• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Sistem Dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendekatan Sistem Dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN SISTEM DALAM

PENDUGAAN NILAI EKONOMI TOTAL

EKOSISTEM HUTAN

:

STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI

BEKAS TEBANGAN

BAHRUNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul “Pendekatan Sistem dalam

Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan” adalah karya saya, dengan

arahan dari komisi pembimbing. Karya ilmiah ini belum pernah diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain. Sumber informasi atau pernyataan

yang dikutip dari karya penulis lain yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir Disertasi.

Bogor, Maret 2008

(3)

ABSTRACT

BAHRUNI. A System Approach to Estimate Total Economic Value of Forest

Ecosystem: Case Study on the Logged of Production Natural Forest.

Supervised by PROF. ENDANG SUHENDANG as chairman of the advisory committee, PROF. DUDUNG DARUSMAN and PROF. HADI S. ALIKODRA as members of the advisory committee.

Sustainable forest management needs the economic and ecological balance. The change of forest management with the strong sustainability paradigm should be supported by moral awareness which is predominated from the beginning by anthropocentric ethics and then shift to biocentric and ecocentric.

Total economic value (TEV) of forest ecosystem comes from various forest products such as timber, non timber forest products, and ecological function. TEV is based upon human preference and there are use value, option value and existence value. This research has following objectives : (1) to answer the question on how to measure the dynamics of total economic value of forest ecosystem, and (2) how to harmonize various values of stakeholders in forest management. The forest ecosystem values could be estimated using a system approach which is based on ecological and economic linkages. This system concerns on dependency nature of forest products and differences of stakeholders interest. System is constructed to evaluate impact of cutting intensity to TEV dynamics, which is consist of subsystem of forest stand, timber and non timber forest products, ecological function, TEV and it’s distribution among stakeholders.

Simulation result of harvesting intensity by 0%, 50%, 76% and 100% show that the relationship between use value of timber product and other values (use value of non timber forest products, erosion control and water regulatory functions, option and existence values of biodiversity) is trade off and non linier. Each component of TEV is influenced by forest stand condition, as the result of harvesting intensity. A harmonize stakeholders’ interest is measured by total economic value distribution and sustainability of forest resources. Result of simulation shows the harmonize will be achieved at 50% until 76% of harvesting intensity. To allow implementation of multiple use management, forest policy change is needed such as institutional setting, forestry planning system and facilitating of NTFP market.

(4)

RINGKASAN

BAHRUNI. Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total

Ekosistem Hutan: Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan.

Dibimbing oleh PROF. ENDANG SUHENDANG sebagai ketua komisi pembimbing, PROF. DUDUNG DARUSMAN dan PROF. HADI S. ALIKODRA masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing.

Anomali pengelolaan hutan saat ini antara lain eksternalitas negatif berupa penurunan fungsi ekologis dan kerusakan habitat yang mengancam kelestarian ekosistem hutan tersebut. Oleh karena itu perlu perubahan pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian kuat. Perubahan ini memerlukan kesadaran moral yang semula didominasi oleh etika antroposentrisme harus bergeser kepada biosentrisme dan ekosentrisme (kesadaran ekologisme) dan pengembangan pengetahuan ekologis dan ekonomi ekosistem hutan. Salah satu informasi penting yang diperlukan dalam pengelolaan hutan adalah pengetahuan “Nilai Ekonomi Total” (NET) sebagai sarana pengambilan keputusan pengelolaan. Namun demikian saat ini ada gap informasi mengenai bagaimana pola hubungan antara kondisi ekosistem dengan NET. Oleh karena itu diperlukan pendugaan NET yang didasarkan atas dinamika ekosistem hutan melalui pendekatan sistem.

Tujuan umum penelitian adalah mendapatkan model pendugaan NET ekosistem hutan alam dengan pendekatan sistem, yang menjadi media proses pembelajaran terhadap berbagai bentuk interaksi diantara komponen-komponen yang diteliti. Tujuan khusus adalah 1) Mendapatkan pengetahuan dinamika NET pada berbagai intensitas penebangan tegakan; 2) Mendapatkan pengetahuan

bagaimana harmonisasi kepentingan stakeholders di dalam pengelolaan hutan

berdasarkan konsep NET. Manfaat penelitian 1) Pada aspek ilmu pengetahuan akan berkontribusi pada pengembangan metodologi penilaian ekosistem hutan; 2) Pada aspek pengelolaan hutan akan berkontribusi pada penguatan sistem pengelolaan ekosistem hutan berbasis ekosistem dengan dukungan kesadaran etika biosentrisme dan ekosentrisme. Hipotesis penelitian adalah (a) pendugaan NET dengan pendekatan sistem mampu menggambarkan interaksi berbagai hasil hutan yang saling meniadakan dan dinamikanya menurut jangka waktu setelah penebangan, (b) pendugaan NET dengan pendekatan sistem dapat mengarahkan keputusan tujuan pengelolaan hutan alam dengan harmonisasi kepentingan

(5)

Penelitian dilakukan di hutan alam produksi areal PT SBK Kalimantan Tengah. Unit penilaian adalah kesatuan ekosistem hutan alam tipe hutan hujan tropis dataran rendah dan bukit berupa asosiasi yang didominasi oleh famili dipterocarpaceae dengan komponen vegetasi, satwaliar, fungsi hidrologis dan masyarakat. Penelitian dilakukan dengan model ekologis dan ekonomi, untuk mengetahui pengaruh intensitas penebangan terhadap perkembangan komponen

ekosistem, NET dan dampaknya terhadap kepentingan stakeholders. Variabel

pada model ekologis meliputi variabel-variabel pertumbuhan tegakan dan keanekaragaman jenis tegakan dan satwaliar, populasi satwaliar, tata air dan erosi, sedangkan pada model ekonomi meliputi pemanfataan hasil hutan, kesediaan membayar (harga), biaya, serta suku bunga. Konstruksi model menggunakan bantuan Program Stella-8, meliputi subsistem tegakan, subsistem tumbuhan dan satwaliar, subsistem hasil kayu dan non kayu, subsistem fungsi tata air dan pengendalian erosi, subsistem NET ekosistem hutan dan distribusinya pada

stakeholders.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perkembangan tegakan setelah penebangan terhadap dinamika potensi hasil hutan non kayu dari tumbuhan dan satwaliar, fungsi hidrologis (pengendalian erosi dan hasil air) dan keanekaragaman hayati, dapat dijelaskan secara baik oleh variabel jangka waktu setelah penebangan. Model dinamika tumbuhan penghasil kayu dan non kayu adalah linier, model dinamika satwaliar spesifik untuk setiap jenis yaitu rusa, kancil dan babi bentuk kuadratik, kijang bentuk polinomial dan aneka burung dengan bentuk sigmoid. Model perkembangan erosi dan kualitas air dengan bentuk eksponensial negatif, sedangkan dinamika keanekaragaman hayati berbentuk polinomial. Hasil simulasi dengan intensitas penebangan 0%, 50%,

76% dan 100% menunjukkan NET1 (nilai guna kayu dan non kayu) maksimum

dicapai pada intensitas penebangan 100% dengan nilai kiwari selama siklus 35 tahun sebesar Rp 3.619.000/ha. Hal sebaliknya terjadi pada NET3 (nilai kayu, non

kayu, fungsi hidrologis, pilihan dan keberadaan keanekaragaman hayati) maksimum pada kondisi tanpa penebangan, dengan nilai kiwari Rp 3.860.000/ha.

Hasil analisis distribusi NET bagi stakeholders menunjukkan adanya

konvergensi manfaat yang diperoleh stakeholders (pemerintah, pengelola dan

masyarakat lokal) pada intensitas penebangan sedang (intensitas penebangan antara 50% dan 76%). Jika alternatif keputusan bergerak dari tanpa penebangan menuju penebangan dengan intensitas yang semakin tinggi, maka hasil analisis

distribusi NET1 menunjukkan masyarakat lokal yang berisiko tinggi mengalami

(6)

pemerintah dan pengelola hutan cenderung semakin naik kesejahteraannya (better

off), pemerintah bergerak dari 10% menjadi 33% dan pengelola dari 0% menjadi

56%. Pada analisis distribusi NET3 yang mengandung komponen-komponen

NET yang lebih lengkap, menunjukkan fenomena yang berbeda, kebalikan dari distribusi NET1. Pemerintah beresiko mengalami worse off yang sangat tinggi

(dari 19% menjadi -7%), masyarakat lokal juga cenderung turun tetapi tidak sebesar pemerintah (dari 81% menjadi 30%). Sedangkan, pengelola hutan selalu akan lebih baik, dari pilihan tanpa penebangan menjadi dengan penebangan, yaitu memperoleh nilai manfaat kayu dari 0% menjadi 77% NET3.

