PT NEWMONT NUSA TENGGARA
IMMY SUCI ROHYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam Disertasi saya yang berjudul: Pemodelan Spasial Kelimpahan Collembola Tanah pada Area RevegetasiTambang PT Newmont Nusa Tenggara merupakan hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Jakarta, Februari 2012
Mining Revegetation Area of PT Newmont Nusa Tenggara, supervised by Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, M.Agr, Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS and Dr. Ir. R Yayi
Munara Kusumah, M.Si.
Collembola is an invertebrate group which has very important role to be used as indicator for evaluating the revegetation success. This research was performed to develop spatial models of soil collembolans abundance for monitoring revegetation success on the basis of soil fertility in the mining area of PT Newmont Nusa Tenggara. The score of the models was derived from fuzzy function expressing the relationship between each variable and collembolans abundance. Data were analyzed using correlation, regression and spatial analysis. Temperature, humidity, sands proportion, field pH, C-Organic, CTC, number of vegetation type, vegetation density, manure thickness, and number of acarinas were used as verifier to monitor soil collembolans abundance. Based on the result of correlation analysis, the study found that estimation of time required to achieve soil fertility similar to natural forest is about 20 years. The study examined 5 (six) models to achieve the revegetation success from the view point of soil fertility. Model 3 identified as the most appropriate model having 77 % of over all accuracy with 49.35 % of kappa. Model 3 were established based on macro indicator of C-Organic, manure thickness, indicator predator and number of acarinas. The research concludes that collembolan could be used to predict revegetation success at each age of revegetation.
Area Revegetasi Tambang PT Newmont Nusa Tenggara, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr, Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS, dan Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.Si.
Collembola merupakan bagian dari kelompok invertebrata, memiliki peranan yang sangat penting salah satunya berpotensi sebagai indikator yang dapat memperkaya parameter keberhasilan revegetasi, sehingga pemanfaatannya sebagai pemantauan keberhasilan revegetasi perlu dikaji. Beberapa penelitian menunjukan bahwa penggunaan kelompok invertebrata memiliki keunggulan tersendiri, diantaranya lebih hemat biaya dan menghasilkan informasi kondisi lingkungan yang lebih tinggi dibanding kelompok vertebrata dan tanaman. Sangatlah strategis melakukan penelitian terhadap peranan Collembola untuk memantau keberhasilan revegetasi pada lahan pasca tambang, dengan pendekatan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG), yang tengah berkembang saat ini, sehingga dapat dibuat suatu pemodelan yang menghasilkan model terbaik. Hasil dari pemodelan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kelimpahan Collembola dalam rangka mempermudah pengambilan keputusan, sekaligus dapat digunakan untuk memantau keberhasilan revegetasi dengan pendekatan kesuburan tanah.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah membangun model spasial pemantau keberhasilan revegetasi dengan pendekatan aspek kesuburan tanah. Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah mengidentifikasi peubah-peubah biofisik yang mempengaruhi keberhasilan revegetasi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal dalam upaya pengembangan dan mengoptimalkan peranan Collembola tanah sebagai salah satu indikator kesuburan tanah, dalam penerapannya diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam proses monitoring keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah di area tambang yang sejenis.
Penelitian lapangan dilakukan pada lahan tambang PT Newmont Nusa Tenggara pada seluruh area yang telah direvegtasi yaitu East dump (2001, 2002, 2003, 2004, 2008) dan Tongoloka dump (2005, 2006, dan 2007) serta hutan alam sebagai kontrol. Koleksi Acarina dan Collembola tanah dilakukan dengan metode ekstraksi Corong Barlese yang sudah dimodifikasi. Model keberhasilan revegetasi dibangun berdasarkan metode skor dan bobot. Nilai skor terstandarisasi (standardized score), dibangun melalui pendekatan fuzzy. Penentuan bobot dilakukan secara kuantitatif berdasarkan perhitungan secara objektif pengaruh peubah terhadap kelimpahan Collembola tanah. Bobot dihitung dengan pendekatan regresi berganda berdasarkan nilai skor yang telah distandarisasi. Bobot yang dihasilkan selanjutnya diskala ulang sehingga total bobot sama dengan satu.
model regresi yang diperoleh berdasarkan hasil verifikasi terbaik dan nilai peringkat tertinggi adalah persamaan polinomial y = 1.489x2 - 3.001x + 3.407, dimana y adalah kelimpahan Collembola tanah dengan x adalah umur revegetasi. Hutan alam menjadi acuan yang akan digunakan untuk melakukan revegetasi, maka kelimpahan Collembola hutan alam digunakan untuk menduga pencapaian keberhasilan revegetasi. Berdasarkan model persamaan polinomial diduga waktu yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah adalah 20 tahun
Pada pembangunan model prediktif, jika korelasi antar peubah bebas di atas nilai absolut 0.6 maka dapat menyebabkan terjadinya redundancy yaitu pemborosan dalam membangun model dan menyebabkan terjadinya autokorelasi. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujianan tarhadap peubah penyusun model sehingga kesalahan karena adanya autokorelasi dapat diminimalisir. Berdasarkan hasil korelasi maka peubah-peubah yang terpilih adalah suhu, kelembaban (RH), persentase pasir, pH lapangan, C-organik, KTK, jumlah vegetasi, kerapatan vegetasi, ketebalan serasah dan jumlah Acarina. Peubah-peubah terpilih tersebut kemudian dianalisis lagi untuk melihat korelasinya dengan kelimpahan Collembola tanah. Akhirnya peubah yang digunakan untuk membangun model keberhasilan revegetasi adalah peubah yang memiliki korelasi dengan kelimpahan Collembola tanah di atas 50 % yaitu kelembaban (RH), C-organik, kerapatan vegetasi tingkat tiang, ketebalan serasah dan jumlah Acarina.
Keberhasilan revegetasi merupakan fungsi dari kelimpahan Collembola tanah dan umur revegetasi. Pemantauan keberhasilan revegetasi dapat dilakukan dengan melihat kelimpahan Collembola tanah. Kelimpahan Collembola tanah dipengaruhi oleh indikator lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Pada penelitian ini dirumuskan juga 5 model untuk memantau keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah. Dipilih satu model terbaik untuk memantau keberhasilan revegetasi berdasarkan hasil uji akurasi, uji signifikansi, kemudahan dan kemurahan. Model 3 merupakan model terpilih dengan nilai akurasi umum sebesar 77%, akurasi kappa sebesar 49.35%. Model 3 dibangun berdasarkan bobot makro indikator sifat kimia tanah atau C-organik, indikator ketebalan serasah dan indikator predator atau jumlah Acarina.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PT NEWMONT NUSA TENGGARA
IMMY SUCI ROHYANI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. M. Buce Saleh Wirakartakusumah, MS. 2. Dr. Ir. I Wayan Winasa Msi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka :
NIM : E061060071
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS. Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.Si. Anggota Anggota
Mengetahui,
An. Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
karunia-Nya yang tak pernah putus sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan
dengan lancar. Judul disertasi ini adalah Pemodelan Spasial Kelimpahan Collembola
Tanah Pada Area Revegetasi Tambang PT Newmont Nusa Tenggara. Disertasi ini
diharapkan dapat menjadi kontribusi ilmiah dalam pengelolaan sumber daya alam pada
umumnya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. I
Nengah Surati Jaya, M.Agr, Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS, dan Dr. Ir. R.Yayi
Munara Kusumah, M.Si yang telah membimbing penulis dengan penuh perhatian dan
kesabaran mulai dari tahap awal penyusunan proposal hingga disertasi ini selesai.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Mara Maswahenu, S.Hut dan staf
reklamasi PT Newmont Nusa Tenggara yang telah membantu selama proses
pengambilan sampel di lapangan. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada
Prof (Ris). Dr. Yayuk Suhardjono yang telah memberi inspirasi dan saran kepada
penulis mulai dari awal hingga identifikasi Collembola di laboratorium. Ungkapan
terima kasih yang sangat dalam penulis haturkan kepada abah dan umi serta seluruh
anggota keluarga yang selalu memberikan do’a dan dukungannya. Serta kepada suami tercinta yang selalu memotivasi dan memberikan yang terbaik buat keluarga dan
anak-anakku tersayang sumber inspirasi dan semangat dalam hidupku.
