• Tidak ada hasil yang ditemukan

The analysis of urban infrastructure in waterfront area Case Study Ternate City, North Maluku Province;

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The analysis of urban infrastructure in waterfront area Case Study Ternate City, North Maluku Province;"

Copied!
225
0
0

Teks penuh

(1)

PROVINSI MALUKU UTARA

FIRDAWATY MARASABESSY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Infrastruktur Kota di Kawasan Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2013

(3)

Waterfront Area : Case Study Ternate City, North Maluku Province. Supervised by WIDIATMAKA and SOEKMANA SOMA.

The development of waterfront city of Ternate in 2006-2015 initially began with the limitation of land due to the high amount of population, geographical and topographical conditions of the region, the threat of catastrophic volcanic eruptions as well as national and provincial development strategy. The purpose of this study is focused on three points related to urban growth of Ternate City. First, land use mapping of the urban growth of Ternate was done, divided into two periods: before and after the development of the waterfront. Second, by coverage of urban infrastructure to support socio-economic activities of the community is analyzed. Third, by determining the strategy in the structuring and management of sustainable infrastructure based on the interests of the stakeholders for the improvement towards a better infrastructure. The methodology used in this research were Geographical Information System (GIS), descriptive analysis, scalogram analysis, linear regression and Analytical Hierarchy Process (AHP). The result of the analysis showed that the spatial changes of Ternate City were characterized by changes in the shoreline and land use due to the development of waterfront areas done by reclamation. The regional hierarchy analysis (2005-2011) showed that there were aspects of the development of infrastructure and accessibility, where coastal villages was more developed than non coastal village. Spreading of infrastructure in Ternate City was mainly concentrated in the downtown area, so the access is relatively easy linked to the road, but the travel time in each district is different. The evaluation shows that the availability of infrastructure don’t meet the service standard, they are water supply from PDAM, electricity, the disposal garbage transported to sanitary landfill (TPA), the capacity of educational facilities, and market facilities. The infrastructures which were inadequate the service standards were roads, health facilities, commerce facilities, and green open space. The prediction of infrastructure needs in 2013-2032 were analyzed based on the projected population. The infrastructure needs until 2032 were water supply from PDAM 28.002.700 liters/day, the need for electricity 114.557 KVA, the production of garbage 636.425 liters/day, health facilities 129 units, and commerce facilities 1.037 units. The structuring and managing infrastructure in waterfront areas that need to be prioritized based on the perceptions of stakeholders are the integrated garbage management, the structuring area of street vendor (PKL) and the arrangement of city park landscape.

(4)

Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh WIDIATMAKA dan SOEKMANA SOMA.

Pengembangan wilayah pesisir saat ini menjadi prioritas pembangunan terutama pada kota-kota pesisir. Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota. Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya masyarakat serta dapat mempertahankan daya dukung lingkungan.

Dalam konteks penataan ruang, pembangunan infrastruktur merupakan kebutuhan turunan sebagai konsekuensi logis dari perencanaan tata ruang yang dapat membentuk struktur ruang wilayah. Salah satu kota tepian air (waterfront city) di Indonesia yang tengah mengalami perkembangan adalah Kota Ternate. Pengembangan waterfront city yang termuat dalam rencana tata ruang kota Ternate tahun 2006-2015 diantaranya bermuara dari keterbatasan lahan kota dalam menyediakan infrastruktur perkotaan akibat tekanan populasi yang semakin meningkat, kondisi geografis dan topografis wilayah, ancaman bencana dari letusan gunung api serta strategi pengembangan Nasional dan Provinsi.

Sebelum pengembangan kawasan waterfront, kondisi ketersediaan infrastruktur di kota Ternate belum mencapai standar kebutuhan, khususnya untuk infrastruktur dasar cakupan pelayanannya terkonsentrasi di kawasan pesisir. Perubahan status dari Keresidenan hingga menjadi Kota, menuntut adanya pembangunan infrastruktur kota yang layak dan mudah dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Pengembangan kawasan waterfront di Kota Ternate diharapkan dapat meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah pengembangan waterfront, menganalisis perubahan hierarki wilayah setelah pengembangan waterfront, melakukan pemetaan sebaran dan ketersediaan infrastruktur, memprediksikan kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan, dan menentukan arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront.

Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder, diantaranya masterplan kawasan waterfront, RDTR Kota Ternate, RTRW Kota Ternate, Peta RBI, citra satelit, data tabular infrastruktur, SNI infrastruktur dan Kota Ternate Dalam Angka. Metodologi dalam peneltian ini menggunakan analisis spasial Sistem Informasi Geografis (SIG), analisis skalogram, analisis deskriptif, analisis regresi linear serta Analitycal Hierarchy Process (AHP).

(5)

telah terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan menjadi 6 kelurahan, sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir yang semula 3 kelurahan berkurang menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2 meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga meningkat dari 8 kelurahan menjadi 10 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 23 kelurahan menjadi 20 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir meningkat dari 13 kelurahan menjadi 12 kelurahan. Kelurahan/desa pesisir cenderung lebih berkembang dibandingkan dengan kelurahan/desa bukan pesisir yang terlihat dari perubahan tingkatan hierarki wilayah.

Sebaran infrastruktur di kota Ternate terkonsentrasi di pusat kota. Akses pencapaian ke infrastruktur perkotaan relatif mudah karena dihubungkan dengan jalan, namun waktu tempuh pencapaian setiap kecamatan berbeda. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur yang belum memenuhi standar pelayanan diantaranya adalah kekurangan kapasitas produksi air bersih PDAM, daya listrik, pengangkutan sampah ke TPA, daya tampung fasilitas pendidikan, prasarana pasar. Infrastruktur yang telah mencukupi standar pelayanaan diantaranya adalah jaringan jalan, prasarana kesehatan, prasarana niaga dan perdagangan dan ruang terbuka hijau (RTH).

Prediksi kebutuhan infrastruktur tahun 2013-2032 dianalisis berdasarkan proyeksi jumlah penduduk di tahun tersebut. Proyeksi penduduk di tahun 2013 diprediksikan mencapai 188.795 jiwa dan di tahun 2032 mencapai 254.570 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 20 tahun sebesar 1,68%. Melihat proyeksi jumlah penduduk Kota Ternate diatas, maka kebutuhan infrastruktur hingga tahun 2032 diantaranya adalah air bersih PDAM 28.002.700 lt/hari, kebutuhan daya listrik sebesar 114.557 KVA, produksi sampah 636.425 lt/hari, prasarana kesehatan 129 unit dan prasarana niaga dan perdagangan 1.037 unit.

Arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront yang perlu diprioritaskan pada tiap kategori infrastruktur berdasarkan persepsi stakeholder adalah pengelolaan sampah terpadu untuk infrastruktur fisik, penataan kawasan PKL untuk infrastruktur sosial ekonomi dan penataan lansekap taman kota untuk infrastruktur hijau.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PROVINSI MALUKU UTARA

FIRDAWATY MARASABESSY

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Karya ini ku persembahkan untuk :

Ayahanda Tercinta Hi. Bunyamin Marasabessy

dan

Ibunda Tercinta Hj. Satiah Mahmud (Alm.)

“terima kasih atas segala

kasih sayang, doa dan pengorbanan

(11)

”Analisis Infrastruktur Kota di Kawasan Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara”. Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis yang dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA., Dr. Ir. Soekmana Soma M.SP., M.Eng sebagai Komisi Pembimbing atas segenap waktu, pemikiran dan arahanya semenjak awal penelitian hingga selesainya penulisan tesis.

2. Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc., sebagai Penguji Luar Komisi atas waktu, kritik dan sarannya.

3. Ketua, Sekretaris dan Manajemen Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor atas bantuan dan kerjasamanya.

4. Seluruh Dosen Pengajar dan Asisten atas didikan dan bimbingannya selama belajar di PWL.

5. Pemerintah Daerah Kota Ternate atas izin untuk melakukan penelitian di Kota Ternate.

6. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Ternate atas kesediaan memberikan data dan kerjasamanya.

7. Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate atas kesediaan memberikan data dan kerjasamanya.

8. Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Ternate atas kesediaan memberikan data dan kerjasamanya.

9. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara atas kesediaan memberikan data.

10.BUMN Kota Ternate (PDAM dan PLN) atas kesediaan memberikan data. 11.Universitas Khairun Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur atas bantuan dan

kerjasamanya.

12.Ayahanda Prof. Drs. Hi. B. Marasabessy M.Pd., Ibunda Hj. Satiah Mahmud (Alm.) dan Kakak-kakak tercinta Rauf CH, Dra. Fachria M.Pd., M.Si., Helmy, Fitri, Nurainy, ST., dan Chairil ST., serta keponakan tecinta Aldy, Caca dan Ehsan atas segala limpahan kasih sayang, didikan serta doanya yang tiada henti.

13.Teman-teman seperjuangan (Desyan Rya, SP., M.Si., Rahmi Fajarini, SP., Djoko Purnomo, S.Si., Manijo, SP) dan teman PS PWL Reguler lainnya atas segala bantuan dan dukungannya selama belajar di PWL.

(12)

bersaudara dari Ayahanda Hi. Bunyamin Marasabessy dan Ibunda Hj. Satiah Mahmud (Alm.). Tahun 2003, penulis menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 1 Ternate dan melanjutkan studi ke Universitas Khairun Ternate, Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 tahun 2009, penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada tahun 2010 dengan biaya sendiri.

(13)

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 7

Kerangka Pemikiran ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota ... 10

Perkembangan Kota Tepian Air (Waterfront City) ... 13

Pertumbuhan Kota Dalam Konsep Pengembangan Wilayah ... 17

Infrastruktur dan Hierarki Wilayah Perkotaan ... 19

Infrastruktur Fisik ... 22

Infrastruktur Sosial Ekonomi ... 38

Infrastruktur Hijau ... 41

METODOLOGI PENELITIAN ... 46

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

Bahan dan Alat ... 46

Jenis dan Sumber Data ... 47

Metode Analisis Data ... 48

Analisis Sistem Informasi Geografis ... 48

Analisis Hierarki Wilayah dengan Skalogram ... 50

Analisis Ketersediaan Infrastruktur ... 52

Infrastruktur Fisik ... 52

Infrastruktur Sosial dan Ekonomi ... 57

Infrastruktur Hijau ... 58

Analisis Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032 ... 59

Analisis Persepsi Stakeholder dengan AHP ... 59

GAMBARAN UMUM KOTA TERNATE... 65

Letak Geografis dan Batas Administratif... 65

(14)

Kawasan Kota Tepian Air (WaterfrontCity) ... 79

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 82

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 85

Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate ... 85

Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront ... 85

Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront ... 88

Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010 ... 91

Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate ... 93

Cakupan Pelayanan Infrastruktur ... 98

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik ... 98

Infrastruktur Jaringan Jalan ... 98

Infrastruktur Air Bersih ... 107

Infrastruktur Listrik ... 113

Infrastruktur Sistem Drainase ... 118

Infrastruktur Persampahan ... 129

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi ... 135

Prasarana Pendidikan ... 135

Prasarana Kesehatan ... 145

Prasarana Niaga dan Perdagangan ... 149

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hijau ... 154

Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2013-2032 ... 162

Persepsi Stakeholder dalam Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Waterfront ... 167

SIMPULAN DAN SARAN ... 173

Simpulan ... 173

Saran ... 174

DAFTAR PUSTAKA ... 175

(15)

1. Kebutuhan Air untuk Kategori Kota ... 27

2. Klasifikasi Sampah Menurut Ditjen Cipta Karya ... 35

3. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Hasil ... 47

4. Variabel Untuk Analisis Hierarki WIlayah ... 50

5. Klasifikasi Jalan Perkotaan... 52

6. Kebutuhan Air Non Domestik Perkotaan ... 55

7. Bagian Jaringan Drainase ... 55

8. Besaran Timubulan Sampah Berdasarkan Komponen-Komponen Sumber Sampah ... 56

9. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Sosial dan Ekonomi ... 57

10.Fungsi dan Penerapan RTH Berdasarkan Tipologi Kawasan Perkotaan ... 58

11.Wilayah Administrasi Kota Ternate ... 65

12.Temperatur Rata-rata di Kota Ternate Tahun 2010 ... 67

13.Kelembaban Nisbi dan Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate Tahun 2010 ... 67

14.Kecepatan Angin Rata-rata, Kecepatan Maksimum Mutlak dan Arah Angin di Kota Ternate ... 68

15.Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kota Ternate Menurut Bulan, Tahun 2010 ... 68

16.Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2010 ... 69

17.Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Rasio Jenis Kelamin ... 70

18.Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ... 71

19.Penggunaan Lahan di Kota Ternate, 2010 ... 72

20.Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan ... 73

21.Fungsi Strategis BWK I dan BWK II dalam mendukung WaterfrontCity Kota Ternate ... 80

22.PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku ... 84

23.Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront ... 90

24.Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010 ... 92

25.Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010 ... 92

26.Hierarki Wilayah Tahun 2011 ... 95

27.Hierarki Wilayah Tahun 2005 ... 96

28.Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011 ... 97

29.Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate ... 101

30.Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010 ... 102

31.Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi ... 108

32.Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011 ... 112

33.Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang ... 114

(16)

37.Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan ... 122

38.Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara ... 124

39.Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate ... 125

40.Hasil Identifikasi Genangan di Kota Ternate ... 127

41.Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru ... 129

42.Produksi/Volume Sampah di TPA Kota Ternate ... 132

43.Komposisi Sampah Kota Ternate ... 133

44.Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun 2005-2008 ... 133

45.Jumlah Prasarana Pendidikan ... 135

46.Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik ... 136

47.Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar ... 137

48.Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate ... 137

49.Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate ... 139

50.Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate ... 141

51.Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate ... 142

52.Prasarana Kesehatan di Kota Ternate ... 145

53.Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate ... 147

54.Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan ... 148

55.Prasarana Niaga dan Perdagangan ... 150

56.Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan ... 152

57.Jarak Pencapaian Prasarana Niaga dan Perdagangan ... 153

58.Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Kota Ternate ... 156

59.Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan ... 157

60.Penggunaan Lahan Kecamatan Ternate Selatan ... 157

61.RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Selatan ... 158

62.Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Tengah ... 159

63.RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Tengah ... 159

64.Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Utara ... 161

65.RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Utara ... 159

66.Proyeksi Jumlah Penduduk Tahun 2013-2032 ... 162

67.Prediksi Kebutuhan Air Bersih PDAM Tahun 2013-2032 ... 164

68.Prediksi Kebutuhan Daya Listrik Tahun 2013-2032 ... 165

69.Prediksi Produksi Sampah Tahun 2013-2032 ... 165

(17)

1. Kerangka Pemikiran ... 9

2. Dimensi Jalan Arteri dengan Jalur Lambat ... 24

3. Penampang Jalan Kolektor Kawasan Permukiman ... 25

4. Bagan Aliran Proses Pengolahan Air ... 26

5. Komponen Utama dalam Penyaluran Listrik ... 29

6. Sistem Drainase Perkotaan ... 33

7. Teknik Operasional Sampah Perkotaan ... 38

8. Jaringan Infrastruktur Hijau ... 44

9. Lokasi Penelitian ... 46

10. Bagan Alir Penelitian ... 49

11. Struktur Hierarki AHP ... 62

12. Peta Kemiringan Lereng Kota Ternate ... 66

13. Persentase Jumlah Penduduk di Kota Ternate ... 69

14. Penggunaan Lahan di Kota Ternate Tahun 2010 ... 73

15. Peta Rencana Struktur Ruang Kota ... 78

16. Kawasan Prioritas Action Plan Waterfront City Kota Ternate ... 81

17. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999-2011 ... 83

18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun 2001-2010 ... 86

19. Perubahan Spasial Kota Ternate ... 87

20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront ... 89

21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun 2004-2010 ... 91

22. Nilai Standar Deviasi dan Nilai Rataan Indeks Perkembangan ... 94

23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005-2011 ... 97

24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010 ... 99

25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan ... 100

26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah ... 103

27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan ... 104

28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara ... 105

29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate ... 106

30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate ... 109

31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM ... 110

32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010 ... 110

33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN ... 115

34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN, 2011 ... 116

35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah ... 121

36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan ... 123

37. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Utara ... 124

38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate ... 126

(18)

