Pelaksanaan
Atraumatic Care
dalam Pemasangan Infus pada
Anak yang Mengalami Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Pirngadi Medan
SKRIPSI
Oleh Inggih Maretno
111101042
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pelaksanaan
Atraumatic Care
dalam Pemasangan Infus pada
Anak yang Mengalami Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Pirngadi Medan
SKRIPSI
Oleh Inggih Maretno
111101042
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan”. Skripsi ini disusun
dengan tujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar kesarjanaan
pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan
membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu:
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
2. Erniyati, S.Kp., MNS. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
3. Evi Karota Bukit, S.Kp., MNS. selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
4. Ikhsanuddin Ahmad, S.Kp., MNS. selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
5. Farida Linda Sari, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen pembimbing dalam
6. Salbiah, S.Kp., M.Kep. selaku dosen penguji 1.
7. Nur Asnah Sitohang S.Kep., Ns., M.kep. selaku dosen penguji 2.
8. Seluruh staf dan dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
9. Kedua orang tua yang penulis sayangi Ayahanda Munir Muheru dan
Ibunda Sutiati yang tidak pernah berhenti untuk mendoakan, memberikan
motivasi dan semangat. Saudara penulis Adinda Yogi Pangestu yang
selalu menemani dan memberikan dukungan.
10.Teman-teman penulis Ana, Astuti, Ayu, Habibul, Ulfah, Nabila dan
teman-teman Program Studi Keperawatan Stambuk 2011 serta saudara-saudaraku
di Forkis Rufaidah Keperawatan.
11.Direktur RSUD dr. Pirngadi yang telah memberikan izin untuk penulis
melakukan penelitian.
12.Direktur RSI Malahayati yang telah memberikan izin untuk melakukan uji
reliabilitas.
Penulis menyelesaikan skripsi ini dengan sungguh-sungguh. Penulis juga
menerima saran dan kritik serta masukan yang membangun. Penulis berharap
skripsi penelitian ini dapat memberikan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan,
khususnya profesi keperawatan.
Medan, Juli 2015
Penulis
Daftar Isi
1.2. Pertumbuhan dan perkembangan anak... 8
2. Rawat inap ... 15
3.3. Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus ... 25
5. Instrument penelitian ... 33
6. Uji validitas dan reliabilitas instrumen ... 35
6.1. Uji validitas ... 35
Lampiran 4. Surat izin uji realibilitas ... 59
Lampiran 5. Surat selesai uji realibilitas ... 61
Lampiran 6. Surat izin pengambilan data ... 62
Lampiran 7. Surat selesai pengambilan data ... 63
Lampiran 8. Surat persetujuan validitas ... 64
Lampiran 9. Komisi etik ... 67
Lampiran 10. Abstrak... 68
Lampiran 11. Hasil uji realibilitas ... 69
Lampiran 12. Tabel frekuensi observasi ... 76
Lampiran 13. Hasil olahan data spss pelaksanaan atraumatic care... 78
Lampiran 14. Lembar bukti bimbingan ... 79
Lampiran 15. Master tabel ... 82
Lampiran 16. Daftar riwayat hidup ... 84
DAFTAR SKEMA
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Defenisi Operasional Penelitian ... 30
Tabel 2. Distribusi hasil lembar obervasi pelaksanan atraumatic care dalam pemasangan infus ... 40
Judul : Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan
Nama Mahasiswa : Inggih Maretno
NIM : 111101042
Jurusan : Ilmu Keperawatan
Tahun Akademik : 2014-2015
ABSTRAK
Anak yang mengalami rawat inap akan memperoleh tindakan pengobatan sesuai dengan penyakitnya. Salah satu tindakan yang rutin dilakukan adalah pemasangan infus. pemasangan infus dapat menimbulkan trauma pada anak seperti rasa cemas, takut, dan rasa tidak nyaman akibat nyeri yang dirasakan setiap penusukan. Trauma yang disebabkan tindakan pemasangan infus akan berdampak secara fisik dan psikologis. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi trauma tersebut adalah dengan mengembangkan tindakan yang bersifat atraumatic care dalam pemasangan infus. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Teknik pengambilan sampel purposive sampling dengan jumlah sampel 31 tindakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap mayoritas kurang optimal (93,5%). Mempertimbangkan hasil penelitian, maka disarankan pada peneliti selanjutnya untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak.
Title of the Thesis : The Implementation of Atraumatic Care in Installing Infusion in Children Treated in the Inpatient Wards of RSUD dr. Pirngadi Medan
Name of Student : Inggih Maretno
Std. ID Number : 111101042
Department : Nursing Science
Academic Year : 2014-2015
ABSTRACT
A child who is treated in the Inpatient Ward will have an appropriate treatment according to his illness. One of the regular actions is by installing infusion which can cause trauma like apprehensive, scared, and uncomfortable because of pain in each thrust. Trauma caused by installing infusion will get physical and psychological effect on children. To decrease the trauma, atraumatic care is developed during the installment of infusion. The objective of the research was to find out the description of the implementation of atraumatic care during the installment of infusion in children being treated in the Inpatient Wards of RSUD dr. Pirngadi, Medan. The research used descriptive method. The samples consisted of 31 treatments, taken by using purposive sampling technique. The result of the research showed that the implementation of atraumatic care in installing infusion in children being treated in the Inpatient Wards was optimal (93.5%). It is recommended that the next researchers analyze the factors which influence the implementation of atraumatic care in children during the installment of infusion.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.
