• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penyimpanan Daun dan Volume Air Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penyimpanan Daun dan Volume Air Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PENYIMPANAN DAUN DAN VOLUME AIR

PENYULINGAN TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU

MINYAK KAYU PUTIH

JAUHAR KHABIBI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

Jauhar Khabibi. Pengaruh Penyimpanan Daun dan Volume Air Penyulingan

Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr.

Minyak kayu putih merupakan salah satu komoditas minyak atsiri yang banyak digunakan di Indonesia. Tetapi nilai produktivitas minyak kayu putih sendiri di Indonesia mengalami fluktuasi dan cenderung menurunan. Penurunan produksi minyak kayu putih ini salah satunya disebabkan nilai rendemen minyak kayu putih yang rendah di pabrik minyak kayu putih. Produksi minyak kayu putih juga dipengaruhi oleh penyimpanan daun. Penyimpanan daun cenderung memberikan pengaruh negatif terhadap rendemen dan mutu minyak kayu putih dan pada beberapa kondisi, penyimpanan daun tidak bisa dihindari.

Penyimpanan daun Melaleuca leucadendron Linn. dengan berat 2,5 kg dilakukan di atas alas plastik selama 1, 2 dan 3 hari. Ketika penyimpanan berlangsung diberikan 2 perlakuan, yaitu pengadukan dan tanpa pengadukan. Pengadukan dilakukan selama 12 jam dengan interval waktu 2 jam. Selain itu, ketika penyulingan digunakan perlakuan berupa variasi volume air penyulingan dengan menggunakan air 3 liter dan 4 liter. Setelah minyak kayu putih diperoleh dilakukan pengujian sifat fisika dan kimia minyak kayu putih beserta nilai rendemennya sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI 06-3954-2006).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan daun M. leucadendron Linn. dan semakin sedikit volume air penyulingan mengakibatkan rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan semakin menurun. Begitu juga hasil pengujian kadar sineol dan kelarutan dalam etanol 70% pada minyak kayu putih menunjukan kecenderungan yang sama. Sedangkan untuk hasil pengujian bobot jenis, indeks bias dan putaran optik menunjukan kecenderungan yang semakin naik. Dari hasil pengujian ini, mutu semua contoh uji minyak kayu putih masuk ke dalam standar nasional Indonesia (SNI 06-3954-2006). Sedangkan untuk standar essential oil association of USA (EOA) hanya nilai kelarutan dalam etanol 70% yang tidak memenuhi persyaratan.

(3)

iv

PENGARUH PENYIMPANAN DAUN DAN VOLUME AIR

PENYULINGAN TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU

MINYAK KAYU PUTIH

JAUHAR KHABIBI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Penyimpanan Daun dan Volume Air Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

(5)

v

Judul Skripsi : Pengaruh Penyimpanan Daun dan Volume Air Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih

Nama Mahasiswa : Jauhar Khabibi

NIM : E24070052

Menyetujui Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr NIP. 19541017 198003 1 004

Mengetahui

Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP. 19660212 199103 1 002

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis dengan kerendahan hati ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini.

2. Bapak Ir. Dedep Sarip Nawawi, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc selaku ketua sidang dan penguji sidang yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan nasehatnya kepada penulis.

3. Keluarga tercinta Bapak (H. Mansur), Ibu (Nurhayati), kakak (Yayuk Eka Wijayanti) dan Adik (Atok Illah H.) yang telah memberi semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

4. Bapak Iwan selaku Asmen Pabrik Minyak Kayu Putih Jatimunggul Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten yang telah meluangkan waktu dan memberikan bantuan kemudahan dalam memperoleh bahan baku penelitian.

5. Bapak Totok dan Ibu Puji yang telah memberikan pengarahan dalam melakukan pengujian di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.

6. Teman-teman THH’44, Fahutan’44 dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Bogor, September 2011

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pengaruh Penyimpanan Daun dan Volume Air Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan nilai rendemen, menganalisis sifat fisika dan kimia serta menentukan mutu minyak kayu putih yang dihasilkan dari penyimpanan daun kayu putih yang dipengaruhi oleh faktor volume air penyulingan, perlakuan ketika penyimpanan dan lama penyimpanan daun kayu putih.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis, kepada bapak dan ibu serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya dan kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis juga menyadari karya ini masih jauh dari sempurna. Segala kritikan dan saran penulis terima dengan senang hati. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bogor, September 2011

Jauhar Khabibi

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar, Jawa Timur pada tanggal 30 April 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dalam keluarga Bapak H. Mansur dan Ibu Nurhayati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Tunjung 03 Kabupaten Blitar, sekolah lanjutan tingkat pertama di MTsN Kunir Kabupaten Blitar dan sekolah lanjutan tingkat atas di SMAN 01 Kota Blitar. Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan memilih mayor Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dibeberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan Bidang PSDM 2008/2009, staf public relation International Forestry Students Association Local Committee Faculty Of Forestry, Bogor Agricultural University 2008/2009, anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan Bagian Kimia Hasil Hutan 2008/2009 dan Ketua panitia Bina Desa Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan 2010. Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cikeong KPH Purwakarta dan di Gunung Burangrang KPH Bandung Utara tahun 2009 dan penulis juga melaksanakan kegiatan Praktik Pembinaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walad (HPGW) Kabupaten Sukabumi tahun 2010. Penulis juga telah melaksanakan Praktik Kerja lapang (PKL) di PGT Sindangwangi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah dendrologi tahun ajaran 2010/2011, serta asisten mata kuliah silvikultur tahun ajaran 2010/2011.

(9)

ix

3.3.3.5 Kelarutan dalam Etanol 70%... 15

(10)

4.5 Kelarutan dalam Etanol 70%... 27

4.6 Kadar Sineol ... 29

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

6.1 Kesimpulan ... 33

6.2 Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(11)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Standar mutu minyak kayu putih (SNI 06-3954-2006)……….. .... 11

2. Standar mutu minyak kayu putih EOA (essential oil association of USA). . 11

3. Rendemen minyak kayu putih ... 18

4. Bobot jenis minyak kayu putih ... 21

5. Indeks bias minyak kayu putih ... 23

6. Putaran optik minyak kayu putih ... 26

7. Nilai kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70% ... 28

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap rendemen minyak kayu putih…...………....19 2. Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap

bobot jenis minyak kayu putih.………...……...22 3. Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap

indeks bias minyak kayu putih …………..………...24 4. Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap

putaran optik minyak kayu putih.………...27 5. Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Hasil pengamatan sifat fisika-kimia minyak kayu putih dengan volume air penyulingan 3 liter………..38 2. Hasil pengamatan sifat fisika-kimia minyak kayu putih dengan volume air

penyulingan 4 liter………..39 3. Hasil pengamatan kadar air bahan……….……….40 4. Hasil pengamatan suhu ketika penyimpanan bahan………...40 5. Hasil pengujian kadar sineol dengan GC-MS untuk contoh uji minyak kayu

putih dari penyimpanan daun 3 hari dengan pengadukan dan volume air penyulingan 3 liter………..………41

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tanaman kayu putih (Melalauca leucadendron Linn.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting bagi industri minyak atsiri di Indonesia. Tanaman kayu putih merupakan salah satu tanaman penghasil produk hasil hutan bukan kayu yang memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan. Potensi tanaman kayu putih di Indonesia cukup besar mulai dari daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Bali dan Papua yang berupa hutan alam kayu putih. Sedangkan yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat berupa hutan tanaman kayu putih (Mulyadi 2005).