Akhirnya penulis berharap semoga karya disertasi ini dapat memberi manfaat
yang sebanyak-banyaknya.
Jakarta, 20 Desember 2011
Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 19 September 1976 dari ayah Drs. H
Ismail Mars dan ibu Hj Fatimah. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.
Tahun 2002 penulis menikah dengan Jamaludin M.Ed dan dikaruniai 2 orang anak yaitu
Wardanya Najefa Ashra dan A’yuna Ghiyas Shafuh.
Pendidikan sarjana ditempuh pada tahun 1994 di Program Studi Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian Universitas Mataram, lulus pada tahun 1999. Pada Tahun yang sama
penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
(PSL) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2001.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan (IPK) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS
DIKTI.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada program Studi Biologi di Fakultas
MIPA Universitas Mataram sejak tahun 2003 sampai saat ini.
Selama mengikuti program S3, penulis tercatat menjadi anggota Perhimpunan
DAFTAR ISI
1.7. Kabaruan (Novelty) Penelitian... 6 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Reklamasi dan Revegetasi Lahan Tambang ... 7III
2.2. Reklamasi dan Revegetasi Area Tambang PT. Newmont Nusa Tenggara...
2.3. Tinjauan Umum Collembola Tanah...
2.3.1. Ciri-ciri Umum Collembola………..………….
2.3.2. Lingkungan Abiotik dan Biotik Collembola Tanah ………..
2.3.3. Distribusi Collembola Tanah ………...
3.4.2. Penentuan Kriteria dan Indikator Kelimpahan Collembola Tanah...
3.4.4. Digitasi Interpolasi, Peta Digital dan Overlay...
3.4.5. Analisa Data...
3.4.6. Pengujian Hubungan antar Peubah...
3.4.7. Penentuan Bobot dan Skor...
3.4.8. Penyusunan Model...
3.4.9. Verifikasi Model...
3.4.10. Pengujian Model...
3.4.11. Peta Tingkat keberhasilan Revegetasi dari Aspek Kesuburan Tanah... 31
4.2. Hubungan antara Umur Revegetasi dengan Kelimpahan Collembola Tanah
dan Nilai C-Organik...
4.3. Pendugaan Waktu Pencapaian Keberhasilan Revegetasi...
4.4. Identifikasi Peubah-peubah Lingkungan yang Mempengaruhi Kelimpahan
Collembola Tanah...
4.5. Pemilihan Peubah-peubah untuk Membangun Model...
4.6. Standar Skor Kelimpahan Collembola Tanah...
4.7. Perumusan Model Keberhasilan Revegetasi...
4.8. Model Keberhasilan Revegetasi dari Aspek Kesuburan Tanah...
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kriteria kesuburan tanah berdasarkan C-Organik...
2. Kelimpahan famili Collembola tanah pada area revegetasi PT NNT...
3. Hasil verifikasi model dugaan umur pencapaian keberhasilan revegetasi di area revegetasi tambang PT NNT...
4. Hasil peringkat dari verifikasi model dugaan umur pencapaian keberhasilan revegetasi di area revegetasi tambang PT NNT ...
5. Nilai rata-rata kondisi lingkungan abiotik dan biotik yang diukur pada area revegetasi PT NNT...
6. Matriks korelasi antara peubah yang digunakan sebagai penyusun model kelimpahan Collembola tanah...
7. Nilai estimasi dan standar skor kelimpahan Collembola tanah dengan umur revegetasi………...
8. Nilai estimasi dan standar skor kelembaban tanah……...
9. Nilai estimasi dan standar skor C-organik...
10.Nilai estimasi dan standar skor kerapatan vegetasi tingkat tiang……..………..…
11.Nilai estimasi dan standar skor ketebalan serasah………...
12.Nilai estimasi dan standar skor jumlah individu Acarina………
13.Bobot makro masing-masing indikator keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah di area revegetasi tambang PT NNT...
14.Model keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah di area revegetasi tambang PT NNT……….
15.Hasil uji akurasi model keberhasilan revegetasi berdasarkan aspek kesuburan tanah di area revegetasi tambang PT NNT...
16.Hasil uji signifikansi model keberhasilan revegetasi berdasarkan aspek kesuburan tanah di area revegetasi tambang PT NNT...
17.Klasifikasi nilai estimasi kelimpahan Collembola tanah di area revegetasi tambang PT NNT...
18.Klasifikasi nilai skor memonitoring keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah di area revegetasi tambang PT NNT menggunakan model 3...
68
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian...
2. Peta lokasi penelitian di PT NNT………...
3. Tahap pelaksanaan penelitian...
4. Struktur hirarki kriteria dan indikator kelimpahan Collembola tanah...
5. Fungsi keanggotaan Sigmoidal..………
6. Fungsi keanggotaan berbentuk huruf J………..……….
7. Fungsi keanggotaan Linear………
8. Fungsi keanggotaan Logaritmik……….
9. Famili Collembola tanah yang terkumpul di area revegetasi tambang PT NNT……...
10.Hubungan antara umur revegetasi dengan kelimpahan Collembola tanah dan C-Organik………...
11.Analisis regresi hubungan antara kelimpahan Collembola tanah (individu) dengan umur revegetasi (tahun)...
12.Dugaan waktu pencapaian keberhasilan revegetasi berdasarkan kelimpahan Collembola tanah dan umur revegetasi………..………
13.Hasil analisis regresi antara kelimpahan Collembola tanah dengan kelembaban...
14.Hasil analisis regresi antara kelimpahan Collembola tanah dengan C-Organik……...
18.Kelas monitoring keberhasilan revegetasi berdasarkan kelimpahan Collembola tanah dan umur revegetasi………...
19.Kelas monitoring keberhasilan revegetasi menggunakan model 3 pada area revegetasi tambang PT NNT………..
20.Peta sebaran kelimpahan Collembola tanah pada area revegetasi tambang PT NNT…
21.Peta sebaran C-organik pada area revegetasi tambang PT NNT………...
22.Peta sebaran ketebalan serasah pada area revegetasi tambang PT NNT………...
23.Peta sebaran jumlah individu Acarina tanah pada area revegetasi tambang PT NNT………..
24.Peta kelas keberhasilan revegetasi pada area tambang PT NNT menggunakan model 3………...
25.Hutan Alam di area revegetasi PT NNT yang menjadi acuan keberhasilan revegetasi
26.Area revegetasi PT NNT umur 8 tahun atau tahun tanam 2001 termasuk cukup berhasil………...
27.Area revegetasi PT NNT umur 7 tahun atau tahun tanam 2002 termasuk cukup berhasil………...
28.Area revegetasi PT NNT umur 6 tahun atau tahun tanam 2003 termasuk kurang berhasil………...
29.Area revegetasi PT NNT umur 5 tahun atau tahun tanam 2004 termasuk kurang berhasil………...
30.Area revegetasi PT NNT umur 4 tahun atau tahun tanam 2005 termasuk kurang berhasil………...
31.Area revegetasi PT NNT umur 3 tahun atau tahun tanam 2006 termasuk kurang berhasil………...
32.Area revegetasi PT NNT umur 2 tahun atau tahun tanam 2007 termasuk kurang berhasil………...
33.Area revegetasi PT NNT umur 1 tahun atau tahun tanam 2008 termasuk kurang berhasil………...
34.
Area revegetasi PT NNT umur 0 tahun atau tahun tanam 2010 ………...DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil analisis hubungan antara umur revegetasi, kelimpahan Collembola tanah dan nilai estimasi C-organik………
2. Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Collembola peubah-peubah biofisik terpilih………...
3. Verifikasi model persamaan regresi hubungan antara kelimpahan Collembola tanah dan umur revegetasi………...
4. Verifikasi model persamaan regresi hubungan antara kelimpahan Collembola tanah dan Kelembaban………...
5. Verifikasi model persamaan regresi hubungan antara kelimpahan Collembola tanah dan C-Organik……..………..
6. Verifikasi model persamaan regresi hubungan antara kelimpahan Collembola tanah dan kerapatan vegetasi tingkat tiang………...
