• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efforts to Control Escherichia coli and Salmonella spp. Contamination in Dangke, Traditional Processed Cow’s Milk in Enrekang Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efforts to Control Escherichia coli and Salmonella spp. Contamination in Dangke, Traditional Processed Cow’s Milk in Enrekang Regency"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

USAHA PENGENDALIAN KONTAMINASI Escherichia coli

DAN Salmonella spp. PADA DANGKE, OLAHAN SUSU

SAPI TRADISIONAL KABUPATEN ENREKANG

WAHNIYATHI HATTA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Usaha Pengendalian Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. pada Dangke, Olahan Susu Sapi Tradisional Kabupaten Enrekang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

WAHNIYATHI HATTA. Usaha Pengendalian Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. pada Dangke, Olahan Susu Sapi Tradisional Kabupaten Enrekang. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO, IDWAN SUDIRMAN, dan RATMAWATI MALAKA.

Susu dan produk olahannya berkontribusi penting terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pengembangan pengolahan dan perbaikan kualitas produk susu tradisional Indonesia merupakan upaya untuk dapat meningkatkan konsumsi susu nasional. Dangke adalah produk sejenis keju lunak tanpa pematangan yang dibuat secara turun temurun oleh masyarakat di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Intensitas pengembangan sapi perah di wilayah tersebut menyebabkan peternak beralih menggunakan susu sapi sebagai bahan baku dangke. Nilai gizi yang tinggi menyebabkan dangke rentan terhadap kontaminasi bakteri patogen. Keberadaan bakteri patogen pada pangan dapat menimbulkan gangguan kesehatan konsumen.

Tujuan utama penelitian ini, adalah: 1) mengidentifikasi faktor-faktor pendukung pengembangan usaha dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang, 2) menentukan sumber kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. pada dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang, 3) mengembangkan cara pengolahan dangke susu sapi untuk menekan kontaminasi E. coli dan Salmonella spp.

Pengumpulan data primer penelitian dilakukan melalui survei lapangan dan pengujian laboratorium. Lokasi utama untuk survei lapangan adalah Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Data potensi usaha dangke susu sapi dikumpulkan melalui observasi dan wawancara menggunakan kuesioner, serta melalui pengujian laboratorium. Pengujian kontaminasi bakteri menggunakan metode laboratorium standar. Penilaian praktik sanitasi higiene pada usaha dangke susu sapi sebagai faktor pemicu kejadian kontaminasi bakteri, menggunakan produsen sekaligus pekerja dangke sebagai responden. Usaha pengendalian kontaminasi bakteri pada dangke yang meliputi penggantian peralatan tradisional dengan peralatan sintetik serta penggunaan isolat Enterococcus faecium DU55 sebagai biopreservatif, dilakukan secara eksperimental.

Faktor yang mendukung pengembangan usaha dangke susu sapi, antara lain ketersediaan bahan baku yang lebih banyak dan berimplikasi terhadap kemudahan jenis dangke tersebut diperoleh dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan dangke susu kerbau. Nilai gizi dangke susu sapi tidak berbeda dengan dangke susu kerbau. Introduksi teknologi yang dapat memperbaiki kualitas organoleptik produk, terutama rasa, perlu dilakukan untuk meningkatkan kesukaan konsumen terhadap dangke susu sapi.

(5)

Penggantian peralatan tradisional berbahan alamiah dengan peralatan modern berbahan sintetik dalam pengolahan dangke, seperti tempurung kelapa diganti dengan cetakan stainless steel serta daun pisang dengan kemasan plastik fleksibel polietilen, tidak menunjukkan efektivitasnya terhadap pengendalian kontaminasi E. coli dan Salmonella spp. pada dangke. Penggunaan peralatan tradisional cenderung menghasilkan dangke yang lebih berkualitas dibandingkan dengan peralatan sintetik. Keberadaan komponen fenol pada bahan alamiah kemungkinan ada kaitannya dengan hal tersebut. Penggunaan isolat bakteri asam laktat E. faecium DU55 sebagai biopreservatif dangke juga belum menunjukkan hasil yang optimal. Komposisi dangke yang tidak mendukung produksi antimikroba kemungkinan menjadi faktor penghambat efek antimikroba bakteri tersebut pada dangke.

Penerapan praktik sanitasi higiene pengolahan pangan yang sesuai standar merupakan tindakan yang harus dilakukan pekerja dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang untuk menekan kontaminasi bakteri pada dangke. Bimbingan, penyuluhan, dan pengawasan dari pemerintah maupun swasta terhadap pekerja dangke perlu dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan guna mempertahankan keberadaan dangke sebagai pangan sumber protein dan kekayaan budaya asli Indonesia.

(6)

WAHNIYATHI HATTA. Efforts to Control Escherichia coli and Salmonella spp. Contamination in Dangke, Traditional Processed Cow’s Milk in Enrekang Regency. Supervised by MIRNAWATI SUDARWANTO, IDWAN SUDIRMAN, and RATMAWATI MALAKA.

Milk and milk by-product have an important contribution to improve the quality of human resources. The development of processing and quality improvement of Indonesian traditional milk is an effort should be made to increase the national milk consumption. Dangke is a kind of soft cheese product without ripening that made by Enrekang Regency community, inherited from one generation to another, in the South Sulawesi Province. The intensity of cattle development in that region has caused dangke producers to turn to cow’s milk as the main material of dangke. Its high nutritional value that made dangke becoming a subject to pathogenic bacteria contamination. The existence of the pathogenic bacteria in food can result in health problems on the consumers.

The aim of this research were: 1) to identify supporting factors in developing business on cow’s milk dangke in Enrekang Regency, 2) to determine the source of E. coli and Salmonella spp. contamination in cow’s milk dangke in Enrekang Regency, 3) to develop the processing means of cow’s milk dangke to eliminate E. coli and Salmonella spp. contamination.

Primary data were collected through field surveys and laboratory testing. The main location for the field survey is Enrekang Regency, South Sulawesi Province. Data on business potential of cow's milk dangke collected through observation and interviews using questionnaires, as well as laboratory testing. Bacterial contamination testing using standard laboratory methods. Assessment of sanitary hygiene practices in business cow's milk dangke as a triggering factor incidence of bacterial contamination, using the manufacturers who also is dangke workers as respondents. Effort to control bacterial contamination in dangke which includes the replacement of traditional equipment with synthetic as well as the use of Enterococcus faecium DU55 isolates as biopreservatif, carried out experimentally.

Factors that support the development of cow’s milk dangke product are the availability of raw material that was easier and cheaper to get if compared to buffalo’s milk dangke. The nutrition content of cow’s milk dangke is not much different from buffalo’s milk. Technology introduction that can improve the quality of product sensory, especially taste, needs to be applied to increase the consumer’s preference to cow’s milk dangke.

(7)

equipment made of synthetic materials in dangke processing, such as coconut shell replaced by stainless steel mold, and banana leaves by polietilen flexible plastic, does not show its effectiveness on the control of E. coli and Salmonella spp. contamination in dangke. The use of traditional equipment tends to produce more qualified dangke than the synthetic equipment. The presence of phenol in the natural materials is probably related to this. The use of isolated lactate acid bacteria E. faecium DU55 as a dangke bio-preservative has not shown an optimal result. Dangke composition which does not support the antimicrobial production of E. faecium DU55 may become the hindering factor of antimicrobe bacteria effect in dangke.

Application of standardized hygienic sanitation practices in the food processing is one action that needs to be carried out by cow’s milk dangke producers in Enrekang Regency in order to eliminate the bacteria contamination on dangke. Guidance, intensification, and control from the government as well as private agencies on dangke workers need to be conducted continuously and sustainable so that the existence of dangke as a protein resources food and Indonesian cultural heritage can be maintained.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

USAHA PENGENDALIAN KONTAMINASI Escherichia coli

DAN Salmonella spp. PADA DANGKE, OLAHAN SUSU SAPI

TRADISIONAL KABUPATEN ENREKANG

WAHNIYATHI HATTA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc Dr drh Trioso Purnawarman, MSi

(11)

Nama : Wahniyathi Hatta NIM : B261090011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr drh Mirnawati B Sudarwanto Ketua

Dr drh Idwan Sudirman Prof Dr drh Ratmawati Malaka, MSc Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr drh Denny Widaya Lukman, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah keamanan pangan produk hewani, dengan judul Usaha Pengendalian Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. pada Dangke, Olahan Susu Sapi Tradisional Kabupaten Enrekang.

Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada Ibu Prof Dr drh Mirnawati B Sudarwanto selaku ketua komisi pembimbing, serta Bapak Dr drh Idwan Sudirman dan Ibu Prof Dr drh Ratmawati Malaka MSc selaku anggota komisi pembimbing. Komisi pembimbing telah memberikan motivasi, wawasan, kebijaksanaan, dan masukan yang meningkatkan kemampuan penulis selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr; Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Bapak Dr drh Denny Widaya Lukman, MSi beserta seluruh staf pengajar Program Studi Kesmavet yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menempuh studi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc dan Bapak Dr drh Trioso Purnawarman, MSi atas kesediaan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof drh Roostita L Balia, MApp PhD dan Ibu Prof Dr drh Clara Meliyanti Kusharto MSc atas kesediaan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka.