Di Pulau Jawa sendiri kayu putih memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan, dilihat dari adanya pabrik-pabrik pengolahan daun kayu putih milik Perum Perhutani yang cukup banyak di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Produk utama yang dihasilkan dari tanaman kayu putih adalah minyak kayu putih yang diperoleh dari hasil penyulingan daun kayu putih. Pabrik kayu putih di Pulau Jawa memiliki kapasitas terpasang pabrik sebesar 53.760 ton per tahun untuk daun kayu putih dan total produksi tahunan minyak kayu putih yang dihasilkan di Pulau Jawa sebesar 300 ton (Rimbawanto et al. 2009).

(15)

2

Oleh karena itu penyimpanan daun kayu putih sebelum penyulingan menjadi suatu faktor yang penting dalam proses pengolahan daun kayu putih.

Minyak kayu putih merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang banyak digunakan untuk bahan berbagai produk kesehatan atau farmasi sehingga minyak kayu putih menjadi produk yang banyak dicari. Kebutuhan minyak kayu putih saat ini semakin meningkat dengan semakin berkembangnya variasi dari pemanfaatan minyak kayu putih. Menurut Rimbawanto dan Susanto (2004), suplai tahunan minyak kayu putih yang dibutuhkan Indonesia sebesar 1500 ton sedangkan Indonesia sendiri hanya mampu menyuplai sebesar 400 ton dan kekurangannya dipenuhi dengan impor dari Negara Cina. Produksi minyak kayu putih di Indonesia mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan berdasarkan data dari direktorat jenderal bina produksi kehutanan. Menurut Sumadiwangsa (1976), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi minyak kayu putih, yaitu : 1. Pengisian daun, 2. Varietas pohon kayu putih, 3. Penyimpanan daun, 4. Teknik penyulingan dan 5. Umur daun. Faktor-faktor inilah yang diduga berpengaruh terhadap rendemen dan mutu minyak kayu putih yang dihasilkan di pabrik minyak kayu putih di Indonesia sehingga menyebabkan penurunan nilai produksi minyak kayu putih. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan nilai rendemen dan mutu minyak kayu putih yang ada di Indonesia.

(16)

volume air penyulingan yang lebih besar pada penyulingan bahan untuk memperoleh minyak atsiri maka akan menghasilkan minyak atsiri yang lebih besar juga. Hal inilah yang menjadi latar belakang penelitian tentang pengaruh penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap rendemen dan mutu minyak kayu putih.

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai rendemen, menganalisis sifat fisika dan kimia serta menentukan mutu minyak kayu putih yang dihasilkan dari penyimpanan daun kayu putih yang dipengaruhi oleh faktor volume air penyulingan, perlakuan ketika penyimpanan dan lama penyimpanan daun kayu putih.

1.3Manfaat

(17)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kayu Putih

Tanaman kayu putih merupakan salah satu keluarga Myrtaceae dengan bentuk berupa pohon yang tingginya dapat mencapai 30 meter tetapi tinggi rata-ratanya sekitar 12 meter. Tanaman kayu putih ini dapat tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi. Di Indonesia tegakan kayu putih terdapat di bagian sebelah timur kepulauan Indonesia seperti di Seram, Buru, NTT dan Pulau Jawa. Di Pulau Jawa tanaman kayu putih dapat ditemukan diketinggian diatas 600 meter dpl. Selain di Indonesia tanaman kayu putih juga terdapat di Negara Australia dan Malaysia. Tanaman kayu putih merupakan tanaman yang tersebar di seluruh Asia Tenggara sebagai tanaman liar yang ada di tanah dataran rendah maupun rawa dan jarang terdapat di tanah pegunungan (Heyne 1987). Menurut Core (1955) dalam Sunanto (2003), dalam sistematika tanaman kayu putih (M. leucadendron Linn.) memiliki susunan klasifikasi seperti yang tertera di bawah ini.

Kingdom : Plantae

(18)

batangnya mengalami pengelupasan yang memanjang dan dari daunnya dapat dicium aroma minyak atsiri yang menyengat (Wedalia 1991)

2.2Manfaat Tanaman Kayu Putih

Tanaman kayu putih telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk berbagai keperluan. Kayu putih merupakan tanaman yang mempunyai manfaat beragam dan sudah dari sejak dulu dimanfaatkan masyarakat Indonesia sebagai bahan untuk mengatasi berbagai macam gangguan kesehatan. Pemanfaatan tanaman kayu putih ini, telah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebelum adanya teknologi. Daun kayu putih digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau pembekakan akibat gigitan serangga. Daun kayu putih juga diekstrak atau dikeringkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan ramuan penambah stamina. Selain itu, tanaman kayu putih pada saat ini mulai banyak ditanam disekitar pekarangan rumah sebagai pengusir nyamuk karena aromanya yang khas (Handita 2011).

Tanaman kayu putih ini di Kalimantan Barat juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat lokalnya, seperti bagian kulit batang kayu putih dapat dimanfaatkan sebagai penutup celah-celah ataupun lubang-lubang pada perahu agar tidak bocor dan buahnya dapat digunakan sebagai jamu atau obat-obatan tradisonal. Selain itu, tanaman kayu putih ini merupakan salah satu jenis tanaman penghasil minyak atsiri. Minyak atsiri dari tanaman kayu putih dapat diperoleh dari penyulingan daun kayu putih. Minyak ini biasa disebut dengan minyak kayu putih atau dalam perdangan internasional disebut dengan cajeput oil.

(19)

6

batuk. Sejumlah penelitian juga membuktikan, tanaman ini berkhasiat diaforetik atau peluruh keringat, analgesik atau pereda nyeri, desinfektan atau pembunuh kuman, ekspektoran atau peluruh dahak dan antispasmodik atau pereda nyeri perut (Handita 2011).

2.3Pemanenan Daun Kayu Putih

Tanaman kayu putih merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri. Bagian yang diambil dari tanaman kayu putih ini untuk menghasilkan minyak atsiri adalah daunnya. Produksi daun kayu putih dapat dipengaruhi oleh kesuburan tanah, iklim, cara pemeliharaan tegakan kayu putih, sistem penanaman (tumpang sari atau tidak), jarak tanam dan juga umur tanaman (Muttaqin 1996). Semakin tua umur pohon maka jumlah produksi daun tanaman kayu putih akan semakin meningkat. Selain itu dengan dilakukannya pemeliharaan tegakan kayu putih seperti penyiangan dan pendangiran diharapakan jumlah produksi daun kayu putih dapat naik dua kali (Soepardi 1953 dalam Ulya 1998).

Pohon kayu putih sudah dapat dipanen daunnya ketika sudah berumur 4 sampai 5 tahun. Pangkasan yang pertama kali umunya dilakukan pada ketinggian kurang lebih 130 cm dari tanah dan pada pemangkasan kedua dilakukan setelah jangka waktu dua tahun dari pemangkasan pertama. Selang waktu pemangkasan kedua ini bertujuan untuk memberikan waktu bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembang sehingga tunas dan cabang-cabang batang menjadi lebih besar dan kuat (Soepardi 1953 dalam Ulya 1998). Menurut Muttaqin (1996), daun kayu putih memiliki umur pangkas maksimum 12 bulan. Sehingga saat pemangkasan daun kayu putih perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemangkasan daun kayu putih pada selang umur 9 sampai dengan 12 bulan sehingga didapatkan umur pangkas optimal dengan mempertimbangkan nilai rendemen dan hasil daun kayu putih.

