• Tidak ada hasil yang ditemukan

Methyl Bromide For Quarantine And Pre Shipment Reduction Strategies In Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Methyl Bromide For Quarantine And Pre Shipment Reduction Strategies In Indonesia"

Copied!
244
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGURANGAN PENGGUNAAN METIL

BROMIDA UNTUK KARANTINA DAN PRA PENGAPALAN

DI INDONESIA

ISMA NABERISA TARIGAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Strategi Pengurangan

Penggunaan Metil Bromida untuk Karantina dan Pra Pengapalan di Indonesia

adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing. Tesis ini belum pernah

diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi

lain. Semua sumber informasi yang digunakan dalam penulisan tesis ini telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka secara jelas dan

dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2012

(3)

ISMA NABERISA TARIGAN

. Methyl Bromide for Quarantine and Pre

Shipment Reduction Strategies in Indonesia

.

Supervised by

AKHMAD ARIF

AMIN, SRI MULATSIH

Since January 1st, 2008, government of Indonesia set the import and

consumption of methyl bromide, only for quarantine and pre shipment purposes.

This policy was a consequence of the ratification of the Vienna Convention and

Montreal Protocol by the government. The purposes of this study are: (1)

conducting a review of national policies related to methyl bromide and its

implementation, (2) conducting a requirement analysis of pesticides for

quarantine and preshipment purposes, (3) looking for a strategic priority setting

policy methyl bromide. This research was conducted in three cities: Jakarta,

Surabaya and Makassar, using primary and secondary data. This study used

descriptive analysis, trend analysis, and Analytical Hierarchy Process (AHP). The

resulted showed that

(1). Government policy sets ban on production, import

procedures, distribution and use, were not implemented properly; (2). The

Government was not successful to reduced methyl bromide consumption through

the policy of import quotas. Consumption showed an increasing trend from year

to year; (3). The most influence factor on policy was

fumigation’s company

compliance. A recommended policy strategy is developing monitoring systems of

methyl bromide presence which integrated from import, distribution, and use; and

coordinated only by one government agency.

(4)

ISMA NABERISA TARIGAN

.

Strategi Pengurangan Penggunaan Metil Bromida

untuk Karantina dan Pra Pengapalan di Indonesia. Dibimbing oleh: AKHMAD

ARIF AMIN, SRI MULATSIH

Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk mengatur impor dan

konsumsi metil bromida hanya untuk tujuan karantina dan pra pengapalan sejak 1

Januari 2008. Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Wina

dan Protokol Montreal yang ditetapkan pemerintah. Tujuan dari penelitian ini

adalah: (1) Menganalisis kebijakan nasional yang terkait dengan metil bromida

dan implementasinya, (2) Menganalisis kebutuhan pestisida untuk keperluan

karantina dan pra pengapalan, (3) Menyusun prioritas strategi kebijakan

pengaturan metil bromida.

Penelitian dilakukan di tiga kota yaitu Jakarta, Surabaya dan Makassar,

yang memiliki pelabuhan dengan volume ekspor impor tinggi dan merupakan

pelabuhan yang diizinkan untuk impor metil bromida menurut Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 38/M-DAG/PER/10/2010. Stakeholders yang terkait dengan

kebijakan pengaturan metil bromida adalah Kementerian Lingkungan Hidup,

Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian (Komisi Pestisida, Sub

Direktorat Pengawasan Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Prasarana dan

Sarana Pertanian/petugas pengawas pestisida, dan Badan Karantina Pertanian),

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pemegang nomor pendaftaran/importir

terdaftar, dan perusahaan fumigasi yang terdaftar di Badan Karantina Pertanian.

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, analisis trend, dan

Analytical

Hierarchy Process

(AHP).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa kebijakan pemerintah

inkonsisten dengan kebijakan sebelumnya bahkan inkonsisten dengan kebijakan

yang lebih tinggi. Pemerintah telah menetapkan kebijakan pembatasan konsumsi

metil bromida hanya untuk karantina dan pra pengapalan tetapi dalam

implementasinya masih terjadi penyimpangan, baik pada tahapan distribusi

maupun penggunaan.

(5)

Strategi kebijakan yang disarankan antara lain adalah: (a) Meningkatkan

pengawasan impor dan distribusi metil bromida secara terpadu, yang dapat

dicapai dengan menetapkan hanya satu institusi yang bertanggung jawab untuk

mengawasi dan mengkoordinasi instansi pemerintah yang terkait, membatasi

jumlah importir dan menetapkan persyaratan yang tegas bagi distributor. (b)

Meningkatkan koordinasi antar stakeholders terkait dalam menentukan kuota

nasional. Strategi penetapan kuota yang dilakukan dapat mengikuti skenario

Protokol Montreal tahun 2005 untuk negara berkembang atau skenario adaptasi

Protokol Montreal yaitu dengan menetapkan penurunan kuota 30% setiap tahun.

(c) Mengembangkan sistem informasi yang terpadu tentang ketersediaan

pestisida, peralatan dan pelatihan pestisida terbatas. Sistem informasi terpadu

yang disarankan adalah dengan membangun sistem informasi elektronik (website)

yang dapat diakses semua stakeholder terkait dan menerbitkan majalah/buletin.

(d) Melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas termasuk instansi terkait

bahwa penggunaan metil bromida selain untuk karantina dan pra pengapalan telah

dilarang serta telah tersedia pestisida pengganti. Pemerintah membuat kebijakan

untuk mendorong perusahaan fumigasi beralih ke pestisida pengganti/

menggunakan metode lain seperti menetapkan harga minimum metil bromida

serta memberikan insentif bagi importir pestisida pengganti dan peralatan

fumigasinya. Insentif dapat berupa menurunkan bea masuk pestisida pengganti

dan peralatan fumigasinya

Kata kunci: metil bromida, kebijakan, strategi,

Analytical Hierarchy Process

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak

merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

(7)

DI INDONESIA

ISMA NABERISA TARIGAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)
(10)

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

karena tidak ada sesuatu hal yang mustahil bagiNya. Mengikuti pendidikan

pascasarjana di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,

Institut Pertanian Bogor, adalah salah satu hal yang saya pintakan kepada Tuhan,

walau jalan berliku mulai dari tidak disetujuinya permohonan pengalihan

beasiswa tugas belajar yang saya dapatkan dari Kementerian Pertanian hingga

harus menunggu kurang lebih dua tahun untuk dibukanya program PSL S2 kelas

khusus.

Penelitian yang berjudul

“Strategi Pengurangan Penggunaan Pestisida

Metil Bromida untuk Karantina dan Pra P

engapalan di Indonesia”

,

bertujuan untuk melakukan kajian terhadap kebijakan nasional yang terkait

dengan metil bromida dan implementasinya, melakukan analisis kebutuhan

pestisida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan, dan mencari prioritas

strategi kebijakan pengaturan metil bromida. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Mei sampai dengan Desember 2011 di 3 kota besar di Indonesia yang memiliki

pelabuhan laut dengan volume ekspor/impor tinggi dan merupakan pelabuhan laut

yang diijinkan untuk impor metil bromida sesuai Peraturan Menteri Perdagangan

No. 38/M-DAG/PER/10/2010 yaitu Jakarta, Surabaya, dan Makassar.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu penelitian hingga penyusunan tesis ini:

1.

Bapak Dr. Drh. Akhmad Arif Amin selaku dosen pembimbing yang terus

menyemangati ketika saya merasa putus harapan, kesulitan dalam memperoleh

data-data;

2.

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr., selaku dosen pembimbing dengan ketegasan

dan kesabaran seorang ibu, memberikan bimbingan dan arahan untuk

perbaikan tesis ini;

3.

Ibu S. Sitepu - yang dengan caranya tersendiri memberikan doa dan dukungan

terhadap setiap tahap pendidikan yang saya tempuh;

4.

Sakti Simatupang - suami yang Tuhan berikan buat saya, atas pemakluman dan

kesabaran selama saya menempuh pendidikan;

5.

Anak-

anakku Flo dan Tessa, yang tetap suka cita walau bapaknya ”diculik”;

6.

Teman-teman Angkatan II Kelas Khusus PS-PSL IPB yang telah memberikan

dukungan dan semangat untuk lulus bersama;

7.

Teman-teman terkasih: Bapak Indro Sancoyo, Bapak Sholeh, Bapak Eka,

Mbak Endang dan Bapak Bahrum yang setiap saat bersedia memberikan

pertolongan;

8.

