distribusi larva secara temporal bulan Juli lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Mei. Hasil PCA memperlihatkan bahwa sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1, 2, dan 3 (F1, F2, dan F3), dimana masing-masing sumbu menjelaskan 42,90 %, 19,12 %, dan 9,6 %. Total ragam yang terjelaskan dari ketiga komponen utama tersebut sebesar 71,65 %. Dilihat dari nilai koordinat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa parameter yang paling dekat dengan larva (sangat mendukung keberadaan larva) adalah fitoplankton untuk sumbu F1.

(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(7)

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

MOH. ASMAN BAHARA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Nama : Moh. Asman Bahara NRP : C151040071

Disetujui Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Ketua

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Dr. Ir. M. Husni Amarullah, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perairan, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Enang Harris, M.Sc Dr. Ir. Chairil Notodiputro, M.Sc

(9)

Alhamdulillahirabbil Alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmad dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan judul Distribusi Spasial dan Temporal Larva Ikan Di Perairan Pulau Abang Galang Baru Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Muhammad Husni Amarullah, M.Sc selaku Anggota Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan secara ikhlas dan penuh perhatian dan atas arahan-arahannya demi penyempurnaan.

2. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku penguji tamu.

3. Bapak Dr. Kardio Prapto Kardio, Dr. Chairul Muluk, M.Sc yang telah banyak memberikan arahan-arahan dan membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian.

4. Kepada seluruh staf Sekolah Pascasarjana, Program Studi Ilmu Perairan, Ekonomi Sumberdaya Perairan, Pemerintah Kota Batam, dan Laboratorium Perikanan BPPT penulis menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan dan izin penggunaan bahan dan alat selama penulis melakukan penelitian.

Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2009

(10)

Rampungnya penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (DAMANDIRI) atas bantuan dana penelitian dan penyelesaian stusi penulis.

2. Kepada Bapak Dr. H. Faad Maonde, M.S dan Ibu, serta Ibu Syamsiar La Wele, Alam Lawele Sekeluarga atas segala bantuan dan dukungannya.

3. Teristimewa buat Ayahanda La Bahara dan Ibunda Fatimah, Kakak Sudin, Arifa, Arida serta Adik Ratna dan segenap keluarga, penulis menyampaikan terima kasih atas doa serta bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan di Bogor.

4. Kepada Bapak H. Ukon Sekeluarga yang telah banyak memberikan dukungan dan dorongan selama proses penyelesaikan studi penulis.

5. Buat yang tercinta Nita Setia Lestari atas kesetiaan, ketulusannya dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi.

6. Kepada rekan-rekan mahasiswa ilmu perairan: Hatta, Dodi, Linda, Endeng, Charles, Pak Robani, Eman, Pak Fadli dan Ibu, dan lain-lain yang tidak saya sebutkan atas kerjasama yang baik selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Hal yang sama juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa ternate Kusdi, Irham, Asmar. Rekan-rekan di Asrama PTD; Awir, Yani, Alim, Pido, dll, serta rekan-rekan yang tergabung dalam FORUM WACANA SULTRA, warga penghuni Wisma Haluoleo Takdir Saili, Tiar, Om Wellem, Muzuni, Oce, Nurgayah, Asniah, Asrianti, atas bantuan dan kerjasama yang baik serta pengertian yang tulus selama berada di Bogor. Semoga Allah SWT akan terus memberikan Rahmat dan HidayahNya

kepada kita semua Amin..!

Bogor, Januari 2009

(11)

Penulis dilahirkan di Mawasangka, Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara pada tangggal 06 Januari 1975. Penulis merupakan anak keempat dari pasangan Bapak La Bahara dan Ibu Fatimah.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

ABSTRACT . ... ii

RINGKASAN . ... iii

HALAMAN HAK CIPTA . ... iv

HALAMAN JUDUL ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 5

1.4 Manfaat Penelitian... 6

1.5 Hipotesis... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan ... 7

2.2 Migrasi dan Distribusi Ikan Terumbu Karang. ... 10

2.3 Asosiasi Ekosistem Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan ... 12

2.4 Plankton sebagai Sumber Makanan bagi Larva Ikan ... 13

2.5 Ekologi Larva Ikan dan Pembentukan Komunitas... 15

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 17

3.2 Obyek Penelitian ... 20

3.3 Alat dan Bahan ... 20

3.4 Metode Penelitian... 20

3.4.1 Prosedur di Lapangan ... 20

a. Pengambilan Contoh Larva ... 20

b. Pengambilan Contoh Plankton ... 21

c. Pengambilan dan Pengukuran Parameter Kualitas Air ... 21

3.4.2 Prosedur Laboratorium ... 22

a. Identifikasi Larva ... 22

b. Identifikasi Plankton ... 23

c. Pengukuran Parameter Kualitas Air... 23

3.5 Analisis Data ... 22

3.5.1 Kelimpahan Larva ... 22

3.5.2 Kelimpahan Plankton ... 23

a. Indeks Keanekaragaman Shannon (H') ... 24

b. Indeks Keseragaman (E) ... 24

c. Indeks Dominasi (D) ... 25

(13)

4. HASIL PENELITIAN

4.1 Kondisi Umum Pulau Abang ... . 28

4.2 Kondisi Fisika – Kimia Perairan ... 29

1. Secara Spasial ... 30

2. Secara Temporal ... 31

4.3 Kondisi Biologi ... 32

4.3.1 Plankton ... 32

1. Secara Spasial ... 32

2. Secara Temporal... 33

4.3.2 Larva ... 36

1. Secara Spasial ... 36

a. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Mei ... 36

b. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Juli ... 37

c. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Oktober... 37

2. Secara Temporal... 37

a. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Mei ... 38

b. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Juli ... 38

c. Kelimpahan Larva Setiap Stasiun pada Bulan Oktober ...39

4.4 Keterkaitan Parameter Fisika, Kimia dan Biologi ... 39

4.5 Jenis – jenis Larva Ikan yang Tertangkap ... 42

4.6 Komposisi dan Kelimpahan Larva ... 42

4.7 Indek Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominasi ... 43

4.7.1 Indeks Keanekaragaman (H') ... 44

4.7.2 Indeks Keseragaman (E) ... 44

4.7.3 Indeks Dominasi (D) ... 44

5. PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lingkungan . ... 45

5.2 Parameter Biologi ... 48

5.3 Distribusi, Komposisi, dan Kelimpahan Larva . ... 51

5.4 Keterkaitan antara Larva dengan Parameter Lingkungan . ... 58

6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 60

6.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA . ... 61

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Posisi Stasiun Penelitian ... 17

2 Data Rata-rata Parameter Fisika Kimia Perairan . ... 30

3 Rata-rata Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton . ... 32

4 Kelimpahan Rata-rata Zooplankton setiap Bulan ... 33

5 Kelimpahan Rata-rata Fitoplankton setiap Bulan . ... 34

6 Perbandingan Kelimpahan Zooplankton dan Fitoplankton ... 35

7 Total Kelimpahan Larva Ikan setiap Bulan... 38

8 Matriks Korelasi antar Parameter Fisika, Kimia dan Biologi . ... 39

9 Diagonalisasi Komponen Utama ... 41

10 Matriks Parameter pada Koordinat Sumbu . ... 41

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram Alir Pendekatan Masalah ... 5

2. Siklus Hidup Ikan Kakap Merah ... 8

3. Lokasi Penelitian ... 19

4. Jaring Larva Ikan... 21

5. Hipotesis Teknik Identifikasi secara Morfologi Larva Ikan ... 22

6 Perbandingan Kelimpahan antara Fitoplankton dan Zooplankton . ... 32

7 Histogram Kelimpahan Fitoplankton setiap Bulan ... 34

8 Histogram Kelimpahan Zooplankton setiap Bulan ... 35

9 Perbandingan Plankton Tarik antara Fitoplankton dan Zooplankton Siang dan Malam ... 36

10 Histogram Kelimpahan Larva Ikan Bulan Mei ... 38

11 Histogram Kelimpahan Larva Ikan Bulan Juli... 38

12 Histogram Kelimpahan Larva Ikan Bulan Oktober. ... 39

13 Grafik Principal Component Analysis (PCA) pada Sumbu Faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) . ... 40

14 Grafik Principal Component Analysis (PCA) pada Sumbu Faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3) . ... 41

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Foto beberapa Contoh Species / Genus Larva Ikan ... 64

