• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 dan F2 Simental Serta Hubungannya dengan Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron Pada Dataran Tinggi Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 dan F2 Simental Serta Hubungannya dengan Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron Pada Dataran Tinggi Sumatera Barat"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERSILANGAN

F1 DAN F2 SIMENTAL SERTA HUBUNGANNYA

DENGAN KADAR HORMON ESTROGEN DAN

PROGESTERON PADA DATARAN TINGGI

SUMATERA BARAT

YANHENDRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “ Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 dan F2 Simental serta Hubungannya dengan Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron pada Dataran Tinggi Sumatera Barat” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 13 Agustus 2007

(3)

ABSTRAK

YANHENDRI. Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 dan F2 Simental serta Hubungannya dengan Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron Pada Dataran Tinggi Sumatera Barat.Dibimbing oleh TUTY LASWARDI YUSUF dan MOHAMAD AGUS SETIADI.

Upaya peningkatan kemampuan produksi sapi lokal PO sebagai sapi Bos indicus telah dilakukan melalui persilangan dengan sapi Bos taurus salah satunya adalah Simental. Hasil persilangan mempunyai performan yang sangat baik dan disukai masyarakat, sehingga kandungan darah Simental terus ditingkatkan melalui metode Back cross. Kemampuan reproduksi ternak selain dipengaruhi faktor genetik juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan terutama temperatur, pakan dan pemeliharaan. Lingkungan juga akan mempengaruhi level hormon estrogen dan progesteron sebagai hormon utama pada saat estrus dan terjadinya kebuntingan. Daya dukung lingkungan tropis akan berkurang terhadap sapi persilangan Simental seiring dengan peningkatan kandungan darah sapi tersebut pada sapi lokal. Sejauh ini sangat sedikit laporan mengenai kemampuan reproduksi sapi persilangan Simental, sehingga penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi efisiensi reproduksi, mengevaluasi intensitas estrus dan tingkat kebuntingan serta mengevaluasi level hormon estrogen dan progeteron sapi persilangan F1 dan F2 Simental.

Sebanyak 40 ekor sapi digunakan untuk mengevaluasi intensitas estrus dan tingkat kebuntingan, masing-masing 13 ekor F1 Simental 17 ekor F2 Simental dan 10 ekor lokal PO sebagai kontrol. Intensitas estrus yang diukur meliputi perubahan tingkah laku, perubahan vulva, cairan serviks dan ereksi uterus. Juga dilakukan pengukuran estrus dengan heat detector, kemudian sapi-sapi ini diinseminasi. Sebanyak 27 ekor sapi bersiklus normal digunakan untuk mengetahui kadar hormon estrogen dan progesteron, masing-masing 9 ekor untuk ketiga bangsa sapi. Pengambilan sampel darah untuk mengetahui kadar estrogen dilakukan sehari sebelum estrus, pada saat estrus dan inseminasi dan sehari setelah estrus, level progesteron pada hari ke 12, 21 dan 24 setelah inseminasi. Selain pengamatan, juga digunakan metode survei untuk mengetahui kemampuan reproduksi pada 268 ekor sapi yang terdiri dari 100 ekor F1 Simental, 100 ekor F2 Simental dan 68 ekor sapi lokal PO sebagai kontrol. Data survei meliputi service perconception (S/C) dara, estrus setelah melahirkan, waktu kawin setelah melahirkan, S/C induk serta calving interval (CI).

(4)

demikian ketiga bangsa sapi mampu memunculkan gejala estrus yang jelas. Dari korelasi kadar estrogen dengan intensitas estrus, terlihat bahwa korelasi yang nyata (P<0,05) pada ketiga bangsa sapi (r=0,91) hanya pada ereksi uterus. Korelasi yang lebih baik juga terlihat pada perubahan vulva dan lendir serviks, namun korelasinya agak rendah pada F2 Simental. Kadar hormon progesteron pada ketiga bangsa sapi cukup baik, kadarnya hari ke 21 dan ke 24 lebih dari 6 ng/ml. Pada penelitian ini terlihat bahwa Sapi PO bunting apabila kadar progesteron ≥ 7,41 ng/ml, F1 Simental ≥ 6,13 ng/ml dan F2 Simental ≥ 3,96 ng/ml. Sapi PO tidak bunting apabila kadar progesteron ≤ 1,02 ng/ml, F1 Simental 2,79 ng/ml dan F2 Simental 0,33 ng/ml. Kadar progesteron pada hari ke 12 tidak mencerminkan keterkaitan dengan kebuntingan. Dari penelitian ini terlihat bahwa untuk menentukan kebuntingan dini dapat digunakan analisa kadar progesteron hari ke 21 dan hari ke 24. Hasil pengukuran heat detector menunjukkan bahwa perkawinan dengan mengacu kepada aturan pelaksanaan perkawinan 8 sampai 10 jam setelah onset estrus, ternyata relatif agak terlambat dan terjadi sebesar 90% pada PO, 77% pada F1 dan 65% pada F2. Tingkat kebuntingan F1 Simental lebih baik (62%) dibandingkan PO (40%) maupun F2 Simental (41%) dan mempunyai korelasi yang nyata (P<0,05) dengan kadar progesteron pada hari ke 21 dan 24 setelah inseminasi. Kemampuan reproduksi sapi F1 Simental cenderung lebih baik terutama dilihat dari nilai service perconception (S/C) induk yaitu 1,93±0,86 dibandingkan F2 Simental 2,52±0,72 dan PO 1,93±0,98, maupun dilihat dari nilai calving interval (CI) yaitu 15,96±2,33 bulan dibandingkan F2 Simental 17,86±3,37 bulan dan PO 16,97±2,34 bulan. Secara umum terlihat bahwa penampilan reproduksi pada F1 Simental lebih baik dari F2 Simental dan PO.

(5)

ABSTRACT

YANHENDRI. Reproductive Performance of F1 and F2 Simmental Cross Cows and Its Relationship with Estrogen and Progesteron Levels at West Sumatera Highland. Under the direction of TUTY LASWARDI YUSUF and MOHAMAD AGUS SETIADI.

The local PO is Bos indicus cattle and widely spread in Indonesia including in West Sumatera. To increase production of local PO, it has been done by crossing with Bos Taurus cattle, such as Simmnental. The result of those crossing is F1 (PO x Simmental) have a good performance and very popular. Furthermore to increase F1 Simmental performance, it has been done by back crossing method with Simmental. However the reproductive performance of offspring (F2) have not been yet studied. It is known that the reproductive ability is also influenced by several factors such as environmental temperature, nutrition and management. The aim of this study was to evaluat the reproductive performance by measuring estrous intensity and pregnancy rate and measuring two main reproductive hormones such as estrogen and progesteron on F1 Simmental, F2 Simmental and PO.

Forty cattle were used to evaluate estrus intensity and pregnancy rate, consisting of 13 F1 Simmental, 17 F2 Simmental and 10 PO respectively. Estrous intensity is measured based on behavior changing, vulva changing, number of cervical mucus and uterine erection by rectal palpation. Heat detector was used to determine a fix time for Airtificial Insemination (AI). Estrogen and progesteron level were measured on 27 cows, consisting of 9 F1 Simmental, 9 F2 Simmental and 9 PO respectively. Blood sample for estrogen analysis were collected one day before and after estrus, and on day of estrus. Whereas progesteron level were collected on day 12, 21 and 24 after AI. Hormonal analysis was done by RIA method. Reproductive ability of 268 cows consisting of 100 F1 Simmental, 100 F2 Simmnetal and 68 PO respectively were obtained by questioner.

(6)

F1 Simmental compared with F2 Simmental (41%) and PO (40%) and high correlation with progesteron levels on day 21 and 24 after AI. Therefore progesteron level measurement on day 21 and 24 can be used for early pregnancy diagnosis. The reproductive ability of F1 Simmental based on S/C is better (1,93±0,86) than F2 Simmental (2,52±0,72) and PO (1,93±0,90), moreever the CI also better in F1 (15,96±2,33 mth) than F2 Simmental (17,86±3,37 mth) and PO (16,97±2,34 mth). In conclusion, the reproductive performance of F1 Simmental is better than F2 Simmental and PO.

(7)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(8)

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERSILANGAN

F1 DAN F2 SIMENTAL SERTA HUBUNGANNYA DENGAN

KADAR HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON PADA

DATARAN TINGGI SUMATERA BARAT

YANHENDRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Pada

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(9)

Judul Thesis : Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 dan F2 Simental Serta Hubungannya dengan Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron Pada Dataran Tinggi Sumatera Barat.

Nama Mahasiswa : Yanhendri

NIM : B.051050021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, MS. Dr.drh. Mohamad Agus Setiadi Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Reproduksi

Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisans tesis ini dengan baik. Tesis ini memuat hasil penelitian tentang penampilan reproduksi sapi persilangan F1 dan F2 Simental serta hubungannya dengan kadar kormon estrogen dan progesteron pada dataran tinggi Sumatera Barat, untuk selanjutnya diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar master pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penyelesaian tugas ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Ibu Dr. drh. Tuty L.Yusuf, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr.drh. Mohamad Agus Setiadi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan secara ikhlas dan penuh perhatian semenjak penulis diterima pada Program Studi Biologi Reproduksi hingga pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. Kepada seluruh staf Sekolah Pascasarjana, Program Studi Biologi Reproduksi, Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor serta Laboratorium Isotop dan Radio Aktif Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, penulis menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan dan izin penggunaan alat dan bahan selama penulis melakukan penelitian.