42.Sebaran Fasilitas Pendidikan SD ... 140

43.Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP ... 141

44.Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK ... 143

45.Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate ... 146

46.Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate ... 151

47.RTH Kecamatan Ternate Selatan ... 157

48.RTH Kecamatan Ternate Tengah ... 159

49.RTH Kecamatan Ternate Utara ... 160

50.Hasil AHP Aspek Infrastruktur ... 168

51.Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Fisik ... 168

52.Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Sosial dan Ekonomi ... 169

53.Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Hijau ... 170

54.Hasil AHP Alternatif Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Waterfront Kota Ternate ... 171

(19)

1. Hasil Pengecekan Lapang Beberapa Titik di Lokasi Kota Ternate ... 180

2. Hasil Analisis Skalogram untuk Hierarki Wilayah ... 181

3. Hierarki Jalan di Kota Ternate ... 187

(20)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk pembangunan (Anwar, 1999). Upaya pembangunan pada suatu wilayah bertujuan agar kesejahteraan masyarakat tercapai. Pengembangan wilayah memanfaatkan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana secara optimal dan berkelanjutan. Kegiatan-kegiatan ekonomi (perdagangan, industri dan pertanian), perlindungan lingkungan, penyediaan fasilitas pelayanan dan penyediaan prasarana (transportasi, komunikasi dan lain-lain) adalah bentuk kegiatan yang mampu menggerakkan perkembangan wilayah (Witoelar, 2002 diacu dalam Gustiani, 2005).

Populasi digunakan sebagai indikator pertumbuhan kota (Hsu, 1996 diacu dalam Cheng dan Masser, 2003). Pertumbuhan wilayah perkotaan yang kian pesat ditandai dengan meningkatnya populasi. Konsentrasi populasi kota-kota di dunia diprediksikan pada tahun 2020 mencapai 2,5 juta jiwa, hampir 65 persen berada di sepanjang pantai (Agenda 21, 1992 diacu dalam Vallega, 2001). Sebagai contoh kasus, Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi secara signifikan, dimana lebih dari 86 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir timur hingga ke wilayah pesisir selatan, diantaranya kota Sydney, Brisbane, Melbourne dan Perth (Norman, 2011). Kota-kota tersebut kemudian berkembang pesat menjadi kota-kota pantai (waterfront city) yang terkenal dan menjadi daya tarik utama sebagai kawasan wisata.

(21)

berorientasi ke laut (Laras, 2011). Wilayah pesisir dewasa ini memegang peran penting dalam perkembangan kota.

Kota Ternate merupakan salah satu waterfront city di Indonesia, yang pada awalnya dikenal dalam sejarah dunia sebagai pusat perdagangan rempah-rempah skala internasional di abad ke-15. Jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah 185.705 jiwa dengan laju pertumbuhan selama periode 10 tahun terakhir (2000-2010) sebesar 1,79% dan memiliki penduduk terpadat di Maluku Utara dengan kepadatan penduduk 740 jiwa/km2 (BPS Kota Ternate, 2011) yang sebagian besar bermukim di wilayah pesisir.

Pertambahan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun penyediaan sarana dan prasarana perkotaan. Lahan merupakan sumberdaya alam yang hampir tidak dapat diperbaharui (non renewable), sedangkan kebutuhan lahan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kondisi yang demikian terjadi di Kota Ternate, dimana jumlah penduduk semakin bertambah, namun ketersediaan lahan terbatas karena kondisi topografis yang kurang menunjang. Untuk itu kebijakan pengembangan wilayah pesisir diarahkan untuk penyediaan infrastruktur sehingga dapat melayani kebutuhan masyarakat kota yang semakin heterogen. Kebijakan tersebut termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2006-2015 yang mengalokasikan wilayah pesisir yang berada di pusat kota (CBD) untuk dikembangkan sebagai kawasan waterfront (BAPPEDA Kota Ternate, 2006). Kawasan waterfront Kota Ternate tumbuh sebagai pusat pelayanan jasa, perdagangan, sarana ibadah, transportasi dan ruang terbuka hijau (taman kota berbasis budaya).

(22)

kompleks berpengaruh terhadap dinamika spasial-temporal perkembangan wilayah (Hu dan Lo, 2007).

Indikator ketersediaan infrastruktur menjadi tolak ukur perkembangan kota. Peningkatan pelayanan infrastruktur ikut mempengaruhi pola permukiman di perkotaan. Umumnya masyarakat cenderung memilih tempat bermukim yang dekat atau mudah diakses dalam hal sarana dan prasarana wilayah. Preferensi bermukim dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan permukiman yang baik, fasilitas transportasi dan penyediaan barang dan jasa, serta pusat lapangan kerja (Sinulingga, 1999). Ketersediaan infrastruktur yang memadai akan mendorong pertumbuhan kota yang berkelanjutan.

Pendekatan dalam penyediaan infrastruktur di kawasan pesisir harus didasari konsep penataan ruang wilayah pesisir yang berkelanjutan. Pengembangan infrastruktur berkelanjutan berarti perlunya mengedepankan keseimbangan dan integrasi aspek fisik-lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi (Madiasworo, 2011 diacu dalam Lubis, 2011). Pemenuhan ketiga aspek tersebut dapat dilakukan melalui penataan ruang kawasan yang kembali menjadikan pesisir sebagai beranda, agar memiliki nilai estetika sehingga mampu memberikan kualitas visual yang baik terhadap lansekap kota (Bischof, 2007 diacu dalam Lubis, 2011). Untuk mewujudkan hal tersebut, maka keterpaduan antara konsep infrastruktur fisik (grey infrastructure), infrastruktur hijau/ramah lingkungan (green infrastructure), dan infrastruktur sosial (social infrastructure) dapat diterapkan guna membangun infrastruktur yang berkelanjutan.

(23)

Perumusan Masalah

Pengembangan wilayah Kota Ternate secara eksternal tidak dapat dilepaskan dari kedudukan, peran dan fungsinya dalam lingkup antar wilayah, baik dalam wilayah Propinsi Maluku Utara, Kawasan Timur Indonesia, Nasional serta kemungkinan keterkaitannya dengan negara lain di Kawasan Asia‐Pasifik. Berdasarkan strukturnya, wilayah Kota Ternate terletak pada jalur pelayaran internasional serta berada di titik singgung lingkaran pasifik yang secara langsung akan dipengaruhi oleh perubahan global. Pengaruh ini akan memungkinkan Kota Ternate berkembang sebagai salah satu pintu masuk dan keluar diantara sistem banyak pintu (multygate system) ke arah lingkaran Pasifik tersebut. Kondisi semacam ini membentuk suatu sistem keterkaitan wilayah antar kota‐kota (pulau‐ pulau) yang berada di dalam satu Kawasan Laut‐Pulau (KLP), yang secara fungsional dapat menghilangkan atau mengabaikan batas‐batas administratif dalam upaya pemberdayaan wilayahnya.