Penelitian ini membuktikan bahwa: 1) Sifat hubungan antara nilai guna

hasil hutan kayu dengan komponen-komponen NET lainnya bersifat trade off,

sedangkan sifat hubungan di antara komponen NET selain nilai guna kayu tersebut saling sinergis; dan besar nilai setiap komponen NET dipengaruhi oleh intensitas penebangan tegakan. Pada alternatif tanpa penebangan menuju alternatif intensitas penebangan yang semakin tinggi, maka nilai guna kayu bergerak kearah positif (semakin besar), sedangkan nilai guna non kayu, nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan keanekaragaman hayati ke arah negatif (semakin kecil). Pola perubahan nilai setiap komponen NET dengan arah pergerakannya menurut intensitas penebangan tidak linier. 2) NET3 (nilai kayu,

non kayu, fungsi hidrologis, keanekaragaman hayati) maksimum pada alternatif tanpa penebangan (intensitas 0%) dan sekaligus memenuhi kriteria kelestarian. 3) Keputusan tujuan pengelolaan hutan alam produksi harus memperhatikan perspektif stakeholders. Berbagai pilihan pengelolaan yang mewakili kepentingan stakeholders dapat diharmoniskan melalui dialog stakeholders, dengan pengaturan tingkat pemanfaatan setiap jenis hasil hutan, yang didukung dengan pemenuhan kriteria kelestarian sumberdaya dan hasil hutan. Hasil simulasi pada penelitian ini menunjukkan intensitas penebangan sedang dengan kisaran antara 50-76% memberikan indikasi konvergensi manfaat ekosistem hutan diantara stakeholders.

Implikasi kebijakan dari hasil penelitian adalah perubahan sistem pengelolaan hutan alam dengan tujuan yang beragam (multiple-use), kelembagaan pengelolaan kearah manajemen kolaboratif (adaptif).

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(8)

PENDEKATAN SISTEM DALAM

PENDUGAAN NILAI EKONOMI TOTAL

EKOSISTEM HUTAN :

STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI

BEKAS TEBANGAN

BAHRUNI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Departemen Manajemen Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc.

(10)

Judul Disertasi : Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan : Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan

Nama : Bahruni

NIM : 995174

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS. Ketua

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman,MA. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra,MS.

Anggota Anggota

Disetujui

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi,M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kehadhirat Allah SWT atas segala

karunia-NYA, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian adalah Penilaian Ekosistem Hutan, dengan judul : Pendekatan Sistem

dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan.

Gagasan penelitian ini berawal dari perkuliahan ”Penilaian Sumberdaya

Hutan dan Lingkungan” tahun 1999 pada program studi magister sain Program

Studi IPK Pascasarjana IPB (dosen Prof Dudung Darusman dan Penulis). Di

dalam perkuliahan ini sangat dirasakan perlunya pengetahuan hubungan kegiatan

pengelolaan ataupun gangguan hutan terhadap kondisi ekologis dan ekonomis

ekosistem hutan. Penelitian semula direncanakan menggunakan data sekunder dan

mencakup banyak komponen ekosistem dan hasil hutan. Tetapi, berbagai data

skripsi mahasiswa yang diarahkan melalui bimbingan sejak 1993 tentang

penilaian hutan tidak banyak membantu, karena studi penilaian itu belum

terstruktur atau parsial. Hal yang sama juga ditemui pada berbagai dokumen

penelitian ilmiah tentang dinamika tegakan, satwaliar, hidrologis dan NET. Oleh

karena berbagai kendala itu penelitian ini dibangun dengan data primer dan

sebagian data sekunder yang relevan, sebagaimana telah dituliskan dalam metode

penelitian dan daftar pustaka; dan hanya mencakup komponen hasil hutan kayu,

non kayu dari tumbuhan dan satwaliar, fungsi hidrologis dan perlindungan

keanekaragaman hayati.

Pada tahun 2002 topik penelitian ini didiskusikan dengan Bapak Prof. Dr.

Ir. Endang Suhendang, MS; dan pada kesempatan itu beliau bersedia sebagai

Pembimbing; dalam komisi pembimbing sebagai Ketua Komisi. Dengan

pertimbangan kepentingan arahan aspek teori penilaian dan ekonomi, Bapak Prof.

Dr. Ir. Dudung Darusman, MA; bersama dengan Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra,

MS untuk arahkan aspek konservasi sumberdaya hutan, masing-masing sebagai

anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr.

Ir. Endang Suhendang, MS yang banyak memberikan arahan dalam pemodelan,

falsafah ilmu dan semangat untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan. Terima

kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA atas diskusi menarik tentang

(12)

dalam kebijakan pengelolaan hutan. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Ir Hadi S.

Alikodra, MS atas masukan tentang deep ecology dan ekologi satwaliar, yang

penting dalam bahasan penelitian ini. Sesungguhnya kepada beliau bertiga

ucapan terima kasih saya bukan hanya hal spesifik tersebut di atas, tetapi yang

lebih penting adalah dukungan semangat, kesabaran dalam proses penyelesaian

studi, serta membangun tata nilai dan perilaku dalam kehidupan akademik

maupun aspek kehidupan yang lebih luas.

Terima kasih kepada berbagai pihak untuk dukungan selama studi,

khususnya beasiswa BPPS dari Dikti; izin dan dukungan dana serta teknis

operasional selama pengumpulan data di lapangan dari bapak Ir. Nana Suparna

selaku Direktur PT SBK, dan Ir. Fathrah D. Kusumah, Ir. Yudhi Hendro, Ir.

Djoko Sambodo, serta Ir. Suprianto. Juga terima kasih kepada sdri Dini

Rahmanita, SHut dan sdr Donal Ade Putra, SHut yang telah membantu

pelaksanaan survei di lapangan. Kepada rekan-rekan di Bagian Kebijakan

Kehutanan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan terima kasih atas

dukungan semangat dan keringanan tugas perkuliahan dan pembimbingan

mahasiswa, agar saya dapat penyelesaian studi ini.

Kepada ibunda tercinta saya sampaikan terima kasih atas doa yang selalu

dipanjatkan untuk keberhasilan anak-anaknya, juga kepada isteri dan anak-anak

tercinta yang telah memberi dorongan semangat untuk keberhasilan studi program

doktor ini. Kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu

disini, saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya.

Ayat qauniyah sangatlah luas untuk digali, tentunya karya ilmiah ini

hanyalah sebagian kecil saja dari pengetahuan itu, masih banyak kekurangannya.

Semoga informasi pada karya ilmiah ini dapat memberi sumbangan bagi

kemajuan ilmu pengetahuan kehutanan dan bermanfaat di dalam perumusan

kebijakan maupun praktik pengelolaan hutan alam Indonesia secara lestari.

Bogor, Maret 2008

Penulis,

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Birayang, kota kecamatan yang ada di Kabupaten

Hulu Sungai Tengah dengan ibu kota Barabai di wilayah Provinsi Kalimantan

Selatan pada tanggal 1 Mei 1961 oleh ibu Hajjah Airmas dan bapak Haji

Muhammad Said (alm).

Penulis menikah pada 31 Desember 1987 dengan Drh. Sutiastuti

Wahyuwardani, MSi; dia bekerja di Balai Veteriner Badanlitbang Deptan. Kami

telah dikarunia Allah SWT dua orang anak, pertama seorang putri bernama

Fitrahani Puspita Dewi yang lahir 8 Agustus 1990, dan Insya Allah tahun ini

memasuki perguruan tinggi. Yang kedua seorang putra bernama Arya Yudha

Rakhman lahir 2 Februari 1993, yang juga akan memasuki SMA di pertengahan

tahun 2008 ini.

Pada 17 Maret 1986, penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor di Bogor. Mulai September

1989-1993 mengikuti pendidikan program magister sain pada Program Studi

Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Fakultas Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor di Bogor. Penulis pada September 1999 mulai mengikuti kuliah

program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sejak 1 Maret 1988 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen di

Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan (sejak 2006/2007 berubah

menjadi Bagian Kebijakan Kehutanan), Departemen Manajemen Hutan, Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bidang keahlian adalah manajemen dan

ekonomi sumberdaya hutan dengan pendalaman pada penilaian ekosistem hutan

dan lingkungan. Sejak 1993 mulai melakukan studi penilaian hutan berupa tesis

”Penilaian Manfaat Wisata Alam Kawasan konservasi dan Peranannya terhadap

Pembangunan Wilayah”, membimbing skripsi mahasiswa Fakultas Kehutanan

tentang penilaian hutan seperti wisata alam hasil hutan non kayu, dan

perdagangan karbon, kelayakan finansial ekonomi pengelolaan hutan serta

industri pengolahan hasil hutan kayu dan non kayu skala kecil menengah.

Disamping pelaksanaan tugas pendidikan di fakultas, juga berpartisipasi

(14)

kebakaran lahan dan hutan, manajemen keuangan usaha kehutanan skala kecil dan

menengah, pelatihan tenaga asesor sertifikasi pengelolaan hutan produksi; serta

selaku auditor atau panel pakar bidang produksi dalam sertifikasi pengelolaan

hutan produksi lestari. Melakukan kerjasama penelitian dengan Departemen

Kehutanan, Bappenas, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, beberapa LSM,

antara lain studi sistem nilai hutan produksi, kajian kebijakan ekonomi

kehutanan, neraca sumberdaya hutan dan perencanaan restorasi ekosistem hutan

produksi.