(12)

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir Rudy Priyanto dan keluarga, Drs. Andriwifa, M.Si dan keluarga atas perhatiannya selama penulis menyelesaikan studi ini. Kepada teman seperjuangan, Ni Luh Gde Sumardhani S.Pt, Rosa Helmita S.Si, drh. Erma Najmiati, drh. Madi Hartono, M.P, Drs. Hurip Pratomo, MSi serta semua rekan-rekan mahasiswa Biologi Reproduksi atas kerjasama yang baik selama kita bersama-sama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

Kepada Papa, Mama dan mertua serta segenap keluarga di Bukittinggi, Padang dan Jakarta, penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga atas doa serta bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan di Bogor. Akhirnya kepada istri saya yang tercinta Drg. Mardiah Faisal serta putra-putri saya yang tersayang, Fasya Mahira Thahani dan Javier Zahran, tesis ini papa persembahkan sebagai buah pengorbanan yang telah kalian berikan.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi saya sendiri tetapi juga bagi pihak terkait dan masyarakat luas dalam rangka perbaikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta peningkatan kwalitas ternak sapi potong.

Bogor, Agustus 2007

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 15 Maret 1968 dari pasangan bapak Basri dan ibu Syahiyar Latief. Penulis merupakan putra pertama dari enam bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bukittinggi dan pada tahun yang sama lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru pada Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang dan menyelesaikan pendidikan tahun 1992. Semenjak tahun 1994 penulis bekerja pada Direktorat Jendral Peternakan dan ditempatkan di Balai Pembibitan Ternak Unggul Padang Mengatas, Payakumbuh Sumatera Barat.

(14)

DAFTAR ISI

Gambaran Hormon Siklus Reproduksi dan Kebuntingan……… 21

(15)

Pengukuran Heat Detector………. ………….. 43

Kadar Hormon Estrogen dan Progesteron……… 45

Kadar Estroen……….. 45

Kadar Progesteron……….. 48

Tingkat Kebuntingan……….. 52

Hubungan Intensitas Estrus dengan Kadar Estrogen… 54 Kemempuan Reproduksi………. 57

Service Perconception (S/C) Dara……… 57

Estrus Setelah Beranak……… 58

Waktu Kawin Setelah Beranak……….. 60

Service Perconception (S/C) Induk……….. 60

Calving Interval (CI)………. 61

PEMBAHASAN UMUM………. 63

SIMPULAN DAN SARAN………. 66

DAFTAR PUSTAKA.………. 67

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria penilaian intensitas estrus……… 33

2 Kriteria penilaian pengukuran heat detector……… 34

3 Persentase lama siklus estrus….……….…... 37

4 Intensitas perubahan tingkah laku pada saat estrus…..……..… 38

5 Intensitas perubahan vulva pada saat estrus ………. 40

6 Intensitas perubahan lendir serviks pada saat estrus………….. 41

7 Intensitas ereksi uterus pada saat estrus.……….……….. 42

8 Persentase deteksi estrus menggunakan heat detector

serta korelasinya dengan tingkat kebuntingan………. 44

9 Rataan kadar hormon estrogen pada sehari sebelum estrus,

Saat estrus dan sehari setelah estrus……….……… 46

10 Rataan kadar hormon progesteron bunting dan tidak

Bunting dan korelasinya dengan tingkat kebuntingan……..… 48

11 Persentase kebuntingan……….……….…… 53

12 Rataan intensitas estrus dan korelasinya dengan hormon

Estrogen……… 54

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Metode back cross ntuk menghasilkan persilangan F2…….…. 10

2 Perubahan hormon reproduksi selama siklus estrus…….…… 25

3 Gambaran level hormon progesteron pada saat bunting dan

Tidak bunting………... 27

4. Koleksi sampel darah pada analisa hormon estrogen dan

Progesteron……….… 35

5 Kadar hormon estrogen sehari sebelum estrus, pada saat estrus dan sehari setelah estrus sapi persilangan F1

dan F2 Simental dan PO ……….. 48

6 Kadar hormon progesteron bunting pada hari ke 12, hari ke 21dan hari ke 24 setelah inseminasi sapi

persilangan F1 dan F2 Simental………..…… 50

7 Kadar hormon progesteron tidak bunting pada hari ke 12, hari ke 21 dan hari ke 24 setelah inseminasi sapi

persilangan F1 dan F2 ……… 51

8 Persentase kebuntingan sapi persilangan Simental dan

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data kadar estrogen sehari sebelum estrus, saat estrus

dan sehari setelah estrus………. 76

2 Data kadar progesteron bunting dan tidak bunting hari

ke 12 hari ke 21 dan hari ke 24 setelah inseminasi…..………. 77

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Upaya untuk meningkatkan produksi dan reproduksi sapi lokal Indonesia termasuk PO, salah satunya adalah dengan melakukan persilangan sapi-sapi tersebut dengan sapi-sapi import yang mempunyai bobot badan lebih besar serta pertumbuhan yang cepat. Sapi-sapi import tersebut tidak hanya berasal dari genus yang sama yakni Bos indicus, tetapi juga sapi-sapi daerah sub tropis yang termasuk Bos taurus. Bibit import yang digunakan sebagai sumber genetik tidak terbatas pada individu ternak, tetapi juga berupa semen beku untuk keperluan inseminasi buatan.

Persilangan dapat meningkatkan kemampuan genetik sapi lokal yang dikenal rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan persilangan sangat diminati adalah munculnya sifat heterosis pada turunannya, dimana anak yang dilahirkan mempunyai penampilan produksi dan reproduksi yang lebih baik dari rata-rata tetuanya. Di Indonesia program persilangan tidak begitu jelas, cenderung menggunakan metode Back cross dimana genetik sapi import dari genus Bos taurus terus ditingkatkan karena dalam jangka pendek sangat menguntungkan secara ekonomi. Sapi-sapi Bos taurus ini pertumbuhannya akan menurun apabila dikembangkan didaerah tropis (Frisch 1978).

Kapan dimulainya persilangan sapi lokal (PO) dengan Simental di Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Pada tahun 1906 telah terjadi persilangan Bos taurus dengan Bos indicus di Jawa, tapi pejantan yang digunakan adalah Hereford dan Shortorn yang didatangkan dari Australia. Pemakaian sapi Bos taurus ini lebih meningkat dengan diperkenalkannya inseminasi buatan (IB) di Indonesia pada tahun 1952 sampai 1956 dan menemukan momentumnya dengan pemanfaatan mani beku pada tahun 1973. Pada waktu itu mani beku didatangkan dari laur negeri, sebagian besar adalah Bos taurus.

(20)

persilangan dilakukan didaerah tropis diharapkan dapat beradaptasi dengan baik terhadap panas, pakan yang terbatas serta kelembaban yang tinggi.

Perkembangan persilangan di Sumatera Barat sangat pesat, dimana kemudian bibit yang digunakan hanya Simental karena adaptasinya lebih baik dibandingkan sapi Bos taurus lainnya. Tidak diketahui data pasti populasi persilangan tersebut, namun diyakini jumlahnya dari tahun ketahun terus meningkat. Hasil persilangan ini sebagian besar adalah F1 dan F2 Simental, sebagian kecil sudah terdapat F3 dan F4 Simental. Masyarakat sangat menyukai persilangan ini karena mampu menghasilkan keuntungan ekonomi dengan cepat melalui penjualan bakalan serta calon bibit, ukuran tubuh yang lebih besar, pertambahan berat-badan yang tinggi serta berat akhir yang jauh lebih besar dibandingkan sapi lokal serta temperamennya yang tenang dan jinak.

Dengan metode Back cross kandungan genetik Simental pada sapi lokal terus mengalami peningkatan, peningkatan ini sudah tentu membutuhkan perbaikan pakan dan kondisi lingkungan yang memadai mengingat genetik dominan pada sapi persilangan ini berasal dari daerah sub tropis. Jenis pakan yang diberikan juga sangat berbeda, dimana Amerika Utara dan Eropa sebagai daerah penyebaran utama sapi Simental adalah kawasan yang mengandalkan bahan pakan yang berasal dari biji-bijian (grain fed) sedangkan Australia dan Amerika latin mengandalkan pada pastura (grass fed) (Riady 2006). Usaha peternakan di Indonesia, khususnya Sumatera Barat merupakan peternakan rakyat skala kecil. Pemberian pakan sampai saat ini oleh peternak cenderung tidak ada perbedaan sama sekali baik untuk PO, F1, F2 dan sapi lainnya dimana pakan utama yang diberikan adalah rumput gajah dicampur dengan rumput alam. Sebagaimana diketahui pakan pada daerah tropis sangat terbatas serta mempunyai kandungan gizi yang rendah , perbaikan lingkungan juga tidak dilakukan sehingga sapi dipelihara pada cekaman panas yang tinggi dimana hal ini akan menurunkan tingkat fertilitas sapi (Dunn dan Moss 1992; Meidan et al. 1993). Banyaknya zat makanan yang digunakan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, mengakibatkan terhambatnya reproduksi (Ensminger 1987).

(21)

untuk jangka panjang terutama dikaitkan dengan tujuan untuk peningkatan reproduksi serta peningkatan populasi sapi potong di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan observasi mengenai kemampuan reproduksi serta efisiensinya, agar peningkatan genetik sapi lokal PO dengan pemasukan darah Simental dapat memberikan keuntungan maksimal untuk jangka panjang. Mengingat proses reproduksi sangat berhubungan dengan mekanisme hormonal yang terjadi pada organ reproduksi ternak, maka dibutuhkan suatu analisa mengenai peranan hormon tersebut dalam menyebabkan estrus dan keberhasilan kebuntingan pada sapi persilangan Simental.

Kerangka Pemikiran

Estrus merupakan suatu gejala yang muncul pertama kali saat dewasa kelamin pada ternak dan umumnya dapat diamati dengan jelas. Pada sapi dara estrus mengindikasikan sapi sudah mengalami kematangan organ reproduksi dan siap dikawinkan. Pada sapi induk, estrus biasanya muncul antara 40 sampai 60 hari setelah melahirkan, kemunculan estrus mengindikasikan proses recoveri saluran reproduksi termasuk uterus (involusi) sudah selesai dan saluran reproduksi sudah kembali seperti sebelum melahirkan dan sapi juga siap untuk dikawinkan.