Seluruh narasumber dan responden dari instansi pemerintah, importir dan

(11)

dan pembuatan surat-surat yang diperlukan selama pendidikan dan tesis ini.

Akhir kata, saya berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan

manfaat bagi pejabat pembuat kebijakan dan pemerhati masalah kebijakan

pestisida dalam memperbaiki kebijakan yang sudah ada.

Bogor, Maret 2012

(12)

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 23 April 1970, sebagai anak

ketiga dari pasangan Bapak S. Tarigan (Alm) dan Ibu S. br Sitepu. Penulis

menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN No. 060914 Medan pada

tahun 1982, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Sunggal-Medan pada tahun

1985, dan selanjutnya menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 14

Medan. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi pada Fakultas Pertanian

Universitas Gadjah Mada pada tahun 1994. Sejak tahun 2002 hingga sekarang

penulis bekerja di Kementerian Pertanian.

(13)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN

... 1

1.1.

Latar Belakang

... 1

1.2.

Kerangka Pemikiran ... ... 3

1.3.

Perumusan Masalah ... 6

1.4.

Tujuan Penelitian

... 6

1.5.

Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Analisis Kebijakan ... 8

2.2. Fumigasi

... 9

2.2.1. Pestisida Metil Bromida

... 11

2.2.2. Pestisida Sulfuril Fluorida ... 12

2.2.3. Pestisida Fosfin

... 14

III.

METODE PENELITIAN

... 16

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 16

3.3.

Penentuan Sampel ... 16

3.4. Metode Analisis

... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1. Stakeholders terkait Kebijakan Pengaturan Metil Bromida

….

.

20

4.1.1.

Kementerian Lingkungan Hidup

... 21

4.1.2.

Kementerian Perdagangan

... 21

4.1.3.

Kementerian Pertanian

... 21

4.1.3.1.

Komisi Pestisida

... 21

4.1.3.2.

Sub Direktorat Pengawasan Pupuk dan Pestisida

Direktorat Prasarana dan Sarana Pertanian

(petugas pengawas pestisida)

... 22

4.1.3.3.

Badan Karantina Pertanian ... 23

4.1.4.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ... 23

4.1.5.

Perusahaan Fumigasi ... 23

4.1.6.

Pemegang Nomor Pendaftaran/Importir Terdaftar ... 25

(14)

ix

4.3.

Kebijakan Nasional Pengaturan Metil Bromida

... 27

4.3.1.

Kebijakan Pengadaan Metil Bromida

... 27

4.3.2.

Kebijakan Penyaluran (Distribusi) Metil Bromida ... 30

4.3.3.

Kebijakan Penggunaan Metil Bromida

... 32

4.3.4.

Kebijakan Pengawasan Metil Bromida

... 34

4.3.5.

Kebijakan Penurunan Kuota Impor Metil Bromida ... 37

4.4.

Analisis Kebutuhan Metil Bromida ... ... 42

4.5.

Implementasi Kebijakan Pengaturan Metil Bromida ... 47

4.6.

Analisis Pemilihan Pestisida Fumigasi untuk Keperluan

Karantina dan pra Pengapalan ... ... 51

4.7.

Prioritas Strategi yang mempengaruhi Pengaturan

Metil Bromida ... ... 53

V. KESIMPULAN

... 60

5.1. Kesimpulan

... 60

5.2. Saran ... ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(15)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Metil bromida yang terdaftar di Indonesia ... 12

2 Jenis, metode pengumpulan data dan analisis data

berdasarkan tujuan penelitian .... ... 18

3 Konsumsi metil bromida untuk keperluan non karantina

dan pra pengapalan negara ASEAN dan Amerika Serikat ... 33

4 Konsumsi metil bromida untuk keperluan karantina dan

pra pengapalan negara ASEAN dan Amerika Serikat ... ... 43

(16)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Kerangka pemikiran penelitian ... 6

2

Rata-rata penggunaan pestisida fumigasi oleh responden ...

24

3

Kekuatan dan kendala internal perusahaan fumigasi untuk beralih

ke pestisida pengganti ... ...

24

4

Kendala dan peluang eksternal perusahaan fumigasi untuk beralih

ke pestisida pengganti ... ...

25

5

Impor dan distribusi metil bromida ... ... 32

6

Mekanisme pengawasan impor, distribusi, dan penggunaan

metil bromida ... 36

7

Kuota, realisasi impor dan konsumsi metil bromida ... 39

8

Jumlah metil bromida yang terdaftar ...

40

9

Volume impor metil bromida dari beberapa negara ...

41

10 Fluktuasi harga metil bromida ...

41

11 Harga metil bromida dari beberapa negara ...

42

12 Analisis trend konsumsi metil bromida untuk karantina dan

pra pengapalan...

44

13 Estimasi konsumsi dan strategi penurunan kuota skenario Protokol

Montreal

………..

... 45

14 Estimasi konsumsi dan strategi penurunan kuota skenario adaptasi

Protokol Montreal

….

...

46

15 Estimasi konsumsi dan strategi penurunan kuota skenario kebutuhan

minimum

...

47

16 Tahapan persiapan fumigasi gerbong kereta Nusantara dengan

metil bromida ...

49

(17)

xii

18 Faktor yang mempengaruhi perusahaan fumigasi dalam memilih

pestisida fumigasi. ...

52

19 Peringkat pestisida fumigasi yang dipilih perusahaan fumigasi. ...

52

20 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi kepatuhan perusahaan

fumigasi. ... 54

21 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi pengawasan impor,

distribusi, penggunaan dan pemberian sanksi yang tegas ...

54

22 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi penetapan batas waktu

penghapusan yang tegas. ...

55

23 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi waktu pemaparan

pestisida pengganti. ...

56

24 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi harga pestisida pengganti. ...

57

25 Nilai bobot aktor yang mempengaruhi ketersediaan dana

perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti. ...

58

(18)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Daftar responden pemegang nomor pendaftaran/ importir

terdaftar metil bromida

... 65

2 Daftar responden perusahaan fumigasi ... 66

3 Rekapitulasi jawaban responden atas kuesioner identifikasi faktor

internal dan eksternal yang mempengaruhi upaya pengurangan

konsumsi metil bromida ... 67

4 Kebijakan pemerintah terkait pengaturan metil bromida ... 76

5 Data impor metil bromida tahun 2006

2011 ... 88

6 Perkiraan konsumsi metil bromida tahun 2012

2015 ... 102

7 Data impor fosfin tahun 2009

2011 ... 103

8 Rekapitulasi jawaban responden atas kuesioner

Analitycal

Hierarchy Process

(AHP) ... 106

(19)

1.1. Latar Belakang

Beberapa dekade belakangan ini dilaporkan bahwa telah terjadi penipisan lapisan ozon di Antartika dan fenomena penipisan lapisan ozon ini tampaknya semakin meluas akibat semakin meningkatnya konsumsi bahan-bahan kimia perusak lapisan ozon. Kerusakan pada ozon diketahui dapat menimbulkan beberapa dampak negatif, seperti resiko tinggi terkena penyakit kanker kulit, katarak mata, dan menurunnya kekebalan tubuh pada manusia. Bahaya lainnya adalah bagi kehidupan pada ekosistem laut karena menurunnya produksi fitoplankton, terganggunya proses fisiologis dan perkembangan tumbuhan, serta tidak stabilnya suhu permukaan bumi. Bahan kimia yang mengandung klor dan brom merupakan bahan kimia perusak ozon yang utama. Beberapa jenis bahan kimia yang merupakan bahan perusak lapisan ozon (BPO) antara lain CFC (freon) dan isomernya, halon (halon-211, halon-1301, halon-2402), karbon tetraklorida (CCl4), metil kloroform (1,1,1-trikloroetana), HCFC (freon) dan

isomernya, hidrobromo fluoro karbon HBFC-22B1 dan isomernya, bromo kloro metana (CH2BrCl) serta metil bromida (CH3Br). Menurut hasil penelitian Fabian

dan Singh (1999), satu atom Cl dapat menguraikan sampai 100.000 molekul ozon dan bertahan 40-150 tahun di atmosfer. Fabian dan Singh melaporkan keberadaan gas bromin (CH3Br, CH2Br2 dan CHBr3) sangat sedikit di atmosfer, tetapi

kerusakan ozon yang diakibatkan gas bromin lima puluh kali lebih tinggi dibandingkan gas klorin.

(20)

beberapa amandemen, yaitu: Amandemen London (1990), Amandemen Kopenhagen (1992), Amandemen Montreal (1997), Amandemen Beijing (1999), dan Amandemen Montreal (2007).

