• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ocular Immune Responses

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ocular Immune Responses"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

OCULAR IMMUNE RESPONSES

OLEH :

ARYANI ATIYATUL AMRA NIP. 131 996 177

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

I. PENDAHULUAN

Semua organ tubuh kita memberikan respon imun,

termasuk mata, yang dibagi menjadi dua kategori utama yaitu respon

imun humoral dan selular. Respon imun humoral terutama terjadi

melalui IgE dan sel mast yang mengawali reaksi alergi. IgG kadar

tinggi dalam darah dapat berperan dalam penyakit autoimun yang

mengenai mata seperti pemfigoid. Sedangkan respon imun selular

melibatkan sel T. Respon imun yang efektif terhadap antigen benda

asing membutuhkan sel efektor dalam suatu aturan lintasan melalui

jaringan, meskipun beberapa faktor yang dapat larut (seperti sitokin)

berperan penting terhadap aktivasi sel – sel imun, leukosit masih

diperlukan sebagai tanda untuk lalu lintas efektif. 1,2,3,4,5

Mata merupakan kelanjutan susunan saraf pusat sedang

konjungtiva merupakan kelanjutan dari jaringan ikat, berupa mukosa

yang berhubungan dengan jaringan limfosit. Epitel konjungtiva terdiri

dari suatu kelompok sel dendritik yang dikenal sebagai sel langerhans,

dimana fungsinya sama dengan makrofag di jaringan – jaringan lain

dalam tubah, yaitu sebagai sel penjaga pada sistem imun permukaan

okular. Imunitas humoral pada konjungtiva lebih banyak melibatkan

IgA, dan imunitas selular yang didominasi oleh CD4+ sel T. Adanya sel

– sel imun, konjungtiva mempunyai pembuluh limfatik yang kaya

suplainya, yang menjadi tempat lintasan sel – sel imun dan antigen

(3)

banyak terjadi. Sel mast ditemukan dalam konjungtiva, koroid dan

saraf mata serta mukosa konjungtiva yang merupakan komponen

mata. Vitreus dan kornea avaskular dan tidak dimasuki sel mast. Uvea

yang terdiri dari iris, badan siliaris dan choroid adalah jaringan mata

yang paling ekstensif vaskularisasinya. Uvea terlibat primer dalam

hipersensitivitas selular dan penyakit kompleks imun, sedangkan

konjungtiva dilibatkan primer dalam hipersensitivitas cepat dan alergi.

Kornea avaskular dan tidak terdapat sel mast, jadi pada keadaan

normal tidak mengalami reaksi alergi akut, kornea juga disokong oleh

sel – sel dendritik seperti dikonjungtiva, sel – sel dendritik pada epitel

kornea juga disebut sel – sel langerhans. Kornea turut berpartisipasi

dalam reaksi imun melalui jalur humoral dan komponen – komponen

sel imun yang masuk dari periper melalui pembuluh darah limbus. . 1,4,6

II. REAKSI HIVERSENSITIVITAS 1,7,8,9 A. Reaksi Tipe I

Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis

(reaksi alergi). Alergan yang masuk kedalam tubuh

menimbulkan respon imun berupa produk IgE dan penyakit

alergi. Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan

bantuan sel T helper (Th). IgE diikat oleh sel mast/basofil.

Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi

(4)

protease), sintesa metabolik asam arakidonat (prostaglandin,

leukotrin) dan sintesa berbagai sitokin yang merupakan

mediator vasoaktif. Patogenesis reaksi alergi dimulai dengan

interaksi antigen presenting cell (APC) CD4+ T helper 2 (Th2)

yang melepas interleukin – 4 (IL – 4) dan sitokin – sitokin Th2

lainya.

B. Reaksi Tipe II

Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi

karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen

yang merupakan bagian sel penjamu, dan mengikat reaksi yang

terjadi disebabkan lisis dan bukan efek tosik, mungkin

disebabkan aktivitas komplemen (perkembangan dari kompleks

penyerang membran) dan dari pemilihan leukosit termasuk

neutrofil, limfosit, dan makrofag, sehingga disebut “killer

lymphocytes” (limfosit pembunuh) yang mungkin berpengaruh

pada antibodi dependent cell cytotoxicity (ADCC). Pada

umumnya banyak peneliti menjelaskan bahwa respon tipe II ini

tidak banyak berperan pada morbiditas kornea dan permukaan

okular.