Munculnya gejala estrus, baik pada sapi dara maupun induk sangat erat kaitannya dengan mekanisme hormon estrogen dalam ini adalah estradiol. Estrogen merupakan steroid hormon yang dihasilkan ovarium seiiring perkembangan folikel. Dalam jumlah yang rendah hormon ini tetap diproduksi gonad dan pengeluarannya akan meningkat seiring dengan perkembangan folikel yang dipengaruhi juga GnRH dari hipotalamus dan FSH dari hipofisis. Pada saat folikel primer reseptornya mulai meningkat dan pengeluaran meningkat saat folikel skunder serta mencapai puncaknya saat folikel de Graaf. Peningkatan estrogen inilah yang menyebabkan munculnya gejala estrus dan dijadikan pedoman dalam menentukan waktu yang tepat untuk mengawinkan seekor ternak.

(22)

kelembaban berkisar 83% sampai 87% diduga tidak baik untuk sapi-sapi Bos taurus maupun persilangannya dengan kandungan darah Bos taurus yang lebih dari 50%. Hal ini akan menyebabkan gangguan pada perkembangan folikel, pengeluaran hormon estrogen dan munculnya gejala estrus.

Gangguan ini dapat mengakibatkan rendahnya pengeluaran estrogen dan rendahnya intensitas estrus sehingga susah ataupun tidak dapat diamati sama sekali. Ketidakakuratan pengamatan gejala estrus akan menyebabkan tidaknya tepatnya waktu perkawinan dan akan menurunkan kemampuan reproduksi sapi. Gejala estrus yang dijadikan pedoman utama dalam menentukan waktu perkawinan adalah Standing heat, namun pada peternakan rakyat skala kecil secara intensif, parameter yang diamati umumnya adalah; perubahan tingkah laku, perubahan vulva dan pengeluaran lendir serviks.

Kemampuan reproduksi tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas dan pengeluaran hormon estrogen, tetapi juga tingkat keberhasilan perkawinan sehingga terjadi kebuntingan. Selain kesuburan, kondisi lingkungan saat inseminasi, inseminator dan bibit yang digunakan, keberhasilan kebuntingan juga sangat dipengaruhi pengeluaran hormon progesteron. Sebagaimana halnya dengan estrogen, pengeluaran hormon progesteron juga sangat terkait dengan perkembangan folikel dan ovulasi. Progesteron diproduksi oleh sel luteal dari corpus luletum (CL), yang terbentuk pada ovarium sebagai akibat diovulasikannya sel telur.

Tinggi rendahnya pengeluaran progesteron tergantung kepada besarnya CL dan jumlah serta kepadatan sel luteal pembentuknya. Karena CL merupakan bekas tempat folikel dominan, maka tentunya ukuran dan kemampuannya dalam memproduksi progesteron juga tergantung perkembangan dan ukuran folikel dan hal tersebut tidak lepas dari pengaruh lingkungan, pakan dan pemeliharaan. Peningkatan pengeluaran hormon progesteron terjadi pada awal fase luteal, yaitu metestrus dan mencapai puncaknya pada periode diestrus. Pada saat puncak ini dapat diketahui kemampuan optimum setiap sapi dalam memproduksi progesteron dan pengaruhnya terhadap keberhasilan perkawinan.

(23)

menyebabkan kegagalan implantasi dan kadar yang rendah setelah implantasi akan menyebabkan kematian embrio dan menurunkan efisiensi reproduksi pada ternak. Apabila deteksi estrus baik, waktu perkawinan tepat, bibit baik dan inseminator terlatih, maka kegagalan perkawinan hanya akan dipengaruhi oleh produksi hormon progesteron yang terkait dengan faktor genetik, lingkungan, pakan dan pemeliharaan.

Pengukuran kadar progesteron pada hari ke 21 dan 24 erat kaitannya dengan keberhasilan kebuntingan dan keberlangsungan hidup embrio. Kadar yang rendah mengindikasikan tidak terjadi kebuntingan dan hal ini bisa terjadi karena kegagalan perkawinan, kegagalan implantasi ataupun kematian embrio dini. Kadar yang tinggi mengindikasikan perkawinan sukes dan terjadi kebuntingan serta akan mencerminkan kemampuannya dalam menjaga kebuntingan tersebut.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini ditujukan untuk melihat penampilan reproduksi sapi persilangan F1 dan F2 Simental sehubungan dengan kemampuan adaptasinya didaerah tropis dengan temperatur yang tinggi dan pakan yang terbatas. Disamping itu juga ditujukan untuk mengetahui pola persilangan yang tepat pada daerah tropis untuk dikembangkan lebih lanjut.

Tujuan khusus dari penelitian adalah: 1) Mengkaji intensitas estrus sapi persilangan F1 dan F2 Simental serta PO. 2) Mengkaji kadar estrogen dan hubungannya dengan intensitas estrus sapi persilangan F1 dan F2 Simental serta PO. 3) Mengkaji tingkat kebuntingan sapi persilangan F1 dan F2 Simmental serta PO. 4) Mangkaji kadar progesteron dan hubungannya dengan tingkat kebuntingan sapi persilangan F1 dan F2 Simental serta PO. 5) Mengkaji kemampuan reproduksi secara umum sapi persilangan F1 dan F2 Simmental serta PO.

Manfaat Penelitian

(24)

Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka terhadap berbagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap efisiensi reproduksi maupun produksi hormon estrogen dan progesteron, maka dikemukakan hipotesis sebagai berikut :

1. Sapi persilangan F1 Simental mempunyai intensitas estrus dan tingkat keberhasilan kebuntingan yang lebih tinggi dari sapi persilangan F2 Simental maupun sapi lokal PO.

2. Kadar estrogen dan progesteron sapi persilangan F1 Simental lebih baik dari sapi persilangan F2 Simental maaupun sapi lokal PO.

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Persilangan Simental

Simental merupakan sapi Bos taurus tipe pekerja dengan tubuh yang besar, kuat dengan tulang yang berat. Struktur seperti ini membantunya merumput didaerah pegunungan dimana dia dapat mengatasi kondisi yang keras. Simental persilangan telah populer pada waktu belakangan dimana dia menyusui anaknya dan akan dihasilkan anak dengan kualitas yang tinggi untuk produksi daging (Philips 2001). Ensminger (1987) menyatakan jantan Simental dewasa pada kondisi yang bagus mempunyai berat 1.135 kg sedangkan betina dewasa mencapai 726 kg. Ukuran dan pertumbuhannya yang cepat dengan performan yang baik menyebabkan dia populer.

Sapi Simental berasal dari lembah Siemen yang terletak di perbatasan Jerman dengan Swiss, namun demikian sapi ini berkembang biak dengan baik hampir pada seluruh negara di Eropa terutama di Perancis dan Swiss. Sapi ini memiliki warna kuning sampai merah dengan tanduk dan kuku biasanya berwarna putih. Karena sapi ini merupakan sapi dwiguna, maka pemanfaatannya sebagai penghasil daging terus mengalami peningkatan terutama di Amerika Serikat (Phillips 2001).

Sebagaimana sapi Bos taurus lainnya, sapi Simental akan mencapai dewasa kelamin pada umur 12 bulan dimana pada saat tersebut terjadi pubertas (Taylor dan Field 2004). Umur saat pubertas tergantung kepada kondisi fisik, photoperiod, umur dan bangsa tetua, ada atau tidak adanya heterosis, temperatur lingkungan, berat badan yang sangat berhubungan dengan pakan dan tingkat pertumbuhan setelah disapih (Hafez dan Hafez 2000; Partodihardjo 1982)

(26)

mempunyai kerangka tubuh yang lebih besar, rata-rata lebih cepat dewasa kelamin dan jinak.

Sapi PO mempunyai punuk yang cukup besar, gelambir dibawah leher, telinga agak panjang dan menggantung dengan mata besar yang terlihat tenang. Tanduk pendek, kadang hanya terlihat seperti bongkol kecil, namun khusus pada betina tanduknya agak lebih panjang dan mengarah keatas. Bulunya berwarna putih, kadang-kadang putih kehitam-hitaman dengan berat badan pada jantan dewasa sekitar 600 kg dan betinanya sekitar 450 kg (Taylor dan Field 2004).

Sapi PO mencapai pubertas pada umur 12 sampai 18 bulan (Partodihardjo 1987), dengan siklus estrus berkisar antara 29,22 ± 5,79 hari (Sunarjo 1980). Pada beberapa bangsa Zebu (termasuk PO), ukuran dan berat CL lebih rendah dari pada sapi-sapi Bos taurus, akan tetapi kandungan dan konsentrasi hormon progesteron diantara kedua bangsa sapi ini tidak berbeda (Morrow 1986). Apabila induk-induk bangsa sapi Zebu menyusui anak, estrus pertama setelah beranak dapat terhambat dan terjadi empat sampai enam bulan setelah beranak. Estrus pertama ini akan lebih terlambat jika ternak-ternak induk tersebut digembalakan dipadang rumput yang kurang berkualitas, defisiensi fosfor dan mineral essensial lainnya. Pada kasus-kasus demikian ovarium secara ekstrim mengecil dan folikel tersier bahkan CL tidak dapat dideteksi melalui palpasi rektal (Kune 1998).

Bos indicus lebih adaptif didaerah tropis dan lebih tahan cekaman panas dari pada Bos taurus karena biasanya mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil, permukaan kulit yang licin, mempunyai kelenjar keringat yang banyak dan memiliki tingkat kehilangan panas yang rendah ( Turner 1980). Brahman sebagai salah satu sapi Bos indicus asli, lebih resisten pada kondisi tropis dengan temperatur dan kelembaban yang tinggi dibandingkan dengan Holstein dan Angus dari bangsa sapi Bos taurus. Adaptasi ini sangat dipengaruhi oleh sel-sel dan jaringan thermotolerance yang mengatur temperatur tubuh (Lopes et al. 2003). Bos indicus juga produktif didaerah tropis pada kondisi kualitas rumput yang rendah serta lebih tahan terhadap ecto dan endoparasit (Brito et al. 2004).