Penghargaan juga disampaikan penulis kepada Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Enrekang atas ijin pelaksanaan dan partisipasi serta kerjasama yang baik selama pengumpulan data. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu drh Dini Marmansari, Kepala Laboratorium Kesmavet dan Toksikologi Balai Besar Veteriner Maros, beserta staf yang telah menerima dan membantu penulis selama pengumpulan data. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin atas ijin penggunaan laboratorium di lingkup Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada ibu, ayah (alm), serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

Wahniyathi Hatta

(14)

DAFTAR TABEL vi

Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. pada Susu dan

Olahannya 4

Sumber-sumber Kontaminasi Bakteri pada Susu dan Olahannya 5 Praktik Sanitasi Higiene pada Usaha Pengolahan Pangan 6 Bakteri Enterococcus faecium sebagai Biopreservatif Pangan 7

METODE PENELITIAN 8

Lokasi dan Waktu 8

Bahan dan Alat 9

Pelaksanaan Penelitian 9

Gambaran Umum dan Potensi Usaha Pengolahan Dangke

Susu Sapi 10

Praktik Sanitasi Higiene 10

Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. 10 Penggantian Peralatan Tradisional dengan Peralatan Sintetik

dalam Pengolahan Dangke 11

Aplikasi Bakteri Asam Laktat sebagai Biopreservatif Dangke 12

Analisis Data 13

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Gambaran Umum Objek Penelitian 13

Kondisi Wilayah Penelitian 13

Karakteristik Pekerja Dangke 14

Karakteristik Usaha Dangke 15

Karakteristik Pembuatan Dangke 16

Karakteristik Organoleptik Dangke Susu Sapi dan Kerbau 17 Karakteristik Konsumen Dangke Orang Enrekang 17 Potensi Dangke Susu Sapi sebagai Alternatif Dangke Susu Kerbau 18

Ketersediaan Bahan Baku 18

Kualitas Dangke 19

Ketersediaan, Harga, dan Konsumsi Dangke 20 Kesukaan Konsumen terhadap Jenis Dangke 21 Kesukaan Konsumen terhadap Atribut Organoleptik Dangke 22 Praktik Sanitasi Higiene pada Pengolahan Dangke Susu Sapi 22

Sanitasi Higiene Pekerja 22

(15)

Sanitasi Higiene Bahan Baku dan Produk 25 Kondisi Sanitasi Higiene Usaha Pengolahan Dangke Susu Sapi 26 Tingkat Kejadian dan Sumber-sumber Kontaminasi Bakteri 27

Kontaminasi Bakteri pada Dangke 27

Kontaminasi Bakteri pada Pekerja dan Peralatan Pengolahan 28 Hubungan Kontaminasi Bakteri pada Dangke dan pada Tangan

serta Peralatan Pengolahan Dangke 30

Penggantian Tempurung Kelapa dengan Stainless Steel sebagai

Cetakan Dangke 32

Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. 32

Karakteristik Organoleptik 33

Penggantian Daun Pisang dengan Plastik Fleksibel sebagai

Kemasan Dangke 33

Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. 33

Karakteristik Organoleptik 34

Aplikasi Enterococcus faecium DU55 sebagai Biopreservatif Dangke 35

Jumlah Escherichia coli 35

Jumlah Salmonella spp. 36

Jumlah Bakteri Asam Laktat 36

Kadar Asam Laktat 37

Karakteristik Organoleptik 37

SIMPULAN DAN SARAN 39

DAFTAR PUSTAKA 40

(16)

1

Karakteristik pekerja dangke susu sapi 14

2 Karakteristik usaha dangke susu sapi 15

3 Deskripsi warna dangke susu sapi dan kerbau 17 4 Deskripsi aroma, rasa, dan tekstur dangke susu sapi dan kerbau 17 5 Karakteristik konsumen dangke orang Enrekang 18 6 Populasi sapi perah dan kerbau betina (ekor) per kecamatan

di Kabupaten Enrekang tahun 2012 19

7 Produksi susu kerbau dan sapi perah di Kabupaten Enrekang 19 8 Kadar air, abu, lemak, protein, dan nilai pH dangke susu sapi dan

susu kerbau di Kabupaten Enrekang 20

9 Penilaian konsumen orang Enrekang terhadap ketersediaan, harga, dan konsumsi dangke susu sapi dan susu kerbau 21 10 Kesukaan konsumen orang Enrekang dan bukan orang Enrekang

terhadap jenis dangke 21

11 Sebaran konsumen berdasarkan kesukaan terhadap atribut organoleptik

dangke 22

12 Praktik sanitasi higiene pada pekerja dangke susu sapi di Kabupaten

Enrekang 23

13 Praktik sanitasi higiene pada peralatan pengolahan dangke susu sapi

di Kabupaten Enrekang 24

14 Praktik sanitasi higiene pada bahan baku dan produk dangke susu sapi

di Kabupaten Enrekang 25

15 Tingkat kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. pada dangke 27 16 Tingkat kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. pada tangan

pekerja, dan peralatan pengolahan dangke 29 17 Rataan jumlah Escherichia coli dangke (APM g-1) yang dicetak

dengan stainless steel dan tempurung kelapa 32 18 Rataan skor organoleptik dangke yang dicetak dengan stainless steel

dan tempurung kelapa pada hari ketujuh penyimpanan refrigerator 33 19 Rataan jumlah Escherichia coli dangke (APM g-1) yang dikemas

dengan plastik fleksibel dan daun pisang 34 20 Rataan skor organoleptik dangke yang dikemas dengan plastik fleksibel

dan daun pisang pada hari ketujuh penyimpanan refrigerator 34 21 Rataan jumlah Escherichia coli dangke (log cfu g-1) pada aplikasi

Enterococcus faecium DU55 setelah penyimpanan satu minggu

dalam refrigerator 35

22 Rataan jumlah Salmonella spp. dangke (log cfu g-1) pada aplikasi Enterococcus faecium DU55 setelah penyimpanan satu minggu

dalam refrigerator 36

23 Rataan jumlah bakteri asam laktat dangke (log cfu g-1) pada aplikasi Enterococcus faecium DU55 setelah penyimpanan satu minggu

dalam refrigerator 37

24 Rataan persentase asam laktat dangke pada aplikasi

Enterococcus faecium DU55 setelah penyimpanan satu minggu

(17)

Enterococcus faecium DU55 setelah penyimpanan satu dan dua minggu

dalam refrigerator 38

DAFTAR GAMBAR

1 Alur pembuatan dangke susu sapi untuk penelitian penggantian

peralatan tradisional dengan peralatan sintetik 12 2 Alur pembuatan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang 16 3 Distribusi usaha pengolahan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang

berdasarkan kondisi sanitasi higiene 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Surat ijin pelaksanaan penelitian dari pemerintah Kabupaten Enrekang 48

2 Peta administrasi Kabupaten Enrekang 49

3 Foto proses pembuatan dangke susu sapi di Kelurahan Baba Selatan,

Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang 50

4 Foto praktik sanitasi higiene pada usaha pengolahan dangke susu sapi

di Desa Panette dan Lekkong, Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang 51 5 Foto cetakan tempurung kelapa dan stainless steel 52 6 Analisis statistik (uji t) perbandingan nilai pH dan gizi dangke

susu sapi dan susu kerbau 53

7 Analisis statistik (uji t) perbandingan kualitas dangke yang dicetak

menggunakan tempurung kelapa dan stainless steel 56 8 Analisis statistik (uji t) perbandingan kualitas dangke yang dikemas

menggunakan daun pisang dan plastik fleksibel 59 9 Analisis statistik (uji t) perbandingan kualitas dangke yang ditambahkan

isolat Enterococcus faecium DU55 dan tanpa isolat E. faecium DU55 62 10 Kuesioner penilaian kesukaan dan perilaku konsumen dangke

orang Enrekang 68

11 Kuesioner penilaian karakteristik produk dan kesukaan konsumen

dangke bukan orang Enrekang 70

12 Daftar pernyataan untuk penilaian praktik sanitasi higiene pada usaha

pengolahan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang 72 13 Lembaran uji organoleptik untuk perlakuan penggantian peralatan

tradisional dengan sintetik dalam pengolahan dangke susu sapi 73 14 Lembaran uji organoleptik untuk perlakuan penambahan Enterococcus

faecium DU55 sebagai biopresarvatif dangke 74

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu dan produk olahannya adalah pangan kaya gizi dalam komposisi yang lengkap, seimbang, dan mudah dicerna, sehingga berkontribusi penting terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Manfaat tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan di Indonesia karena konsumsi susu penduduk Indonesia masih rendah. Konsumsi susu di Indonesia berdasarkan indeks pembangunan konsumsi pangan Asian Development Bank (ADB) dan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2009 mencapai 10.2 liter/kapita/tahun, masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Konsumsi susu Filipina mencapai 11.3, Vietnam 12.0, Malaysia 25.4, Thailand 29.0, Singapura 32.0, dan India sebesar 45.0 liter/kapita/tahun (Wirakartakusumah 2010).

