• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan di Indonesia"

Copied!
291
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

DWI HARYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

DAMPAK INDUSTRIALISASI PERTANIAN

TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN

(2)

DWI HARYONO. The Impact of Agricultural Industrialization to Agricutural Sector Performance and Rural Poverty in Indonesia (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, RINA OKTAVIANI and HERMANTO SIREGAR as Members of the Advisory Committee).

Agricultural industrialization can be aproached through supply side and demand side. From supply side, agricultural industrialization is interpreted through incremental productivity. This research is designed to measure the impact of productivity improvement of agricultural industry (agroindustry) on economic sector performance, macroeconomic, household income, and rural poverty.

This research use a data base on Input-Output (I-O) Table and Social Accounting Matrix (SAM) of Indonesia 2003 developed by Central Bureau of Statistic. The main analysis used is recursive dynamic of Computable General Equilibrium (CGE) Model (CGE-AGRINDO Model) while poverty case is analyzed by using Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index.

The policy simulation result shows that productivity improvement of agroindustry has strong affects on total output industry. If the productivity improvement of agroindustry is followed by productivity improvement of agriculture and financial institution, almost all sectors would increase in total output. In turn, the increase of total output will result in a decrease in output selling price, on the other hand it will increase labor absorbtion. The productivity improvement affects the macroeconomic performance which indicated by real GDP improvement. This condition also affects the increasing in inflation acceleration. The productivity improvement contributes to an impact on rural and urban household’s income. The household of agricultural labor on rural area receives the biggest benefit, on the contrary the househod of nonagricultural labor at upper level on urban area receives the smallest benefit.

The productivity improvement has a positive impact on poverty alleviation in rural and urban household, indicated by a decreasing head-count index, poverty gap index, and poverty severity index.

Considering the productivity improvement of agroindustry contributes to a positive impact on industrial sector performance, the study suggests that some stages are needed to push productivity improvement through labor productivity improvement, efficiency improvement of capital used, and other input. The productivity improvement of agroindustry should be followed by productivity improvement in related sectors (agricultural sector as a raw material supplier and financial institution as a support institution). If the steps can be implemented, the income improvement as a main subject of economic development can be achieved sooner.

Considering the model used in this research is a CGE recursive dynamic, further research to build a CGE full dynamic model is needed. It also needs an update of support data, such as the parameters and elasticities resulted from the research and the other most recent empirical data.

(3)

DWI HARYONO. Dampak Industrialisasi Pertanian terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan di Indonesia (MANGARA TAMBUNAN sebagai Ketua, RINA OKTAVIANI dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Industrialisasi pertanian dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan dari sisi penawaran (supply) dan dari sisi permintaan (demand). Dari sisi penwaran, industrialisasi pertanian dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian (agroindustri) terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Dampak yang sama juga dianalisis jika peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan.

Data yang digunakan adalah Tabel Input-Output (I-O) dan Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia tahun 2003, serta data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik. Selain itu, juga diperlukan data makroekonomi dan sektoral serta parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya. Model Computable General Equilibrium (CGE) recursive dynamic digunakan sebagai alat analisis utama. Model CGE yang digunakan adalah Model Agroindustri Indonesia (CGE-AGRINDO) yang diperoleh dengan cara mengkombinasikan model CGE ORANI-F, INDOF, WAYANG, dan ORANIGRD. Model CGE-AGRINDO bersama-sama dengan data penunjang lainnya diolah dengan menggunakan program GEMPACK, sedangkan untuk menganalisis insiden kemiskinan digunakan Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index. Dalam penelitian ini dilakukan tiga simulasi kebijakan, yaitu: (1) peningkatan produktivitas agroindustri, (2) peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, dan (3) peningkatan produktivitas agroindustri dan sektor pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan

(4)

iv

peningkatan jumlah output. Peningkatan produktivitas agroindustri berdampak pada penurunan harga output hanya di sektor agroindustri, sedangkan harga output di sektor lainnya justru mengalami peningkatan. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak terhadap penurunan harga output pada hampir seluruh sektor dan mempunyai dampak yang bervariasi dalam penyerapan tenaga kerja. Peningkatan penyerapan tenaga terdidik (skilled) lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sebaliknya penurunan penyerapan tenaga kerja terdidik lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik.

Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro, yang ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan PDB riil. Namun demikian, peningkatan produktivitas agroindustri memicu peningkatan laju inflasi, kondisi sebaliknya akan terjadi apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan.

Peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dari kelompok rumahtangga golongan atas kepada kelompok rumahtangga golongan bawah, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, maka pendapatan seluruh rumahtangga perdesaan meningkat, sedangkan pendapatan rumahtangga golongan atas di perkotaan akan menurun. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap pendapatan rumahtangga golongan rendah, sebaliknya kelompok rumahtangga golongan atas mengalami peningkatan pendapatan.

(5)

v

dan rumahtangga golongan atas mendapat manfaat (benefit) yang lebih besar. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa apabila hanya ditinjau dari aspek pengendalian laju inflasi, maka upaya peningkatan produktivitas agroindustri justru akan memberikan dampak negatif. Namun demikian, apabila dilihat dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, maka peningkatan produktivitas agroindustri yang diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, merupakan pilihan yang strategis untuk dilakukan, mengingat manfaat terbesar dari upaya ini akan dinikmati oleh masyarakat golongan miskin di perdesaan tanpa merugikan masyarakat golongan atas di perkotaan.

(6)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya yang berjudul

“DAMPAK INDUSTRIALISASI PERTANIAN TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DAN KEMISKINAN PERDESAAN DI INDO-NESIA” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjuk rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Nopember 2008

(7)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik

atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

DAMPAK INDUSTRIALISASI PERTANIAN

TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN

DAN KEMISKINAN PERDESAAN

DI INDONESIA

DWI HARYONO

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan di Indonesia

Nama Mahasiswa : Dwi Haryono Nomor Pokok : A161030051

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Anggota

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

3. Dekan

Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc.

(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Desember 1961 di Sragen Jawa Tengah, merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Slamet Siswosudarmo (Almarhum) dan Ibu Soetinah (Almarhumah). Penulis menikah dengan Ir. Ninik Satyaningwati pada tahun 1988 dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Shinta Nareswari (1989), Seto Brahmanto (1994), dan Bimo Husodo (1999). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Banaran I Sragen pada tahun 1975, pada tahun 1977 menamatkan pendidikan menengah pertama pada SMPN II Sragen, dan pada tahun 1981 menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN I Sragen. Melalui saringan masuk Proyek Perintis II tahun 1981, penulis meneruskan studi di Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agribisnis diperoleh pada tahun 1985 dan pada tahun 1991 memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(12)

Puji dan Syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya disertasi yang berjudul “Dampak Industrialisasi Pertanian terhadap Kinerja Sektor Pertanian dan Kemiskinan Perdesaan di Indonesia” dapat diselesaikan. Judul ini dipilih dilatarbelakangi oleh jumlah penduduk dan angkatan kerja di perdesaan yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Di lain pihak luas lahan pertanian cenderung berkurang, sehingga mengakibatkan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi semakin tidak produktif. Oleh karena itu, industrialisasi pertanian merupakan pilihan yang sangat strategis untuk menciptakan lapangan kerja produktif guna menekan angka kemiskinan yang sekaligus mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian di perdesaan.