(27)

heritabilitas yang tinggi (Taylor dan Field 2004). Pada kenyataannya peningkatan genetik lebih ditujukan untuk memilih bangsa sapi yang menguntungkan secara ekonomis dengan berat badan yang tinggi (Fries dan Ruvinsky 2004). Hampir 90% Brahman Cross memperlihatkan gejala estrus pada umur 15 sampai 17 bulan , sedangkan Brahman murni 90% gejala estrus terjadi pada umur 20 bulan (Spitzer 1987).

Persilangan (Cross breeding), didifinisikan sebagai perkawinan hewan yang berbeda bangsanya (Simm 2000). Persilangan bisa mempunyai total efisiensi yang lebih besar sebesar 15 – 25 % dibandingkan dengan tetuanya, yaitu pada tingkat produksi, perkembangan anak, tingkat pertumbuhan dan konversi makanan. Persilangan antara PO dengan Simental disebut juga persilangan dua bangsa berbeda (Ensminger 1987). Persilangan biasanya menggunakan bangsa sapi yang telah diketahui kemampuan produksi dan reproduksinya, adaptif terhadap sumber pakan yang tersedia, sesuai dengan permintaan pasar dan kondisi lingkungan lainnya (Taylor dan Field 2004).

Menurut Simm (2000) persilangan dengan menggunakan bangsa yang berbeda dengan karakteristik yang saling melengkapi, biasanya akan menghasilkan sistim produksi dengan efisiensi dan tingkat keuntungan yang lebih besar. Hal ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk menggunakan bangsa yang lebih kecil dengan reproduksi dan sifat keibuan yang baik dan bangsa yang besar dengan pertumbuhan yang baik dan karkas yang baik. Sedangkan Fries dan Ruvinsky (2004) menyatakan bahwa persilangan yang baik ditujukan untuk memanfaatkan betina yang kecil atau sedang ukurannya tetapi juga fertil.

(28)

dimana keturunan yang dihasilkan mempunyai rata-rata produksi yang lebih baik dibandingkan rata-rata produksi tetuanya (Simm 2000).

Ketika dua bangsa sapi disilangkan, anak yang lahir dinamakan F1 yang mempunyai masing-masing setengah gen dari kedua tetuanya (Simm 2000). F1 mempunyai kandungan darah 50 % berasal dari induk dan 50 % berasal dari jantan (Ensminger 1987). F2 merupakan hasil persilangan dari F1, dapat menggunakan metode Back cross ataupun Criss cross (Simm 2000, Ensminger 1987 dan FAO 2006). F2 akan mempunyai komposisi darah 25% berasal dari bangsa induk awal dan 75% berasal dari bangsa pejantan awal.

Betina (A) Jantan (B) 100% 100%

Anak (F1) Jantan (B) 50%A + 50%B 100%

Anak (F2) 25%A + 75%B

Gambar 1 ; Metoda Back cross untuk menghasilkan persilangan F2 (FAO 2006).

(29)

Pada penelitian di Thailand terhadap persilangan sapi lokal dengan sapi Holstein didapatkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat estrus dan keberhasilan inseminasi buatan antara purebreed dengan crossbreed apabila lingkungan diperbaiki dengan menggunakan elektrik fan, water springkling dan pakan dengan kualitas yang lebih baik pada musim panas. Sebaliknya apabila tidak ada perbaikan lingkungan dan pakan maka terjadi penurunan tingkat estrus dan keberhasilan kebuntingan (Pongpiachan et al. 2003).

Pada penelitian di Jepang dengan menggunakan persilangan antara sapi Japanese Black dengan sapi Holstein didapatkan hasil bahwa secara ekonomi keuntungan yang didapat dari persilangan lebih rendah dari pada menggunakan Japanese Black murni, dan persilangan dengan F1 sistem (tanpa backcrossing) lebih menguntungkan daripada metode backcrossing (Kahi dan Hirooka 2006). Sapi-sapi Hereford dari Bos taurus yang disilangkan dengan metode backcrossing pada daerah dengan temperatur dingin dan panas subtropikal mempunyai tingkat reproduksi yang lebih tinggi bila dibandingkan apabila disilangkan secara backcrossing dengan sapi-sapi Bos indicus (Riley et al. 2001).

Pada peternakan rakyat skala kecil di Botswana Afrika ditemukan bahwa tidak ada perbedaan pada selang beranak dan waktu kosong antara sapi lokal (Tswana) dengan persilangan Simental baik pada musim kering maupun selama musim hujan apabila ada perbaikan pakan pada waktu musim kering. Namun demikian calving rate sapi Tswana cenderung lebih tinggi (68,2%) dibandingkan sapi persilangan Simental (62,5%) (Madibela et al. 2001).

Efisiensi Reproduksi

(30)

Kegagalan reproduksi dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok yaitu, pertama kegagalan karena faktor pengelolaan, termasuk teknis inseminasi, kurang makan, defisiensi mineral dan sebagainya, kedua faktor interen dari ternak itu sendiri seperti kelainan genetik, penyakit reproduksi dan ketiga faktor lain yang bersifat “aksidentil” seperti kecelakaan dan kelainan yang biasanya ditemukan secara sporadis seperti distokia dan torsio uterus (Partodihardjo 1987). Gangguan reproduksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam penurunan tingkat populasi.

Salah satu persoalan pada sapi potong di Indonesia adalah ketidak suburan (infertility) yang digambarkan dengan panjangnya calving interval yang disebabkan oleh panjangnya periode anestrus (Pohan dan Talib 2001). Kurang lebih 95% variasi interval kelahiran dan efisiensi reproduksi ditentukan oleh faktor-faktor non genetik yang mempengaruhi organ kelamin betina (Tarmudji et al. 2001). Kegagalan reproduksi sebagian besar ditentukan oleh faktor lingkungan yang terutama meliputi manajemen dan pemberian pakan yang buruk dan kurangnya peranan dokter hewan dalam menanggulangi penyakit reproduksi (Toelihere 1993).

Sapi perah dan sapi potong harus melahirkan anak dengan interval antara 12 sampai 13 bulan untuk mencapai tingkat efisiensi reproduksi secara maksimal dalam hubungannya dengan peningkatan genetik, efektifitas penggunaan inseminasi buatan dan agar diperoleh keuntungan yang lebih besar secara ekonomis (Smith 1987). Rendahnya efisiensi reproduksi biasanya disebabkan oleh dua problem utama yaitu ; 1) Tidak adanya ekspresi estrus atau deteksi estrus yang tidak efisien dan 2) kurangnya tingkat fertilitas betina pada saat terjadinya perkawinan serta kematian embrio, biasanya kejadian ini banyak dijumpai selama periode musim panas (Thatcher dan Collier 1987). Sedangkan Roth et al. (2001) mengatakan bahwa fertilitas sapi selama musim panas lebih rendah sekitar 60% dari pada musim hujan dimana hal ini sangat berhubungan dengan perbedaan temperatur yang tinggi.

(31)

jumlah sapi yang bunting dengan satu kali inseminasi dibandingkan dengan jumlah keseluruhan sapi yang diinseminasi.

Conception rate sangat ditentukan jenis ternak serta musim, dimana pada musim hujan conception rate akan lebih tinggi dari pada musim kering (Madibela et al. 2001). Photoperiod, temperatur dan pakan merupakan faktor lingkungan yang sudah diketahui dengan baik berpengaruh terhadap reproduksi (Dunn dan Moss 1992). Jika sapi, domba dan babi dikawinkan selama musim panas, akan menghasilkan angka konsepsi yang rendah. Sapi perah yang disuperovulasi, fertilisasinya lebih rendah pada musim panas dari pada musim hujan (Bearden et al. 2004). Menurut Hafez dan Hafez (2000) untuk sapi, domba dan babi, waktu estrus sangat penting, kenaikan temperatur tubuh bisa menyebabkan terganggunya kapasitasi sperma pada saluran reproduksi betina atau kerusakan embrio tahap cleavage.

Selama musim gugur, ketika temperatur udara sudah menurun dan sapi tidak terpapar pada panas yang lama, CR masih rendah apabila dibandingkan dengan CR pada musim hujan (Roth et al. 2001). Temperatur yang maksimum pada hari berikutnya setelah inseminasi berhubungan negatif dengan CR, namun demikian pada sebagian sapi dara CR dapat mengalami peningkatan (Thatcher dan Collier 1987). Sedangkan pada sapi yang sedang menyusui CR menurun dari sekitar 50% pada musim hujan menjadi kurang dari 20% pada musim panas (Roth et al. 2000).

CR juga berbeda antar bangsa sapi dimana hal ini juga merefliksikan perbedaan respon pengaturan temperatur tubuh selama musim panas. Sapi-sapi dara pada temperatur lingkungan 32,2ºC mempunyai temperatur rektal sekitar 40ºC dimana peningkatan 0,5ºC diatas rata-rata temperatur uterus (38,6 ºC ) pada hari dimana dilakukan inseminasi buatan dan sehari setelah inseminasi (38,3ºC ) akan menurunkan CR sebesar 12,8% dan 6,9% (Thatcher dan Collier 1987).

(32)

cekaman panas dengan konsentrasi estradiol yang rendah sekresi gonadotropin lebih rendah dari konsentrasi estradiol yang tinggi (Gilad et al. 1993).

Pemaparan sapi perah pada temperatur yang tinggi selama estrus akan meningkatkan proporsi penundaan perkembangan dan degenerasi embrio pada uterus 7 hari setelah inseminasi (Putney et al. 1989). Hal ini mengindikasikan bahwa sel telur sangat peka terhadap panas ketika dalam persiapan untuk fertilisasi (Lawrence et al. 2004). Mekanisme gangguan pertumbuhan sel telur yang disebabkan oleh panas belum diketahui dengan pasti, namun diduga terjadi penurunan sintesis protein intraselular, perubahan tipe cortical granula dan peningkatan kandungan glutation yang memungkinkan terjadinya perubahan cytoskeleton dan peningkatan produksi radikal bebas (Payton et a.l 2003 ).