(20)

yang sudah cukup umur. Cara ini menjadi kurang praktis, karena pemetik harus memilih daun satu per satu. Sedangkan cara pemetikan daun yang sering dipakai adalah cara rimbas, yaitu dengan memangkas daun kayu putih yang berumur 5 tahun keatas dengan ketinggian 5 meter. Setelah satu tahun pemangkasan ketika tanaman sudah memiliki daun yang lebat, tanaman kayu putih siap untuk dipanen kembali dengan sistem rimbas.

2.4Penyimpanan Daun Kayu putih

Penyimpanan daun kayu putih biasa dilakukan pada daun yang telah dipetik yang belum diproses untuk diambil minyaknya. Selain itu, penyimpanan juga dilakukan biasanya karena stok atau jumlah daun kayu putih yang terlalu banyak dipanen sehingga tidak bisa sekaligus disuling untuk diambil minyaknya. Berdasarkan hasil survei di Pabrik Minyak Kayu Putih Jatimunggul, penyimpanan daun kayu putih dilakukan dengan selang interval 1 hari sampai 3 hari dan belum termasuk waktu pengangkutan daun dari hutan menuju pabrik. Menurut Amrullah (2011), Penyimpanan dilakukan dengan menebarkan daun kayu putih di atas lantai yang kering atau di atas alas dengan ketebalan atau ketinggian daun yang ditebar kurang lebih sekitar 20 cm. Penyimpanan ini dilakukan pada kondisi suhu kamar dan sirkulasi udara terbatas. Dalam penyimpanan ini, daun kayu putih tidak boleh disimpan dalam karung atau trash bag karena akan mengakibatkan minyak yang dihasilkan berbau kurang enak dan kadar sineol dalam minyak kayu putih yang dihasilkan menjadi rendah.

(21)

8

2.5Pengolahan Daun Kayu Putih

Minyak kayu putih adalah hasil minyak atsiri yang diperoleh dari penyulingan daun kayu putih. Minyak atsiri merupakan zat cair yang mudah menguap dan bercampur dengan persenyawaan padat yang berbeda baik dalam komposisi dan titik cairnya. Minyak atsiri ini larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Berdasarkan sifat minyak atsiri tersebut, maka minyak atsiri dapat diekstrak dengan empat macam cara, yaitu : 1. Penyulingan atau destilation, 2. Pressing atau pengeluaran dengan tekanan, 3. Ekstraksi dengan pelarut atau solvent exstraction dan 4. Absorbsi oleh lemak padat atau enfleurasi (Ginting

2004). Proses ekstraksi minyak atsiri di atas termasuk jenis ekstraksi secara konvensional, saat ini telah ada proses ekstraksi minyak atsiri secara modern, yaitu : 1. Penyulingan molekular, 2. Penyulingan uap ekstraksi pelarut berkelanjutan, 3. Ekstraksi Superkritik dan 4. Penyerapan dengan resin berongga besar (Agusta 2000).

Penyulingan daun kayu putih untuk mendapatkan minyak kayu putih menggunakan prinsip yang didasarkan kepada sifat minyak atsiri yang dapat menguap jika dialiri dengan uap air panas. Uap yang dialirkan akan membawa minyak atsiri yang ada di daun kayu putih dan ketika uap tersebut bersentuhan dengan media yang dingin maka akan terjadi perubahan menjadi embun sehingga akan diperoleh air dan minyak dalam keadaan terpisah (Sumadiwangsa & Silitonga 1977). Penyulingan daun kayu putih untuk mendapatkan minyak kayu putih dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya dengan cara rebus, cara kukus dan dengan cara menggunakan uap langsung.

(22)

tersebut diisi dengan air. Ciri khas dari metode penyulingan kukus ini berupa uap yang selalu dalam keadaan basah, jenuh dan tidak terlalu panas. Bahan tanaman yang akan disuling hanya berhubungan dengan uap yang disalurkan dari lubang-lubang pada saringan dan bahan tidak berhubungan dengan air panas (Lutony & Rahmayati 1994).

Cara penyulingan yang ketiga, yaitu dengan menggunakan uap langsung, cara ini banyak dilakukan di pabrik minyak kayu putih (PMKP). Pada penyulingan dengan cara menggunakan uap langsung terjadi proses pengangkutan minyak atsiri dari dalam bahan bersamaan dengan uap panas yang ditiupkan secara langsung. Pada metode ini mirip dengan metode kukus tetapi air tidak diisikan pada ketel penyulingan. Uap yang digunakan merupakan uap jenuh atau uap berlebih panas pada tekanan lebih dari 1 atmosfer. Uap panas yang dihasilkan dari boiler dialirkan melalui pipa uap melingkar yang berpori yang terletak di bawah bahan dan uap bergerak ke atas melalui bahan yang terletak di atas saringan di dalam tangki atau ketel penyulingan. Dari ketiga jenis metode penyulingan di atas tidak ada perbedaan yang mendasar, tetapi dalam praktiknya akan memberikan hasil yang berbeda bahkan kadang-kadang perbedaan ini sangat berarti karena dipengaruhi reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama berlangsungnya penyulingan (Guenther 1987). Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah minyak yang menguap bersama-sama uap air, yaitu : 1. Besarnya tekanan uap yang digunakan, 2. Berat molekul dari masing-masing komponen dalam minyak dan 3. Kecepatan minyak yang keluar dari bahan (Satyadiwiria 1979).

2.6Komponen Kimia Minyak Kayu Putih

(23)

10

diperoleh hasil bahwa minyak kayu putih pada daun tersebut mengandung 32 jenis komponen sedangkan dari penyulingan daun M. Folium kering diperoleh 26 jenis komponen yang menyusun minyak kayu putih yang dihasilkan dari penyulingan.

Dari beberapa komponen penyusun minyak kayu putih yang diperoleh dari penyulingan daun kayu putih terdapat 7 komponen penyusun utama minyak kayu putih dari daun segar, yaitu : 1. α-pinene, 2. Sineol, 3. α-terpineol, 4. Kariofilen, 5.

α-karyofilen, 6. Ledol dan 7. Elemol (Siregar & Nopelena 2010). Menurut Guenther (1990), menyebutkan bahwa komponen utama penyusun minyak kayu putih adalah sineol (C10H18O), pinene (C10H8), benzaldehide (C10H5HO),

limonene (C10H16) dan sesquiterpentes (C15H24). Komponen yang memiliki

kandungan cukup besar di dalam minyak kayu putih, yaitu sineol sebesar 50% sampai dengan 65%. Dari berbagai macam komponen penyusun minyak kayu putih hanya kandungan komponen sineol dalam minyak kayu putih yang dijadikan penentuan mutu minyak kayu putih. Sineol merupakan senyawa kimia golongan ester turunan terpen alkohol yang terdapat dalam minyak atsiri, seperti pada minyak kayu putih. Semakin besar kandungan bahan sineol maka akan semakin baik mutu minyak kayu putih (Sumadiwangsa et al. 1973).

2.7Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih

(24)

mengalami penurunan sampai 0,6%. Di bawah ini terdapat standar penentuan mutu minyak kayu putih berdasarkan pada SNI 06-3954-2006 (Tabel 1).

Tabel 1 Standar mutu minyak kayu putih (SNI 06-3954-2006)

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan - -

1.1 Warna - Jernih sampai kuning kehijauan

1.2 Bau - khas kayu putih

Sumber : BSN (Badan standardisasi Indonesia) (2006).

Mutu minyak kayu yang ada di Indonesia paling banyak mengacu ke standar nasional Indonesia dalam penentuannya. Pada waktu dulu mutu minyak kayu putih dibagi kedalam 2 klasifikasi, yaitu : 1. Mutu utama dan 2. Mutu pertama. Penentuan klasifikasi mutu utama dan pertama ini berdasarkan jumlah kandungan sineol pada minyak kayu putih. Semakin tinggi kandungan sineol dalam minyak kayu putih maka akan semakin bagus mutu minyak kayu putih. Tetapi saat ini standar nasional Indonesia (SNI) sudah tidak mengacu terhadap nilai kadar sineol ini. Di bawah ini dapat dilihat klasifikasi mutu minyak kayu putih berdasarkan EOA (essential oil association of USA) (Tabel 2).