C. Reaksi Tipe III

(5)

kompleks antigen

– antibodi ditemukan dalam sirkulasi / dinding pembuluh

darah atau jaringan dan

mengaktifkan komplemen sekunder, sel efektor dan perekrutan.

Kompleks imun

bisa mengikat komplemen yang menarik leukosit

polimorfonuklear. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM

atau IgG

D. Reaksi Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi “cell mediated”. Terjadi melalui

imunitas yang dipengarui sensitas CD4+ T helper I (Th 1) limfosit.

Antigen berinteraksi dengan reseptor pada permukaan limfosit T dan

menimbulkan pelepasan limfokin.

Dermatitis kontak adalah suatu bentuk paling sering pada respon

hipersensitifitas lambat eksternal mata yang disebabkan oleh lipid –

larut, hapten dengan berat molekul rendah yang bisa menembus kulit

dan beruntung masuk ke dalam lapisan epidermis, dimana dapat

diambil oleh APC sepeti sel langerhans. Sel – sel tersebut kemudian

memproses antigen dan mengaktifkan (sensitas) Sel T naif dalam

organ limfosit, oleh ko–ekspresi proses antigen dan MHC kelas II

(6)

E. Reaksi Tipe V

Reaksi tipe V disebut juga reaksi stimulasi, diduga pada reaksi tipe ini

yang berperan adalam human leucocyte antigen (HLA). Contohnya;

uvetis akut anterior, optik neurits dan penyakit autoimun tertentu,

spondilitis ancilosing. Mekanisme pasti pengaruh HLA terhadap

penyakit tersebut masih berupa hipotesis.

III. REPSON IMUN PADA KONJUNGTIVA

* Gambaran imunologi di konjungtiva

Konjungtiva memberikan banyak gambaran tipikal. Mukosa

tersebut terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan epitel dan lapisan konektif

(subtansia propia). Konjungtiva memiliki vaskularisasi dan drainase

limfatik yang baik menuju kelenjar preaurikular dan submandibula.

Jaringan tersebut penuh dengan sel Langerhans (SL), sel dendritik

(SD), dan makrofag yang berfungsi sebagai antigen presenting cell

(APC). Folikel – folikel konjungtiva bisa membesar setelah infeksi atau

inflamasi tertentu pada permukaan okular, ditandai dengan kumpulan

limfosit T, limfosit B, dan APC. Jika diamati fungsinya seperti peyer

patch pada usus halus, dimana folikel menunjukkan adanya proses

antigen oleh imun lokal yang menyebar melalui epitel tipis yang

kemudian diproses oleh limfosit T dan limfosit B secara lokal pada

(7)

sel efektor potensial, yang dapat didominasi oleh sel mast. Seluruh

isotipe antibody dijumpai, dan merupakan produksi lokal saat terjadi

kebocoran pasif. IgA merupakan antibodi yang utama pada tear film.

Molekul yang terlarut pada sistim imun bawaan juga diproduksi,

misalnya komplemen. Konjungtiva menyokong respons efektor imun

didapat dan bawaan, terutama respons yang diperantarai antibodi dan

limfosit, meskipun degranulasi sel mast yang diperantai IgE adalah

yang paling sering dan penting.1,2,6

* Sistem imunoregulator

Sistem imunoregulator terpenting pada konjungtiva adalah

jaringan limfoid yang berhubungan dengan mukosa yaitu mucosa

associated lymphoid tissue (MALT). Konsep MALT merupakan jaringan

interkoneksi dengan mukosa (susunan epitel traktus respiratorik, usus,

dan traktus urogenital dan permukaan okular serta adneksanya) yang

mempunyai gambaran imunologi spesifik :

- terdapat APC

- struktur tertentu untuk memperoses antigen yang terlokalisir

(payer’s pactch dan tonsil)

- sel efektor unik (misal; limfosit T intraepitel dan sejumlah sel

mast)