Sementara dari tinjauan nasional, Kota Ternate berada dalam konstelasi wilayah yang dilewati jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia 3 (ALKI 3) dan jalur poros pengembangan strategis Nasional (Manado-Ternate-Sorong-Biak-Jayapura). Selain itu Kota Ternate juga berperan sebagai jalur transit ke kabupaten/kota dalam lingkup provinsi Maluku Utara. Secara regional Kota Ternate masuk dalam pengelompokan Kawasan Timur Indonesia, yang saat ini menjadi fokus untuk pengembangan dan pembangunan nasional.

Dipihak lain, Kota Ternate diperhadapkan pada kondisi geografis wilayahnya yang berupa daerah perbukitan dengan sebuah gunung api aktif dan memiliki kemiringan lereng terbesar diatas 40% yang mengerucut kearah puncak gunung dan dikelilingi laut. Hal ini tentunya berdampak pada ketersediaan lahan untuk pengembangan ruang publik kota. Wilayah pesisir menjadi salah satu alternatif strategis dalam pengembangan kawasan, khususnya dalam pemenuhan infrastruktur perkotaan dengan metode reklamasi pantai yang saat ini tengah menjadi tren pengembangan kawasan kota pantai (waterfront city) di Indonesia.

(24)

untuk mendapatkan lahan/daratan baru melalui pengurugan atau pengeringan. Strategi ini dipilih antara lain karena semakin langkanya ketersediaan lahan perkotaan untuk mengakomodir pemenuhan kebutuhan fungsi perkotaan. Hal yang demikian akan berpengaruh terhadap spasial kota dan perubahan garis pantai karena kawasan waterfront bersinggungan langsung dengan wilayah pesisir.

Sebelum pengembangan kawasan waterfront, kondisi eksisiting infrastruktur masih terbatas cakupan pelayanannya terutama di wilayah belakang (hinterland) yaitu di kecamatan Pulau Ternate, sebagian kecamatan Ternate Utara dan sebagian kecamatan Ternate Selatan yang cenderung berada pada kondisi topografis perbukitan (upland) dan jauh dari pusat kota. Ketimpangan sebaran infrastruktur menyebabkan perbedaan yang cukup signifikan antara wilayah bagian barat dan wilayah bagian timur Pulau Ternate, dari segi cakupan pelayanan terhadap penduduk. Kondisi ini menunjukkan adanya prioritas pembangunan wilayah yang berorientasi di wilayah bagian timur Pulau Ternate sebagai kawasan cepat tumbuh dalam menghubungkan dengan pulau-pulau sekitarnya dalam lingkup lokal maupun regional.

Perkembangan kawasan kota pantai (waterfront city) khususnya di kawasan pesisir timur dan sebagian pesisir selatan Kota Ternate menyebabkan berkembangnya hierarki wilayah di kawasan tersebut serta kawasan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari indikator sebaran dan ketersediaan infrastruktur. Secara teoritik, hierarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas, yang ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur, kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas perekonomiannya. Pengembangan wilayah harus memperhatikan karakteristik potensial yang dimiliki wilayah.

(25)

laut (Drakel, 2004). Hal ini terkait pula dengan pengelolaan sampah, dimana sistem persampahan di kawasan ini masih minim pengelolaan dan masih terjadi tumpukan sampah di pesisir pantai.

Kapasitas pemenuhan infrastruktur sosial dan ekonomi, misalnya pasar tradisional masih belum memenuhi daya tampung untuk para pedagang. Akibatnya lahan di kawasan terminal angkutan kota dimanfaatkan sebagai lokasi untuk berjualan. Kondisi ini tentunya menimbulkan kesemrawutan di sekitar kawasan terminal. Dampak yang terjadi ialah konflik dalam pemanfaatan kawasan tersebut, areal untuk parkir kendaraan menjadi berkurang dan sering kali terjadi kemacetan lalu lintas. Aspek sosial ekonomi yang timbul ialah munculnya sektor informal (kawasan PKL) yang tidak terencana di kawasan. Keadaan tersebut membutuhkan arahan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan waterfront yang terintegrasi.

Berdasarkan berbagai permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:

1. Bagaimana perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan di Kota Ternate sebelum (2001) dan sesudah (2010) pengembangan waterfront? 2. Bagaimana perubahan hierarki wilayah Kota Ternate setelah pengembangan

waterfront?

3. Bagaimana perkembangan eksisting sebaran dan ketersediaan infrastruktur perkotaan dapat melayani standar kebutuhan masyarakat?

4. Bagaimana prediksi kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan?

5. Bagaimana arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menilai perkembangan Kota Ternate dalam kurun waktu sebelum dan sesudah pengembangan kawasan waterfront ditinjau dari aspek infrastruktur untuk perencanaan wilayah. Secara lebih detil dapat dijabarkan dalam sub tujuan sebagai berikut :

(26)

2. Menganalisis perubahan hierarki wilayah berdasarkan karakteristik wilayah yang dimiliki setelah pengembangan waterfront.

3. Melakukan pemetaan sebaran dan ketersediaan infrastruktur eksisting di Kota Ternate.

4. Memprediksikan kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan.

5. Menyusun arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :

1. Memberikan kontribusi data spasial ketersediaan infrastruktur perkotaan. 2. Memberikan arahan perencanaan infrastruktur perkotaan hingga 20 tahun

mendatang (2032).

3. Memberikan pemikiran serta kajian ilmiah pada konsep infrastruktur perkotaan dan waterfront city.

4. Memberikan arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur perkotaan kepada Pemerintah Daerah dalam merancang konsep kebijakan pengelolaan kelayakan infrastruktur yang berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran

Perkembangan Kota Ternate dapat diidentifikasi dari perubahan spasial kota sebelum (tahun 2001) dan setelah pengembangan kawasan waterfront (tahun 2010). Ini menandakan bahwa pengembangan kawasan waterfront menjadi tolak ukur terhadap perkembangan kota. Pengembangan kawasan waterfront dilakukan dengan cara reklamasi pantai guna mendapatkan lahan/daratan baru. Kawasan waterfront yang berada di kawasan pesisir menyebabkan perubahan spasial kota yang dapat dianalisis dari parameter garis pantai dan penggunaan lahan.

(27)

aksesibilitas dan ketersediaan infrastruktur. Wilayah-wilayah yang termasuk kategori hierarki 1 merupakan pusat pelayanan kota, wilayah dengan kategori hierarki 2 berarti masih bergantung pada wilayah hierarki 1, sedangkan wilayah dengan kategori hierarki 3 merupakan wilayah belakang (hinterland). Untuk itu, analisis skalogram digunakan dalam menentukan hierarki wilayah.

Ketersediaan infrastruktur yang dianalisis meliputi infrastruktur fisik, infrastruktur sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau. Ketiga jenis infrastruktur tersebut dianalisis sebaran dan ketersediaannya guna menyediakan data spasial ketersediaan infrastruktur perkotaan dan mengetahui cakupan pelayanan infrastruktur kepada masyarakat. Cakupan pelayanan infrastruktur berkorelasi dengan jumlah penduduk dan akses pencapaian. Untuk menganalisis sebaran dan ketersediaan infrastruktur, maka digunakan analisis spasial (SIG) untuk menentukan jarak dan wilayah pelayanan. Selain itu dilakukan prediksi kebutuhan infrastruktur guna perencanaan hingga 20 tahun mendatang (2032), berdasarkan proyeksi jumlah penduduk.

(28)

Infrastruktur Fisik

Infrastruktur Sosial & Ekonomi

Prediksi Kebutuhan Infrastruktur hingga tahun 2032

Alternatif Arahan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur di Kota Ternate

Analisis Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hierarki Wilayah

Sebaran & Ketersediaan Infrastruktur Perubahan Spasial

Kota

Hierarki I (Pusat Pelayanan)

Infrastruktur Hijau Hierarki II

Hierarki III (Wilayah Belakang/

hinterland)

Jumlah Penduduk

Akses Pencapaian Perubahan Garis

Pantai

Perubahan Penggunaan Lahan Sebelum Pengembangan

Kawasan Waterfront (sebelum tahun 2001)

Setelah Pengembangan Kawasan Waterfront (setelah tahun 2010)

Pengembangan Wilayah Kota Ternate

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

9

(29)

Urbanisasi secara harfiah berarti pengkotaan, yaitu proses menjadi kota (Pontoh dan Kustiawan, 2008). Urbanisasi dipahami secara umum sebagai proses menjadi kawasan perkotaan, migrasi masuk kota, perubahan pekerjaan dari bertani berubah menjadi non-petani, dan juga menyangkut perubahan pola perilaku manusia (Daldjoeni, 1987 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Pengkotaan juga dapat diterapkan pada suatu negara, sehingga dapat meningkatkan proporsi penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan.