Tabel 2 Standar mutu minyak kayu putih EOA

No. Jenis uji Kualitas Utama

1 Warna dan penampilan Cairan kuning, hijau atau kuning

2 Kadar sineol 50% sampai 65%

3 Kelarutan dalam alkohol 80% Larut dalam 1 volume

4 BJ pada 25 °C 0,908-0,925

(25)

12

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga tempat berbeda, yaitu : 1. Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, 2. Laboratorium Instrumen, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Juli 2011.

3.2Bahan dan Alat Penelitian

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun M. leucadendron Linn. dengan umur 5 bulan yang diperoleh dari BKPH

Jatimunggul, KPH Indramayu, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis mutu minyak kayu putih, diantaranya larutan resorsinol 50%, aquades, NaOH 2 N dan etanol 70%. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik, timbangan, alat penyulingan sistem kukus serta peralatan untuk melakukan analisis mutu minyak kayu putih seperti gelas ukur, gelas piala, corong pemisah, timbangan analitik, labu erlenmeyer, piknometer, kaca pengaduk, refraktometer dan pipet.

3.3Metode Penelitian

3.3.1Penyimpanan

(26)

dengan 17.00 WIB. Pada penelitian ini dilakukan ulangan sebanyak dua kali untuk tiga faktor yang akan diteliti, yaitu lama penyimpanan, perlakuan penyimpanan dan volume air penyulingan. Selain itu, juga dilakukan penyulingan untuk daun 0 hari. Waktu 0 hari ini merupakan waktu setelah daun mengalami penebangan, pengangkutan dan pemisahan daun dari ranting yang besar.

3.3.2 Penyulingan

Penyulingan daun kayu putih dilakukan dengan sistem penyulingan kukus. Jumlah daun yang disuling sebanyak 2,5 kg untuk setiap tangki penyulingan. Jumlah tangki penyulingan yang digunakan sebanyak dua buah, dimana untuk masing-masing tangki penyulingan diisi dengan 2,5 kg daun kayu putih. Lama penyulingan yang dilakukan selama 4 jam dari awal pemasakan sampai akhir selesai pemasakan (Sunanto 2003). Setelah penyulingan selesai akan diperoleh hasil berupa minyak kayu putih yang tercampur dengan sebagian air dari penyulingan. Cara untuk memisahan air dari minyak kayu putih dapat dilakukan dengan menggunakan corong pemisah dan dengan menggunakan pipet untuk air yang masih ada di dalam minyak kayu putih tetapi jumlahnya sedikit.

3.3.3 Analisis Sifat Fisika dan Kimia

Pengujian sifat fisika dan kimia minyak kayu putih dapat dilakukan sesuai dengan standar nasional Indonesia, yaitu SNI 06-3954-2006. Sifat fisika yang diuji dari minyak kayu putih, diantaranya bobot jenis, indek bias dan putaran optik. Sedangkan untuk pengujian sifat kimia minyak kayu putih yang diuji adalah kadar sineol minyak kayu putih dan kelarutan dalam etanol. Selain itu juga dilakukan perhitungan nilai rendemen yang dihasilkan dari masing-masing contoh uji minyak kayu putih.

3.3.3.1Rendemen

(27)

14

minyak kayu putih hasil penyulingan atau output dengan berat daun kayu putih yang disuling atau input. Perhitungan nilai rendemen dapat mengikuti rumus di bawah ini : yang dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat kemurnian minyak yang dihasilkan. Cara menentukan nilai bobot jenis dengan menggunakan piknometer. Setelah piknometer dibersihkan lalu ditimbang berat kosong piknometer. Setelah itu, piknometer diisi dengan air suling atau aquades dan dilakukan penimbangan, lalu piknometer dibersihkan. Piknometer yang telah bersih kemudian diisi dengan minyak kayu putih dan ditimbang kembali. Setelah selesai maka nilai bobot jenis minyak kayu putih dapat diketahui dengan melakukan perhitungan dengan rumus di bawah ini :

m2 – m

Bobot jenis =

m1 – m

Keterangan : m = Nilai berat piknometer kosong.

m1 = Nilai berat piknometer dengan isi air suling.

m2 = Nilai berat piknometer dengan isi minyak kayu putih.

3.3.3.3Indeks Bias

(28)

3.3.3.4Putaran Optik

Putaran optik minyak kayu putih dapat ditentukan dengan alat polarimeter. Penetuan nilai putaran optik minyak kayu putih ini didasarkan pada pengukuran sudut bidang dimana sinar terpolarisasi diputar oleh lapisan minyak dengan tebal dan suhu tertentu. Nilai putaran optik diperoleh dari rata-rata 3 kali ulangan pembacaan alat polarimeter. Selain itu, putaran optik harus dinyatakan dalam derajat lingkar sampai mendekati 0,01o dan harus diperhatikan tanda positif pada putaran optik dekstrorotary dan tanda negatif pada putaran optik levorotary.

3.3.3.5Kelarutan dalam Etanol 70%

Kelarutan minyak kayu putih dalam etanol merupakan kelarutan minyak kayu putih terhadap etanol dengan konsentrasi tertentu yang dinyatakan dalam perbandingan pada keadaan jernih. Kelarutan dalam etanol ini dapat diuji dengan mencampurkan minyak kayu putih dengan tetesan etanol dengan konsentrasi tertentu dan dilakukan pengocokan sampai diperoleh larutan yang sebening mungkin.

3.3.3.6Kadar Sineol

Kadar sineol minyak kayu putih merupakan nilai yang sangat penting dan berpengaruh terhadap mutu atau kualitas minyak kayu putih. Nilai kadar sineol dalam minyak kayu putih dapat dicari dengan menggunakan metode kristalisasi resorsinol. Metode kristalisasi ini dilakukan dengan penambahan larutan resorsinol 50% yang dibuat dengan melarutkan 6 gram resorsinol ke dalam 6 ml aquades. Larutan resorsinol yang telah dibuat kemudian dituangkan pada pinggan porselin yang berisi 5 ml contoh minyak kayu putih. Setelah itu pinggan porselin dimasukkan ke dalam lemari es sampai 2 jam dan terbentuk kristal resorsin-sineol. Kristal yang telah terbentuk ditapis dengan cawan atau gelas masir G1 atau G2. Kristal yang sudah terpisah

(29)

16

dilakukan perhitungan kadar sineol dalam minyak kayu putih dengan rumus di bawah ini :

(ml pembacaan)

Kadar sineol = x 100%

5 3.4Analisis Data

(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Rendemen

Rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan dari penyulingan daun kayu putih berumur 5 bulan dengan menggunakan metode penyulingan kukus pada penelitian ini berkisar antara 1,011% sampai dengan 1,157%. Dari kisaran data rendemen yang dihasilkan, nilai rendemen pada percobaan ini lebih besar jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Dari hasil penelitian Sihaya (2005), kisaran rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan dari penyulingan daun kayu putih dari Propinsi Maluku antara 0,74% sampai dengan 0,81%. Begitu juga pada hasil penelitian Yusliansyah (2006), kisaran rendemen yang dihasilkan dari penyulingan daun kayu putih dari Samarinda dan Tanjung Redeb yaitu antara 0,72% sampai dengan 0,86%.

