DAYA JUANG PELAJAR BERPRESTASI DENGAN KETERBATASAN KONDISI
NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Magister Psikologi
Oleh :
ISNAYA ARINA HIDAYATI S 300120021
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA
DAYA JUANG PELAJAR BERPRESTASI DENGAN KETERBATASAN KONDISI
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Kepada Program Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai
Gelar Magister Psikologi
Diajukan oleh :
ISNAYA ARINA HIDAYATI S 300120021
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA
xi
DAYA JUANG PELAJAR BERPRESTASI DENGAN KETERBATASAN KONDISI
Isnaya Arina Hidayati1
Magister Psikologi Sekolah Pascasarjana UMS
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menjelaskan dinamika daya juang, faktor pendukung dan faktor penghambat pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi. Karakteristik informan dalam penelitian ini adalah pelajar tingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi yang tercatat sebagai pelajar berprestasi namun memiliki latar belakang keluarga yang berketerbatasan (ekonomi rendah, penyintas KDRT atau korban broken home). Informan berjumlah 3 orang dan melibatkan 9 informan pendukung yaitu orangtua, guru kelas dan teman dekat. Metode pengambilan data yang digunakan adalah wawancara. Hasil penelitian; 1) Informan mengontrol kesulitan ekonomi dengan perilaku hidup hemat, sikap prihatin dengan membantu meringankan beban ekonomi orangtua. Regulasi diri yang baik dalam mengendalikan situasi sulit agar tidak melebar dan mempengaruhi dimensi pendidikan. Kompensasi yang dilakukan adalah dengan tetap belajar dan meningkatkan prestasi. Perilaku resiliensi atau kemampuan untuk bangkit dan memperbaiki keadaan lebih terlihat pada informan korban broken home dan penyintas KDRT. Adanya rasa syukur, menjadikan informan semakin bersemangat bangkit dari keterpurukan untuk meraih hidup yang lebih baik, disertai motivasi yang kuat dan efikasi relasional antara ibu dan informan. 2) Faktor pendukung pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi berasal dari faktor internal yaitu daya saing, perilaku coping dan kemampuan untuk bangkit melakukan perbaikan (resiliensi), kesadaran diri dan kemampuan berfikir positif disertai rasa syukur, sedangkan faktor eksternal lebih kepada dukungan sosial dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 3) Faktor penghambat daya juang adalah regulasi emosi yang kurang stabil, faktor keuangan, krisis keberfungsian keluarga dan adanya masalah fatherless. Kesimpulan penelitian ini adalah pelajar berketerbatasan kondisi melakukan kompensasi dengan pencapaian prestasi disertai daya juang yang baik dalam menghadapi situasi sulit. Dunia pendidikan baik dalam lingkup keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat selayaknya berperan aktif dalam membentuk kualitas generasi penerus dengan membekali kecerdasan daya juang sejak dini, agar memiliki mental yang tangguh dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup di masa mendatang.
Kata kunci; daya juang, prestasi, keterbatasan kondisi
1
1
DAYA JUANG PELAJAR BERPRESTASI DENGAN KETERBATASAN KONDISI
Isnaya Arina Hidayati
Program Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT
This study aims to explore and explain the dynamics of the striving force namely, the supporting and inhibiting factors of high achieving students striving force with necessitous condition. The informant characteristics of this study are high achieving students with necessitous condition (students who are needy with the broken home family and experiencing violence from their family) who attend junior and senior high school and college students. There are 3 informants and 9 informants complementary, with interview method. The results of this study are; 1) The Informant controlled difficult situations with a positive response. It is embodied by informant through self-acceptance ignorance of inferiority feeling with a good attitude. A good self-regulation being their way to limit difficult situation so that doesn’t affect on educational dimension. It is compensated through study hard to improve achievement. Behavioral resilience or ability to get up and fix problems. The informants show their self-awareness of the importance of achieving their future. Gratitude and acceptance of the situation make informants increasingly resilient to rise from adversity to achieve a better life. There is a relational efficacy aspect come from interaction between mother and informants. 2) Supporting factor is derived from internal factors such as the competitiveness, coping behavior and the ability of improvement (resilience), visionary and strong internal motivation, self-awareness and the ability to think positively with gratitude. While external factors mostly come from social support of family, other students and community. 3) Inhibiting factors namely are the problem of emotion-regulation such as less stable emotional state, poverty, dysfunction of families role and the problem of Fatherless families. It is concluded that high achieving students with necessitous condition indeed compensate their condition with good striving force to face difficult situations. Education either in the family area, school and social environment should actively take role in shaping the quality of the next generation by supplying striving force since early stage, so that mentally tough in dealing with various problems of life in the future.
Keywords: Striving force, high achieving students, necessitous condition
PENGANTAR
Tingkah laku seseorang mengarah kepada suatu tujuan tertentu karena adanya suatu kebutuhan. Berdasarkan teori McClelland, kebutuhan dapat menyebabkan adanya dorongan internal yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu ke arah tercapainya tujuan
2 mengalami hambatan dalam meraihnya (Sulastri, 2007).