7. Verifikasi model persamaan regresi hubungan antara kelimpahan Collembola tanah dan ketebalan serasah………....
8. Verifikasi model persamaan regresi hubungan antara kelimpahan Collembola tanah dan jumlah individu Acarina……….
9. Analisi regeresi ganda model keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah di area revegetasi PT NNT mulai dari model 1sampai model 5………..
10.Hasil uji akurasi tingkat keberhasilan revegetasi model 1 sampai model 5………
97
98
99
102
105
108
110
113
116
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat disertai dengan peningkatan
kualitas hidup yang semakin baik menyebabkan ketergantungan manusia terhadap
sumberdaya alam semakin meningkat. Pertambangan adalah salah satu sektor
yang memberikan kontribusi nyata dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Pertambangan merupakan sektor pembangunan yang sangat penting karena
keberadaanya dapat menunjang pendapatan nasional dan daerah serta masyarakat
sekitar tambang. Hasil laporan Price Waterhouse Cooper kontribusi industri pertambangan kepada GDP Indonesia tahun 1999 Rp 31.208,50 milyar dan tahun
1997 Rp 11.121,9 milyar. Tingkat pertumbuhan kontribusi industri pertambangan
tahun 1999 14.4 %, tahun 1998 22.8 % dan tahun 1997 22.3 %. Kontribusi pada
ekonomi Indonesia tahun 1999 Rp 11.477 milyar, tahun 1998 Rp11.263 milyar
dan tahun 1997 Rp 3.745,0 milyar (Coutrier 2001).
Bahan tambang secara alami seringkali berada dalam kawasan yang masuk
kriteria hutan. Luas hutan Indonesia yang tersisa tahun 2002 hanya 98 juta hektar,
dari luasan tersebut 11,4 juta hektar digunakan untuk kepentingan pembukaan
wilayah pertambangan (Anonim, 2003). Aktifitas pertambangan di dalam
kawasan hutan menyebabkan fungsi hutan (produksi, proteksi dan konservasi)
terganggu dan berdampak pada seluruh organisme yang hidup di dalamnya.
Pembukaan hutan menyebabkan hilangnya tutupan lahan, mengakibatkan
kenaikan intensitas erosi dan aliran permukaan (run-off), sedimentasi dan rusaknya wilayah penangkapan air (watershed areas) serta terganggunya tingkat stabilitas lahan dan kesuburan tanah.
Perusahaan tambang diwajibkan melakukan revegetasi lahan untuk
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat aktifitas pertambangan di
dalam kawasan hutan. Revegetasi adalah kegiatan penanaman kembali
pohon-pohon yang pernah ada, dimana pohon-pohon-pohon-pohon tersebut ditebang atau musnah
karena adanya kegiatan manusia. Menurut Setiadi (2006) merehabilitasi lahan
yang terdegradasi terdapat beberapa model revegetasi diantaranya adalah
(i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii) produksi bibit, (iii) penyiapan
lahan, (iv) amandemen tanah, (v) teknik penanaman, (vi) pemeliharaan, dan (vii)
program monitoring.
Kegiatan revegetasi memiliki banyak keuntungan diantaranya,
memperbaiki kondisi lahan yang labil dan mengurangi erosi tanah, dalam jangka
panjang dapat memperbaiki kondisi iklim mikro, menyediakan tempat
perlindungan bagi satwa liar dan keanekaragaman jenis-jenis lokal, meningkatkan
produktivitas dan kestabilan tanah, sehingga kondisi lahan meningkat ke arah
yang lebih protektif dan konservatif (Setiadi 2006).
Pemantauan keberhasilan revegetasi merupakan langkah penting
selanjutnya yang harus dilakukan. Indikator yang biasa digunakan untuk
memantau keberhasilan revegetasi adalah ketahanan hidup, pertumbuhan
tanaman, pertumbuhan akar, tajuk, produksi serasah, rekolonisasi jenis lokal dan
perbaikan habitat (Setiadi 2002). Indikator lainnya adalah landscape function analysis (Tongway et al. 2001), ecosystem function analysis (Randall 2004), populasi semut (Andersen & Sparling 1997), dan Collembola sebagai indikator
kesuburan tanah (Hopkin 1997; Suhardjono 2004).
Keberadaan Collembola tanah sebagai bagian dari komunitas fauna tanah
belum pernah dilaporkan sebagai indikator keberhasilan revegetasi di area
tambang PT Newmont Nusa Tenggara. Menurut Suhardjono (1985) ukuran
populasi Collembola akan berbeda pada keadaan tanah yang berbeda, karena
prilaku hidupnya yang unik sehingga Collembola dapat dipakai sebagai indikator
tingkat kesuburan tanah. Menurut Nurtjahyadi et al. (2007) populasi Colembolla tanah berpotensi dijadikan indikator kesuburan di area revegetasi tailling timah.
Collembola juga dikenal sebagai indikator keadaan tanah (Christiansen 1964
dalam Rahmadi et al. 2004). Memonitor tingkat pencemaran dalam tanah (Suhardjono 1985). Peran lain Collembola adalah membantu perombak bahan
organik atau detrivor (Greenslade 1996; Hopkin 1997).
Collembola sebagai bagian dari kelompok invertebrata, memiliki peranan
yang sangat penting dalam memantau kesuburan tanah dan berpotensi sebagai
indikator yang dapat memperkaya parameter keberhasilan revegetasi, maka
keberhasilan revegetasi diperlukan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
kelompok invertebrata memiliki keunggulan tersendiri, diantaranya lebih hemat
biaya dan menghasilkan informasi kondisi lingkungan yang lebih tinggi dibanding
kelompok vertebrata dan tanaman (Bisevac & Majer 1998). Sangatlah strategis
melakukan penelitian terhadap peranan Collembola untuk memantau keberhasilan
revegetasi pada lahan pasca tambang, dengan pendekatan teknologi Sistem
Informasi Geografis (SIG), yang tengah berkembang saat ini, sehingga dapat
dibangun model terbaik untuk memantau keberhasilan revegetasi.
Hasil dari pemodelan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor–
faktor lingkungan yang mempengaruhi kelimpahan Collembola dalam rangka
mempermudah pengambilan keputusan, sekaligus dapat digunakan untuk
memantau keberhasilan revegetasi dengan pendekatan kesuburan tanah.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya maka dapat dirumuskan
pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah faktor-faktor lingkungan abiotik (sifat fisik dan kimia tanah) dan
lingkungan biotik (komposisi vegetasi, ketebalan sarasah dan predator)
mempengaruhi kelimpahan Collembola tanah ?
2. Apakah umur vegetasi hasil penanaman di lahan tambang mempengaruhi
kelimpahan Collembola tanah ?
3. Apakah kelimpahan Collembola tanah dapat digunakan untuk menduga
keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah?
4. Apakah model kelimpahan Collembola tanah dapat digunakan untuk
memantau keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membangun model spasial
pemantau keberhasilan revegetasi dengan pendekatan aspek kesuburan tanah dan
kelimpahan Collembola tanah. Penelitian ini juga mempunyai tujuan khusus yaitu
untuk mengidetifikasi indikator dan peubah kunci biofisik yang mempengaruhi
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak baik
ditinjau dari aspek keilmuan maupun dari aspek guna laksana:
1. Aspek keilmuan: penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal
dalam upaya pengembangan dan mengoptimalkan peranan Collembola tanah
sebagai salah satu indikator kesuburan tanah.
2. Aspek guna laksana: penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
berbagai pihak yang berkepentingan dalam proses monitoring keberhasilan
revegetasi dari aspek kesuburan tanah di area revegetasi tambang yang sejenis.
1.5. Kerangka Pemikiran
Karakteristik hutan alam umumnya dicirikan oleh keanekaragaman jenis
yang tinggi, memiliki stratifikasi tajuk yang lengkap, selalu hijau, terjadi proses
suksesi yang dicirikan dengan adanya mekanisme yang berjalan, adanya
regenerasi, adanya penambahan jenis dan adanya siklus hara tertutup yang
merupakan pabrik kehidupan di dalam hutan. Siklus hara tertutup merupakan
suatu sistem yang memiliki jumlah kehilangan hara lebih rendah dibandingkan
dengan jumlah masukan hara yang diperoleh dari penguraian serasah pada lapisan
tanah dalam. Siklus hara tertutup berhubungan dengan kesuburan tanah,
menyebabkan campur tangan manusia tidak diperlukan lagi di dalam hutan alam.