Beberapa karya ilmiah atau paper yang dipublikasi maupun tidak, antara

lain : Permintaan dan Nilai Wisata Alam Kawasan Konservasi (1994); Dampak

Krisis Ekonomi dan Moneter terhadap Usaha Kehutanan Masyarakat : Usaha Rotan

di Samba Katung, Kecamatan Tumbang Samba, Kotawaringin Timur, Provinsi

Kalimantan Tengah (2001); Mewujudkan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Melalui

Rente Ekonomi dan Distribusinya yang Berkeadilan (2002); Nilai Ekonomi Jasa

Lingkungan dan Kontribusinya terhadap Pemda dan Masyarakat Lokal (2002);

Economic Analysis of Sustainable Forest Management at Unit Management Level in

Indonesia (2004); Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total

Ekosistem Hutan : Nilai Guna Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu (2007).

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian .………... 4

Hipotesis Penelitian ………... 5

Ruang Lingkup Penelitian ……….…... 5

TINJAUAN PUSTAKA ………...………... 7

Paradigma Kelestarian ………..………... 7

Konsep Pengelolaan Hutan ... 9

Konsep Nilai dan Penilaian Ekosisten Hutan ... 13

Nilai Guna Langsung Ekosistem Hutan ... 16

Nilai Guna Tidak Langsung Ekosistem Hutan ... 19

Nilai Pilihan dan Keberadaan Ekosistem Hutan ... 21

METODE PENELITIAN ………... 23

Kerangka Pikir Penelitian ... 23

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

Metode Pengumpulan Data ... 30

Metode Analisis Data ... 33

PENDEKATAN SISTEM PENDUGAAN NILAI HASIL HUTAN KAYU DAN NON KAYU ... 37

Model Dinamika Tegakan dan Hasil Hutan ... 37

Dinamika Tegakan Hutan ... 37

Dinamika Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu ... 41

Model Pendugaan Nilai Guna Kayu dan Non Kayu Hutan Alam... 52

PENDEKATAAN SISTEM PENDUGAAN NILAI FUNGSI HIDRO- LOGIS ... 60

Model Pengendalian Erosi dan Hasil Air Hutan Alam Produksi ... 60

(16)

PENDEKATAN SISTEM PENDUGAAN NILAI KEANEKARAGAM-

AN HAYATI ... 81

Model Keanekaragaman Hayati Ekosistem Hutan Alam Produksi ... 81

Model Pendugaan Nilai Ekonomi Keanekaragaman Hayati ... 88

ANALISIS NILAI EKONOMI TOTAL DAN KEBIJAKAN PENGELO- LAAN HUTAN ALAM ... 93

Analisis Nilai Ekonomi Total Hutan Alam Produksi ... 93

Implikasi pada Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam ... 102

KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

Kesimpulan ... 109

Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi metode penilaian ekonomi ekosistem hutan... 15 2 Hubungan penutupan lahan dan erosi ... 20 3 Pengelompokkan variabel pada pendugaan NET ekosistem hutan alam

produksi ... 28

4 Model penduga potensi sumber hasil hutan non kayu hutan alam

pro-duksi di lokasi penelitian ... 44

5 Perbandingan kepadatan populasi satwaliar di lokasi penelitian dengan lokasi lain ... 50

6 Hasil hutan kayu dan non kayu per hektar selama 35 tahun pada ber-

bagai simulasi intensitas penebangan ... 51

7 Harga dan nilai potensial stok hasil hutan non kayu di lokasi penelitian. 54 8 Perubahan nilai kiwari hasil hutan kayu dan non kayu pada simulasi

berbagai intensitas penebangan tegakan hutan alam produksi ………… 56

9 Rasio nilai kayu dan non kayu pada basis intensitas penebangan 100% . 58

10 Model penduga erosi di hutan alam produksi lokasi penelitian ... 61 11 Hasil simulasi intensitas penebangan terhadap debit ... 67 12 Pendugaan erosi, kehilangan unsur hara dan kebutuhan pupuk untuk

substitusi hara selama siklus tebang ... 73

13 Nilai kiwari erosi akibat perubahan intensitas penebangan tegakan hu-

tan alam produksi ... 75

14 Perubahan nilai kiwari hasil air pada simulasi berbagai intensitas

pene-bangan tegakan hutan alam produksi ... 77

15 Nilai kiwari pengendalian erosi dan hasil air pada berbagai simulasi in-tensitas pene-bangan hutan alam produksi ... 79

16 Keanekaragaman jenis dan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan dan hutan primer di lokasi penelitian ... 82

17 Perkembangan kehati tegakan dan satwaliar di hutan alam produksi

menurut simulasi intensitas penebangan ... 87

18 Model penduga WtP nilai pilihan dan keberadaan ekosistem alam ... 88 19 Perubahan nilai pilihan dan keberadaan kehati pada berbagai intensitas

penebangan tegakan hutan alam di lokasi penelitian ... 90

(18)

20 Perbedaan metode pendugaan NET ekosistem hutan dengan pendekatan sistem dan metode yang umum dipraktikkan saat ini ... 97

21 Perbandingan komponen-komponen NET untuk setiap alternatif

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir model pendugaan NET ekosistem hutan alam ... 26

2 Hubungan NET dan keputusan pengelolaan ekosistem hutan ... 29

3 Lokasi penelitian hutan alam produksi PT SBK Unit Seruyan Kalteng .. 30

4 Kurva pertumbuhan tegakan komersial dan non komersial diameter >

20 cm tanpa penebangan ... 39

5 Perbandingan kerapatan tegakan seluruh jenis diameter > 20 cm hasil pendugaan oleh model dan aktual di areal hutan alam PT SBK Unit

Seruyan ... 40

6 Struktur tegakan hutan di areal penelitian (a) hutan alam primer (b)

hutan alam setelah penebangan ... 41

7 Pola hubungan populasi satwaliar dan jangka waktu setelah pene-bangan (a) populasi rusa (b) populasi kancil, (c) populasi kijang, (d)

populasi babi, (e) populasi aneka burung ... 48 8 Komposisi nilai guna kayu dan non kayu menurut intensitas

pene-bangan hutan alam produksi ... 57 9 Perbandingan erosi oleh model dan data di lokasi penelitian ... 62

10 Perkembangan erosi menurut waktu setelah penebangan selama siklus

tebang ... 63 11 Proses siklus hidrologis yang mempengaruhi hasil air dari hutan ... 65

12 Perkembangan kualitas air pada berbagai intensitas penebangan

tegak-an selama siklus tebtegak-ang ... 69 13 Hubungan kesediaan membayar rata-rata dan kualitas air rata-rata

aki-bat penebangan hutan alam produksi ... 76

14 Nilai nominal fungsi pengendalian erosi dan hasil air menurut

intensi-tas penebangan selama siklus tebang ... 78

15 Respon nilai ekonomi hasil hutan kayu dan fungsi hidrologis terhadap

intensitas penebangan hutan alam produksi ... 80 16 Model dinamika keanekaragaman hayati tegakan setelah penebangan

hutan di lokasi penelitian ... 83 17 Model dinamika keanekaragaman hayati satwaliar setelah penebangan

hutan di lokasi penelitian ... 85 18 Perbandingan kehati aktual dan model: (a) dan (b) kehati tegakan pada

intensitas penebangan 76% dan 100%; (c) dan (d) kehati satwaliar pada intensitas penebangan 76% dan 100%... 86 19 Komposisi nilai guna kayu, pilihan dan keberadaan kehati menurut

(20)

20 NET ekosistem hutan alam produksi pada berbagai intensitas pene-bangan : (a) NET1 yang terdiri dari nilai guna kayu dan non kayu, (b)

NET3 yang terdiri dari nilai guna kayu dan non kayu, nilai guna tidak

langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan kehati ... 100 21 Distribusi NET untuk stakeholders menurut intensitas penebangan : (a)

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Model subsistem tegakan ekosistem hutan alam produksi ... 119

2 Data kerapatan tegakan: (2a) hutan alam primer dan (2b) hutan alam

bekas tebangan di lokasi penelitian ... 120 3 Model subsistem dinamika hasil hutan kayu non kayu ekosistem hutan

alam produksi ... 121 4 Subsistem nilai guna hasil hutan kayu dan non kayu dari tumbuhan &

satwaliar ekosistem hutan alam produksi ... 122 5 Nilai kiwari dari nilai guna kayu dan non kayu hutan alam produksi

pa-da berbagai intensitas penebangan tegakan ... 123 6 Model subsistem fungsi hidrologis hutan alam produksi ... 124

7 Subsistem nilai ekonomi fungsi hidrologis hutan alam produksi ... 125

8 Nilai fungsi hidrologis hutan alam produksi (a) nilai erosi akibat pene- bangan (b) hasil air, dan nilai air... 126 9 Model subsistem nilai pilihan dan keberadaan keanekaragaman hayati

ekosistem hutan alam produksi ... 127 10 Dua puluh dua jenis yang memiliki indeks nilai penting tertinggi dan

indeks dominansi serta indeks keanekaragaman jenis hutan primer ... 128 11 Kehati satwaliar oleh model dan aktual hutan SBK dan hutan KTR

Kalimantan Tengah ... 129 12 WtP, nilai pilihan dan keberadaan kehati hutan alam produksi ... 129

13 Manfaat neto pengelolaan hutan produksi dan pengolahan kayu di Pro-vinsi Riau (Rp 1.000) ... 130

14 Model subsistem pendugaan nilai ekonomi total ekosistem hutan alam produksi dan distribusinya pada stakeholders ... 130

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi

di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995)

selama periode 1950-1980 terjadi deforestasi karena tekanan kegiatan manusia di

Afrika 20%, Asia Tenggara 43%, dan Amerika Utara 19%. Di Indonesia berbagai

kebijakan yang mendasari kegiatan pemanenan kayu, pertukaran kawasan hutan,

pengembangan hutan tanaman industri, perubahan penggunaan kawasan hutan

untuk pembangunan pertanian, perkebunan, transmigrasi dan lain-lain, maupun

berbagai kejadian kebakaran hutan, illegal logging, perladangan, dilihat dari

neraca sumberdaya hutan menunjukkan adanya penurunan luas kawasan hutan

maupun luas tutupan hutan. Berdasarkan data Neraca Sumberdaya Hutan Nasional

selama kurun 1998-2002 telah terjadi kerusakan hutan pada seluruh kawasan

hutan tetap 2,4 juta ha/thn, khusus pada kawasan hutan produksi sebesar 2,2 juta

ha/thn. Hal ini mengindikasikan praktek pengelolaan hutan secara umum belum

mencapai prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, sehingga dapat mengancam

kelangsungan manfaat ekonomi dan lingkungan.