Namun, aspek MALT yang paling nyata adalah distribusi dan

(8)

pada satu sisi mukosa, tetapi untuk semua MALT karena adanya

persamaan ekspresi molekul adhesi sel yang spesifik pada venula –

venula post kapiler dari pembuluh darah mukosa. Respons imun MALT

merangsang T helper 2 (Th2) yang menyebabkan produksi antibodi

IgA dan IgE. Imunisasi antigen terlarut melalui MALT, terutama pada

usus sering menimbulkan toleransi oral, terutama oleh karena aktivasi

limfosit T regulator mirip T2 yang mensupresi sel efektor

hipersensitivitas tipe lambat Th I.2

Contoh klinis

Respon imun terhadap konjungtivitis viral. Konjungtivitis yang disebabkan oleh infeksi adenovinus merupakan infeksi okular yang

sering. Meskipun penjelasan tentang respon imun setelah infeksi

adenovirus pada konjungtiva belum diketahui, hal tersebut dapat

diketahui melalui penelitian tentang infeksi virus pada mukosa lain,

yang diujikan pada hewan. Setelah infeksi dengan adenovirus, sel –

sel epitel mulai bermatian dalam waktu 36 jam. Mekanisme imun

bawaan dapat membatasi infeksi aktif segera setelah infeksi. Misalnya,

sel yang terinfeksi memproduksi sitokin berupa interferon yang

membatasi penyebaran infeksi virus dan menarik sel efektor

(9)

Namun, respons imun didapat dianggap lebih penting dalam

pemberantasan virus. Respons didapat primer dimulai ketika makrofag

dan sel dendritik terinfeksi atau mengambil serpihan-serpihan sel dan

antigen virus Baik APC maupun antigen ekstrasel dibawa ke kelenjar

preaurikular dan submandibular sepanjang limfatik, dimana respons

limfosit T helper dan antibody diaktivasi, sehingga timbul limfadenopati.

Proses imun lokal dapat terjadi pada folikel jika virus menyerang

kapsul epitel. Selama fase efektor awal dari respons limfosit B - primer,

antibodi IgM dilepaskan ke dalam darah yang tidak begitu efektif untuk

mengontrol infeksi permukaan, meskipun dapat mencegah terjadinya

hiperemis yang luas. Namun, limfosit B yang mengandung IgM

menginfiltrasi stroma konjungtiva dan dapat melepas antibodi secara

lokal pada konjungtiva. Lebih lanjut, respons effektor primer,

pengaktifan IgA atau IgG yang berperan sebagai media respon efektor

lokal, seperti netralisasi atau lisis sel terinfeksi yang di mediasi

komplemen.

Sel effektor paling aktif memberikan respons terhadap infeksi viral akut

yang berasal dari sel natural killer dan citotoksic T lymphocyte (CTL)

CD8, yang membasmi epitel terinfeksi. Namun, virus mencegah

ekspresi major histocompatibility complex (MHC) kelas I pada sel yang

terinfeksi dan menghindar pembasmiannya oleh CTL. Imunitas

didapat, mengaktifkan makrofag melalui mekanisme hipersensitivitas

(10)

terinfeksi. Respons DH terhadap antigen virus diduga berpengaruh

terhadap perkembangan infiltrat kornea subepitel yang muncul pada

beberapa pasien dengan infeksi adenovirus.

Respon sekunder dari konjungtiva, oleh karena paparan primer

sebelumnya terhadap virus yang sama pada daerah mukosa lain,

terdapat perbedaan mekanisme efektor yang di mediasi oleh antibodi.

Karena MALT, antivirus IgA tidak hanya terdapat pada darah tetapi

juga pada air mata sebagai hasil dari diferensiasi limfosit B pengekresi

IgA pada gladula lakrimalis, substansia propia dan folikel. Dalam hal

ini, infeksi berulang sering dicegah dengan adanya antibodi penetral

yang tersebar pada air mata dan folikel, mengikuti infeksi primer.

Namun, inokulasi virus berulang menghasilkan sawar antibodi ini, atau

jika virus telah memutasi glikoprotein permukaannya yang telah

dikenali oleh antibodi, kemudian infeksi terjadi. Proses imun tambahan

dapat muncul dalam folikel dan aliran kelenjar. Efektor CTL memori

spesifik efektif menghilangkan infeksi dalam beberapa hari.2

IV. RESPON IMUN PADA COA, UVEA ANTERIOR DAN VITREUS

* Gambaran imunnologi di COA, uvea anterior dan vitreus

COA merupakan rongga berisi cairan, aquos humor sekunder

merupakan media unik dalam hubungan inter seluler sitokin, sel - sel

(11)