Faktor utama yang menghambat upaya peningkatan konsumsi susu di Indonesia adalah daya beli sebagian besar masyarakat rendah, sedangkan produk susu di pasaran umumnya impor dengan harga relatif mahal. Faktor lainnya adalah ketidakbiasaan masyarakat mengkonsumsi susu menyebabkan mereka kurang menyukai rasa dan aroma susu. Pengembangan pengolahan susu tradisional di beberapa daerah di Indonesia berpotensi meningkatkan tingkat konsumsi susu masyarakat, karena harganya relatif murah dan masyarakat di daerah tersebut juga telah terbiasa mengkonsumsi produk olahan susu sehingga masalah ketidaksukaan dapat dikurangi. Dampak positif lainnya adalah meningkatkan pendapatan penduduk daerah setempat yang berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup masyarakat.

(19)

Keberadaan bakteri patogen pada pangan dapat menimbulkan gangguan kesehatan terhadap konsumen, seperti penyakit infeksi dan keracunan pangan. Umumnya kontaminasi bakteri patogen pada pangan disebabkan oleh kondisi sanitasi pengolahan yang buruk. Bakteri indikator sanitasi yang biasa digunakan adalah Escherichia coli. Keberadaan bakteri tersebut menunjukkan pangan pernah terkontaminasi oleh feses karena E. coli merupakan mikroflora normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas. Beberapa strain E. coli bersifat patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan dikaitkan dengan kasus diare ringan dan berat pada anak-anak dan orang dewasa, terutama di negara yang sedang berkembang (Mainil dan Daube 2005; Orsi et al. 2007). Bakteri Salmonella spp. adalah bakteri indikator keamanan pangan karena semua serotipe Salmonella diketahui bersifat patogen sehingga keberadaannya dalam air atau makanan dapat membahayakan kesehatan. Salmonella spp. adalah genus patogen yang dilaporkan terlibat dalam beberapa wabah penyakit melalui pangan di Perancis dan negara industri lainnya akibat konsumsi susu dan produk susu yang terkontaminasi (De Buyser et al. 2001).

Konsumen utama dangke adalah komunitas orang Enrekang baik yang berada di Enrekang maupun di luar Enrekang. Komunitas orang Enrekang yang berada di rantau memesan dangke dari Enrekang, atau membeli dangke sebagai oleh-oleh wajib setiap pulang kampung. Hal ini berarti bahwa dangke yang terkontaminasi bakteri patogen dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat dalam lingkup wilayah geografis yang luas. Penelitian dan publikasi ilmiah mengenai pengolahan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang masih terbatas. Hal tersebut dapat menjadi kendala terhadap upaya pengembangan dan promosi dangke sebagai pangan berskala nasional. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas penelitian ini dilakukan untuk mengkaji usaha pengendalian kontaminasi E. coli dan Salmonella spp. pada dangke dalam rangka meningkatkan keamanan pangan dangke sebagai produk olahan susu tradisional Indonesia.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan gambaran umum pengolahan dan konsumsi dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang

2. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung pengembangan usaha pengolahan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang

3. Mempelajari praktik sanitasi higiene pada usaha pengolahan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang

4. Menentukan tingkat kejadian dan sumber-sumber kontaminasi E. coli dan Salmonella spp. pada dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang

(20)

Kegunaan Penelitian

1. Landasan teoritis untuk kajian ilmiah bagi pengembangan dan peningkatan kualitas dangke serta produk olahan susu tradisional Indonesia lainnya

2. Sumber informasi untuk kegiatan penyuluhan terhadap produsen/pekerja dangke di Kabupaten Enrekang terutama ditinjau dari aspek keamanan produk

3. Menawarkan alternatif pengolahan dangke untuk memproduksi dangke yang aman dikonsumsi

4. Bahan pertimbangan untuk pengambil kebijakan baik di tingkat kabupaten maupun provinsi dalam rangka meningkatkan kualitas dangke sebagai pangan tradisional khas Provinsi Sulawesi Selatan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji keamanan pangan dangke susu sapi. Batasan lingkup geografis area penelitian adalah Kabupaten Enrekang. Batasan lingkup keamanan pangan dalam penelitian ini adalah kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. Lingkup pembahasan dan analisis penelitian adalah kontaminasi bakteri tersebut pada dangke susu sapi yang dibatasi pada aspek sumber-sumber kontaminasi, faktor pendukung, dan upaya pengendalian. Batasan sumber-sumber kontaminasi bakteri adalah pekerja dangke, tempurung kelapa sebagai cetakan dangke, dan daun pisang sebagai kemasan dangke. Pembahasan faktor pendukung kejadian kontaminasi bakteri difokuskan pada praktik sanitasi higiene pekerja, peralatan pengolahan, dan penanganan produk. Upaya pengendalian kontaminasi bakteri dibatasi pada penggantian cetakan dan kemasan tradisional dengan bahan sintetik, serta penggunaan isolat bakteri asam laktat asal dangke susu kerbau (Enterococcus faecium DU55) sebagai biopreservatif. Lingkup pembahasan dan analisis kualitas dangke pada pengembangan pengolahan ditekankan pada kontaminasi E. coli dan Salmonella spp., serta karakteristik organoleptik dangke.

Penelitian ini juga mengkaji karakteristik pekerja dan usaha dangke susu sapi, karakteristik pembuatan dangke susu sapi, karakteristik konsumen dan produk dangke, serta faktor pendukung pengolahan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang. Kajian tersebut dilakukan mengingat ketersediaan publikasi ilmiah mengenai dangke susu sapi masih kurang. Pembahasan dibatasi pada keterkaitan hasil kajian dengan pengembangan dangke susu sapi dan kontaminasi bakteri patogen pada dangke susu sapi.

Kebaruan Penelitian

(21)

Informasi mengenai pengolahan dangke susu sapi yang beredar di masyarakat masih bersifat pendapat pribadi dan belum dibuktikan secara ilmiah. Penelitian ini memberikan informasi awal mengenai gambaran pengolahan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang. Hasil penelitian mengklarifikasi dan memperbaharui hasil penelitian terdahulu yang meliputi metode pengolahan dan karakteristik produk dangke. Penelitian ini juga memberikan landasan ilmiah terhadap usulan penggantian peralatan tradisional dengan peralatan yang lebih modern. Kebaruan aplikasi bakteri asam laktat sebagai biopreservatif untuk pengendalian kontaminasi bakteri adalah pada jenis isolat bakteri asam laktat yang digunakan dan teknik aplikasi bakteri pada dangke. Bahasan penelitian aplikasi bakteri asam laktat pada dangke yang telah dilakukan belum mengkaji aspek kontaminasi bakteri pada dangke. Fokus kajian penelitian terdahulu adalah peningkatan aspek nilai gizi dan karakteristik organoleptik dangke sebagai pengaruh penggunaan isolat bakteri asam laktat.

TINJAUAN PUSTAKA

Makanan Tradisional Dangke

Dangke adalah produk olahan tradisional susu sapi dan kerbau dari Sulawesi Selatan. Daerah yang terkenal sebagai penghasil dangke di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Enrekang. Dangke pada awalnya dibuat dari susu kerbau, tetapi populasi ternak dan ketersediaan susu kerbau semakin langka, serta perkembangan peternakan sapi perah di Kabupaten Enrekang cukup pesat menyebabkan sebagian besar produsen dangke beralih menggunakan susu sapi sebagai bahan baku. Dangke merupakan produk sejenis keju lunak tanpa pemeraman yang dibuat secara enzimatis melalui proses pemanasan susu dan penambahan getah pepaya sebagai enzim penggumpal susu. Karakteristik dangke adalah berbentuk oval, bertekstur kompak dan kenyal, beraroma susu yang kuat dan terasa gurih, berwarna putih keabuan atau putih kekuningan tergantung pada jenis susu yang digunakan sebagai bahan baku. Dangke dikonsumsi masyarakat Enrekang sebagai lauk pauk ataupun makanan selingan.

Beberapa peneliti melaporkan kemungkinan penggunaan susu sapi pada produk olahan susu kerbau. Sirait (1995) menyatakan dali susu sapi memiliki tekstur, warna, dan nilai gizi yang sama dengan dali susu kerbau, sedangkan rendeman dali susu kerbau lebih tinggi dibandingkan dali susu sapi. Mijan et al. (2010) menjelaskan keju mozarela susu sapi memiliki sifat organoleptik yang serupa dengan keju mozarela susu kerbau, dan keju mozarela susu kerbau mempunyai kadar lemak, protein, mineral, dan total padatan yang lebih tinggi.

Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp. pada Susu dan Olahannya

(22)

dikonsumsi. Hasil penelitian Balia et al. (2008) terhadap susu segar dari peternakan sapi perah rakyat anggota KPSBU Lembang menunjukkan jumlah koliform adalah 2.2 MPN ml-1. Pada sampel susu pasteurisasi tanpa kemasan dari pedagang kaki lima di Antapani Bandung yang mengambil susu segar dari peternakan sapi Lembang diperoleh jumlah koliform 0.7 MPN ml-1. Persyaratan batas jumlah koliform untuk susu segar adalah 2x101 MPN ml-1, sedangkan untuk susu pasteurisasi adalah <0.1x101 MPN ml-1 (SNI 2000). Suwito (2009) menemukan satu isolat E. coli O157:H7, 49 E. coli non O157:H7, dan dua E. coli hemolitik dari 214 sampel susu peternakan sapi di Kabupaten Bogor. Pada peternakan sapi di Sukabumi diperoleh satu isolat E. coli O157:H7, 16 isolat E. coli non O157:H7, dan dua isolat E. coli hemolitik dari 91 sampel susu, sedangkan pada peternakan sapi di Cianjur diperoleh tujuh isolat E. coli non O157:H7 dari 46 sampel susu.

Kontaminasi E. coli dan Salmonella spp. pada beberapa produk keju lunak dunia juga dilaporkan. Adetunji (2010) melaporkan keju wara (keju lunak Afrika Barat) terkontaminasi E. coli O157:H7. Najand dan Ghanbarpour (2006) menyatakan bahwa 99% dari 77 sampel keju lunak Iran terkontaminasi E. coli dan 19% dari kontaminasi E. coli tersebut adalah EPEC. Keju lokal mozzarella di Libia terkontaminasi E. coli sebanyak 20% dari 15 sampel yang diuji (Garbaj et al. 2007). Keju minas frescal di Brazil terkontaminasi E. coli sebesar 96% dari 50 sampel, 6% adalah VTEC dan 2% adalah ETEC (Paneto et al. 2007). Alper dan Nesrin (2013) melaporkan keberadaan Salmonella spp. pada dua dari 60 sampel keju putih segar yang dijual di kota Canakkale, Turki. Godbole et al. (2013) mengisolasi Salmonella spp. sebanyak 34% dari 32 sampel keju paneer di kota Nagpur, India. Umumnya penyebab kontaminasi tersebut karena penerapan sanitasi higiene yang tidak memadai.

De Buyser et al. (2001) melaporkan bahwa susu dan olahannya berimplikasi sebanyak 1 sampai 5% dalam peristiwa wabah bakteri di Perancis dan negara industri lainnya sejak tahun 1980. Pada 60 kejadian wabah dan 4 kasus individu, distribusi produk yang dicurigai sebagai pembawa cemaran adalah susu sebesar 39.1%, keju 53.1%, dan produk susu lainnya 7.8%. Selanjutnya dijelaskan bahwa Salmonella spp. terlibat dalam 29 wabah, sedangkan E. coli patogen dalam 11 wabah. Pastore et al. (2008) melaporkan wabah penyakit gastrointestinal akibat Salmonella serovar Stanley di Swiss secara nasional terjadi mulai September 2006 sampai Pebruari 2007 dan tercatat 28% dari 82 kasus dirawat di rumah sakit. Hasil studi case-control menunjukkan wabah tersebut disebabkan konsumsi keju lunak lokal. Ellis et al. (1998) menyatakan pada akhir Oktober 1994 di Ontario, isolat bakteri sebanyak 35 kasus dari 82 kasus klinis pasien diare teridentifikasi sebagai Salmonella berta. Hasil investigasi mengaitkan penyakit tersebut dengan konsumsi keju lunak.

Sumber-sumber Kontaminasi Bakteri pada Susu dan Olahannya

(23)

dan bahan kemasan adalah sumber bakteri psikrofilik; sedangkan tangki keju, kain saring keju, dan pisau pemotong curd adalah sumber bakteri mesofilik aerob. Udara ruang pendingin dan produksi merupakan sumber utama kapang dan kamir.

Borelli et al. (2006) melaporkan beberapa sumber kontaminasi mikroba pada pengolahan keju canastra (Brazil). Sumber-sumber kontaminasi yang dimaksud, antara lain adalah air untuk pengolahan merupakan sumber koliform fekal; bahan baku susu mentah adalah sumber koliform fekal, bakteri mesofilik aerob,dan Staphylococcus spp.; starter alami adalah sumber koliform fekal dan S. aureus; curd keju (sebelum penggaraman) dan keju (setelah pematangan lima hari) adalah sumber koliform fekal, Staphylococcus spp., dan jamur.

D’Aoust (2000) menyatakan bahwa kontaminasi Salmonella spp. pada industri pengolahan susu terjadi terutama akibat sanitasi peralatan yang tidak memadai. Kousta et al. (2010) menyatakan pekerja juga dapat menjadi sumber utama kontaminasi bakteri selama penanganan dan pengolahan produk susu. Irkin (2010) melaporkan kultur termofilik sebagai sumber kontaminasi beberapa bakteri dalam pengolahan keju dil (Turki). Lebih lanjut dinyatakan larutan garam dan rennet adalah sumber Staphylococcus spp., sedangkan udara ruang pengolahan adalah sumber kapang dan kamir.

Praktik Sanitasi higiene pada Usaha Pengolahan Pangan

Menurut Hariyadi (2010), hal teknis yang perlu dilakukan usaha pangan lokal untuk meningkatkan keamanan pangan, antara lain menerapkan program sanitasi higiene pada peralatan dan pegawai. Menjaga kebersihan peralatan mengurangi risiko tumbuhnya mikroba berbahaya karena tidak tersedia makanan untuk bertumbuh, sedangkan sanitasi higiene pegawai penting karena mikroba patogen setelah proses pengolahan dapat ditularkan ke makanan melalui pekerja. Handayani dan Werdiningsih (2010) menyatakan bahwa keberadaan beberapa bakteri patogen pada makanan dan minuman jajanan Indonesia mengindikasikan rendahnya tingkat penerapan sanitasi higiene oleh pekerja. Djarismawati et al. (2004) menjelaskan bahwa penerapan sanitasi higiene pada usaha pangan skala kecil atau rumah tangga di Indonesia umumnya belum sesuai standar. Perilaku tersebut berdampak terhadap kualitas makanan yang dihasilkan tidak memenuhi syarat kesehatan karena angka kuman di atas nilai ambang batas.

Perpindahan patogen melalui pekerja adalah faktor penting dalam manajemen keamanan pangan baik di rumah maupun tempat penjualan. Tangan dipandang penting dalam memindahkan organisme berdosis infeksi rendah seperti Shigella, virus, dan E. coli patogen (Reij dan Aantrekker 2004). Populasi mikroba kulit dibagi atas flora residen dan transien. Flora residen menempati lapisan dalam kulit, sedangkan flora transien mengkolonisasi lapisan atas kulit dan kurang melekat. Tujuan praktik higiene tangan adalah mengeliminasi secara cepat flora transien dan memberikan aktivitas antimikroba terhadap flora residen (Jurnaa 2005).

(24)

penerapan higiene adalah Bacillus spp. (28.6%), E. coli (22%), Enterobacter spp. (14.6%), Klebsiella spp. (13.3%), dan Staphylococcus aureus (12.6%). Jumlah bakteri tersebut secara signifikan menurun setelah penerapan higiene menjadi 10.6%, 3.3%, 7.3%, 2.6%, dan 8% untuk Bacillus spp., E. coli, Enterobacter spp., Klebsiella spp., dan S. aureus secara berurutan. Evaluasi sistematik oleh Montville et al. (2002) menggunakan literatur dan data penelitian terhadap risiko berbagai teknik pencucian tangan mengindikasikan bahwa bila dikerjakan secara benar, mencuci tangan dapat mengurangi risiko kontaminasi bakteri pada tangan. Menurut Bonfoh et al. (2006), kebiasaan mencuci tangan serta membersihkan dan mendisinfeksi kemasan pada usaha pengolahan susu, merupakan faktor penentu higiene susu. Praktik higiene tangan dan kemasan dapat mereduksi jumlah mikroflora susu saat penjualan, yakni: 1.6x107 menjadi 4.8x105 cfu ml-1 untuk total bakteri dan 1.2x106 menjadi 0.9x104 cfu ml-1 untuk Enterobacteriaceae.

Menurut Delgado-Pertinez et al. (2003), perbaikan praktik sanitasi higiene peternakan di Spanyol dapat menurunkan jumlah bakteri total susu, yakni: 379.000 sel ml-1 menjadi 165.000 sel ml-1. Al-Tahiri (2005) menjelaskan keju putih lunak dari pabrik modern di Yordania memiliki kualitas mikrobiologis lebih baik dibandingkan keju produksi petani secara tradisional. Jumlah bakteri total pada keju dari pabrik modern adalah 5x10 cfu ml-1, koliform dan S. aureus tidak ditemukan, dan kapang kamir adalah 10 cfu ml-1. Pada keju produksi petani ditemukan jumlah bakteri total sebesar 2x104 cfu ml-1, koliform 3x102 cfu ml-1, S. aureus 5x103 cfu ml-1, dan kapang khamir 1x103 cfu ml-1. Perbedaan tersebut disebabkan pabrik modern menerapkan sanitasi higiene.