Kesuburan tanah dapat diindikasikan dari adanya proses dekomposisi yang
dilakukan oleh organisme tanah salah satunya Collembola. Hutan alam dijadikan
acuan dalam melakukan revegetasi karena di dalam hutan alam terdapat
karakteristik atau struktur yang menyebabkan hutan dapat menjalankan fungsinya
(produksi, proteksi dan konservasi). Kerangka pemikiran yang mendasari
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Adanya aktifitas penambangan di dalam hutan menyebabkan rusaknya
struktur hutan sehingga fungsi hutan terganggu, jika hutan tidak dapat
menjalankan fungsinya maka dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan.
Degradasi lahan berdampak pada menurunnya kesuburan tanah, diikuti dengan
menurunnya aktivitas dan keragaman biotik dalam tanah. Mengembalikan
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kondisi tersebut salah satunya adalah
revegetasi atau penanaman kembali hutan yang terganggu.
Gambar 1 Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian
Revegetasi yang dilakukan pertahun diharapkan dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas kesuburan tanah termasuk bahan organik tanah, serta
meningkatnya aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna tanah termasuk
kelimpahan Collembola tanah sebagai dekomposer. Collembola merupakan salah
satu kelompok mesofauna tanah potensial. Kelompok mesofauna dan makrofauna
lebih berperan penting dalam transformasi bahan organik (Hanafiah et al. 2007).
Collembola juga dapat meningkatkan sumber makanan secara langsung di dalam
pembusukan akar atau secara tidak langsung di dalam pembentukan hifa fungi
dekomposer (Sinka et al. 2007).
Collembola tanah merupakan salah satu bagian dari kelompok
invertebrata. Menurut Bisevac & Majer (1998) pemanfaatan kelompok
invertebrata sebagai pemantauan keberhasilan revegetasi memiliki keunggulan
tersendiri, diantaranya lebih hemat biaya dan menghasilkan informasi kondisi
lingkungan yang lebih tinggi dibanding kelompok vertebrata dan tanaman.
HUTAN ALAM SIKLUS HARA
AKTIFITAS PERTAMBANGAN
DEGRADASI LAHAN
KESUBURAN TANAH
REVEGETASI: t1
INDIKATOR:
KELIMPAHAN
COLLEMBOLA
FAKTOR BIOTIK FAKTOR ABIOTIK
REVEGETASI: t..
Penggunaan Collembola tanah sebagai salah satu indikator pemantau keberhasilan
revegetasi merupakan hal yang sangat menarik, mengingat peranan Collembola
tanah yang besar dalam membantu kesuburan tanah serta mudah dalam
pengambilan sample dan identifikasi. Pemanfaatan Collembola tanah diharapkan
dapat memperkaya parameter keberhasilan revegetasi, terlebih memadukannya
dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG), yang saat ini
tengah berkembang sehingga dihasilkan model-model spasial yang praktis, cepat
dan akurat.
1.6. Hipotesis
Kesuburan suatu ekosistem yang bervegetasi sangat erat hubungannya
dengan kelimpahan Collembola tanah, dimana kelimpahannya sangat berkaitan
dengan indikator dan peubah kunci sifat fisik tanah, sifat kimia tanah, komposisi
vegetasi, ketebalan serasah dan predator.
1.7. Kebaruan (Novelty) Penelitian:
1. Fokus (Focus) dari penelitian ini adalah kajian terhadap kelimpahan Collembola tanah di area pasca tambang hasil revegetasi, dimana populasi
Collembola tanah dijadikan sebagai salah satu parameter kesuburan tanah di
area tambang yang di revegetasi.
2. Terdepan di bidang ilmu (Advance) karena di Indonesia penelitian mengenai permodelan dan distribusi spasial kelimpahan Collembola tanah di areal
tambang yang di revegetasi belum pernah ada.
3. Ilmiah (Scholar) terletak pada pendekatan yang berbasis spasial kuantitatif untuk menghasilkan model terbaik, dimana modelnya dibangun secara empiris
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Reklamasi dan Revegetasi Lahan Tambang
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya
energi dan mineral, baik berupa minyak dan gas bumi, emas, tembaga, nikel, dan
lain-lain. Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat
penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan karena
berhubungan dengan pendapatan nasional dan daerah serta memberikan manfaat
bagi masyarakat di sekitar tambang. Perubahan lingkungan di sekitar
pertambangan dapat terjadi setiap saat, sehingga manajemen pengelolaan yang
efektif menjadi indikator keberlanjutan pertambangan. Menurut Sumantri et al.
(2008) pengelolaan limbah pertambangan mineral (emas dan tembaga) yang telah
dilakukan oleh perusahaan pertambangan masih belum mampu mengatasi
degradasi kualitas lingkungan bio-fisik dan masalah sosial kemasyarakatan,
meskipun beberapa kegiatan pertambangan telah berorientasi pada industri bersih
yang berwawasan lingkungan.
Kegiatan penambangan di Indonesia umumnya dilakukan dengan teknik
penambangan di permukaan (darat). Penambangan seperti ini menerapkan teknik
penambangan terbuka (open pit mining) yang diawali dengan pembukaan lahan, pengikisan lapisan tanah atas, pengerukan dan penimbunan. Aktivitas ini dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi hutan terutama hutan lindung.
Dampak yang ditimbulkan terhadap fungsi hutan lindung adalah menghancurkan
ekosistem hutan (termasuk penghilangan vegetasi), meningkatnya laju erosi,
aliran permukaan (run-off), sedimentasi dan rusaknya wilayah penangkap air (watershed areas) serta terganggunya tingkat stabilitas lahan dan berubahnya iklim mikro. Dampak lainnya berupa gangguan terhadap status biodiversity jenis-jenis tanaman lokal, habitat satwa dan rusaknya bentang alam yang asli
(fragmentasi habitat) (Setiadi 2006). Menurut As‟ad (2005) kegiatan
penambangan dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia serta biologi tanah melalui
pengupasan tanah lapisan atas, penambangan, pencucian serta pembuangan
tailing. Penambangan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan
longsor karena hilangnya vegetasi penutup tanah. Hilangnya vegetasi hutan akibat
pertambangan dapat meningkatkan aliran permukaan (run off), vegetasi dapat merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam hubungannya dengan air, dapat
mempengaruhi kondisi permukaan tanah, sehingga mempengaruhi besar kecilnya
aliran permukaan (Asdak, 2004). Menurut Lau (1999) adanya aktivitas
pertambangan dapat memunculkan lahan terganggu, rusaknya drainase dan habitat
alami serta menimbulkan polusi.
Upaya mencegah kerusakan lingkungan yang lebih buruk dan berlanjut,
maka perlu dilakukan rehabilitasi, reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang.
Kepmenhutbun : 146/Kpts-II/1999 dijelaskan mengenai rehabilitasi lahan yaitu usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang
rusak (kritis), agar dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi,
media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan.
Reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan
vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
peruntukannya. Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan
bekas tambang (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen
Kehutanan 1997).
Kegiatan reklamasi dan atau rehabilitasi lahan wajib dilakukan oleh
pengusaha tambang, sebagai tanggung jawab terhadap lingkungan. Hal ini
berdasarkan pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Produk hukum tersebut diantaranya UU No 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan: 146/Kpts-II/1999 tentang, Pedoman Reklamasi Bekas
Tambang dalam Kawasan Hutan, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang,
UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Kendala utama dalam melakukan kegiatan rehabilitasi dan revegetasi pada
lahan-lahan terbuka pasca penambangan adalah kondisi lahan yang marginal.
tanah yang memadat, minimnya kandungan unsur hara, potensi keracunan
rendah dan minimnya populasi dan aktivitas mikroba tanah potensial, merupakan
faktor-faktor penyebab buruknya pertumbuhan tanaman dan rendahnya tingkat
keberhasilan rehabilitasi (Setiadi 2006).