(31)

18

(32)

0,900

pada daun kayu putih (Guenther 1987). Menurut Guenther (1987), penyimpanan bahan selama beberapa jam bahkan ditempat yang teduh bisa mengakibatkan berkurangnya jumlah minyak atsiri yang dihasilkan dan terutama penyimpanan pada tempat yang terbuka.

Gambar 1 Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap rendemen minyak kayu putih.

Dari Gambar 1 dapat dilihat jika pada volume air penyulingan 4 liter memberikan hasil rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan penyulingan dengan menggunakan volume air 3 liter. Pada kontrol penyulingan dengan volume air 3 liter didapatkan hasil rendemen sebesar 1,140% sedangkan pada volume air penyulingan 4 liter didapatkan rendemen kontrol sebesar 1,157%. Pada penyulingan dengan volume air 4 liter menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, hal ini karena pada volume air penyulingan 4 liter uap yang dihasilkan akan semakin besar sehingga frekuensi bersentuhan antara uap air dengan daun akan semakin sering sehingga kandungan minyak atsiri di dalam daun kayu putih yang terangkut bersamaan dengan uap air akan semakin besar (Sumarni et al. 2008).

(33)

20

pengadukan dan tanpa pengadukan dapat dilihat pada Gambar 1. Pada perlakuan pengadukan ketika penyimpanan berfungsi untuk menyeragamkan kadar air bahan atau daun kayu putih (Triwahyudi et al. 2009). Selain itu, dengan pengadukan dapat mengurangi laju terjadinya penguapan, oksidasi, resinifikasi dan reaksi kimia lain yang dapat mengurangi kadar minyak atsiri dalam daun kayu putih yang disimpan.

Menururt Guenther (1987), pada daun yang terlalu tebal ketika penumpukan penyimpanan akan mengakibatkan peningkatan suhu yang berakibat laju penguapan, oksidasi dan resinifikasi pada daun akan meningkat sehingga akan berakibat turunnya nilai rendemen minyak atsiri yang dihasilkan. Pada daun kayu putih yang disimpan tanpa pengadukan, terjadinya penguapan, oksidasi dan resinifikasi akan lebih tinggi. Hal ini juga terlihat dari nilai kadar air bahan yang rendah pada pengujian kadar air sebelum bahan disuling. Tingginya laju penguapan, oksidsasi dan resinifikasi pada daun yang disimpan tanpa pengadukan mengakibatkan turunnya nilai rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan.

4.2Bobot Jenis

(34)

Kenaikan nilai bobot jenis yang semakin tinggi dengan semakin lama waktu penyimpanan daun kayu putih ini diperkirakan karena pada minyak kayu putih yang diperoleh dari penyulingan daun yang telah disimpan akan memiliki komponen penyusun fraksi berat yang semakin banyak sehingga nilai bobot jenis minyak akan semakin tinggi (Sumangat & Ma’mun 2003). Dapat dijelaskan bahwa pada daun yang disimpan komponen minyak kayu putih yang berupa senyawa dengan fraksi ringan telah berkurang akibat terjadinya proses penguapan, resinifikasi, polimerisasi atau proses oksidasi yang terjadi selama penyimpanan sehingga ketika daun disuling komponen penyusun minyak yang paling banyak keluar atau lebih dominan dari daun adalah komponen dengan fraksi berat sehingga terjadi kenaikan nilai bobot jenis minyak kayu putih.

Tabel 4 Bobot jenis minyak kayu putih

Bobot jenis minyak kayu putih

(35)

22

Kondisi ketel yang jenuh ini mengakibatkan terjadinya proses hidrolisis yang lebih ekstensif (Guenther 1987). Menurut Ferdiansyah (2010), semakin banyak air di dalam ketel dan suhu yang tinggi maka proses hidrolisis akan semakin besar. Proses hidrolisis ini mengakibatkan larutnya sebagian fraksi berat yang ada pada daun kayu putih yang disuling. Hal ini menyebabkan nilai bobot jenis minyak kayu putih yang dihasilkan menjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak kayu putih yang dihasilkan dari penyulingan dengan air 3 liter.

Gambar 2 Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap bobot jenis minyak kayu putih.

Dari Gambar 2 dapat diketahui bahwa pada perlakuan pengadukan dan tanpa pengadukan daun ketika penyimpanan memberikan hasil yang berbeda untuk nilai bobot jenis minyak kayu putih yang dihasilkan. Nilai bobot jenis minyak kayu putih yang diperoleh dari daun yang diberi perlakuan pengadukan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai bobot jenis minyak kayu putih yang diperoleh dari daun tanpa pengadukan. Hal ini bisa terjadi karena perlakuan pengadukan dapat mengakibatkan hilangnya komponen penyusun minyak kayu putih berupa fraksi-fraksi ringan yang lebih seragam dari daun kayu putih yang disimpan sehingga fraksi-fraksi berat pada minyak kayu putih yang dihasilkan menjadi lebih dominan. Semakin dominannya fraksi berat pada minyak kayu putih ini mengakibatkan nilai bobot jenis minyak kayu putih yang dihasilkan dari

EOA

(36)

daun yang diberi perlakuan pengadukan lebih besar daripada minyak kayu putih yang dihasilkan dari daun tanpa pengadukan.

4.3Indeks Bias

Hasil nilai indeks bias minyak kayu putih yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 1,4661 sampai dengan 1,4683. Nilai ini masuk kedalam standar nasional Indonesia (SNI 06-3954-2006) dan standar EOA. Dalam standar nasional Indonesia disyaratkan nilai indeks bias minyak kayu putih berkisar antara 1,460 sampai dengan 1,470 sedangkan dalam standar EOA nilai indeks bias berkisar antara 1,4660 sampai dengan 1,4720. Pada pengujian nilai indeks bias ini, diperoleh hasil nilai indeks bias yang semakin naik dengan semakin lama penyimpanan daun M. leucadendron Linn. (Tabel 5). Kenaikan nilai indeks bias ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lukmandaru (2002) pada minyak daun leda.

Tabel 5 Indeks bias minyak kayu putih

Indeks bias minyak kayu putih

(37)

24

oksidasi, resinifikasi dan reaksi kimia lainya yang terjadi selama penyimpanan berlangsung. Dengan dominannya fraksi berat maka kerapatan minyak akan semakin naik. Hal inilah yang mengakibatkan nilai indeks bias minyak kayu putih akan semakin naik dengan semakin lama penyimpanan daun (Guenther 1987).

Gambar 3 Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap indeks bias minyak kayu putih.

Nilai indeks bias yang dihasilkan pada penyulingan dengan menggunakan air 3 liter dan 4 liter memberikan beberapa perbedaan. Nilai indeks bias pada penyulingan dengan menggunakan air 3 liter lebih besar daripada penyulingan dengan menggunakan air 4 liter (Gambar 3). Hal ini diperkirakan terjadi akibat adanya proses hidrolisis yang terjadi pada penyulingan dengan air 4 liter lebih besar daripada penyulingan dengan air 3 liter. Menurut Ferdiansyah (2010) dan Guenther (1987), semakin banyak air di dalam ketel dan suhu yang tinggi maka proses hidrolisis akan semakin besar. Proses hidrolisis yang semakin ekstensif ini dapat mengakibatkan terputusnya ikatan rangkap dan rantai panjang karbon pada minyak kayu putih yang dihasilkan. Menurut Supriatin et al. (2004), semakin panjang rantai karbon dan jumlah ikatan rangkap maka nilai indeks bias akan semakin tinggi. Terputusnya ikatan rangkap ini dapat mengakibatkan turunnya nilai indeks bias minyak kayu putih (Supriatin et al. 2004).