Faktor-faktor pendorong terjadinya urbanisasi dapat ditinjau dalam beberapa perspektif, yaitu kemajuan di bidang pertanian, industrialisasi, potensi pasar, peningkatan kegiatan pelayanan, kemajuan transportasi, tarikan sosial dan kultural, kemajuan pendidikan dan pertumbuhan penduduk alami (Hammond, 1979 diacu dalam Rustiadi et al., 2009). Alasan penduduk melakukan migrasi dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang berkaitan dengan alasan pekerjaan ataupun alasan non ekonomi yang berkaiatan dengan sosial, budaya, pendidikan, politik dan keamanan.

Ditinjau dari aspek demografis, urbanisasi yang diartikan sebagai mengalirnya penduduk dari desa ke kota yang disebabkan oleh adanya perbedaan signifikan tingkat kehidupan antara desa dan kota. Dalam konteks ini, para pakar mengidentifikasikan faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors) yang berkaitan dengan bangkitan urbanisasi (Khairuddin, 1992 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008).

(30)

dan pemanfaatan waktu luang, dan bagi orang-orang atau kelompok tertentu di kota memberikan kesempatan untuk menghindari diri dari kontrol sosial yang ketat.

Analisis hubungan keterkaitan antara urbanisasi dengan pembangunan ekonomi menurut ahli ekonomi dan sosial dapat ditinjau dari dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan peran urbanisasi terhadap pembangunan ekonomi dan aspek kedua tentang pengaruh dari pembangunan ekonomi terhadap urbanisasi (Sukirno, 1985 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Kedua aspek analisis tersebut menunjukkan bahwa diantara urbanisasi dan pembangunan ekonomi terdapat hubungan sebab akibat yang timbal balik sifatnya, dimana pembangunan ekonomi dapat mempercepat proses urbanisasi dan sebaliknya proses urbanisasi dapat pula mempercepat proses pembangunan ekonomi.

Lebih lanjut menurut Sukirno (1985), faktor yang bersifat ekonomi merupakan penyebab terpenting dari timbulnya urbanisasi dan perkembangan kota. Pembangunan ekonomi akan diikuti oleh perombakan dalam corak kegiatan ekonomi, dimana semakin maju suatu kegiatan ekonomi, maka semakin penting peranan kegiatan industri dan perdagangan. Perkembangan tersebut selanjutnya akan menghasilkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut.

Urbanisasi timbul oleh adanya usaha untuk mempertinggi efisiensi kegiatan tukar menukar, karena usaha tersebut akan mengembangkan pusat-pusat perdagangan yang nantinya dapat berfungsi sebagai tempat pengumpulan barang produksi suatu wilayah yang akan dipersiapkan untuk didistribusikan ke wilayah lainnya. Untuk menjamin kelancaran usaha pengumpulan dan pendistribusian barang oleh pusat-pusat perdagangan tersebut, maka secara tidak langsung akan berkembang pula kegiatan-kegiatan yang merupakan suplemen/tambahan dari kegiatan perdagangan seperti kegiatan pengangkutan, komunikasi, dan badan-badan keuangan. Perkembangan dari berbagai kegiatan tersebut mendorong orang untuk berpindah ke kota-kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dalam suatu wilayah tertentu.

(31)

modal, perkembangan penduduk dan teknologi. Sejarah pembangunan di negara maju menunjukkan bahwa perkembangan teknologi memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan faktor tersebut dianggap lebih penting dari pada faktor lainnya. Implikasi dari keadaan ini bahwa kemajuan dalam teknologi sangat berpengaruh terhadap penyebaran kegiatan ekonomi diantara kawasan pedesaan dan perkotaan, yakni kemajuan teknologi menyebabkan kegiatan ekonomi lebih dominan dilakukan di perkotaan.

Sementara untuk kasus di negara-negara berkembang, kecepatan urbanisasi jauh lebih besar dibandingkan dengan faktor kemajuan teknologi maupun pembentukan modal. Secara spasial, proses urbanisasi ini tidak berlangsung secara merata di semua ukuran kota, tapi hanya terkonsentrasi di kota-kota besar atau kota-kota utama saja sehingga menimbulkan fenomena primate city (kota yang tidak proporsional dalam sistem hierarki perkotaan).

Pertumbuhan penduduk perkotaan yang kian pesat berdampak pada kebutuhan sarana dan prasarana/infrastruktur perkotaan (urban infrastructure). Penduduk kota dipandang dalam konteks permintaan (demand), sedangkan penyediaan infrastruktur kota merupakan penawaran (suplly) (Adisasmita dan Sakti, 2010). Dalam pembangunan perkotaan yang berkesinambungan, maka sisi permintaan dan sisi penawaran harus diupayakan mencapai titik keseimbangan, sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang berujung pada terjadinya kelangkaan ataupun kesulitan dalam pelayanan terhadap masyarakat.

Kegagalan dalam meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan menjadi penyebab utama dari masalah kota-kota di negara berkembang. Dalam laporan The UN Centre for Human Settlements (1986 diacu dalam Sadyohutomo, 2008), dinyatakan bahwa sekitar 30% dari populasi perkotaan di negara berkembang tidak memiliki akses terhadap penyediaan air bersih, dan populasi sekitar 40%-50% hidup di perumahan kumuh dan perkampungan.

(32)

dengan mudah atau dalam jumlah yang cukup pelayanannya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan atau untuk melaksanakan kegiatannya.

Suatu kota yang memiliki ketersediaan infrastruktur yang lengkap, berarti memiliki tingkat kemudahan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kota tersebut memberikan peluang bagi kegiatan usaha untuk mendapatkan keuntungan dan penghematan eksternal (external economies) secara berkesinambungan. Oleh karena itu terdapat kecenderungan manusia (terutama pengusaha dan pemilik modal) untuk berpindah tempat tinggal guna menempatkan kegiatan usahanya (membawa modal, ketrampilan dan pengalamannya) ke suatu tempat (kota) yang memiliki tingkat kemudahan tinggi, sehingga memberikan keuntungan yang tinggi dan keberhasilan bagi usahanya. Dengan demikian tingkat kemudahan merupakan faktor penentu lokasi kegiatan (usaha).

Dalam hal migrasi penduduk ke kota (urbanisasi), manusia cenderung meninggalkan tempat bermukim asal dan berpindah ke tempat permukimannya yang baru karena di tempat baru tersebut memberikan peluang lapangan kerja, peningkatan pendapatan, pengembangan bakat, dan menikmati kehidupan yang lebih baik. Semua peluang tersebut merupakan daya tarik perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau dari kota-kota kecil ke kota-kota yang lebih besar. Kota sebagai wadah konsentrasi permukiman penduduk dan berbagai kegiatan produktif (ekonomi dan sosial) merupakan kutub daya tarik (pole of attraction) (Adisasmita, 1988 diacu dalam Adisasmita dan Sakti, 2010).

Perkembangan Kota Tepian Air (Waterfront City)

(33)

tempat alam yang masih asli, tetapi telah dipengaruhi oleh transformasi dari waktu ke waktu.