Kebijakan pertama yang ditetapkan oleh pemerintah untuk ikut berpartisipasi mengurangi kerusakan lapisan ozon adalah Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer dan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. Kebijakan pemerintah selanjutnya terkait dengan kerja sama internasional dalam mendukung perlindungan lapisan ozon, yaitu:

1. Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun 1998 tentang Pengesahan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, Copenhagen 1992. Pemerintah menyetujui untuk mengatur konsumsi metil bromida, sehingga konsumsi metil bromida tidak melebihi konsumsi tahun 1991 (Artikel 2H, Amandemen Kopenhagen) dan melarang impor metil bromida dari negara yang tidak meratifikasi Amandemen Kopenhagen (Artikel 4, Amandemen Kopenhagen).

2. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2005 tentang Pengesahan Montreal Amendment to the Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2005 antara lain menyatakan bahwa Indonesia perlu mengembangkan sistem perizinan dalam rangka pengawasan dan pengendalian impor dan perdagangan untuk mencegah perdagangan ilegal BPO, Indonesia masih memerlukan metil bromida untuk keperluan di gudang, karantina dan pra pengapalan serta importasi hanya dapat dilakukan dari negara yang telah mengesahkan Amandemen Protokol Montreal.

(21)

Kebijakan pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikan impor BPO khususnya metil bromida diamanatkan melalui beberapa peraturan, antara lain: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan

Berbahaya dan Beracun. Metil bromida digolongkan dalam bahan berbahaya dan beracun (B3) yang terbatas digunakan (bahan berbahaya dan beracun yang dibatasi penggunaan, impor dan atau produksinya).

2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon. Metil bromida hanya dapat diimpor ke wilayah pabean Indonesia sampai dengan 31 Desember 2007 melalui pelabuhan Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Mas, Tanjung Perak, Sukarno Hatta, dan pelabuhan Merak. Pelaksanaan impor metil bromida (jumlah yang akan diimpor dan pelabuhan tujuan) harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri.

3. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/M-Ind/Per/4/2007 tentang Larangan Memproduksi Bahan Perusak Lapisan Ozon serta Memproduksi Barang yang Menggunakan Bahan Perusak Ozon. Pengadaan metil bromida di Indonesia hanya melalui impor dan tidak boleh diproduksi di Indonesia.

4. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra Pengapalan. Sejak 1 Januari 2008, impor dan konsumsi metil bromida hanya untuk keperluan karantina (untuk mencegah masuk, menetap dan atau menyebarnya hama karantina) dan pra pengapalan (tindakan fumigasi untuk produk yang akan diekspor dalam jangka waktu paling lama 21 hari sebelum diekspor untuk memenuhi ketentuan dan atau pemintaan resmi dari negara pengimpor).

1.2. Kerangka Pemikiran

(22)

bertahap, Pemerintah Indonesia menetapkan beberapa kebijakan untuk mengatur pengadaan (impor), penyaluran (distribusi), dan penggunaan metil bromida. Pemerintah menetapkan bahwa pengadaan metil bromida di Indonesia hanya melalui impor, sedangkan penyaluran dan penggunaan metil bromida harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Permendag No. 24 Tahun 2006 Pasal 10). Pemerintah melarang penggunaan metil bromida selain untuk keperluan karantina dan pra pengapalan sejak tahun 2008 dan menurunkan konsumsi metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan secara bertahap.

Pestisida yang yang ideal sebagai pestisida fumigasi harus memiliki ciri-ciri: sangat beracun terhadap hama sasaran, tidak beracun terhadap tanaman dan vertebrata (termasuk manusia), murah, mudah digunakan, tidak berbahaya bagi makanan dan komoditas, tidak mudah meledak, tidak mudah terbakar, larut dalam air, tidak persisten, mudah dan cepat berdifusi menembus komoditas, stabil dalam keadaan gas, serta mudah terdeteksi oleh indera manusia. Data Kementerian Pertanian (2011) terdapat 27 pestisida yang terdaftar dan memperoleh izin Menteri Pertanian untuk keperluan fumigasi yaitu: 9 pestisida berbahan aktif metil bromida, 13 pestisida berbahan aktif alumunium fosfida, 3 pestisida berbahan aktif magnesium fosfida, 1 pestisida berbahan aktif sulfuril fluorida, dan 1 pestisida berbahan aktif fosfin. Setiap pestisida mempunyai kelebihan dan kelemahan tersendiri, namun sampai saat ini metil bromida merupakan pestisida yang paling diminati dan perusahaan fumigasi enggan beralih ke pestisida pengganti. Metil bromida mempunyai kelebihan waktu pemaparan singkat (24 jam), daya penetrasi tinggi, kelarutan dalam air rendah sehingga relatif tidak meninggalkan residu, serta mempunyai bahan pendeteksi, namun merupakan BPO dan bersifat korosif terhadap logam tertentu. Sementara pestisida pengganti metil bromida, yaitu fosfin dan sulfuril fluorida mempunyai kelebihan dan kelemahan: 1. Pestisida fosfin bersifat mudah terbakar, korosif, kurang efektif pada suhu

(23)

2. Pestisida sulfuril fluorida mempunyai daya penetrasi tinggi, waktu pemaparan singkat (24 jam), kelarutan dalam air rendah sehingga relatif tidak meninggalkan residu, tidak bersifat korosif, bukan merupakan BPO, dapat digunakan pada komoditas yang tidak dapat difumigasi dengan metil bromida, namun kurang efektif mengendalikan hama pada fase telur dan tidak mempunyai bahan pendeteksi.

Meskipun pestisida pengganti telah tersedia dan pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan menghapus konsumsimetil bromidaselain untuk keperluan karantina dan pra pengapalan serta menurunkan kuota untuk keperluan

karantina dan pra pengapalan secara bertahap, namun kuota impor metil bromida setiap tahun tidak menunjukkan penurunan yang menyakinkan. Kebijakan penghapusan konsumsi metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan tidak maksimal tanpa pengawasan dan sanksi yang tegas, sedangkan penurunan kuota disinyalir akan menyebabkan berkurangnya metil bromida yang tersedia di pasaran dan memicu impor ilegal. Danim (2005) menyatakan bahwa kebijakan yang dibuat tanpa dukungan informasi/data lapangan, akan tidak efektif bahkan dapat menyebabkan masalah yang lebih besar. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis kebijakan pengaturan yang ada, mengetahui kebutuhan pestisida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan, dan mengetahui gambaran implementasi kebijakan pengaturan metil bromida, sehingga dapat diketahui prioritas strategi kebijakan pengaturan metil bromida.

Formatted: Font: (Default) Times New Roman, Finnish

Formatted: Font: (Default) Times New Roman, Finnish

Formatted: Font: (Default) Times New Roman, Finnish

Formatted: Font: (Default) Times New Roman, Finnish

Formatted: Font: (Default) Times New Roman, Finnish

Formatted: Font: (Default) Times New Roman, Finnish

(24)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

1.3. Perumusan Masalah

Masalah-masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah kebijakan terkait metil bromida yang ada sudah memadai dan sudah

terimplementasi dengan baik?

2. Apakah pestisida yang tersedia mencukupi kebutuhan nasional untuk keperluan karantina dan pra pengapalan?

3. Bagaimana strategi pengaturan metil bromida?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kebijakan nasional yang terkait dengan metil bromida dan implementasinya.

