PENGETAHUAN PETANI
DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
di Kecamatan Tajur Halang Bogor
YUDHISTIRA APRIYANTO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
ABSTRAK
YUDHISTIRA APRIYANTO (E14061821). Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor pada bulan Januari sampai Februari 2011. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan pengumpulan data sekunder. Hasil analisis disajikan secara deskriptif dalam teks narasi dan tabulasi.
Tindakan dalam pengelolaan hutan rakyat mencakup kegiatan pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Kegiatan pemilihan jenis dilakukan agar pohon yang dipilih tepat untuk menjamin keberhasilan usaha hutan rakyat. Kegiatan persiapan lahan merupakan usaha petani agar lahan siap ditanami dan tanaman yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. Kegiatan penanaman dilakukan agar bibit pohon dapat tertanam di tanah dengan baik. Kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk memperoleh hasil produksi yang optimal, sebab semua tanaman memerlukan pemeliharaan yang intensif agar tumbuh dengan baik. Kegiatan pemanenan dilakukan untuk mengeluarkan hasil hutan berupa kayu agar dapat dimanfaatkan. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan petani sudah cukup baik untuk keberhasilan usaha hutan rakyat yang dilakukan petani.
ABSTRACT
YUDHISTIRA APRIYANTO (E14061821). Farmer’s Knowledge on Private Forest Management in Sub District of Tajur Halang Bogor. Under supervision of DIDIK SUHARJITO.
The purpose of this research is to know and to describe the farmer’s knowledge in private forest management. This research was conducted in Sub District of Tajur Halang, District of Bogor during January to February 2011. Research method used in this research is survey. Data were collected by using interview, observation, and secondary data. The result of analysis is presented using descriptive method in narrative text and tabulation.
Private forest management activities are including tree species selection, land preparation, planting, maintenance and harvesting. The purpose of tree species selection is to define the right species to ensure their private forest success. The purpose of land preparation activities is to make the land ready for planting and the plant can grow well. The purpose of planting is to ensure the seedling planted well in the ground and to ensure the well grown of newly planted seedlings. The purpose of plant cultivation is to obtain the optimal production results, because all plants need intensive cultivation to get optimal results. The purpose of harvesting activity is to get timber from the forest to be utilized. These results show that farmer’s knowledge is good enough to succeed the private forest work.
PENGETAHUAN PETANI
DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
di Kecamatan Tajur Halang Bogor
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
YUDHISTIRA APRIYANTO E14061821
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengetahuan
Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor
adalah benar-benar karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan
belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tingggi atau
lembaga manapun. Sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor
Nama Mahasiswa : Yudhistira Apriyanto
NRP : E14061821
Departemen : Manajemen Hutan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP 19630401 199403 1001
Mengetahui,
Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP 19630401 199403 1001
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta, pada tanggal 12 April 1987 sebagai
anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Swigiyarto (Alm.)
dan Shofiah. Penulis memulai pendidikan di SDN Cipayung
IV pada tahun 1994 dan menyelesaikannya pada tahun 2000,
kemudian penulis melanjutkan ke SMPN 1 Depok pada tahun
2000 dan menyelesaikannya pada tahun 2003, dan
melanjutkan di SMA Sejahtera 1 Depok pada tahun 2003 dan menyelesaikannya
pada tahun 2006. Pada Tahun 2006 penulis masuk Institut Pertanian Bogor melaui
jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), pada tahun 2007 penulis
masuk program Mayor Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,
Intitut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahaan di Fakultas Kehutanan penulis merupakan
anggota FMSC (Forest Management Student Club) dan IFSA (International
Forestry Student Accociation) pada tahun 2008. Penulis telah melaksanakan
Prakrek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cilacap dan Baturraden, Provinsi
Jawa Tengah pada tahun 2008 dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi, dan KPH Cianjur Unit III Jawa
Barat pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis melakukan Praktek Kerja
Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT Indowana Arga Timber, Kalimantan Timur.
Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat
melaksanakan dan menyelesaikan rangkaian kegiatan pekuliahan sampai
terselesaikannya skripsi ini dengan baik. Pada Kesempatan ini penulis
mengucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tua penulis Bapak Swigiyarto (Alm.) dan Ibunda Shofiah yang senantiasa melantunkan do’anya dan tanpa keluh kesah mencari rizki untuk kesuksesan anak tercinta.
2. Adik tercinta Rizki Fitri Astuti, dan Astri Puji Rahayu yang tak henti-henti
dengan ikhlas memberikan semangat, senyum, dan do’anya kepada penulis.
3. Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku dosen pembimbing yang dengan
ketulusan dan keikhlasan beliau dalam membimbing, memberikan ilmu, dan
nasehat kepada penulis dalam penyelesaian skripisi.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga karya tulis
ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada
Baginda Rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat, keluarga dan umatnya.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini berjudul “Pengetahuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor”
Karya ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian mengenai pengetahuan
petani dalam pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan di Kecamatan Tajur
Halang. Pengetahuan petani yang dimaksud adalah pengetahuan pengelolaan
hutan rakyat yang meliputi pengetahuan budi daya hutan. Pengetahuan petani
dapat diketahui melalui praktek budi daya hutan yang dilakukannya, karena petani
melakukan praktek budi daya hutan dengan mengandalkan pengetahuan yang
dimilikinya. Sehingga dengan mendeskripsikan kegiatan budi daya hutan yang
dilakukan petani dapat diketahui pengetahuan yang dimilikinya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat menjadi dasar bagi penelitian
selanjutnya, serta dapat menjadi dokumentasi pengetahuan petani yang
bermanfaat. Semoga juga dapat memperbaiki pengetahuan petani dalam
pengelolaan hutan rakyat.
Bogor, Agustus 2011
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... ii
DAFTAR TABEL... iv
DAFTAR LAMPIRAN... v
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah... 2
1.3 Tujuan Penelitian... 2
1.4 Manfaat Penelitian... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4
2.1 Pengetahuan Lokal... 4
2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat... 5
2.2.1 Pemilihan Jenis... 5
2.2.2 Persiapan Lahan... 6
2.2.3 Penanaman... 6
2.2.4 Pemeliharaan... 7
2.2.5 Pemanenan... 8
BAB III METODE PENELITIAN... 9
3.1 Kerangka Pemikiran... 9
3.2 Definisi Operasional... 10
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian... 11
3.4 Metode Penentuan Responden... 12
3.5 Jenis Data... 13
3.6 Metode Pengumpulan Data... 13
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN... 15
4.1 Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan... 15
4.2 Topografi, Tanah dan Iklim... 15
4.3 Tutupan Lahan... 17
4.4 Kependudukan... 19
4.5 Infrastruktur Transportasi dan Komunikasi... 20
4.6 Karakteristik Rumah Tangga Responden... 21
4.6.1 Umur... 21
4.6.2 Tingkat Pendidikan... 23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 25
5.1 Penguasaan Lahan Hutan Rakyat... 25
5.1.1 Asal-usul Lahan Hutan Rakyat... 25
5.1.2 Luas Lahan Hutan Rakyat... 26
5.2 Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat... 27
5.2.1 Pemilihan Jenis... 29
5.2.2 Persiapan Lahan... 34
5.2.3 Penanaman... 37
5.2.4 Pemeliharaan... 39
5.2.5 Pemanenan... 47
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 51
6.1 Kesimpulan... 51
6.2 Saran... 52
DAFTAR PUSTAKA... 53
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Jumlah responden berdasarkan desa asal... 12
2. Formasi tutupan lahan Kecamatan Tajur Halang pada tahun 2010... 19
3. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Tajur Halang pada tahuan 2010... 20
4. Distribusi kelompok umur responden petani hutan rakyat... 22
5. Asal-usul lahan hutan rakyat responden... 26
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Bagan pemerincian wujud kebudayaan kedalam unsur yang lebih kecil .. 9
2. Formasi tutupan lahan Kecamatan Tajur Halang ... 18
3. Jenis hutan rakyat ... 28
4. Kegiatan Penyiangan ... 40
5. Kegiatan Pemupukan ... 41
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, yang
sekarang dikenal sebagai hutan rakyat, merupakan salah satu bentuk usaha petani
untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangganya. Hutan rakyat sudah
berkembang di kalangan masyarakat sejak lama yang dilakukan oleh masyarakat
di lahan-lahan miliknya. Hal ini dapat dilihat dari adanya hutan rakyat tradisional
yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah
(swadaya murni), baik berupa tanaman satu jenis, maupun dengan pola tanaman
campuran. Namun mayoritas pengelolaan hutan rakyat ini masih dilakukan secara
sederhana, tergantung pada pengetahuan pribadi masyarakat tersebut. Padahal
pengetahuan tentang teknik budi daya hutan merupakan faktor yang menentukan
keberhasilan usaha hutan rakyat.