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada penyimpanan dihari pertama, kedua dan ketiga memberikan nilai indeks bias minyak kayu putih dari perlakuan

1,4720

(38)

pengadukan lebih tinggi daripada nilai indeks bias minyak kayu putih dari daun yang diberi perlakuan tanpa pengadukan, baik pada penyulingan dengan menggunakan air 3 liter dan 4 liter. Hal ini diperkirakan karena semakin rata dan seragamnya fraksi ringan yang hilang pada daun yang diberikan perlakuan pengadukan selama penyimpan berlangsung sehingga fraksi berat pada minyak kayu putih yang dihasilkan semakin dominan. Semakin dominan kandungan komponen fraksi berat pada minyak kayu putih ini mengakibatkan semakin naiknya nilai indeks bias minyak kayu putih.

4.4Putaran Optik

Putaran optik merupakan nilai yang diperoleh dari polarisasi cahaya yang diputar ke arah kanan (dextrorotary) atau ke arah kiri (laevorotary) oleh minyak atsiri yang ditempatkan dalam sinar atau cahaya (Guenther 1987). Nilai putaran optik yang diperoleh dari minyak kayu putih dalam penelitian ini berkisar antara 0,35o sampai dengan 2,37o untuk arah kiri (laevorotary). Kisaran nilai putaran optik yang diperoleh dari minyak kayu putih ini memenuhi standar nasional Indonesia untuk minyak kayu putih (SNI 06-3954-2006) dan juga standar EOA. Dalam standar nasional Indonesia (SNI 06-3954-2006) dan EOA disyaratkan nilai putaran optik minyak kayu putih antara -4o sampai dengan 0o.

(39)

26

Tabel 6 Putaran optik minyak kayu putih

Putaran optik minyak kayu putih (- atau laevorotary)

Waktu (hari) Volume air penyulingan 2,5 kg daun (liter)

3 4

1 1,88o 1,75o

Pengadukan 2 2,20o 2,20o

3 2,92o 2,50o

1 1,65o 1,25o

Tanpa pengadukan 2 2,14o 2,10o

3 2,37o 2,35o

Kontrol 0 0,80o 0,35o

Komponen penyusun minyak kayu putih pada daun yang disimpan diperkirakan berkurang atau hilang akibat adanya proses penguapan, oksidasi dan resinifikasi yang terjadi sehingga mengakibatkan komponen minyak kayu putih yang dihasilkan semakin tidak lengkap dengan semakin lama penyimpanan daun (Guenther 1987). Hilangnya beberapa komponen penyusun minyak kayu putih inilah yang mengakibatkan semakin naiknya nilai putaran optik minyak kayu putih dari bahan yang disimpan.

(40)

Gambar 4 Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap putaran optik minyak kayu putih.

Pada perlakuan pengadukan dan tanpa pengadukan didapatkan hasil nilai putaran optik yang berbeda. Nilai putaran optik pada minyak kayu putih yang diperoleh dari daun yang diberikan perlakuan pengadukan lebih tinggi daripada nilai putaran optik minyak kayu putih dari daun tanpa pengadukan (Gambar 4). Hal ini diperkirakan terjadi karena pada daun yang diberikan perlakuan pengadukan terjadi kehilangan komponen penyusun minyak kayu putih yang semakin rata dan seragam. Kehilangan komponen penyusun minyak kayu putih yang semakin seragam ini mengakibatkan nilai putaran optik yang dihasilkan semakin tinggi pada minyak kayu putih yang diperoleh dari daun yang diberikan perlakuan pengadukan daripada minyak kayu putih yang diperoleh dari daun tanpa pengadukan. Selain itu, kenaikan nilai putaran optik juga bisa terjadi akibat adanya pengotoran pada minyak kayu putih yang dihasilkan (Trifa 2009).

4.5Kelarutan dalam Etanol 70%

Pada penelitian ini juga dilakukan pengujian kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70%. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 7) nilai kelarutan minyak kayu putih terhadap etanol 70% berkisar antara 1:7 sampai dengan 1:8,5 jernih. Nilai kelarutan minyak kayu putih pada penelitian ini semua masuk kedalam standar nasional Indonesia untuk minyak kayu putih (SNI 06-3954-2006) yang mensyaratkan nilai kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70% sebesar 1:1

4,00

(41)

28

sampai dengan 1:10 jernih. Tetapi nilai kelarutan ini tidak masuk dalam standar EOA yang mensyaratkan nilai kelarutan minyak kayu putih larut dalam 1 volume.

Tabel 7 Nilai kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70% Kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70% (jernih)

Waktu (hari) Volume air penyulingan 2,5 kg daun (liter) didapatkan hasil nilai kelarutan yang cenderung menurun dengan semakin lama penyimpanan daun. Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya proses polimerisasi yang terjadi selama penyimpanan daun berlangsung. Menurut Guenther (1987), adanya polimerisasi yang terjadi akan mengakibatkan turunnya nilai kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70%. Selain itu, Guenther juga menyebutkan bahwa kelarutan minyak atsiri terhadap etanol tergantung terhadap kecepatan daya larut dan kualitas minyak itu sendiri. Pada minyak atsiri yang kaya akan komponen oxygenated lebih mudah larut daripada minyak atsiri yang memiliki kandungan terpen yang tinggi. Berdasarkan nilai kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70% yang rendah dapat diperkirakan kandungan terpen pada minyak kayu putih yang dihasilkan pada penelitian ini lebih banyak dibandingkan kandungan komponen oxygenated.

(42)

yang jenuh dengan suhu yang tinggi mengakibatkan proses polimerisasi yang terjadi di dalam ketel yang menggunakan air penyulingan 4 liter lebih besar. Sedangkan pada penyulingan dengan menggunakan air 3 liter kondisi tabung penyulingannya memiliki kejenuhan yang lebih rendah daripada penyulingan yang menggunakan air 4 liter. Hal inilah yang mengakibatkan laju polimerisasi pada penyulingan dengan menggunakan air 3 liter lebih rendah. Semakin besar laju polimerisasi maka mengakibatkan nilai kelarutan minyak kayu putih yang dihasilkan dalam etanol 70% semakin rendah (Tabel 7).

Sedangkan pada perlakuan penyimpanan dengan menggunakan pengadukan daun dan tanpa pengadukan daun ketika penyimpanan memberikan hasil nilai kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70% yang berbeda. Pada minyak kayu putih yang diperoleh dari daun yang diberikan perlakuan pengadukan memberikan nilai kelarutan dalam etanol 70% yang lebih tinggi daripada minyak kayu putih yang diperoleh dari daun tanpa pengadukan. Dengan dilakukannya pengadukan dapat mengurangi laju terjadinya polimerisasi pada daun kayu putih yang disimpan sehingga mengurangi terjadinya penurunan nilai kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70%. Menurut Guenther (1987), kondisi penyimpanan yang kurang baik dapat mempercepat laju polimerisasi seperti faktor cahaya, udara dan adanya air biasanya menimbulkan pengaruh yang tidak baik.

4.6Kadar Sineol

Sineol (C10H18O) merupakan komponen utama penyusun minyak kayu

putih berupa senyawa kimia golongan ester turunan terpen alkohol yang terdapat di dalam minyak kayu putih. Sineol merupakan salah satu komponen penyusun minyak kayu putih yang cukup tinggi kadarnya (Yusliansyah 2006). Dari hasil pengujian kadar sineol minyak kayu putih yang diperoleh dari penyulingan daun kayu putih pada penelitian ini, didapatkan hasil kisaran kadar sineol mulai dari 52% sampai dengan 60%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guenther (1990), bahwa kadar sineol minyak kayu putih berkisar antara 50% sampai dengan 60%.