Bakteri Enterococcus faecium sebagai Biopreservatif Pangan

Ross et al. (2002) mengulas hasil-hasil penelitian tentang potensi bakteri asam laktat (BAL) sebagai biopreservatif pangan. Efek pengawetan BAL berasal dari produksi metabolit antimikroba selama proses fermentasi; meliputi berbagai asam organik, seperti laktat, asetat, dan propionat; etanol, H2O2, dan diasetil. Metabolit sekunder BAL bersifat antimikroba lainnya adalah reuterin dan reuterosiklin yang diproduksi strain Lactobacillus reuteri. Kebanyakan BAL juga memproduksi protein inhibitor yang dikenal sebagai bakteriosin.

Hensyl (2000) menjelaskan bahwa pada awalnya beberapa spesies dari genus Enterococcus termasuk dalam kelompok Streptococcus. Streptococcus faecalis dan S. faecium kemudian digolongkan ke dalam genus baru masing-masing sebagai Enterococcus faecalis dan E. faecium. Genus Enterococcus adalah Gram positif, fakultatif anaerob, produk utama dari fermentasi karbohidrat adalah L(+)-asam laktat tetapi tidak menghasilkan gas dan pH akhir dapat mencapai 4.2 sampai 4.6, kebutuhan nutrisi kompleks, serta katalase negatif. Umumnya tumbuh pada 10 oC maupun 45 oC (suhu optimum 37 oC), pH 9.6, kadar garam 6.5%, dan cairan empedu 40%. Enterococcus tersebar luas di lingkungan terutama dalam feses vertebrae.

Miyazaki et al. (2010) menyatakan supernatan E. faecium mempunyai efek

bakterisidal kuat terhadap enteroaggregativeEscherichia Coli (EAggEC) meliputi

(25)

tetapi aktivitasnya hilang pada pH netral; sedangkan Bifidobacterium maupun E. faecalis tidak memperlihatkan efek penghambatan. Tidak ada strain bakteri yang diuji menghambat adhesi EAggEC pada sel epitel usus. Hasil penelitian ini

menunjukkan spesies bakteri Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Enterococcus

memiliki efek berbeda terhadap EAggEC.

Moreno et al. (2006) menjelaskan karakteristik genus Enterococcus sebagai berikut: Gram positif, tidak membentuk spora, negatif katalase, negatif oksidase, anaerob fakultatif; bulat dalam bentuk tunggal, berpasangan, atau rantai. Enterococcus tumbuh pada kisaran suhu 10 sampai 45 oC dengan suhu optimal 35 oC. Enterococcus dapat tumbuh pada konsentrasi garam 6.5%, pH 9.6, dan bertahan hidup pada pemanasan 60 oC selama 30 menit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Enterococcus memproduksi bakteriosin enterosin yang memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri perusak maupun patogen.

Kabore et al. (2012) menyatakan dua strain P. acidilactis dan satu strain E. faecium memiliki aktivitas antimikroba lebih besar terhadap Bacillus cereus spp., Salmonella spp., Listeria monocytogenes, dan E. coli dibandingkan isolat BAL asal maari (bumbu tradisional Afrika Barat) lainnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kedua isolat tersebut dapat bertahan hidup dalam kondisi asam dan garam empedu. Karakteristik ini memungkinkan strain P. acidilactis dan E. faecium sebagai kultur starter pada produksi pangan fermentasi terkontrol untuk meningkatkan kualitas dan keamanan produk. Do Nascimento et al. (2010)

menyatakan bakteriosin E. faecium FAIR-E 198 dapat menghambat L. monocytogenes dan B. cereus, tetapi tidak menghambat S. aureus.

Morea et al. (1999) menyatakan strain Enterococcus memiliki aktivitas pengasaman lebih rendah dibandingkan dengan Strep. thermophilus dan L. lactis subsp. Lactis. Nilai pH susu yang diinokulasi dengan strain Enterococcus belum turun di bawah nilai 5.5 setelah 24 jam, sedangkan susu yang diinokulasi Strep. thermophilus dan L. lactis subsp. Lactis telah menunjukkan nilai pH di bawah 5.0. Durlu-Qzkaya et al. (2001) juga melaporkan aktivitas pengasaman Enterococcus spp. yang lebih rendah dibandingkan dengan strain L. lactis subsp. Lactis dan Lactobacillus spp. Hanya delapan dari 48 isolat Enterococcus yang diuji menunjukkan kemampuan menurunkan nilai pH susu di bawah 5.0 setelah diinkubasi 24 jam pada 30 oC.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

(26)

Pengukuran parameter penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Besar Veteriner (BBvet) Maros di Kabupaten Maros; Laboratorium Kimia Politeknik Negeri Makassar, Laboratorium Bioteknologi Terpadu Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, dan Laboratorium Pengolahan Susu Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Penelitian berlangsung mulai Oktober 2011 sampai Desember 2012.

Bahan dan Alat

Pengujian kualitas dangke sampel lapangan menggunakan sampel dangke susu sapi dari Kecamatan Cendana dan sampel dangke susu kerbau dari Kecamatan Baraka. Pengujian tingkat kontaminasi dan sumber-sumber kontaminasi bakteri menggunakan sampel dangke, sampel usap tangan pekerja, tempurung kelapa, dan daun pisang yang diambil dari usaha pengolahan dangke susu sapi di Kecamatan Cendana. Pengukuran produksi susu harian menggunakan susu sapi dari peternak di Kecamatan Cendana dan susu kerbau di Kecamatan Curio. Pembuatan dangke di laboratorium menggunakan bahan susu sapi segar dari Kecamatan Cendana

Bahan yang digunakan untuk pengujian bakteri kontaminan di laboratorium, antara lain: buffer peptone water/BPW (Difco), levine’s eosin –methylene blue (L-EMB) agar (Difco), lauryl sulfate tryptose (LST) broth (Difco), Escherichia coli (EC) broth (Oxoid), nutrient agar (NA), nutrient broth (NB), tryptone broth (TB), methyl red-Voges Proskauer (MR-VP) broth, kovac’s indole reagent, α -naphthol 40%, KOH, methyl red, koser’s citrate broth (KCB), rappaport vasiliadis/RV (Difco), hektoen enteric (HE) agar (Difco), bismuth sulfit (BS) agar (Difco), xylose lysine deoxycholate (XLD) agar (Oxoid), triple sugar iron (TSI) agar (Difco), lysine indol agar/LIA (Difco), urea broth, simmons citrate agar (SCA), alkohol 70%, dan akuades. Bahan yang digunakan untuk pembuatan dangke susu sapi, adalah: susu sapi segar dan larutan getah pepaya. Bahan yang digunakan untuk pengujian bakteri asam laktat (BAL), adalah: isolat bakteri asam laktat Enterococcus faecium DU55 asal dangke susu kerbau koleksi Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, isolat E. coli TKS2 dan Salmonella spp. DSS5 asal dangke susu sapi, susu skim, de Man Rogosa Sharpe (MRS) agar, MRS broth, dan CaCO3.

Alat yang digunakan, antara lain: kantong plastik steril, swab steril, cawan petri, tabung reaksi dan penutup, pipet, rak tabung, gelas piala, Erlenmeyer, batang ose, gelas ukur, pinset, api bunsen, tube shaker, stomacher, timbangan, inkubator, autoklaf, cool box, ice pack, pH meter dan refrigerator.

Pelaksanaan Penelitian

(27)

sapi, 3) pengujian kontaminasi bakteri pada dangke dan sumber-sumber kontaminasi, dan 4) pengembangan pengolahan dangke susu sapi

Data penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapangan dan pengujian Laboratorium. Data sekunder berupa daftar populasi ternak dan kepemilikan ternak di Kabupaten Enrekang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Enrekang.

Gambaran Umum dan Potensi Usaha Pengolahan Dangke Susu Sapi

Data karakteristik pekerja dan usaha pengolahan dangke; metode pembuatan dangke; karakteristik, perilaku, dan kesukaan konsumen orang Enrekang dikumpulkan melalui observasi dan wawancara menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data kesukaan konsumen bukan orang Enrekang dikumpulkan melalui wawancara dengan kuesioner dan pengujian organoleptik.

Responden pekerja dangke sebanyak 60 orang dipilih dengan Simple Random Sampling berdasarkan daftar kepemilikan ternak sapi perah di Kabupaten Enrekang. Responden orang Enrekang sebanyak 100 orang dipilih dengan Simple Random Sampling. Responden bukan orang Enrekang sebanyak 36 orang dipilih dengan Purposive Sampling berdasarkan kriteria: bukan berasal dari Kabupaten Enrekang, berumur sekitar 17-25 tahun, menyukai produk susu dan olahannya, pernah mengkonsumsi dangke susu sapi, dan belum pernah mengkonsumsi dangke susu kerbau.