Strategi menyeluruh dalam merehabilitasi lahan bekas tambang sangat
diperlukan diantaranya adalah perbaikan kondisi tanah yaitu dengan melakukan
perbaikan ruang tumbuh, pemberian top-soil dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Strategi dalam memilih spesies dimana secara
ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi
tidak untuk kondisi tanah. Diperlukan studi awal untuk melihat apakah spesies
tersebut cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat
tumbuh. Menurut Lugo (1997) penanaman pohon-pohon akan memberi
keuntungan bagi kegiatan rehabilitasi lahan, karena akan memungkinkan
terjadinya suksesi “Jump-start” (permulaan yang sangat cepat), memberikan naungan dan modifikasi ekstrim dari kerusakan lahan. Keberhasilan dalam
merestorasi lahan bekas tambang ditunjang oleh usaha-usaha seperti perbaikan
lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang sesuai, aplikasi teknik silvikultur yang
benar dan penggunaan pupuk biologis.
Menurut Setiadi (2006) revegetasi mencakup re-establishment komunitas
tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan,
perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar,
biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air. Ada beberapa model revegetasi lahan yang terdegradasi diantaranya adalah restorasi (memiliki aksentuasi pada
fungsi proteksi dan konservasi serta bertujuan untuk kembali ke kondisi awal),
reforestasi dan agroforestri (Setiadi 2006). Aktivitas dalam kegiatan revegetasi
meliputi beberapa hal yaitu (i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii)
produksi bibit, (iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen tanah, (v) teknik
penanaman, (vi) pemeliharaan, dan (vii) program monitoring.
Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adaptif,
tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim dan kegiatan pasca penambangan.
Adapun vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu adalah vegetasi yang termasuk
mengendalikan erosi tanah. Famili Leguminoceae termasuk salah satu contoh
vegetasi lahan pacsa tambang yang mampu bersimbiosis dengan mikroorganisme
tanah dan memfiksasi nitrogen (Vogel 1987).
Pada lahan bekas tambang, revegetasi merupakan sebuah usaha yang
kompleks yang meliputi banyak aspek, tetapi juga memiliki banyak keuntungan.
Beberapa keuntungan yang didapat dari revegetasi antara lain, menjaga lahan
terkena erosi dan aliran permukaan yang deras, membangun habitat bagi
satwaliar, membangun keanekaragaman jenis-jenis lokal, memperbaiki
produktivitas dan kestabilan tanah, memperbaiki kondisi lingkungan secara
biologis dan estetika serta menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis lokal
dan plasma nutfah (Setiadi 2006).
2.2. Reklamasi dan Revegetasi Area Tambang PT. Newmont Nusa Tenggara
PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) atau yang dikenal juga dengan
nama Tambang Batu Hijau merupakan salah satu perusahaan tambang terbesar
yang berada di Nusa Tenggara Barat tepatnya di sebelah barat daya pulau
Sumbawa kecamatan Jereweh dan Sekongkang, kabupaten Sumbawa. PT NNT
mulai beroperasi penuh pada bulan Maret 2000 dengan melakukan penambangan
terbuka (open pit mine) yaitu bukaan yang dibuat di permukaan tanah, bertujuan
untuk mengambil bijih dan akan dibiarkan tetap terbuka (tidak ditimbun kembali)
selama pengambilan bijih yang mengandung tembaga-emas. PT NNT
menggunakan teknologi flotasi untuk menghasilkan konsentrat yang akan
dikapalkan ke pabrik peleburan untuk memperoleh kandungan logamnya. Sejak
tambang ini mulai beroperasi, telah melakukan reklamasi permanen secara
kumulatif sejak awal operasi tambang Batu Hijau hingga akhir tahun 2009 adalah
sebesar 689,43 hektar.
Reklamasi yang dilakukan PT NNT bertujuan untuk mengubah
penggunaan lahan terganggu kepenggunaan yang produktif, sesuai
peruntukannya. Menstabilkan secepatnya permukaan tanah lahan terganggu akibat
konstruksi, penambangan, atau penimbunan batuan. Meminimalkan erosi dan
sedimentasi dari lahan tereklamasi ke aliran air permukaan. Menumbuhkan
sebelum penambangan. Jika memungkinkan, membantu kembalinya spesies
tanaman langka, berharga, atau memiliki arti penting bagi restorasi habitat satwa
liar. Dampak positif potensial yang diharapkan adalah kembalinya hutan dan
restorasi habitat satwa liar.
Revegetasi dengan operasional persemaian di PT NNT dilakukan dengan
cara perbanyakan pohon asli Batu Hijau di persemaian. Semai diperoleh melalui
cara generatif yaitu dengan perkecambahan biji dan secara vegetatif melalui
pengumpulan semai dengan cabutan dan puteran serta dari produksi stek pucuk.
Kegiatan persemaian meliputi pemindahan semai dari nursery shade ke hardening bed, pemupukan dan penyiraman. Sedangkan penanaman dilakukan dengan jarak tanam 2 x 3 meter. Semai yang di tanam terdiri dari 7 jenis pohon lokal klimaks
dan lokal cepat tumbuh. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan membersihkan
sekitar tanaman dari gulma untuk mengurangi persaingan antara tanaman pokok
dengan tanaman penutup. Pemeliharaan tanaman dengan pemupukan bertujuan
untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Kriteria kesuksesan revegetasi adalah penutupan vegetasi > 65%
penutupan efektip basal (basal effective cover) species tahunan dan > 85% penutupan vegetasi tajuk (aerial vegetative cover) species tahunan. Kerapatan dan keragaman species jenis pohon (1000 pohon / sampling per hektar dan > 10
species keragaman tanaman lokal (native species) per hektar dengan minimal 2 species A-stratum per hektar). Kegiatan pemantauan di daerah reklamasi meliputi
perhitungan persentase tutupan efektif „basal‟ dan tutupan vegetasi „aerial‟,
potensi permudaan, tiang pancang dan pohon serta jumlah dan keragaman spesies.
Pemantauan reklamasi selama periode pelaporan terdiri dari inspeksi dan
observasi lanjutan terhadap area yang telah di reklamasi, area kumulatif reklamasi
sejak mulainya proyek Batu Hijau, area yang di reklamasi selama triwulan
terakhir, lokasi timbunan tanah pucuk dan subsoil serta area reklamasi yang dianggap telah pulih kembali secara fungsional sesuai dengan tujuan program
reklamasi yaitu untuk mengembalikan area bekas tambang agar mendekati kondisi
semula, sehingga satwa liar setempat dapat kembali ke habitatnya (PT Newmont
2.3. Tinjauan Umum Collembola Tanah
2.3.1. Ciri-ciri Umum Collembola
Berdasarkan ukuran panjang tubuhnya, fauna tanah diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok yaitu mikrofauna, mesofauna dan makrofauna (Brown 1980
dalam Suhardjono 1985). Diantara ketiga kelompok tersebut mesofauna merupakan kelompok yang terpenting dalam lingkungan tanah. Collembola
termasuk kelompok mesofauna yang ukuran panjangnya berkisar 0,25-8,00 mm
dan ukuran terbesar yang hidup di tanah adalah ± 5 mm. Sebagai anggota
Arthropoda, bagian-bagian tubuh Collembola tersusun atas ruas-ruas dan dapat
dibedakan menjadi 3 bagian utama yaitu kepala, toraks dan abdomen. Ciri lainnya
berupa antena beruas 4 dengan panjang bervariasi. Antena jantan kadang
mengalami modifikasi sebagai organ penjepit. Antena mempunyai seta
kemosensorik. Ujung antena bentuknya bervariasi. Toraks dibagi menjadi 3 ruas.
Pada toraks terdapat tiga pasang tungkai. Masing-masing tungkai dibagi menjadi
subkoksa, koksa, trokanter, femur, tibiotarsus dan pretarsus. Abdomen terdiri dari
enam ruas . pada bagian vetral ruas pertama terdapat tabung ventral (kolofor), ruas
ketiga terdapat retinakulum dan ruas keempat terdapat furka. Furka terdiri dari
bagian basal, manubrium, sepasang dens dan mukro berduri atau berlamela. Celah
genital jantan atau betina terdapat pada abdomen kelima, celah anal berada pada
abdomen keenam (Greenslade 1996).
Collembola merupakan Hexapoda yang tubuhnya dilengkapi seta tetapi
tidak bersayap (Apterigota). Bentuk tubuhnya bervariasi ada yang gilik, oval atau
pipih dorsal-ventral. Warna tubuhnya bervariasi, putih, kuning, jingga, merah
merona, hitam, abu-abu, dan bahkan ada yang berwarna polos, banyak pula yang
berbentik atau bernoda, bergaris-garis warna tertentu pada bagian tubuh tertentu
(Suhardjono 1992).