Penelitian mengenai hutan rakyat sudah cukup banyak dilakukan.
Diantaranya tentang analisis ekonomi, ekologi, dan sosial (Wijiadi 2007),
hubungan aspek sosial-ekonomi dan ekonomi (Widianingsih 2008), sistem
pengelolaan (Handoko 2007), studi pengambilan keputusan pemilihan jenis
(Nurmaulana 2005), analisis finansial (Sari 2010), dan pengetahuan lokal (Hudin
2010). Dari penelitian yang ada, masih sedikit penelitian yang mengangkat
mengenai pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Berlatar belakang
hal ini, maka peneliti mengangkat judul penelitian Pengetahuan Petani Dalam
Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor.
Penelitian mengenai pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat
penting untuk dilakukan, karena pengetahuan dapat membantu petani menentukan
cara yang harus dilakukan, agar pengelolaan hutan rakyat dapat berjalan dengan
baik serta memperoleh hasil yang optimal. Hal ini penting karena dapat membantu
petani dalam memilih cara yang baik dan tepat untuk digunakan dalam rangka
mewujudkan tujuan pengelolaan hutan rakyat yang lestari. Pengetahuan petani
dapat menentukan keputusan petani dalam hal ekonomi, ekologi, dan sosial.
pada pengelolaan hutan rakyat agar hasil produksinya meningkat. Secara ekologi
pengetahuan petani berperan dalam menentukan cara-cara yang harus dilakukan
petani untuk mengelola hutan rakyat menjadi lestari. Secara sosial pengetahuan
petani berperan dalam rangka menjaga kebersamaan dan sikap saling menghargai
serta saling menolong antar petani, dan untuk mempertahankan kebudayaan yang
terdapat dalam masyarakat.
Penelitian ini difokuskan pada pengelolaan hutan rakyat yang lebih dikenal
oleh petani dengan istilah kebon. Berbagai jenis kebon yang diusahakan antara
lain kebon campuran dan kebon monokultur. Kebon campuran yaitu kebon yang
ditanami dengan berbagai kombinasi tanaman yaitu tanaman pokok berupa
sengon, jati atau mahoni, tanaman kombinasinya yaitu pisang, jagung, singkong,
ubi jalar, dsb. Kebon monokultur yaitu kebon yang ditanami satu jenis tanaman
pokok saja yaitu sengon, jati atau mahoni.
1.2 Perumusan Masalah
Petani yang mengusahakan hutan rakyat sangat tergantung pada
pengetahuan dan kemampuannya dalam mengelola hutan rakyat miliknya.
Penelitian ini akan mendeskripsikan pengetahuan petani dalam mengelola hutan
rakyat, yang diperinci menurut kegiatan-kegiatan budi daya secara teknis yaitu
pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.
Pengetahuan petani tersebut diuraikan ke dalam gagasan, tindakan, dan peralatan
yang digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat.
1.3 Tujuan Penelitian
a. Mengetahui pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat.
b. Mendeskripsikan pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat
mencakup gagasan, perilaku sosial, dan peralatan.
1.4Manfaat penelitian
a. Memberikan informasi kepada para pembaca dan menjadi salah satu sumber
informasi bagi Dinas Kehutanan dan instansi lain yang memerlukan dalam
melakukan penyuluhan kepada petani hutan rakyat agar hasil yang diperoleh
bisa lebih baik.
b. Untuk mengetahui dan mendokumentasikan pengetahuan petani pengelola
hutan rakyat agar tidak hilang sehingga dapat dipelajari oleh orang-orang
yang memerlukannya dan dapat memotivasi untuk mengembangkan hutan
rakyat.
c. Bagi instansi pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
dokumentasi ilmiah yang bermanfaat untuk kepentingan akademik maupun
untuk penelitian serupa lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengetahuan Lokal
Menurut Arafah (2002), pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui
dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika
seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk menggali benda atau
kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
Selanjutnya menurut Soekanto (2001), pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran
seseorang sebagai hasil penggunaan panca indera.
Koentjaraningrat (1981) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah
unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seseorang manusia yang sadar, secara
nyata terkandung dalam otaknya. Artinya bahwa pengetahuan berhubungan
dengan jumlah informasi yang diterima seseorang.
Menurut Koentjaraningrat (1981), uraian mengenai pokok-pokok khusus
yang merupakan isi dari sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan, akan
merupakan suatu uraian tentang cabang-cabang pengetahuan. Cabang-cabang itu
sebaiknya dibagi berdasarkan pokok perhatiannya. Dengan demikian tiap suku
bangsa di dunia biasanya mempunyai pengetahuan tentang:
1. Alam sekitarnya.
2. Alam flora di daerah tempat tinggalnya.
3. Alam fauna di daerah tempat tinggalnya.
4. Zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya.
5. Tubuh manusia.
6. Sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia.
7. Ruang dan waktu.
Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan
menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa
digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam
keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pemahaman dan
interpretasi yang masuk akal. Namun pengetahuan bukanlah merupakan
tindakan nyata (Sunaryo dan Joshi 2003). Pengetahuan lokal secara umum
diartikan sebagai pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk
bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus (Warre 1991 dalam Sunaryo
dan Joshi 2003).
Istilah pengetahuan lokal digunakan secara berkelanjutan dan dirancukan
dengan pengetahuan teknis, pengetahuan lingkungan tradisional, pengetahuan
pedesaan, dan pengetahuan indigenous. Pengetahuan indigenous adalah
sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari
generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan
seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan 10
kebutuhan masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas
dan uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan inovasi internal dan
pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru.
Karenanya salah jika kita berpikir bahwa pengetahuan indigenous itu kuno,
terbelakang, statis atau tak berubah (Sunaryo dan Joshi 2003).
2.2 Pengelolaan hutan rakyat
Pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari seluruh aktivitas petani di
lahannya. Teknik silvikultur yang banyak diterapkan masyarakat pada umumnya
masih silvikultur tradisional dan kegiatannya bervariasi pada tiap periode
perkembangannnya. Kegiatan silvikultur hutan rakyat terdiri dari pemilihan jenis,
persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan pemanenan
(Windawati 2005).
2.2.1 Pemilihan jenis
Salah satu faktor penting dalam tahap perencanaan pembangunan hutan
adalah pemilihan jenis atau penetapan jenis pohon yang akan dibudiyakan. Suatu
jenis pohon yang tepat untuk ditanam di suatu daerah pengelolaan hutan harus
memenuhi persyaratan ekologi, teknis kehutanan, dan ekonomi (Mangundikoro
dan Arisman 1986).
Berdasarkan Indriyanto (2008) secara ringkas faktor penentu dalam
pemilihan jenis pohon yang akan ditanam pada suatu lokasi tertentu meliputi:
a. Aspek silvikultur yang meliputi kesesuaian tempat tumbuh dan
penguasaan teknologi penanamannya;
b. Kualitas kayu sesuai dengan tujuan penggunaannya;
c. Kemudahan pemasaran hasil produksinya;
d. Fungsi keindahan pohon untuk lingkungan hidup.
2.2.2 Persiapan lahan
Persiapan areal tanam merupakan kegiatan untuk mempersiapkan tempat
tumbuh sebaik mungkin terhadap bibit yang akan ditanam sehingga kegiatan itu
juga disebut sebagai manipulasi faktor tempat tumbuh agar layak dan
menguntungkan untuk pertumbuhan bibit yang ditanam (Indriyanto 2008; Baker
et al.1979; Smith 1986).
Menurut Indriyanto (2008), ajir merupakan suatu tanda tempat bagi pohon
yang akan ditanam. Ajir dapat dibuat dari dari bambu yang dibelah-belah selebar
1 cm-2 cm dan panjangnya 1 meter, dapat juga dibuat dari cabang-cabang kayu.