2 Lampiran Komposisi Larva Ikan ... 66

3 Kelimpahana Larva Ikan Bulan Mei ... 67

4 Kelimpahan Larva Ikan Bulan Juli... 68

5 Kelimpahan Larva Ikan Bulan Oktober ... 69

6 Parameter Bio-Fisikakimia Perairan . ... 70

7 Indeks Keanekaragaman (H'), Keseragaman (E) dan Dominasi (D) Larva Ikan . ... 72

8 Kelimpahan dan Komposisi Fitoplankton Bulan Mei... 73

9 Kelimpahan dan Komposisi Fitoplankton Bulan Juli ... 74

10 Kelimpahan dan Komposisi Fitoplankton Bulan Oktober ... 75

11 Kelimpahan Rata-rata Fitoplankton pada Waktu Siang Hari... 76

12 Kelimpahan Rata-rata Fitoplankton pada Waktu Malam Hari... 77

13 Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton Bulan Mei... 78

14 Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton Bulan Juli ... 79

15 Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton Bulan Oktober ... 80

16 Kelimpahan Rata-rata Zooplankton pada Waktu Siang Hari... 81

17 Kelimpahan Rata-rata Zooplankton pada Waktu Malam Hari... 82

18 Peta Arus Permukaan di Kawasan Pulau Abang ... 83

(17)
(18)

1.1 Latar Belakang

Kekayaan keanekaragaman hayati laut Indonesia tersebar di berbagai kawasan ekosistem pesisir dan lautan. Berbagai jenis biota telah beradaptasi dengan baik terhadap kondisi habitat di berbagai zona maupun tipe ekosistem. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (seagrass beds) (Dahuri, 2003).

Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu: 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan.

(19)

Nybakken (1992) mengemukakan bahwa ikan merupakan biota terbanyak dan organisme yang jumlahnya besar dan banyak ditemui di daerah terumbu karang. Sulistono et al., (2000) mengemukakan bahwa ikan karang digolongkan menjadi dua golongan, yaitu golongan ikan hias (ornamental fish) dan golongan ikan konsumsi (food fish). fisiografi dasar perairan merupakan faktor utama yang menentukan distribusi serta kelimpahan ikan-ikan karang (Sulistiono et al., 2000).

Ikan dalam mengawali daur hidupnya melalui tiga tahap yaitu telur, larva dan juwana. Tahap transisi terjadi antara telur dan larva (yolk sac) serta antara larva dan juwana (transformasi larva). Pada tahap telur terbagi kedalam sub divisi yaitu awal, tengah, dan akhir. Pada tahap larva juga dibagi menjadi tiga sub divisi yaitu: preflexion larva, flexion larva dan postflexion larva (Hoar dan Randall, 1987). Selanjutnya Amarullah (2008) mengemukakan bahwa perkembangan ikan dari stadia larva menjadi juvenil memiliki konsekwensi ekologis sehingga terjadi hubungan yang kritis terhadap kelulushidupan (survival) dan pertumbuhan (growth). Konsekwensi ekologis terpenting yang berpengaruh diantaranya adalah yang berkaitan dengan makanan dan pemangsaan (food and feeding), deteksi predator dan kemampuan menghindar (predator detection and escape) serta peralihan habitat (habitat shift) yang pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap rekrutmen stok ikan di suatu perairan.

(20)

Perairan pantai yang terdiri dari daerah pasang surut, estuari, mangrove, padang lamun, terumbu karang, maupun pantai berpasir merupakan nursery bagi berbagai jenis ikan. Melalui mekanisme hidro-biologi larva ikan yang dilahirkan di daerah lepas pantai akan menuju daerah habitat nursery yang kemudian keberhasilan hidupnya akan berpengaruh terhadap rekrutmen (Amarullah, 2008). Salah satu negara yang telah melakukan perlindungan terhadap sebaran larva ikan di suatu pantai adalah Jepang dengan cara mengidentifikasi pola sebaran larva ikan dan kapan larva ikan masuk ke pantai sehingga pada saat musim tersebut pantai ditutup untuk umum agar larva ikan dapat berkembang dengan baik. Sementara itu di Eropa ketika musim penangkapan, para ilmuwan yang telah mempelajari tentang larva ikan dapat memperkirakan stok ikan komersial yang ada di perairan tersebut (Najamuddin, 2004).

Pengelolaan pantai tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap komunitas organisme laut dapat mengganggu kehidupan biota laut, diantaranya larva. Pada ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan dan tumbuh besar (nursery ground), dan tempat mencari makanan (feeding ground) bagi biota laut khususnya bagi larva ikan yang bermigrasi ke wilayah pantai dapat terganggu akibat adanya pergerakan arus ataupun pasang surut yang begitu kuat di wilayah itu sehingga menimbulkan akibat tersendiri terhadap ekologi daerah pantai tersebut.

Pengetahuan tentang spawning ground larva ikan di laut mempunyai kaitan erat dengan berbagai segi aplikasi yaitu dapat menduga atau meramalkan musim benih (spatfall), mengefisienkan pengumpulan benih tersebut, mendukung kemajuan di bidang budidaya, mengetahui dimana kumpulan larva ikan yang bernilai ekonomis ini berasal dan mencari makan, serta konservasi lingkungan pantai (Romimohtarto dan Juwana 1998).

(21)

Agribisnis, Industri Budidaya Laut, daerah penghasil dan penangkapan ikan. Aktivitas penangkapan ikan dan benih ikan di perairan ini merupakan salah satu sumber pendapatan keluarga nelayan. Hasil tangkapannya dijual kepada penampung dan petani keramba. Daerah ini merupakan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan hampir 80% dari total area adalah habitat laut yang memiliki karakter spesifik dan sangat potensial untuk pengembangan sea ranching dan sea farming untuk berbagai jenis ikan konsumsi (kerapu, kakap, bandeng), kekerangan dan rumput laut. Pengembangan sea ranching dan sea farming di Pulau Abang diarahkan untuk mendukung penyediaan sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata bahari pemancingan disamping untuk menambah sediaan ikan di alam untuk masyarakat sekitar Pulau Abang serta untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang tersedia dikawasan sea ranhcing, meminimalkan resiko kegagalan, mencegah kerusakan dan gangguan lingkungan, mempertahankan kelangsungan dan kelestarian sumberdaya perikanan, memudahkan proses pengelolaan kawasan dan pemeliharaan lingkungan serta menjaga keseimbangan dan daya dukung lingkungan dalam rangka optimalisasi berbagai kegiatan dalam kawasan sea ranching baik yang bersifat ekonomi maupun ekologi (BPPT 2007).

Perairan Pulau Abang dari segi ekologis yang semakin hari semakin berubah fungsi, maka suatu ketika akan mengalami tekanan dari lingkungan akibat aktifitas manusia dimana fungsi ekologis pada suatu saat akan hilang. Hal ini sebagai akibat perubahan kondisi habitat bahkan tekanan lingkungan baik langsung maupun tidak langsung. Perubahan habitat dapat berasal dari pemusnahan lahan mangrove untuk pengembangan pelabuhan ataupun pemanfaatan kayu yang berasal dari hutan mangrove untuk bahan bangunan dan bahan bakar (kayu api). Perubahan habitat di laut seperti terumbu karang dapat di akibatkan oleh usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia (potasium sianida). Sedangkan tekanan lingkungan yang tidak langsung diakibatkan oleh limbah rumah tangga yang meningkat sebagai akibat perluasan pemukiman penduduk.

(22)

1.2 Perumusan Masalah

Bertolak pada keberadaan perairan Pulau Abang yang diuraikan di atas, maka diperlukan suatu kajian untuk mengetahui keberadaan peran ekologis dari perairan tersebut. Kajian ini diarahkan pada keberadaan larva ikan dalam hubungan dengan lingkungan seperti yang ditampilkan pada (Gambar 1).