Penentuan produksi susu harian ternak kerbau dan sapi perah dilakukan dengan pengukuran langsung di peternakan milik responden. Pengukuran kualitas dangke susu sapi dan susu kerbau (sampel lapangan), yakni: kadar air, protein, lemak, dan abu; serta nilai pH melalui pengujian laboratorium (AOAC 1995).

Praktik Sanitasi Higiene

Responden sebanyak 60 orang adalah produsen sekaligus pekerja dangke dari penelitian tahap pertama. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dengan daftar pernyataan terhadap praktik sanitasi higiene pada pekerja, peralatan pengolahan (tempurung kelapa dan daun pisang), bahan baku (susu segar dan getah pepaya), dan produk.

Pemberian skor berdasarkan pada dilakukan atau tidak dilakukannya prinsip-prinsip sanitasi higiene dalam daftar pernyataan dengan total skor adalah 21. Kondisi sanitasi higiene usaha pengolahan dangke dikelompokkan dalam tiga kategori, yakni buruk (skor 0-7), sedang (skor 8-14), dan baik (skor 15-21).

Kontaminasi Escherichia coli dan Salmonella spp.

(28)

Untuk usapan tangan pekerja dilakukan pada tangan kanan dan kiri. Seluruh contoh kemudian ditempatkan dalam cool box. Transportasi sampel dari lokasi pengambilan ke laboratorium pengujian menggunakan media cool box yang dilengkapi ice pack sebagai bahan pendingin untuk mempertahankan suhu sampel di bawah 5 oC.

Deteksi keberadaan bakteri E. coli dilakukan secara kualitatif (SNI 2008). Pengujian kontaminasi E. coli, meliputi tahap: pengenceran sampel, pra pengayaan, pengayaan, isolasi-identifikasi, dan uji biokimia. Media dan reagen yang digunakan adalah: 1) BPW 0.1% untuk pengenceran sampel, 2) LSTB untuk tahap pra pengayaan, 3) ECB untuk tahap pengayaan, 4) L-EMBA sebagai media selektif untuk tahap isolasi-identifikasi, 5) NA, TSIA, TB, kovac’s indole reagent, MR-VPB, α-naphthol, KOH 40%, methyl red, dan KCB untuk tahap uji biokimia.

Deteksi keberadaan bakteri Salmonella spp. dilakukan secara kualitatif (SNI 2008). Pengujian kontaminasi Salmonella spp., meliputi tahap: pengenceran sampel, pra pengayaan, pengayaan, isolasi-identifikasi, dan uji biokimia. Media dan reagen yang digunakan adalah: 1) BPW 0.1% untuk pengenceran sampel dan pra pengayaan, 2) RVB untuk tahap pengayaan, 3) HEA, BSA, dan XLDA sebagai media selektif untuk tahap isolasi-identifikasi, 4) TSIA, LIA, urea broth, SCA, TB, dan kovac’s indole reagent untuk tahap uji biokimia.

Penggantian Peralatan Tradisional dengan Peralatan Sintetik dalam Pengolahan Dangke

Penelitian dilakukan secara eksperimental yang terdiri atas dua percobaan, yakni: 1) pengaruh jenis cetakan (stainless steel dan tempurung kelapa), dan 2) pengaruh jenis kemasan (plastik fleksibel polietilen dan daun pisang) terhadap kualitas dangke pada penyimpanan hari ke-7 dalam refrigerator. Lokasi pembuatan dangke adalah di Kelurahan Baba Selatan, Kecamatan Cendana, Kabupaten Enrekang. Proses kontaminasi bakteri E. coli dan Salmonella spp. pada dangke terjadi secara alamiah. Diagram alir pembuatan dangke disajikan pada Gambar 1.

(29)

Larutan getah pepaya (0.1% v/v)

Stainless steel

Tempurung kelapa Whey

Plastik fleksibel

Daun pisang

Gambar 1 Alur pembuatan dangke susu sapi untuk penelitian penggantian peralatan tradisional dengan peralatan sintetik

Aplikasi Bakteri Asam Laktat sebagai Biopreservatif Dangke

Penelitian dilakukan secara eksperimental yang terdiri atas dua perlakuan,

yakni: (I) dangke tanpa penambahan isolat bakteri E. faecium DU55 dan (II) dangke dengan penambahan isolat bakteri E. faecium DU55 sebanyak 5%. Parameter kualitas dangke yang diuji adalah jumlah kontaminasi E. coli dan Salmonella spp., jumlah bakteri asam laktat, kadar asam, dan karakteristik organoleptik dangke. Pelaksanaan penelitian meliputi persiapan isolat bakteri uji (E. coli TKS2 dan Salmonella spp. DSS5), persiapan kultur E. faecium DU55, pembuatan dangke, dan pengujian parameter kualitas dangke.

Kultur E. faecium DU55 dari media MRSA chalk semi solid diinokulasi ke dalam media MRS broth lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Sebanyak 5% kultur E. faecium DU55 dari media MRS broth diinokulasi ke dalam susu skim rekonstitusi 10% yang telah disterilisasi (121 oC selama 15 menit) lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kultur E. faecium DU55 yang diperoleh adalah 109 cfu ml-1. Proses penyiapan isolat bakteri uji adalah kultur bakteri uji dari media NA miring diinokulasi ke dalam media NB dan

Susu segar dipanaskan (70 oC)

Campuran susu dan larutan getah pepaya dipanaskan (100 oC)

Curd disaring dan dicetak

Dangke (curd)

Dangke dikemas

(30)

diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kultur bakteri uji yang diperoleh adalah 109 cfu ml-1.

Proses pembuatan dangke dijelaskan dalam uraian berikut ini. Susu segar dipanaskan dengan hot plate sampai suhu susu mencapai 70 oC, setelah itu sebanyak 0.3% (v/v) larutan getah pepaya kering 1% (b/v) ditambahkan ke dalam susu sambil diaduk secara perlahan hingga terbentuk gumpalan dan cairan kuning yang memisah. Pemanasan dilanjutkan sampai cairan mendidih (100 oC) lalu diangkat dan didinginkan sampai suhu campuran mencapai 40 oC. Untuk dangke perlakuan II dilakukan penambahan isolat E. faecium DU55 sebanyak 5% (v/v). Dangke perlakuan I dan II kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 jam, setelah itu dangke dikontaminasi dengan kedua kultur bakteri uji masing-masing sebanyak 1% (v/v) dan dibiarkan selama 2 jam sambil digoyang secara perlahan untuk memberi waktu bakteri uji melekat pada curd. Curd kemudian dipisahkan dari whey dan dicetak dengan tapisan santan steril lalu dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan dalam refrigerator.

Pengukuran parameter kualitas dangke dilakukan pada penyimpanan hari ke-7 dalam refrigerator. Penghitungan jumlah E. coli, Salmonella spp, dan bakteri asam laktat dilakukan secara kuantitatif dengan metode hitungan cawan sistem tuang (APHA 2001). Media pertumbuhan yang digunakan adalah L-EMBA untuk E. coli, BSA untuk Salmonella spp., dan MRSA untuk bakteri asam laktat. Pengukuran kadar asam berdasarkan AOAC (1995), sedangkan penilaian karakteristik organoleptik menggunakan uji skoring (Setyaningsih et al. (2010). Skor tertinggi adalah 3 dan skor terendah adalah 1. Penilaian organoleptik dilakukan terhadap kesukaan konsumen dan tingkat aroma asam, aroma susu, dan kekenyalan tekstur dangke.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif menggunakan tabel distribusi frekuensi dan tabel tabulasi silang. Uji t untuk sampel tidak berpasangan pada taraf signifikansi 5% digunakan untuk membandingkan kualitas dangke susu sapi dan dangke susu kerbau (sampel lapangan); kualitas dangke dengan cetakan stainless steel dan cetakan tempurung kelapa; kualitas dangke dengan kemasan plastik fleksibel dan kemasan daun pisang; serta kualitas dangke tanpa penambahan isolat E. faecium DU55 dan dengan penambahan isolat E. faecium DU55. Pengolahan data menggunakan software SPSS statistik 19,0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Objek Penelitian

Kondisi Wilayah Penelitian

(31)

selatan dengan rata-rata ketinggian ± 3.000 m di atas permukaan laut, sedangkan di sebelah barat membentang sungai Saddang dari utara ke selatan.

Kabupaten Enrekang terletak antara 3º14’36” LS dan 119º40’53” BT. Jarak kota Enrekang ke ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar) dengan jalan darat adalah ± 235 Km. Batas wilayah Kabupaten Enrekang adalah sebelah utara dengan Kabupaten Tana Toraja, sebelah timur dengan Kabupaten Luwu dan Sidenreng Rappang, sebelah selatan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang, dan sebelah barat dengan Kabupaten Pinrang.

Kabupaten Enrekang mempunyai wilayah topografi yang bervariasi berupa perbukitan, pegunungan, lembah dan sungai, dengan ketinggian 47 sampai 3.293 m dari permukaan laut serta tidak mempunyai wilayah pantai. Secara umum keadaan topografi wilayah didominasi oleh bukit-bukit/gunung-gunung yaitu sekitar 85% dari luas wilayah Kabupaten Enrekang, sedangkan yang datar hanya 15%.