2. Menganalisis kebutuhan pestisida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan.

3. Menyusun prioritas strategi kebijakan pengaturan metil bromida.

Ketersediaan pestisida pengganti

Sikap stakeholder Kebijakan pengaturan metil bromida di Indonesia

Karantina dan pra pengapalan

Penurunan kuota impor secara bertahap

Non karantina dan pra pengapalan

Penghapusan konsumsi Tahun 2008

Analytical Hierarchy Process

Analisis trend Analisis kebijakan

Rekomendasi prioritas strategi

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow, Bold

Formatted: Centered, Indent: First line: 0 cm, Line spacing: single

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow, Bold

Formatted: Italian (Italy)

Formatted: Font: Bold, Italian (Italy)

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow

Formatted: Italian (Italy)

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow, 11 pt, Bold

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow, 11 pt, Finnish

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow, 11 pt, Finnish

Formatted: Italian (Italy)

Formatted: Centered

Formatted: Finnish

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow, 12 pt, Not Bold, Finnish

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow, Finnish

Formatted: Finnish

Formatted: Centered

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow, 12 pt, Not Bold, Finnish

Formatted: Font: (Default) Arial Narrow, Finnish

Formatted: Finnish

(25)

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai:

1. Informasi tentang kebijakan pengaturan metil bromida secara menyeluruh. 2. Informasi mengenai kebutuhan nasional akan pestisida untuk keperluan

karantina dan pra pengapalan.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Analisis Kebijakan

Penelitian kebijakan merupakan proses penyelenggaraan penelitian untuk mendukung kebijakan atau análisis terhadap masalah-masalah sosial yang bersifat fundamental untuk membantu pengambil kebijakan dalam memecahkan masalah dengan cara menyediakan rekomendasi (Majchrzak 1984, diacu dalam Danim 2005). Dunn (2008) mendefinisikan analisis kebijakan sebagai suatu proses penelitian multi disiplin yang ditujukan untuk menciptakan, menilai secara kritis, dan mengkomunikasikan informasi yang berguna untuk memahami dan memperbaiki kebijakan. Analisis kebijakan berawal dari lima pertanyaan tentang suatu kebijakan: (1) Apakah hakekat pertanyaan yang sedang dicari solusinya?; (2) Apakah aksi yang harus dipilih untuk menyelesaikan permasalahan?; (3) Apakah hasil yang didapat dengan memilih aksi penyelesaian tersebut?; (4) Apakah dengan mencapai hasil-hasil tersebut dapat menyelesaikan masalah?; (5) Apakah hasil yang diharapkan jika alternatif aksi lain yang dipilih? Selanjutnya Dunn (2008) menyebutkan bahwa 5 pertanyaan mengenai analisis kebijakan tersebut membutuhkan 5 tipe informasi, yaitu:

1. Masalah-masalah kebijakan (policy problems) merupakan informasi mengenai masalah-masalah kebijakan, termasuk nilai atau kesempatan yang pencapaiannya dapat menghantar kepada penyelesaian masalah. Informasi mengenai masalah kebijakan mempunyai peranan yang sangat penting di dalam análisis kebijakan, karena dapat mencegah kesalahan pada saat analisis memecahkan permasalahan.

(27)

3. Solusi kebijakan (preferred policies) merupakan solusi potensial atas sebuah masalah, yang diperoleh dari informasi tentang hasil-hasil kebijakan yang diharapkan.

4. Hasil kebijakan (observed policy outcomes) merupakan konsekuensi dari pelaksanaan solusi kebijakan yang diterapkan, tetapi kadang-kadang tidak jelas apakah suatu hasil merupakan pengaruh dari suatu kebijakan, karena suatu hasil dapat merupakan konsekuensi dari hasil atau faktor lain.

5. Kinerja kebijakan (policy performance) merupakan informasi yang dapat memberikan kontribusi terhadap penilaian hasil kebijakan.

2.2. Fumigasi

Fumigasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah penyebaran organisme pengganggu dari suatu daerah ke daerah lain terhadap suatu komoditi dengan menggunakan pestisida berbentuk padat atau cair yang akan berubah bentuk menjadi gas pada suhu dan tekanan tertentu. Fumigasi merupakan salah satu persyaratan ekspor sesuai dengan ketentuan International Plant Protection Convention (IPPC), dimana setiap negara mempunyai hak untuk melakukan pencegahan penyebaran organisma pengganggu ke wilayahnya. Pestisida yang yang ideal sebagai fumigasi harus memiliki ciri-ciri antara lain: sangat beracun terhadap hama sasaran, tidak beracun untuk tanaman dan vertebrata (termasuk manusia), mudah diaplikasikan, tidak berbahaya bagi makanan dan komoditas, murah, tidak mudah meledak, tidak mudah terbakar, larut dalam air, tidak persisten, mudah dan cepat berdifusi menembus komoditas, stabil dalam keadaan gas (tidak akan mengembun menjadi cairan), serta mudah terdeteksi oleh indera manusia.

(28)

nematoda, dan tikus, akan tetapi metil bromida merupakan fumigan yang merusak lapisan ozon pada lapisan stratosfer (Marriott dan Schilling 2004, diacu dalam Sekhon 2010).

Metil bromida dikategorikan sebagai BPO pada tahun 1992, dan penggunaannya diatur secara ketat dalam Protokol Montreal. Penggunaan metil bromida harus dikurangi secara bertahap sehingga diharapkan semua negara tidak lagi menggunakan metil bromida (phase out) pada tahun 2015 kecuali untuk keperluan karantina dan pra pengapalan. EPA (1995) memberikan critical use exemption (CUE) untuk penggunaan pasca panen seperti food processing dan komoditas dalam penyimpanan sampai alternatif pengganti ditemukan.

Ren et al. (2011) melakukan evaluasi terhadap beberapa alternatifpengganti metil bromida pada kayu pinus. Kayu pinus yang difumigasi (10 x 10 x 30 cm) dengan metil bromida dan sulfuril fluorida masing-masing dengan dosis 48 mg/l serta fosfin dengan dosis 1 mg/l selama 48 jam menunjukkan bahwa kayu pinus menyerap 70% metil bromida, 35% sulfuril fluorida, dan 25% fosfin. Dari hasil penelitian tersebut, Ren et al. menyimpulkan bahwa sulfuril fluorida dan fosfin dapat digunakan sebagai alternatif pengganti metil bromida yang cukup efektif. Yu et al. (2010) melaporkan hasil pengujian fumigasi sulfuril fluorida terhadap bambu yang akan diekspor dari China ke Amerika Serikat dengan dosis 96 g/m3 pada 15,9 °C, 80 g/m3 pada 21,5 °C, dan 64 g/m3 pada 26 °C selama 24 jam. Sebanyak 2424 larva, 90 kepompong, dan semua kumbang dewasa Chlorophorus annularis mati. Penelitian lain yang dilakukan terhadap kemasan kayu yang terserang kumbang Anoplophora glabripennis menunjukkan bahwa larva dan kepompong A.glabripennis dapat dikendalikan dengan sulfuril fluorida dosis 104 g/m3 pada suhu 15,6 °C selama 24 jam paparan (Barak et al. 2006).

(29)

2.2.1. Pestisida Metil Bromida

Pestisida metil bromida atau bromometana diidentifikasi berdasarkan Nomor Chemical Abstracts Service (No. CAS )74-83-9 atau Harmonized System Code (HS Code) 2903.39.00.00. Metil bromida merupakan bahan kimia organik yang diproduksi secara alamiah oleh pembakaran biomassa di laut mati dan bahan kimia yang merupakan buatan manusia (Singh dan Fabian 1999). Metil bromida merupakan gas halogen yang bereaksi sangat reaktif dengan molekul-molekul gas lainnya ketika berada di lapisan stratosfer. Metil bromida akan mengalami penguraian oleh sinar ultra vilolet dan menyebabkan lepasnya atom brom yang reaktif, selanjutnya atom brom ini akan bereaksi dengan ozon membentuk brom monoksida (BrO) yang juga bersifat sangat reaktif. Brom monoksida dan atom brom inilah yang secara berulang-ulang akan bereaksi dengan ozon atau oksigen sehingga terjadi reaksi penguraian ozon secara terus menerus. Reaksi kimia seperti inilah yang menyebabkan menurunnya jumlah molekul ozon di lapisan stratosfer (Fahey 2007). Kerusakan pada ozon diketahui dapat menimbulkan beberapa dampak negatif, seperti resiko tinggi terkena penyakit kanker kulit melanoma, meningkatkan kasus katarak dan kerusakan mata, kulit terbakar matahari, dan menurunnya kekebalan tubuh pada manusia. Bahaya lainnya bagi adalah terganggunya kehidupan pada ekosistem laut karena menurunnya jumlah fitoplankton, terganggunya proses fisiologis dan perkembangan tumbuhan terutama pada tanaman hortikultura, menurunnya kapasitas produksi tanaman serta terjadinya perubahan iklim atau meningkatnya suhu permukaan bumi. Kontribusi metil bromida terhadap perubahan iklim cukup signifikan tetapi cukup kecil dibanding kontribusi gas rumah kaca lainnya (Fahey 2007).

Metil bromida sangat beracun bagi manusia karena dapat menyebabkan mata dan kulit terbakar (BPCP 2004). Toksisitas akut inhalasi metil bromida (LC50) pada tikus = 3,03 mg/l (Kato et al 1986, diacu dalam BPCP 2004), tetapi

Duafala dan Gillis (1999) menyatakan tingkat paparan inhalasi metil bromida 5 mg/m3 menyebabkan luka pada epitel penciuman pada rongga pernafasan tikus.