Ajir dipasang sesuai jarak tanam yang digunakan. Agar posisi atau letak lubang
tanam mudah dicari dan ditentukan sesuai dengan rencana penanaman yang telah
ditetapkan.
2.2.3 Penanaman
Menurut Indriyanto (2008), penanaman sebaiknya dilakukan pada musim
hujan, agar bibit yang ditanam mendapat siraman air hujan. Jika tidak terjadi
pergeseran musim hujan, idealnya penanaman dilakukan pada bulan
November-Januari. Bibit dengan wadah terbuat dari bahan plastik (polybag), pada saat akan
ditanam wadah tersebut harus dibuka dan diambil.
Berdasarkan Indriyanto (2008) penanaman bibit pot, yaitu menanam bibit
yang disemai terlebih dahulu dalam kontiner atau wadah media tumbuh bibit.
Kontiner dapat berupa kantong plastik, polybag, keranjang bambu, ruas bambu,
tumbuh bibit berupa plastik, harus dibuka dan diambil pada saat bibit ditanam,
sedangkan kontiner berupa keranjang bambu, ruas bambu, pelepah batang pisang,
dan dari tanah gambut langsung ikut ditanam tanpa dibuka atau diambil.
2.2.4 Pemeliharaan
Keberhasilan hidup tanaman dan pertumbuhannya dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan yang terdapat pada tempat tumbuhnya. Faktor-faktor
lingkungan pada tempat tumbuh yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dapat
mencakup faktor biotik dan faktor abiotik (Indriyanto, 2008).
Menurut Darjadi dan Hardjono (1976) untuk meningkatkan peran positif
dan menekan peran negatif dari semua faktor lingkungan tersebut, maka
pemeliharaan tanaman sangat diperlukan agar keberhasilan hidup dan
pertumbuhan tanaman menjadi baik. Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman,
antara lain penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan
cabang, penjarangan tanaman, dan pengendalian hama dan penyakit.
Menurut Kosasih (2002), pemangkasan cabang merupakan kegiatan
membuang cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang
panjang dan bebas dari mata kayu. Pelaksanaan pemangkasan cabang harus
dilakukan pada musim kemarau dan dikerjakan pada waktu cabang pohon
mempunyai garis tengah sekecil mungkin. Hal itu menghindari terjadinya luka
yang terlalu lebar dan untuk mencegah terjadinya benjolan besar pada kayu.
Intensitas pemangkasan cabang setiap kali melakukan pemangkasan sebesar 30%
dari tajuk dengan menggunakan peralatan, antara lain pisau pangkas, gunting
pangkas cabang, atau gergaji pangkas. Kemudian luka bekas pemangkasan
sebaiknya ditutup dengan ter atau parafin.
Menurut Kosasih (2002); dalam Indriyanto (2008), pendangiran merupakan
kegiatan penggemburan tanah di sekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat
fisik tanah. Pendangiran tanaman diutamakan untuk tanah-tanah yang bertekstur
berat, dilakukan pada akhir musim kemarau, dan dilakukan jika tanaman sudah
berumur 1-3 tahun.
Menurut Kosasih (2002) penyiangan tanaman merupakan kegiatan
populasi gulma agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Sementara itu
berdasarkan Indriyanto (2008) penyiangan diprioritaskan terhadap gulma yang
sangat mengganggu pertumbuhan tanaman, misalnya alang-alang, rumput, semak,
dan liana. Kegiatan penyiangan dilakukan pada saat musim kemarau atau musim
hujan dengan frekuensi 3-4 bulan sekali dalam setahun untuk tanaman umur 1-2
tahun, frekuensi 6-12 bulan sekali untuk tanaman umur lebih dari 2 tahun hingga
tampak ada kepastian bahwa pohon tidak akan terkalahkan dalam bersaing dengan
gulma.
2.2.5 Pemanenan
Penebangan pohon yang dilakukan oleh petani umumnya bervariasi dari
umur tegakan 5-10 tahun sesuai dengan kebutuhan dan pasar. Tanaman
kayu-kayuan ditanam sebagai investasi atau tabungan masa depan kecuali untuk
perabaikan rumah sendiri atau dijual antar tetangga yang membutuhkan
(Windawati 2005).
Kegiatan pemanenan kayu pada hutan rakyat dilakukan sesuai dengan
kebutuhan petani pemilik hutan rakyat. Kayu yang dipanen adalah kayu yang
sudah cukup umur dan sudah laku di pasaran, sedangkan bentuk dan ukuran kayu
dijadikan faktor penentu harga, sehingga makin baik kualitas kayu maka harga
kayu makin mahal. Kayu dijual oleh petani kepada pengumpul dalam keadaan
kayu berdiri. Pada umumnya kegiatan penebangan dilakukan oleh pembeli yang
merupakan pedagang pengumpul (Sumedi 2000).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Menurut Koentjaraningrat (1981), sistem pengetahuan merupakan salah satu
unsur pokok dari tiap kebudayaan universal. Wujud dari kebudayaan mencangkup
sistem budaya (adat), sistem sosial dan kebudayaan fisik (artefak). Wujud
kebudayaan tersebut dapat dirinci ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil sampai
beberapa kali. Menurut Linton (1936) diacu dalam Koentjaranigrat (1981),
pemerincian kebudayaan universal dapat diperinci sampai empat kali, yaitu unsur
kebudayaan yang berwujud sistem budaya (adat) dapat diperinci ke dalam
beberapa komplek budaya, tiap komplek budaya dapat diperinci lebih lanjut ke
dalam beberapa gagasan. Unsur kebudayaan yang berwujud sistem sosial dapat
diperinci lagi ke dalam beberapa komplek sosial, tiap komplek sosial dapat
diperinci lebih lanjut ke dalam beberapa pola sosial dan akhirnya pada tahap
keempat diperinci ke dalam perilaku sosial. Unsur kebudayaan yang berwujud
kebudayaan fisik (artefak) dapat diperinci ke dalam benda-benda kebudayaan, tiap
benda kebudayaan tersebut diperinci lagi menjadi peralatan yang digunakan.
Pemerincian wujud kebudayaan kedalam unsurnya yang lebih kecil, dapat dilihat
pada Gambar 1.
Kebudayaan universal
Sistem budaya (adat) Sistem sosial (aktivitas sosial) Kebudayaan fisik
Komplek budaya Komplek sosial Benda-benda kebudayaan
Tema budaya Pola sosial Peralatan yang dipakai
Gagasan Perilaku sosial
3.2 Definisi Operasional
Pengetahuan merupakan salah satu wujud kebudayaan universal
(Koentjaraningrat 1981). Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pertanian,
yang merupakan mata pencaharian petani. Sistem mata pencaharian adalah unsur
kebudayaan universal yang menaungi pertanian sebagai sistem budaya yang akan
kita sebut adatnya. Wujudnya sebagai sistem sosialnya yang akan kita sebut
aktivitas sosialnya, dan wujudnya yang fisik yang berupa berbagai peralatan yang
digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat. Selanjutnya adalah pemerincian adat
pertanian ke dalam kompleks budaya yaitu pertanian lahan kering, beserta
aktivitas sosialnya ke dalam kompleks sosial. Berikutnya adalah pemerincian
kompleks budaya pertanian lahan kering ke dalam tema budaya hutan rakyat,
beserta kompleks sosialnya ke dalam pola sosial. Dari tema budaya hutan rakyat
diperinci ke dalam lima sub-tema hutan rakyat yang merupakan kegiatan utama
dalam pengelolaan hutan rakyat, yaitu pemilihan jenis, persiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Dari kelima sub-tema hutan rakyat
tadi diperinci ke dalam gagasan, beserta pola sosialnya ke dalam tindakan, dan
peralatan yang digunakan.
Gagasan sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto, lokasinya ada
didalam alam pikiran. Gagasan memberi arah kepada tindakan yang dilakukan
petani dalam mengelola hutan rakyat. Tindakan sifatnya konkret, dapat
diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Tindakan adalah aktivitas-aktivitas petani
dalam melakukan pengelolaan hutan rakyat. Peralatan bersifat paling konkret,
berupa benda-benda atau alat-alat yang digunakan dalam pengelolaan hutan
rakyat.