Pada kesempatan ini diucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc., Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku komisi pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan terutama mengenai pemodelan, pengolahan data, penyajian dan konsistensi dalam penyusunan disertasi.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MA.Dev. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini.

(13)

atas arahan, bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Lampung dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor di Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya angkatan 2003, yang senantiasa menjadi teman diskusi yang baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa penghuni Wisma Beldes Darmaga Bogor dan rekan-rekan alumni Sosek IPB tahun masuk 1982, yang telah memberikan bantuan, pengertian dan dorongan semangat untuk mempercepat penyelesaian studi.

Terima kasih diucapkan terutama untuk isteriku Ir. Ninik Satyaningwati, ketiga anakku Shinta Nareswari, Seto Brahmanto dan Bimo Husodo, mertuaku Ibu Siti Aminah, serta seluruh keluarga di Lampung, Jakarta, Sragen, Solo dan Temanggung atas kesabaran, do’a, dorongan semangat, korbanan dan kasih sayangnya.

Disadari sepenuhnya bahwa disertasi ini memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat. Amin.

(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 14

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 14

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 18

2.1. Pembangunan Pertanian ... 18

2.2. Industrialisasi Pertanian ... 26

2.3. Kemiskinan dan Kemiskinan Perdesaan ... 35

2.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan ... 35

2.3.2. Kemiskinan Perdesaan ... 44

2.4. Model Ekonomi Keseimbangan Umum ... 47

2.4.1. Properties Kondisi Keseimbangan Umum ... 53

2.4.2. Keseimbangan Produksi ... 54

2.4.3. Keseimbangan Konsumsi ... 57

2.4.4. Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi ... 58

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 59

III. KERANGKA TEORI ... 69

3.1. Model Pembangunan Dua Sektor ... 69

(15)

xiii

3.2.1. Strategi Industrialisasi Substitusi Impor ... 81

3.2.2. Strategi Industrialisasi Promosi Ekspor ... 83

3.3. Agricultural-Demand-Led Industrialization ... 88

3.4. Dampak Peningkatan Produktivitas ... 90

3.5. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitan ... 93

IV. METODE PENELITIAN ... 96

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 96

4.2. Metode Analisis ... 96

4.3. Struktur Model ... 97

4.4. Elastisitas dan Parameter Lainnya ... 115

4.5. Agregasi Sektor Rumahtangga dan Input Lainnya ... 116

4.6. Analisis Kemiskinan ... 117

4.7. Diagram Alur Penelitian ... 123

4.8. Simulasi Kebijakan ... 125

V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL KESEIMBANGAN UMUM ... 130

5.1. Tabel Input Output Indonesia Tahun 2003 ... 130

5.1.1. Struktur Input-Output ... 131

5.1.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor ... 133

5.1.3. Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi ... 142

5.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 147

5.3. Klasifikasi Rumahtangga ... 150

5.4. Klasifikasi Tenaga Kerja ... 151

5.5. Pendapatan Atas Lahan dan Modal ... 155

5.6. Penyusunan Matriks-Matriks Pajak ... 156

5.7. Elastisitas dan Parameter Lain ... 159

5.8. Prosedur yang Digunakan Untuk Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum Agroindustri ... 170

5.8.1. Membangun Data Dasar ... 170

(16)

xiv

5.8.3. Agregasi Data Dasar ... 175

5.8.4. Pengujian Keseimbangan Data Dasar ... 175

VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN ... 186

6.1. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ... 186

6.2. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Makroekonomi ... 194

6.3. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Pendapatan Rumahtangga ... 198

6.4. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kemiskinan ... 201

6.4.1. Insiden Kemiskinan ... 204

6.4.2. Kedalaman Kemiskinan ... 209

6.4.3. Keparahan Kemiskinan ... 212

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 214

7.1. Kesimpulan ... 214

7.2. Implikasi Kebijakan ... 216

7.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 218

DAFTAR PUSTAKA ... 219

(17)

Nomor Halaman 1. Tenaga Kerja dan Nilai Output Sektor Pertanian dan Industri

Pengolahan di Indonesia, Tahun 2000-2006 ... 2

2. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan ... 8

3. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian ... 128

4. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Sektor Pertanian dan Lembaga Keuangan ... 128

5. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Kacang-Kacangan ... 136

6. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Umbi-Umbian ... 137

7. Share Untuk Disagregasi Sektor Tanaman Perkebunan Lainnya ... 137

8. Share Untuk Disagregasi Sektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Makanan ... 138

9. Share Untuk Disagregasi Sektor Industri Barang Karet dan Plastik ... 139

10. Agregasi Sektor dalam Penelitian (38 Sektor) berdasarkan Tabel I-O Tahun 2003 Klasifikasi 72 Sektor ... 140

11. Indeks Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang Sektor Ekonomi yang Diteliti ... 145

12. Tabel SNSE Secara Sederhana ... 148

13. Pengelompokan Sektor Ekonomi yang Diteliti dari Tabel Input- Output dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Tahun 2003 ... 149

14. Pengeluaran Kelompok Rumahtangga terhadap Sektor-Sektor Perekonomian Dalam Model KESEIMBANGAN UMUM-AGRINDO ... 152 15. Pembayaran Upah Tiap Sektor Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Tahun 2003 ... 154

16. Pendapatan Lahan dan Modal, Tahun 2003 ... 155

17. Penerimaan Perpajakan Pemerintah, Tahun 2003 ... 157

(18)

xvi

Nomor Halaman 19. Parameter Elastisitas Pengeluaran Rumahtangga yang Digunakan

dalam Model ... 164 20. Nilai PDB Indonesia Dari Sisi Pengeluaran dan Sisi Pendapatan,

Tahun 2003 ... 178 21. Nilai Penjualan Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003 179 22. Biaya Produksi Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2003 181 23. Komponen Data Dasar 38 Sektor ... 183 24. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Jumlah Output Sektoral ... 187 25. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Harga Output Sektoral ... 189 26. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 191 27. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Tingkat Upah Tenaga