Keberhasilan anak dalam mencapai prestasi idealnya disertai oleh faktor- faktor pendukung yang terpenuhi dengan sempurna. Baik dari faktor sekolah, pendidik, lingkungan rumah,
peer group, sampai keadaan internal
keluarga. Peran orang tua adalah faktor terpenting dalam mendampingi keberhasilan anak mencapai prestasi. Pemenuhan kebutuhan kasih sayang, bekal pendidikan, penyediaan fasilitas pendukung, merupakan sebagian dari peran orang tua yang berkontribusi mendukung keberhasilan anak. (Manurung, 2009).
Menjadi hal umum ketika anak berprestasi ditopang sepenuhnya dengan faktor pendukung tersebut di atas. Tetapi Lain halnya dengan yang terjadi di beberapa sekolah dimana sebagian siswa yang mendapat predikat siswa berprestasi memiliki keterbatasan kondisi. Keterbatasan kondisi tersebut antara lain berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah, anak penyintas KDRT, korban broken home, dan yang berkaitan dengan kegagalan orang tua dalam mengawasi serta melindungi anak secara layak.
Bukan menjadi hal mudah bagi individu yang mendapat tekanan di lingkungan keluarga dapat survive dengan kondisi tersebut. Kesulitan keadaan yang mereka alami di lingkungan keluarga tidak menjadi hambatan untuk tetap berkarya, berprestasi demi mengangkat derajat hidup mereka.
Departemen Pendidikan Nasional (2007), Chin dan Hung (2013) menjelaskan bagaimana individu beradaptasi dengan hambatan dan masalah yang dihadapi, sehingga mampu mengubah tantangan menjadi peluang. Konsep ini disebut dengan Daya Juang. Stoltz (2007) menyebut daya juang sebagai kecerdasan adversitas (Adversity
Quotient/ AQ). Adversity Quotient
merupakan kemampuan yang dimiliki
individu dalam menghadapi dan berusaha keras mengatasi kesulitan, sehingga tidak berdampak secara mendalam pada usaha individu dalam menjalani kehidupannya. Individu yang dapat mempergunakan kecerdasan itu secara optimal, kemungkinan besar akan mampu menggapai cita- cita dan tujuan yang ingin diraih. Hal inilah yang menjadi perhatian besar bagi peneliti untuk menggali lebih dalam bagaimana daya juang pelajar berprestasi tetapi memiliki latar belakang keterbatasan kondisi.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka pertanyaan penelitian yang dirumuskan adalah (1) Bagaimana dinamika daya juang pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi? (2) Faktor-faktor apa yang mendukung daya juang pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi? (3) Faktor-faktor apa yang menghambat daya juang pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi? Daya Juang
Permasalahan yang berat mampu dihadapi jika memiliki ketahanan dan daya juang untuk terus berusaha. Kemampuan berjuang atau bisa juga disebut daya juang merupakan kemampuan mempertahankan atau mencapai sesuatu yang dilakukan dengan gigih. Daya juang adalah kemampuan dalam menghadapi kesulitan atau ketahanan terhadap situasi yang menekan (Susanti, 2013).
Leman (2007) menambahkan daya juang sebagai kemampuan seseorang baik fisik maupun psikis untuk menghadapi masalah. Senada dengan pernyataan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (2007) dan hasil penelitian Markman, Robert dan Balkin (2003), Nashori (2007), Chin & Hung (2013) mengartikan adversity quotient sebagai
“daya juang”, yaitu kemampuan mempertahankan atau mencapai sesuatu yang dilakukan dengan gigih.
3 istilah kecerdasan adversity (Adversity
Quotient), yaitu kecerdasan individu
dalam menghadapi rintangan atau kesulitan dengan gigih dan ketekunan seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian. Salah satu rahasia untuk mengatasi tantangan atau kesulitan bagi setiap individu yaitu dengan meningkatkan AQ - Adversity Quotient (Stoltz, 2003).
Dalam konsep daya juang, individu dengan daya juang yang tinggi, akan cenderung merasa bertanggung jawab atas masalah yang dihadapinya saat berada dalam kesulitan, mampu mengontrol masalah, lihai dalam mencari pemecahan masalah dan fokus terhadap solusi (Stoltz, 2007). Dapat disimpulkan bahwa daya juang (adversity quotient) adalah kemampuan, ketahanan dan kegigihan individu dalam menghadapi kesulitan, mengubah hambatan menjadi sebuah tantangan dan kesempatan untuk meraih tujuan yang diharapkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya juang menurut Stoltz (2007) adalah sebagai berikut: (a) Daya saing. Daya juang menjadi rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi (Bennu, 2012), (b) Produktivitas. Diantara hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kinerja karyawan atau prestasi siwa dengan respon yang diberikan terhadap kesulitan yang sedang dihadapi (Ramadhanu dan Suryaningrum, 2014), (c) Motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan (Ying Shen, 2014), artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki, (d) Mengambil resiko, penelitian yang dilakukan oleh Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2000) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai daya juang
tinggi lebih berani mengambil resiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan daya juang tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif, (d) Perbaikan, seseorang dengan daya juang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah konkrit (Novianty, 2014), yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain, (e) Ketahanan atau ketekunan, individu yang merespon kesulitan dengan baik akan senantiasa survive dengan keadaannya dan menjadikan kesulitan sebagai tantangan yang harus dihadapi, (f) Belajar, anak-anak dengan respon pesimis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki rasa optimis. Seorang siswa memiliki banyak rintangan dalam pencapaiannya menuju cita-cita dan impiannya. Dengan adanya daya juang dan keuletan dalam belajar diharapkan siswa mampu meraih prestasi belajar yang baik.