Bio- Fisikakimia perairan Struktur Komunitas & Kelimpahan

Larva Ikan : - resident - seasonal - insidental

Plankton

Kelimpahan Larva: - berkaitan dengan

bio fisika-kimia - berkaitan dengan

kelimpahan plankton Kkeberadaan Larva Ikan ? Biomass Phyto Cukup memadai ? Tipe/karak teristik perairan Intensitas Cahaya (Iz) Hidrodinamik

INPUT PROSES OUTPUT

Keterangan :

= Proses

= Ketentuan/bagian = Kajian/evaluasi

Gambar 1. Diagram alir pendekatan masalah

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui komposisi larva ikan yang ada di Pulau Abang

2. Menganalisis keterkaitan antara kondisi habitat dengan distribusi dan kelimpahan larva ikan di Pulau Abang

(23)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Menginventarisir jenis / genus ikan yang bernilai ekonomis

2. Menentukan habitat jenis / genus ikan yang hidup di daerah tersebut

3. Menentukan kebijakan pengelolaan daerah Pulau Abang berdasarkan data hasil penelitian.

1.5 Hipotesis Penelitian

(24)

2.1 Biologi Larva Ikan

Ichthyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan yang hidup plantonik, merupakan cabang ilmu ichthyologi yang membahas tentang stadia larva ikan yang sifatnya sangat ditentukan oleh lingkungannya tertutama dalam pergerakan dan migrasinya. Awal daur hidup ikan, menurut Effendie (1978) dan Metarase et.all. (1989), meliputi stadia telur dan perkembangannya, yaitu stadia larva dan juvenil (ikan muda). Ikan-ikan pada stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton yaitu sebagian dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum, 1993). Pemijahan sebagai salah satu bagian dari reproduksi merupakan mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies. Penambahan populasi ikan bergantung kepada berhasilnya pemijahan dan bergantung kepada kondisi dimana telur dan larva ikan kelak berkembang (Effendie, 1997).

Secara umum tahap awal dari daur hidup ikan ialah setelah telur dibuahi yang juga dinamakan zygot terjadi perkembangan embryonic terjadinya organ genesis sampai tiba saatnya menetas. Pasca penetasan disebut larva sampai tahap juvenil dimana ikan sudah mulai seperti ikan dewasa dengan hilangnya organ-organ larva yang bersifat sementara (Sulistiono, Rahardjo, dan Effendie, 2001). Selanjutnya (Effendie, 1997) mengemukakan bahwa anak ikan yang baru ditetaskan dinamakan larva, tubuhnya belum dalam keadaan sempurna baik organ luar maupun organ dalamnya.

(25)

Gambar 2. Siklus hidup ikan Kakap Merah (Sulistiono et al,. 2000). Keterangan :

(1) Telur yang telah dibuahi (diameter 0,9 – 11 mm) (2) Perkembangan telur

(3) Larva ikan (baru menetas, panjang 2,1 mm) (4) Larva ikan (15 hari, panjang total 5,5 mm) (5) Juvenil (2 bulan, panjang total 36,0 mm) (6) Muda

(7) Dewasa (lebih dari 4 tahun)

(26)

yang baru ditetaskan letaknya dalam keadaan terbalik karena kuning telurnya masih mengandung minyak. Apabila kuning telurnya telah habis dihisap, posisi larva tersebut akan kembali seperti biasa. Larva ikan yang baru ditetaskan pergerakannya hanya sewaktu-waktu saja dengan menggerakkan bagian ekornya ke kiri dan ke kanan dengan banyak diselingi oleh istirahat karena tidak dapat mempertahankan keseimbangan posisi tegak. Sedangkan masa post larva ikan ialah masa larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara morphologis sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya. Sirip dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor sudah ada garis bentuknya. Berenangnya sudah lebih aktif dan kadang-kadang memperlihatkan sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie 1997). Selanjutnya apabila masa postlarva berakhir, ikan akan memasuki masa juvenile. Untuk beberapa ikan dalam memasuki masa ini ada yang mengalami beberapa perubahan bentuk tubuhnya atau bermetamorphose. Diantara beberapa ikan yang mengadakan metamorphose ialah ikan sidat, ikan paru-paru, ikan berlistrik (Gymnarchus) dan ikan sebelah.

Sumber makanan larva ikan diperoleh dari sisa kuning telur yang belum habis dihisap. Masa postlarva ikan ialah masa larva ikan dimana mulai hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya tahap penyempurnaan organ-organ yang telah ada sehingga pada tahap akhir dari postlarva ikan tersebut secara morfologi sudah mempunyai bentuk hampir seperti induknya (Effendie 1997).

(27)

Pada larva ikan ada beberapa kelompok sifat taksonomik yang digunakan yaitu :

1. Berbagai struktur atau bentuk tubuh seperti mata, kepala, bagian lambung dan sirip khususnya sirip dada.

2. Urutan munculnya sirip-sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang, pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanophora).

3. Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak, sirip yang memanjang dan berubah, sungut dan pada preoperculum dan lain-lain (Romomihtarto dan Juwana 1998).

2.2 Migrasi dan Distribusi Ikan Terumbu Karang

Migrasi atau ruaya, adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian, terhadap kondisi alam yang menguntungkan untuk eksistensi hidup dan keturunannya. Migrasi dan distribusi suatu jenis ikan merupakan hal yang fundamental dari ikan. Ikan mengadakan migrasi dalam rangka : (1) pemijahan; (2) mencari makan; (3) mencari daerah yang cocok untuk kelangsungan hidupnya, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pola migrasi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor Eksternal dan Internal dari suatu jenis ikan. Faktor eksternal berupa faktor lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung memegang peranan dalam migrasi ikan. Sedangkan internal adalah faktor yang terdapat di dalam tubuh misalnya sekresi kelenjar hormon dan lain-lainnya yang berhubungan dengan faktor luar tadi (Baskoro. Wahyu, dan Effendy, 2004).

Perairan karang adalah salah satu diantara ekosistem yang amat penting di laut. Salah satu diantara kelompok biota yang hidup disana adalah ikan. Ikan karang merupakan sumberdaya yang penting sebagai sumber protein hewani bagi kehidupan manusia (Adrim 1997 dalam Sulistiono 2000).

(28)

terlokalisasi. Mereka juga tidak berpindah dan banyak yang ukurannya kecil, seperti ikan belosoh, ikan tembakul, dan ikan betok yang terkenal dalam mempertahankan wilayahnya.

Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan ikan. Sehingga secara otomatis produktivitas sekunder atau produksi ikan, termasuk hewan-hewan laut lainnya seperti ikan, udang-udangan (lobster), octopus, kerang-kerangan (oyster), di daerah terumbu karang juga sangat tinggi (Supriharyono, 2000).

Menurut Nybakken (1992) dalam Sulistiono (2000) faktor kedalaman juga berperan dalam distribusi ikan karang. Pada umumnya mereka mempunyai kisaran kedalaman yang sempit, yang disebabkan faktor ketersediaan makanan, ombak dan predator. Selanjutnya Sulistiono, Rahardjo dan Effendie (2001) mengatakan bahwa kondisi fisik dapat berfungsi sebagai faktor yang mengekang larva ikan bermigrasi vertikal. Gradien suhu dapat membatasi migrasi vertikal dari organisme planktonik, termasuk larva ikan. Di lautan terbuka beberapa spesies terus menerus ditemukan di permukaan lapisan tercampur pada kolom air yang distratifikasi karena suhu misalnya herring, (Heath dkk, 1988; cod, Bucley dan Lough 1987; Ellersen dkk 1981; mackerel, Coombs dkk 1981, 1983; de Lafontaine dan Gascon 1989; Ropke 1989). Bagaimanapun juga, penafsiran dari beberapa pola ini harus dilakukan dengan alasan bahwa banyak zooplankton juga menunjukkan konsentrasi yang meningkat di lapisan permukaan kolom air yang distratifikasi. Motivasi sebenarnya distribusi larva ikan yang diamati mungkin karena bertemunya mangsa.

(29)

pula habitat lain seperti daerah pasir, berbagai teluk dan celah, daerah alga dan juga perairan dangkal dan dalam serta zona-zona yang berbeda melintasi karang.

Keanekaragaman spesies ikan-ikan karang mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaan terumbu karang di daerah tersebut. Ikan-ikan akan cenderung mengelompok pada bentuk karang tertentu dan umumnya mempunyai pergerakan yang terbatas dibandingkan invertebrata lain yang sama ukurannya. Hal ini disebabkan lingkungan yang berstruktur akibat bentuk terumbu karang yang kompleks (Nybakken 1992; Hutomo, 1993 dalam Sulistiono 2000).

2.3 Asosiasi Ekosistem Terumbu Karang dan Komunitas Ikan

Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini di sebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Selanjutnya Odum (1993) menyatakan bahwa meskipun karang adalah binatang (phylum Coelenterata) namun banyak terumbu yang dengan penuh semangat memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi terorganisasi secara baik dalam menggunakan, menimbun, mendaur ulang masukan-masukan yang diterima dari perairan sekitarnya.