(30)

yang luas, waktu fumigasi lebih singkat, dan daya penetrasi tinggi (UNEP 1998), kelarutan dalam air rendah sehingga relatif tidak meninggalkan residu, serta tidak bersifat korosif terhadap logam. Namun demikian metil bromida merupakan salah satu bahan kimia yang dilaporkan dapat merusak lapisan ozon.

Formulasi pestisida metil bromida mengandung 98% bahan aktif metil bromida dan 2% kloropikrin yang berfungsi sebagai bahan pendeteksi adanya kebocoran ketika melakukan fumigasi. Pestisida metil bromida berbentuk gas cair yang dikemas dalam tabung silinder yang terbuat dari baja dengan ukuran 20 kg dan 50 kg. Pada kemasan dilengkapi dengan label yang berisi keterangan mengenai nama dagang, kandungan bahan aktif, pemegang nomor pendaftaran/importir, nomor pendaftaran, dan kalimat peringatan ”hanya boleh digunakan oleh pengguna yang telah terlatih dan bersertifikat serta hanya

digunakan untuk keperluan karantina dan pra pengapalan”. Pestisida metil

bromida yang terdaftar dan memperoleh izin Menteri Pertanian seperti tersebut pada Tabel 1.

Tabel 1 Pestisida metil bromida yang terdaftar di Indonesia

No Nama Dagang Pemegang Nomor Pendaftaran Alamat

1 Biometh 98 LG PT Biotek Sarana Industri Gd. I BPPT Lt. 15-26 Jl. MH Thamrin No. 8, Jakarta 2 Dupibrom 98 LG PT Dua Pilar Ruko Niaga BSD City Sektor IV/63

Kel.Lengkong Wetan, Jakarta 3 H-Brom 98 LG PT Harmed Wiguna Selatan 9/12 Tambak,

Gunung Anyar, Surabaya 4 Mebrom 98 LG PT Grasse Arum Lestari Taman Kebun Jeruk , Blok A3/12

Jakarta

5 Metabrom 98 LG PT Asomindo Raya Jl. Tebet Raya No. 11 A Jakarta

6

7

Metil-Gas 98 LG

Puskobrom 98 LG

PT Yanno Agro Science Indonesia

PT Puskopal Jakarta

Jl. Pahlawan Seribu Serpong Tangerang

Jl. Tabah Raya Komplek TNI AL Sunter, Jakarta

8 Sinobrom 98 LG PT Kirana Ekanusa Chemindo

Jl. Gunung Sahari Raya No. 5A Jakarta

9 Sobbrom 98 LG PT Anugerahkimia Ariwidya Jl. P. Jayakarta 73A Blok B. 1/8 Jakarta

Sumber: Kementerian Pertanian 2011

(31)

berlemak, produk dari kulit, woll, produk jadi dari bahan yang berminyak, produk dari karet, vinil, lukisan minyak, produk asal tulang, bulu hewan, bulu burung, arang batu bara bentuk padat, cat berbasis sulfur, bahan kimia fotografi, kertas, kertas kaca tipis, kemasan polystyrene, bibit dan benih tanaman, bunga potong, artefak, batu yang mengandung kadar air tinggi, dan logam tertentu (seng, aluminium, perak, emas, kuningan). Pestisida alternatif yang dapat digunakan untuk fumigasi produk tersebut adalah pestisida sulfuril fluorida atau fosfin.

2.2. 2. Pestisida Sulfuril Fluorida

Pestisida sulfuril fluorida merupakan gas tidak berbau, tidak berwarna, tidak menyebabkan iritasi mata, dan tidak mengandung bahan lain yang berfungsi sebagai bahan pendeteksi (EPA 1985). Di Amerika Serikat, pestisida sulfuril fluorida ditambahkan kloropikrin yang merupakan gas yang menyebabkan iritasi mata dan iritasi saluran pernafasan. Pestisida sulfuril fluorida di dunia diproduksi oleh 3 perusahaan besar dunia yaitu Dow AgroSciences (Vikane dan Profume), EnSystex of North Carolina (Zytho), dan Drexel Chemical Company (Master Fume). Sulfuril fluorida disimpan dalam kemasan silinder baja dengan ukuran 10 kg, 40 kg, dan 80 kg.

Pestisida sulfuril fluorida merupakan gas rumah kaca yang dapat bertahan di atmosfer sekitar 36 tahun. Muhle (2011) menemukan bahwa konsentrasi gas sulfuril fluorida meningkat 4-6% per tahun antara tahun 1978 dan 2007. Muhle menghitung bahwa satu kilogram sulfuril fluorida yang dipancarkan ke atmosfer memiliki potensi pemanasan global sekitar 4.800 kali lebih besar dari satu kilogram karbon dioksida. Namun, jumlah sulfuril fluorida yang dilepaskan ke atmosfer (sekitar 2000 MT/tahun) jauh lebih rendah dibandingkan dengan karbon dioksida (sekitar 30 miliar MT/tahun).

(32)

mg/m3). Tikus yang diuji dengan paparan sampai 333,60 mg/m3 tidak ditemukan adanya efek karsinogenetik (APVMA 2007).

Sulfuril fluorida umumnya sangat beracun untuk semua tahap postembromidayonic serangga (Kenaga 1957; Bond dan Monro 1961, diacu dalam HSDB 1991). Outram 1967, diacu dalam HDSB 1991 melaporkan telur dari banyak spesies serangga sangat resisten terhadap sulfuril fluorida dan mempunyai efek racun akut bagi manusia. Hal ini kemungkinan disebabkan sulfuril fluorida sangat cepat teraerasi dan apabila terhirup, efek toksisitas sulfuril fluorida sama dengan metil bromida.

EPA (2004) melaporkan bahwa fumigasi produk makanan dengan sulfuril fluorida memungkinkan produk makanan mengandung residu dalam kadar yang tidak aman dan dapat mempengaruhi kualitas produk, karena ion fluorida dapat terikat pada protein dan lemak. Sementara itu APVMA (2007) melaporkan sulfuril fluorida akan berubah menjadi sulfat dan fluorida jika kontak dengan protein, sehingga fumigasi bahan makanan yang mengandung protein tinggi harus mempertimbangkan kemungkinan adanya residu.

2.2.3. Pestisida Fosfin

Pestisida fosfin diidentifikasi berdasarkan No. CAS 20859-73-8 atau HS Code 3808.501.900. Fosfin sangat beracun terhadap semua bentuk kehidupan hewan, oleh karena itu paparan terhadap manusia bahkan untuk jumlah sedikit harus dihindari. Keracunan dapat terjadi akibat tertelan atau menghirup gas. Fosfin pada konsentrasi 2,8 mg/l, dapat mematikan manusia dalam waktu yang sangat singkat (Flury dan Zernik 1931, diacu dalam HSDB 1999). Nilai ambang batas yang ditetapkan untuk petugas fumigasi yang bekerja 40 jam/minggu sebesar 0,3 ppm.

(33)
(34)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga kota yaitu Jakarta (Pelabuhan Tanjung Priok), Surabaya (Pelabuhan Tanjung Perak), dan Makassar (Pelabuhan Sukarno Hatta). Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan pada kota yang memiliki pelabuhan dengan volume ekspor impor tinggi dan merupakan pelabuhan yang diizinkan untuk impor metil bromida menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 38/M-DAG/PER/10/2010.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Desember tahun 2011. Tahapan penelitian meliputi persiapan penelitian, inventarisasi kebijakan pengaturan metil bromida, pengumpulan data primer dan sekunder, analisis dan interpretasi data serta penulisan tesis.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah review dokumen, survey (wawancara dengan kuesioner terstruktur terhadap stakeholders terkait) dan observasi langsung ke lapangan. Stakeholders yang terkait dalam implementasi kebijakan pengaturan metil bromida adalah Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian (Komisi Pestisida, Sub Direktorat Pengawasan Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian/petugas pengawas pestisida, dan Badan Karantina Pertanian), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pemegang nomor pendaftaran/importir terdaftar, dan perusahaan fumigasi terdaftar. Untuk selanjutnya pemegang nomor pendaftaran disebut sebagai importir dan perusahaan fumigasi terdaftar disebut sebagai perusahaan fumigasi.

3.3.Penentuan Sampel

(35)

yang terlibat secara langsung dalam kebijakan pengaturan metil bromida, baik keterlibatan dalam pembuatan kebijakan maupun stakeholders yang terkena dampak kebijakan pengaturan metil bromida.