4 Terdapat empat dimensi atau aspek dalam daya juang yang sering disingkat dengan CO2RE yaitu (C) control atau kendali yaitu seberapa besar kendali individu menghadapi masalah, (O2) origin dan ownership atau asal usul dan pengakuan yaitu apa penyebab masalah dan bagaimana akibatnya terkait dengan diri sendiri, (R) reach atau jangkauan yaitu bagaimana suatu masalah mempengaruhi dimensi lain dari kehidupan, (E) endurance atau daya tahan yaitu respon waktu berlangsungnya permasalahan (Stoltz, 2000; Ying Shen, 2014; Markman, Baron & Balkin, 2003; Huijouan, 2009; Akbar, Supriyono & Ramli, 2014; Santos, 2012; Kitch, 2002; Chin & Hung, 2013).
Pelajar Berprestasi dengan Keterbatasan Kondisi
Azwar (2005), Maslihah (2011) dan Suryabrata (2002), menyatakan bahwa siswa atau pelajar berprestasi akademik adalah seluruh hasil yang telah dicapai (achievement) yang diperoleh melalui proses belajar akademik
(academic achievement) yang dapat
dipakai sebagai ukuran untuk mengetahui sejauh mana para siswa menguasai bahan pelajaran yang diajarkan dan dipelajari. Lain halnya dengan pelajar berprestasi tidak hanya dalam bidang akademik, melainkan prestasi secara keseluruhan,
mereka adalah gambaran pelajar yang
berprestasi ideal, yaitu sukses dalam tugas
akademik maupun kehidupan non
akademiknya; menguasai bidang ilmu yang ditekuninya, mencapai nilai hasil belajar yang sangat baik, dapat meningkatkan keterampilan, mengembangkan minat serta mengasah bakat dan potensi dirinya dengan
aktif dalam berbagai kegiatan
ekstrakurikuler (Dirjen Dikti, 2010).
Disempurnakan oleh Rushdie & Isnawati (2009) bahwa prestasi tidak hanya melihat segi kognitif saja, tetapi juga memperdulikan aspek-aspek lain seperti aspek afektif, behavioral dan spiritual. Maka yang dimaksud dengan pelajar
berprestasi adalah peserta didik dengan usia tertentu yang menuntut ilmu di sebuah institusi tertentu dan memiliki prestasi dalam segi kognitif, afektif, behavioral, spiritual, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.
Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dengan keamanan, keselamatan dan ketenteraman serta mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dimensi kesejahteraan manusia yaitu; memiliki ilmu dan pengetahuan, interaksi sosial yang baik, diri yang diakui, integritas, kesehatan, jaminan ekonomi, kebebasan, kasih sayang dan harta (Undang-undang No 11, 2009; Rooyen & Hartell, 2002).
Merujuk pada PERMENSOS RI no. 8 dalam pusat data dan informasi kesejahteraan sosial (2011), seseorang yang tidak terpenuhi atau dalam
“keterbatasan kondisi” beberapa dimensi
kesejahteraan tersebut di atas, maka dapat disebut dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). PMKS adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan, atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, ketidak harmonisan dalam keluarga, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan/ketertinggalan, dan bencana alam maupun bencana sosial.
5 anak, ketidak harmonisan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, yang berpengaruh pada dimensi kesejahteraan hidup individu.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif tinjauan studi kasus, melibatkan 2 jenis informan, yaitu primer dan sekunder. Informan primer adalah pelajar berjumlah 3 orang, tercatat berprestasi di sekolah dengan keterbatasan kondisi yaitu keluarga berpenghasilan rendah (miskin) atau anak penyintas KDRT atau korban broken home atau yang berkaitan dengan kegagalan orang tua dalam mengawasi serta melindungi anak secara layak. Informan sekunder adalah pendamping/orang tua, guru dan teman dekat dari informan primer. Pemilihan informan dilakukan secara purposive
sampling, yaitu pemilihan berdasarkan
karakteristik yang ditentukan oleh peneliti.
Pengumpulan data menggunakan interview yang mendalam (in depth interview). Interview yang dilakukan bisa lebih dari sekali terhadap satu orang informan. Proses pengumpulan data menurut Creswell (2010) mengikuti pola zig-zag, yaitu peneliti ke lapangan mencari informasi, kemudian menganalisis data yang diperoleh, kembali lagi ke lapangan untuk mendapatkan lebih banyak informasi, menganalisis data lagi, dan seterusnya.