Perkembangan folikel juga sangat dipengaruhi stress karena panas , dimana dibutuhkan waktu yang lebih lama yaitu antara 40-50 hari bagi folikel antral kecil untuk berkembang menjadi folikel dominan yang besar (Roth et al. 2001). Untuk mendapatkan selang beranak 12 atau 13 bulan, sapi harus sudah bunting dalam waktu 85 sampai 115 hari setelah melahirkan , dimana waktu kosong yang baik berkisar antara 40 sampai 50 hari (Smith 1987). Secara normal suatu kelompok ternak sapi yang dikelola dengan baik menunjukkan angka konsepsi 65-70% pada perkawinan atau inseminasi pertama dengan jumlah inseminasi perkonsepsi sebanyak 1,3 sampai 1,7 (Tarmudji et al. 2001).

Perbedaan proses fisiologis pada tubuh ternak akan memiliki perbedaan prioritas kebutuhan makanan yang mana prioritas tersebut sangat tergantung kepada umur, status fisiologis yang mana pakan terutama diprioritaskan untuk laktasi, pertumbuhan ataupun penggemukan (Gerloff dan Morrow 1987). Proses reproduksi yang sukses sangat tergantung kepada kandungan nutrisi makro dan mikro pada pakan dan proses reproduksi ini akan terhenti sebelum terlihat gejala defisiensi pada ternak yang bersangkutan (Dunn dan Moss 1992).

(33)

apabila kekurangan zat makanan akan kurus dan mempunyai efisiensi reproduksi yang rendah (Bearden et al. 2004). Kendatipun fungsi reproduksi khususnya dalam kondisi yang keras lebih sedikit dipengaruhi oleh faktor makanan, namun demikian kekurangan secara subklinis tetap akan termanifestasikan pada kegagalan reproduksi. (Gerloff dan Morrow 1987). Saat laktasi kebutuhan zat makanan akan meningkat, apabila tidak tercukupi mempunyai kontribusi yang besar terhadap penurunan fertilitas.

Di Australia utara dengan kondisi lingkungan tropis dan subtropis, suplai makanan bervariasi tergantung musim setiap tahun, selama musim kering suplai makanan biasanya akan menurun (Rhodes et al. 1995). Berat badan dan kondisi tubuh akan meningkat selama musim hujan dan menurun selama musim kering (Holroyd et al. 1979). Terdapat hubungan yang nyata antara kondisi tubuh pada saat melahirkan dengan tingkat kebuntingan berikutnya, hanya 72% betina kurus saat melahirkan yang bunting setelah 80 hari pada musim kawin dibandingkan dengan 89 % sampai 92 % pada sapi yang kondisi tubuhnya bagus dan moderat dimana alasan utama rendahnya tingkat kebuntingan tersebut adalah penurunan tingkat estrus kembali setelah melahirkan (Spitzer 1987).

Faktor nutrisi yang dibutuhkan untuk reproduksi yang sukses sama dengan kebutuhan untuk pemeliharaan, bertumbuh dan laktasi yaitu energi, protein, vitamin dan mineral (Bearden et al. 2004). Menurut Ensminger (1987) energi merupakan faktor yang lebih berperan dalam reproduksi dibandingkan dengan protein. Keseimbangan energi negatif akan menurunkan fertilitas sapi, diantaranya terjadi penundaan aktifitas ovarium dan tingkat konsepsi yang rendah (Butler dan Smith 1989).

Penambahan protein pada pakan sapi potong akan meningkatkan daya cerna serta penyerapan zat makanan yang mana akan meningkatkan kemampuan laktasi dan berlangsungnya proses reproduksi dengan baik ( Wheelar et al. 2002). Poros hipotalamus, hipofisis dan ovarium sangat dipengaruhi oleh status nutrisi pakan dan hal ini nantinya juga akan mempengaruhi proses reproduksi pada ternak (Wiltbank et al.2002).

(34)

reproduksi, dimana estrus akan terjadi lebih cepat, ternak -ternak yang dipelihara dengan adanya pejantan juga menunjukkan gejala yang sama (Senger 1999). Untuk pemeliharaan yang baik juga dibutuhkan kandang yang baik dimana rata-rata setiap ekor sapi memerlukan luas kandang 3.5 – 4 meter belum termasuk bangunan untuk tempat pakan, air minum dan selokan untuk pembuangan (Ginting dan Sitepu 1989). Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pemeliharaan dengan pengeluaran induk 2 kali sehari keberhasilan deteksi estrus mencapai 70.4%, pengeluaran 1 kali sehari keberhasilannya 69.5% dan 64% bila induk tidak dikeluarkan sama sekali (Anonim 1981 ).

Embrio dan fetus yang sedang berkembang sangat sensitif terhadap terapeutic agents, polusi lingkungan dan bahan beracun yang terdapat dialam termasuk pada tumbuhan. Bahan beracun juga mempengaruhi efisensi reproduksi karena dapat memperpanjang waktu setelah melahirkan sampai kawin kembali (James et al. 1992). Kehilangan berat badan juga berpengaruh terhadap performan reproduksi terutama berhubungan dengan conception rate pada induk dan sapi dara (Doogan et al. 1991 ). Kekurangan makanan atau keracunan bisa menyerang bermacam organ dan akan menghasilkan penurunan penampilan reproduksi, dimana efek utamanya biasanya akan menyerang bagian anterior kelenjar hipofisis atau hipotalamus yang akan mempengaruhi produksi LH atau FSH yang normal (Gerloff dan Morrow 1987).

(35)

sapi yang pernah beranak keempat masih dapat menghasilkan kebuntingan mendekati 50%, namun setelah itu reproduktivitasnya akan menurun (Dradjat 2000).

Estrus dan Kebuntingan

Ternak-ternak betina pada hampir semua spesies akan memperlihatkan aktifitas fisik apabila dalam keadaan estrus (Senger 1999). Pada beberapa ternak betina keadaan estrus mudah sekali diketahui dari pengamatan luar terhadap kegelisahan, pembengkakan alat kelamin luar dan cairan lendir yang keluar dari vulva (Williamson dan Payne 1980). Sapi-sapi betina hanya mau menerima pejantan dalam periode estrus saja, kendatipun pejantan dapat melakukan aktifitas perkawinan setiap saat (Blakely dan Bade 1991).

Gejala estrus sangat ditentukan oleh perkembangan sel telur, dimana perkembangan ini berbeda pada masing-masing spesies, ada yang hanya mempunyai satu folikel deGraaf ada yang lebih dan juga ditentukan pengeluaran hormon estrogen kedalam darah ( Sartori et al. 2004). Pada saat dewasa kelamin dan kemudian pada interval tertentu dalam siklus estrus, satu atau lebih folikel primer akan berkembang menjadi folikel deGraaf yang kemudian mengalami ovulasi dan terjadi estrus (Williamson dan Payne 1980).

(36)

(Lopez et al. 2004). Guna mengatasi deteksi estrus dan penentuan waktu inseminasi yang tepat biasanya digunakan sinkronisasi estrus, sinkronisasi tidak hanya efektif untuk inseminasi buatan tetapi juga kawin alam, pada beberapa metode, sinkronisasi juga bisa meningkatkan proporsi sapi yang tidak estrus untuk mulai siklus estrus kembali. Hal ini akan menurunkan interval sapi yang tidak estrus setelah melahirkan (Perry 2005b).

Gejala estrus sangat berhubungan dengan konsumsi energi, dimana pada sapi-sapi yang sedang laktasi energi yang didapat terutama digunakan untuk produksi susu dan biasanya pada periode ini sapi akan kehilangan berat badan dan tidak menunjukkan gejala estrus (Gerloff dan Morrow 1987). Pada penelitian dengan menggunakan Syrian Hamster terlihat bahwa pengurangan makanan juga akan menyebabkan terhambatnya siklus ovulasi dan tingkah laku estrus (Panicker et al 1998). Pada kenyataannya sapi dengan kehilangan berat badan yang ekstrim sering gagal memperlihatkan gejala estrus (Spitzer 1987). Untuk mempertinggi proporsi estrus setelah melahirkan, diperlukan pemberian pakan level tinggi pada trisemester terakhir dari kebuntingan.

Namun demikian interaksi antara pakan dan reproduksi masih belum begitu jelas, sebagai contoh peningkatan konsumsi energi pada sapi perah dara cenderung menurunkan keberlangsungan hidup embrio (Dunne et al. 1999), demikian juga dengan sapi perah yang sedang laktasi apabila mengkonsumsi pakan yang tinggi cenderung akan menyebabkan penurunan efisiensi reproduksi (Wilbank et al. 2005). Pada sapi-sapi dengan tingkat produksi susu yang tinggi cenderung menurunkan peluang terjadinya estrus (Lopez et al. 2004)

Sapi memperlihatkan gejala estrus yang tinggi pada periode dingin yang kering untuk kemudian menurun dengan cepat pada saat cuaca panas dan basah (Pongpiachan et al. 2003). Temperatur yang tinggi akan mengurangi ekspresi estrus, dimana pada saat tersebut terjadi gangguan aliran darah ke saluran reproduksi sehingga akan merobah profil hormon (Knickerbocker et al. 1987). Pada musim panas juga terjadi penurunan lama estrsu (10 jam) serta intensitas tingkah laku estrus yang rendah (Thatcher dan Collier 1987).

(37)

maka agar terjadi kebuntingan perkawinan harus terjadi pada akhir estrus (Blakely dan Bade 1991). Sedangkan Williamson dan Payne (1980) mengatakan bahwa pada sapi lama estrus adalah 14 – 22 jam dengan ovulasi 2 – 22 jam sesudah berakhirnya estrus. Jika fertilisasi tidak terjadi dalam waktu 12 jam sesudah ovulasi sel telur akan mengalami degenerasi (Damron 2003).

Pada sapi betina biasanya hanya satu folikel yang berkembang dan matang untuk kemudian mengalami ovulasi dan menyebabkan gejala estrus yaitu pembengkakan pada vulva keluar cairan bening dari vulva, Laing dan Hammond 1955). Setiadi et al. ( 1992 ) mengatakan bahwa derajat estrus dapat dilihat dari tanda-tanda dengan urutan sebagai berikut ; kebengkakan vulva, jumlah lendir yang ada, tingkah laku dan ketegangan serviks.