(43)

30

dengan 65%. Selain itu, nilai ini sesuai dengan nilai kadar sineol yang dilaporkan oleh Gildemeister dan Hoffman dalam Guenther (1990), bahwa nilai kadar sineol yang diperoleh dari pengujian dengan metode resorsinol memiliki rata-rata antara 50% sampai dengan 60%. Kadar sineol tertinggi sebesar 60% diperoleh dari penyulingan daun segar dengan menggunakan volume air penyulingan 3 liter. Sedangkan kadar sineol terendah sebesar 52% diperoleh dari penyulingan daun kayu putih yang disimpan selama 3 hari yang disuling dengan menggunakan volume air penyulingan 4 liter (Tabel 8).

Tabel 8 Kadar sineol minyak kayu putih

(44)

Gambar 5 Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan terhadap kadar sineol minyak kayu putih.

Pada penyulingan dengan menggunakan air 3 liter terlihat bahwa nilai kadar sineol rata-ratanya lebih besar dibandingkan dengan penyulingan dengan menggunakan air 4 liter (Gambar 5). Hal diperkirakan terjadi karena adanya proses hidrolisis yang lebih ekstensif pada penyulingan dengan menggunakan air 4 liter dibandingakan dengan menggunakan air 3 liter. Semakin banyaknya air yang digunakan dalam proses penyulingan bisa mengakibatkan kondisi di dalam ketel penyulingan lebih jenuh sehingga bisa mengakibatkan terjadinya hidrolisis yang lebih besar. Semakin tinggi laju hidrolisis maka kadar sineol yang ada di dalam minyak kayu putih yang dihasilkan dari penyulingan akan semakin rendah. Menurut Guenther (1987), menyebutkan bahwa proses hidrolisis dapat mengubah ester menjadi asam dan alkohol. Sineol merupakan salah satu golongan ester yang diperkirakan ikut berubah menjadi asam dan alkohol ketika terjadi proses hidrolisis pada ketel penyulingan.

Pada perlakuan pengadukan dan tanpa pengadukan ketika penyimpanan daun kayu putih menghasilkan nilai yang berbeda untuk kadar sineol minyak kayu putih yang dihasilkan. Pada daun yang diberikan perlakuan pengadukan menghasilkan minyak kayu putih yang memiliki kadar sineol lebih besar daripada minyak kayu putih yang diperoleh dari daun tanpa pengadukan. Dalam hal ini pengadukan daun dapat mengurangi laju oksidasi yang terjadi pada bahan yang disimpan sehingga laju perubahan sineol menjadi asam sineolat juga menjadi lebih rendah.

(45)

32

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Rendemen minyak kayu putih dari hasil penyulingan selama 4 jam berkisar antara 1,011% sampai dengan 1,157%. Terdapat kecenderungan semakin lama penyimpanan, semakin sedikit volume air penyulingan dan tidak dilakukannya pengadukan daun ketika penyimpanan akan menghasilkan rendemen minyak kayu putih yang semakin rendah.

2. Nilai hasil pengujian sifat fisika dan kimia semua contoh uji minyak kayu putih menunjukan bahwa teknik penyimpanan dan penggunaan variasi volume air penyulingan mampu mempertahankan mutu minyak kayu putih sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI 06-3954-2006), sedangkan untuk standar mutu EOA nilai kelarutan dalam etanol 70% tidak memenuhi syarat.

3. Penyulingan dengan volume air 4 liter menghasilkan rendemen yang lebih tinggi daripada penyulingan dengan volume air 3 liter untuk 2,5 kg daun kayu putih. Tetapi minyak kayu putih yang dihasilkan memiliki nilai fisika dan kimia yang lebih rendah daripada minyak kayu putih yang diperoleh dari penyulingan dengan volume air 3 liter, kecuali untuk nilai putaran optik.

5.2Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai volume air penyulingan yang optimum sehingga dapat dihasilkan rendemen minyak kayu putih yang lebih tinggi.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Agusta A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Bandung: ITB Amrullah. 2011. Minyak Kayu Putih. http://amrullha.wordpress.

com/minyak-kayu-putih/ [24 April 2011]

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Minyak Kayu Putih. SNI 06-3954-2006. Jakarta.

Ferdiansyah A. 2010. Analisis Pengaruh Arah Aliran Steam dan Massa Bunga Kenanga untuk Mendapatkan Minyak Kenanga Yang Memiliki Kualitas dan Rendemen Optimum dengan Menggunakan Metode Distilasi Uap (Steam Distillation) [Skripsi]. Surabaya: Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Ginting S. 2004. Pengaruh Lama Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Atsiri Daun Sereh Wangi [skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.

Guenther E. 1987. Minyak Atsiri Jilid 1. Ketaren S, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Essential Oil.

_________ 1990. Minyak Atsiri Jilid IV B. Ketaren S, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Essential Oil.

Handita LK. 2011. Kayu Putih. http://id-id.facebook.com/note.php?note _id=146145065416177 [20 Juli 2011].

Heyne K. 1987. Standar Mutu dan Pengujian Minyak Kayu Putih. Balai Riset dan Standarisasi Industri dan Perdagangan, Ambon.

Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri Komoditas Wangi Penuh Potensi. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Kartikasari D. 2007.Studi Pengusahaan Minyak Kayu Putih (Cajuput oil) di PMKP Jatimunggul, KPH Indramayu Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Koensoemardiyah S. 2010. A to Z Minyak Atsiri untuk Industri Makanan,

Kosmetik dan Aromaterapi.Yogyakarta: CV Andi Offset.

(47)

34

Lutony TL, Rahmayati Y. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Jakarta: Penebar Swadaya.

Mulyadi T. 2005. Studi pengelolaan kayu putih Melaleuca leucadendron Linn. Berbasis ekosistem di BDH Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta. Thesis Program Pascasarjana S2 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak diterbitkan.

Muttaqin MZ. 1996. Model Pertumbuhan Hasil Daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) di KPH Indramayu Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Nurdjannah N. 2006. Minyak Ylang-ylang dalam Aromaterapi dan Prospek Pengembangannnya di Indonesia. Di dalam: Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 18-20 September 2006 . Solo.

Pribadi A. 1987. Pengaruh Bentuk Daun dan Umur Pangkas Daun Kayu Putih Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Rimbawanto A, Kartikawati NK, Baskorowati L, Susanto M, Prastyono. 2009. Status terkini pemuliaan Melaleuca cajuputi. Hasil-hasil Penelitian Hal. 148-157. B2PBPTH. Yogyakarta.

Rimbawanto A, Susanto M. 2004. Pemuliaan Melaleuca cajuputi subsp cajuputi untuk Pengembangan Industri Minyak Kayu Putih Indonesia. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Hal. 83-92. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Satyadiwiria Y. 1979. Pembuatan Minyak Atsiri. Medan: Dinas Pertanian.

Siahaya TE. 2005. Pengaruh Kelerengan, Pemeliharaan dan Lama Penyimpanan Daun Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih. Tesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu Kehutanan. Universitas Mulawarman (Tidak diterbitkan).

Siregar, Nopelena. 2010. Isolasi dan Analisis Komponen Minyak Atsiri dari Daun Kayu Putih (Melaleucae Folium) Segar dan Kering Secara Gc-Ms. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20421/6/Abstract.pdf [21 Juli 2011]

Sudarti, Warasti S. 1979. Pengaruh penyimpanan daun kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn.) terhadap hasil dan kualitas minyak kayu putih [tugas akhir]. Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada.