Pengelolaan hutan secara umum potensial menimbulkan beberapa

persoalan yaitu :

1) Eksternalitas negatif pada lingkungan hidup berupa penurunan atau hilangnya

fungsi ekologis hutan dan kerusakan habitat menimbulkan biaya yang

ditanggung oleh masyarakat lokal maupun nasional.

2) Kerusakan hutan menimbulkan risiko dan ketidakpastian pulihnya kondisi

ekosistem hutan tersebut, karena peningkatan kerentanan ekosistem (resiliensi

dan stabilitas rendah) maupun biaya pemulihan yang sangat tinggi. Hal ini

berimplikasi pada dua hal a) kehilangan nilai guna hasil hutan kayu dan non

kayu dimasa akan datang, akibat pemanfaatan yang tidak lestari saat kini (user

cost), b) kehilangan nilai guna harapan dimasa akan datang dari

keanekaragaman hayati yang saat kini belum dimanfaatkan (option values).

Potensi berbagai hasil hutan berupa kayu, non kayu dan jasa ekologis tidak

(23)

stakeholders terhadap sumberdaya hutan. Oleh karena itu, diperlukan suatu

perubahan di dalam sistem pengelolaan hutan, dengan menggunakan paradigma

kelestarian kuat (strong sustainability paradigm) yang didukung dengan

implimentasi paradigma pengelolaan berbasis ekosistem guna mencapai

kelestarian ekosistem tersebut. Pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian

kuat menetapkan adanya stok konstan dari waktu ke waktu, dengan menggunakan

prinsip pencegahan (precautionary principle) penurunan sumberdaya hutan dan

kualitas lingkungan, untuk mencapai kondisi yang diinginkan dengan penekanan

kesehatan ekosistem (kelestarian ekologis, keanekaragaman, dan produktivitas)

yang mampu menyediakan beragam manfaat dan pilihan (option) bagi

masyarakat.

Analisis ekonomi konvensional tidak lagi memadai untuk pengambilan

keputusan di dalam pengelolaan ekosistem hutan, karena ketidak mampuan

ekonomi konvensional menjelaskan nilai fungsi ekologis dan jasa lingkungan.

Oleh karena itu perlu perluasan berupa pengintegrasian kondisi ekosistem dan

kualitas lingkungan, melalui pendekatan ekonomi ekologi. Salah satu informasi

penting yang diperlukan adalah pengetahuan hubungan kondisi atau mekanisme

ekosistem dengan “Nilai Ekonomi Total” (NET) yang diperlukan sebagai sarana

pengambilan keputusan di dalam pengelolaan ekosistem hutan.

Perumusan Masalah

Pengelolaan hutan lestari memerlukan keseimbangan ekologis dan

ekonomis bagi kebutuhan generasi sekarang, dan melakukan perlindungan

terhadap ekosistem agar terpelihara kemampuannya bagi generasi akan datang

untuk memenuhi kebutuhannya. Implimentasi pengelolaan hutan saat ini masih

memiliki berbagai kelemahan untuk mencapai pengelolaan hutan lestari, antara

lain karena belum lengkapnya informasi dampak nilai ekonomis dan ekologis dari

perubahan komponen ekosistem hutan bagi stakeholders (pengelola hutan,

pemerintah dan masyarakat lokal) di dalam pengelolaan hutan.

Perubahan pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian kuat

memerlukan kesadaran moral yang semula didominasi oleh etika

(24)

ekologisme) dan pengembangan pengetahuan ekologis dan ekonomi ekosistem

hutan. Etika sebagai sumber teori nilai tentang baik dan tidak baik, benar dan

salah, boleh dan tidak boleh dilakukan, tentunya sangat berperan di dalam

membentuk sikap dan tindakan manusia terhadap ekosistem hutan. Paham

antroposentrisme hanya mementingkan kepentingan manusia dan komponen

ekosistem lainnya (bukan manusia) hanya sebagai instrumen bagi kesejahteraan

manusia. Fakta berupa kerusakan ekosistem mengakibatkan kelestarian tidak

terjamin, sehingga memerlukan pergeseran paradigma pengelolaan ekosistem

hutan. Ekosentrisme menganut perluasan acuan moral, yang menjadikan

komponen bukan manusia juga sebagai subjek moral, sehingga menuntut

pengakuan terhadap hak keberadaan, kehidupan dan kebebasan komponen bukan

manusia tersebut.

Manusia sebagai pelaku moral sekaligus sebagai khalifah di muka bumi

mempunyai tanggungjawab bukan saja terhadap keberadaan dan kehidupan

manusia tetapi juga terhadap komponen ekosistem bukan manusia tersebut.

Di-dalam menjalankan tanggungjawabnya diperlukan dukungan ilmu pengetahuan

agar dapat memahami perubahan yang mungkin timbul dari setiap tindakan

pengelolaan terhadap kondisi ekosistem termasuk manusia. Oleh karena itu setiap

tindakan harus dipertimbangkan tidak menimbulkan ancaman, kerusakan,

kepunahan komponen-komponen ekosistem. Pemanfaatan masih dapat dilakukan

dengan memperhatikan integritas, kestabilan dan keindahan ekosistem (Leopold,

1966 dalam Brian, 1995).

Perkembangan pengetahuan tentang hubungan NET dengan perubahan

kondisi ekosistem sampai saat kini masih belum lengkap. Hal ini karena kajian

tentang kondisi ekosistem dan kajian NET masih parsial dan informasinya

terbatas. Hasil penelitian dinamika tegakan, satwaliar, fungsi ekologis dilakukan

terpisah belum dikaitkan satu dengan lainnya, atau dilakukan pada tipe hutan yang

berbeda. Hasil penelitian NET hutan yang telah dilakukan hanya menggambarkan

NET pada kondisi hutan tertentu, dan informasi mengenai kondisi hutan yang

dinilai sangat kurang. Oleh karena itu hasil-hasil penelitian NET hutan ini tidak

dapat diperbandingkan antara yang satu dengan dengan yang lain, dan belum

(25)

Ada gap informasi mengenai pola hubungan NET dengan kondisi ekosistem dan

sosial ekonomi masyarakat. Sehingga diperlukan pendugaan NET yang mampu

menggambarkan perubahan kondisi ekosistem hutan. Pendugaan NET ini dapat

dilakukan dengan Pendekatan Sistem.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan penelitian dari

aspek teoritis adalah “Bagaimanakah perubahan NET jika kondisi ekosistem

hutan berubah”, yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut :

1) Bagaimanakah respon output (barang dan fungsi ekologis) ekosistem hutan

alam apabila kondisi tegakan berubah akibat tindakan penebangan ?

2) Apakah perubahan setiap komponen nilai pada NET searah atau saling

berlawanan ?

Adapun permasalahan penelitian dari aspek praktis dalam pengelolaan ekosistem

hutan adalah :

1) Apakah konsep NET dapat digunakan sebagai alat evaluasi pengelolaan hutan

alam dari aspek manfaat dan biaya bagi stakeholders ?

2) Apakah pendekatan sistem dalam pendugaan NET ekosistem hutan ini dapat

digunakan dalam penetapan keputusan tujuan pengelolaan hutan alam ?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum adalah mendapatkan model penilaian ekosistem hutan alam

dengan pendekatan sistem terhadap komponen ekosistem hutan dan komponen

nilai ekonomi total (NET), yang menjadi media proses pembelajaran terhadap

berbagai bentuk interaksi diantara komponen-komponen yang diteliti.

Tujuan khusus penelitian adalah :

1) Mendapatkan pengetahuan sifat atau dinamika NET pada berbagai intensitas

penebangan tegakan melalui model dinamika tegakan, potensi hasil dan nilai

ekosistem hutan berupa hasil hutan kayu, non kayu (dari tumbuhan dan

satwaliar) dan jasa fungsi ekologis berupa pengendalian erosi dan hasil air

untuk konsumsi masyarakat sekitar hutan, serta keanekaragaman hayati yang

menjadi suatu model pendugaan NET ekosistem hutan alam.