Terumbu karang memiliki spesies yang amat beragam, dan sebagian besar dari spesies tersebut bernilai ekonomi tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman tersebut disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menempati areal yang cukup luas dan terdiri dari berbagai bentuk asosiasi yang kompleks, dengan sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda, dan semuanya berada di satu sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis (Dahuri, 2003).

(30)

Sulistiono et al., (2000) menyatakan bahwa sebagian besar ikan di ekosistem terumbu karang adalah ikan-ikan yang bersifat diurnal (aktif pada siang hari). Mereka mencari makan dan tinggal di permukaan karang dan memakan plankton yang lewat di atasnya. Ikan-ikan diurnal ini seperti Famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Acanthuridae, Labridae, Lutjanidae, Balistidae, Serranidae, Cinrhitidae, Tetraodontidae, Blennidae, dan Gobiidae. Sebagian kecil lainnya adalah ikan-ikan bersifat nocturnal (aktif pada malam hari). Ikan ini pada siang hari menetap di gua-gua dan celah-celah karang. Yang termasuk dalam kelompok ikan ini adalah Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae dan termasuk juga Famili Serranidae dan Labridae. Ada pula sebagian kecil jenis-jenis ikan yang sering melintasi ekosistem terumbu karang seperti Famili Scombridae, Sphyraenidae dan Caesionidae.

Sulistiono et al., (2000) menyatakan hal menarik tentang ikan ini adalah adanya perbedaan antara jenis ikan di siang hari (yang bersifat diurnal) dan jenis ikan di malam hari (yang bersifat nocturnal). Jenis ikan-ikan yang terlihat pada siang hari tidak akan terlihat di malam hari. Hal ini dikarenakan pada malam hari ikan-ikan yang bersifat diurnal bersembunyi dan berlindung di celah atau gua terumbu karang untuk menghindari pemangsaan dari ikan-ikan yang bersifat nocturnal.

2.4 Plankton Sebagai Sumber Makanan Bagi Larva Ikan

Plankton merupakan kosakata Yunani yang berarti mengapung (drifting), yang dapat didefenisikan sebagai komunitas organisme termasuk tumbuhan kecil (tiny plants) yang disebut phytoplankton, dan hewan (tiny animals) yang disebut zooplankton, yang tidak cukup memiliki kekuatan untuk mempertahankan atau menghindari pergerakan air atau arus. Untuk perikanan, keberadaan ikan selalu dikaitkan dengan keberadaan palnkton dan secara tegas mengikuti moto lama: “ Tidak ada plankton, tidak ada ikan” (no plankton, no fish) (Widodo dan Suadi, 2006).

(31)

dapat diramalkan melalui suatu formula yang didasarkan atas faktor-faktor keterbatasan penting tertentu dan koefisien fisiologi yang ditetapkan pada percobaan dalam laboratorium.

Ikan mengadakan ruaya pemijahan, ruaya ke daerah makanan, pembesaran, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya dimana mereka menemukan kondisi yang diperlukan oleh fase tertentu dari daur hidupnya (Nikolsky 1963 dalam Effendie 1997).

Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh makanan yang tersedia. Makanan ikan mulai dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan, merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains). Dari makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi yaitu jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan dan lamanya masa pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Umumnya makanan pertama kali datang dari luar untuk semua ikan dalam mengawali hidupnya adalah plankton bersel tunggal yang berukuran mikroskopis. Jika untuk pertama kali ikan itu menemukan makanan yang berukuran tepat dengan mulutnya, diperkirakan akan dapat meneruskan hidupnya (Baskoro, Wahyu, dan Effendy, 2004).

Makanan alami yang terdapat di alam seperti plankton atau jenis organisme lain merupakan sumber makanan bagi ikan. Kepadatan plankton merupakan indikator kesuburan suatu perairan. Makin subur suatu perairan maka semakin tinggi pula pertumbuhan plankton di perairan tersebut (Djajadiredja 1973). Keberadaan plankton berhubungan pula dengan keberadaan faktor fisika dan kimia dari perairan itu sendiri. Keterkaitan antara beberapa parameter fisika dan kimia merupakan suatu hubungan yang tak terpisahkan antara ketersediaan hara bagi fitoplankton dan kelangsungan keberadaan larva ikan sebagai salah satu organisme penghuni perairan.

(32)

bersangkutan. Fluktuasi komposisi makanan dalam suatu perairan dimana ikan harus mampu untuk menyesuaikan pada ketersediaan makanan yang ada. Hal ini mengakibatkan persaingan pada kelompok tersebut bahkan persaingan antar individu dalam kelompok yang sama. Jenis / individu yang menang dalam kompetisi berpeluang untuk bertahan dan berkembang (Tjahyo, 1987). Dengan demikian keberadaan larva ikan pada suatu perairan sangat ditentukan oleh faktor makanan dan faktor-faktor fisika dan kimia sebagai faktor pendukung keberadaan dari ikan yang berarti kelangsungan dari komunitas sebagai bagian yang lebih besar.

2.5 Ekologi Larva Ikan dan Pembentukan Komunitas

Kemampuan melawan pencampuran fisik dan terdapatnya kedalaman tertentu tidak hanya tergantung dari kemampuannya berenang dan daya apungnya, tetapi juga motivasi untuk mengatasi kedalaman. Seleksi vertikal (kedalaman) yang cukup disebabkan beberapa parameter, misalnya :

1. Diutamakan untuk menghindari kondisi fisika seperti suhu, intensitas cahaya atau hempasan gelombang

2. Mencari lokasi yang banyak terdapat sumber makanan / mangsa (prey) 3. Menghindari daerah yang banyak pemangsa

4. Memenuhi tahap khusus dalam fisiologis seperti hasrat untuk berenang 5. Optimalisasi distribusi horizontal akibat gesekan vertikal.

Pentingnya syarat ini membedakan antar spesies, antara tahap pertumbuhan dari suatu spesies, dan secara temporal (misalnya selama pergantian siklus) dari beberapa spesies (Sulistiono, Rahardjo dan Effendie 2001).

Penelitian yang dilakukan terhadap larva yang mengungkapkan aspek-aspek tertentu dari fisiologi dan tingkah lakunya yang mengakibatkan terbentuknya komunitas. Telah diketahui bahwa larva dapat memilih daerah yang akan mereka tempati. Jadi, larva tidak menetap begitu saja pada perairan atau substrat yang ada jika tiba waktunya bermetamorfosis menjadi dewasa.

(33)

mempunyai lingkungan tertentu untuk kehidupannya dan antara satu ikan dengan ikan lainnya mempunyai syarat-syarat lingkungan yang tidak sama. (Baskoro, Wahyu, dan Effendy, 2004)

Banyak larva dari invertebrata yang juga mempunyai kemampuan menunda metamorfosisnya sendiri selama jangka waktu tertentu sebelum mereka menemukan substrat yang baik pada saat mereka harus menetap. Penundaan metamorfosis ini mempunyai periode terbatas, jika setelah jangka waktu tertentu mereka belum juga menemukan substrat yang baik, metamorfosis akan berlangsung juga walaupun pada substrat yang kurang baik. Kemampuan menunda metamorfosis merupakan faktor untuk menjaga agar larva menetap pada tempat yang sesuai (Sulistiono, Rahardjo dan Effendie 2001). Selanjutnya Eidman, dkk (1988) dalam Sulistiono, Rahardjo dan Effendie (2001) mengatakan bahwa larva juga bereaksi terhadap faktor fisika-kimia lain seperti cahaya, tekanan, dan salinitas. Banyak larva yang mengapung bersifat fototaksis positif pada tahap awal kehidupan larvanya. Ini membuat mereka terdapat pada perairan bebas yang bergerak cepat dan jika tiba waktunya untuk menetap, mereka menjadi fototaksis negatif dan bermigrasi ke arah dasar. Beberapa larva sangat sensitif terhadap cahaya dan tekanan sehingga mereka hanya menempati tingkatan tertentu pada kolom air, yaitu daerah dengan keadaan sinar dan tekanan yang tepat. Penyebaran larva ke dalam berbagai lapisan air juga menunjukkan bahwa lapisan yang dekat dasar hanya akan mengandung larva yang siap untuk menetap.

(34)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di perairan Pulau Abang Kecamatan Galang Baru Batam,

Provinsi Kepulauan Riau. Penelitian berlangsung selama tiga kali yaitu pada bulan Mei,

bulan Juli, dan bulan Oktober 2006.