(48)

Sumadiwangsa S, Silitonga T. 1977. Penyulingan Minyak Daun Kayu Putih Publikasi khusus No. 42 Lembaga Penelitian Hasil Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.

Sumadiwangsa S, Sutarna MS, Siti H. 1973. Pedoman Pengujian Kualitas Minyak kayu putih. Lembaga Penelitian Hasil Hutan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian.

Sumangat D, Ma’mun. 2003. Pengaruh Ukuran dan Susunan Bahan Baku serta Lama Penyulingan Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayumanis Srilangka (Cinnamomun Zeylanicum). Buletin TRO Volume XIV No. 1. Sumarni, Bayu AN, Solekan. 2008. Pengaruh Volume Air dan Berat Bahan pada

Penyulingan Minyak Atsiri. Jurnal Teknologi vol. 1 No. 1. Hal 83-88. Sunanto H. 2003. Budi Daya dan Penyulingan Kayu Putih. Yogyakarta: Kanisius. Supriatin, Ketaren S, Ngudiwaluyol S, Friyadil A. 2004. Isolasi Miristisin dari

Minyak Pala (Myristica fragrans) dengan Metode Penyulingan Uap. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 17(1). 23-28.

Trifa DS. 2009. Karakteristik Minyak Atsiri Jerangau (Acorus calamus) [Skripsi]. Medan: Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Triwahyudi S, Leopold ON, Sri EA, Dyah W. 2009. Pengaruh Rak Berputar Pada Kinerja Pengering Surya Tipe Efek Rumah Kaca (Erk) – Hybrid untuk Pengeringan Kapulaga Lokal (Amomum cardamomum Wild). Absrak jurnal enjiniring pertanian. Tangerang: Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.

Ulya NA. 1998. Penyusunan Model Penduga Produksi Daun Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) di KPH Mojokerto Perum Perhutani Unit II Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Wedalia I. 1991. Tinjauan Mengenai Kemungkinan Pengusahaan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn.) dalam Rangka Pengembangan Hutan Rakyat di Lokasi Tranmigrasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

(49)

36

(50)

Lampiran 1 Hasil pengamatan sifat fisika-kimia minyak kayu putih dengan volume air penyulingan 3 liter

Volume air penyulingan 3 liter air penyulingan

Lama penyimpanan (hari) 1 2 3

Kontrol

Pengadukan daun Iya Tidak Iya Tidak Iya Tidak

Rendemen (%)

1 1,097 1,068 1,025 1,024 1,034 1,011 1,138

2 1,089 1,030 1,069 1,052 1,031 1,010 1,142

Rata-rata 1,093 1,049 1,047 1,038 1,033 1,011 1,14

Berat jenis

1 0,914 0,913 0,915 0,914 0,917 0,916 0,913

2 0,914 0,913 0,915 0,914 0,917 0,916 0,915

Rata-rata 0,914 0,913 0,915 0,914 0,917 0,916 0,914

Putaran optik

1 -1,9 -1 -1,6 -2,07 -2,63 -3,07 -0,64

2 -1,86 -2,3 -2,8 -2,2 -3,2 -1,67 -0,96

Rata-rata -1,88 -1,65 -2,2 -2,14 -2,92 -2,37 -0,80

Kelarutan etanol 70%

1 1:7 1:7 1:7 1:8 1:8 1:9 1:7

2 1:7 1:7 1:8 1:8 1:8 1:8 1:7

Rata-rata 1:7 1:7 1:7,5 1:8 1:8 1:8,5 1:7

Indek bias

1 1,4656 1,4659 1,4676 1,4660 1,4682 1,4687 1,4675 2 1,4674 1,4670 1,4675 1,4671 1,4679 1,4671 1,4690

Rata-rata 1,4665 1,4665 1,4676 1,4666 1,4681 1,4679 1,4683

(51)

38

Lampiran 2 Hasil pengamatan sifat fisika-kimia minyak kayu putih dengan volume air penyulingan 4 liter

Volume air penyulingan 4 liter air penyulingan

Lama penyimpanan (hari) 1 2 3

Kontrol

Pengadukan daun Iya Tidak Iya Tidak Iya Tidak

Rendemen (%)

1 1,131 1,064 1,025 1,066 1,045 1,023 1,175

2 1,133 1,096 1,081 1,030 1,053 1,015 1,139

Rata-rata 1,132 1,080 1,053 1,048 1,049 1,019 1,157

Berat jenis

1 0,912 0,911 0,915 0,913 0,914 0,913 0,912

2 0,914 0,913 0,913 0,913 0,914 0,913 0,912

Rata-rata 0,913 0,912 0,914 0,913 0,914 0,913 0,912

Putaran optik

1 -1,97 -1,2 -2,7 -1,9 -2,7 -2,4 -0,33

2 -1,52 -1,3 -1,7 -2,3 -2,3 -2,3 -0,37

Rata-rata -1,75 -1,25 -2,2 -2,1 -2,5 -2,35 -0,35

Kelarutan etanol 70%

1 1:8 1:8 1:8 1:8 1:8 1:9 1:8

2 1:8 1:8 1:8 1:8 1:8 1:8 1:8

Rata-rata 1:8 1:8 1:8 1:8 1:8 1:8,5 1:8

Indek bias

1 1,4665 1,4658 1,4671 1,4654 1,4688 1,4667 1,4674 2 1,4659 1,4668 1,4671 1,4677 1,4673 1,4691 1,4678

Rata-rata 1,4662 1,4663 1,4671 1,4666 1,4681 1,4679 1,4676

(52)

Lampiran 3 Hasil pengamatan kadar air bahan

Volume air penyulingan 3 liter air penyulingan

Lama penyimpanan (hari) 1 2 3

Volume air penyulingan 4 liter air penyulingan

Lama penyimpanan (hari) 1 2 3

Lampiran 4 Hasil pengamatan suhu ketika penyimpanan bahan Penyimpanan daun untuk pemasakan dengan 3

liter air

(53)
(54)

Gambar

Tabel 3 Rendemen minyak kayu putih
Gambar 2 Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan
Tabel 6 Putaran optik minyak kayu putih
Gambar 4 Pengaruh lama penyimpanan daun dan volume air penyulingan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa minyak atsiri daun kayu putih mempunyai aktivitas antibakteri lebih tinggi dari pada minyak atsiri daun bawang putih anggur baik terhadap bakteri S..

penelitian Kumalaningsih dan Wijaya (1988) menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan bunga kenanga untuk disuling maka rendemen dan mutu minyak menurun dimana

2.1 bobot jenis nisbah bobot minyak kayu putih dengan bobot air suling yang sama volumenya pada suhu yang sama 2.2 indeks bias bilangan yang menunjukkan nisbah antara sinus sudut

Daya serap benzena arang aktif dari limbah daun dan ranting penyulingan minyak kayu putih berkisar antara 8,436 hingga 12,800%.Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa

khas kayu putih, bobot jenis yaitu 0,914, indeks bias yaitu 1,453 dan putaran optik yaitu (-) 4 0.. Kata Kunci : Minyak kayu putih ( Melaleuca leucadendra ), sifat

3.2 Blok Diagram Pembeda Air Dan Minyak Kayu Putih Dalam Proses Pengemasan Dari Tangki Hasil Penyulingan Minyak Kayu Putih Secara

penelitian Kumalaningsih dan Wijaya (1988) menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan bunga kenanga untuk disuling maka rendemen dan mutu minyak menurun dimana

Berikut hasil perhitungan neraca massa dari pra desain pabrik minyak kayu putih dengan kapasitas bahan baku daun sebesar 24.133 ton/tahun dapat menghasilkan minyak kayu