2) Mendapatkan pengetahuan bagaimana harmonisasi kepentingan stakeholders

(26)

Manfaat penelitian adalah :

1) Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berkontribusi pada pengembangan

metodologi penilaian ekosistem hutan.

2) Pada aspek pengelolaan hutan, akan berkontribusi pada penguatan sistem

pengelolaan ekosisten hutan dengan dukungan kesadaran etika ekosentrisme.

Hipotesis Penelitian

Penilaian ekonomis dan ekologis ekosistem hutan dengan pendekatan

sistem ini mencoba mengintegrasikan komponen ekosistem dan komponen NET

dalam model pendugaan NET untuk memperoleh informasi NET yang relevan

dengan perkembangan kondisi ekosistem hutan. Hipotesis dalam penelitian

adalah :

1) Interaksi diantara hasil kayu, non kayu dan jasa fungsi ekologis bersifat

negatif atau saling meniadakan, yang besarnya dipengaruhi oleh tindakan

pengelolaan hutan berupa intensitas penebangan tegakan. Model pendugaan

NET ekosistem hutan yang mengintegrasikan berbagai interaksi komponen

ekosistem ini memikili kemampuan menggambarkan perubahan komponen

NET sesuai dengan perubahan komponen ekosistem hutan khususnya tegakan

satwaliar dan fungsi hidrologis tersebut secara dinamis.

2) Hasil pendugaan NET ekosistem hutan dengan pendekatan sistem ini dapat

mengarahkan keputusan tujuan pengelolaan ekosistem hutan alam dengan

manfaat ekonomis dan ekologis secara harmonis bagi stakeholders, di setiap

unit pengelolaan ekosistem hutan alam, melalui penentuan intensitas dan

bentuk pengelolaannya.

Ruang Lingkup Penelitian

Kompleksitas ekosistem hutan sangat tinggi, ketersediaan informasi masih

terbatas, dan diperlukan pendekatan multidisiplin, sehingga dalam penelitian ini

perlu batasan sistem. Batasan sistem pada penelitian adalah kesatuan ekosistem

hutan alam pada tipe hutan hujan tropis dataran rendah (0-500 m dpl) dan bukit

(500-1.000 m dpl) dengan komponen tegakan, satwaliar, fungsi hidrologis dan

(27)

komponen utama ekosistem hutan, satwaliar sebagai satwa yang mempunyai nilai

ekonomis potensial bagi masyarakat sekitar hutan, tanah dan curah hujan sebagai

faktor terkait langsung dengan masalah erosi dan kualitas air yang terjadi dalam

kegiatan pengelolaan hutan. Secara rinci batasan ini adalah :

1) Komponen ekosistem hutan: meliputi tegakan, satwaliar, iklim (intensitas

curah hujan) tanah, dan masyarakat di sekitar hutan yang memiliki interaksi

dengan hutan.

2) Komponen hasil hutan: meliputi hasil hutan kayu, non kayu meliputi resin

atau getah, buah, rotan dan bambu, satwaliar, fungsi ekologis berupa

pengendalian erosi, kuantitas dan kualitas hasil air untuk konsumsi rumah

tangga masyarakat sekitar hutan.

3) Komponen NET: meliputi a) nilai guna langsung (direct use values) yang

mencakup kayu, non kayu termasuk satwaliar, b) nilai guna tidak langsung

(indirect use values) berupa nilai fungsi pengendalian erosi dan kualitas air, c)

nilai pilihan (option values) dan nilai keberadaan (existence value)

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Paradigma Pengelolaan Hutan Lestari

Paradigma pengelolaan hutan lestari dapat dikelompokkan atas empat,

sebagai adopsi paradigma pembangunan berkelanjutan yang diungkapkan Turner

(1993), yaitu 1) kelestarian sangat lemah, 2) kelestarian lemah, 3) kelestarian kuat

4) kelestarian sangat kuat. Dari perspektif kelestarian diperlukan pergeseran

paradigma menuju paradigma kelestarian kuat dan sangat kuat (ecocentric),

karena paradigma kelestarian sangat lemah dan lemah (technocentric) kurang

memperhatikan kapasitas daya asimilatif lingkungan, faktor kritis sumberdaya

alam berupa spesies dan proses-proses dasar ekologis yang tidak dapat digantikan

oleh sumberdaya buatan, serta komponen alam itu bersifat komplementer didalam

struktur sistem dan keragaman berperan penting terhadap resiliensi sistem. Teori

atau konsep yang masuk dalam paradigma kuat dan sangat kuat ini antara lain a)

ecological economic, b) steady state economic, dan c) deep ecology.

Paradigma kelestarian kuat dengan teori-teori yang mendukungnya ini

dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam didasarkan pada etika

moral bahwa komponen manusia dan bukan manusia merupakan subjek moral,

sehingga pemanfaatan dengan hormat dan bertanggungjawab atas hak komunitas

biotis selain manusia, maupun abiotis agar tetap eksis dan berkembang alamiah,

sehingga pemanfaatan tidak mengorbankan “the integrity, stability and beauty

ekosistem. Pertumbuhan dapat terus berlanjut dalam hal kualitas tidak dalam arti

kuantitas yang melampaui kapasitas ekosistem sumberdaya alam. Peningkatan

kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dengan meningkatkan efisiensi ekonomi

ekologi (eco-efficiency), bukan meningkatkan pengambilan sumberdaya alam,

yang menimbulkan biaya sumberdaya alam dan lingkungan.

Berdasarkan ragam hasil hutan yang secara potensial dapat dihasilkan oleh

hutan, kemudian berkembang pengintegrasian berbagai hasil hutan itu di dalam

konsep pengelolaan hutan multiguna, yang kemudian pada akhir-akhir ini

dimunculkan konsep pengelolaan ekosistem, selanjutnya dapat diadopsi sebagai

(29)

Pengelolaan multiguna (multi-use management) didasari oleh potensi

keragaman output hutan, yang melahirkan premis bahwa pengelolaan dengan

beragam output merupakan kunci pencapaian kelayakan ekonomi, sosial dan

ekologis (economic profitability, social acceptability, ecological sustainability).

Pengelolaan multiguna ini hanya berlandaskan output, sedangkan pengelolaan

ekosistem memperhatikan ekosistem secara keseluruhan. Czech (1995)

menguraikan berbagai definisi pengelolaan ekosistem, yang dapat disarikan

sebagai “penggunaan konsep sistem dengan pendekatan ekologis di dalam

memadukan kebutuhan masyarakat, melalui kegiatan melindungi (to protect),

memulihkan (to restore), mempertahankan (to sustain) keutuhan ekosistem,

proses proses ekologis, produktif dan sehat.

Prinsip dasar pengelolaan ekosistem hutan adalah penggunaan ilmu

pengetahuan terpadu, komprehensif dan terbaru (Cortner et al.,1990 dalam Czech

,1995). Gordon (1994) mengemukakan lima konsep di dalam implementasi

pengelolaan yaitu 1) kelola sesuai kondisi setempat, 2) kelola dengan perhatian

terhadap kepentingan masyarakat luas, 3) kelola pada kesatuan ruang atau

landscape yang utuh, 4) kelola berdasarkan pengetahuan atas mekanisme ekologis

bukan aturan sederhana secara garis besar, 5)kelola tanpa eksternalitas negatif.

Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh (dinamis),

dimana masyarakat hutan terbentuk melalui proses secara berangsur-angsur

melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan

penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi (keseimbangan

dinamis dengan lingkungannya), proses ini disebut suksesi. Setiap ada perubahan

akan ada mekanisme atau proses yang mengarahkan kembali kepada kondisi

keseimbangan. Ada dua macam suksesi yaitu 1) suksesi primer dimulai dari

perkembangan vegetasi dari habitat yang tidak bervegetasi hingga mencapai

masyarakat hutan yang stabil (klimaks) dan 2) suksesi sekunder terjadi pada

kondisi klimaks atau suksesi normal kemudian mengalami gangguan, oleh

berbagai sebab seperti pemanenan, kebakaran, perladangan dan lain-lain

(Soerianegara dan Indrawan, 1983).

Adapun pengaturan lahan (ruang) dapat dilakukan secara terpisah untuk

(30)

produk (Osmaston 1968). Suhendang (2004) bahwa dalam pengelolaan hutan

diperlukan pemahaman keberadaan dan peran komponen-komponen ekosistem

hutan, dengan pendekatan yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan.

Ada tiga mazhab pemikiran pengelolaan hutan ini yaitu:

1) Pola penyebaran fungsi menurut ruang, dengan alokasi hutan berdasarkan

karakteristik biofisik ke dalam berbagai macam fungsi penggunaannya dan

setiap macam fungsi dikelola dengan satu macam tujuan utama.

2) Pola penggunaan ruang secara terintegrasi dan intensif, bahwa setiap lahan

hutan ditujukan untuk memberikan keseluruhan fungsi-fungsi hutan sebagai

ekosistem. Pola ini secara teoritis ideal dan cocok dengan karakterisitk hutan

alam, untuk luas kawasan yang semakin terbatas, tetapi implementasinya sulit,

karena konsep dan teknologinya masih sangat terbatas.