Menurut Greenslade (1991), Suhardjono (1992) dan Hopkin (1997)
Collembola telah dikelompokkan ke dalam klas yang berbeda dengan insekta.
Klas Collembola memiliki 3 ordo yaitu Arthropleona, Symphypleona dan
Neelipleona. Ordo Arthropleona terdiri dari sub ordo Produromorpha dan
Entomobryomorpha, sedangkan klasifikasi dua ordo yang lain tidak terdapat sub
Collembola dikenal juga dengan istilah Springtail (Ekor pegas) karena sifat dari ekor Collembola yang seperti pegas. Ekor pegas Collembola mempunyai
struktur bercabang (furka) pada bagian ventral ruas abdomen keempat. Saat
istirahat furka terlipat ke dapan dan dijepit oleh gigi retinakulum. Retinakulum
atau tenakulum merupakan embelan berbentuk capit yang terdapat pada bagian
ventral abdomen ke tiga. Ketika otot berkontraksi, furka kembali ke posisi tidak
lentur kemudian akan memukul substrat sehingga mendorong Collembola tanah
ke udara (Greenslade 1996).
Collembola tidak mengalami metamorphosis sempurna, tetapi hanya
terjadi pergantian kulit sebanyak 5-6 kali. Bentuk pradewasa dan dewasa mirip
satu dengan yang lainnya. Kedua bentuk stadia tersebut dibedakan oleh ukuran,
jumlah seta dan tidak adanya organ genitalia atau bidang genitalia pada stadia
pradewasa. Persamaan penampilan ini mempermudah pengenalan sampai taraf
takson tertentu. Pergantian kulit tetap berlangsung meskipun telah mencapai
kematangan alat reproduksi, Biasanya dapat berlangsung 3-12 kali. Kenyataan ini
sering menimbulkan permasalahan dalam taksonomi, karena pergantian kulit
tersebut Collembola mengalami perubahan nisbah ukuran organ-organ tertentu.
Periode perkembangan pertumbuhan Collembola beravariasi bergantung pada
jenisnya, berkisar dari beberapa hari sampai beberapa bulan (Suhardjono 1992).
Kebanyakan Collembola hidup di dalam tanah dan serasah (Suhardjono
1992). Collembola dapat juga hidup di tempat yang tersembunyi seperti pada
jamur, reruntuhan pohon, di bawah kulit kayu, kayu-kayu yang membusuk,
vegetasi tanaman, kanopi, gua guano kelelawar, laut, pesisir pantai dan air tawar
(Greenslade et al. 2000; Rahmadi et al. 2004; Triplehorn dan Jhonson 2005).
2.3.2. Lingkungan Abiotik dan Biotik Collembola Tanah
Keberadaan Collembola tanah dipengaruhi faktor lingkungan abiotik dan
lingkungan biotik. Faktor lingkungan abiotik dapat berupa faktor sifat fisik tanah
dan sifat kimia tanah serta iklim. Sedangkan faktor lingkungan biotik berupa
komposisi vegetasi, ketebalan serasah dan predator.
Faktor sifat fisik tanah diantaranya adalah suhu tanah, kelembaban tanah,
mempengaruhi komunitas Collembola tanah. Setiap kenaikan suhu lebih dari 4 oC di hutan pinus Latvia utara kekayaan spesies Collembola tanah mengalami
penurunan (Jucevica & Meleis 2005). Menurut Christiansen (1964) dalam
Suhardjono (1992) pertumbuhan Collembola dipengaruhi oleh faktor luar yaitu
suhu.
Kelembaban tanah memainkan peranan penting dalam penyebaran
Collembola tanah. Menurut Holt (1985) kelembaban merupakan penyebab utama
rendahnya tingkat populasi Collembola pada bulan-bulan kering. Beberapa
spesies Collembola peka terhadap kelembaban tanah sehingga variasi komposisi
spesies dan populasi berbeda (Imler 2004). Isotomurus palustris Muller dan
Tomocerus minor Lubbock banyak terdapat dalam keadan kelembaban tinggi (basah), sedangkan Hypogastrura armata Nicolet dan Folsomia quadrioculata
Tullberg lebih menyukai keadaan kering (Widyawati 2008). Dalam hubungannya
dengan kelembaban Collembola tanah dimungkinkan untuk menjadi indikator
keadaan air tanah. Kandungan air tanah akan mempengaruhi komposisi jenis
tertentu dari komunitas Collembola dalam tanah (Ananthakrisna 1978 dalam
Suhardjono 1992). Menurut Takeda (1981) jika terjadi kekeringan atau
kebanjiran, beberapa jenis Collembola melakukan migrasi ke lapisan tanah yang
lebih dalam.
Tekstur merupakan sifat fisik tanah yang turut mempengaruhi kelimpahan
Collembola tanah. Tekstur tanah berhubungan dengan persentase pasir, debu dan
liat. Tektur tanah berpengaruh pada jumlah ruang pori di dalam tanah termasuk
kadar air tanah. Kadar air di dalam tanah berpengaruh pada aktivitas dan distribusi
fauna tanah (Brown 1980). Pertumbuhan Collembola tanah juga meningkat
sejalan dengan naiknya proporsi tanah dan pasir di hutan, hal ini dapat dilihat dari
jumlah N biomassa, total C dan total N, respirasi tanah dan bahan C organik
(Kaneda dan Kaneko2004).
Faktor sifat kimia tanah seperti pH tanah, bahan organik, nitrat dan
kandungan bahan kimia mempengaruhi keberadaan Collembola. Menurut Hazra
& Choudhuri (1983) konsentrasi nitrat dan bahan organik tanah mempunyai
korelasi positif terhadap sebaran populasi Collembola. Penurunan populasi dan
banyaknya Collembola yang mati pada tanah yang masam dikarenakan teracuni
oleh kation-kation yang larut dalam air tanah (Van Gestel & Mol 2003).
Penelitian Huston (1978) dalam Agus (2007) bahwa pH 5,3 menghasilkan fekuiditas terbaik dan lama hidup individu dewasa Collembola terpanjang.
Menurut Loranger et al. (2001) Collembola yang hidup di dataran tinggi umumnya toleran terhadap pH yang rendah. Suhardjono et al. (2000) menyatakan bahwa saluran pencernaan Collembola (2/3 bagian depan ususnya) mempunyai
pH 5,4 – 6,9 yang memungkinkan Collembola dapat mengakumulasi logam berat
dalam tubuhnya. Geissen et al. (1997) mengungkapkan bahwa meningkatnya pH tanah yang diakibatkan oleh pemupukan dan pengapuran berdampak menurunkan
keanekaragaman Collembola. Penggunaan pestisida dilaporkan oleh Framton
(1997) berdampak negatif terhadap kelimpahan Collembola.
Lingkungan biotik seperti komposisi vegetasi berpengaruh secara tidak
langsung terhadap Collembola. Menurut Rahmadi et al. (2004) keanekaragaman vegetasi secara tidak langsung berpengaruh pada keanekaragaman Collembola
karena semakin tinggi keanekaragaman vegetasi akan semakin bervariasi pakan
yang tersedia. Semakin tinggi variasi pakan semakin beragam organisme yang
mengkonsumsi. Menurut Materna (2004) keanekaragaman dan kerapatan vegetasi
penutup tanah yang tinggi berpengaruh meningkatkan jumlah pori makro tanah
yang dapat dimanfaatkan oleh Collembola untuk tempat bersembunyi dari
pemangsa. Disamping itu, keanekaragaman vegetasi penutup permukaan tanah
dan kerapatannya dapat mengurangi terjadinya fluktuasi suhu dan kelembaban
tanah yang ekstrim, sehingga merupakan relung yang disukai oleh Collembola
(Hartzberg et al. 1994). Hagvar (1982) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara keanekaragaman vegetasi dan Collembola yang hidup di bawahnya.