Responden dari instansi pemerintah dipilih dengan kriteria pejabat/staf yang menangani tugas yang berkaitan langsung dengan metil bromida minimal 2 tahun. Responden dari importir metil bromida seperti disajikan pada Lampiran 1, dipilih empat importir dengan kriteria merupakan importir terdaftar > 2 tahun, dengan perincian 1 importir baru (> 2 tahun ) dan 3 importir lama (> 5 tahun). Responden dari pengguna dipilih sebanyak 10% dari perusahaan fumigasi yang terdaftar di Badan Karantina Pertanian, dengan perincian 3 perusahaan fumigasi di Makassar, 2 perusahaan fumigasi di Jakarta, dan 5 perusahaan fumigasi di Surabaya (Lampiran 2).

3.4. Metode Analisis

(36)

Tabel 2 Jenis, metode pengumpulan data dan analisis data berdasarkan tujuan penelitian

Tujuan Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengumpulan

Data

Analisis Data Output

Menganalisis semua kebijakan terkait metil bromida dan implementasinya Data primer/sekunder: Peraturan terkait kebijakan pengaturan metil bromida

Penelusuran dokumen; wawancara mendalam Deskriptif: Analisis isi dan implementasi kebijakan Deskripsi implementasi kebijakan pengaturan metil bromida Menganalisis kebutuhan pestisida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan

Data primer/sekunder - Data konsumsi metil bromida (UNEP) - Data impor metil Bromida (Bea dan Cukai/BPS)

- Data impor (Bea dan Cukai/BPS)

- Daftar perusahaan fumigasi terdaftar (Barantan) Penelusuran dokumen Analisis Statistik: Analisis trend konsumsi metil bromida Deskripsi kebutuhan metil bromida serta estimasi kebutuhan metil bromida tahun 2012-2015 Menyusun prioritas strategi kebijakan pengaturan metil bromida (penurunan kuota metil bromida) Sikap stakeholders terhadap kebijakan pengaturan metil bromida (penurunan kuota metil bromida)

[image:36.595.90.474.136.804.2]
(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Metil bromida pertama kali terdaftar di Indonesia pada tahun 1973 dengan nama dagang Metabrom 980 atas nama PT Asomindo Raya (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 280/Kpts/Um/6/1973). Perkembangan pendaftaran metil bromida berikutnya relatif lamban dibanding pestisida lainnya yaitu:

a. Methyl Bromida atas nama PT Lindoteves Indonesia (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 437/Kpts/Um/11/75).

b. Brom-O-Gas atas nama NV Pancaratna (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 321/Kpts/UM/5/1978).

c. Methybrom atas nama Perwakilan Sumitomo Corporation (Keputusan Menteri Pertanian 85/Kpts/UM/2/1980).

Pada tahun 1994, Menteri Pertanian menetapkan pembatasan penggunaan dan izin metil bromida. Berdasarkan pertimbangan Komisi Pestisida (surat Ketua Komisi Pestisida Nomor 3/Kompes/94), Menteri Pertanian memutuskan untuk tidak menerima lagi permohonan pendaftaran, mengurangi penggunaan secara bertahap, dan menghentikan penggunaan metil bromida pada tahun 1997 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 322/Kpts/TP.270/4/94). Dampak dari kebijakan tersebut, selama 8 tahun tidak ada permohonan pendaftaran metil bromida.

(38)

pemberian izin sementara bagi semua permohonan metil bromida. Pemberian izin sementara untuk metil bromida (Pasal 49) bertentangan dengan Pasal 13 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 24/Permentan/SR.140/4/2011 tentang Syarat dan

Tatacara Pendaftaran Pestisida. Kebijakan ”setengah hati” seperti ini, dimana

terdapat perbedaan kebijakan antara satu pestisida dengan pestisida lain, merugikan importir, karena izin sementara hanya berlaku selama 1 tahun dan importir mempunyai kewajiban untuk melakukan pendaftaran ulang paling lambat 90 hari kerja sebelum masa izin berakhir. Hasil wawancara dengan responden importir, 100% responden menyatakan keberatan dengan sistem perizinan yang membedakan status izin metil bromida dengan pestisida berbahan aktif lain, terlebih waktu yang diperlukan importir untuk proses perizinan/rekomendasi impor metil bromida sekitar 4 - 6 bulan, sehingga waktu efektif untuk impor metil bromida hanya 6 - 8 bulan.

Metil bromida yang terdaftar tahun 1975-2004 adalah untuk mengendalikan hama gudang/penyimpanan hasil pertanian, tetapi sejak tahun 2005, pemegang nomor pendaftaran metil bromida, mendaftarkan produknya untuk mengendalikan serangga Tribolium castaneum pada karantina dan pra pengapalan. Pestisida Mebrom 98 LG (RI.1505/11-2002/S) yang terdaftar tahun 1978 untuk penggunaan pada penyimpanan hasil pertanian, organisme sasaran dan bidang penggunaannya berubah menjadi serangga Tribolium castaneum pada karantina dan pra pengapalan, walaupun belum melampirkan hasil pengujian (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 518/Kpts/SR.140/9/2007).

4.1. Stakeholders terkait Kebijakan Pengaturan Metil bromida

(39)

Pestisida, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian/petugas pengawas pestisida), serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sedangkan stakeholders pasif adalah pemegang nomor pendaftaran/importir terbatas dan perusahaan fumigasi yang terdaftar di Badan Karantina Pertanian.

4.1.1. Kementerian Lingkungan Hidup

Kementerian Lingkungan Hidup merupakan instansi pemerintah yang bertugas untuk mengkoordinasi dan memfasilitasi kebijakan dan implementasi program perlindungan lapisan ozon termasuk kebijakan dan implementasi pengaturan impor dan penggunaan Metil bromida. Kementerian Lingkungan Hidup mengawasi impor metil bromida dengan cara menerbitkan surat rekomendasi impor kepada pemegang nomor pendaftaran, yang mengajukan permohonan sebagai importir.

4.1.2. Kementerian Perdagangan

Kementerian Perdagangan mempunyai kewenangan mengatur ekspor dan/atau impor komoditi. Kementerian Perdagangan berperanan penting dalam menetapkan kebijakan impor BPO khususnya metil bromida, termasuk melakukan pengawasan terhadap impor dan penyaluran metil bromida. Setiap pemegang nomor pendaftaran yang akan melakukan impor metil bromida, harus mendapat persetujuan dari Kementerian Perdagangan untuk menjadi importir. Jumlah impor metil bromida yang diijinkan tidak melebihi kuota yang diijinkan oleh Menteri Pertanian dan diawasi dalam bentuk kartu kendali impor.

4.1.3. Kementerian Pertanian 4.1.3.1. Komisi Pestisida

(40)

(Keputusan Menteri Pertanian Nomor 847/Kpts/OT.160/2/2011 tentang Komisi Pestisida).

4.1.3.2. Sub Direktorat Pengawasan Pupuk dan Pestisida, Direktorat Prasarana dan Sarana Pertanian (petugas pengawas pestisida)

Petugas pengawas pestisida yang selanjutnya disebut pengawas pestisida adalah pegawai negeri sipil baik di pusat maupun daerah yang memenuhi syarat untuk melakukan pengawasan pestisida. Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/SR.140/5/2007 jo to Keputusan Menteri Pertanian Nomor 517/Kpts/TP.270/9/2002 tentang Pengawasan Pestisida, pengawas pestisida mempunyai tugas:

a. Melakukan pengawasan mutu bahan teknis dan formulasi pestisida dengan memperhatikan batas toleransi yang diperbolehkan untuk kadar bahan aktif di tingkat produksi, peredaran dan penggunaan.

b. Melakukan pengawasan terhadap jenis dan jumlah pestisida, wadah, pembungkus, label serta publikasi pestisida.

c. Melakukan pengawasan dokumen perizinan usaha, nomor pendaftaran dan dokumen administrasi lainnya di tingkat produksi dan peredaran.

d. Melakukan pengawasan terhadap ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja. e. Melakukan pengawasan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, akibat

pengelolaan pestisida.

f. Melakukan pengawasan terhadap jenis dan dosis pestisida serta sasaran komoditas dan organisme sasaran yang diizinkan.

g. Melakukan pengawasan efikasi dan resurjensi pestisida, akibat penggunaan pestisida.

h. Melakukan pengawasan terhadap penerapan ketentuan sarana, peralatan yang digunakan untuk pengelolaan pestisida.

i. Melakukan pengawasan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, akibat pengelolaan pestisida.

j. Melakukan pengawasan terhadap residu pestisida pada produk pertanian dan media lingkungan.