3) Pola perpaduan antara penyebaran ruang dengan integratif dan intensif, yaitu

kawasan hutan dialokasikan penggunaannya berdasarkan karakteristik

biofisik, kemudian pengelolaan pada setiap fungsi hutan itu diarahkan untuk

memperoleh beberapa fungsi atau manfaat yang mampu diberikannya melalui

proses optimalisasi fungsi-fungsi. Mazhab ketiga ini lebih ideal dari yang

pertama dan lebih realistik dalam operasionalisasi di lapangan pada saat kini

dibanding yang kedua.

Konsep Pengelolaan Hutan

Tujuan fundamental dari pengelolaan hutan adalah diperolehnya nilai

manfaat terbesar untuk sebesar-besarnya jumlah masyarakat yang memperolehnya

(Brasnett, 1953 dalam Osmaston, 1968). Perkembangan teori atau konsep

pengelolaan hutan berawal dari kebutuhan pengelolaan untuk produksi hasil hutan

berupa barang khususnya kayu, kemudian disusul oleh perkembangan hasil hutan

non kayu seperti konsep pengelolaan untuk hidro-orologis, pengelolaan satwaliar

maupun non kayu lainnya. Secara klasik pengelolaan hutan untuk produksi kayu,

dan yang sedang berkembang adalah pengelolaan hutan berbasis ekosistem, akan

menghasilkan berbagai macam produk barang kayu, non kayu dan jasa ekologis.

Tujuan pengelolaan produksi kayu dari wujud fisik adalah “hutan normal”,

(31)

c) riap normal (Leuschner, 1990). Ukuran kenormalan pada hutan tidak seumur

adalah a) sebaran jumlah pohon menurut diameter merupakan sebaran

eksponensial negatif (berbentuk huruf J terbalik), yang oleh Suhendang (1999)

perlu ditambahkan kriteria b) keaslian jenis pohon c) komposisi jenis pohon dan

proporsi ideal setiap jenis pohon dinamakan Hutan Normal Tidak Seumur.

Pengaturan hasil tegakan (kayu) dilakukan untuk memperoleh kelestarian

hasil, dengan prinsip keseimbangan antara riap bersih F(Xt) dengan panen Yt.

Apabila prinsip ini terpenuhi, stok persediaan X dari waktu ke waktu konstan,

secara matematis Xt+1 - Xt = F(Xt) - Yt , jika F(Xt) = Yt, maka Xt+1 = Xt.

Keterangan :

Xt+1 = stok tegakan pada tahun t+1 atau periode berikutnya

Xt = stok tegakan pada tahun t atau periode semula

F(Xt) = fungsi pertumbuhan bersih

Yt = hasil panen pada tahun t

Ditinjau dari segi proses suksesi hutan alam primer mencerminkan kondisi

keseimbangan dinamis terbentuk dari interaksi berbagai unsur ekosistem sehingga

Indrawan (2000) menjadikan hutan alam primer sebagai acuan kondisi ideal.

Oleh karena itu kenormalan hutan alam dicirikan kedekatan hutan bekas tebangan

terhadap hutan alam setiap fase pertumbuhan pada a) indeks keanekaragaman

jenis, b) indeks kesamaan komunitas, c) indeks nilai penting.

Informasi dinamika tegakan berupa pertumbuhan diperlukan untuk

proyeksi hasil tegakan. Ada beberapa model pertumbuhan tegakan hutan yang

termasuk dalam pendekatan empiris, yaitu model tegakan keseluruhan, model

individu pohon dan model kelas diameter (Davis & Johnson 1987; Vanclay 1994).

Model pertumbuhan antara lain model kelas diameter akan memberikan informasi

struktur tegakan yang digunakan pada pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tidak

seumur (hutan alam). Faktor yang mempengaruhi adalah ingrowth (Ik), outgrowth (Ok), mortality (Mk), dan harvest (Hk), jika jumlah pohon pada kelas diameter k

pada periode t adalah Nk,t, jumlah pohon pada kelas diameter k pada periode t+1

adalah Nk,t+1, maka secara matematis Nk,t+1 = Nk,t +Ik - Ok - Mk - Hk.

Pengaturan hasil kayu (tegakan) dilakukan untuk memperoleh kelestarian

hasil (sustained yield) yang didefinisikan sebagai hasil kayu yang dapat

(32)

dengan keseimbangan antara riap bersih dan panen (Leuschner 1990; Suhendang

2004). Suhendang (1993,1999) mengembangkan metode pengaturan hasil yang

disebut “Metode Pengaturan Hasil Berdasarkan Intensitas Penebangan

Berimbang”, yang diusulkan untuk diterapkan di hutan alam.

Konsep hutan normal secara operasional banyak dibahas pada pengelolaan

kayu, tetapi pengertian hutan normal itu mencakup pemahaman kondisi ideal yang

memuaskan sesuai dengan tujuan pengelolaan, sehingga dapat memberi hasil atau

manfaat sesuai yang diharapkan termasuk pula manfaat intangible (Osmaston,

1968). Namun demikian, konsep pengelolaan selain kayu berkembang sendiri

secara paralel dengan perkembangan pengelolaan kayu itu sendiri, belum menjadi

kesatuan teori pengelolaan terpadu. Berikut ini diuraikan konsep tata air (siklus

air) dan proses erosi yang penting dalam pengelolaan untuk tujuan tata air dan

pengendalian erosi.

Pengelolaan fungsi hidrologis disini ditujukan untuk pengendalian tata air

agar persediaan air dan aliran air bagi berbagai kepentingan dapat dipenuhi secara

baik secara kontinyu, serta pengendalian erosi agar relatif kecil dampak

penurunan kualitas air dan sedimentasi di daerah hilir. Pengaruh hutan terhadap

tata air dapat dijelaskan dari proses siklus air dan dapat diukur dari neraca air

yaitu Pg = (Ic + If + Es+w + T) + Q + ∆S + L + U, jika dianggap tidak ada

kebocoran dan under flow, persamaan menjadi Pg = Et + Q + ∆S.

Keterangan :

Pg = gross presipitasi

Ic + If = intersepsi tajuk dan lantai hutan

Es+w = evaporasi dari tanah dan air

T = transpirasi

Et = evapotranspirasi

Q = aliran sungai

∆S = perubahan stok air tanah

L = kebocoran (keluar atau ke dalam) DAS

U = aliran tidak lewat sungai (under flow)

Erosi tanah secara sederhana ditentukan oleh erosivitas dan erodibilitas,

dimana erosivitas dipengaruhi faktor iklim (besar, lama dan intensitas curah

hujan), sedangkan erodibilitas oleh tanah a) sifat-sifat yang mempengaruhi laju

(33)

mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh

hujan dan aliran permukaan (Arsyad, 1983). Faktor yang terkait dengan

erodibilitas adalah topografi (panjang dan kemiringan lereng), vegetasi dan

tindakan koservasi tanah. Perkiraan besarnya jumlah tanah yang hilang dapat

dihitung dari faktor erosivitas dan erodibilitas dengan memasukan karakteristik

fisik tanah dan tindakan pengelolaan vegetasi dan tanah, yang dikembangkan oleh

Smith dan Wischmeier dikenal sebagai Universal Soil Loss Equestion (USLE)

yaitu :

A = R x K x LS x C x P

Keterangan :

A = erosi atau jumlah tanah hilang maksimum (ton/ha/thn)

R = faktor erosivitas hujan

K = faktor erodibilitas tanah

LS = indeks panjang dan kemiringan lereng

C = indeks faktor pengelolaan vegetasi

P = indeks faktor konservasi tanah

Jika menggunakan istilah “pengaturan hasil” dalam pengelolaan hutan

untuk fungsi hidrologis ini, maka tindakan yang dilakukan merupakan

pengendalian pengaruh energi kinetik air, evapotranspirasi, infiltrasi,besar dan

kecepatan aliran permukaan. Hasil yang diharapkan a) hasil air sepanjang waktu

dengan fluktuasi rendah, b) kualitas air yang layak sesuai penggunaan, c) besar

erosi berada pada TBE rendah.

Pengelolaan satwaliar pada hutan produksi bisa dengan konsep

penggunaan ganda (multi use-management) mengombinasikan berbagai

pengelolaan yang secara ekologis memberikan manfaat yang besar bagi

keseimbangan lingkungan. Ada dua pendekatan di dalam pengelolaan satwaliar

yaitu (Alikodra, 2002) :

1) Pengelolaan pengembangan jenis-jenis indikator kunci disebut juga jenis

tunggal.

2) Pengelolaan pengembangan kekayaan jenis.

Pendekatan jenis indikator kunci mengembangkan jenis-jenis pilihan yang

meliputi jenis satwa langka, dalam bahaya, khas, asli, nilai estetika tinggi, buruan,

(34)

pendekatan kekayaan jenis (keanekaragaman jenis) dapat dilakukan dengan

penyediaan dan pelestarian beragam habitat untuk mendukung sebanyak mungkin

jenis satwaliar.