Pengelolaan hutan rakyat sebagai tema budaya terdiri dari lima sub-tema
kebudayaan, yaitu pemilihan jenis, persiapan lahan, penananaman, pemeliharaan,
dan pemanenan. Definisi operasional dari masing-masing sub-tema kebudayaan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pemilihan jenis adalah salah satu upaya petani yang dilakukan untuk
menentukan jenis pohon yang akan ditanamnya pada lahan hutan
rakyatnya. Pemilihan jenis ialah langkah awal yang sangat menentukan
memenuhi seluruh persyaratan baik secara biofisik, teknis, ekonomi,
sosial, maupun lingkungan. Dengan demikian keputusan yang dihasilkan
memberikan jaminan keberhasilan tumbuh tanaman, mudah diterima
masyarakat, dan produknya mudah dipasarkan.
2. Persiapan lahan ialah salah satu upaya yang dilakukan petani untuk
mempersiapkan lahan yang akan ditanami, agar lahan tersebut terhindar
dari berbagai hama dan penyakit serta terjamin kesuburan tanahnya.
Tindakan yang dilakukan dalam persiapan lahan berupa pembersihan lahan
dan pengolahan tanah.
3. Penanaman ialah kegiatan menanam tanaman ke lahan yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Tindakan penanaman adalah kegiatan
pemasukan bibit ke dalam tanah.
4. Pemeliharaan ialah kegiatan yang dilakukan untuk menjaga dan
memelihara tanaman tanaman agar pertumbuhannya baik. Pemeliharan
terdiri dari berbagai tindakan berupa pemupukan, penyiangan,
pendangiran, pemangkasan cabang, dan penjarangan.
5. Pemanenan ialah kegiatan pengambilan hasil dari tanaman yang
diusahakan baik berupa buah, getah, daun, dan kayu. Pemanenan terdiri
dari berbagai kegiatan berupa penebangan, pembagian sortimen, dan
penyaradan.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama dua bulan pada bulan Januari sampai dengan
bulan Februari 2011 di Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Provinsi
Jawa Barat. Lokasi penelitian ditetapkan secara sengaja dikarenakan belum
pernah ada penelitian hutan rakyat yang dilakukan sebelumnya di Kecamatan
Tajur Halang. Total desa yang ada di Kecamatan Tajur Halang adalah sebanyak 7
desa, yaitu Desa Citayam, Sasakpanjang, Kalisuren, Tonjong, Tajurhalang,
Sukmajaya, dan Nanggerang. Namun yang dijadikan lokasi penelitian hanya 5
desa, yaitu Desa Citayam, Sasakpanjang, Kalisuren, Tajurhalang, dan Sukmajaya.
Hal ini dikarenakan sangat sedikit hutan rakyat yang ada di Desa Tonjong dan
responden berasal dari Desa Tajurhalang yaitu sebanyak 9 orang responden,
sebesar 30,00% dari total responden. Jumlah responden paling sedikit berjumlah 5
orang responden (16,67%) yang berada di 3 desa yaitu Desa Citayam,
Sasakpanjang, dan Sukmajaya. Jumlah responden berdasarkan desa asal disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah responden berdasarkan desa asal
Desa Jumlah responden (orang) Frekwensi (%)
Citayam 5 16,67
3.4 Metode Penentuan Responden
Populasi contoh dalam penelitian ini adalah petani yang mengusahakan
hutan rakyat dan buruh tani yang merawat hutan rakyat. Pengambilan contoh
dilakukan dengan metode pengambilan contoh purposive sampling. Purposive
sampling menurut Patton (1990), Cochran (1991) dan Iskandar (2008) merupakan
teknik pengambilan contoh secara sengaja berdasarkan penilaian subyektif
peneliti atas dasar karakteristik tertentu yang dianggap memiliki sangkut paut
dengan karakteristik populasi yang telah diketahui sebelumnya. Total jumlah
populasi contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 responden yang
dibagi ke dalam kelompok petani pemilik lahan sebanyak 19 responden, dan
kelompok buruh tani sebanyak 11 responden.
Populasi petani dan buruh tani hutan rakyat yang ada di Kecamatan Tajur
Halang adalah sebanyak 46 orang, didapatkan melalui observasi yang dilakukan
peneliti. Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk mengambil populasi contoh
sebanyak 30 orang responden atau sebesar 65,22 % dari total petani responden
yang menurut peneliti sudah mewakili petani dan buruh tani hutan rakyat di
Kecamatan Tajur Halang. Pemilihan 30 responden ini juga atas dasar hutan rakyat
yang dikelolanya, hutan rakyat yang dikelola 30 responden ini terlihat telah
dikelola dengan baik sementara itu 16 hutan rakyat lainnya terlihat tidak terawat
dengan baik.
3.5 Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer pada penelitian ini adalah data yang diperoleh melalui
wawancara langsung dan observasi lapang yang terdiri dari :
a. Nama, umur, pendidikan, dan mata pencaharian responden.
b. Kepemilikan lahan.
c. Kegiatan dan cara petani dalam melakukan pengelolaan hutan rakyat.
d. Jenis tanaman pokok yang dikembangkan, dan teknik budidaya hutan
yang diterapkan.
Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan yang tersedia di tingkat
kecamatan maupun instansi-instansi terkait lainnya. Data sekunder terdiri dari :
a. Keadaan umum lokasi penelitian, meliputi : luas areal, letak, keadaan
Data primer yang diperoleh dengan melakukan wawancara langsung
dengan responden. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang
didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan tertentu
(Soehartono 1999). Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi
mengenai masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara dilakukan
kepada responden yang dianggap menguasai masalah penelitian. Alat dan
bahan yang digunakan pada wawancara ini adalah pedoman wawancara,
alat perekam, dan peralatan tulis.
2. Observasi lapang
Data dikumpulkan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. Harapan peneliti agar dapat merasakan, melihat, dan
mendapatkan pengetahuan dari objek penelitiannya. Alat yang digunakan
dalam observasi ini adalah alat dokumentasi yaitu kamera dijital.
3. Pengumpulan data sekunder
Data sekunder dikumpulkan dari Pemerintah Daerah Kecamatan Tajur
Halang, berupa keadaan umum lokasi penelitian, meliputi : luas areal,
letak, keadaan fisik lingkungan. Keadaan umum penduduk, meliputi :
jumlah penduduk dan mata pencaharian penduduk, serta data penggunaan
lahan. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis baik secara kuantitatif
maupun deskriptif kualitatif.
3.7 Metode Analisis dan Pengolahan Data
Data yang terkumpul dianalisis untuk mencapai tujuan peneliti. Hasil
analisis disajikan secara deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk
menganalisis karakteristik dan praktek pengelolaan hutan rakyat berdasarkan hasil
wawancara dan observasi lapang. Peubah-peubah yang dianalisis adalah sistem
pengelolaan yang diterapkan meliputi pemilihan jenis, persiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Langkah-langkah yang dilakukan
untuk menganalisis data penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan informasi hasil wawancara dan observasi lapang.
b. Pemilahan informasi sesuai dengan kategori-kategorinya.
c. Penyajian dalam bentuk uraian penjelasan dan tabel.
d. Penarikan kesimpulan.
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan
Kecamatan Tajur Halang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah seluas 3383,17 Ha. Secara
geografis, Kecamatan Tajur Halang berbatasan dengan Kota Depok di sebelah
utara, Kecamatan Kemang di sebelah selatan, Kecamatan Parung di sebelah barat,
dan Kecamatan Bojonggede di sebelah timur. Jarak tempuh dari kantor
Kecamatan Tajurhalang ke ibukota pemerintahan adalah sebagai berikut: jarak ke
Ibukota Kabupaten Bogor ± 12 km, Ibukota Propinsi Jawa Barat ± 165 km dan
Ibukota Negara ± 49 km. Kecamatan Tajur Halang memiliki jumlah desa
sebanyak 7 desa, yaitu Desa Citayam, Desa Sasakpanjang, Desa Kalisuren, Desa
Tonjong, Desa Tajurhalang, Desa Nanggerang, dan Desa Sukmajaya. Jumlah
dusun yang dimiliki adalah sebanyak 24 dusun, dengan jumlah RW sebanyak 76
RW, serta jumlah RT sebanyak 331 RT (Monografi Kecamatan Tajur Halang
2010).