Kerja ... 192 28. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Beberapa Variabel Makroekonomi ... 196 29. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Pendapatan Riil Rumahtangga ... 199 30. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan ... 203 31. Karakteristik Pendapatan Rumahtangga Dirinci Menurut

Kelompok Rumahtangga ... 204 32. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Insiden Kemiskinan ... 206 33. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

Kedalaman Kemiskinan ... 210 34. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap

(19)

Nomor Halaman

1. Pergeseran Kurva Kemungkinan Produksi ... 9

2. Pergeseran Kurva Penawaran dengan Kurva Permintaan yang Tidak Elastis ... ... 10

3. Sistem Agribisnis ... 31

4. Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri ... 34

5. Rasio Gini dan Kurva Lorenz ... 42

6. Poverty Gaps dan FGT Indeks ... 43

7. Keseimbangan Ekonomi Makro dalam Model Keseimbangan Umum 53 8. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditi dan Dua Faktor Produksi ... 54

9. Production Possibility Curve ... 55

10. Keseimbangan Simultan Sektor Produksi dan Konsumsi ... 58

11. Model Dua Sektor Lewis ... 72

12. Model Dua Sektor Fei-Ranis ... 76

13. Perubahan Struktur Ekonomi ... 80

14. Argumen Industri Muda ... 82

15. Keuntungan Perdagangan Melalui Konsep Keunggulan Komparatif . 86 16. Garis Perubahan Teknologi... 92

17. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ... 94

18. Struktur Produksi ... 99

19. Struktur Pembentukan Investasi dan Barang Modal ... 106

20. Spesifikasi Konsumsi Rumahtangga ... 107

21. Diagram Alur Penelitian ... 124

(20)

xviii

23. Perhitungan Nilai Stok Kapital ... 166 24. Trend Investasi dan Suku Bunga di Indonesia, Tahun 1993-2002 ... 169 25. Tahap I Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum

Agroindustri Indonesia ... 174 26. Tahap II Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan

Umum Agroindustri Indonesia ... 176 27. Tahap III Dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan

(21)

Nomor Halaman 1. Pangsa Input Antara Sektor Ekonomi yang Diteliti ... 231 2. Input File Tablo dalam Penelitian ... 237 3. Closure Penelitian ... 270 4. Dampak Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian terhadap Harga

(22)

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dapat diukur dari pangsa sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa melalui ekspor non migas, penciptaan ketahanan pangan nasional dan penciptaan kondisi yang kondusif bagi pembangunan sektor lain. Selain itu, sektor pertanian juga berperan sebagai penyedia bahan baku dan pasar yang potensial bagi sektor industri.

Pada saat perekonomian nasional dilanda krisis, ternyata sektor pertanian terbukti mampu menjadi penyangga ekonomi nasional. Pengalaman krisis multidimensi tahun 1997-1998 memberikan pelajaran berharga betapa strategisnya sektor pertanian sebagai jangkar, peredam gejolak, dan penyelamat bagi sistem perekonomian nasional. Sementara itu, sektor-sektor lainnya mengalami keterpurukan sebagai akibat krisis ekonomi tersebut, terutama industri yang banyak komponen impornya (foot loose industries).

Sepanjang tahun 2000-2006, lebih dari 40 juta jiwa atau sekitar 44 persen angkatan kerja di Indonesia menggantungkan pekerjaan pada sektor pertanian. Namun demikian, apabila dilihat dari sumbangannya terhadap PDB pada periode yang sama, ternyata sektor pertanian hanya mampu memberikan kontribusi sekitar 15 persen (Tabel 1).

(23)

rumahtangga yang menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian juga menjadi relatif lebih rendah. Sementara itu, peran sektor industri terhadap perekonomian nasional menunjukkan gejala yang cukup menggembirakan. Menurut Oktaviani dan Sahara (2005), sektor industri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu agroindustri dan nonagroindustri. Secara umum definisi agroindustri adalah industri yang bahan bakunya berasal dari hasil pertanian. Sementara itu, menurut Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI), yang termasuk dalam agroindustri meliputi kegiatan yang mengolah bahan dan kegiatan yang menyediakan sarana produksi pertanian (misalnya benih, pupuk dan pestisida).

Tabel 1. Tenaga Kerja dan Nilai Output Sektor Pertanian dan Industri Pengolahan di Indonesia, Tahun 2000-2006

Tahun

Tenaga Kerja

(Juta Jiwa) PDB

a/

(Milyar Rupiah)

Pertanian Industri Pertanian Agroindustri Non Agroindustri

Total Industrib/ 2000 40.5

(45.1) 11.7 (13.0) 216 831 (15.60) 240 677 (17.32) 90 641 (6.52) 331 318 (23.84) 2001 39.7

(43.8) 12.1 (13.3) 225 686 (15.64) 242 783 (16.83) 104 646 (7.25) 347 429 (24.08) 2002 40.6

(44.3) 12.1 (13.2) 232 973 (15.47) 247 686 (16.45) 119 523 (7.93) 367 209 (24.38) 2003 42.0

(46.2) 10.9 (12.0) 240 387 (15.24) 260 507 (16.52) 181 248 (11.49) 441 755 (28.01) 2004 40.6

(43.3) 11.1 (11.8) 247 164 (14.92) 269 949 (16.30) 200 003 (12.07) 469 952 (28.37) 2005 41.8

(44.3) 11.7 (12.3) 253 726 (14.49) 279 049 (15.94) 212 373 (12.13) 491 422 (28.07) 2006 40.1

(42.1) 11.9 (12.5) 261 296 (14.15) 291 505 (15.79) 222 687 (12.06) 514 192 (27.84) Sumber: BPS (2007).

Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase.

a/

PDB dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000.

b/

(24)

dari 24 persen, dimana lebih dari separuhnya merupakan sumbangan subsektor agroindustri. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, sektor industri mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 12 juta jiwa selama tahun 2000-2002, walaupun pada tahun 2003 sempat mengalami penurunan menjadi hanya 10.9 juta jiwa dan meningkat kembali pada tahun-tahun berikutnya.

Transformasi struktur perekonomian dari dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri menghendaki adanya kaitan yang kuat antara sektor pertanian dan sektor industri. Melalui keterkaitan tersebut, diharapkan nilai tambah komoditas pertanian dan penyerapan tenaga kerja menjadi semakin meningkat. Selain itu, melalui keterkaitan tersebut proses industrialisasi dapat berjalan mulus karena industri yang dikembangkan menggunakan bahan baku yang tersedia.