Lebih lanjut Bunce dan Desfor (2007) menambahkan bahwa sejarah perkembangan kota tepian air telah menunjukkan seluk-beluk hubungan antara masyarakat dan alam, tetapi yang lebih penting bahwa komponen pembentuk alam tersebut terus-menerus dikembangkan melalui proses sosial. Alam diejawantahkan sebagai komponen integral dari hubungan kekuasaan dan produksi ekonomi di kota tepian air.

Pendekatan pembangunan waterfront memiliki jangkaun luas, mulai dari konservasi, revitalisasi, atau penataan ulang hingga reklamasi kawasan laut. Waterfront berdasarkan tipe proyeknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development) (Soesanti dan Sastrawan, 2006 diacu dalam Nurfaida, 2009). Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Redevelopment merupakan upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada. Development adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai.

Awalnya konsep pengembangan waterfront merupakan inovasi Amerika Serikat. Konsep tersebut sebagai bentuk redesign kawasan Baltimore dalam mengatasi kebangkrutan yang dialami kota-kota besar akibat resesi ekonomi pada tahun 1970an. Strategi pengembangan kawasan perkotaan tersebut secara tidak langsung dijadikan sebagai solusi untuk memperbaiki pengkumuhan kota-kota besar yang mengkhawatirkan di Amerika Utara.

(34)

ekonomi, keberlanjutan, dan menjaga kesejahteraan masyarakat, dapat ditingkatkan menjadi pendekatan global yang sangat penting dengan semboyan peningkatan efektifitas dan kreatifitas.

Era kota pantai (waterfront city) telah melewati dua tahap, yaitu tahap pertama (1960-1990) dengan program revitalisasi pantai dirancang untuk mengejar tujuan-tujuan penting bagi pengambilan keputusan lokal dalam menjamin pertumbuhan ekonomi dan tahap kedua sebagai bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi mengedepankan pekerjaan dan produk bruto per kapita (PDB), sedangkan konsep pembangunan berkelanjutan yang diadopsi oleh komunitas internasional (UNCED), ditunjukkan sebagai tujuan akhir penilaian revitalisasi pantai yang terintegrasi dengan program pembangunan. Relevansi dari revitalisasi pantai untuk pengelolaan kawasan pesisir telah menjadi isu utama karena manajemen terpadu yang telah diklaim oleh Agenda 21 sebagai alat untuk mengejar pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau (Vallega, 2001). Merujuk pada pendekatan pembangunan berkelanjutan, banyak kota-kota pantai telah menemukan karakteristik dalam menghadapi pilihan dasar, antara merencanakan dan mengelola pantai berdasarkan kriteria konvensional, atau merancang rencana pembangunan dimana tepi pantai adalah komponen inti dari pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.

Perkembangan kota pantai (waterfront city) di Indonesia dipengaruhi oleh kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara di masa silam dengan kegiatan utama adalah perdagangan, jasa dan pusat pemerintahan. Karakteristik tersebut menjadikan wilayah pesisir sebagai elemen utama yang berperan penting dalam perkembangan kota. Oleh sebab itu, kota-kota pantai di Indonesia memiliki unsur historikal dan budaya yang kuat dalam pengembangan kawasan pesisir.

Karakteristik pantai dan pengaruhnya dalam perkembangan kawasan kota pantai di Indonesia menurut Hantoro (2001 diacu dalam Mulyandari, 2011), antara lain :

(35)

dengan komponen gerak tegaknya. Jenis batuan menentukan kestabilan pantai dan kemampuan bertahan dari terjangan laut dan cuaca.

b. Di perairan yang stabil tanpa gejala geologi endogen, di bagian yang mengalami pengaruh kuat perubahan paras muka laut, di pesisir dan di pantai, pembentukan bentang alam lebih dipengaruhi oleh gejala cuaca (erosi) dan laut (erosi dan sedimentasi).

c. Pantai yang menghadap perairan terbuka dengan agitasi kuat memiliki kota pantai yang berkembang di rataan pasir pantai, berawal dari permukiman dan pelabuhan sebagai bandar niaga di muara sungai. Pemilihan muara di bentang manapun sebagai awal permukiman sangat umum dijumpai di Indonesia, di daratan alluvial, di kaki gunung pulau volkanik, di pesisir perairan paparan tepian kontinen atau di pantai dataran limpahan banjir.

d. Kota pantai tumbuh dan berkembang sesuai status dan fungsinya dari waktu ke waktu melalui beberapa periode masa penjajahan dan kemudian masa setelah kemerdekaan. Perkembangan luas kota yang berstatus kota pusat pemerintahan terlihat cenderung lebih pesat.

e. Perluasan permukiman mulai terasa sejak 30 tahun terakhir. Demikian halnya dengan sarana pelabuhan dan transportasi lain.

f. Sejumlah besar kota pantai berkembang pesat oleh peningkatan usaha ekonomi perniagaan, pertanian/perkebunan, dan industri, sementara mariekultur dan industri hilirnya hanya berkembang di beberapa kota pantai atau hanya sebagai suplemen kecil usaha ekonomi. Usaha ekonomi kelautan di segala bidang perlu untuk ditingkatkan misalnya industri rekayasa, budidaya dan tangkap, pengolahan, dan wisata.

g. Pertumbuhan kota-kota pantai akhir abad 20-an cenderung mengabaikan daya dukung lingkungan di sekelilingnya serta ancaman bencana yang berpotensi merusak. Keterbatasan ruang yang layak dikembangkan menyebabkan perluasan merambah lingkungan pantai yang seharusnya dipertahankan sebagai penyangga (buffer).

(36)

fenomena tersebut harus diperhitungkan sebagai potensi alam dalam upaya mempertahankan kelestarian lingkungan kota pantai.

i. Jenis ancaman bencana pada kota-kota pantai beragam, bergantung pada fenomena alam misalnya ancaman abrasi pantai, gelombang tsunami maupun intrusi air laut.

Pertumbuhan Kota dalam Konsep Pengembangan Wilayah

Kota merupakan wadah berkelompok penduduk yang disertai dengan keragaman aktivitas ekonomi maupun sosial. Munculnya kota dalam peradaban manusia sudah sejak berabad-abad silam, yang awalnya sebagai tempat persinggahan pedagang, berkembang menjadi kelompok permukiman, kemudian terbentuk kota kecil, kota menengah hingga kota besar. Dimensi pertumbuhan kota merupakan keterkaitan yang bersifat multi disiplin. Masing-masing disiplin ilmu tersebut melingkupi bidang demografi, keteknikan, tata ruang, ekonomi, sosiologi dan sebagainya, memiliki cakupan objek bahasan, cara pandang, metode analisis tersendiri. Namun dalam rumusan teori pertumbuhan kota (urban growth theory), ternyata banyak menampilkan teori-teori pengembangan wilayah yang muncul dalam tahun 1930-an hingga tahun 1970-an (Adisasmita dan Sakti, 2010). Dalam pandangan Rondinelli (1985 diacu dalam Suhono, 2008), terdapat tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: (1) kutub pertumbuhan (growth pole); (2) integrasi fungsi (functional integration); dan (3) pendekatan desentralisasi wilayah (decentralized territorial approaches). Pembangunan setidaknya memuat tiga komponen dasar, yaitu kecukupan (sustainance) dalam pemenuhan kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih, yang dijadikan sebagai konsep dasar dan pedoman praktis dalam menterjemahkan pembangunan yang hakiki (Todaro, 2000 diacudalam Rustiadi et al., 2009).

(37)

industri-industri dan perusahan-perusahan besar akan mendistribusikan hasil-hasil pembangunan ke wilayah sekitarnya. Menurut Perroux (1949 diacu dalam Tarigan, 2006) dalam teori kutub pertumbuhan (growth pole), bahwa pertumbuhan itu tidak terjadi pada setiap wilayah, namun hanya terjadi pada wilayah tertentu yang memiliki industri pendorong.

Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara fungsional dan secara geografis (Tarigan, 2006). Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri karena adanya keterkaitan unsur-unsur sifat yang dinamis, sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di tempat tersebut dan adanya pemanfaatan fasilitas kota meskipun tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Selanjutnya Tarigan (2006) mengemukakan bahwa pusat pertumbuhan harus memiliki 4 (empat) ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya unsur pengganda (multiplier effect), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan ke daerah belakangnya (hinterland).

Konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia telah mengalami perkembangan dan koreksi untuk setiap periodenya (Djakapermana dan Djumantri, 2002 diacu dalam Djakapermana, 2010). Mulai dari pengembangan wilayah dengan pengembangan sektoral dan parsial pada era tahun 1960-an, kutub pertumbuhan (growth pole) yang lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur, regionalisasi dengan batas wilayah fungsional (fuctional regional) yaitu membagi wilayah Indonesia dengan satuan-satuan ekonomi, sampai dengan konsep pengembangan wilayah pada era tahun 2000-an dengan pendekatan lingkungan, khususnya dengan lahirnya Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang telah mengalami penyempurnaan dan diganti oleh Undang-undang No. 26 tahun 2007.

(38)

disusun atas dasar keinginan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan untuk mensejahterakan rakyat, dengan pertimbangan prinsip keberlanjutan, menjaga keserasian dan mencegah adanya kesenjangan baik antar pusat dan daerah, antar desa dan kota maupun antar wilayah/kawasan, menciptakan ruang yang nyaman, aman, produktif dan berkelanjutan, serta berbasis mitigasi bencana untuk meningkatkan keselamatan, kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Hal tersebut dapat direpresentasikan dengan pengaturan sistem pusat pertumbuhan (kota) dan sistem pengembangan wilayah secara merata dan berhierarkis.

Berdasarkan landasan undang-undang tersebut, menurut Djakapermana (2010), konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia adalah by legal dan empirikal harus mengikuti kaidah pendekatan yang bersifat gabungan ( mixed-concept). Mixed-concept melingkupi adanya struktur ruang yang terdiri dari pusat-pusat permukiman sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan sosial secara hierarki (growth pole) sebagai pusat yang akan memberikan penjalaran perkembangan dan jaringan infrastruktur wilayah. Jaringan infrastruktur dapat berupa media/alat untuk menjalarkannya yaitu jaringan transportasi, listrik, telepon, energi dan jaringan sumberdaya air, serta pola ruang yang terdiri dari pengaturan kawasan yang berfungsi lindung serta kawasan budidaya untuk kegiatan yang dapat meningkatkan produktivitas bagi tumbuh dan berkembangnya ekonomi wilayah dan kegiatan sosial.

Infrastruktur dan Hierarki Wilayah Perkotaan

Definisi infrastruktur sangat beragam dikalangan para ahli. Namun beberapa bahan acuan dapat digunakan untuk menterjemahkan pemahaman mengenai infrastruktur itu sendiri. Menurut Webster's New World Dictionary

infrastruktur adalah “substructure or underlying foundation on which the

(39)

yang membantu kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat dalam rangka penyediaan transportasi serta fasilitas pendukung lainnya.

World Bank (1994 diacu dalam Laras, 2011) membagi infrastruktur atas 3 (tiga) golongan yaitu :

1. Infastruktur ekonomi, merupakan pembangunan fisik yang menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (telekomunikasi, air bersih, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, irigasi, drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel kereta api, pelabuhan, lapangan terbang).

2. Infrastruktur sosial, merupakan infrastruktur yang mengarah kepada pembangunan manusia dan lingkungannya seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan rekreasi.

3. Infrastruktur administrasi, merupakan infrastruktur dalam bentuk penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.

Selain itu, Jacob et al. (1999 diacu dalam Pamungkas, 2009), membagi infrastruktur kedalam kategori infrastruktur dasar dan infrastruktur pelengkap, sebagai berikut :

1. Infrastruktur dasar (basic infrastructure) meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk sektor perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non-tradeable) dan tidak dapat dipisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan, kereta api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan dan sebagainya.

2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) berupa sarana dan prasarana penunjang dalam aktivitas ekonomi maupun sosial, diantaranya seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum.

(40)

pemanfaatan ruang, dalam skala wilayah yang dikenal dengan sistem kota atau orde kota berdasarkan skala pelayanannya.

Perkotaan berperan besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Hal ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi sekunder dan tersier serta fungsi pelayanan yang menimbulkan daya tarik bagi penduduk. Disisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta berpusatnya berbagai kegiatan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor yang menarik bagi kegiatan ekonomi/bisnis. Perkotaan memiliki nilai strategis, tidak hanya sebagai pemusatan penduduk tetapi juga sebagai pusat berbagai fungsi sosial-ekonomi-politik dan administrasi, serta berpotensi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional maupun regional.

Perkembangan wilayah perkotaan dapat diukur dari tingkat ketersediaan infrastruktur/fasilitas pelayanan yang ada. Perhitungan jumlah dan jenis sarana dan prasarana pelayanan (infrastruktur) yang ada pada suatu wilayah, dapat digunakan untuk mengukur hierarki perkembangan wilayah (Rustiadi et al., 2009). Teori tempat sentral (central place theory) mengemukakan bahwa dalam penentuan hierarki kota-kota dalam suatu wilayah dapat dilakukan dengan cara meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota (Christaller, 1933 diacudalam Sinulingga, 1999).

Suatu ciri umum dari daerah-daerah nodal menurut Christaller (1933 diacu dalam Sinulingga, 1999) adalah bahwa penduduk kota tidaklah tersebar secara merata diantara pusat yang sama besarnya, tetapi tersebar diantara pusat-pusat yang besarnya berbeda-beda dan secara keseluruhan membentuk suatu hierarki perkotaan (urban hierarchy). Penyebab dari perkembangan seperti ini adalah kurang efisiennya mensuplai barang-barang dan jasa-jasa tertentu di pusat-pusat kecil sedangkan barang-barang dan jasa-jasa lainnya lebih efisien jika disuplai di pusat-pusat yang lebih besar.

(41)

Pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya/hierarkinya melayani pusat-pusat yang lebih rendah hierarkinya, dan antara pusat-pusat yang hierarkinya sama tidak saling melayani.

Infrastruktur Fisik Infrastruktur Jaringan Jalan

Tata ruang kota dapat berkembang menjadi dinamis, karena adanya jaringan jalan. Hal ini serupa dengan pandangan Sinulingga (1999), bahwa jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang membentuk struktur tata ruang kota. Semua elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung berkaitan dengan jaringan jalan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 tahun 1985 tentang jalan, menegaskan bahwa pengadaan jalan diselenggarakan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan yang terkoneksi ke pusat-pusat produksi serta jalan-jalan yang menghubungkan ke wilayah pemasarannya. Jaringan jalan dibangun secara hierarki dimulai dari jenjang terendah yang bersifat lokal/lingkungan hingga ke jenjang wilayah berhubungan satu dengan lainnya (Rachmawati, 2011).

Sebagai komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah, sistem jaringan jalan berperan memperlancar kegiatan aliran barang, orang dan jasa, sehingga secara langsung akan menurunkan biaya produksi (Djakapermana, 2010). Pada gilirannya wilayah akan berkembang secara ekonomis. Breheny (1995 diacu dalam Djakapermana, 2010), mengemukakan bahwa transportasi khususnya jaringan jalan sangat berkontribusi terhadap pertumbuhan kegiatan ekonomi wilayah. Kegiatan pembangunan transportasi akan mendorong dan mempromosikan kegiatan ekonomi yang kompetitif.

(42)

menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder ke satu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

Hierarki jaringan jalan sistem primer dan sistem sekunder dapat diklasifikasi berdasarkan fungsi menjadi jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal.

Jalan Arteri

Berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 1980, jalan arteri berada pada setiap kota yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan agak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Jalan arteri di perkotaan dapat dibagi ke dalam fungsi primer dan fungsi sekunder. Dimensi jalan arteri dengan jalur lambat disajikan pada Gambar 2.