Data yang valid dapat diperoleh dengan melakukan uji keabsahan data atau uji kredibilitas terhadap data hasil penelitian. Pada penelitian ini teknik keabsahan data yang digunakan adalah perpanjangan pengamatan dan melakukan diskusi dengan teman sejawat. Perpanjangan pengamatan dalam penelitian ini dilakukan dalam proses pengumpulan data, peneliti seringkali berkunjung ke sekolah atau rumah untuk menemui subjek, membangun kedekatan, rasa nyaman dan aman. Diskusi dengan
teman sejawat mencakup pemberian saran, kritik dan arahan.
Langkah-langkah yang peneliti lakukan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut; (1) Reduksi data (2) Pengkodean data (3) Menghubungkan tema-tema dituang dalam bentuk narasi (4) Interpretasi data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Informan pertama berinisial MNS, berasal dari keluarga berlatar belakang ekonomi rendah. Ayah bekerja sebagai penjual karcis di sebuah Perusahaan Otomotif swasta. Dengan pendapatan tidak menentu setiap harinya. Ibu sebagai penjual es dan makanan ringan di warung kecil yang terletak di depan rumah. Penghasilan sampingan dari ibu sebagai buruh cuci. Saat ini MNS bersekolah dengan bantuan beasiswa dari BSM (Beasiswa Siswa Miskin) dan beasiswa At- Taqwa dari suatu OrMas di daerahnya. Informan MNS selalu menduduki peringkat pertama semenjak SMP kelas VII sampai kelas IX. MNS juga menjadi siswa dengan nilai Ujian Nasional terbaik se- Sukoharjo. Bukan hanya dalam hal akademik, MNS juga aktif di berbagai lomba dengan prestasi antara lain; Juara 1 mengarang CerPen tingkat kabupaten, juara 2 lomba cerdas cermat tingkat kabupaten, juara 2 olimpiade Sains tingkat kecamatan, juara 4 lomba rumpun IPA yang diadakan oleh Universitas sebelas maret (UNS).
Informan kedua berinisial AFA berjenis kelamin perempuan, berlatar belakang keluarga yang tidak harmonis
(Broken Home). Orangtua bercerai dan
6 pengrajin kayu pacul. Ketika informan AFA duduk di bangku SMP, selalu memperoleh peringkat pertama dari kelas 1 sampai 3. Saat ini AFA bersekolah di salah satu SMA favorit di Surakarta melalui jalur undangan yang notabene diperuntukkan bagi siswa-siswa berprestasi. AFA seringkali mengikuti beberapa perlombaan olimpiade mewakili sekolahnya, baik akademik maupun non-akademik. AFA juga mendapat bantuan beasiswa atas prestasi yang telah diraih di sekolahnya.
Informan ketiga berinisial RRR berjenis kelamin perempuan, berasal dari keluarga berlatar belakang ekonomi rendah. Ayah bekerja sebagai buruh sablon harian dengan penghasilan ±100 ribu-150 ribu perhari, dahulu ayah pernah bekerja membantu tetangga merapikan jilid buku, dihargai 300 rupiah - 500 rupiah perkilo. Ibu pernah bekerja sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga, karyawan laundry, sampai akhirnya dapat membuka jasa laundry sendiri di rumah. Saat ini RRR bersekolah di perguruan tinggi negeri ternama di Jogjakara, UGM (Universitas Gajah Mada) dengan dana bantuan beasiswa dari Bidikmisi atas prestasi yang telah diraih masa SMA.
Semenjak duduk di bangku SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi RRR sudah mendapat beasiswa atas pencapaian prestasinya. Informan RRR seringkali mendapat peringkat 1 semenjak SMP sampai SMA, memperoleh Indeks prestasi akademis yang cukup tinggi di bangku kuliah, memperoleh juara 1 nilai tertinggi Ujian Nasional baik di SMP maupun SMA. RRR aktif mengikuti berbagai perlombaan-perlombaan akademis mewakili sekolah, diantaranya adalah Juara 3 lomba olimpiade fisika tingkat provinsi, Juara 2 lomba bahasa Indonesia tingkat kabupaten, Lomba bahasa Inggris tingkat kabupaten, juara 3 siswa berprestasi tingkat kabupaten. RRR mendapat beasiswa semenjak duduk di bangku SMP, SMA sampai di perguruan
tinggi atas prestasi yang telah diraih. Informan RRR diberi kepercayaan untuk menjadi departemen pembelajaran di
development community di organisasi
kampus, menjadi fasilitor dalam sebuah unit kegiatan kampus, dan aktif di berbagai organisasi mahasiswa lainnya. Dinamika daya juang pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi
Berdasarkan hasil analisa kasus pada ketiga informan (MNS, AFA, RRR) diketahui dimensi “Control” muncul pada informan. Dalam konsep daya juang
dimensi “Control” yang menunjukkan
seberapa besar individu dapat mengendalikan situasi sulit. Individu berdaya juang tinggi mampu mengendalikan, proaktif dalam pendekatan mereka terhadap situasi yang merugikan dan tidak merasa putus asa saat berada dalam situasi sulit (Chin & Hung, 2013; Stoltz, 2000).