Terjadinya ovulasi dari sel telur yang matang dan disertai dengan masa sel cumulus merupakan faktor yang sangat penting terhadap keberhasilan reproduksi dan ini merupakan proses yang komplek yang merupakan integrasi spesifik antara sinyal lokal pada sel telur dan sel somatik dari ovarium juga sinyal hormon dari hipofisis (Russel et al. 2003). Keberhasilan ovulasi dan perkawinan akan menyebabkan ternak bunting, fertilisasi biasanya terjadi di oviduk (Damron 2003). Selama bunting konseptus akan menghambat regresi CL dan mencegah ternak estrus kembali, makanya ternak yang tidak kembali estrus setelah dikawinkan diasumsikan dalam keadaan bunting (Hafez et al. 2000). Pada awal kebuntingan terjadi komunikasi antara konseptus dengan induk untuk menjaga kebuntingan, dimana konseptus sapi menghasilkan protein spesifik yang disebut bovine troboblastic protein (bTP)(Senger 1999).

(38)

Keberhasilan kebuntingan juga ditentukan oleh semen dan penempatan semen pada saat inseminasi. Volume semen tidaklah penting dalam proses inseminasi, tapi volume berhubungan dengan konsentrasi sperma, jika konsentrasi sangat rendah < 4 x 106 sperma/ml (pada kuda) bisa menyebabkan efek yang negatif terhadap keberhasilan kebuntingan apabila ditempatkan secara konvensional pada body uterus (Katila 2005). Namun demikian inseminasi dengan dosis sperma yang rendah < 5x 106 pada kuda dapat memberikan hasil yang menguntungkan apabila deposisi semen dilakukan pada tanduk uterus (deep horn AI) (Brinsko et al. 2003 ).

Setelah terjadi fertilisasi blastosis bebas mengambang dari oviduk ke uterus sehingga akhirnya implantasi pada dinding uterus, waktu implantasi berbeda-beda tergantung spesies ternak tapi umumnya berlansung 14 – 40 hari (Damron 2003). Sebagian besar pusat inseminasi buatan didunia melaporkan bahwa sapi dapat dianggap bunting apabila 60 – 90 hari setelah perkawinan tidak menunjukkan gejala estrus kembali (Jainudeen dan Hafez 2000).

Penelitian pada waktu belakangan memperlihatkan bahwa peningkatan waktu kosong saat penentuan kebuntingan berhubungan dengan kematian fetus dimana sapi yang menyusui mempunyai kemungkinan kematian fetus yang lebih tinggi daripada sapi dara yang tidak menyusui (Jousan et al. 2005). Pada sapi yang menyusui kehilangan fetus dapat terjadi antara 8.3 sampai 24%, sedangkan sapi dara hanya 1.5 sampai 10.2% (Santos et al. 2004 ). Sedangkan Jousan et al. (2005) mengatakan bahwa sapi menyusui dapat kehilangan fetus sebesar 10% dan sapi dara yang tidak menyusui 4.7%. Selanjutnya dikatakan bahwa peningkatan kehilangan fetus berhubungan dengan peningkatan waktu kosong pada sapi menyusui dan juga kemungkinan terjadinya mastitis. Jika ditinjau dari segi ekonomi, peningkatan biaya terjadi pada kegagalan kebuntingan disebabkan selang kelahiran yang panjang (de-Vries 2006).

(39)

hari 30 dari kebuntingan merupakan faktor yang menyebabkan resiko kegagalan kebuntingan.

Kadar progesteron yang tinggi akan menjaga kebuntingan dan mempersiapkan endometrium uterus untuk implantasi (Bearden et al 2004). Kadar progesteron yang tinggi selama awal kebuntingan disuplai oleh CL (Laing dan Hammond 1955; Senger 1999; Damron 2003). Pada ternak yang tidak bunting, uterus akan memproduksi prostaglandin F2α dan melalui mekanisme counter current masuk ke ovarium dan terjadi luteolisis (Senger 1999; Damron 2003).

Penentuan kebuntingan yang populer digunakan adalah dengan palpasi rektal dan ultrasonografi (de-Vries et al. 2005). Penentuan kebuntingan dengan ultrasosografi lebih cepat dan lebih akurat dan bisa dilakukan 26 hari setelah inseminasi (Filteau dan DesCoteau 1998 ), sedangkan Rosenbaum dan Warnick (2004) mengatakan bahwa penentuan kebuntingan dengan ultrasonografi bisa dilakukan pada hari ke 27 setelah inseminasi dan dengan palpasi pada hari ke 34 setelah inseminasi. Palpasi rektal merupakan metode yang biasa digunakan pada kuda, kerbau dan sapi. Pada prosedur ini uterus dipalpasi melalui rektum untuk mengetahui ketegangan uterus dan keberadaan fetus. Keakuratan palpasi dalam penentuan kebuntingan sangat bervariasi tergantung kepada keahlian petugas dan pemilihan waktu setelah inseminasi (Oltenacu et al. 1990). Secara hormonal penentuan kebuntingan juga dapat dilakukan dengan analisa hormon progesteron menggunakan metode RIA dan Elisa (Jaenudeen dan Hafez 2000).

Resiko kegagalan kebuntingan lebih tinggi pada waktu awal kebuntingan yaitu antara hari 2 dan 42 setelah inseminasi, karena pemeriksaan dengan ultrasonografi dilakukan lebih awal, maka kegagalan kebuntingan setelah pemeriksaan lebih besar dari palpasi (de-Vries et al. 2005). Sapi yang terdeteksi bunting pada hari ke 28 setelah inseminasi, sekitar 10 sampai 16% menjadi tidak bunting setelah pemeriksaan pada hari ke 56 setelah perkawinan (Fricke 2002).

Gambaran Hormon Estrogen dan Progesteron Pada Siklus Reproduksi dan Kebuntingan

(40)

membentuk karakteristik seksual sekunder dan mendukung terjadinya kebuntingan (McGee dan Hsueh 2000). Proses folikulogenesis dari ovarium dimulai dengan proses recruitment folikel primordial dari penyimpanannya, satu folikel terpilih dan mengalami perkembangan, terjadi proliferasi sel granulosa dan differensiasi dari sel theca (Couse et al. 2005). Sedangkan Markstrom et al. (2002) menyatakan ada beberapa tahap dalam proses terjadinya pematangan folikel; inisiasi dari primordial folikel pada penyimpanannya, perkembangan folikel, seleksi terhadap dominan folikel, ovulasi dan terakhir adalah luteinisasi.

Inisiasi primordial folikel dari istirahatnya dimulai dari recruitment, kemudian diikuti dengan pertumbuhan, differensiasi dan atresia (McGee dan Hsueh 2000). Pertumbuhan folikel mencakup tahapan primordial, primer, sekunder sebelum folikel memasuki tahapan antral folikel, pada tahap antral lebih banyak folikel mengalami degenerasi atresia dimana kejadian tersebut berlangsung setelah ternak mengalami masa pubertas dan berjalan dibawah pengaruh hormon gonadotropin sampai mendekati tahap ovulasi (Gougeon 1996 ). Lebih dari 99.9% dari folikel ovari yang terdapat pada waktu lahir tidak pernah mencapai tahap ovulasi (Markstrom et al. 2002). Sebagian besar folikel mengalami atresia melalui proses kematian sel secara terprogram yang disebut apoptosis (Billing et al. 1996 ).

Perkembangan folikel ovarium pada tahap awal mulai dari primordial folikel sampai tahapan preantral folikel lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lokal seperti Insulin like growth faktor-I (IGF-I) yang aktif melalui mekanisme autokrin, parakrin dan intrakrin (Otsuka et al. 2001; Lewis et al. 2000). Sedangkan perkembangan folikel setelah tahap antral sampai sebelum ovulasi lebih banyak tergantung kepada FSH dari kelenjar hipofisis (Markstrom et al. 2002), sedangkan proses ovulasi dan pembentukan corpus luteum lebih banyak dipengaruhi oleh LH dan estrogen (Richards et al. 2002).

(41)

sapi dengan tiga gelombang folikel (Ginther et al. 1989). Gelombang folikel yang dinamis pada hewan ternak berhubungan dengan perubahan peredaran hormon steroid dan glicoprotein selama proses reproduksi (Baerwald et al. 2003). Setelah terjadi gelombang folikel, seleksi folikel dominan berhubungan dengan penurunan sirkulasi konsentrasi FSH, perbanyakan reseptor LH pada sel granulosa dan peningkatan sirkulasi konsentrasi estradiol (Ginther et al. 2001).

Estrogen merupakan faktor esensial dalam perkembangan sistem reproduksi betina dan juga penanganan fertilitas, estrogen bekerja dengan perantaraan dua reseptor spesifik yaitu ERα dan ERβ (Vaskivuo et al. 2005), dimana Erβ lebih berperan dalam perubahan dan proses-proses yang terjadi pada ovarium selama proses reproduksi (Couse et al. 2005). Estrogen reseptor ini merupakan keluarga besar dari reseptor inti (nuclear receptor) ( Baker 1997), dan ditemukan pada sitoplasma dan inti sel. Hormon ini kemudian masuk ke pembuluh darah dan bersirkulasi ke uterus, hipotalamus, kelenjar susu dan organ reproduksi berbeda lainnya juga bersirkulasi pada selain organ reproduksi (Rosenfeld et al 2001).

Estrogen dan progesteron merupakan hormon reproduksi utama pada hewan betina, keduanya diproduksi pada ovarium dan merupakan hormon steroid (Griffin dan Ojeda 1988). Selama masa reproduksi, estrogen yang paling prinsip pada betina adalah estradiol yang diproduksi dari kholesterol ( Senger 1999). Sedangkan Rosenfeld et al.(2001) dan Couse et al. (2005) mengatakan, selama folikulogenesis sel theca memproduksi androgen, yang kemudian dirobah menjadi estrogen oleh enzim P450 aromatase pada sel granulosa. Estrogen juga akan menyebabkan proses fisiologis seperti tingkah laku seksual, karakteristik seksual sekunder ( pada pelvis ) serta penempatan lemak (Jensen 2000).