4.2 Topografi, Tanah dan Iklim.
Ketinggian wilayah Kecamatan Tajur Halang dari permukaan laut adalah
229 hingga 239 mdpl. Berdasarkan kelerengan lahan, wilayah Kecamatan Tajur
Halang dibedakan ke dalam 2 satuan morfologi utama yaitu morfologi dataran dan
morfologi perbukitan. Sebagian besar (67%) dari wilayah Kecamatan Tajur
Halang tergolong ke dalam morfologi dataran, yang dicirikan oleh dominasi lahan
berkelerengan datar sampai landai. Satuan morfologi perbukitan yang dicirikan
oleh dominasi lahan berkelerengan agak curam sampai curam, menempati kurang
lebih 13% dari luas wilayah Kecamatan Tajur Halang (Monografi Kecamatan
Gambar 2 Sketsa lokasi penelitian Kecamatan Tajur Halang.
Jenis tanah dominan yang terdapat pada wilayah Kecamatan Tajur Halang
adalah tanah jenis Latosol. Tanah Latosol berwarna merah (sebagai cirinya) yang
disebabkan oxidasi dan besi yang ada. Pencucian larutan cenderung didasari pH
lebih tinggi sehingga menyebabkan silikanya hilang dan besinya tertinggal
(Hakim et al. 1986). Tanah latosol memiliki sifat-sfat sebagai berikut:
a. Bahan induk Tuf volkan dan batu volkan.
b. pH agak masam sampai masam.
c. Kejenuhan basa sedang sampai rendah.
d. Kadar unsur hara sedang sampai rendah.
e. Tekstur halus.
f. Struktur remah.
g. Konsistensi gembur sampai agak keras.
Kecamatan Tajur Halang termasuk wilayah beriklim tropis dengan interval
temperatur normal rata-rata antara 28 oC sampai 30 oC. Rata-rata curah hujan selama tahun 2010 sebesar 1500 mm/tahun, dengan curah hujan tertinggi tercatat
pada bulan Februari mencapai 300 mm, dan curah hujan terendah terjadi pada
bulan Agustus sebesar 50 mm. Jumlah bulan basah yang tercatat di Kecamatan
Tajur Halang adalah sebanyak 6 bulan, artinya adalah jumlah bulan kering yang
tercatat juga sebanyak 6 bulan (Monografi Kecamatan Tajur Halang 2010).
4.3 Tutupan Lahan
Tutupan lahan di Kecamatan Tajur Halang didominasi oleh tutupan lahan
kering berupa pemukiman, pekarangan, tegalan, dan ladang dengan luas 2785,30
Ha atau sekitar 82,33% dari total luas wilayah Kecamatan Tajur Halang. Formasi
tanah sawah, lahan basah, dan fasilitas umum masing-masing memiliki luasan
14,34%, 2,63%, dan 0,69% dari total luas wilayah Kecamatan Tajur Halang
(Monografi Kecamatan Tajur Halang 2010).
Berdasarkan hasil observasi, vegetasi yang banyak dijumpai di Kecamatan
Tajur Halang adalah tanaman pertanian seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar,
cabai, kacang tanah, dan kacang panjang. Tanaman perkebunan yang banyak
dijumpai adalah kelapa, karet, mangga, jambu batu, jambu air, rambutan, pisang,
adalah sengon, jati, dan mahoni. Lahan kosong yang tidak digunakan banyak
ditumbuhi oleh semak belukar dan alang-alang. Lahan kosong ini adalah lahan
milik pemerintah yang dulunya merupakan kebun karet. Pada tahun 2000 kebun
karet tersebut dibersihkan sehingga tidak ada pohon karetnya lagi dan menjadi
lahan kosong yang terlantar. Tutupan lahan pada lokasi penelitian disajikan pada
Gambar 2 dan Tabel 2.
A B
C D
Gambar 2 Formasi tutupan lahan Kecamatan Tajur Halang. Ket: (A) Formasi tutupan lahan kebun singkong; (B) Formasi tutupan lahan kolam ikan; (C) Formasi tutupan lahan kebun pepaya; (D) Formasi tutupan lahan kebun kacang panjang.
Tabel 2 Formasi tutupan lahan Kecamatan Tajur Halang pada tahun 2010
Tutupan lahan Luas (ha) Persentase (%)
Pemukiman 1043,30 30,84
Pekarangan 779,20 23,03
Tegalan 317,70 9,39
Ladang/Tanah Huma 645,10 19,07
Sawah Irigasi Teknis 226,90 6,71
Sawah Irigasi Setengah Teknis 36,17 1,07
Sawah Irigasi Sederhana 83,80 2,48
Sawah Tadah Hujan 138,40 4,09
Sumber: Data Monografi Kecamatan Tajur Halang, 2010.
4.4 Kependudukan
Sampai dengan tahun 2010, Kecamatan Tajur Halang memiliki jumlah
penduduk sebanyak 89 995 jiwa, yang terdiri dari 45 805 jiwa penduduk berjenis
kelamin laki-laki dan 44 190 jiwa penduduk berjenis kelamin perempuan.
Persentase jumlah penduduk laki-laki sebesar 50,89% dari total penduduk di
Kecamatan Tajur Halang, sedangkan jumlah penduduk perempuan sebesar
49,10% dari total penduduk di Kecamatan Tajur Halang, sehingga sex ratio yang
tercatat di Kecamatan Tajur Halang adalah sebesar 1,04.
Kecamatan Tajur Halang mempunyai pola kehidupan masyarakat yang pada
umumnya berbudaya Betawi pinggiran yang dipengaruhi oleh pola kehidupan
Kota Jakarta, Depok, Bogor, dan Tangerang. Mayoritas penduduk Kecamatan
Tajur Halang berprofesi sebagai petani dengan persentase sebesar 55,31% dari
total penduduk. Ada data yang sepertinya kurang masuk diakal, yaitu penduduk
yang berprofesi sebagai nelayan, seperti diketahui bahwa Kecamatan Tajur
Halang berada jauh dari laut, sehingga profesi nelayan sepertinya kurang masuk
diakal untuk penduduknya (Monografi Kecamatan Tajur Halang 2010).
Tabel 3 Mata pencaharian penduduk Kecamatan Tajur Halang pada tahun 2010
Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)
Petani pemilik tanah 10.409 35,64
Petani penggarap tanah 3.195 10,94
Buruh tani 2.549 8,73
Pegawai negeri sipil 2.278 7,80
TNI / POLRI 1.539 5,27
Total 29.203 100,00
Sumber: Data Monografi Kecamatan Tajur Halang, 2010.
4.5 Infrastruktur Transportasi dan Komunikasi
Keberadaan sarana transportasi dan komunikasi memiliki peranan penting
dalam mendukung perkembangan usaha dan roda perekonomian di suatu wilayah.
Transportasi dan komunikasi yang baik akan memperlancar arus keluar masuk
barang dari suatu wilayah dan secara langsung akan mempengaruhi perluasan
akses pasar oleh pelaku usaha.
Total panjang jalan di Kecamatan Tajur Halang pada tahun 2010 adalah
sebesar 119 km, dengan panjang jalan teraspal sebesar 29,5 km. Status jalan di
Kecamatan Tajur Halang adalah sepanjang 25,40 km merupakan jalan kabupaten,
dan sepanjang 93,6 km merupakan jalan desa. Kondisi jalan teraspal diantaranya,
sebesar 19,5 km baik, dan sebesar 10 km rusak. Kondisi jalan desa diantaranya,
meningkat, akan tetapi masyarakat terutama penduduk yang bertempat tinggal dan
berusaha pada daerah yang jauh dari pusat ekonomi masih merasakan hambatan
transportasi. Hal ini disebabkan karena terbatasnya sarana dan trayek angkutan
pemerintahan. Masalah tersebut terutama dirasakan oleh penduduk di Desa
Citayam dan Sasakpanjang.
Selain infrastruktur transportasi darat, infrastruktur komunikasi juga
memliki peran yang tidak kalah penting dalam mendukung pengembangan
wilayah. Pelayanan telekomunikasi di Kecamatan Tajur Halang dikelola oleh
Kantor Pelayanan PT.Telkom Tbk. Cabang Bogor, serta didukung pula oleh
beberapa perusahaan penyedia layanan telepon seluler yang telah menjangkau
seluruh wilayah Kecamatan Tajur Halang.