Pengelolaan satwaliar pada dasarnya pengelolaan ekosistem, dengan

prinsip konservasi, dengan aktivitas pengaturan, pengendalian populasi satwa dan

habitat serta interaksi keduanya untuk mencapai kondisi sesuai dengan tujuan

berupa kelestarian satwaliar dengan kualitas habitatnya (Alikodra, 2002). Faktor

utama dalam pengelolaan satwaliar adalah populasi dan habitat, di habitat yang

menjadi home range dan teritori satwaliar terdapat makanan dan interaksi antara

lain berupa persaingan dan pemangsaan.

Pengelolaan didasarkan atas dinamika populasi satwaliar yang dipengaruhi

oleh faktor kelahiran, kematian termasuk karena perburuan atau panen, komposisi

umur dan jenis kelamin serta interaksinya dengan habitatnya. Prinsip pemanfaatan

adalah hasil sama dengan riap, dengan pengelolaan habitat yang menunjang

kelangsungan hidup satwa.

Konsep Nilai dan Penilaian Ekosistem Hutan

Penilaian ekosistem hutan tergantung pada pengertian nilai ekosistem itu

sendiri, yang akan menentukan indikator-indikator yang digunakan untuk

menyatakan nilai ekosistem hutan. Dari berbagai ilmu pengetahuan tentang

ekosistem hutan, pemahaman penilaian ekosistem hutan dapat digolongkan atas 1)

pendekatan ekologi dan manajemen sumberdaya hutan, 2) pendekatan sosial

ekonomi dan budaya, 3) pendekatan ekonomi ekologi. Pendekatan ekologi dan

manajemen sumberdaya hutan didasarkan atas kondisi biofisik (dinamika

ekosistem) seperti dinamika tegakan, dinamika satwaliar, keanekaragaman jenis,

index nilai penting, siklus hara, siklus air dan lain-lain (Osmaston, 1968;

Kershaw, 1973; Mueller dan Ellenberg, 1974; Manan, 1976; Soerianegara dan

Indrawan, 1983; Davis dan Johnson 1987; Leuschner,1990; Costanza,1991;

Suhendang, 1999; Alikodra,2002). Pendekatan sosial ekonomi budaya didasarkan

atas interaksi antara masyarakat di sekitar hutan dengan hutan dalam pola

kehidupan komunitas tersebut, mencakup aspek sosial, ekonomi maupun budaya,

(35)

dalam pemanfaatan sumberdaya alam, solidaritas sosial, integrasi sosial,

pengembangan seni budaya, aturan adat dan lain-lain (Sardjono dan Samsoedin,

2001; Parker dan Burtch, 1992; LEI, 2000). Pendekatan ekonomi ekologi

didasarkan atas perluasan referensi moral (etika) bahwa bukan hanya manusia

yang memiliki kedudukan moral, dengan pengakuan hak komunitas biotik

ataupun ekosistem, dan dinilai berdasarkan preferensi manusia menjadi nilai

ekonomi total (Pearce dan Turner,1990; Page, 1991; Costanza,1991; Turner,1993;

Turner, Pearce dan Bateman, 1994; Keraf, 2002).

Berbagai indikator nilai ekosistem hutan dari pendekatan ekologi dan

manajemen hutan sudah diuraikan pada konsep pengelolaan hutan di atas, berikut

ini uraian penilaian pendekatan ekonomi ekologi. Nilai yang didasarkan atas

selera (taste) dan preferensi individu merupakan teori nilai di dalam ilmu ekonomi

konvensional, yang dapat diekspresikan secara jelas jika berada pada mekanisme

pasar, sehingga menjadikan nilai guna (use value) memiliki harga. Kegagalan

pasar terhadap barang dan jasa lingkungan yang mengancam kelestarian, telah

mendorong pengembangan konsep nilai pendekatan ekonomi ekologi.

Belajar dari konsep biologi bahwa tidak ada batas atau perbedaan antara

manusia dan hewan, maka ada perluasan referensi moral (extention of the moral

reference class), mencakup kepentingan dan hak hewan, tumbuhan, spesies dan

juga ekosistem, sebagai paham bioethic dan ecocentric, seperti dikemukakan

Turner (1993); Turner, Pearce dan Bateman, (1994); Page (1991); Keraf (2002).

Implikasinya adalah adanya tanggung jawab terhadap hak dan kepentingan

generasi akan datang, serta kepentingan atau hak abiotik dan biotik,dimana sifat

dasar yang melekat pada bukan manusia itu bernilai bagi mereka dalam sistem

alam. Berdasarkan preferensi manusia hal ini melahirkan nilai pilihan (option

value) dan nilai dari sifat dasar pada bukan manusia ini sebagai nilai intrinsik

(intrinsic value) ekosistem yang bersifat non use value, dan diekspresikan melalui

preferensi individu sebagai nilai keberadaan (existence value).

Nilai Ekonomi Total (NET) didasarkan atas penilaian preferensi manusia

yang berarti ada modifikasi anthrophocentric value, dengan ada perhatian dan

tanggungjawab terhadap bukan manusia atau alam, sebagai secondary values

(36)

terbagi atas nilai guna dan nilai bukan guna (nilai guna pasif). NET merupakan

penjumlahan (di dalam sistem setiap macam nilai tidak independen) seluruh

macam nilai sebagai berikut (Pearce dan Turner,1990; Turner, Pearce dan

Bateman, 1994).

1) Nilai guna (use value) merupakan nilai dari penggunaan barang dan jasa

ekosistem hutan secara langsung maupun tidak langsung.

2) Nilai pilihan (option value) merupakan nilai guna masa akan datang flora dan

fauna untuk generasi sekarang (intra-generation). Nilai guna masa akan

datang untuk generasi selanjutnya (inter-generation) sebagai nilai warisan,

yang ditinjau dari kepentingan negerasi sekarang dimasukan dalam nilai

bukan guna.

3) Nilai bukan guna (non use value) atau nilai guna pasif mencakup nilai warisan

(bequest value) dan nilai keberadaan yang merupakan nilai intrinsik

ekosistem hutan, tidak terkait dengan hal kepemilikan sumberdaya maupun

penggunaan langsung atau tidak langsung sumberdaya tersebut.

Davis dan Johnson 1987; Pearce dan Turner,1990; James, 1991; Turner,

Pearce dan Bateman, 1994; Klemperer, 1996; Bishop, 1999 menyebutkan

berbagai metode penilaian ekonomi ekosistem hutan, dan dapat diklasifikasikan

berbagai cara, berikut ini dibuat klasifikasi beberapa metode penilaian

berdasarkan pasar dan non pasar (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi metode penilaian ekonomi ekosistem hutan

No Klasifikasi Metode

A Pasar 1. Kurva permintaan dan

penawaran

a. Manfaat sosial bersih

2. Harga pasar/bayangan b. Pendapatan, manfaat

bersih dan nilai tambah

B Bukan pasar

a. Penilaian kontingensi :

(37)

2 Pendekatan bukan kurva permintaan

1. Harga pasar pengganti

(surrogate market

price)

a. Harga substitusi

b. Harga substitusi tidak

langsung

c. Biaya oportunitas tenaga kerja

2. Nilai sisa turunan

(derived residual value, conversion return)

3. Metode fungsi produksi

/ metode respon dosis

a. Kehilangan pendapatan

b. Nilai kehilangan produksi c. Dll

4. Pendekatan biaya a. Biaya penggantian

b. Biaya rehabilitasi c. Biaya restorasi d. Biaya mitigasi

Nilai Guna Langsung Ekosistem Hutan

Penelitian nilai guna hutan telah dilakukan oleh beberapa pihak, yang

pelaksanaannya relatif mudah karena terkait langsung dengan penggunaan hasil

hutan oleh masyarakat secara individu, organisasi atau perusahaan. Hasil hutan

yang dimanfaatkan bukan saja hasil hutan kayu tetapi juga beragam hasil hutan

non kayu. Panayotou & Ashton (1992) membuat klasifikasi hasil hutan non kayu

(HHNK) menjadi dua yaitu non timber product seperti kayu bakar, arang,chip,

pulp, fencing, poles, dan non wood products seperti buah, lateks, biji-bijian, serta

jasa-jasa hutan yang mencakup manfaat lingkungan dan jasa ekologis dalam

rangka pengembangan pengelolaan hutan multi guna.

Penelitian oleh Fakultas Kehutanan IPB dan Dephut (1999) pemanfaatan

hasil hutan kayu di hutan alam produksi di Kalimantan dan Jambi oleh perusahaan

pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan lahan kering berkisar Rp 438.791 –

2.135.139/ha/thn, dan di lahan basah (hutan rawa) berkisar antara Rp 479.383 –

1.134.300/ha/thn. Pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat lokal berupa kayu

sebagai bahan bangunan memiliki nilai rata-rata di hutan lahan kering Rp

19.058/ha/thn, di hutan rawa rata-rata Rp 15.613/ha/thn, adapun nilai guna hasil

hutan non kayu untuk pangan di hutan lahan kering lebih kurang Rp 24.739/ha/thn

di hutan rawa Rp 10.858/ha/thn, non kayu untuk bahan baku industri di hutan

(38)

terlihat bahwa hasil hutan non kayu berperan penting bagi kehidupan masyarakat

lokal, disamping itu potensi sumberdaya di hutan lahan kering tampak lebih besar

dari potensi sumberdaya di hutan rawa, kecuali hasil hutan non kayu untuk bahan

baku industri seperti getah jelutung, pinang, rumput purun dan rotan.