Stasiun penelitian dengan posisi masing-masing stasiun seperti yang ditampilkan

pada Tabel 1. Letak stasiun tersebut merupakan hasil pengukuran GPS (Global Position

System). Penentuan titik sampling berdasarkan hasil survei dan asumsi migrasi larva,

arus, pasang surut serta evaluasi master plan Kota Batam dan rencana pengembangan

[image:34.595.85.509.391.734.2]

Batam Mariculture Estate serta pengembangan sea rancching dan sea farmning dengan posisi masing-masing stasiun adalah :

Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan contoh dan karakteristik masing-masing stasiun

Letak Geografis Stasiun

Lintang Selatan

Bujur Timur

Kedalaman Karakteristik

1 (Ranu) 000 33.378' 1040 13.810' 15

Terumbu karang, pertanian, dan pemukiman

2 (Coi) 000 34.297' 1040 13.441' 10 Terumbu karang, mangrove

3 (Dapur Enam) 000 34.163' 1040 12.923' 10 Terumbu karang, mangrove

4 (Sungai Tungkang) 000 35.977' 1040 12.324' 30 Terumbu karang, mangrove

5 (Pasir Bugis) 000 34.096' 1040 12.223''' 10 Terumbu karang, mangrove

6 (Sungai Pumpang) 000 33.533' 104011.838' 10 Terumbu karang, mangrove

7 (Ujung Baran) 000 32.673' 1040 11.9260 10 Terumbu karang, mangrove

8 (Tanjung Mekmin) 000 32.02' 1040 14.518' 25

(35)

Stasiun penelitian ditetapkan sebanyak 8 stasiun yaitu : stasiun 1 berada diantara

Pulau Abang Kecil dan Pulau Ranu dengan kondisi terumbu karang dan mangrove baik

dan memiliki arus cukup deras, serta dicirikan adanya lokasi pertanian dan pemukiman.

stasiun 2, 3, 5 dan 6 berada pada Pulau Abang Besar yang tidak berpenghuni dikelilingi

oleh gusung pasir buluh, dan kondisi perairan dangkal dan terumbu karang dan

mangrove padat. Untuk satasiun 4 berada pada bagian selatan Pulau Abang Besar yang

perairannya menjorok kedalam dengan mangrove cukup padat dan terumbu karangnya

cukup baik pula. Stasiun 6 dan 7 berada disebelah Timur Pulau Abang Besar dengan

kondisi perairan cukup dalam dan berarus deras, terumbu karang baik dan mangrove

sedikit. Sedangkan pada stasiun 8 berada di dekat Pulau Abang Kecil yang merupakan

pemukiman penduduk yang kondisi terumbu karang dan mangrovenya sedikit kurang

baik (CRITC- COREMAP, 2005). Posisi stasiun penelitian seperti yang ditampilkan

(36)

# Y # Y # Y # Y # Y # Y # Y # Y

St. 1

St. 2

St. 3

St. 4

St. 5

St. 6

St. 7

St. 8

Tg. Batu Tg. Selit Tg. Balap Tg. Mekmin Tg. Air jambu

Tg. Pangkalan Tering Tg. Mulut

P. Ranu P. PenyuP. Abang Besar

Gs. Pasir Buluh

P. Abang Kecil

S

e

l

a

t

D

e

m

p

o

P. Sepintu P. Hantu Dapur Enam 0 °32' 0° 32' 0° 33 ' 0° 33' 0° 34 ' 0° 34' 0° 35 ' 0° 35' 0° 36 ' 0° 36' 104°11' 104°11' 104°12' 104°12' 104°13' 104°13' 104°14' 104°14' 104°15' 104°15'

Peta Lokasi Penelitian Pulau Abang Kepulauan Riau

Legenda :

Skala 1 : 50.000 N

E W

S

1 0 1

Km

Digambar Oleh : M. Asman Bahara

Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Perairan

Institut Pertanian Bogor 2008 Sumber Peta : - Peta RBI 1992 Bakosurtanal - Survey Lapangan 2006 Peta Indeks :

SINGAPURA

P. BATAM P. BINTAN

P. SUM ATRA

0° 00 ' 0° 30' 1° 00 '

103°30' 104°00' 104°30' 105°00'

Laut

Perairan Dangkal Mangrove Darat

#

[image:36.595.83.508.100.729.2]

Y Titik Stasiun

(37)

3.2 Objek Penelitian

Obyek utama penelitian ini adalah larva ikan dan obyek pendukungnya yaitu

parameter bio fisika-kimia (kelimpahan plankton, TSS, salinitas, pH, temperatur, DO,

dan sedimen).

3.3 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva net ukuran 0,5 mm,

plankton net ukuran 0,040 mm dan cod end 25 ml, YSI.85 (OCST), WTW, secchi disk,

kertas label, botol sampel, ember, kamera, mikroskop, dan bahan-bahan yang digunakan

terdiri dari bahan pengawet larva ikan dan plankton, yaitu formalin dan lugol.

3.4 Metode Penelitian 3.4.1 Prosedur di Lapangan a. Pengambilan Contoh Larva

Pengambilan larva ikan dilakukan sekali dalam setiap bulan (Mei, Juli, dan

Oktober). Setiap stasiun penelitian dilakukan pengambilan sampel yaitu pada saat

malam dan siang hari. Larva ikan ditangkap dengan menggunakan larva net dengan

ukuran mata jaring 0,5 mm. Jaring larva yang digunakan seperti yang ditampilkan pada

Gambar 4. Cara pengoperasian jaring larva ikan ini yaitu : Jaring larva (dengan bukaan

mulut jaring 1 meter x 1 meter) yang dipasang atau diikat pada bagian belakang perahu

motor dengan jarak 10 meter dengan kedalaman 10 – 30 meter. Kemudian jaring larva

ditarik secara horizontal dengan kecepatan perahu 1,5 knot selama 10 menit setelah itu

perahu berhenti, kemudian jaring ditarik dan diangkat. Sampel larva yang diperoleh

kemudian dimasukkan dalam ember lalu disortir untuk dimasukkan dalam botol sampel

(38)
[image:38.595.143.449.116.291.2]

Gambar 4 Jaring Larva Ikan

b. Pengambilan Contoh Plankton

Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menggunakan 2 jaring plankton

net yaitu plankton biasa dan plankton tarik. Ukuran jaring plankton yang digunakan

berdiameter 20 cm dan ukuran mata jaring (mesh size) 0,040 mm dan cod end 25 ml.

Teknik pengambilan plankton net saring (scoop net) pertama dengan menyaring air

sebanyak 100 liter (10 ember) yang disaring menggunakan alat plankton net yang

bagian ujungnya telah dilekatkan botol film 30 ml. Sedangkan untuk pengambilan

sampel plankton tarik digunakan alat jaring plankton tarik yang teknik pengambilan

sampel planktonnya dilakukan bersamaan dengan pengoperasian jaring larva.

Pengoperasian plankton tarik dilakukan dengan menarik dengan perahu motor selama

10 menit dengan kecepatan 1,5 knot (0,7717 m/s). Selanjutnya sampel plankton

yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam botol sampel dan diawetkan dengan

larutan lugol.

c. Pengambilan dan Pengukuran Parameter Kualitas Air

Pengambilan air menggunakan alat Van Dorn Sampler. Pengoperasian alat ini

mula-mula kedua tutup katup dibuka lalu diturunkan setelah mencapai dasar, kemudian

ditarik lagi setinggi satu meter selanjutnya pemberat (bandul) diturunkan untuk menutup

kedua katup lalu ditarik. Sampel air permukaan dan dasar yang diperoleh kemudian

dimasukan kedalam botol sampel, kemudian sisa air diukur oksigen, konduktivitas,

(39)

3.4.2 Prosedur Laboratorium a. Identifikasi Larva

Pengamatan dilaboratorium untuk parameter biologi dilakukan untuk

mengidentifikasi larva ikan. Larva ikan yang tertangkap di identifikasi sampai ke takson

yang paling memungkinkan yaitu genus. Identifikasi mengacu pada buku Leis dan

Rennis (1983), Jeyaseelan (1998) dan Okiyama (1988).