Meskipun, aquos humor memiliki jumlah protein yang lebih sedikit

dibanding serum (sekitar 0,1% - 1,0% dari konsentrasi total serum

protein), bahkan aquos humor normal mengandung campuran

kompleks dari faktor – faktor biologik, seperti sitokin imunomodulator,

neuropeptida dan inhibitor komplemen, yang merangsang imunologi

mata.2,6

Sawar parsial darah dengan okular berupa kapiler – kapiler fenetrasi

dari korpus silliaris menyebabkan gradien konsentrasi tergantung

ukuran makromolekul plasma agar menyebar ke jaringan interstisial,

molekul yang berasal dari plasma yang kecil terdapat dalam jumlah

besar dari molekul besar. Tight junction (hubungan yang erat) antara

epitel silliaris pigmen dan nonpigmen, membentuk sawar yang lebih

ekslusif, mencegah makromolekul interstitial untuk menyebar langsung

ke korpus silliaris menuju aquos humor. Selain itu, sejumlah kecil

makromolekul plasma melewati sawar epitel nonpigmen dan menyebar

secara difusi ke anterior melalui uvea memasuki segmen anterior

melalui permukaan iris anterior .

Bagian mata sebelah dalam mengandung limfatik yang berkembang

dengan baik. Selain pembersihan substansi terlarut bergantung pada

kanal pengaliran aquos humor, pemberantasan partikel bergantung

pada endositosis trabecular meshwork sel endotel atau makrofag. Di

samping itu, inokulasi antigen ke dalam segmen anterior menghasilkan

(12)

yang utuh masuk ke sirkulasi vena, di mana berhubungan melalui

limpa. 1,2

Iris dan korpus silliaris mengandung banyak makrofag dan sel dendritik

yang berperan sebagai APC dan sel efektor. Proses imun jarang

terjadi secara lokal tetapi APC keluar dari mata melalui trabecular

meshwork dan kembali ke limpa, di mana proses terjadi pada Th2 dan

aktivasi regulator CD8 supresor sel T. Beberapa limfosit T dan sel mast

secara normal ada pada uvea anterior, sedangkan limfosit B, eosinofil

dan PMNs tidak dijumpai. Konsentrasi IgG yang rendah, komplemen,

dan kallikrein ada pada mata normal.

Vitreus tidak dideskripsi secara jelas sebagai segmen anterior, tapi

vitreus mungkin bermanifestasi pada kebanyakan bahan yang sama,

dengan beberapa pengecualian. Gel dari vitreus secara elektrostatistik

mengikat substansi protein dan berperan sebagai depot antigen serta

subtrat untuk adhesi leukosit. Karena vitreus mengandung kolagen tipe

A, maka ia dapat berperan sebagai depot auto antigen yang potensial

pada beberapa bentuk uveitis yang berhubungan dengan artritis di

mana kolagen tipe II pada sendi merupakan auto antigen.1,2,3

* Sistem imunoregulator

Uvea anterior memiliki sistem imunoregulator yang

dideskripsikan sebagai imun, konsep moderen yang istimewa dari

(13)

dimana implan/graft yang serupa ditolak oleh mekanisme imun kulit

atau daerah yang tidak istimewa. Tempat lain yang memiliki imun

istimewa adalah rongga subretina, otak dan testes. Meskipun asal

antigen yang terlibat penting, imun istimewa dari uvea anterior telah

diobservasi memiliki variasi antigen yang luas, termasuk alloantigen

(misal: antigen transplantasi), antigen tumor, hapten, protein terlarut,

auto antigen, bakteri dan virus.1,2

Imun istimewa diperantarai, oleh rangsangan baik fase aferen dan

efektor yang merespons imun. Imunisasi melalui segmen anterior

sebagai fase aferen dari respon imun primer merupakan hasil generasi

untuk efektor imun. Imunisasi misalnya dengan protein lensa atau auto

antigen lain melalui segmen anterior tidak menghasilkan pola imunitas

sistemik yang sama seperti imunisasi melalui kulit. Imunisasi dengan

injeksi pada segmen anterior pada hewan percobaan menghasilkan

bentuk imunitas sistemik terhadap antigen yang berubah, disebut

anterior chamber associated immune deviation (ACAID). Respon imun

yang berdeviasi ditandai dengan respon antibodi, sistem antibodi

yang berhadapan dengan antigen tetapi tanpa adanya respon DH

terhadap antigen tersebut.