Dewasa ini, dan terlebih lagi di masa yang akan datang, orientasi sektor pertanian telah berubah dari orientasi produksi kepada orientasi pasar. Dengan berlangsungnya perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor penggerak sektor pertanian harus berubah dari usahatani kepada industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri). Menurut Departemen Pertanian (2002), untuk mengembangkan sektor pertanian yang modern dan berdaya saing, maka agroindustri harus menjadi lokomotif dan sekaligus penentu kegiatan subsektor usahatani dan selanjutnya akan menentukan subsektor agribisnis hulu.

(25)

1. Industri pengolahan mampu mentransformasikan keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing (kompetitif), yang pada akhirnya akan memperkuat daya saing produk agribisnis Indonesia.

2. Produknya memiliki nilai tambah dan pangsa pasar yang besar, sehingga kemajuan yang dicapai dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional secara keseluruhan.

3. Memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir (forward and backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sektor-sektor lainnya. 4. Memiliki basis bahan baku lokal (keunggulan komparatif) yang dapat

diperbaharui sehingga terjamin sustainabilitasnya.

5. Memiliki kemampuan untuk mentransformasikan struktur ekonomi nasional dari pertanian ke industri dengan agroindustri sebagai motor penggeraknya. Berdasarkan grand strategy pengembangan agroindustri yang telah disusun oleh Departemen Pertanian (2005b), program pengembangan agroindustri diarahkan untuk hal-hal berikut:

1. Mengembangkan cluster industri, yakni industri pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya.

2. Mengembangkan industri pengolahan skala rumahtangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar.

(26)

kopi bubuk/instan, dan industri teh olahan, (2) industri pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura seperti industri buah dan sayur dalam kaleng, industri minuman sari buah, industri tepung tapioka dan derivatnya, industri pakan ternak, dan industri makanan ringan, (3) industri pengolahan hasil peternakan seperti industri susu olahan, industri daging dalam kaleng, dan industri penyamakan kulit, serta (4) industri pengolahan hasil ikutan/samping seperti industri agrocomposting, industri pakan ternak, industri coco fiber dan coco peat, industri karbon aktif, industri minuman dari buah jambu mete, dan lain-lain.

Namun demikian, selama ini proses industrialisasi di Indonesia berjalan masih sangat lambat. Hal ini terlihat antara lain dari semakin senjangnya ekonomi desa-kota. Dualisme ekonomi desa-kota telah mengakibatkan kota menjadi pusat segala-galanya dan ekonomi perdesaan hanyalah pendukung ekonomi perkotaan. Dalam jangka panjang apabila dualisme ekonomi desa-kota tidak dapat diatasi, maka dapat dipastikan akan muncul masalah lain yang lebih rumit, seperti urbanisasi besar-besaran, rusaknya kultur asli bangsa seperti gotong royong dan kekeluargaan, kriminalitas yang meningkat, serta semakin melebarnya kesenjangan pendapatan dalam masyarakat. Masyarakat kaya pemilik modal di perkotaan akan semakin kaya, sementara itu penduduk miskin di perdesaan semakin bertambah besar (Departemen Pertanian, 2005a).

(27)

banyak tenaga kerja dan menjamin perluasan berusaha, sehingga akan efektif dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat perdesaan. Berkembangnya agroindustri juga akan meningkatkan penerimaan devisa dan mendorong terjadinya keseimbangan pendapatan antara sektor pertanian dan nonpertanian. Dengan demikian, kebijakan pembangunan agroindustri diharapkan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat di wilayah produksi pertanian dan mendorong penawaran hasil-hasil pertanian untuk kebutuhan agroindustri.

Dalam kaitannya dengan peran agroindustri dalam menurunkan kemiskinan perdesaan, Gandhi et al. (2001) melakukan studi tentang pembangunan agroindustri untuk petani kecil dan perdesaan di India. Hasil studi menunjukkan bahwa sektor agroindustri mampu memberikan sumbangan yang besar terhadap kesempatan kerja. Peran sektor agroindustri dalam mendorong kegiatan pembangunan dan menurunkan kemiskinan perdesaan dicerminkan oleh kemampuannya dalam peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja perdesaan, khususnya bagi kelompok petani berlahan sempit.

(28)

industri pertanian adalah peran lembaga pemasaran bersama yang mampu menekan biaya transaksi.

Beberapa studi di atas relevan dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2000, sebagian besar (60 persen) penduduk Indonesia masih bertempat tinggal di kawasan permukiman perdesaan, yang dicirikan antara lain oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja dan masih tingginya tingkat kemiskinan.

Kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi hampir di semua negara sedang berkembang. Kemiskinan muncul karena ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Kondisi ini menyebabkan menurunnya kualitas sumberdaya manusia, sehingga produktivitas dan pendapatan yang diperolehnya rendah. Lingkaran kemiskinan terus terjadi, karena dengan penghasilan yang rendah tidak mampu mengakses sarana pendidikan, kesehatan dan nutrisi secara baik, sehingga menyebabkan kualitas SDM dari aspek intelektual dan fisik rendah, akibatnya produktivitasnya rendah. Selain itu, rendahnya kualitas SDM menyebabkan kelompok ini tersisih dari persaingan ekonomi, politik, sosial budaya dan psikologi, sehingga semakin tidak mampu mendapatkan kesempatan yang baik dalam sistem sosial ekonomi masyarakat (Sumedi dan Supadi, 2004).

(29)

Tabel 2. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan

Tahun

Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan)

Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan Jumlah (juta) Persentase (%)

Kota Desa Kota Desa Kota +

Desa Kota Desa Kota +

Desa 1996a/ 42 032 31 366 9.6 24.9 34.5 13.6 19.9 17.7

1998b/ 96 959 72 780 17.6 31.9 49.5 21.9 25.7 24.2 1999c/ 92 409 74 272 15.7 32.7 48.4 19.5 26.1 23.5

2000c/ 91 632 73 648 12.3 26.4 38.7 14.6 22.4 19.1

2001c/ 110 011 80 382 8.6 29.3 37.9 9.8 24.8 18.4 2002c/ 130 499 96 512 13.3 25.1 38.4 14.5 21.1 18.2

2003c/ 138 803 105 888 12.2 25.1 37.3 13.6 20.2 17.4 2004c/ 143 455 108 725 11.4 24.8 36.1 12.1 20.1 16.7

2005c/ 150.799 117.259 12.4 22.7 35.1 11.7 20.0 16.0 2006c/ 174.290 130.584 14.5 24.8 30.3 13.5 21.8 17.8

Sumber: BPS (2007)

Keterangan: a/ Menggunakan garis kemiskinan menurut definisi BPS tahun 1998.

b/

Menggunakan data Susenas Desember 1998 (khusus).

c/

Menggunakan data Susenas Reguler.