HEAD TRUNK TAIL

MYOMERES

DORSAL FIN ANLAGE

EXTERNAL PIGMENT FINFOLD POSTANAL MYOMERES TIP OF NOTOCHORD PECTORAL BASE ANUS STRITED OUT INTERNAL PIGMENT GAS BLADDER MYOSEPTUM PELVIC BUT CLEITHRUM CLEIITHRAL SYMPHYSIS CHOROID TISSUE BRAIN OTIC CAPSULE ANGLE OF LOWER JAW OLFACTORY PIT

HEAD TRUNK TAIL

[image:39.595.88.508.246.699.2]

ANUS POSTANAL MYOMERES ADIPOSE FIN INCIPIENT SOFT RAY SOFT RAY BASE SOFT RAY SMOOTH SPINE SERRATE SPINE SPINE BASE SUPRACLEIT HRAL SPINE SUPRAOCCIPITAL CREST WITH SPINE PARIETAL SPINE PTEROTIC SPINE NOSTRIL ASCENDING MAXILLARY PROCESS OPERCULAR SPINE PREOPERCULAR SPINE SUPRAOCULAR SPINE

Gambar 5 Hipotesis teknik identifikasi secara morfologi larva ikan Stolephorus dan

(40)

b. Identifikasi Plankton

Plankton yang telah diawetkan, kemudian diidentifikasi hingga ke takson yang

memungkinkan yaitu genus dengan menggunakan buku pedoman Yamaji (1982),

Tomas (1997).

c. Pengukuran Parameter Kualitas Air

Pengamatan laboratorium untuk parameter biologi kualitas air dilakukan di

Laboratorium ProLing FPIK-IPB Bogor untuk mengamati TSS, DO, dan Nitrat-Nitrit.

3.5 Analisis Data 3.5.1Kelimpahan Larva

Kelimpahan larva ikan yang didefenisikan sebagai banyaknya larva ikan persatuan

luas daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan rumus :

Vtsr

n

N

=

/

dimana :

N = Kelimpahan larva ikan (ind/m3)

n = Jumlah larva ikan yang tercacah (ind)

Vtsr = Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v )

l = luas bukaan mulut saringan

t = lama waktu penarikan saringan (menit)

v = Kecepatan tarikan (m/menit)

3.5.2Kelimpahan Plankton

Kelimpahan plankton digunakan untuk mengetahui jumlah plankton dalam setiap

volume ukuran. Secara sederhana jumlah hasil cacahan dikalikan dengan jumlah fraksi.

Pencacahan plankton mengunakan SRC (Sedgwick Rafter Counting Cell) yang dinyatakan secara kuantitatif dalam jumlah individu/m3 (Basmi, 1999) dan dihitung

berdasarkan rumus :

Vo

Vr

Vs

n

(41)

dimana: N : Kelimpahan plankton (individu/m3)

n : Jumlah plankton yang tercacah

Vs : Volume air contoh yang disaring (m3)

Vr : Volume air contoh yang tersaring (ml)

Vo : Volume air pada Sedgwick Rafter (ml)

3.5.3 Indeks Keanekaragaman

Keanekaragaman larva ikan diperlukan untuk menjelaskan kehadiran jumlah

individu antar genus dalam suatu komunitas. Keanekaragaman larva ikan dihitung

dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Legendre dan Legendre 1983 dan

Bengen 2000). Formulasi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener berdasarkan

persamaan sebagai berikut :

=

=

S

i

ni

pi

H

1 !

ln

Keterangan :

H! = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

N = jumlah total individu dalam komunitas (Σ ni) ni = jumlah individu spesies atau jenis ke-i

pi = proporsi individu spesies ke-i (ni/N)

i = 1, 2, 3,...,s

s = jumlah genus

Dari persamaan di atas, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dikategorikan

sebagai berikut (Odum 1971) :

H! < 2,3026 : Keanekaragaman populasi kecil

2,3026 < H! < 6,9078 : Keanekaragaman populasi sedang

H! > 6,9078 : Keanekaragaman populasi tinggi

3.5.4 Indeks Keseragaman

Keseragaman adalah suatu gambaran tentang sebaran individu setiap spesies

dalam komunitas. Indeks keseragaman (E) larva ikan dihitung berdasarkan persamaan

(42)

. , ! ! , maks H H

E = atau

s H E ln , = Keterangan :

E = indeks keseragaman

H, = indeks keanekaragaman

s = jumlah genus

Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan

penyebaran jumlah individu setiap genus pada tingkat komunitas. Indeks Keseragaman

berdasarkan Odum (1971) adalah :

. , ! , maks H H E = Keterangan :

E = indeks keseragaman

H, = indeks keanekaragaman

H maks = ln s

s = jumlah genus

Indeks Keseragaman berkisar antara 0-1. Apabila nilai E mendekati 1 sebaran

individu antar jenis merata (seragam). Nilai E mendekati 0 apabila sebaran individu

antar jenis tidak merata atau ada sekelompok jenis tertentu yang dominan.

3.5.5 Indeks Dominasi

Indeks Dominasi diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Odum

1971) :

( )

2

1 1 2

= = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = = n i S i N ni pi D Keterangan :

D = indeks dominasi

ni = jumlah individu genus ke-i

N = jumlah total individu

pi = proporsi individu spesies ke-i (ni/N)

i = 1, 2, 3, ..., s

(43)

Kriteria nilai sebagai berikut :

D mendekati 0 tidak ada jenis yang mendominasi, dan D mendekati 1 terdapat

jenis yang mendominasi jenis yang lain.

3.5.6 Analisis Komponen Utama / PCA (Principal Component Analysis)

Analisis ini digunakan untuk mendeterminasi sebaran parameter bio-fisikakimia

perairan (Bengen 2000). Analisis Komponen Utama adalah suatu teknik ordinasi yang

memproyeksikan dispersi matriks dari data multidimensi dalam suatu ruang datar.

Dengan cara mereduksi ruang maka diperoleh sumbu-sumbu baru yang

merepresentasikan secara optimal dari sebagian besar variabilitas data matriks

multidimensi sehingga dapat ditemukan hubungan antar ciri dan hubungannya antar

obyek. Analisis ini membagi matriks korelasi parameter menjadi beberapa komponen,

kemudian menyusun keragaman komponen bersangkutan dari yang terbesar pada sumbu

komponen utama hingga didapatkan ditribusi spasial parameter biologi, fisika dan kimia

pada suatu daerah tertentu.

Data karakteristik habitat yang berupa parameter lingkungan tidak mempunyai

satuan unit pengukuran dan ragam yang sama. Oleh karena itu sebelum data dianalisis,

perlu dilakukan ormalisasi data terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian.

Dengan demikian didapatkan indeks sintetik dari kombinasi linear nilai-nilai

karakteristik habitat asal (Legendre dan Legendre 1983).

Korelasi linear antar dua parameter yang dianalisis dari indeks sintetik merupakan

peragam dari kedua parameter yang telah dinormalisasikan. Analisis Komponen Utama

mencari indeks yang menunjukkan ragam stasiun maksimum. Indeks ini disebut

Komponen Utama Pertama yang merupakan sumbu utama 1 (F1). Suatu proporsi

tertentu dari ragam total stasiun direpresentasikan oleh F1. Selanjutnya dicari

Komponen Utama Kedua (F2) yang memiliki korelasi nol dengan F1. Komponen F2 ini

memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap F2. Proses ini berlanjut terus hingga

memperoleh komponen utama ke-p, dimana begian informasi dapat dijelaskan semakin

kecil.

Analisis Komponen Utama menggunakan indeks jarak Euclidean pada data. Jarak

(44)

( )

(

)

2 ,

1

, ,

2

=

− = p

j

j xii xij i

i

D

Keterangan : i,i, = stasiun (baris)

j = parameter lingkungan (kolom)

Semakin kecil jarak Euclidean antar 2 stasiun, maka karakteristik bio-fisikakimia

antar 2 stasiun tersebut semakin mirip, demikian pula sebaliknya. Perhitungan PCA

(45)

4.1 Kondisi Umum Pulau Abang

Secara geografis Kepulauan Abang merupakan wilayah yang masuk dalam wilayah Kota Batam yang mempunyai posisi yang strategis karena berada pada jalur pelayaran internasional dan hanya berjarak 12.5 mil laut dengan negara tetangga Singapura, kondisi ini menempatkan Kota Batam sebagai pintu gerbang lokomotif pembangunan ekonomi baik Propinsi Riau maupun Nasional.