(42)

kepada hipothalamus untuk mengeluarkan LH yang tinggi (Senger 1999). Estrogen yang tinggi dan LH yang tinggi merupakan inisiasi terjadinya ovulasi (Griffin dan Ojeda 1988). Estrogen juga akan menyebabkan gejala estrus pada hewan betina ( Hafez dan Hafez 2000).

Estrogen dalam jumlah banyak dikeluarkan dari ovarium pada saat folikel deGraaf dimana substansi aktifnya pada siklus reproduksi adalah estradiol, estrogen aktif melalui perantaraan pembuluh darah pada sistim saraf, menghambat sekresi FSH dan meningkatkan LH (Laing dan Hammond 1955). Estradiol adalah estrogen utama disamping estron dan estriol, dalam sirkulasinya berikatan dengan protein (Hafez et al. 2000).

Kadar estrogen meningkat lebih besar dari 12 pg/ml pada saat estrus dan menurun kurang dari 2 pg/ml setelah estrus (Savio et al. 1993). Sedangkan Sunderland et al. (1994) menyatakan bahwa kadar estrogen meningkat lebih dari 6 pg/ml saat estrus dan menurun kurang dari 2 pg/ml sehari setelah estrus serta kemudian berada pada kadar basalnya kurang atau sama dengan 0,5 pg/ml. Knickerbcker et al. (1987) menyatakan bahwa kadar estrogen pada saat estrus adalah lebih dari 9 pg/ml sedangkan pada saat tidak estrus kurang dari 6 pg/ml.

(43)

-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4

Gambar 2 : Perubahan hormon reproduksi selama siklus estrus (Senger 1999)

Progesteron merupakan hormon reproduksi yang diproduksi oleh corpus luteum dan plasenta serta kelenjar adrenal (Bearden et al. 2004; Hafez et al. 2000), dengan jumlah terbesar diproduksi oleh corpus luteum (Cai dan Stocco 2005). Progesteron mulai diproduksi pada saat mulai terbentuk folikel deGraaf dimana pada saat itu mulai terjadi persiapan luteinisasi perubahan morfologi sel-sel folikular menjadi sel-sel-sel-sel luteal (Senger 1999). Kadar progesteron rendah pada awal fase luteal, karena terjadi penundaan pengeluaran progesteron (Cardenas et al. 2004). Menurut Bearden et al. (2004), setelah hari ke 17 corpus luteum akan luruh dengan sendirinya dan kadar progesteron juga akan menurun.

(44)

Setelah terjadi ovulasi, sel-sel granulosa dan sel-sel theca pada ovarium akan menjadi CL yang merupakan kelenjar endokrin penghasil progesteron yang selanjutnya menjaga kebuntingan (Blakely dan Bade 1991). Ketika produksi progesteron tinggi, pertumbuhan folikel dan ovulasi ditekan sehingga estrus tidak terjadi, produksi progesteron akan maksimum pada pertengahan siklus estrus dan menurun pada akhir siklus (Laing dan Hammon 1955).

Efek fisiologis dari progesteron berlangsung karena adanya interaksi dengan dua reseptor spesifiknya yaitu PRα dan PRβ (Mulac-Jericevic dan Conneely 2004). Reseptor progesteron ini merupakan kelompok reseptor inti (Nuclear receptor) (Richards et al. 2002). Hafez et al.(2000) menyatakan bahwa dalam sirkulasinya progesteron akan berikatan dengan globulin, bekerja pada endometrium untuk mempersiapkan implantasi, menghambat estrus dan menghambat pengeluaran LH surge. Selanjutnya (Grazzini et al. 1998) menyatakan bahwa progesteron menghambat sensivitas uterus terhadap oksitosin melalui interaksi langsung antara progesteron dengan reseptor oksitosin. Selain itu progesteron juga menghambat pengeluaran LH dan FSH dan mencegah tingkah laku estrus serta mendukung kebuntingan (Damron 2003). Untuk mengetahui tingkat kebuntingan pada ternak juga dapat digunakan progesteron, dimana koleksi darah biasanya dilakukan pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi (Jainudeen dan Hafez 2000).

Hampir pada semua ternak kadar progesteron tinggi pada awal kebuntingan, karena CL aktif dalam memproduksi progesteron (Griffin dan Ojeda 1988). Pada bulan pertama dari kebuntingan sel steroidogenic dari CL sangat aktif, hari ke 8 sampai 20 aktifitas sel ini disokong oleh τ interferon yang dihasilkan oleh sel trophoblas dari embrio (Tamane et al. 2004).

(45)

menurun menjadi kurang dari 2 ng/ml pada akhir fase luteal sampai kadar basal kurang atau sama dengan 0,5 ng/ml (Sunderland et al. 1994). Sedangkan Savio et al. (1993) menyatakan bahwa kadar progesteron pada saat bunting lebih dari 8 ng/ml dan sapi yang tidak bunting kurang dari 2 ng/ml. Menurut Knickerbcker et al. (1987) kadar progesteron pada saat bunting adalah 6 - 15 ng/ml sedangkan pada saat tidak bunting < 6 ng/ml. Pada penelitian terhadap sapi Korea (Hanwoo) Ryu et al. (2003) menemukan kadar progesteron pada sapi bunting lebih dari 3 ng/ml sedangkan yang tidak bunting kurang dari 2 ng/ml.

Estrus Estrus

Ovulasi

Periode kritis

Gambaran kadar hormon progesteron pada kebuntingan

L

e

v

e

l

h

o

rm

o

n

Hari siklus estrus

Bunting

Tdk.Bunting

Gambar 3 : Gambaran level hormon progesteron pada saat bunting dan tidak bunting (Senger 1999)

(46)

Kadar progesteron yang rendah menyebabkan konsentrasi hormon lain mengalami peningkatan yang menyebabkan kematian embrio (Inskeep 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa kondisi ideal untuk penempelan embrio dan proses pembentukan plasenta tidak diketahui dengan pasti, namun demikian kematian embrio pada akhir perkembangannya diduga lebih disebabkan folikel yang ovulasi tidak matang dan meningkatnya pengeluaran Prostaglandin F2α antara hari ke 30 sampai hari ke 35 dari kebuntingan.

Fungsi utama dari prostaglandin sebenarnya adalah meluruhkan corpus luteum dan menginisiasi datangnya estrus kembali pada ternak-ternak yang tidak bunting (Griffin dan Ojeda 1988). Hafez dan Hafez (2000) menyatakan prostaglandin adalah agen untuk mengakhiri fase luteal dari siklus estrus dan memerintahkan untuk inisiasi dari siklus estrus yang baru apabila tidak terjadi fertilisasi. Stevens et al. (1993) menyatakan bahwa pemberian prostaglandin menyebabkan luteolisis dalam waktu 24 pada sapi. Pemberian prostaglandin dengan 1 kali penyuntikan menyebabkan hanya 60 – 65% dari sapi yang memberikan respon estrus, sedangkan dengan 2 kali penyuntikan memberikan respon 65 – 70% (Bearden et al. 2004).

(47)

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2007 sampai dengan bulan Juli 2007. Lokasi penelitian berada pada dua kenagarian yaitu Kenagarian Sungai Kamuyang dan Kenagarian Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota, dengan ketinggian 1000 – 1500 diatas permukaan laut, dan 150 Km arah timur dari Padang. Pengolahan sampel darah sampai penyimpanan dilakukan di laboratorium Reproduksi Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Potong Padang Mengatas. Analisa level estrogen dan progesteron dalam plasma darah dilakukan di laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, sedangkan pencacahan dilaksanakan di laboratorium Isotop dan Radio Aktif Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.

Materi Penelitian.

Hewan Penelitian.

Penelitian terdiri dari 3 tahapan dengan jumlah sapi yang bebeda pada setiap tahapan, dengan berdasarkan jumlah sapi awal sebanyak 268 ekor. Secara umum sapi yang digunakan adalah sapi lokal Peranakan Ongol (PO) sebagai kontrol, sapi persilangan F1 Simental (Betina PO x Pejantan Simental) dan F2 Simental (F1 Simental x Pejantan Simental). Sapi yang digunakan merupakan betina induk mempunyai silsilah keturunan dan atau silsilahnya masih dapat direkonstruksi oleh pemilik ternak, telah beranak minimal 1 kali , tidak pernah mengalami gangguan reproduksi, mempunyai siklus estrus yang normal serta sehat dengan organ reproduksi yang normal setelah dilakukan pemeriksaan (palpasi rektal). Sapi yang digunakan berumur antara 4 – 7 tahun dengan nilai kondisi tubuh 2 – 3 (standar 1 – 5 ).

(48)

yang normal dan memiliki corpus luteum (CL) fungsional sebagai syarat sinkronisasi.

Pada pengukuran kadar estrogen dan Progesteron, sapi yang digunakan berjumlah 27 ekor, masing-masing terdiri dari 9 ekor PO, 9 ekor F1 Simental dan 9 ekor F2 Simental. Sapi-sapi ini merupakan sapi terpilih dari 47 ekor sapi yang digunakan dalam menentukan intensitas estrus dan tingkat kebuntingan.

Pada penentuan kemampuan reproduksi, sapi yang digunakan berjumlah 268 ekor , masing-masing terdiri dari 68 ekor PO, 100 ekor F1 Simental dan 100 ekor F2 Simental. Sapi-sapi ini dipilih secara acak dari populasi yang ada dan dicocokkan dengan data inseminasi buatan pada pos inseminasi dan kelompok tani ternak Luak Lalang Kab. Lima Puluh Kota.

Kandang dan Pakan

Sapi yang digunakan sebagai hewan penelitian berasal dari peternakan rakyat sakala kecil yang dipelihara secara individual. Sapi dipelihara secara intensif didalam kandang tradisional yang terbuka dengan atap seng dan lantai semen. Pola dan bentuk perkandangan pada seluruh ternak penelitian relatif sama. Dalam satu kandang terdapat sapi lain yang tidak dijadikan sampel penelitian dan dibatasi dengan sekat, sehingga tidak terjadi kontak langsung antara seekor ternak dengan ternak lainnya.