4.6 Karakteristik Rumah Tangga Responden
Total jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 responden,
yang terbagi ke dalam kelompok petani pemilik lahan sebanyak 19 responden dan
buruh tani sebanyak 11 responden. Karakteristik rumah tangga responden dalam
penelitian ini dikelompokan berdasarkan umur, dan pendidikan.
4.6.1 Umur
Faktor umur secara bersama-sama dengan faktor keahlian dan tingkat
pengetahuan akan mempengaruhi produktivitas kerja seseorang. Demikian pula
halnya pada pengelolaan hutan rakyat atau budidaya pertanian lain pada
umumnya. Kekuatan fisik akan sangat dipengaruhi oleh umur karena pada batas
usia tertentu kekuatan fisik seseorang akan semakin menurun.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara komulatif, rata-rata umur seluruh
petani responden pada lokasi penelitian adalah 49,67 tahun dengan kisaran umur
33-82 tahun. Informasi di atas dapat digunakan sebagai indikasi awal untuk
menyatakan bahwa di lokasi penelitian, usaha tani hutan rakyat cenderung
diusahakan oleh petani-petani berusia tua. Indikasi awal tersebut dapat diperkuat
Tabel 4 Distribusi kelompok umur responden petani hutan rakyat
mengusahakan hutan rakyat berada pada rentang usia 30-34 tahun, dimana di sisi lain sebesar 30,00% berada pada rentang umur di atas usia produktif (≥ 55 tahun). Informasi tersebut dapat menggambarkan bahwa usaha tani hutan rakyat kurang
menarik untuk diusahakan bagi petani dan penduduk berusia muda. Penduduk
usia muda lebih tertarik kepada dunia kerja sebagai buruh pabrik, karyawan
swasta, dan pegawai negeri sipil. Gengsi dan pikiran bahwa usaha tani tidak
memberikan hasil yang besar adalah penyebab penduduk usia muda enggan untuk
berusaha di bidang pertanian. Pekerjaan dalam dunia manufaktur lebih menarik
penduduk usia muda di Kecamatan Tajur Halang, harapan mereka adalah dengan
bekerja sebagai buruh pabrik akan mendapatkan hasil yang lebih besar dan
1. Keterbatasan fisik. Usia yang lanjut membatasi kemampuan fisik untuk
berusaha pada bidang-bidang usaha yang memerlukan curahan kerja tinggi.
Mengusahakan hutan rakyat hanya membutuhkan curahan kerja yang kecil.
Dengan mengusahakan hutan rakyat, curahan kerja lebih banyak terpusat
hanya pada tahun pertama dan tahun kedua.
2. Harta waris. Penduduk usia tua masih menganggap kayu sebagai harta
warisan dengan nilai tinggi kepada anak dan cucu. Penduduk usia tua tidak
mengharapkan hasil hutan rakyat yang besar di akhir produksi untuk
dinikmati oleh dirinya sendiri, melainkan lebih ditujukan sebagai tabungan
atau untuk dinikmati oleh anak dan cucu.
4.6.2 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi prilaku, pola pikir dan respon
masyarakat terhadap suatu informasi dan perubahan. Sebanyak 90% petani
responden di lokasi penelitian pernah mengenyam pendidikan formal. Secara
komulatif, rata-rata responden mengenyam pendidikan formal sampai dengan
jenjang SD, yaitu sebanyak 23 orang atau sebesar 76,67% dari total petani
responden memiliki tingkat pendidikan SD, 4 orang atau sebesar 13,33% dari total
petani responden memiliki tingkat pendidikan SMP, dan sebanyak 3 orang atau
sebesar 10% dari total petani responden tidak mengenyam pendidikan formal
sama sekali.
Informasi ini menunjukan bahwa kebanyakan responden tidak
menyelesaikan program wajib belajar 9 tahun. Hal tersebut dapat dipahami karena
beberapa faktor, yaitu: (1) kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung untuk
melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ketika responden
berada pada usia sekolah, (2) kurang tersedianya sarana pendidikan ketika
responden berada pada usia sekolah serta adanya faktor pembatas berupa jarak
yang jauh untuk mencapai sarana pendidikan yang ada, dan (3) ketika pada usia
sekolah, waktu responden lebih banyak dicurahkan untuk membantu orang tua di
sawah maupun ladang.
Hal ini dapat dijadikan indikasi awal bahwa tingkat pendidikan responden
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap keputusan responden dalam
mengusahakan atau tidak mengusahakan hutan rakyat. Terlihat bahwa mayoritas
petani hutan rakyat hanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah (dibawah 9
tahun), sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah
mempengaruhi keputusan petani untuk mengusahakan hutan rakyat. Tingkat
yang sederhana. Menurut petani usaha hutan rakyat dapat memberikan
keuntungan yang besar, dapat dijadikan tabungan, dan dapat dijadikan penanda
kepemilikan lahan. Petani yang mayoritas adalah petani palawija berpikir jika
hasil penjualan kayu pada hutan rakyat jauh lebih besar ketimbang hasil penjualan
palawija mereka, hal inilah yang mejadi dasar pemikiran mereka bahwa usaha
hutan rakyat memberikan keuntungan yang besar.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penguasaan Lahan Hutan Rakyat
Petani memberi batasan yang jelas tentang lokasi membudidayakan tanaman
keras. Petani hanya menanam tanaman keras pada lahan-lahan kering dan lahan
yang sudah tidak digunakan. Sementara itu petani juga memiliki lahan lainnya dan
cenderung lebih luas dibanding lahan hutan rakyatnya, yang digunakan untuk
membudidayakan tanaman pertanian sebagai sumber penghasilan utama. Hal ini
terjadi karena cukup luasnya lahan yang dimiliki oleh petani, dan petani lebih
memprioritaskan tanaman pertanian sebagai sumber penghasilan utama mereka.
5.1.1 Asal-usul Lahan Hutan Rakyat
Mayoritas lahan hutan rakyat yang dikuasai oleh petani di lokasi penelitian
merupakan lahan milik yang diwariskan oleh orang tua mereka. Sebagian
responden (50%) menguasai lahan hutan rakyat yang berasal dari warisan orang
tua, dan selebihnya berasal dari pembelian lahan (30%), dan pembukaan lahan
terlantar (20%). Temuan tersebut dapat menjadi indikasi bahwa usaha tani hutan
rakyat di Kecamatan Tajur Halang pada umumnya merupakan usaha yang
dilakukan di lahan milik sendiri baik yang didapat dari warisan ataupun dengan
membelinya. Tujuannya adalah agar ada kepastian usaha hutan rakyat yang
dilakukannya legal secara hukum. Lahan terlantar yang digunakan oleh petani
adalah lahan milik pemerintah yang dulunya merupakan kebun karet milik
pemerintah. Pada tahun 2000 kebun karet tersebut dibersihkan sehingga menjadi
lahan kosong yang terlantar. Lahan kosong ini milik pemerintah, namun tidak ada
kesepakatan antara pemerintah dengan warga perihal pemanfaatan lahannya.
Warga menggarap lahan kosong tersebut secara diam-diam tanpa status yang sah
dari pemerintah. Menurut petani pada tahun 2001 warga diperbolehkan untuk
menggarap lahan kosong tersebut, namun belakangan warga dilarang untuk
membuka lahan baru. Petani yang membuka lahan terlantar (20%) adalah petani
pelarangan membuka lahan kosong tersebut sehingga status petani tersebut adalah
menggarap secara tidak sah (diam-diam).
Tabel 5 Asal-usul lahan hutan rakyat responden
Desa
didasarkan pada sistem pewarisan harta waris dalam Islam. Keturunan atau anak
laki-laki mendapatkan bagian waris yang lebih besar dibandingkan dengan anak
perempuan. Menurut Wolf (1983) dari sudut pandang antropologis, sistem
tersebut dapat dikategorikan sebagai sistem waris partible inheritance yaitu
sistem waris yang memecah-mecah harta waris yang ada (rumah, tanah, dan hak
atas hasilnya), sehingga setiap hak waris menerima sumberdaya yang lebih kecil
daripada sumberdaya yang dikelola oleh kepala rumah tangga yang lama. Lebih
lanjut, Wolf (1983) menyatakan bahwa sistem tersebut dapat menjadi faktor
ancaman jika ditinjau dari sudut keberlangsungan usaha tani, karena suatu usaha
tani akan memiliki keberlanjutan usaha yang tinggi apabila didukung oleh
kombinasi antara penguasaan lahan tegalan, tempat mengembalakan ternak, tanah
hutan, dan tanah garapan. Tentunya teori tersebut tidak bisa seutuhnya diadopsi
untuk menentukan tingkat keberlanjutan suatu usaha tani, karena keberlanjutan
suatu usaha tani dapat pula ditinjau dari sisi kelayakan usaha tani tersebut secara
finansial.