Ketiga Informan mengendalikan keterbatasan kondisi ekonomi keluarganya dengan berperilaku hidup hemat dan sikap yang mandiri. Perilaku coping yang terlihat pada Informan AFA dalam meredam rasa kesal dan kecewa dengan permasalahan keluarganya, menunjukkan control yang sangat baik. Strategi coping mengacu pada cara-cara untuk menangani stres dan kesulitan dalam beberapa keadaan. Hal ini juga termasuk upaya untuk memecahkan masalah dan menghadapi situasi problematis (Lee, 2012).
Informan MNS mampu
7 menurut Cronbach berarti telah menyadari, memahami dan menerima apa adanya dengan disertai keinginan dan
kemampuan untuk selalu
mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh tanggung jawab (Novianty, 2014).
Dalam situasi sulit yang dialami, ketiga informan dapat mengontrol keterpurukan tersebut agar tidak melebar dan mempengaruhi dimensi lain dari kehidupannya, yaitu dimensi pendidikan. Informan mencari celah lain untuk dapat meningkatkan harga diri dengan meraih dan mempertahankan prestasinnya. Hal ini sesuai dengan konsep daya juang
Stoltz (2000), terdapat aspek “Reach”
yaitu sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan mempengaruhi dimensi atau sisi lain dari kehidupan individu (Markman, Baron & Balkin, 2003).
Pada konsep daya juang, terdapat dimensi “Endurance”, yaitu mempertanyakan berapa lama situasi sulit akan berlangsung (Stoltz, 2000; Ying Shen, 2014). Individu yang memiliki respon rendah pada dimensi ini akan memandang kesulitan sebagai peristiwa yang berlangsung terus menerus. Sedangkan individu yang berdaya juang tinggi akan tetap memiliki harapan dan optimisme (Markman, Baron & Balkin, 2003). Informan AFA bangkit dan berusaha menyikapi permasalahan hidupnya dengan respon positif dan produktif.
The American Psychological
Association menggunakan istilah
“resiliensi” untuk mengutarakan suatu
proses adaptasi atau kemampuan individu untuk pulih dari kesulitan, trauma, tragedi, ancaman. Artinya bahwa resiliensi adalah "daya lenting" dari pengalaman yang sulit (Lee, Cheung & Kwong, 2012; Masten, 2009). Stoltz berpendapat Adversity quotient (daya juang) menjadi tolak ukur resiliensi dan kemampuan bertahan individu dalam menghadapi perubahan konstan, berbagai
tekanan dan kesulitan (Canivel, 2010). Sadar akan pentingnya masa depan dan membahagiakan orangtua adalah suatu semangat tersendiri bagi informan MNS dan AFA untuk tidak terlalu lama berlarut-larut meratapi keterpurukannya.
Aspek motivasi tak luput dari daya juang para informan untuk tetap berprestasi, Selain berasal dari dalam diri yang kuat, motivasi eksternal juga berpengaruh besar. Sosok ibu adalah motivator terbesar dalam menghadapi kesulitan hidup sekaligus menjadi aspirasi pendidikan yang tinggi bagi para informan untuk berjuang meraih prestasi. Penelitian yang dilakukan oleh Xu, Benson, Camino dan Steiner (2010) menyatakan bahwa keterlibatan orangtua memiliki hubungan dengan belajar berdasar reguasi diri dan meningkatkan prestasi pada anak.
Motif terkuat yang
melatarbelakangi para informan dalam meraih prestasi adalah sosok ibu. Terdapat “efikasi relasional” pada ketiga infroman yaitu kemampuan dan keyakinan seseorang untuk mengelola relasi (kedekatan emosi) dengan orang-orang terdekat serta dukungan sosial dari hubungan kekeluargaan untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan bersama serta kemampuan untuk menghadapi permasalahan dan dampak dari permasalahan tersebut (Kim & Park, 2006). Hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa dukungan sosial dari orangtua memiliki pengaruh yang kuat pada performa akademik siswa.
Daya juang informan dalam mempertahankan prestasi meskipun memiliki masalah dalam lingkup keluarganya dikuatkan dengan rasa syukur serta sikap menerima keadaan yang terlihat pada ketiga informan. Dalam konsep daya juang terdapat dimensi
Origin dan Ownership yang berkaitan
8 akibat dari situasi sulit, bertanggungjawab dan tidak akan menyalahkan orang lain (Akbar, supriyono & Ramli, 2014; Kitch, 2002; Stoltz, 2000; Santos, 2012; Ying Shen, 2014).