(41)

4.1.3.3. Badan Karantina Pertanian

Badan Karantina Pertanian dalam penyelenggaraan perkarantinaan selalu berorientasi pada keselamatan lingkungan. Tugas dan fungsi Badan Karantina Pertanian adalah melindungi keselamatan sumberdaya alam hayati dari ancaman organisme pengganggu dan keselamatan manusia dari ancaman cemaran pangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/Permentan/OT.140/7/2009 tentang Penggunaan Pestisida Berbahan Aktif Metil Bromida untuk Tindakan Perlakuan Karantina Tumbuhan dan Perlakuan Pra Pengapalan, Badan Karantina Pertanian sebagai instansi pembina perusahaan fumigasi mendukung kebijakan pengurangan penggunaan metil bromida. Badan Karantina Pertanian mengembangkan metode praktik fumigasi yang baik dan benar kepada perusahaan fumigasi dengan melakukan program kerja sama dengan pemerintah Australia melalui Australian Fumigation Accreditation Scheme in Indonesia (AFASID).

4.1.4. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

Sesuai kebijakan pemerintah untuk melarang impor metil bromida selain untuk keperluan karantina dan pra pengapalan dan menurunkan kuota impor metil bromida secara bertahap, maka instansi yang paling berperan dalam pengawasan impor metil bromida adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Data impor metil bromida dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai merupakan data yang paling mencerminkan jumlah metil bromida yang beredar di wilayah Republik Indonesia.

4.1.5. Perusahaan Fumigasi

(42)

Protokol Montreal dan metil bromida tidak boleh digunakan selain untuk karantina dan pra pengapalan (Lampiran 3). Namun rata-rata responden menggunakan pestisida fumigasi dengan perbandingan 90% metil bromida, 10% fosfin, dan tidak ada responden yang telah menggunakan sulfuril fluorida.

Gambar 2 Rata-rata penggunaan pestisida fumigasi oleh responden.

Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata responden menyatakan bahwa faktor kendala internal untuk beralih ke pestisida pengganti adalah peralatan personal safety yang langka dan mahal (38%), biaya fumigasi dengan pestisida pengganti yang lebih tinggi (35%) dan 27% disebabkan oleh perlunya pelatihan baru untuk pestisida pengganti, sedangkan kekuatan internal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti 45% dipengaruhi oleh perusahaan telah memiliki karyawan/operator yang handal (Gambar 3).

Gambar 3 Kekuatan dan kendala internal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti.

10%

90% 0%

Fosfin Metil bromida Sulfuril fluorida

20%

35% 45%

Kekuatan internal

perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida

pengganti Kesadaran menggunakan

pestisida yang tidak merusak ozon.

Perusahaan memiliki dana yang cukup (peralatan detektor, safety dan pelatihan).

38% 27%

35%

Kendala internal

perusahaan fumigasi untuk beralih

ke pestisida pengganti

(43)

Seperti disajikan pada Gambar 4, rata-rata responden menyatakan bahwa kendala eksternal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti adalah permintaan dari negara tujuan ekspor untuk melakukan fumigasi dengan metil bromida dan belum adanya kebijakan pemerintah yang tegas. Sebanyak 100% responden menyatakan bahwa pemerintah menetapkan standar ganda dalam mengawasi dan menindak perusahaan fumigasi. Perusahaan fumigasi yang terdaftar, diaudit sewaktu-waktu (audit investigasi) dan diaudit secara rutin setiap enam bulan (audit surveilen). Sementara pengawasan dan penindakan terhadap perusahaan fumigasi yang tidak terdaftar justru lebih longgar. Peluang perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti semakin besar apabila pemerintah membebaskan bea masuk pestisida pengganti dan perlengkapan fumigasi sehingga biaya fumigasi dengan pestisida pengganti lebih rendah serta apabila perusahaan eksportir dan/atau negara tujuan ekspor tidak mewajibkan fumigasi dengan metil bromida.

Gambar 4 Kendala dan peluang eksternal perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti.

4.1.6. Pemegang Nomor Pendaftaran/Importir Terdaftar

Importir terdaftar metil bromida, selanjutnya disebut importir adalah perusahaan perdagangan yang mendapat penunjukan dari pemerintah untuk mengimpor dan mendistribusikan metil bromida (Peraturan Menteri Perdagangan No. 24 Tahun 2006). Pada Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009,

23%

16% 18% 20% 23%

Kendala eksternal

perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida pengganti

Belum ada kebijakan dan strategi pemerintah yang tegas.

Permintaan negara tujuan ekspor.

36%

29% 14% 21%

Peluang eksternal

perusahaan fumigasi untuk beralih ke pestisida

pengganti Bebas bea masuk bagi bahan dan perlengkapan fumigasi non MeBr.

(44)

importir terdaftar merupakan pemegang nomor pendaftaran metil bromida yang diberikan oleh Menteri Pertanian dan ditunjuk sebagai importir oleh Menteri Perdagangan.

4.2. Ratifikasi Kesepakatan Internasional untuk Mengurangi Kerusakan Lapisan Ozon

Kebijakan pertama yang ditetapkan oleh pemerintah untuk ikut berpartisipasi dengan negara-negara di dunia dalam mengurangi kerusakan lapisan ozon adalah Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer dan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. Ratifikasi kedua kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah menyetujui untuk mengurangi kerusakan lapisan ozon dengan mengganti BPO dengan bahan lain yang tidak merusak lingkungan.

Pada tahun 1992, negara-negara pihak sepakat untuk mengamandemen Protokol Montreal, namun Indonesia meratifikasi amandemen tersebut pada tahun 1998 melalui Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1998 tentang Pengesahan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, Copenhagen 1992. Adapun Amandemen Kopenhagen menetapkan metil bromida, HBFC, dan HCFC sebagai BPO dan metil bromida hanya dapat diimpor dari negara pihak Protokol Montreal, serta konsumsi metil bromida sejak tahun 1995 tidak melebihi konsumsi tahun 1991 (tidak termasuk metil bromida yang digunakan untuk keperluan karantina dan pra pengapalan).

(45)

4.3. Kebijakan Nasional Pengaturan Metil Bromida

Sebagai konsekuensi dari ratifikasi Protokol Montreal, Indonesia sebagai negara pihak telah menyetujui untuk mengganti BPO dengan bahan lain yang tidak merusak ozon atau dengan kata lain menghapus penggunaan BPO sampai batas waktu tertentu (Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1992). Untuk menghindari ketidaksiapan sektor industri pengguna BPO beralih ke bahan lain yang diketahui lebih aman, penghapusan penggunaan BPO dilakukan secara bertahap. Dalam kaitannya dengan metil bromida, sejak ratifikasi Protokol Montreal, pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan dalam rangka mendukung penghapusan penggunaan metil bromida. Berbeda dengan penghapusan penggunaan BPO lain seperti CFC dan HCFC dimana pemerintah telah berhasil menetapkan phase out secara total, penghapusan penggunaan metil

bromida di Indonesia masih terlihat seperti kebijakan “setengah hati”. Kebijakan pemerintah menghapus penggunaan metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan serta menurunkan konsumsi untuk keperluan karantina dan pra pengapalan, diuraikan seperti berikut ini.

4.3.1.Kebijakan Pengadaan (Impor) Metil Bromida

(46)

memperhatikan kebutuhan karantina dan pra pengapalan. Kedua keputusan menteri tersebut juga menunjukkan ketidakkonsistenan dengan Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1998 yang mengesahkan Amandemen Kopenhagen. Sebagaimana pemerintah telah meratifikasi Amandemen Kopenhagen, seharusnya Menteri Perindustrian dan Perdagangan tidak melarang impor, perdagangan dan penggunaan metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan.

Pada tahun yang sama, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menetapkan kebijakan baru yang terkait dengan BPO, metil bromida diizinkan untuk diimpor tetapi hanya untuk keperluan karantina, gudang dan pra pengapalan (Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 410/MPP/Kep/9/1998 dan 411/MPP/Kep/9/1998). Untuk mencegah penggunaan metil bromida selain untuk keperluan karantina, gudang dan pra pengapalan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menetapkan pada kemasan tabung metil bromida harus disertai label

dengan kalimat peringatan “digunakan hanya untuk karantina, di gudang dan pra pengapalan.” Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 410 Tahun 1998 juga inkonsisten dengan Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1998, karena Amandemen Kopenhagen melarang penggunaan metil bromida di gudang/penyimpanan hasil pertanian.