Ketebalan serasah merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi keberadaan Collembola tanah. Serasah merupakan sumber
makanan dan tempat hidup bagi Collembola. Menurut (Wallwork 1970 dalam
Widyawati 2008) akumulasi serasah di permukaan tanah merupakan sumber
makanan untuk berbagai organisme terutama organisme yang berperan dalam
menyediakan mikro habitat yang sesuai bagi Collembola tanah (Rahmadi et al. 2004).
Adanya predator turut mempengaruhi kelimpahan Collembola. Acarina
atau Tungau merupakan kelompok predator penting yang menentukan ukuran
populasi Collembola. Dilaporkan bahwa Acarina mampu memakan Collembola
paling banyak 14 ekor/hari, tatapi pada umumnya paling sedikit 2 ekor/hari
(Suhardjono 1992). Kelompok predator kedua adalah Pseudoscorpion,
Staphylinidae, Carabidae dan Centipedes. Kelompok predator ketiga adalah
semut, laba-laba dan hemiptera predator (Hopkin 1997). Populasi Collembola dan
pemangsanya selalu berada dalam keadaan seimbang. Apabila tampak terjadi
perubahan keseimbangan populasi Collembola dan pemangsanya berarti terjadi
perubahan atau gangguan keadaan tanah (Suhardjono 1985).
2.3.3. Distribusi Collembola Tanah
Distribusi Collembola sangat luas karena dapat ditemukan diberbagai
macam habitat seperti di daerah kutub, gurun, sub tropis dan daerah tropis
(Greenslade 1996). Pemencaran Collembola juga bisa dengan bantuan partikel
tanah dan bahan organik, bisa juga dengan bantuan angin atau air (Dunger et al. 2002 dalam Widyawati 2008). Collembola memiliki keanekaragaman pola
sebaran, baik pada taraf suku, marga maupun jenis. Beberapa marga diketahui
mempunyai sebaran terbatas, sedangkan beberapa jenis lainnya kosmopolitan.
Beberapa jenis Collembola yang hidup di darat bersifat endemik. Taraf
endemisme untuk setiap jenis atau kelompok jenis berbeda. Salah satu faktor
terjadinya endemisme yang cukup tinggi adalah adanya seleksi alam yang ketat.
Menurut Suhardjono (1992) endemisme Collembola dapat dimanfaatkan apabila
dikaitkan dengan keadaan tanah atau lingkungan setempat. Adanya endemisme
atau kekhasan pemilihan habitat, tidak tertutup kemungkinan bahwa pada keadaan
tanah tertentu dapat ditemukan jenis Collembola tertentu. Sebaliknya apabila
diketahui komposisi jenis Collembola tertentu dapat diduga keadaan tanahnya.
Namun pendayagunaan adanya endemisme ini harus didasarkan pengetahuan
Collembola teresterial sangat terpengaruh oleh sifat tanah (Chordhuri &
Roy 1972 dalam Suhardjono 1992), sehingga pada keadaan tanah tertentu hanya dapat hidup kelompok Collembola tertentu pula. Cara pemencaran Collembola
tanah terbatas, karena aktifitas perpindahan tempat terbatas dan tidak dapat
mencapai jangkauan yang luas. Collembola tanah hanya dapat tersebar bersama
tanah yang terbawa oleh sesuatu. Sebaliknya, pemencaran Collembola akuatik
lebih mudah karena dapat mengikuti pola garak arus air (Suhardjono 1992).
Collembola tanah mempunyai keanekaragaman sebaran vertikal mengikuti
kedalaman tanah. Lapisan tanah yang mengandung individu Collembola tanah
paling tinggi adalah permukaan tanah (0-2,5 cm) yang mengandung banyak
serasah dan humus. Pada lapisan ini paling banyak ditemukan jamur dan sisa
bahan organik sebagai pakan Collembola tanah. Kedalaman tanah yang berbeda
mempunyai keanekaragaman dan populasi Collembola tanah yang berbeda pula
(Choudhuri & Roy 1972).
Kedalaman tanah juga menentukan ciri morfologi yang berkaitan dengan
pemilihan habitat. Ukuran tubuh menentukan seleksi habitat yang dihuni
Collembola tanah. Berkurangnya ukuran rongga-rongga tanah pada lapisan yang
semakin dalam merupakan faktor pembatas bagi jenis yang berukuran tubuh besar
(>5-6 mm) seperti Tomocerus varius, Homidia Sp, Isotomo sensibilis dan Sinella dubiosa (Takeda 1978 dalam Suhardjono 1992). Keanekaragaman dan ukuran
populasi Collembola tanah pada setiap lapisan tanah masih ditentukan oleh
banyak faktor diantaranya macam dan bentuk komunitas di lapisan atasnya.
2.3.4. Peranan Collembola Tanah
Collembola berperan di dalam siklus makanan sebagai perombak bahan
organik atau detrivor (Brown 1980; Greenslade 1996; Hopkin 1997; Triplehorn &
Jhonson 2005). Di dalam hidupnya Collembola memerlukan bakteri, hifa fungi,
spora fungi, polen, bahan organik yang mati, mineral tanah, alga dan atau jasad
renik lainnya sebagai sumber makanannya (Takeda & Ichimura 1983). Pada
saluran pencernaan Collembola paling banyak mengkonsumsi fungi dan potongan
bagian tumbuhan tinggi. Sehingga dari jenis pakan yang dikonsumsi tersebut,
humus. Fungi yang dimakan Collembola tidak dicerna seluruhnya dan hanya
lewat, dengan demikian, Collembola juga berperan sebagai penyebar fungi tanah
(Poole 1959 dalam Suhardjono 1992).
Collembola di dalam tanah tumbuh pada mikoriza dan sebagai pengontrol
penyakit fungi pada beberapa tanaman. Sebagian besar populasi Collembola
sebagai pemakan mikoriza akar sehingga dapat merangsang pertumbuhan simbion
dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Menurut Hopkin (1997) Collembola
penting dalam merangsang atau menekan simbiosis mikrobial di sekitar akar
tanaman. Collembola dapat meningkatkan sumber makanan secara langsung di
dalam pembusukan akar atau secara tidak langsung di dalam pembentukan hifa
fungi dekomposer (Sinka et al. 2007).
Pada saat mencari makan, Collembola bergerak kemana-mana. Biasanya,
pada tubuhnya menempel jasad-jasad renik. sehingga selama pergerakannya
berpindah tempat, Collembola membantu menyebarkan jasad renik. Penyebaran
jasad renik ini merupakan peran Collembola yang penting. Dengan aktifitasnya
Collembola membantu memperluas dan mempercepat perombakan bahan organik.
Perombakan bahan organik ini akan berlangsung terus-menerus sampai
terbentuknya tanah. Selama masih ada jasad renik Collembola masih aktif
membantu penyebaran.
Collembola dapat dipakai sebagai indikator tingkat kesuburan tanah. Pada
keadaan tanah yang berbeda, akan menunjukan angka populasi Collembola yang
berbeda pula. Sehingga ukuran populasi suatu tempat dapat menunjukan
sifat/keadaan tanah tempat tersebut (Suhardjono 1985). Collembola dapat
digunakan sebagai bioindikator terhadap perlakuan herbisida karena mudah
diidentifikasi dan dapat ditemukan dalam jumlah banyak. Penggunaan herbisida
ternyata dapat menurunkan populasi Collembola. Penurunan populasi Collembola
diikuti oleh penurunan populasi mikroarthropoda tanah lain yang memanfaatkan
Collembola sebagai sumber pakan (Shinder et al. 1985).
Di areal tambang, populasi Collembola tanah berpotensi dipergunakan
sebagai indikator kesuburan revegatasi tailing timah. Menurut Nurtjahya et al.
meningkatnya umur revegetasi, diduga berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman,
ketebalan serasah, peningkatan kesuburan tanah dan perbaikan mikroklimat.
2.4. Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem komputer yang
ditujukan untuk pengumpulan, pemeriksaan, pemaduan dan analisis informasi
yang berkaitan dengan permukaan bumi (Rind 1988). SIG menggabungkan
analisis spasial dengan penjabaran deskriptif sehingga dalam perkembangannya
SIG banyak digunakan sebagai alat ataupun cara pandang dalam menyelesaikan
permasalahan di berbagai bidang. Informasi yang dihasilkan dalam SIG
memberikan gambaran yang komprehensif, menyeluruh, sekaligus memberikan
kemudahan dalam pendekatan terhadap fenomena. SIG menggunakan peta digital
dan data atribut sebagai dasar berbagai analisisnya. Awalin & Sukojo (2003)
menyatakan bahwa pemanfaatan SIG memberikan kemudahan bagi pengguna
maupun pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil,
khususnya kebijakan yang berkaitan dengan aspek spasial.