Rasa syukur dan penerimaan diri yang baik pada diri informan didapat dari figur Ibu yang selalu memberi pelajaran hidup semenjak kecil, ibu memberi nasehat dan cerita tentang bagaimana perjuangan bertahan hidup, untuk selalu bersyukur dan menerima keadaan, sehingga Informan lebih dewasa dan terampil dalam menyikapi situasi sulit. Hal ini sejalan dengan pendapat Zainuddin (2010) yaitu cara orang tua mendidik akan sangat berpengaruh terhadapat daya juang anak. Pola asuh yang baik dimana orang tua memberikan bimbingan dan mengajarkan ketrampilan-ketrampilan dalam menghadapi kesulitan hidup sebagai bekal anak dalam menghadapi masa depannya akan mempengaruhi perilaku yang efektif. Faktor pendukung daya juang pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi
Berdasarkan analisa kasus informan MNS, AFA dan RRR ditemukan faktor-faktor yang mendukung informan dalam pencapaian prestasinya meskipun dengan keterbatasan kondisi yang dialami, yakni: (1) Dorongan internal.
Keterbatasan kondisi justru menjadi pendorong para informan untuk berpendidikan tinggi dan meraih prestasi. Motivasi dan keyakinan yang kuat menjadikan informan tetap bertahan menghadapi kesulitan. Motivasi merupakan daya penggerak psikis dalam diri pelajar yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar demi mencapai satu tujuan. Selain itu motivasi juga sangat penting dalam memberikan gairah, semangat dan rasa senang dalam belajar. Motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya
menyelesaikan kesulitan dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki dan lebih efektif dalam proses pencapaiannya (Stoltz, 2007; Ying Shen, 2014).
Informan memiliki strategi untuk meningkatkan prestasi belajarnya, yaitu mengamati dan meniru gaya belajar teman-teman yang pintar sebagai role
modelnya dalam meraih prestasi. Daya
saing (jiwa kompetitor) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi daya juang individu, adanya daya saing individu dapat menciptakan peluang dalam menghadapi permasalahan (Bennu, 2012; Stoltz, 2007).
9 dukungan moral dan emosional yang diberikan dari teman-teman dan guru, seperti perhatian, motivasi, memberi arahan dan membantu meringankan kesulitan. Sekolah bukan hanya wadah untuk mencari ilmu tetapi sekolah juga mampu memberikan masukan baik dalam membentuk karakter anak. Karena di sekolah anak menemukan berbagai macam hal yang bisa mempengaruhi dirinya (Zainuddin, 2010). c) Lingkungan masyarakat, yaitu seperti bantuan beasiswa, penghargaan atau uang pembinaan dari lembaga atau kelompok organisasi masyarakat. Bantuan fasilitas pendukung belajar juga diberikan dari tetangga atau saudara. Lingkungan masyarakat dapat berupa lingkungan tetanga, orang yang dianggap dekat yang berada di sekitar inividu, maupun lingkungan tempat tinggal. Apabila lingkungan yang diterimanya baik, maka baik pula pengaruhnya (Zainuddin, 2010). Menurut Sarafino (2006) dukungan sosial bisa didapat karena kehadiran mereka yaitu dukungan sosial yang bersifat secara langsung misalnya bantuan peralatan, pekerjaan dan keuangan.
Faktor penghambat daya juang pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi
1) Regulasi Emosi. Keadaan emosi yang kurang stabil menghadapi pesaing dalam hal prestasi, seringkali menjadikan informan patah semangat jika mendapat nilai yang tidak sesuai dengan harapannya dan minder jika melihat teman yang mendapat nilai lebih tinggi darinya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanto (2006) menunjukkan hubungan yang signifikan antara regulasi diri dengan prestasi belajar, dimana keberhasilan seseorang dalam menjalankan proses pendidikannya tidak hanya ditentukan oleh tingkat intelegensi, melainkan juga aspek metakognisi, motivasi dan perilaku yang merupakan bagian dari regulasi diri. 2) Ketiadaan Dana. Keuangan menjadi kendala informan dalam melengkapi
proses belajarnya. Informan tidak membeli buku-buku penunjang dan mengurungkan niat untuk mengikuti les atau kursus tambahan, karena orangtua
tidak mampu membiayai.
Ketidakmampuan keluarga dalam hal ekonomi mempengaruhi minat dan motivasi anak dalam belajar. Sulitnya pemenuhan kebutuhan primer, menyebabkan terabaikannya kebutuhan sekunder yang merupakan kebutuhan masa depan keluarga, dalam hal ini adalah kebutuhan akan pendidikan (Dewi, Zukhri & Dunia, 2014).
3) Fatherless dan krisis keberfungsian
keluarga. Menurut Lerner (2011) ketiadaan peran-peran penting dari Ayah akan berdampak pada rendahnya harga diri (self-esteem), adanya perasaan marah (anger), malu (shame). Kehilangan peran ayah juga menyebabkan seorang anak akan merasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), kedukaan (grief) dan kehilangan (lost) yang amat sangat, yang disertai pula oleh rendahnya kontrol diri
(self- control), inisiatif, keberanian
mengambil resiko (risk taking),
dan psychology well-being, serta
10 telanjur memberikan banyak kemudahan atau fasilitas cenderung menimbulkan berkurangnya kemandirian dan kedewasaan anak dalam bertindak dan menghadapi masalah (Bennu, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Musdalifah (2007) menunjukkan bahwa hambatan perkembangan kemandirian pada individu disebabkan karena ketergantungan pada orangtua, pola asuh permisif, kurangnya perhatian atau bimbingan dari orangtua untuk menguasai tugas perkembangan yang berkaitan dengan kemandirian, serta kurangnya motivasi untuk mandiri.