Kepulauan Abang terletak pada 0.53o – 0.58o Lintang Utara dan 104.21o – 104.23o Bujur Timur merupakan sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa pulau yang mempunyai batas wilayah sebagai berikut :

(1)Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Karas

(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Senayang (3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karimun (4)Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Senayang

Pulau Abang termasuk dalam kawasan kepulauan Riau, memiliki gugusan pulau yang terdiri dari ± 30 pulau besar dan kecil. Pulau Abang Besar memiliki panjang pantai sekitar 29,9 km dan Pulau Abang Kecil memiliki panjang pantai sekitar 9,5 km. Iklim yang berpengaruh di Pulau Abang adalah iklim tropis.

(46)

Pulau Abang diperkirakan mencapai tidak kurang dari 1400 ha. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kepulauan Abang memiliki sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik seperti ekosistem mangrove dan terumbu karang. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut.

Pulau Abang memiliki kawasan mangrove yang cukup luas dengan luasan mencapai 4 km2 (CRITC-COREMAP, 2005). Kondisi mangrove yang baik ini akan mendukung pengembangan sea ranching di kawasan tersebut. Menurut Masaru (1999) in Sudrajad et al. (2001) sea ranching adalah konsep pengelolaan perairan pantai atas dasar pendekatan ekologi dengan memperhatikan potensi sumberdaya yang ada, sedangkan sea farming dapat dievaluasi sebagai elemen-elemen teknologi dari kegiatan sea ranching. Dalam hal ini, kegiatan sea ranching yang akan dikembangkan di Pulau Abang berupa penebaran stok ikan ke perairan di sekitar Pulau Abang. Ikan-ikan ini akan dibiarkan hidup secara alami. Adapun bentuk dari kegiatan sea farming yang akan dikembangkan adalah pembudidayaan ikan karang (ikan kerapu dan ikan kakap) melalui keramba jaring apung (KJA).

Keadaan iklim daerah ini dipengaruhi oleh dua Musim yaitu Musim Timur, dan Musim Barat yang diselingi oleh Musim Peralihan (Pancaroba). Musim Timur biasanya terjadi pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei, Musim Peralihan terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan September sedangkan Musim Barat berlangsung dari bulan Oktober sampai dengan bulan Januari. Berdasarkan rata-rata curah hujan Pulau Abang tergolong daerah basah dengan curah hujan 2000 mm/tahun, suhu rata-rata 26 sampai 34 derajat celcius, dengan dataran yang berbukit – bukit, berlembah, dan berbatu muda dengan ketinggian maksimum 160 meter di atas permukaan laut.

4.2 Kondisi Fisika Kimia Perairan

(47)
[image:47.595.118.524.106.370.2]

Tabel 2 Data rata-rata parameter fisika kimia perairan pada setiap stasiun Parameter

ST

TSS Kecerahan Suhu DO Salinitas pH Nitrat Nitrit 1 28.7±4.5 6.5±0.9 30.0±0.1 4.2±0.2 31.1±0.4 8.08±0.1 0.35±0.6 0.06±0.01

2 27.3±4.5 6.0±0.9 29.9±0.1 4.2±0.2 32.1±0.4 8.14±0.1 0.23±0.6 0.06±0.01

3 32.7±4.5 5.7±0.9 29.9±0.1 4.1±0.2 32±0.4 8.07±0.1 0.23±0.6 0.05±0.01

4 25.3±4.5 6.0±0.9 30.0±0.1 4.3±0.2 32±0.4 8.09±0.1 0.24±0.6 0.06±0.01

5 31.3±4.5 5.0±0.9 30.3±0.1 4.6±0.2 32.2±0.4 8.09±0.1 0.21±0.6 0.07±0.01

6 25.3±4.5 5.0±0.9 30.2±0.1 4.4±0.2 31.9±0.4 8.13±0.1 0.24±0.6 0.05±0.01

7 37.3±4.5 5.0±0.9 29.9±0.1 4.7±0.2 32.2±0.4 8.03±0.1 0.21±0.6 0.05±0.01

8 24±4.5 7.5±0.9 30.0±0.1 4.3±0.2 32±0.4 7.82±0.1 0.15±0.6 0.03±0.01

1) Secara Spasial

(48)

2) Secara Temporal

Secara temporal suhu perairan Pulau Abang pada bulan Mei berkisar 30.2 – 31.4 °C, bulan Juli berkisar 31,4 – 30,8, sedangkan pada bulan Oktober suhu berkisar 29,4 – 30,1. Suhu tertinggi ditemukan pada bulan Mei pada stasiun 1 (30,8°C) sedangkan suhu terendah ditemukan pada bulan Juli pada stasiun 7 (29,2°C). Oksigen terlarut (DO) bulan Mei berkisar 4,8 – 5,95, bulan Juli 3,18 – 3,62, sedangkan pada bulan Oktober berkisar 3,41 – 4,3. DO tertinggi ditemukan pada bulan Mei pada stasiun 7 (5,95) dan DO terendah ditemukan pada bulan Juli stasiun 1 (3,18). Salinitas bulan Mei berkisar 31,1 – 32, 2 o/oo, bulan Juli berkisar

28,7 – 30,9 o/oo, dan bulan Oktober berkisar 30 – 32 o/oo. Salinitas tertinggi ditemukan

pada bulan Mei pada stasiun 5 dan 7 (32,2), dan salinitas terendah ditemukan pada bulan Juli pada stasiun 1 (28,7). Kecerahan perairan bulan Mei berkisar 5 – 10 meter, bulan Juli berkisar 5 – 6,5 meter, sedangkan pada bulan Oktober kecerahan berkisar 5 – 7 meter. Kecerahan perairan tertinggi diemukan pada bulan Mei pada stasiun 8 (10 meter), dan kecerahan terendah ditemukan pada setiap bulannya yaitu pada stasiun 6 (5 meter).

(49)

4.3 Kondisi Biologi 4.3.1Plankton

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama tiga kali dari 8 stasiun, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata kelimpahan fitoplankton dan zooplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan (individu/m3)

Parameter Stasiun

Fitoplankton Zooplankton

1 231166.7 45100

2 519200 51200

3 276983.3 38700

4 472316.7 46300

5 374750 53900

6 231400 54500

7 189666.7 73600

8 217533.3 38500

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000

K

e

lim

pa

ha

n

In

div

idu/

m

3

1 2 3 4 5 6 7 8

Stasiun

Perbandingan Kelimpahan

[image:49.595.115.513.214.622.2]

Fitoplankton Zooplankton

Gambar 6 Histogram perbandingan kelimpahan antara fitoplankton dan zooplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan

1) Secara Spasial

(50)

individu/m3 dan terendah ditemukan pada stasiun 6 sebesar 26.100 individu/m3. Pada bulan Juli kelimpahan kelimpahan fitoplanktonnya tertinggi ditemukan pada stasiun 2 yaitu sebesar 1.044.800 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 yaitu sebesar 192.600 individu/m3. Untuk zooplankton tertinggi ditemukan pada stasiun 4 sebesar 32.100 individu/m3 terkecil pada stasiun 8 sebesar 11.100 individu/m3. Sedangkan pada bulan Oktober kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu sebesar 514.800 individu/m3 dan kelimpahan terendah pada stasiun 7 yaitu sebesar 46.250 individu/m3 dan untuk kelimpahan zooplanktonnya tertinggi ditemukan pada stasiun 7 sebesar 154.500 individu/m3. (Tabel 3 dan Lampiran 6). 2) Secara Temporal

Untuk kelimpahan fitoplankton secara temporal, bulan Mei tertinggi ditemukan pada stasiun 4 dengan kelimpahan 312.800 individu/m3 dan terendah pada stasiun 6 yaitu sebesar 18.550 individu/m3. Bulan Juli kelimpahan fitoplankton tertinggi ditemukan pada stasiun 2 dengan kelimpahan sebesar 1.044.800 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 yaitu 192.600 individu/m3. Sedangkan untuk kelimpahan bulan Oktober, tertinggi ditemukan pada stasiun 4 dengan kelimpahan 514.800 individu/m3 dan terendah ditemukan pada stasiun 7 yaitu 46.250 individu/m3 (Tabel 4 Lampiran 6).