5.1.2 Luas Lahan Hutan Rakyat
Pengusahaan hutan rakyat yang dapat digolongkan sebagai hutan, yaitu
berdasarkan ukuran luasan lahan minimal 0.25 ha berdasarkan Kepmenhut
Nomor. 49/Kpts-II/1997. Hutan rakyat di Kecamatan Tajur Halang, khususnya di
penguasaan lahan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah sebesar 0.64 ha dengan
kisaran 0,025-4 ha. Mayoritas lahan milik petani (70%) tidak memenuhi
persyaratan hutan rakyat dari sisi luasan seperti yang dinyatakan dalam
Kepmenhut Nomor. 49/Kpts-II/1997 tentang pendanaan dan usaha hutan rakyat.
Temuan tersebut dapat juga digunakan untuk mengkritisi standar luasan minimum
hutan rakyat yang dinyatakan dalam Kepmenhut Nomor. 49/Kpts-II/1997. Hal
tersebut berarti bahwa standar luasan dalam definisi hutan rakyat tidak dapat
dipatok dalam nilai tertentu karena standar luasan lebih bersifat spesifik terhadap
lokasi dimana hutan rakyat tersebut dikembangkan.
Rata-rata penguasaan lahan hutan rakyat terbesar tercatat di Desa
Sukmajaya sebesar 1.23 ha, sedangkan rata-rata terendah tercatat di Desa
Kalisuren yaitu sebesar 0.29 ha. Rendahnya pengetahuan responden tentang
teknik pengolahan lahan kering, serta persepsi tentang tingginya biaya yang harus
disediakan jika mengusahakannya secara intensif menyebabkan mereka lebih
memilih untuk memanfaatkan lahan-lahan tersebut dengan jalan menanaminya
dengan tanaman keras berkayu. Responden menganggap menanam tanaman keras
berkayu merupakan cara termudah dan termurah dalam memanfaatkan lahannya.
Mereka hanya perlu menggali lubang tanam, serta menanam dan memanen hasil
pada akhir daur produksi.
Tabel 6 Luas penguasaan lahan responden petani hutan rakyat
Desa Luas lahan hutan
5.2 Pengetahuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Petani menyebut lahan hutan rakyat dengan nama kebon, dan sesuai dengan
nama jenis tanaman pokok yang ditanam. Kebon jenjing untuk hutan rakyat yang
jenis tanaman pokoknya sengon, kebon jati untuk jenis tanaman pokok jati, dan
Tajur Halang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kebon campuran dan kebon
monokultur. Kebon campuran adalah hutan rakyat yang ditanami dengan berbagai
jenis tanaman, misalnya suatu kebon jenjing dengan jenis tanaman pokok sengon
dan tanaman tumpangsarinya berupa ketela, pisang, ubi jalar, jagung, kacang
tanah, dsb. Kebon campuran lainnya menggabungkan beberapa jenis tanaman
pokok dalam satu lahan, misalnya sengon dan jati, sengon dan mahoni, atau
sengon, mahoni dan jati. Kebon monokultur adalah kebon dengan satu jenis
tanaman pokok saja, misalnya satu lahan hanya digunakan untuk menanam pohon
sengon saja. Jenis hutan rakyat akan disajikan pada Gambar 3.
A B
C D
Gambar 3 Jenis hutan rakyat. Ket: (A) Hutan rakyat monokultur sengon umur 1,5
tahun; (B) Hutan rakyat monokultur jati umur 6 tahun; (C) Hutan
rakyat campuran jati, sengon dan mahoni; (D) Hutan rakyat
agroforestry.
Petani lebih banyak menggunakan sistem kebon monokultur karena
sebagian besar petani telah memiliki lahan lainnya yang digunakan untuk lahan
pertanian palawija. Pertanian palawija sebagai pemasukan utama petani dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut petani dengan menggunakan sistem
kebon monokultur petani dapat lebih fokus dalam memelihara hutan rakyatnya.
Berikut ini adalah pengelolaan hutan rakyat yang dilihat dari tahapan
kegiatan yang masuk dalam sub-tema budaya pengelolaan hutan rakyat, yaitu
pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.
5.2.1 Pemilihan jenis
Kegiatan pemilihan jenis diperlukan untuk menentukan jenis tanaman
pokok yang bernilai ekonomis tinggi. Tindakan yang dilakukan dalam pemilihan
jenis adalah kegiatan survei jenis kayu yang diminati konsumen, pengamatan jenis
pohon yang cocok dengan kondisi lahan, survei harga kayu dan waktu panen jenis
pohon, serta mempelajari teknologi penanaman jenis pohon.
Kegiatan survei jenis kayu yang diminati konsumen dilakukan dengan
bertanya kepada pedagang kayu rakyat mengenai kayu dari jenis pohon apa yang
paling diminati oleh konsumen. Petani juga mendatangi tempat pengusaha meubel
mengenai kayu yang paling dibutuhkan oleh pengusaha meubel tersebut. Hal ini
dilakukan agar kayu yang dihasilkan mudah dijual, karena petani menginginkan
kepastian penjualan kayu yang dihasilkan dari lahan hutan rakyatnya.
Kayu yang diminati konsumen adalah kayu yang harganya murah dan
memiliki kualitas yang cukup baik. Masyarakat Kecamatan Tajur Halang
memfavoritkan kayu sengon yang terbilang murah dan memiliki kualitas yang
cukup baik. Kayu sengon digunakan sebagai bahan pembuatan meubel dan kayu
konstruksi. Oleh karena itu banyak petani yang memilih sengon sebagai tanaman
pokoknya. Petani yang mengincar segmen pasar menengah keatas lebih memilih
jati sebagai tanaman pokoknya. Kayu jati menjadi incaran masyarakat golongan
menengah keatas sebagai kayu konstruksi dan bahan pembuatan meubel.
Survei jenis kayu yang diminati konsumen merupakan tindakan yang
dilakukan petani berdasarkan pengetahuan mereka dalam bidang ekonomi. Petani
diminati konsumen ini petani telah mencegah kemungkinan tidak lakunya hasil
produksi kayu mereka. Kayu yang diminati konsumen akan mudah terjual dan
memiliki kepastian penjualannya dibandingkan kayu yang tidak favorit. Menurut
Indriyanto (2008) pemilihan jenis pohon yang akan ditanam harus memenuhi
persyaratan ekonomi, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai jenis pohon
itu sendiri, misalnya kualitas kayu sesuai dengan tujuan penggunaannya, riap
pohon atau laju pertumbuhan pohon, dan kayunya atau hasil nir kayu lainnya laku
di pasaran.
Kegiatan pengamatan jenis pohon yang cocok dengan kondisi lahan
dilakukan dengan menanam beberapa bibit (biasanya 2 – 3 bibit) dari jenis
tanaman pokok yang ingin diusahakan. Bibit ditanam selama ± 2 bulan untuk
melakukan pengamatan apakah bibit dapat tumbuh dengan baik atau tidak,
menurut petani waktu dua bulan sudah cukup untuk melihat kecocokkan jenis
pohon tersebut dengan lahan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian
akibat bibit yang tidak tumbuh dengan optimal, ataupun kematian bibit. Jenis
pohon yang cocok dengan kondisi lahan memiliki ciri-ciri; tampak segar, daun
hijau, tidak kerdil, dan pertumbuhan cepat.
Kecocokkan jenis pohon dengan kondisi lingkungan tidak terlepas dengan
kecocokkan jenis pohon terhadap tanah. Jenis tanah dominan yang terdapat pada
wilayah Kecamatan Tajur Halang adalah tanah jenis Latosol. Jenis pohon yang
paling cocok dengan kondisi lingkungan Kecamatan Tajur Halang adalah pohon
sengon (Paraserianthes falcataria). Sengon tumbuh pada berbagai jenis tanah,
bahkan pada jenis tanah yang drainasenya jelek atau tanahnya tandus masih dapat
tumbuh. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada jenis tanah Regosol, Alluvial dan
Latosol. Tanah-tanah tersebut bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu
dengan tingkat kemasaman agak masam sampai netral (Santoso 1992). Tinggi
tempat terbaik pertumbuhan sengon pada 10 sampai 800 mdpl, tetapi dapat juga
tumbuh sampai ketinggian 1.600 mdpl (Alrasjid 1973). Sementara itu wilayah
Kecamatan Tajur Halang berada pada ketinggian 229 hingga 239 mdpl.