Keunikan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya adalah munculnya aspek Relational Efficacy (efikasi relasional) antara ibu dan informan dalam pencapaian prestasi, ditemukan pula
fatherless pada permasalahan setiap
informan yang juga menjadi salah satu faktor penghambat dan adanya rasa syukur yang diinternalisasikan oleh informan pada dinamika daya juang dalam mempertahankan prestasi meskipun memiliki keterbatasan kondisi. Setelah melakukan penelitian, analisis dan pembahasan, maka peneliti dapat memberikan keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu; pada salah satu informan jenjang pendidikan perguruan tinggi, peneliti tidak dapat bertemu dan melakukan wawancara kepada informan pendukung yaitu dosen atau pengajar. Peneliti hanya bisa mewawancarai guru informan di SMA. Hal ini menyebabkan data yang diperoleh kurang eksploratif dan tidak aktual sesuai dengan jenjang pendidikan yang sedang ditempuh. KESIMPULAN
Dinamika daya juang pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi adalah: Informan mengontrol kesulitan ekonomi dengan perilaku hidup hemat, sikap prihatin dan menerima keadaan dengan membantu meringankan beban ekonomi orangtua. Regulasi diri yang baik dalam mengendalikan situasi sulit
agar tidak melebar dan mempengaruhi dimensi lain dari kehidupan yaitu dimensi pendidikan. Kompensasi yang dilakukan adalah dengan tetap belajar dan meningkatkan prestasi. Perilaku resiliensi atau kemampuan untuk bangkit dan memperbaiki keadaan lebih terlihat pada informan korban broken home dan penyintas KDRT. Kesadaran diri akan pentingnya masa depan merupakan semangat tersendiri bagi ketiga informan untuk mencapai prestasi. Adanya rasa syukur, menjadikan informan semakin bersemangat bangkit dari keterpurukan untuk meraih hidup yang lebih baik, disertai motivasi yang kuat dan efikasi relasional antara ibu dan informan untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan bersama.
Faktor pendukung daya juang pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi adalah 1) Faktor Internal antara lain; Adanya daya saing (jiwa kompetitor) yang dimiliki informan, perilaku coping dan kemampuan untuk bangkit melakukan perbaikan (resiliensi), memiliki tujuan dan motivasi internal yang kuat untuk tetap produktif mencapai pendidikan tinggi dan meraih prestasi. Kesadaran diri dan kemampuan berfikir positif disertai rasa syukur. 2) Dukungan sosial a) Lingkungan keluarga, yaitu faktor keberfungsian keluarga, dukungan materi dan emosional dari orang tua, apresiasi (reward) atas pencapaian prestasi. b) Lingkungan Sekolah, mengarah kepada dukungan moral dan emosional yang diberikan dari teman-teman dan guru, seperti perhatian, motivasi, memberi arahan dan membantu meringankan kesulitan. c) Lingkungan masyarakat, yaitu seperti bantuan beasiswa, penghargaan atau uang pembinaan dari lembaga atau kelompok organisasi masyarakat. Bantuan fasilitas pendukung belajar juga diberikan dari tetangga atau saudara.
11 kondisi adalah regulasi emosi yang kurang stabil dalam menghadapi kesulitan dan mengakibatkan penurunan prestasi. Faktor keuangan keluarga yang kurang bisa memenuhi kebutuhan pendidikan informan, Krisis keberfungsian keluarga dan adanya masalah fatherless dari ketiga informan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2005) Tes prestasi dan
pengukuran prestasi belajar.
Yogyakarta: Pustaka pelajar
Akbar, Y. R., Supriyono, Y. & Ramli, A. H. (2014) Peran Emotional Quotient dan Adversity Quotient Terhadap Kecemasan Menghadapi
Dunia Kerja Pada Siswa SMK.
(Research). Retrieved from http//psikologi.ub.ac.id/wp.content/u ploads/2014/09/Jurnal.pdf
Bennu, S. (2012) Adversity Quotient:
Kajian Kemungkinan
Pengintegrasiannya dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal AKSIOMA, 01 (01), 55 – 62. Chin, PL. & Hung, ML. (2013)
Psychological Contract Breach And Turnover Intention The Moderating Roles of Adversity Quotient And Gender. Social Behavior and
Personality Journal. 41 (5),
843-860. http://dx.doi.org/10.2224/sbp. Creswell, John W. (2010) Research
Design Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif, dan Mixed.Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Canivel, L.D. (2010) Principals’ Adversity Quotient: Styles, Performance And Practice.
Disertation, The faculty of the
College Education University of Philippines, Quezon City.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2010) Pedoman Umum Pemilihan
Mahasiswa Berprestasi.
Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
Dewi, N.A.K., Zukhri, A. & Dunia, K. (2014) Analisis Faktor-faktor
Penyebab Anak Putus Sekolah Usia Pendidikan Dasar di Kecamatan Gerokgak Tahun 2012/2013.