Tabel 5 Kelimpahan rata-rata fitoplankton setiap bulan di setiap stasiun pengamatan (individu/m3)

Parameter

Bulan Mei Bulan Juli Bulan Oktober

Stasiun

Fitoplankton Fitoplankton Fitoplankton

1 47650 406650 239200

2 66200 1044800 446600

3 48900 430950 351100

4 312800 589350 514800

5 78300 826650 219300

6 18550 422100 253550

7 58050 464700 46250

8 48700 192600 411300

[image:50.595.116.520.508.718.2]
(51)

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000

In

d

v

./m

3

1 2 3 4 5 6 7 8

Stasiun

Bulan Mei Fito

Bulan Juli Fito

Bulan Oktober Fito

Gambar 7 Histogram kelimpahan fitoplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan

Hasil perhitungan kelimpahan zooplankton secara temporal, pada bulan Mei tertinggi ditemukan pada stasiun 7 sebesar 53.400 individu/m3 dan terendah pada stasiun 6 yaitu sebesar 26.100 individu/m3. Untuk bulan Juli kelimpahan zooplankton tertinggi ditemukan pada stasiun 4 sebesar 32.100 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 yaitu sebesar 11.000 individu/m3. Sedangkan kelimpahan zooplankton pada bulan Oktober zooplankton tertinggi pada stasiun 7 yaitu 154.500 individu/m3 dan terendah ditemukan pada stasiun 3 sebesar 55.500 individu/m3 (Tabel 3 dan Lampiran 6).

Tabel 4 Kelimpahan rata-rata zooplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan (individu/m3)

Parameter

Bulan Mei Bulan Juli Bulan Oktober

Stasiun

Zooplankton Zooplankton Zooplankton

1 36300 16500 82500

2 40800 13200 99600

3 33300 27300 55500

4 30300 32100 76500

5 43500 27600 90600

6 26100 25800 111600

7 53400 12900 154500

8 27300 11100 77100

[image:51.595.116.446.85.282.2] [image:51.595.111.520.499.727.2]
(52)

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000

In

d

v

./m

3

1 2 3 4 5 6 7 8

Stasiun

Bulan Mei Zoo

Bulan Juli Zoo

[image:52.595.117.443.86.263.2]

Bulan Oktober Zoo

Gambar 8 Histogram kelimpahan zooplankton setiap bulan pada setiap stasiun pengamatan

Dari hasil analisis kelimpahan, didapatkan perbandingan antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton siang dan malam hari seperti yang disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 9.

Tabel 6 Perbandingan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton siang dan malam hari (individu/m3)

Sampling Siang Parameter

ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 ST 7 ST 8

Fitoplanton 454700 324900 599800 666100 417950 435600 2018000 706200

Zooplanton 56400 23100 11400 33600 46800 65700 128700 38700

Sampling Malam Parameter

ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 ST 7 ST 8

Fitoplankton 351250 392700 317900 275350 462300 255800 382750 229200

[image:52.595.115.532.404.632.2]
(53)

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 K e lm pa ha n Indi v idu/ m 3

1 2 3 4 5 6 7 8

Stasiun Fitoplankton Siang Malam 0 50000 100000 150000 200000 250000 K e li m p ahan Indi vi du/ m 3

1 2 3 4 5 6 7 8

Stasiun Zooplankton

Siang Malam

Gambar 9 Histogram perbandingan plankton tarik antara fitoplankton dan zooplankton siang dan malam hari.

4.3.2 Larva

1. Secara Spasial

Dari hasil penelitian yang dilakukan selama tiga bulan larva ikan yang ditemui pada setiap musimnya mempunyai kelimpahan berbeda.

a. Kelimpahan Larva disetiap Stasiun pada Bulan Mei

[image:53.595.159.481.88.429.2]
(54)

b. Kelimpahan Larva disetiap Stasiun pada Bulan Juli

Jumlah kelimpahan total larva ikan yang tertangkap pada bulan Juli baik siang maupun malam hari berjumlah 608 individu/m3. Kelimpahan terbanyak terdapat pada stasiun 3 yaitu sebanyak 117 individu/m3 dan terendah pada stasiun 4 sebanyak 31 individu/m3 dengan jumlah famili yang tertangkap terdiri dari 39 famili. Jumlah total larva ikan yang banyak tertangkap pada bulan Juli baik siang maupun malam yaitu famili Carangidae (70 individu/m3), Clupeidae (64 individu/m3), Engraulididae (59 individu/m3), dan famili Sillaginidae (56 individu/m3) (Lampiran 4).

c. Kelimpahan Larva disetiap Stasiun pada Bulan Oktober

Jumlah kelimpahan total larva ikan yang tertangkap pada bulan Oktober baik siang maupun malam hari berjumlah 525 individu/m3. Kelimpahan terbanyak terdapat pada stasiun 1 yaitu sebanyak 117 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 sebanyak 22 individu/m3 dengan jumlah famili yang tertangkap terdiri dari 30 famili. Jumlah total larva ikan yang banyak tertangkap pada bulan Oktober baik

siang maupun malam hari yaitu famili Carangidae (123 individu/m3), Engraulididae (58 individu/m3), Clupeidae (44 individu/m3), dan famili Mugilidae (37 individu/m3)

(Lampiran 5).

2. Secara Temporal

(55)
[image:55.595.112.449.123.470.2]

Tabel 7 Total kelimpahan larva ikan setiap bulan selama penelitian (individu/m3) Stasiun

Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah

Mei 72 97 50 36 36 75 33 39 438

Juli 100 106 117 31 81 97 33 44 609

Oktober 119 56 53 89 83 69 33 22 525

a. Kelimpahan larva disetiap stasiun pada bulan Mei

0 20 40 60 80 100 120

Kelimpahan Larva Bulan Mei (Individu/m3)

ST. 1 ST.2 ST.3 ST.4 ST. 5 ST. 6 ST. 7 ST. 8

[image:55.595.116.427.511.694.2]

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 10 Histogram kelimpahan larva ikan setiap stasiun pada bulan Mei b. Kelimpahan larva disetiap stasiun pada bulan Juli

0 20 40 60 80 100 120

Kelimpahan Larva Ikan Bulan Juli (Individu/m3)

ST. 1 ST.2 ST.3 ST.4 ST. 5 ST. 6 ST. 7 ST. 8

1 2 3 4 5 6 7 8

(56)

c. Kelimpahan larva disetiap stasiun pada bulan Oktober

0 20 40 60 80 100 120

Kelimpahan Larva Ikan Bulan Oktober (Individu/m3)

ST. 1 ST.2 ST.3 ST.4 ST. 5 ST. 6 ST. 7 ST. 8

[image:56.595.115.430.98.279.2]

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 12 Histogram kelimpahan larva ikan setiap stasiun pada bulan Oktober 4.4 Keterkaitan Parameter Fisika, Kimia dan Biologi

Matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Tanda minus atau positif menunjukan sifat korelasi negatif atau positif antar parameter. Nilai positif yang mendekati satu (0.5 sampai 1) menjelaskan hubungan yang

berbanding lurus antar parameter. Nilai negatif

Gambar

Tabel                                                                                                                  Halaman
Gambar                                                                                                               Halaman
Gambar 1. Diagram alir pendekatan masalah
Gambar 2. Siklus hidup ikan Kakap Merah (Sulistiono et al,. 2000).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya dilakukan pendampingan dalam pembuatan formulasi biofertilizer dalam bentuk kompos limbah kulit kakao, pendampingan perbanyakan Trichoderma sp di lokasi

- Pengamanan web server dari PHP Shell (Pengujian sebelum diamankan dan setelah diamankan) (Linux) - Eksploitasi PHP 7 (bypass disable_function &amp; open_basedir)

Penelitian ini bertujuan untuk membangun sistem pendukung keputusan berbasis komputer dengan mengimplementasi model hybrid MCDM (kombinasi metode AHP dan TOPSIS ) untuk

Penelitian utama adalah adalah pembuatan naget ikan Patin substitusi ikan Gabus dengan konsentrasi yang paling disukai dari hasil uji hedonik pada penelitian pendahuluan

Dengan menggunakan data diperoleh dari produsen sebagai patokan, dapat diketahui bahwa harga jual per unit produk Kopi Bubuk Cap Keluarga pada tingkat

Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di SMK Negeri 1 Kasihan terdapat beberapa kekurangan dalam proses pembelajaran, salah satunya prestasi belajar di kelas XI

Mula-mula media yang mengandung merkuri dengan tingkat satuan mV tertentu diinokulasi (Tahap I) dengan masing- masing isolat uji Thiobacillus (yang meru- pakan

 PKS akan dibuat dan mengacu pada MoU yang berlaku, jika MoU baru telah selesai, maka yang dijadikan dasar hukum adalah MoU yang baru, namun jika belum selesai, maka dasar