Berdasarkan hal inilah sengon merupakan jenis pohon yang paling cocok untuk
ditanam di Kecamatan Tajur Halang.
Setiap jenis pohon menghendaki persyaratan tumbuh yang berbeda-beda
karena setiap jenis pohon memiliki tingkat toleransi berbeda terhadap kondisi
tempat tumbuh. Jenis pohon yang cocok dengan kondisi lahan biasanya akan
tumbuh dengan baik, dicirikan dengan daun yang berwarna hijau cerah (tidak
layu), serta pertumbuhan tinggi pohon yang cepat. Jika jenis pohon tidak cocok
dengan kondisi lahan dicirikan dengan daun yang berwarna hijau pucat (layu),
serta pertumbuhan tinggi pohon yang lambat (kerdil). Tindakan pengamatan jenis
pohon yang cocok dengan kondisi lahan merupakan pengetahuan petani dalam
aspek ekologi. Petani mengetahui karakteristik lingkungan lahan hutan rakyatnya,
dan melihat jenis pohon yang telah dikembangkan di daerah lain yang
karakteristik lingkungannya mirip dengan milik petani, kemudian mencoba
menanam beberapa bibit pohon tersebut di lahannya untuk melakukan
pengamatan pertumbuhan jenis pohon tersebut. Menurut Indriyanto (2008)
pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuh merupakan
kunci keberhasilan program pemudaan hutan secara buatan. Dalam hal ini
pemudaan hutan dalam pembangunan hutan rakyat.
Kegiatan survei harga kayu dan waktu panen dilakukan dengan menanyakan
harga kayu dan waktu panen dari masing-masing jenis pohon kepada pedagang
kayu rakyat atau pengusaha meubel dan kepada petani lainnya. Hal ini dilakukan
untuk menyeleksi jenis pohon yang cocok dengan kebutuhan ekonomi petani.
Memilih jenis pohon yang cocok dengan kebutuhan ekonomi dapat
mengoptimalkan usaha hutan rakyat sebagai sumber penghasilan sesuai dengan
kebutuhan petani.
Kebutuhan ekonomi adalah faktor internal kondisi keuangan petani tersebut,
maksudnya adalah latar belakang ekonomi petani tersebut. Petani dengan latar
belakang ekonomi yang mapan memiliki modal yang besar dan biasanya tidak
membutuhkan uang dalam waktu dekat. Petani dengan karakteristik seperti ini
akan memilih untuk menanam pohon jati yang membutuhkan waktu lama untuk
mendapatkan hasilnya, karena petani ini tidak membutuhkan uang dalam waktu
yang dekat. Mereka justru akan menjadikan usaha hutan rakyatnya sebagai
investasi masa depan, karena jati akan menghasilkan keuntungan yang besar.
membutuhkan uang dalam waktu dekat. Petani dengan karakteristik seperti ini
akan memilih jenis pohon yang cepat waktu panennya. Petani ini biasanya akan
memilih pohon sengon yang tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan
hasilnya. Petani ini menjadikan usaha hutan rakyat mereka sebagai sumber
penghasilan utama mereka. Inti dari tindakan ini adalah seberapa pentingkah arti
hutan rakyat yang petani tanam dalam kehidupan ekonomi mereka, jika mereka
membutuhkan uang dalam jangka waktu yang cepat maka mereka akan menanam
jenis yang cepat tumbuh dan cepat panen, namun jika mereka bertujuan untuk
menabung dalam jangka waktu yang lama, maka mereka akan memilih jenis yang
masa panennya lama.
Kegiatan mempelajari teknologi penanaman jenis pohon yang dipilih
dilakukan dengan belajar dari petani lainnya yang telah berhasil dalam usaha
hutan rakyatnya. Hal ini dilakukan agar petani memiliki pengetahuan teknologi
penanaman jenis pohon yang dipilihnya. Teknologi penanaman yang dimaksud
adalah teknologi pemeliharaan yang tepat agar pohon dapat tumbuh dengan baik
sehingga hasil yang didapat optimal.
Teknologi penanaman suatu jenis berbeda dengan jenis lainnya, misalnya
penanaman pohon jati yang berbeda dengan jenis lainnya. Pohon jati memerlukan
pemberian kapur pada lubang tanamnya sebelum bibit jati ditanam. Pemberian
kapur diperlukan untuk memberikan sifat basa pada lubang tanam, karena pohon
jati tidak dapat tumbuh pada tanah asam. Namun menurut petani pemberian kapur
bertujuan untuk mencegah hama rayap, ini adalah pengetahuan yang tidak benar,
karena pohon jati memiliki zat yang disebut tectoquinon yang berfungsi mencegah
hama rayap pada kayu jati. Pohon jati juga memerlukan perlakuan khusus lainnya
yaitu, pengawasan terhadap tindakan pencurian. Kayu jati yang berharga mahal
kerap menjadi sasaran pencurian, oleh karena itu jika pohon jati telah memasuki
masa panen, pengawasan dilakukan oleh petani untuk mencegah tindakan
pencurian itu. Pengawasan yang dilakukan petani dengan menjaga secara
langsung di lokasi tegakan jati miliknya, dan ada juga petani yang menggunakan
hewan penjaga anjing.
Tindakan mempelajari teknologi penanaman jenis pohon merupakan
harus benar-benar tepat agar pertumbuhan pohon menjadi optimal. Menurut
Indriyanto (2008) pemilihan jenis pohon yang diketahui teknologi penanamannya
masuk ke dalam persyaratan ekologi atau disebut dengan persyaratan tumbuh
suatu jenis pohon, yaitu kesesuaian jenis pohon yang akan ditanam terhadap
kondisi tempat tumbuh.
Setelah petani menentukan jenis pohon yang akan ditanam, kemudian petani
memilih bibit yang akan ditanamnya. Bibit pohon didapatkan petani dengan cara
membelinya di pedagang bibit. Bibit yang dibeli dipilih berdasarkan umur bibit,
ukuran bibit, dan kondisi bibit. Umur bibit yang biasa dipilih petani berkisar
antara 3–5 bulan, dengan alasan bahwa bibit yang berumur 3–5 bulan belum
terlalu tua dan sudah cukup umur untuk ditanam. Tinggi bibit yang dipilih petani
memiliki tinggi berkisar antara 30 cm–40 cm, dengan alasan bahwa bibit dengan
tinggi tersebut jika ditanam langsung di tanah akan memiliki pertumbuhan yang
cepat. Kondisi bibit yang dipilih petani adalah bibit yang masih segar dengan
daun yang hijau serta tidak memiliki cabang.
Tidak ada peralatan yang digunakan dalam kegiatan pemilihan jenis ini,
karena inti dari kegiatan pemilihan jenis ini hanyalah pertimbangan petani dalam
menentukan jenis tanaman pokok yang akan diusahakannya. Kegiatan ini
bukanlah kegiatan yang menggunakan peralatan untuk melakukannya.
Pemilihan jenis haruslah menjadi pertimbangan yang matang, begitu juga
menurut Indriyanto (2008) yang mengatakan bahwa kesalahan pemilihan jenis
baru diketahui dalam jangka waktu lama setelah mengalami kerugian waktu,
tenaga, maupun biaya tinggi. Kegiatan pemilihan jenis yang dilakukan petani di
Kecamatan Tajur Halang adalah sejalan dengan teori diatas. Pertimbangan yang
dilakukan petani sudah memenuhi kriteria agar petani tidak mengalami kerugian
waktu, tenaga, maupun biaya tinggi akibat kesalahan pemilihan jenis yang akan
ditanamnya. Petani mempertimbangkan jenis tanaman pokok yang akan
ditanamnya dengan matang yaitu dengan melakukan berbagai tindakan agar petani
tidak mengalami kerugian waktu, tenaga, dan biaya tinggi.