Mengikuti injeksi antigen pada segmen anterior, fase aferen dimulai

saat makrofag pada bagian tertentu iris mengenal dan mengambil

antigen. Fungsi APC dari makrofag uvea ini telah berubah oleh

(14)

pada aquos humor dan jaringan uvea, terutama transforming growth

factor 2 (TGF 2). Proses dimana aquos humor mengubah makrofag

menjadi ACAID menimbulkan APC belum diketahui. TGF 2 yang

terpapar antigen menstimulasi makrofag okular meninggalkan

trabekular meshwork dan kanal schlemm kemudian memasuki sirkulasi

vena, dimana mereka memigrasi ke limpa. Disini sinyal antigen

diproses, dengan aktivasi tidak hanya limfosit T helper dan limfosit B

tetapi juga lomfosit T regulator. Sel regulator CD8 merubah respons

CD4 limfosit T helper limpa untuk menurunkan regulasi respons DH

CD4 limfosit kepada antigen imunitas spesifik pada semua bagian

tubuh. Dalam hal ini respons efektor yang dihasilkan memiliki ciri – ciri

supresi selektif pada DH spesifik terhadap antigen dan secara selektif

mengurangi produksi dari isotipe pengikat komplemen antibodi. Isotipe

antibodi lain dan prekursor limfosit T sitotoksik sama dengan imunisasi

kulit yang konvensional.2

Beberapa mekanisme lain ACAID diduga, persentase kecil antigen

yang utuh dapat meninggalkan mata dan masuk ke darah, dimana

diproses dalam limpa. Dosis kecil antigen intravena menghasilkan

imunomodulasi yang disebut toleransi zona rendah. Berbagai

mekanisme aktivasi imunoregulator limfosit T pada mata juga telah

diketahui.

Secara klinis kapasitas jaringan penting untuk mempertahankan fase

(15)

penyakit auto imun terjadi di luar mata. Dalam hal ini, fase efektor

sekunder dari segmen anterior juga merupakan imunomodulator dan

disebut sebagai penghambat efektor karena berbagai sistem

imunoregulator secara normal terdapat pada mata, efektor imunologi

yang utuh berfungsi pada tempat lain : kulit, misalnya; aktivasi

dihambat secara parsial dan berfungsi pada segmen anterior. Dalam

hal ini, limfosit T, DH, Th1, limfosit T sitotoksik, sel natural killer dan

aktivasi komplemen berfungsi kurang efektif pada uvea anterior

dibanding tempat lain.1,2

Uvea anterior relatif resisten terhadap induksi protein murni DH

sekunder setelah respon imunisasi primer dengan mikrobakterinya dari

kulit, mekanisme menghambat efektor bersifat multifaktorial, termasuk

hasil dari :

- sitokin imunomodulator, diproduksi oleh jaringan okular

- neuropeptida imunomodulator, diproduksi oleh saraf okular

- APC yang berfungsi unik

- penghambat komplemen pada aquos humor

- faktor – faktor lain

Fas ligan (fasL atau Ligan CD95), diekspresi pada iris dan endotel

kornea. FasL secara normal terdapat ditimus dan beberapa tempat

dengan imun istimewa seperti testes fasL merupakan perangsang

patogen terhadap kematian sel terprogram atau apoptosis, dari

(16)

apoptatik dari infiltrating limposit T, untuk mencegah fungsi effektor

limposit T kehilangan mekanisme protektif yang dapat muncul karena

perkembangan uveitis. 1,2,3

Rongga vitreus tidak memiliki karakteristik imunologis, tapi bukti

eksperimen menyarankan bahwa respons imun primer mirip ACAID

mungkin terdapat pada vitreus juga, terutama pada mata yang telah

vitrectomy. Blokade efektor yang telah ada pada vitreus masih

kontroversial, tapi kelihatannya jelas bahwa antigen yang diinjeksi

yang terlarut ke dalam vitreus dapat mencetus fenomena mirip ACAID,

bentuk immunomodulasi dapat difasilitasi oleh vitrectomi bahkan untuk

antigen partikuler. Rasional lain pada mata dengan uveitis yang

divitrectomi :

- memindahkan depot antigen, termasuk kolagen tipe II,

terperangkap dalam gel

- memindahkan substrat gel untuk molekul adhesi sel guna

merekrut dan adheren leukosit.