Pada Tabel 2, nampak bahwa dari 30.3 juta penduduk miskin (17.8 persen dari total penduduk), lebih dari 24 juta orang miskin tersebut berada di daerah perdesaan, yang umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi sektor pertanian memiliki potensi ekonomi dan sumberdaya yang melimpah, namun di lain pihak petani yang merupakan konstituen terbesar masih terjerat kemiskinan.

(30)

1.2. Perumusan Masalah

Proses industrialisasi pertanian di Indonesia telah dilakukan semenjak lama, yang kemudian mendapat penekanan pada tahun 1970-an yang dikenal dalam pembangunan pertanian melalui ”revolusi hijau” untuk pangan padi dan ekspansi tanaman perkebunan berskala kecil dan menengah. Proses industrialisasi telah memperkenalkan keragaman jenis teknologi mulai dari bibit unggul, pengolahan hasil pertanian, teknologi pasca panen, pergudangan, alat pertanian, dan sebagainya. Semua itu telah merubah kinerja sektor pertanian, seperti penambahan jumlah output yang dihasilkan.

Peningkatan jumlah output yang dihasilkan oleh sektor pertanian tersebut dimungkinkan karena adanya introduksi teknologi di sektor yang bersangkutan. Secara agregat, dampak perubahan teknologi digambarkan sebagai faktor penggeser Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) ke kanan, yang secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1.

Komoditas Pertanian Tanaman Pangan (Q1)

KKPt2

KKPt1

Komoditas Pertanian

0 Non Pangan (Q2)

(31)

Pada Gambar 1, nampak bahwa dengan adanya perubahan teknologi di sektor pertanian akan menggeser KKP ke kanan dari KKPt1 ke KKPt2. Hal ini

menunjukkan bahwa dengan sumberdaya yang ada, maka akan diperoleh jumlah output sektor pertanian, baik komoditas pertanian tanaman pangan (Q1) maupun

komoditas pertanian non pangan (Q2), yang lebih besar.

Dengan terjadinya peningkatan produksi komoditas pertanian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, diharapkan pendapatan petani dapat ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan pendekatan pembangunan pertanian yang selama ini dilakukan oleh pemerintah yaitu peningkatan produksi komoditas pertanian, yang ditempuh melalui empat usaha pokok (catur usaha) yaitu intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Namun demikian, mengingat permintaan komoditas pertanian yang bersifat tidak elastis, maka peningkatan produksi komoditas pertanian justru akan menurunkan penerimaan (revenue) yang diterima oleh petani. Secara grafis, fenomena tersebut secara jelas disajikan pada Gambar 2.

P S1

S2

A P1

B P2

D

0 Q1 Q2 Q

(32)

Pada Gambar 2, nampak bahwa penerimaan mula-mula sebesar segiempat OP1AQ1. Pergeseran kurva penawaran (S) dari S1 ke S2 (dengan kurva permintaan

D yang inelastis), maka penerimaan petani menjadi sebesar segiempat OP2BQ2

yang lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan semula (OP2BQ2 < OP1AQ1).

Dengan penerimaan yang relatif lebih rendah di satu pihak, di pihak lain biaya produksi usahatani yang semakin meningkat atau setidaknya tidak berubah, maka pendapatan petani justru akan mengalami penurunan.

Secara empiris, hal tersebut di atas ditunjukkan oleh hasil penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian akan menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28 persen (untuk komoditas hasil kebun lain) sampai 10.08 persen (untuk komoditas tebu). Lebih lanjut ditemukan bahwa kenaikan produktivitas pertanian juga akan menurunkan pendapatan rumahtangga perdesaan berkisar antara 2.10 persen (untuk rumahtangga berpendapatan tinggi di sektor nonpertanian di perdesaan) sampai 3.10 persen (untuk rumahtangga petani pemilik lahan > 1.0 hektar).

(33)

Masalah lain yang dihadapi dalam pembangunan pertanian adalah belum terpadunya pengelolaan pertanian sebagai suatu sistem agribisnis secara utuh, mulai dari subsistem sarana produksi, usahatani, pengolahan hasil, sampai dengan subsistem pemasaran, serta subsistem lembaga penunjang. Dampak dari kondisi ini adalah tingkat kesejahteraan petani dari waktu ke waktu tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Padahal tujuan pembangunan pertanian pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Salah satu tolok ukur untuk mengukur dinamika kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Hasil penelitian Siregar (2003) menunjukkan bahwa secara agregat NTP mempunyai tendensi (trend) yang menurun (negatif) yaitu sebesar –0.68 persen per tahun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara riil tingkat kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan. Hal ini selaras dengan data yang dipublikasikan oleh BPS (2007) yang menunjukkan bahwa pada tahun 2006 dari total penduduk miskin di Indonesia yang berjumlah 30.3 juta jiwa, sebanyak 81.85 persen (24.8 juta jiwa) bermukim di kawasan perdesaan, yang sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai petani.

(34)

(SNSE). Demikian juga halnya dengan Yudhoyono (2004), Herjanto (2003) dan Asnawi (2005) yang menggunakan pendekatan model makroekonometrika. Padahal permasalahan tersebut bersifat multi sektor yang akan membawa implikasi yang cukup luas, tidak hanya pada sektor industri pertanian, tetapi juga pada sektor-sektor perekonomian lainnya, terutama pada sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan. Oleh karena itu, pendekatan yang paling sesuai adalah dengan model ekonomi keseimbangan umum atau Computable General Equilibrium (CGE) .

Keunggulan model CGE dibandingkan dengan model keseimbangan parsial adalah bahwa model CGE sudah memasukkan semua transaksi antar pelaku-pelaku ekonomi secara keseluruhan, baik di pasar faktor produksi maupun di pasar komoditas. Dengan demikian dampak dari suatu kebijakan akan dapat dianalisis pengaruhnya secara kuantitatif terhadap kinerja ekonomi, baik secara makro maupun sektoral.

(35)

adanya pembatasan supply. Dibandingkan dengan model makroekonometrika bahwa dengan model CGE hubungan antara makroekonomi dan mikroekonomi dapat diketahui, sementara itu pada model makroekonometrika bahwa analisis dan dampak dilakukan di tingkat makroekonomi saja.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.

2. Mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.

3. Mengkaji dampak peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan sektor lembaga keuangan terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.

1.3.2. Manfaat Penelitian

(36)

makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan. Hal ini karena selama ini belum terdapat kajian industrialisasi pertanian yang dikaitkan dengan kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan secara mendalam, dengan mengagregasikan sektor-sektor dalam perekonomian dan rumahtangga. Selain itu, model yang dibentuk dalam penelitian ini adalah model CGE recursive dynamic yang belum banyak diaplikasikan untuk kasus Indonesia.