Pola pemberian serta jenis pakan yang digunakan pada seluruh ternak penelitian relatif sama. Pakan yang diberikan adalah rumput gajah dicampur dengan rumput lapangan, diberikan dua kali sehari pada pagi dan sore hari diiringi dengan pemberian minum. Pemberian pakan hijauna berkisar 30 sampai 50 kg/hari tanpa penambahan konsentrat, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum.

Bahan dan Alat

(49)

Barat. Semen berasal dari sapi Simental Victor (ex. Australia) yang berumur 6 tahun dengan berat badan 980 Kg. Semen yang digunakan dikoleksi pada waktu yang sama dan mempunyai motilitas setelah thawing ± 43 % dengan konsentrasi spermatozoa 25 x 106 / ml. Untuk mengetahui apakah inseminasi dilakukan pada saat yang tepat digunakan deteksi estrus menggunakan alat heat detector dari Haupner® (ex. Jerman). Untuk analisa estrogen dan progesteron digunakan kit estradiol dan kit progesteron dari Coat-A-Count Diagnostic Products Corporation (DPC)® Amerika Serikat.

Untuk keperluan penyuntikan dan koleksi darah digunakan spuit 3 ml, kapas dan alkohol 70%. Darah ditampung pada tabung koleksi yang mengandung K3EDTA sebagai anti koagulan, untuk transportasi digunakan termos yang diisi dengan es .Alat lain yang digunakan adalah centrifuge, freezer, mikroskop, gun, tissu, serta alat-alat lainnya yang relevan dengan penelitian.

Rancangan Penelitian

Penelitian untuk mengetahui intensitas estrus dan tingkat kebuntingan serta level estrogen dan progesteron menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dimana yang dijadikan perlakuan adalah 3 bangsa sapi yaitu PO (sebagai kontrol), F1 Simental dan F2 Simental, masing-masing dengan ulangan yang berbeda sesuai dengan jumlah sapi yang terpilih yaitu 47 ekor untuk intensitas estrus dan tingkat kebuntingan dan 27 ekor untuk level estrogen dan progesteron.

(50)

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 3 kegiatan yang meliputi ; 1. Pengamatan siklus estrus dan intensitas estrus

2. Pengukuran level estrogen dan progesteron dengan metode RIA 3. Pengukuran dengan heat detector dan tingkat kebuntingan. 4. Survei kemampuan reproduksi

Pengamatan Siklus Estrus

Seluruh sapi terpilih (47 ekor) mempunyai organ reproduksi yang normal baik ovarium maupun saluran reproduksinya. Sapi-sapi yang digunakan juga tidak pernah mempunyai masalah reproduksi seperti abortus, distokia dan penyakit reproduksi lainnya.

Pada hari pertama penelitian sapi diinjeksi dengan prosolvin yang mempunyai kandungan Luprostiol (PGF2α analog) 7,5mg/ml. Dosis yang digunakan adalah 15 mg/ekor. Injeksi dilakukan pada saat CL fungsional yang berada pada fase luteal siklus estrus. Penyuntikan ini dimaksudkan untuk meluruhkan CL sehingga diharapkan 2 sampai 3 hari setelah penyuntikan sapi akan memperlihatkan gejala estrus kembali. Penyuntikan semata-mata hanya dilakukan untuk memudahkan pekerjaan dan pengontrolan perkembangan ternak sapi selama penelitian. Perkembangan sapi setelah penyuntikan diamati setiap hari dan hasil pengamatan dicatat, pengamatan meliputi tingkah laku estrus, mulai dari terlihatnya onset estrus. Pada sapi dengan siklus yang normal, estrus berikutnya diharapkan akan terjadi antara 18 sampai 24 hari.

Pada siklus berikutnya setelah gejala estrus akibat penyuntikan Prosolvin, dilakukan pengamatan estrus sebanyak 3 kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 6 sampai pukul 8 WIB, siang hari pukul 13 sampai pukul 15 WIB , sore hari pukul 18 sampai pukul 20 WIB. Siklus normal ini dijadikan pedoman dalam menentukan waktu pelaksanaan IB pada siklus berikutnya.

Intensitas Estrus

(51)

Perubahan vulva, 3) Banyaknya lendir serviks, 4) Ketegangan uterus. Penilaian intensitas estrus dilakukan berdasarkan kriteria jelas (3+) selanjutnya disebut 3, sedang (2+) selanjutnya disebut 2 dan kurang (1+) selanjutnya disebut 1 ( Yusuf 1990; Kune 1998).

Pada penelitian ini pengukuran intensitas estrus dilakukan terpisah pada setiap kriteria pengamatan untuk melihat hubungannya dengan level estrogen. Dengan pengamatan terpisah diharapkan dapat diketahui parameter pengukuran mana yang terbaik dan mempunyai korelasi yang tinggi dengan kadar hormon estrogen.

Tabel 1. Kriteria penilaian intensitas estrus

Kriteria Nilai Intensitas

Tingkah laku 3. Sangat gelisah, mondar mandir, nafsu makan jauh berkurang, keinginan berinteraksi dengan sapi lain, bersuara dengan interval pendek.

2. Gelisah, penurunan nafsu makan sedikit, bersuara dengan interval yang panjang

1. Tidak begitu gelisah, nafsu makan biasa, bersuara tapi jarang, sampai tidak terlihat gejala sama sekali. Perubahan vulva 3. Vulva bengkak dan odematus, mucosa merah

2. Kebengkakan vulva tidak jelas terlihat, mucosa merah atau sebaliknya, vulva

bengkak tapi tidak merah.

1. Kebengkakan vulva dan perubahan warna tidak terlihat dengan jelas.

Lendir seviks 3. Lendir banyak, bening, kental dan jatuh kelantai 2. Lendir sedang, bening, kental menggantung di ekor 1. Lendir sedikit, bening, kental, kadang tidak keluar

dari vulva.

Ketegangan uterus 3. Uterus tegang, kenyal dan elastis

2. Uterus kurang tegang, kurang kenyal dan kurang elastis

1. Uterus tidak tegang, lembek dan tidak elastis

Pengukuran Heat Detector

(52)

memberikan indikasi waktu pelaksanaan inseminasi yang tepat. Alat dimasukkan melalui vagina, didorong kedalam sampai menyentuh pangkal serviks atau minimal 2/3 ujung alat masuk kedalam vagina, selanjutnya alat ditekan kedinding vagina dan tombol “on” pada monitor skala dipencet sehingga jarum akan menunjuk angka tertentu sesuai kekentalan yang ditemukan.

Tabel 2. Kriteria penilaian waktu inseminasi menggunakan heat detector .

Kriteria (ohm) Interpretasi

0 - 30 : Perkawinan yang dilakukan pada kriteria ini terlalu dini >30 - 40 : Merupakan kriteria terbaik untuk perkawinan

>40 – 60 : Perkawinan yang dilakukan pada kriteria ini terlambat

Tingkat Kebuntingan

Pada saat siklus estrus kedua setelah penyuntikan Prosolvin®, sapi-sapi yang estrus dikawinkan dengan semen beku dari pejantan yang sama dan dilakukan oleh petugas yang sama untuk seluruh sapi. Inseminasi dilakukan dengan berpatokan kepada jarak 8 sampai 10 jam setelah onset estrus. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan melalui palpasi rektal pada hari ke 60 atau lebih setelah inseminasi. Diharapkan tidak terjadi kesalahan pemeriksaan karena pada saat itu fetus sudah relatif besar dan bisa diraba pada dinding uterus.

Pengukuran Kadar Estrogen dan Progesteron dengan Metode RIA

Koleksi sampel darah untuk analisa estrogen dilakukan sehari sebelum estrus, pada saat estrus/inseminasi dan sehari setelah estrus/inseminasi. Sampel darah diambil dari vena jugularis pada daerah leher sebanyak 3 ml menggunakan spuit. Darah yang dikoleksi dipindahkan kedalam tabung yang sudah dilapisi K3EDTA , ditempatkan didalam termos yang sudah diberi es. Selanjutnya sampel darah disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit kemudian plasmanya diambil dan dipindahkan kedalam microtube untuk selanjutnya disimpan di freezer pada suhu – 200C sebelum dianalisa di laboratorium.

Gambar

Gambar 1 ; Metoda Back cross untuk menghasilkan persilangan F2
Gambar 2 : Perubahan hormon reproduksi selama siklus estrus  (Senger 1999)
Gambaran kadar hormon progesteron pada kebuntingan
Tabel 1. Kriteria penilaian intensitas estrus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian akan dilakukan pengumpulan data dengan dibuatkan rekapitulasi jumlah tenaga kerja total tiap periodenya selanjutnya kemudian dilakukan perhitungan jumlah

Sehingga seorang pemimpin harus memperhatikan gaya kepemimpinannya dalam proses mempengaruhi, mengarahkan kegiatan anggota kelompoknya yang akan membentuk suatu mekanisme kerja

Dari penjelasan tentang manajemen pendidikan di atas dapat penulis simpulkan, bahwa manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang berupa

maupun literatur kefarm eratur kefarmasian, menganalis asian, menganalisis rencan is rencana kebutuhan a kebutuhan obat, obat, melaksanakan melaksanakan pekerjaan

Hipotesis yang menjadi dugaan sementara untuk penelitian ini adalah ada hubungan positif antara Adversity Quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha

The leader of the kīrtart party, nearest the center of the circle, has begun to sing the type of lyric called Gaurachandrikā— a hymn to the great fifteenth- century Vaishnava

Hasil pengamatan pada pembelajaran siklus 2 tidak ada siswa yang tidak terlibat dalam pembelajaran. Siswa mempresentasikan hasil proyeknya, siswa yang lain

Pramuka tentang mekanisme Corporate Governance , manajemen laba dan kinerja keuangan (2007). Kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai.. berikut: 1)