Karakteristik Pekerja Dangke

Pada usaha pengolahan dangke di Kabupaten Enrekang, seorang pekerja sekaligus sebagai produsen/pemilik usaha. Hasil observasi mengenai karakteristik pekerja dangke disajikan pada Tabel 1. Hampir semua (97%) pekerja dangke adalah perempuan. Usaha pengolahan dangke umumnya berintegrasi dengan usaha peternakan sapi perah dalam satu rumah tangga peternak, suami mengurus/memelihara ternak sedangkan istri mengolah susu yang dihasilkan menjadi dangke. Usaha pengolahan pangan yang dikerjakan di rumah sendiri memungkinkan perempuan bekerja sambil mengurus pekerjaan rumah tangga.

Tabel 1 Karakteristik pekerja dangke susu sapi

(32)

meskipun secara fisik telah menurun. Tingkat pendidikan pekerja dangke sebagian besar adalah tamatan SD (38%) dan SMA (38%). Metode pengolahan dangke adalah sederhana dan tidak memerlukan keahlian khusus atau hanya mengandalkan pengetahuan yang diperoleh dari orang tua sehingga dapat dikerjakan oleh tingkat pendidikan rendah, Adanya pekerja dangke yang berpendidikan sarjana (5%) kemungkinan berkorelasi dengan sulitnya memperoleh pekerjaan dan usaha dangke dapat memberikan keuntungan yang memadai.

Karakteristik Usaha Dangke

Karakteristik usaha dangke di Kabupaten Enrekang disajikan pada Tabel 2. Dangke diproduksi 1 (43%) dan 2 kali (57%) per hari. Frekuensi pembuatan dangke umumnya bergantung pada produksi susu yang dihasilkan oleh usaha peternakan pekerja. Waktu pembuatan dangke oleh pekerja yang mengolah dangke dua kali sehari adalah pagi dan malam hari (57%), sedangkan pekerja yang membuat dangke satu kali sehari adalah pagi hari (42%). Waktu pengolahan dangke terkait waktu pemerahan susu yang biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari. Umumnya susu setelah diperah langsung diolah menjadi dangke tanpa melalui proses penyimpanan.

Tabel 2 Karakteristik usaha dangke susu sapi

Unsur karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%) Frekuensi pembuatan dangke per hari (kali)

1 26 43

(33)

Frekuensi dangke terjual habis (46%) mengindikasikan bahwa dangke termasuk produk yang diminati konsumen. Fakta ini kemungkinan terkait jumlah produksi yang rendah sehingga belum dapat memenuhi permintaan pasar baik yang berasal dari Kabupaten Enrekang maupun luar Enrekang.

Karakteristik Pembuatan Dangke

Dangke merupakan produk olahan susu kerbau atau sapi yang dibuat melalui proses penggumpalan protein susu dengan pemanasan dan penambahan enzim papain (getah pepaya). Proses pembuatan dangke susu sapi meliputi tahap : pemanasan susu, penambahan getah pepaya, penyaringan/pencetakan gumpalan (curd), dan pengemasan curd (Gambar 3). Proses pembuatan dangke tersebut digunakan masyarakat sejak dulu hingga sekarang tanpa mengalami perubahan.

Pemanasan susu

Penambahan getah pepaya

Sebelum susu panas (0-10 menit) Setelah susu panas (11-40 menit)

Pemanasan

campuran susu dan getah pepaya

(proses penggumpalan susu)

Susu sudah mendidih (100 oC) Susu belum mendidih (80-90 oC)

Cairan (whey)

Penyaringan/Pencetakan gumpalan (curd)

(Tempurung kelapa)

Pembungkusan/Pengemasan

(Daun pisang, plastik polietilen)

Dangke

(34)

dicetak (suhu cairan 80-90 oC). Alat pencetak yang digunakan semua pekerja adalah tempurung kelapa yang pada bagian bawahnya terdapat lubang sebagai jalan keluar whey. Lama pencetakan dangke bervariasi mulai 25 menit sampai lebih 10 jam. Tahap akhir proses pembuatan dangke adalah pengemasan dangke dengan daun pisang.

Karakteristik Organoleptik Dangke Susu Sapi dan Kerbau

Hasil penilaian organoleptik terhadap warna dangke susu sapi dan susu kerbau pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar konsumen (64%) menyatakan warna dangke susu sapi adalah putih kekuningan, sedangkan dangke susu kerbau berwarna putih keabuan (36%). Perbedaan kenampakan warna dari kedua jenis dangke tersebut kemungkinan berkorelasi dengan warna susu sebagai bahan baku.

Tabel 3 Deskripsi warna dangke susu sapi dan kerbau a Warna Jenis dangke {jumlah responden (persentase)}

Susu sapi Susu kerbau

Putih keabuan 6(17) 13(36)

Putih kekuningan 23(64) 12(33)

Putih 7(19) 11(31)

a

Responden bukan orang Enrekang.

Sebagian besar konsumen (58%) menyatakan bahwa aroma khas susu dan rasa khas susu lebih kuat pada dangke susu sapi dibandingkan dengan dangke susu kerbau. Tekstur dangke susu kerbau lebih kenyal (50%), lebih halus (55%), dan tidak lengket ketika ditelan (58%) dibandingkan dengan dangke susu sapi (Tabel 4). Perbedaan aroma, rasa, dan tekstur kedua jenis dangke diduga berkorelasi dengan perbedaan sifat dan komposisi kimiawi antara susu kerbau dan susu sapi.

Tabel 4 Deskripsi aroma, rasa, dan tekstur dangke susu sapi dan kerbau a Uraian Jenis dangke {jumlah responden (persentase)}

Susu sapi Susu kerbau Kedua-duanya Aroma dan rasa

Tidak lengket ketika ditelan 13(36) 21(58) 2(6) a

Responden bukan orang Enrekang.

Karakteristik Konsumen Dangke Orang Enrekang

(35)

Lebih dari separuh (51%) konsumen dangke memiliki pendidikan akhir sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa dangke dipandang sebagai pangan bergengsi dan layak dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas. Pendidikan merupakan faktor psikologis yang mempengaruhi konsumen dalam memilih jenis dan mutu bahan makanan yang akan dikonsumsi (Ariningsih 2008).

Tabel 5 Karakteristik konsumen dangke orang Enrekang Unsur karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%) Jenis kelamin

Laki-laki 45 45

Perempuan 55 55

Total 100 100

Umur (tahun)

17-24 24 24

25-40 58 58

> 40 18 18

Total 100 100

Pendidikan

SD 2 2

SMP 1 1

SMA 46 46

SARJANA 51 51

Total 100 100

Potensi Dangke Susu Sapi sebagai Alternatif Dangke Susu Kerbau

Ketersediaan Bahan Baku

Jumlah populasi ternak kerbau betina (2.156 ekor) lebih besar dibandingkan dengan sapi perah (1.065 ekor) di Kabupaten Enrekang (Tabel 6). Ternak kerbau oleh masyarakat lebih banyak digunakan sebagai kerbau pekerja daripada sebagai kerbau perah. Hal ini kemungkinan karena tipe kerbau di Kabupaten Enrekang bukan tipe kerbau perah.

(36)

Tabel 6 Populasi sapi perah dan kerbau betina (ekor) per kecamatan di Kabupaten Enrekang tahun 2012 a

No. Kecamatan Sapi perah Kerbau

Hasil pengukuran produksi susu kerbau di Kecamatan Curio menunjukkan bahwa produksi susu kerbau berkisar 0.8 sampai 2.4 liter/ekor/hari dengan rataan produksi 1.5 liter/ekor/hari (Tabel 7). Pemerahan susu di daerah tersebut hanya dilakukan 1 kali, yakni pagi hari. Produksi susu kerbau selain dipengaruhi faktor genetik juga dipengaruhi faktor lingkungan seperti manajemen pemeliharaan (Bahri dan Talib 2007). Produksi susu sapi perah di Kecamatan Cendana berkisar 6.8 sampai 19.3 liter/ekor/hari dengan rataan 11.8 liter/ekor/hari (Tabel 7). Pemerahan susu dilakukan 2 kali dalam sehari, yakni pagi dan sore hari. Produksi susu harian ternak sapi perah yang lebih besar memberikan alasan kuat untuk menjadikan susu sapi sebagai bahan baku dangke pengganti susu kerbau untuk mempertahankan eksistensi dangke.