Secara khusus manfaat penelitian ini adalah diperolehnya sebuah model CGE yang recursive dynamic dengan data dasar model menggunakan data dari tabel Input Output (I-O) dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia. Selain itu, model ini juga menggunakan data makroekonomi dan parameter terbaru yang mencerminkan kondisi perekonomian Indonesia pada masa kini dan tertangkapnya dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan kemiskinan perdesaan.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

(37)

kerja. Adapun dampak terhadap kinerja ekonomi makro meliputi pertumbuhan GDP riil, konsumsi rumahtangga, investasi, ekspor, impor, neraca perdagangan dan inflasi.

Model CGE yang digunakan adalah model CGE recursive dynamic, yang merupakan kombinasi dari model CGE ORANI-F (Horridge et al., 1993), INDOF (Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwer, 1999), dan ORANIGRD (Horridge, 2002). Simulasi kebijakan dilakukan untuk jangka waktu selama 10 tahun yaitu tahun 2003-2013.

Sektor industri pertanian yang dicakup dalam penelitian ini dibatasi pada 10 jenis industri, yaitu: (1) industri pengolahan hasil peternakan, (2) industri pengolahan hasil perikanan, (3) industri minyak dan lemak, (4) beras (industri penggilingan padi), (5) industri tepung segala jenis, (6) industri gula, (7) industri rokok, (8) industri bambu, kayu dan rotan, (9) industri pupuk dan pestisida, serta (10) industri pengolahan karet. Pemilihan sektor industri pertanian ini didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, agroindustri yang tercakup kedalam 10 industri prioritas pembangunan industri nasional seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Kesepuluh industri prioritas ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh Departemen Perindustrian sebagai kebijakan nasional pembangunan industri (Departemen Perindustrian, 2005). Kedua, agroindustri yang berbahan baku sektor pertanian terpilih. Ketiga, agroindustri yang mempunyai prospek untuk dikembangkan di masa datang, berdasarkan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), nilai ekspor dan penyerapan angkatan kerja.

(38)
(39)

2.1. Pembangunan Pertanian

Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses

perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan

status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk

mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial,

politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement),

pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang

berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gamblang

tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat

pokok pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil

usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan

dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani,

dan (5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Adapun syarat

pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan,

(2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan

perluasan tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian.

Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah

kebijakan yang disarankan oleh Mosher.

Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana

dimulai sejak Repelita I (1 April 1969), yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru,

yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum

(40)

II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima

serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang semuanya dititik

beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:

1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor

pertanian.

2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri

pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.

3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan

meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.

4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju

swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.

5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.

Menurut Suhendra (2004) di banyak negara sektor pertanian yang berhasil

merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Para perancang

pembangunan Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari

benar hal tersebut, sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara

bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan

sektor pertanian dan industri penghasil sarana produksi pertanian. Pada tahap

kedua, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang

pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada

pembangunan industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti

demikian, diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang

serasi dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal.

Pada saat Indonesia memulai proses pembangunan secara terencana pada

(41)

mencapai lebih dari 40 persen, sementara itu serapan tenaga kerja pada sektor

pertanian mencapai lebih dari 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami

penyusunan rencana, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan

pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan.

Kebijakan untuk menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat

pembangunan ekonomi sesuai dengan rekomendasi Rostow dalam rangka

persiapan tinggal landas (Simatupang dan Syafa’at, 2000). Lebih lanjut

dinyatakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan

upaya menciptakan prakondisi tinggal landas.

Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu

negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai berikut: (1) dengan

mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang

berkembang, (2) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari

tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang

berkembang, (3) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan

meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang

berkembang, dan (4) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan

devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor.

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawa

beberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang

berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun

1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif

murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang

membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan

(42)

memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada tingkat tertentu

sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga

melahirkan agroindustri.

Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian di masa pemerintahan

Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan

produksi pertanian telah menimbulkan kecenderungan menurunnya harga

produk-produk pertanian yang berakibat negatif pada pendapatan petani, seperti yang

ditunjukkan oleh hasil penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan

produktivitas pertanian menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara

0.28-10.08 persen dan akan menurunkan pendapatan rumahtangga perdesaan

berkisar antara 2.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas dan produksi

tidak selalu dibarengi atau diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani,

bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yang ditunjukkan oleh

hasil penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil tingkat kesejahteraan petani dari

tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh nilai tukar

petani (NTP) yang mempunyai tendensi (trend) yang menurun (negatif) sebesar –

0.68 persen per tahun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor

pertanian hanya bisa berkembang dalam kebijaksanaan yang protektif,

memerlukan subsidi dan mendapat intervensi yang sangat mendalam, sehingga

sektor pertanian dianggap sebagai most-heavily regulated.

Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar pada

terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan tahun

1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade

sebelumnya, pemerintah seolah menganggap pembangunan pertanian dapat

(43)

pertanian dalam strategi pembangunannya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh

paradigma pembangunan saat itu yang menekankan industrialisasi yang tidak

berbasis pada sektor pertanian. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada

sektor industri, yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan proteksi

yang sistematis. Akibatnya, proteksi besar-besaran ini telah merapuhkan basis

pertanian pada tingkat petani.

Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian

selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas.

Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan pertanian berdasarkan

pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi

pada peningkatan produksi dibandingkan dengan peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan petani. Namun demikian, pendekatan komoditas ini mempunyai

beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) tidak memperhatikan keunggulan

komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal

dan spatial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang memperhatikan aspirasi

dan pendapatan petani. Oleh karena itu, pengembangan komoditas seringkali

sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi

dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan

pendapatan petani.

Menyadari akan hal tersebut di atas, maka pendekatan pembangunan

pertanian harus diubah dari pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem

agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga

akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi

(44)

Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan

internasional yang sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin

dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi

lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan

pijakan utama bagi kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan hal

tersebut, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor

kunci keberhasilan pembangunan pertanian.

Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang

sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang

sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut

memerlukan penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program

pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian

harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan

tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan

sumberdaya lokal secara optimal.

Sejak awal tahun 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian

dalam struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan

politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih

banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa, bahkan yang berbasis teknologi

tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, ketika krisis ekonomi terjadi,

agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yang

menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat, maka Indonesia kembali

menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi

(45)

Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor

pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok

dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam

menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan

utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor

pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan

mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif,

2005).

Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan tentang pentingnya

mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang

(1997) sebagai berikut:

1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga

akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah

pengangguran.

2. Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana

sebagian besar penduduk berada. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan

pertanian paling tepat untuk mendorong perekonomian desa dalam rangka

meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan sekaligus

pengentasan kemiskinan.

3. Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga

dengan akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat

terjamin. Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada

pasar dunia.

4. Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga

(46)

Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian akan membantu menjaga

stabilitas perekonomian Indonesia.

5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka

mendorong ekspor dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam

hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran.

6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sektor

industri. Hal ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian

dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan

investasi.

Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan program pembangunannya

dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi

dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor.

Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal

sebagai berikut:

1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui

percepatan investasi dan ekspor.

2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan

menciptakan lapangan kerja baru.

3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan

kemiskinan.

Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan

kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui

peningkatan kinerja sektor pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak

mengabaikan sektor lain. Sejalan dengan hal ini, Sudaryanto dan Munif (2005)

(47)

komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir

masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya sekedar penghasil komoditas

untuk dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multi-fungsi dan

sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui

tiga program, yaitu: (1) program peningkatan ketahanan pangan, (2) program

pengembangan agribisnis, dan (3) program peningkatan kesejahteraan petani.

Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui

peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan

halal di setiap daerah setiap saat dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan

pangan. Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui

pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi

program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan

penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah,

kebijakan proteksi dan promosi lainnya (Departemen Pertanian, 2005c).

2.2. Industrialisasi

Pertanian

Menurut Meier (1995), transformasi struktural dari ekonomi agraris

perdesaan berpendapatan rendah ke ekonomi industri perkotaan dengan

pendapatan per kapita lebih tinggi melibatkan fenomena industrialisasi dan

pembangunan pertanian. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian harus

dipandang bukan sekedar sebagai sumber surplus untuk mendukung

industrialisasi, tetapi juga sebagai sumber dinamis pertumbuhan ekonomi,

penyedia lapangan kerja, dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Selain itu,

(48)

tenaga kerja non pertanian, bahan baku untuk produksi sektor industri, tabungan

dan penerimaan pajak untuk mendukung pembangunan sektor ekonomi lainnya;

untuk mendapatkan lebih banyak devisa (atau menghemat devisa jika produk

primer diimpor); dan memberikan pertumbuhan pasar bagi industri domestik.

Hubungan intersektoral antara pertanian dan industri akan menentukan

transformasi struktural pada perekonomian negara berkembang.

Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi pertanian di

berbagai negara pada umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian. Langkah

ini ditempuh melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian

berskala kecil ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas

pertanian (Weisdorf, 2006).

Arifin (2005) menyatakan bahwa definisi industrialisasi pertanian tidak

sesempit sekedar mekanisasi pertanian atau pengolahan hasil pertanian oleh sektor

industri, tetapi jauh lebih luas dari itu karena mencakup proses peningkatan nilai

tambah, sampai pada koordinasi dan integrasi vertikal antara sektor hulu dan

sektor hilir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terdapat pihak-pihak yang

memperlakukan industrialisasi pertanian sebagai bagian dari seluruh rangkaian

pembangunan sistem agribisnis, di pihak lain ada pula yang beranggapan bahwa

proses industrialisasi adalah suatu keniscayaan seiring dengan proses transformasi

struktur ekonomi dan merupakan tuntutan efisiensi dalam bidang usaha melalui

integrasi vertikal dari hulu hingga hilir.

Sudaryanto (2005) memberikan definisi industrialisasi pertanian sebagai

suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal

agribisnis dalam satu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga

(49)

preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, industrialisasi pertanian adalah

suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola

industrial. Lebih lanjut disebutkan bahwa berbeda dengan pola dispersal, dalam

agribisnis pola industrial setiap perusahaan tidak lagi berdiri sendiri atau

bergabung dalam asosiasi horizontal tetapi memadukan diri dengan

perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu

alur produk vertikal (dari hulu hingga hilir) dalam satu kelompok usaha.

Kahn (1979) menyatakan bahwa pengalaman di hampir semua negara

menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan

ekonomi. Hanya sebagian kecil negara dengan jumlah penduduk yang sedikit dan

kekayaan minyak atau Sumber Daya Alam (SDA) lainnya yang melimpah, seperti

Kuwait dan Libya, dapat berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yang

tinggi tanpa melalui proses industrialisasi, hanya mengandalkan pada sektor

pertambangan (minyak). Fakta di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada

perekonomian yang bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan

pertambangan) yang mampu mencapai tingkat pendapatan per kapita di atas 500

US $ selama jangka panjang.

Sektor industri diyakini dapat dijadikan sebagai sektor yang memimpin

(leading sector) bagi sektor-sektor lainnya dalam suatu perekonomian. Hal ini

karena produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri memiliki dasar tukar

(term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan, serta mampu menciptakan

nilai tambah (value added) yang besar dibandingkan dengan produk-produk yang

dihasilkan oleh sektor lainnya. Sektor industri mempunyai variasi produk yang

sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada

(50)

lebih menarik bagi para pelaku bisnis, serta proses produksi dan penanganan

produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia yang tidak terlalu bergantung

pada alam (musim atau keadaan cuaca). Karena kelebihan-kelebihan sektor

industri inilah, maka industrialisasi dianggap sebagai “obat mujarab” (panacea)

untuk mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang.

Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi

dan stabil, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya

merupakan salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses

pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi

(Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periode

industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses transformasi struktur

ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi

sektor industri manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi, ekspor, dan

kesempatan kerja (Chenery, 1992). Menurut Tambunan dan Priyanto (2005),

penurunan share sektor pertanian dalam pembentukan PDB dari waktu ke waktu

dan peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur, merupakan indikator

bahwa ekonomi Indonesia telah memasuki proses industrialisasi.

Proses industrialisasi di Indonesia sudah dimulai sejak Pelita I, yang

dimulai tahun 1969. Industrialisasi yang dilaksanakan sejak Pelita I hingga krisis

ekonomi tahun 1997, mengakibatkan pendapatan per kapita masyarakat

mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Apabila hanya

mengandalkan dari sektor pertanian dan sektor pertambangan (migas), maka

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang, tidak akan pernah

(51)

tingkat pendapatan per kapita di atas 1,000 US $ pada pertengahan tahun 1997

(Tambunan, 2001).

Menurut Simatupang dan Syafaat (2000), pembangunan ekonomi pada

masa pemerintahan Orde Baru mengacu pada paradigma transformasi struktural

berimbang melalui industrialisasi bertahap berbasis sektor pertanian.

Pembangunan ekonomi yang demikian ini dapat pula disebut sebagai

pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis.