- memungkinkan sirkulasi faktor, imunomodulator aquos

humor.

* Contoh klinis

Pontensial terapeutik untuk imun istimewa. Tidak diketahui apakah ACAID memiliki konsekuensi pada penyakit klinis, meskipun

(17)

lensa setelah operasi katarak dan penerimaan secara imunologi dari

transplantasi kornea. ACAID dapat mempengaruhi respons imun

terhadap antigen okular. Hewan mendapat imun melalui segmen

anterior dengan auto antigennya retina S –antigen atau reseptor

interphoto protein pengikat retinol yang berkembang dari ACAID, dan

mereka diproteksi dari uveitis autoimun ekspresimental pada mata

bagian kontralateral setelah imunisasi kutaneus konvensional.

Belakangan, ACAID telah direproduksi oleh infusi monosit yang

pertama kali diterapi secara extracorporeally dengan TGF- dan

antigen, menyarankan potensial klinis yang berhubungan dengan

imunoterapi.2

V. RESPON IMUN PADA KORNEA

* Gambaranimunologi di kornea

Kornea merupakan jaringan perifer dan sentral yang mempunyai

imunologi berbeda, hanya limbus yang memiliki vaskularisasi. Dimana

limbus secara besar-besaran terinvestasi dengan sel langerhans,

kornea parasentral dan sentral yang secara normal kurang APC.

Namun, berbagai stimulus seperti trauma ringan, beberapa sitokin

(misal: IL1), atau infeksi, dapat menarik APC ke kornea sentral, enzim

(18)

konsentrasi moderate pada perifer, tapi hanya sedikit kadar IgM di

bagian sentral.2

Sel kornea muncul untuk mensintesa berbagai anti mikrobial dan

protein imunoregulator, sel efektor tidak ada atau jarang pada kornea

normal, tetapi neutrofil, monosit dan limfosit dapat bermigrasi ke

stroma jika stimulus hemotaktik yang sesuai teraktivasi. Limfosit,

monosit, dan polimorfonuklear (PMN) dapat juga bartahan pada

permukaan endotel selama proses inflamasi, memberikan kenaikan

pada presipitasi keratic atau rejeksi endetol garis khodacloust. Imun

lokal yang terproses tidak muncul pada kornea.1,2,3

* Sistem imunoregulator

Kornea mendemonstrasikan bentuk imiun istimewa berbeda dari

yang diamati pada uvea anterior. Imun istimewa kornea bersifat

multifaktorial. Fisiologi limbus normal merupakan komponen mayor,

terutama mempertahankan avaskularitas dan kurangnya APC pada

tengah kornea. Tidak hanya APC dan limfatik secara partial

menginhibisi pengenalan aferen pada kornea sentral, dan tidak adanya

vanula post kapiler sentralis dapat membatasi efisiensi penarikan

efektor, meskipun sel efektor dan molekul dapat menginfiltrasi kornea

yang avaskular. Faktor lain yang ada sistem imunoregulator intake

pada segmen anterior (misal: ACAID), dimana endotel kornea

(19)

* Contoh klinis

Penolakan allograf penetrasi. Keratoplasti, transplatasi allograf kornea asing, memberikan angka keberhasilan sangat tinggi (>90%)

meskipun dalam keadaan tidak adanya imodulasi imun sistemik.

Angka ini berbanding dengan nilai transplantasi dari bagian jaringan

lain. Mekanisme pertahanan graf kornea digolongkan sebagai

keistimewaan sistem imun. Dalam bentuk percobaan, faktor – faktor

yang menyebabkan terjadinya penolakan termasuk :

- adanya vaskularisasi kornea sentral

- induksi ekspresi molekul MHC oleh stroma, biasanya (normal)

cukup rendah.