Ejournal.Unidiksha.ac.id. 4 (1)
2014.
Huijouan, Z. (2009) The Adversity Quotient and Academic Performance Among College
Students AT ST. Joseph’s College
Quezon City. Thesis. Faculty of The Departments of Arts And Sciences. Herawaty, Y. & Wulan, R. (2013)
Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga dan Daya Juang Dengan Belajar Berdasar Regulasi Diri Pada Remaja. Jurnal Psikologi, 9 (2); 138-147
Kitch, S. L. (2002) Claiming success: From adversity to responsibility in women's studies. NWSA Journal; Spring, 14 (1), 160 – 181 ProQuest Kim, U., & Park, Y. S. (2006).
Indigenous psychological analysis of academic achievement in Korea: The influence of self-efficacy, parents, and culture. International Journal of Psychology. 41(4), 287-292.
Leman (2007) The Best of Chinese Life
Philosophies. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Lee, T. K., Cheung, C. K & Kwong, W. M. (2012). Resilience as a Positive Youth Development Construct: A Conceptual Review. The Scientific
World Journal. 2012, 1-9. doi:
10.1100/2012/390450.
Lerner, Harriet (2011) Losing a Father Too Early. Dipublikasikan pada 27 November 2011 oleh Harriet Lerner dalam The Dance of Connection. http://www.psychologytoday.com/bl og/the-dance-connection. Diakses 17 Desember 2015
Manurung, R. (2009). 12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah. [Online].
Diunduh dari
12 Markman, G. D., Baron, R. A & Balkin,
D. B. (2003) Adversity Quotient: Perceived Perseverance and New Venture Formation. Colaborative Reasearch
Maslihah, S. (2011) Studi Tentang Hubungan Dukungan Sosial, Penyesuaian Sosial Di Lingkungan Sekolah Dan Prestasi Akademik Siswa Smpit Assyfa Boarding School Subang Jawa Barat. Jurnal
Psikologi Undip, 10 (2), 103 - 114.
Masten, A. S. (2009). Ordinary Magic: Lessons from research on resilience in human development. Education
Canada, 49(3), 28-32.
Novianty, M. E. (2014) Penerimaan Diri Dan Daya Juang Pada Wanita Penderita Systhemic Lupus Erythematosus (SLE). Ejournal psikologi, 2 (2): 171 – 181.
Nashori (2007) Pelatihan Adversity Intellegence untuk Meningkatkan Kebermaknaan Hidup Remaja Panti Asuhan. Jurnal Psikologi No.23 Thn. XII.
Ramadhanu, M. & Suryaningrum, C. (2014) Adversity Quotient Ditinjau dari Orientasi Locus of Control Pada Individu Difabel. Jurnal
ilmiah psikologi terapan, dalam
ejournal.umm.ac.id..
Rooyen, L.V & Hartell, C. G. (2002) Health of The Street Child: The Relation Between Life-Style, Immunity and HIV/AIDS A Synergy of Research. South African
Journal of Education, 22 (3)
188-192.
Stoltz, P. G. (2007) Adversity Quotient @ Work (Alih Bahasa: Drs. Alexander
Sindoro). Batam: Interaksara
Santos, M. C. J. (2012) Assesing The Effectiveness of The Adapted Adversity Quotient Program In A Special Education School. Journal
of Arts Science & Commerce.
International Refereed Research Journal, III, Issue 4 (2), 13 – 23,
ISSN 2231-4172
www.researchersworld.com
Sulastri, T. (2007) Hubungan Motivasi Berprestasi dan Disiplin dengan Kinerja Dosen. Jurnal Optimal, 1 (1), 13 – 21.
Sarafino, E.P. (2006) Health Psychology
Biopsychosocial Interaction. Fifth
ed. USA: John Wiley & Sons. Susanti, N. (2013) Hubungan Antara
Dukungan Sosial Dan Daya Juang Dengan Orientasi Wirausaha Pada Mahasiswa Program Profesi Apoteker Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. EMPATHY journal Fakultas Psikologi, Vol. 2 (1), 2013
Suryabrata, S. (2002) Psikologi
pendidikan.Yogyakarta: PT. Raja
grafindo persada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009. Kesejahteraan Sosial
Vahedi, s. Mostafifi, f., mortazanajad,H., (2009) Self Regulation And Dimensions Of Parenting Styles Predict Psychological Procrastination Of Undergraduate Students. Iran Journal Psychiatry, 4, 147-154
Xu, M., Benson, K.N.S., Camino, M.R., Steiner, P.R (2010) The Relationship Between Parental Involvement, Self Regulated Learning And Reading Achievement Of Fifth Graders.
Journal social psychology of
educaton, 13 (2) 237-269
Ying Shen, C. (2014) The Relative Study of Gender Roles and Job Stress and Adversity Quotient. The Journal of
Global Business Management, 10
(1) 19 – 32.
Zainuddin. (2010). Pentingnya Adversity Quotient Dalam Meraih Prestasi Belajar, Pontianak: Universitas Tanjungpura. Jurnal Guru
Membangun. 26 (2). 2011.