Definisi agribisnis menurut Badan Agribisnis (1995) adalah suatu kesatuan

sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yang saling terkait erat, yaitu

subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi (subsistem agribisnis hulu),

subsistem usahatani atau pertanian primer, subsistem pengolahan, subsistem

pemasaran, serta subsistem jasa dan penunjang. Subsistem agribisnis hulu adalah

kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana (input) pertanian seperti industri

perbenihan dan pembibitan tanaman, industri pupuk dan pestisida (agrokimia),

serta industri alat dan mesin pertanian (agrootomotif) bagi kegiatan pertanian

primer. Subsistem usahatani adalah kegiatan ekonomi yang menghasilkan

komoditas atau produk pertanian primer melalui pemanfaatan sarana produksi

yang dihasilkan oleh subsistem agribisnis hulu. Subsistem pengolahan adalah

kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas atau produk pertanian primer

menjadi produk olahan. Termasuk dalam subsistem tersebut adalah industri

makanan, industri minuman, industri rokok, industri barang serat alam, industri

biofarma, serta industri agrowisata dan estetika. Subsistem pemasaran adalah

kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan kegiatan distribusi, promosi, informasi

pasar, kebijakan perdagangan dan struktur pasar. Adapun subsistem jasa dan

(52)

diperlukan untuk memperlancar pengembangan agribisnis. Termasuk dalam

subsistem ini adalah lembaga perkreditan dan asuransi, penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan penyuluhan, serta transportasi dan pergudangan.

[image:52.612.111.512.217.519.2]

Hubungan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis tersebut dapat dilihat pada

Gambar 3.

Sumber: Badan Agribisnis (1995)

Gambar 3. Sistem Agribisnis

Soekartawi (1993) menyatakan bahwa yang termasuk ke dalam jenis

agroindustri adalah: (1) industri pengolahan input pertanian yang pada umumnya

tidak berlokasi di perdesaan, padat modal, dan berskala besar seperti industri

pupuk, industri pestisida, dan sebagainya, dan (2) industri pengolahan hasil

pertanian, seperti pengolahan pucuk teh hijau atau teh hitam, pengalengan buah,

(53)

Tambunan dan Priyanto (2005) menyatakan bahwa industrialisasi di

Indonesia selalu dimulai dari industri besar, dan kurang memperhatikan

usaha-usaha kecil. Akibatnya, sampai saat ini Indonesia belum menunjukkan

tanda-tanda sebagai negara industri yang mandiri. Hal ini disinyalir karena para

pemimpin pembangunan ekonomi terlalu mengandalkan peranan industri besar

modern, yang dianggap sebagai jalan paling pendek dan paling mungkin untuk

mengisi arti kemerdekaan.

Senada dengan hal tersebut di atas, Simatupang dan Syafa’at (2000)

menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi di Indonesia adalah karena

kesalahan industrialisasi yang tidak berbasis pada pertanian. Selama krisis juga

terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu mengalami laju pertumbuhan yang

positif, walaupun dalam persentase yang kecil, sedangkan sektor industri

manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negatif di atas satu digit. Banyak

pengalaman di negara-negara maju di Eropa dan Jepang yang menunjukkan

bahwa mereka memulai industrialisasi setelah atau bersamaan dengan

pembangunan di sektor pertanian. Sebagai contoh, Inggris mengalami revolusi

industri pada abad ke-18 setelah diawali dengan revolusi pertanian yang terjadi

melalui introduksi teknologi turnip. Industrialisasi di Jepang berlangsung

bersamaan dengan revolusi pertanian yang terjadi melalui reformasi agraria

(restorasi Meiji). Demikian juga di Taiwan pada dekade 1950-an, yang

menunjukkan bahwa industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan

industri berskala kecil dan berlokasi di perdesaan mampu menghasilkan

pertumbuhan ekonomi yang kuat dan merata serta struktur ekonomi yang tangguh.

Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertanian yang kuat sangat

esensial dalam suatu proses industrialisasi pertanian. Beberapa alasan tersebut

(54)

1. Sektor pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini

merupakan salah satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pertanian

pada khususnya dan pembangunan ekonomi pada umumnya bisa berlangsung

dengan baik. Ketahanan pangan berarti tidak ada kelaparan dan ini menjamin

kestabilan sosial dan politik.

2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yang kuat

membuat tingkat pendapatan riil per kapita di sektor tersebut tinggi yang

merupakan salah satu sumber permintaan terhadap barang-barang nonfood,

khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di

Indonesia, dimana sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan

mempunyai sumber pendapatan langsung maupun tidak langsung dari

kegiatan pertanian, jelas sektor ini merupakan motor utama penggerak

industrialisasi. Selain melalui keterkaitan pendapatan, sektor pertanian juga

berfungsi sebagai sumber pertumbuhan di sektor industri manufaktur melalui

intermediate demand effect atau keterkaitan produksi: output dari industri

menjadi input bagi pertanian.

3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian merupakan salah satu sumber input bagi

sektor industri pertanian yang mana Indonesia memiliki keunggulan

komparatif, misalnya industri makanan dan minuman, industri tekstil dan

pakaian jadi, industri kulit, dan sebagainya.

4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yang baik di sektor pertanian bisa

menghasilkan surplus di sektor tersebut dan ini bisa menjadi sumber investasi

Gambar

Gambar 3.
Gambar 4.  Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri
Gambar 5.  Rasio Gini dan Kurva Lorenz
Gambar 6.  Poverty Gaps dan FGT Indeks
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis tersebut maka dampak investasi sub sektor pertanian terhadap pembentukan nilai output, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja terbesar adalah pada sub

Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah pada periode tahun 1993 sampai tahun 2014 data produk domestik bruto (GDP) yang berasal dari sektor pertanian

Pokok permasalahan pada penelitian ini tentang kontribusi dan dampak industrialisasi terhadap kehidupan masyrakat Desa Kedungbungkus, tujuannya untuk mengetahui

Dua jalur utama yang menghubungkan Internasional (dunia) dengan ekonomi pertanian yaitu pertama melalui pasar komoditas internasional, di mana kondisi ekonomi

Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah pada periode tahun 1993 sampai tahun 2014 data produk domestik bruto (GDP) yang berasal dari sektor pertanian

Atas berkat kasih anugerahnya maka penulis dapat melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Dampak Industrialisasi Terhadap Kehidupan Sosial, Ekonomi dan

Perbedaan Wilayah Basis Pertanian dan Nonbasis Pertanian dalam Mempengaruhi Kemiskinan Wilayah dengan basis pertanian memiliki laju pertumbuhan pertanian yang tinggi karena pertanian

Dengan menggunakan data 34 provinsi selama tahun 2010-2017 dan menerapkan metode Panel Vector Autoregressive, hasil penelitian menunjukkan bahwa KUR sektor pertanian memiliki dampak