SIG dapat diaplikasikan untuk keperluan inventori dan monitoring
pengelolalaan hutan. Kendala utama dalam inventori dan monitoring adalah
keterbatasan dalam pengambilan data, karena luasnya area, sulitnya mencapai
area, panjangnya waktu yang diperlukan dan keterbatasan sumber daya manusia.
Melalui pemanfaatan SIG diharapkan dapat menjangkau area yang luas dengan
dukungan frekuensi yang cukup tinggi merupakan sebuah terobosan dalam aspek
inventori dan monitoring. Pemodelan hutan secara spasial menggunakan SIG
sangat membantu dalam perencanaan dan strategi penebangan, serta dalam upaya
untuk merehabilitasi hutan. SIG bisa membantu masalah rehabilitasi hutan dalam
tahap penelitian dan pemetaan lokasi, pemilihan spesies yang cocok, lokasi
pembibitan dan infrastruktur lain dan juga dalam tahap monitoring dan evaluasi
(Puntodewo et al. 2003). SIG juga dapat diaplikasikan untuk memonitoring pergerakan satwa, melihat sebaran serangga, membuat model kesesuaian habitat
flora dan fauna serta untuk memantau keberhasilan revegetasi dan tingkat
kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Muntasib (2002) mengaplikasikan SIG
komponen fisik, biologi dan sosial di Taman Nasional Ujung Kulon. Dewi (2005)
menganalisis tingkat kesesuaian habitat owa jawa (Hylobates moloch) dengan SIG dan Puspaningsih (2011) mengaplikasikan SIG untuk monitoring reforestrasi
kawasan pertambangna Nikel di Surowako Sulawesi Selatan.
Dalam kegiatan pemetaan ada tiga dimensi data yang digunakan, yaitu
spasial, tematik dan temporal, dengan uraian sebagai berikut:
1. Dimensi spasial adalah merupakan data yang diamati dan diidentifikasi
menurut lokasi geografis yang digambarkan dalam satuan entity/keberadaan.
2. Dimensi tematik adalah data atribut sebagai informasi yang terhubung dengan
data spasial. Data tersebut merupakan karakteristik dari suatu entity atau
lokasi sehingga dapat diiterpretasikan sebagai peta yang mempunyai tema
tertentu (peta tematik). Contoh: nama jalan, nama kabupaten, jumlah
populasi, luas serangan, dan jarak.
3. Data temporal merupakan pengukuran entity berdasarkan waktu. Sehingga
memungkinkan dilakukan suatu penilaian mengenai perubahan kejadian.
Pengamatan-pengamatan yang dilakukan secara multitemporal
memungkinkan adanya penilaian perubahan, perkembangan, hubungan
keterkaitan, serta prediksi/peramalan.
Dari ketiga dimensi data di atas secara sederhana dapat dikelompokkan ke dalam
dua jenis data, yaitu data spasial dan non spasial.
1. Data spasial adalah data yang menyangkut ruang atau wilayah yang terukur
dalam bentuk peta luasan/penyebaran. Contoh: peta pewilayahan curah hujan,
peta kontur, dan peta system lahan.
2. Data non-spasial adalah data numerik atau tekstual yang menyertai dan
terhubung dengan lokasi tertentu sebagai atribut. Contoh: data laporan PHP
seperti luas serangan dan populasi OPT, serta data curah hujan sebagai atribut
wilayah pengamatan, namun tidak terukur secara tepat, baik luas, batas
maupun posisi geografisnya.
Data spasial secara sederhana dapat diartikan sebagai data yang memiliki
referensi keruangan (geografi). Setiap bagian dari data tersebut selain memberikan
gambaran tentang suatu fenomena, juga selalu dapat memberikan informasi
(wilayah). Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, maka peta merupakan
bentuk/cara penyajian data spasial yang paling tepat. Penyajian data dalam bentuk
peta pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah kartografis yang
pada intinya menekankan pada kejelasan informasi tanpa mengabaikan unsur
estetika dari peta sebagai sebuah karya seni. Kaidah-kaidah kartografis yang
diperlukan dalam pembuatan suatu peta diaplikasikan dalam proses visualisasi
data spasial dan penyusunan tata letak (layout) suatu peta.
2.4.1. Analisis Spasial
Analisis spasial adalah proses mengekstraksi atau membuat informasi baru
tentang feature geografis (Jaya 2002). Menurut Johnston (1994) analisis spasial merupakan prosedur kuantitatif yang dilakukan pada analisis lokasi. Tujuan utama
analisis spasial adalah menghasilkan informasi-informasi yang dapat dipakai
untuk mendukung pengambilan keputusan (decision making). Analisis spasial berguna untuk melakukan peramalan, pendugaan dan pemecahan masalah
tertentu. Disamping itu, kemudahan akses, manipulasi dan duplikasi data
menyebabkan analisis data spasial menjadi mudah dilakukan (Budianto 2010).
Menurut Jaya (2002) analisis spasial sering juga disebut dengan pemodelan atau
modeling adalah proses pengujian dan interpretasi hasil dari model. Analisis
spasial ini adalah proses mengekstraksi atau membuat informasi baru tentang
feature geografis.
DeMers & Michael (1997) menyebutkan bahwa analisis spasial mengarah
pada banyak macam operasi dan konsep termasuk perhitungan sederhana,
klasifikasi, penataan, tumpang susun geometris, dan pemodelan kartografis.
Sedangkan Metode Analisis Spasial yaitu metoda penelitian yang menjadikan
peta, sebagai model yang merepresentasikan dunia nyata yang diwakilinya,
sebagai suatu media analisis guna mendapatkan hasil-hasil analisis yang memiliki
atribut keruangan. Analisis spasial ini penting untuk mendapatkan gambaran
keterkaitan di dalam permasalahan antar-wilayah dalam wilayah studi.
Data spasial diperlukan pada saat harus mempresentasikan atau
menganalisis berbagai informasi yang berkaitan dengan dunia nyata. Pengambilan
variasi fenomena serta lokasi fenomena tersebut berada. Dunia nyata yang begitu
luas pada kenyataannya tidak mungkin diambil secara utuh menjadi data spasial.
Dengan demikian data spasial adalah sebuah gambaran sederhana dari dunia
nyata. Dalam system informasi geografis, data spasial menggambarkan sebaran
lokasi dan fenomena (Budianto 2010). Digitasi merupakan salah satu cara untuk
memperoleh data spasial. Sedangkan perolehan data spasial lain yang bersifat
pengukuran teresterial sering dilakukan menggunakan theodolith, GPS dan citra
satelit.
Fungsi analisis data spasial terdiri dari seleksi dan manipulasi data spasial.
Fungsi seleksi data spasial meliputi operasi yang diperlukan untuk menentukan
kumpulan variabel bagian lokasi dari database spasial. Kemampuan ini seperti
memperbesar, memperkecil, query dan menampilkan peta. Manipulasi data
spasial merupakan semua fungsi operasi untuk membuat data spasial baru.
Operasi ini dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar yaitu interpolasi,
penggabungan tabel dan overlay. Menurut Prahasta (2005) fungsi analisis spasial
adalah menampilkan data grid ketinggian, menampilkan histogram data grid,
menurunkan peta kemiringan, menurunkan peta garis kontur, menurunkan
hillshade dan aspek, membuat peta jarak, klasifikasi, konversi format raster grid
ke vector, konversi format vector ke raster grid, membuat grid permukaan,
analisis proximity, resume statistic dan histogram raster grid, analisa fungsi densitas, pemilihan unsur-unsur pada raster grid, fungsi dan operator matematika
pada raster grid.
Analisis spasial dilakukan dengan menumpang susunkan (overlay) beberapa data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai
unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data
atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga
analisis tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data
spasialnya untuk menghasilkan data spasial yang diinginkan.
2.4.2. Pemodelan Spasial
Pemodelan dalam SIG diartikan sama dengan analisis. Sebagaimana