(37)

Tabel 8 Kadar air, abu, lemak, protein, dan nilai pH dangke susu sapi dan susu kerbau di Kabupaten Enrekang a

Parameter ns Dangke susu kerbau Dangke susu sapi

Minimal Maksimal Rataan Minimal Maksimal Rataan

Kadar air (%) 43.3 62.8 52.7 49.3 62.4 55.0 Kadar abu (%) 1.9 2.7 2.3 1.9 2.4 2.1 Kadar lemak (%) 10.1 23.9 15.9 8.8 21.6 14.8 Kadar protein (%) 14.5 26.1 21.3 15.7 33.3 23.8

pH 6.2 6.5 6.4 6.3 6.5 6.4

a Jumlah sampel = 6; ns Tidak berbeda nyata

Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa kadar air, abu, lemak dan protein dangke susu sapi tidak berbeda nyata dengan dangke susu kerbau. Hal ini berarti bahwa dangke susu sapi dan susu kerbau memiliki kandungan gizi yang relatif sama. Nilai pH dangke susu sapi (6.4) tidak berbeda nyata dengan nilai pH dangke susu kerbau (6.5). Nilai pH kedua jenis dangke tersebut berada pada kisaran pH netral.

Ketersediaan, Harga, dan Konsumsi Dangke

Sebagian besar konsumen (87%) menyatakan dangke susu sapi lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan dangke susu kerbau dan hampir semua konsumen (91%) menyatakan dangke susu sapi lebih murah dibandingkan dengan dangke susu kerbau (Tabel 9). Harga merupakan bahan pertimbangan utama bagi konsumen Indonesia dalam pembelian produk sehingga konsumen menjadi sensitif terhadap harga. Kemudahan memperoleh dan harga jual dangke susu sapi yang lebih murah disebabkan susu sapi sebagai bahan baku lebih mudah diperoleh. Jika produk yang diinginkan tidak tersedia, konsumen mungkin akan beralih dan mencari alternatif berdasarkan ketersediaannya. Fakta ini dapat menjadi nilai lebih bagi pengembangan usaha dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang.

(38)

Tabel 9 Penilaian konsumen orang Enrekang terhadap ketersediaan, harga, dan konsumsi dangke susu sapi dan susu kerbau

Uraian Jumlah (orang) Persentase (%)

Jenis dangke yang lebih mudah diperoleh

Dangke susu sapi 87 87

Dangke susu kerbau 1 1

Kedua-duanya 12 12

Total 100 100

Jenis dangke yang lebih murah

Dangke susu sapi 91 91

Dangke susu kerbau 1 1

Kedua-duanya 8 8

Total 100 100

Jenis dangke yang pernah dikonsumsi

Dangke susu sapi 21 21

Dangke susu kerbau 0 0

Kedua-duanya 79 79

Total 100 100

Kesukaan Konsumen terhadap Jenis Dangke

Penilaian kesukaan konsumen terhadap jenis dangke menggunakan responden orang Enrekang yang pernah mengkonsumsi kedua jenis dangke dan responden bukan orang Enrekang yang dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Hasil survei menunjukkan sebagian besar konsumen orang Enrekang (48%) menyukai dangke susu kerbau dan 11% menyukai dangke susu sapi, sedangkan persentase yang menyukai kedua jenis dangke sebesar 41% (Tabel 10). Sebagian besar konsumen bukan orang Enrekang (50%) menyukai dangke susu sapi dan 44% menyukai dangke susu kerbau, sedangkan 6% menyukai kedua jenis dangke.

Tabel 10 Kesukaan konsumen orang Enrekang dan bukan orang Enrekang terhadap jenis dangke

Asal konsumen Jenis dangke {jumlah responden (%)}

Susu sapi Susu kerbau Kedua-duanya Total Orang Enrekang 9(11) 38(48) 32(41) 79(100) Bukan orang Enrekang 18(50) 16(44) 2( 6) 36(100)

(39)

Kesukaan Konsumen terhadap Atribut Organoleptik Dangke

Hasil survei pada Tabel 11 menunjukkan konsumen orang Enrekang lebih menyukai atribut organoleptik dangke susu kerbau dibandingkan dengan dangke susu sapi. Atribut organoleptik dangke susu kerbau yang disukai lebih dari separuh konsumen orang Enrekang adalah rasa (57%) diikuti aroma dan tekstur dengan persentase yang sama, yakni 53%. Atribut organoleptik warna dangke susu kerbau disukai kurang dari separuh konsumen (42%). Atribut organoleptik dangke susu sapi yang paling banyak dipilih konsumen orang Enrekang adalah warna (26%) diikuti atribut aroma dan tekstur dengan persentase yang sama sebesar 23%; sedangkan atribut organoleptik rasa dipilih 19% konsumen. Atribut organoleptik warna paling banyak dipilih konsumen orang Enrekang (32%) yang menyukai atribut organoleptik kedua jenis dangke; sedangkan aroma, rasa, dan tekstur dipilih konsumen dengan persentase yang sama, yakni 24%. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa keunggulan dangke susu kerbau bagi konsumen orang Enrekang adalah pada atribut organoleptik rasa, sedangkan warna dangke susu sapi merupakan daya tarik utama yang dapat mempengaruhi konsumen untuk membeli dangke susu sapi.

Hasil survei pada Tabel 11 memperlihatkan persentase konsumen bukan orang Enrekang yang menyukai warna dangke susu sapi sebesar 55% dan aroma sebesar 50%; sedangkan warna dangke susu kerbau 42% dan aroma sebesar 47%. Rasa dangke susu kerbau dipilih oleh 55% konsumen dan untuk tekstur sebesar 58%, sedangkan persentase konsumen yang memilih rasa dan tekstur dangke susu sapi masing-masing sebesar 42% dan 39%. Persentase konsumen yang menyukai atribut organoleptik kedua jenis dangke relatif kecil, yakni 3% untuk semua atribut organoleptik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa keunggulan dangke susu sapi bagi konsumen bukan orang Enrekang adalah pada warna dan aroma, sedangkan keunggulan dangke susu kerbau adalah pada rasa dan tekstur. Tabel 11 Sebaran konsumen berdasarkan kesukaan terhadap atribut organoleptik

dangke

Praktik Sanitasi Higiene pada Pengolahan Dangke Susu Sapi

Sanitasi Higiene Pekerja

(40)

pengolahan dangke dilakukan di rumah sendiri sehingga mereka menganggap lebih praktis menggunakan baju yang dipakai sehari-hari. Menutup kepala saat mengolah dangke dilakukan oleh 26% pekerja dan hal ini disebabkan dalam keseharian mereka menggunakan jilbab atau topi haji. Alasan sebagian besar pengolah pangan skala kecil tidak menggunakan kelengkapan kerja seperti pakaian kerja, celemek, dan penutup kepala adalah kurang nyaman, tidak terbiasa, dan dianggap tidak perlu (Dharma dan Gunawan 2008).

Kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun berperan penting untuk menjaga keamanan pangan karena tangan adalah penghantar utama masuknya kuman penyakit ke tubuh manusia. Sebagian besar pekerja (80%) mencuci tangan sebelum mulai mengolah dangke dan 65% menggunakan sabun saat mencuci tangan. Menurut Shojaei et al. (2006), mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi frekuensi kontaminasi mikroba pada tangan pengolah pangan di Iran dari 109 (73%) menjadi 48 orang (32%). Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa pekerja (20%) menganggap mencuci tangan tidak penting karena pembuatan dangke dapat menggunakan bantuan sendok tanpa harus menyentuh dengan tangan. Kenyataan di lapangan menunjukkan penyaringan/pencetakan dan pengemasan dangke merupakan tahap paling berpeluang dangke terkontaminasi mikroba melalui tangan pekerja, karena seringkali tanpa sengaja pekerja menyentuh dangke dengan tangan. Hampir semua orang mengerti pentingnya mencuci tangan memakai sabun, namun tidak membiasakan diri untuk melakukannya dengan benar pada saat yang penting (Utami et al. 2011).

Tabel 12 Praktik sanitasi higiene pada pekerja dangke susu sapi di Kabupaten

Gambar

Gambar 1 Alur pembuatan dangke susu sapi untuk penelitian penggantian
Gambar 2  Alur pembuatan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang
Tabel 4  Deskripsi aroma, rasa, dan tekstur dangke susu sapi dan kerbau a
Tabel 5  Karakteristik konsumen dangke orang Enrekang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapat data sebagai berikut: (1) perencanaan program kelompok bina usaha (KBU) handycraft dilihat dari kebutuhan,

Kelenjar hipofisa tikus yang diamati pada penelitian ini terbagi atas pars tuberalis (PT), pars distalis (PD) dan pars intermedia (PI), sedangkan neurohipofisa hanya

Sixty-two people diagnosed with schizophrenia who experienced persistent auditory hallucinations were involved in ten sessions of group therapy in which the

[r]

Dalam penjualan buku dan alat tulis pada beberapa toko buku salah satunya toko buku modern kudus belum menerapkan sistem komputerisasi sehingga sering terjadi

1) Dengan adanya semangat kerja yang tinggi dari karyawan maka pekerjaan yang diberikan kepadanya atau ditugaskan kepadanya.. akan dapat diselesaikan dengan waktu

Dari penjelasan tersebut penulis simpulkan bahwa prestasi belajar pendidikan agama Islam yaitu hasil yang telah dicapai anak didik dalam menerima dan memahami

sebuah indikator kualitas sumber daya manusia pada suatu perusahaan. 3) Structural Capital Value Added (STVA). STVA mengukur jumlah yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1