(47)

pengganti metil bromida belum tersedia, dan memperhatikan Surat Kepala Badan Karantina Pertanian 3415/88.540.420/L/11/07 dan Surat Deputi III, Kementerian Lingkungan Hidup No. B-103/Dep.III/KLH/12/2007, Menteri Perdagangan menetapkan kebijakan baru yang khusus mengatur impor metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-Dag/Per/12/2007). Adapun kebijakan yang ditetapkan sebagai berikut: 1. Metil bromida diimpor hanya untuk keperluan karantina dan pra pengapalan,

sedangkan impor untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan dilarang sejak 1 Januari 2008 (Pasal 2). Peraturan Menteri Perdagangan No. 51 Tahun 2007 merupakan tonggak pelarangan impor dan penggunaan metil bromida di gudang/penyimpanan hasil pertanian.

2. Kemasan tabung silinder metil bromida harus disertai label yang mudah dibaca dan tidak mudah pudar atau rusak dengan kalimat peringatan “hanya

untuk karantina dan pra pengapalan” atau “for quarantine and pre-shipment only” dari negara produsen (Pasal 4 Ayat 1). Pasal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan metil bromida selain untuk karantina dan pra pengapalan.

3. Penggunaan metil bromida pada produk yang diekspor hanya atas pemintaan resmi dari negara tujuan ekspor dan dilaksanakan paling lama 21 hari sebelum ekspor (Pasal 1). Apabila tidak ada permintaan dari negara tujuan ekspor, maka produk yang akan diekspor dapat difumigasi dengan pestisida lain atau menggunakan metode lain seperti heat treatment atau CO2. Pasal ini

dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan metil bromida di Indonesia.

Walaupun lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 51 Tahun 2007

(48)

1.Metil bromida hanya dapat diimpor dari negara-negara yang termasuk dalam daftar yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup (Pasal 2 Ayat 3). 2.Metil bromida hanya dapat diimpor melalui 7 pelabuhan laut, yaitu:

a. Pelabuhan Belawan, Medan b. Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta c. Pelabuhan Merak, Cilegon

d. Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang e. Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya f. Pelabuhan Sukarno Hatta, Makassar

g. Pelabuhan Batu Ampar, Batam (Pasal 2 Ayat 4).

3.Metil bromida hanya dapat dimpor untuk keperluan karantina dan pengapalan (Pasal 2 Ayat 5).

4.3.2. Kebijakan Penyaluran (Distribusi) Metil Bromida

Penyaluran metil bromida didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan dalam mengedarkan metil bromida untuk penggunaan karantina dan pra pengapalan (Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009 Pasal 1 butir 12). Kebijakan pemerintah yang mengatur penyaluran (distribusi) metil bromida sangat sedikit dibanding kebijakan pemerintah yang mengatur impor dan penggunaan. Adapun kebijakan pemerintah yang mengatur penyaluran metil bromida, sebagai berikut: 1. Metil bromida hanya boleh didistribusikan sesuai ketentuan yang ditetapkan

oleh Menteri Pertanian (Peraturan Menteri Perdagangan No. 24 Tahun 2006 Pasal 10).

2. Penyaluran pestisida terbatas harus diatur sedemikian rupa dengan tujuan untuk mencegah penyimpangan penggunaan (Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian 2003).

3. Badan hukum (perusahaan) dapat menggunakan pestisida terbatas apabila diaplikasikan oleh karyawan yang telah memiliki sertifikat penggunaan pestisida terbatas (Peraturan Menteri Pertanian No. 24 Tahun 2011).

(49)

5. Kepala Badan Karantina Pertanian mengusulkan pencabutan izin kepada Menteri Pertanian, apabila importir terbukti menyalurkan metil bromida selain kepada UPT Badan Karantina Pertanian dan/atau perusahaan yang telah terdaftar di Badan Karantina Pertanian (Peraturan Menteri Pertanian No. 37 Tahun 2009 Pasal 12).

(50)
[image:50.595.90.496.49.765.2]

Gambar 5 Impor dan distribusi metil bromida.

4.3.3. Kebijakan Penggunaan Metil Bromida

Kebijakan yang mengatur penggunaan metil bromida dapat dikatakan selalu terkait dengan kebijakan impor, sehingga setiap perubahan kebijakan impor dapat dipastikan akan berdampak terhadap perubahan kebijakan penggunaan metil bromida. Sejak tahun 2008, pemerintah hanya mengijinkan penggunaan metil bromida untuk keperluan karantina dan pra pengapalan dan melarang penggunaan pada bangunan/gedung arsip, gudang/penyimpanan hasil pertanian, lahan pertanian dan lain-lain (Peraturan Menteri Perdagangan No. 51 Tahun 2007).

Kementerian Pertanian

Keputusan tentang Pendaftaran dan Izin Sementara

Kementerian Lingkungan Hidup

Rekomendasi impor

Kementerian Perdagangan Rekomendasi impor dan persetujuan importir terbatas

Kementerian Perindustrian

Persetujuan rekomendasi impor

DitJen Bea dan Cukai

Izin masuk

IMPORTIR

DISTRIBUTOR

PERUSAHAAN FUMIGASI UPT BADAN

KARANTINA PERTANIAN

-KLH memberikan persetujuan kepada Kemendag untuk penerbitan atau penolakan izin impor (PP 74 Tahun 2001 Pasal 9)

-Jumlah metil bromida yang dapat diimpor ditetapkan oleh KLH (Permendag 24 Tahun 2006).

- Persetujuan sebagai importir terbatas ditetapkan

Direktur Jenderal ( Permendag 24 Tahun 2006 Pasal 8).

- Persetujuan jumlah, jenis, dan nomor HS, negara

muat, pelabuhan tujuan dan waktu pengapalan. Permohonan menjadi importir terbatas harus disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian

(Permendag 24 Tahun 2006 Pasal 8).

(Pasal 8)

-Karyawan telah mendapat sertifikat penggunaan pestisida terbatas (Permentan No. 24 Tahun 2011) -Perusahaan telah terdaftar di Badan

Karantina Pertanian (Permentan No. 37 Tahun 2009).

(51)

Kebijakan pemerintah ini, merupakan kebijakan yang sangat berani karena negara anggota ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand bahkan Amerika Serikat masih mengizinkan penggunaan metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan (Tabel 3).

Tabel 3 Konsumsi metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra pengapalan negara ASEAN dan Amerika Serikat

No Negara 2005

(MT)

2006 (MT)

2007 (MT)

2008 (MT)

2009 (MT)

2010 (MT)

1 Singapura 4 2 2 2,67 1,5 1,3

2 Filipina 13,67 7,17 4 3 0 0

3 Malaysia 18 18,83 17,5 13,67 5,67 8,83

4 Indonesia 53 38 16 0 0 0

5 Thailand 243,33 235,17 203,33 177,83 73,83 100,50

6 Vietnam 156 160 154 139 123 128

7 Brunei Darusalam 0 0 0 0 0 0

8 Laos 0 0 0 0 0 0

9 Myanmar 0 0 0 0 0 0

10 Kamboja 0 0 0 0 0 0

11 Amerika Serikat 7255,00 6475,00 4302,33 3027,83 2272,17 2722,33

Sumber: United Nations Environment Programme 2011 MT: metrik ton

Kebijakan pemerintah mengenai penggunaan metil bromida diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37 Tahun 2009, antara lain menetapkan:

1. Metil bromida digunakan oleh petugas karantina tumbuhan atau oleh fumigator yang memiliki sertifikat penggunaan pestisida terbatas, hanya untuk keperluan karantina dan pra pengapalan (Pasal 4).

2. Metil bromida digunakan untuk keperluan karantina dan pra pengapalan, apabila merupakan persyaratan negara tujuan atau tidak dapat diberi perlakuan dengan metode atau bahan lain (Pasal 5).

3. Penggunaan metil bromida selain untuk keperluan karantina dan pra pengapalan, dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 7).

[image:51.595.90.427.27.817.2]
(52)
<

Gambar

Tabel 2  Jenis, metode pengumpulan data dan analisis data berdasarkan tujuan
Gambar 5  Impor dan distribusi metil bromida.
Tabel 3 Konsumsi metil bromida untuk keperluan non karantina dan pra
Gambar 7   Kuota, realisasi impor, dan konsumsi metil bromida. 1)
+7

Referensi

Dokumen terkait