- kontaminasi dari graf donor dengan APC si penerima donor

karena transplantasi

- ketidak suksesan MHC antara penerima dan pendonor

- preimunisasi resipen terhadap antigen-antigen transplantasi

pemberi donor

Sebagai tambahan, hilangnya sistem ”imunoregulator dari terowongan

anterior dapat berpengaruh dalam imunitas allograf kornea, dan

ekspresi dari Fas L pada endotel kornea telah diteliti, memberikan

pengaruh besar terhadap perlindungan allograf. Pertukaran cepat dari

epitel donor dan epitel pemberi menghilangkan lapisan ini sebagai

sebuah stimulasi antigen. Setelah diaktifasikan, DH yang tergantung

(20)

mengenai (target) antigen transplantasi pada semua lapisan

kornea.(streilein JW. Regulasi respon imun okular) 1,2,10

VI. RESPON IMUN PADA RETINA, RPE DAN KOROID

* Gambaran imunologi di retina, RPE dan koroid

Imunologi di retina, RPE koriokapilaris dan koroid tidak

mempunyai karakteristik. Sirkulasi retina menunjukkan suatu sawar

darah – okular mempunyai hubungan yang erat antara sel – sel

endotel. Pembuluh darah koriokapiler sangat permeabe terhadap

makromolekul. Transudat makromolekul plasma masuk ke ruang

ekstravaskular koroid dan koriokapiler.2

Hubungan yang erat antara sel – sel RPE memungkinkan secara

fisiologis sebagai sawar antara koroid dan retina. Bila perkembangn

limfatik tidak terjadi, meskipun retina dan koroid berpotensi mempunyai

tumpukan APC. Pada retina, mikroglia residen (sumsum tulang, sel –

sel derivat monosit) mengalami perubahan secara fisik yang

menyebar kesemua lapisan dan bisa dan bermigrasi untuk respon

berbagai stimulus. Koriokapiler dan koroid mempunyai banyak APC

ponensial tertentu, khususnya makrofag dan sel – sel dendritik.2

RPE bisa terinduksi untuk mengekspresi mlekul MHC klas II, diduga

bahwa RPE bisa juga berinteraksi dengan sel T. Munculnya limfosit T

(21)

letaknya dengan pasti, tapi adanya sel – sel efektor tidak terjadi pada

retina normal. Densitas sel mast sedang pada koroid, khususnya

disekitar arteriol, tapi limposit hanya sedikit densitasnya. Eosinofil dan

neutrofil tidak ada. Dalam berbagai keadaan klinis atau penelitian

bagaimanpun juga densitas tinggi dari sel T, sel B, makrofag dan PMN,

bisa menginfiltrasi koroid, koriokapiler dan retina. RPE dan berbagai

jenis sel dalam retina da koroid (misal; pericytes) dapat mensintesa

berbagai sitokin yang berbeda (misal; TGF- ) yang bisa merubah

respon imun selanjutnya. Proses imun lokal tidak tampak terjadi.2,3

* Sistem imunoregulator

Akhir – akhir ini tampak bahwa suatu bentuk imun asal yang

muncul setelah injeksi antigen subretina. Mekanismenya belum pasti,

kemungkinanya sama dengan ACAID. Pengamatan menjadi penting

karena timbulnya minat pada transplantasi retina dan terapi genetik.

Kapasitas koriokapler dan koroid berfungsi unik pada fase aferen atau

fase efektor belum selesai dievaluasi.2

* Contoh klinis

Transplantasi retina. Transplantasi retina atau RPE diteliti sebagai metode untuk regenerasi fungsi retina pada berbagi kelainan.

Pada hewan percobaan, transplantasi subretinal dari jaringan retina

(22)

pada graf yang sama ditanam di tempat lain, meskipun tanpa

imunomodulasi sistemik.

Pengenalan fase aferen dari alloantigen seringnya dilakukan oleh

mikroglia retina atau makrofage – marofage derivat darah yang diambil

dari koriokapiler.

Daerah sitokin subretina tetap belum dapat diketahui karena

transplantasinya dilakukan dalam urutan penyakit-penyakit retina

seperti retinitis pigmentosa atau degenerasi makula, dimana lapisan

darah, retina terlibat/tular dan sel retina (RPE) ditemukan. Bagaimana

pun, RPE yang luka tetap bisa membentuk sitokin imunomodulator

ataupun sitokin inflamatori.2

Daerah proses pembentukan imun tidak diketahui, tetapi ginjal atau

organ bagian mata sekunder dari mata kemungkinan terlibat. Ketika

penolakan terjadi, mekanisme-mekanisme penyebabnya yang tidak

jelas. Pada graf retina janin di tikus, penolakan imun terjadi karena

kejanggalan perkembangan, mekanisme sitotoksik yang lambat tanpa

terlibatnya sitokisis antobodi tripikal atau DH limfosit T. Pada manusia

dan makhluk lain, penolakan allograf RPE telah dijumpai dalam bentuk

subakut dan kronik.2

Terapi gen retina. Terapi gen retina adalah penggunaan terapeutik dari transfeksi yang disenggajakan dari fotoreseptor – fotoreseptor