Jalan arteri primer menghubungkan kota orde pertama dengan kota orde pertama lainnya yang berdampingan atau kota orde pertama dengan kota orde kedua (PP No.26 tahun 1985). Jalan arteri primer hanya terdapat pada kota orde pertama dan kota orde kedua dari suatu Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Di dalam kota, jalan arteri primer akan melalui fungsi-fungsi kota yang bersifat primer seperti pergudangan, perindustrian, ekspor ataupun pelabuhan. Beberapa persyaratan dari jalan arteri primer adalah sebagai berikut :

a. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.

b. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.

c. Pada jalan arteri primer, lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang-alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal.

d. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien dan didesain sedemikian rupa sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b) masih tetap terpenuhi.

e. Persimpangan jalan arteri primer, dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b).

(43)

Dalam sistem sekunder maka jaringan arteri sekunder adalah jalan yang menghubungkan pusat kota dengan pusat bagian wilayah kota, pusat bagian wilayah kota dengan bagian wilayah kota lainnya serta menghubungkan pusat kota dengan kawasan primer atau kawasan yang berfungsi melayani regional. Sesuai dengan PP No. 26 tahun 1985 persyaratan untuk jalan arteri sekunder adalah :

a. Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.

b. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.

c. Pada jalana arteri sekunder, lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.

d. Persimpangan pada jalan arteri sekunder, dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b).

Gambar 2. Dimensi Jalan Arteri dengan Jalur Lambat Sumber : Sinulingga (1999)

Jalan Kolektor

(44)

Untuk sistem primer, jalan kolektor primer menghubungkan kota orde kedua dengan kota orde kedua lainnya dan menghubungkan kota orde kedua dan kota orde ketiga. Adapun persyaratan jalan kolektor primer adalah :

a. Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.

b. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.

c. Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b) masih tetap terpenuhi.

d. Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki kota.

Pada jaringan jalan sistem sekunder, jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat sub bagian wilayah kota. Persyaratan dari jalan kolektor sekunder ialah didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.

Gambar 3. Penampang Jalan Kolektor Kawasan Permukiman Sumber : Sinulingga (1999)

Jalan Lokal

Dalam sistem primer hierarki jaringan jalan, jalan lokal primer merupakan jalan yang menghubungkan pusat kota dari orde pertama, orde kedua, dengan persil-persil pada kawasan yang berfungsi regional. Jalan lokal primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan paling kurang 6 meter.

(45)

pusat sub bagian wilayah kota dengan perumahan yang terdekat pada masing-masing pusat tersebut. Jalan lokal sekunder dirancang berdasarkan kegiatan rencana paling rendah 10 km/jam dan lebar jalan tidak kurang dari 5 meter.

Infrastruktur Air Bersih

Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi penduduk kota, sehingga ketersediaannya menentukan derajat kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Pada kenyataannya, keterbatasan penyediaan air bersih erat kaitannya dengan penyebab kemiskinan, karena kemiskinan juga disebabkan oleh masalah kesehatan. Oleh karena itu, penyediaan jaringan air bersih terutama pada permukiman miskin padat penduduk sangat penting untuk ikut memecahkan masalah kemiskinan. Realita di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat miskin yang tidak terjangkau PDAM harus membeli air bersih secara eceran yang harganya jauh lebih mahal dibanding masyarakat yang memperoleh akses air bersih dari PDAM.

Untuk dapat dijadikan sebagai air minum, maka air harus memenuhi persyaratan fisik diantaranya ialah tidak memeberi rasa, tidak berwarna, tidak berbau, suhu di antara 20°-25° C. Selain itu ada juga persyaratan khusus yaitu kondisi biologi dan kimia, dimana air hanya mengandung kadar besi dan asam arang dalam jumlah tertentu, mengadung soda flour untuk kesehatan gigi, mengandung yodium untuk mencegah gondok, serta tidak boleh mengandung bakteri patogen (penyebab penyakit) (Sinulingga, 1999). Syarat-syarat tersebut diatas haruslah dipenuhi dan apabila air yang tersedia belum dapat memenuhi persyaratan yang ada, maka harus diupayakan melalui suatu proses pengolahan sehingga kualitas air tersebut dapat layak untuk dikonsumsi. Gambar 4 menunjukkan proses pengolahan air.

(46)

Sumber utama air bersih bagi penduduk pedesaan dan perkotaan berbeda. Bagi penduduk pedesaan, air sumber atau air tanah dangkal hanya diperoleh dengan membuat sumur cukup sehat untuk langsung digunakan untuk memasak dan mencuci. Sementara untuk penduduk perkotaan yang padat, air tanah dangkal sudah diragukan kebersihannya karena kemungkinan tercemar septictank dan limbah rumah tangga. Apabila air tanah dangkal sudah tercemar, maka dilakukan upaya pemanfaatan air tanah dalam (aquifer). Air tanah dalam kualitasnya lebih baik dari air tanah dangkal apabila belum terjangkau pencemaran dari lapisan tanah atasnya. Pemompaan air tanah dalam perlu diatur karena berdampak terhadap kestabilan lapisan tanah yang berisi air tersebut. Jika aquifer diambil secara berlebihan dapat berdampak pada penurunan lapisan permukaan tanah atau intrusi air laut ke dalam aquifer tersebut.

Air bersih dibutuhkan bagi makhluk hidup sangat bervariasi tergantung pada berat dan besar tubuh, besarnya penguapan, dan cuaca (Soma, 2011a). Menurut Al-Layla (1978 diacu dalam Soma, 2011a), penggunaan air di berbagai kota dan negara sangat bervariasi bergantung pada faktor jumlah penduduk, keadaan cuaca, kebiasaan dan cara hidup, fasilitas perpipaan (plumbing) yang dimiliki oleh pelanggan, sistem air limbah (sewerage) komunal yang tersedia, jumlah industri yang membutuhkan pasokan, serta besarnya pajak yang dikenakan untuk setiap pengambilan air.

Standar kebutuhan air untuk kota-kota di Indonesia menurut Departemen Pekerjaan Umum dibedakan berdasarkan kategori kota dan besarnya jumlah penduduk (Soma, 2011a). Hal tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Air untuk Kategori Kota

No Kategori Kota Jumlah Penduduk

(jiwa) Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (2007)

Gambar

Tabel 2. Klasifikasi Sampah menurut Ditjen Cipta Karya
Gambar 9. Lokasi Penelitian
Tabel 3. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Hasil
Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oral care during pregnancy: Dentists knowledge, attitude and behaviour in treating pregnant patients at dental clinics of Bengaluru, India.. Journal of Pierre

Himpunan kasar ( rough sets ) pertama kali diperkenalkan oleh Zdzislaw Pawlak dari Warsaw University of Technology di Polandia pada tahun 1982 sebagai suatu

Tabel menunjukan hasil koefisien jalur pengaruh pengaruh kepuasan kerja dan disiplin Kerja dan komitmen terhadap kinerja karyawan pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat

c) Hukumanan tindak pidana korupsi adalah ta’zir , yaitu disesuaikan dengan keputusan hakim. Hukumanan berupa ta’zir ini bisa lebih berat mengingat korupsi membawa

Ketika melarutkan dalam atau mencampurkan dengan bahan lain dan di bawah kondisi yang menyimpang dari kondisi dari yang disebutkan dalam EN374 silahkan hubungi suplier sarung

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran bullying terhadap suicidal idetion atau ide bunuh diri pada remaja SMA/Sederajat yang sedang menjadi korban

Structured content : sebagai alat untuk  klasifikasi dan kategori halaman web  tak terstruktur dan untuk membuat  workflow systems  sederhana. 9.

Ini disebabkan penggunaan konsentrator mampu meningkatkan intensitas radiasi yang masuk ke kolektor sehingga fluks kalor yang diserap absorber akan meningkat dan