Menurut hasil penelitian Bahruni et al. (2002) diketahui bahwa nilai guna

(use value) flora di Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan Hutan Lindung

Gunung Salak bagi masyarakat lokal adalah sebesar Rp 575.118/tahun/rumah

tangga, dimana sebagian besar disumbang oleh pemanfaatan agathis, puspa,

rasamala, dan bambu sebagai bahan bangunan, sedangkan nilai guna fauna

(satwaliar) oleh masyarakat adalah sebesar Rp 269.806/tahun/rumah tangga,

dimana kontribusi terbesar berasal dari kumbang yang diperdagangkan untuk

ekspor ke Jepang, dan pemanfaatan satwa kancil.

Rofiko (2002) melakukan penelitian pada cakupan wilayah desa yang

lebih luas yaitu sebanyak enam desa, yang terletak di dalam kawasan, di

perbatasan kawasan dan di luar kawasan TNGH yang masih memiliki interaksi

dengan kawasan TNGH. Diperoleh hasil bahwa nilai guna flora di kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat lokal sebesar Rp

23.421.420/tahun/rumah tangga. Nilai ini lebih besar dari penelitian Bahruni et al.

tersebut, yang sangat mungkin dipengaruhi oleh besar wilayah studi, ukuran

contoh (responden) yang mencakup lebih banyak variasi pemanfaatan jenis hasil

hutan di desa-desa sekitar TN Gunung Halimun tersebut.

Penilaian wisata alam banyak dilakukan di kawasan konservasi berupa

taman nasional antara lain Bahruni (1993) menilai wisata alam di TN Gunung

Gede Pangrango Rp 194.626.304/thn, di TN Bromo Tengger Semeru Rp

2.516.910.000/thn. Ibrahim (1992) meneliti nilai ekonomi air dari hutan TN

Gunung Gede Pangrango untuk konsumsi rumah tangga di Sub DAS yang

termasuk di 11 kecamatan dengan jumlah rumah tangga 162.957 sebesar Rp 621

109/thn.

Beberapa penilaian hutan di mancanegara dapat ditunjukkan dengan

mengacu antara lain pada Panayotou & Ashton (1992) bahwa hasil hutan non

kayu yaitu nilai satwaliar di Sarawak sebesar NPV US$8/ha, nilai tumbuhan obat

(39)

masyarakat Malayan, Gumbolimbo (Bursera simaruba) untuk diuretic, China root

(Smilax lanceolata) untuk rematik dan kulit, Cocomecca (Dioscorea) untuk

infeksi kandung kemih dan gangguan ginjal di Balize menghasilkan NPV US$

3,327/ha, pada rotasi 50 tahun, lebih besar 10 kali dari jika dikonversi untuk

pertanian intensif. Di Brazil HHNK dari karet dan biji-bijian memberikan

pendapatan masyarakat US$ 960/keluarga.

Menurut Alikodra (2002), satwaliar mempunyai peranan yang sangat

penting bagi kehidupan manusia baik ditinjau dari segi ekonomi, penelitian,

pendidikan dan kebudayaan, maupun untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata.

Peranan satwaliar dalam kehidupan manusia sangat besar. Manusia

memanfaatkannya dari mulai daging, kulit, minyak, tanduk, tulang, maupun

bulunya. Bahkan sarang burung walet (Collocalia spp.) merupakan komoditi yang

mempunyai nilai ekonomi tinggi. Satwaliar Indonesia mempunyai permintaan

pasar yang cukup kuat, terutama burung dan reptil. Keadaan ini tentunya

mempunyai dampak yang positif bagi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Di

Sarawak Malaysia banyak diburu babi (Sus barbatus), pelanduk (moose

deer,Tragulus sp) kijang (bark deer, Muntiacus muntjak) dan Rusa (sambar deer,

Cervus unicolor) dengan hasil 20,000 metric ton/thn, ekuivalen konsumsi 12

kg/org/thn ekuivalen pendapatan US$ 72/orang/thn (Panayotou & Ashton, 1992).

Bismark (1998) dari berbagai data yang dilaporkan MacKinnon et al

(1990) di Botswana, lebih dari 50 jenis satwaliar dimanfaatkan oleh penduduk

untuk konsumsi protein hewani dengan jumlah 90,7 kg/orang/tahun dan bahkan

dapat menyumbang 40% dari makanan penduduknya. Di Serawak, penduduk

setiap tahun mengonsumsi daging satwaliar senilai 50 juta US dolar dan di Ghana

80% daging yang dikonsumsi penduduk berasal dari satwaliar. Pemanfaatan

satwaliar di Indonesia sudah ada, baik langsung dari alam atau melalui hasil

penangkaran untuk tujuan ekspor. Dalam tahun 1993, nilai ekspor satwaliar

mencapai $US 1.700.000 (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Bismark 1998).

Hasil hutan non kayu penting lainnya adalah sumberdaya air, yang

dihasilkan oleh proses hidrologis hutan, hasil air dari proses ini penggunaannya

oleh masyarakat terutama untuk konsumsi atau keperluan rumah tangga dan

(40)

sekitar TN Gunung Halimun Jawa Barat bahwa 7-23% masyarakat memakai air

yang berasal dari sungai dan 77-93% dari sumber mata air. Penilaian air

menggunakan metode kontingensi melalui pendekatan kesediaan membayar

perbaikan saluran air pada musim hujan dan kemarau masing-masing sebesar Rp

645-1.300/bulan dan Rp 840-1.300/bln.

Nilai Guna Tidak Langsung Ekosistem Hutan

Ekosistem hutan mempunyai nilai guna tidak langsung dari peranan fungsi

ekologis dalam mendukung kehidupan masyarakat, yang sudah lama dibahas

dibeberapa literatur, diskusi dan penelitian, antara lain manfaat pengendalian erosi

dan tata air. Menurut Manan (1976) bahwa erosi adalah suatu proses dimana

tanah dan mineral dilepaskan dan diangkut oleh air, angin dan gaya berat. Ada

dua macam erosi yang disebabkan oleh air : (1) erosi permukaan (surface

erosion), ialah pelepasan dan pemindahan bahan-bahan melalui permukaan tanah,

(2) erosi di bawah permukaan (sub-surface erosion), ialah elutriasi lapisan

penutup bumi (earth mantle) oleh air di bawah permukaan, biasanya dalam bentuk

mineral yang dilarutkan, termasuk bahan-bahan koloid.

Chomitz & Kumari (1998) melakukan tinjauan manfaat domestik hutan

tropis dari beberapa studi, tentang manfaat hidrologis dan nilai hasil hutan non

kayu. Kebanyakan literatur menunjukkan manfaat sebagai nilai absolut, hal ini

secara ekologi dan ekonomi tidak absah, karena :

1) Secara ekologis manfaat hutan misalnya manfaat hidrologis dipengaruhi oleh

penutupan lahan, sehingga manfaat harus dihitung relatif terhadap alternatif

penggunaan lahan lain

2) Besar manfaat terkait dengan kondisi spesifik lokasi dan skala (luas), setiap

luas hutan memiliki beberapa keragaman dan kepadatan jenis, jenis tanah,

terrain (topografi), aksesibilitas ke pasar dan lain-lain. Keragaman ini

mempengaruhi proses fisik yg menentukan besar manfaat hutan dan nilai

ekonominya.

Penilaian manfaat hidrologis yang menyangkut hubungan penutupan lahan

Gambar

Gambar 1  Kerangka pikir model pendugaan NET ekosistem hutan alam
Tabel 3  Pengelompokkan variabel-variabel pada pendugaan NET ekosistem hutan alam produksi
Gambar 2     Hubungan NET dan keputusan pengelolaan ekosistem hutan
Gambar 3   Lokasi penelitian hutan alam produksi PT SBK Unit Seruyan Kalteng
+7

Referensi

Dokumen terkait

4) menentukan himpunan bilangan prima yang merupakan bilangan genap. Siswa yang mendapat himpunan yang banyak anggotanya tepat satu, maka menjadi pemenang. Setelah pengundian,

viii Dalam penelitian ini yang dibahas adalah mengenai salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yaitu Merek. Merek merupakan suatu tanda yang melekat pada suatu barang

Menurut Mulyasa (2005a), implementasi kurikulum mencakup tiga.. kegiatan pokok yaitu pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi. Berkenaan dengan pembuatan

Enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri selain berperan dalam mendegradasi dinding sel patogen, protease dapat digunakan oleh bakteri tersebut untuk melakukan

RANCANG BANGUN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN DENGAN MODEL MEANS-ENDS ANALYSIS UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA SMK PADA MATA PELAJARAN PEMROGRAMAN DASAR.. Universitas

Kedua adalah hitungan mundur yang Digunakan untuk mengetahui waktu paling akhir memulai dan mengakhiri masing-masing kegiatan tanpa mempengaruhi penyelesaian proyek

Mengapa hal itu masih terjadi dalam era perkembangan teknologi komunikasi yang berbasis audio visual dengan adanya HP, computer dan internet juga situs dan

Oleh karena itulah, naskah-naskah lama sangat penting artinya sebagai sumber potensial yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan (term of reference) bagi sua­ tu