(23)

gennya untuk mendapatkan gen pengganti yang diinginkan. Gen ini

menjadi terpapar pada sel manapun yang terinfeksi virus tersebut.

Pembersihan imun pada virus telah diperlihatkan untuk sebabkan

hilangnya ekspresi gen yang ditranfer dalam bagian tubuh lain. Jika

keistimewaan sistem tubuh melindungi vektor virus atau protein yang

dibentuk oleh gen yang ditransfer dari pembersihan imun tadi, maka

terapi gen subretina mata kemungkinan suksesnya lebih besar dari

(24)

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology, Immune – Mediated

Disorders of the External Eye and Cornea in External Disease and

Cornea, Basic and Clinical Science Course, Chapter 8, Section 8,

2005 – 2006, page 183 – 191

2. American Academy of Ophthalmology, Ocular Immune Responses

in Intraocular Inflammation and Uveitis, Basic and Clinical Science

Course, Chapter 3, Section 9, 2005 – 2006, page 33 – 42

3. Bratawidjaya Garna Karnen, Reaksi Hipersensitivitas dan Imunologi

mata dalam Imunologi Dasar, Edisi 7, Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, Halaman 155 –

174 dan 297 – 304

4. Vaughan Daniel G, MD, Asbury T.Eva Paul R. Penyakit Imunologik

pada Mata dalam Ophthalmology Umum, Edisi 14, Widya medika,

Jakarta, 2000, Hal 352 – 360

5. The Double-Edged Ocular Immune Response: The Cogan

Lecture.Scott M Whitcup :

http://www.iovs.org/cgi/content/full/41/11/3243

6. American Academy of Ophthalmology, Fundamentals and Principles

of Ophthalmologi, Basic and Clinical Science Course, Section 2,

2003 – 2004, page 24 – 36

7. Roitt Ivan M, Imunology, Essensial Immunologi, Edisi 8, Widya

(25)

8. Sihota and Tandon, Ocular Manifestations of Systemic Disorders in

Parsons’ Disease of The Eye, Twentieth Edition, Elsevier, India,

2007, Page 503 – 509

9. Tasman W, Immunologi of Uveitis in Duane’s Clinicals

Ophthalmology, Volume 4, Chapter 34, Lippincot William and

Wilkins, Revised Edition, 2004, Page 1 – 8

10. Chong Lye, Ocular Inflamasi & Immunology in Clinical

Ophtahalmology An Asian Prespective, Section 8, Chapter 8,

Referensi

Dokumen terkait

optimum mungkin bervariasi sesuai dengan karakteristik dan seluruh komposisi kimiawi di dalam air baku, tetapi biasanya dalam hal ini fluktuasi tidak besar, hanya pada saat-saat

Informasi di atas menunjukan bahawa sebagian besar responden membutuhkan informasi tentang petinggi dan karyawan lain di Kejaksaan Agung yaitu sebanyak 20 responden (40%),

Adapun metode yang digunakan oleh Bank Syariah dalam penyelesaian pembiayaan murabahah bermasalah telah sesuai dengan apa yang diatur dalam Fatwa Dewan

(2) Pola perilaku masyarakat batak Toba dalam menyikapi nilai-nilai yang bersangkutan mengenai prosesi mangulosi ternyata memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi,

Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit,

Hasil inventarisasi jenis serangga penyerbuk yang hadir pada tangkai tandan berbunga tanaman jarak pagar, dari bahan tanam yang berasal dari Kediri dan NTB, menunjukkan

HASYIM siti Aminah Guru Kelas MI MI Swasta Tarbiyatul Islam.

Pada tabel ini juga menunjukkan bahwa petani utama Kabupaten Grobogan terbesar berada di kelompok usia 45-54 tahun yakni sebesar 76.894 rumah tangga (29,11 persen) atau dengan