Latar belakangAnak diartikan sebagai seseorang yang berusia kurang dari delapan belas
tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik kebutuhan
fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Hidayat, 2009). Anak dengan berbagai
karakteristiknya memiliki respon imun dan kekuatan pertahanan diri yang belum
optimal, sehingga anak memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami sakit
(Markum, 2002 dalam Ramdaniati, 2011).
Diperkirakan lebih dari 5 juta anak-anak di Amerika Serikat mengalami
rawat inap dan setengah dari jumlah tersebut mengalami kecemasan dan stres
(Kain, 2006 dalam Apriliawati, 2011).
Jumlah anak-anak yang mengalami rawat inap di Indonesia diperkirakan
35 per 1000 anak (Sumarko, 2008 dalam Purwandari, 2009). Angka kesakitan
anak (Morbidity Rate) di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasiolnal
(Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4 tahun
sebesar 25,8%, usia 5-12 tahun sebesar 14,91%, usia 13-15 tahun sebesar 9,1%,
usia 16-21 tahun sebesar 8,13%.
Anak yang dirawat di rumah sakit akan memperoleh tindakan pengobatan
dan perawatan sesuai dengan penyakit dan kebutuhan dasarnya. Salah satu
tindakan yang rutin dilakukan adalah prosedur invasif (tindakan pemasangan
terapi melalui IV. Diperkirakan menurut Gallant dan Schultz (2006) sekitar 150
juta anak yang dirawat di ruang rawat inap rumah sakit di Amerika Serikat
mendapatkan tindakan pemasangan infus. Jumlah pasien yang mendapat terapi
infus di Inggris diperkirakan sekitar 25 juta pertahun dan telah terpasang berbagai
bentuk alat akses selama perawatan (Hampton, 2008).
Anak-anak sangat rentan terhadap stres yang berhubungan dengan
tindakan invasif. Memasang infus pada anak bukan merupakan hal yang mudah
karena anak memiliki vena yang kecil dan rapuh, sehingga sering ditemui
pemasangan infus yang berulang kali karena gagal memasang kanul intra vena.
Pemasangan infus juga biasanya dilakukan berkali-kali pada anak selama anak
dalam masa perawatan karena anak cenderung tidak bisa tenang sehingga infus
yang sedang terpasang sering macet, aboket bengkok/patah atau bahkan infus
terlepas. Akibatnya anak akan dilakukan pemasangan infus berulang kali dan
dapat menimbulkan rasa cemas, takut, dan rasa tidak nyaman akibat nyeri yang
dirasakan setiap kali penusukan (Wang, Sun & Chen, 2008). Hal ini juga akan
menimbulkan trauma pada anak sehingga anak akan mengalami kecemasan dan
stress (Nelson, 1999, dalam bolin 2010).
Perbedaan perkembangan diantara kelompok usia mempengaruhi reaksi
terhadap nyeri (Perry & Potter, 2005). Toleransi terhadap nyeri akan terus
meningkat sesuai dengan pertambahan usia, semakin bertambah usia anak maka
makin bertambah pula pemahaman dan usaha untuk pencegahan terhadap nyeri
Anak pra sekolah akan bereaksi terhadap tindakan penusukan bahkan
mungkin bereaksi untuk menarik diri terhadap jarum karena menimbulkan rasa
nyeri yang nyata, yang menyebabkan takut terhadap tindakan penusukan
(Hockenberry & Wilson, 2007). Reaksi terhadap nyeri hampir serupa dengan
reaksi yang dimunculkan pada anak usia todler, namun anak usia prasekolah
bereaksi lebih baik terhadap persiapan tindakan seperti distraksi dan penjelasan
perawat dibandingkan pada usia yang lebih muda (Hockenberry & Wilson, 2007).
Kondisi tersebut memungkinkan adanya tindakan penurunan nyeri sebelum
tindakan invasif dilaksanakan.
Trauma yang disebabkan tindakan invasif berupa pemasangan infus tidak
hanya berdampak secara fisik tetapi juga psikologis. Trauma fisik dan psikologis
ini akan menimbulkan persepsi negatif pada anak tentang rumah sakit (Kubsch,
2000 dalam Sulistiyani, 2009). Terpaparnya anak pada kejadian traumatik pada
masa kecil akan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan atau
mengerikan dalam waktu yang lama, tidak hanya anak-anak tetapi lingkungan
terutama keluarga juga akan terpengaruh (Fletcher, 2003).
Berbagai upaya dilakukan perawat untuk mengurangi efek trauma pada
anak akibat prosedur invasif. Tindakan yang dilakukan perawat anak sesuai
perkembangan saat ini adalah dengan mengembangkan tindakan atraumatic care
(Kubsch, 2000, dalam Sulistiyani 2009). Atraumatic care merupakan perawatan
yang tidak menimbulkan trauma pada anak. Perawatan tersebut difokuskan dalam
pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan anak
Atarumatic care dapat dilakukan dengan menyediakan lingkungan yang
terapeutik, menggunakan intervensi yang bersifat mengurangi atau memperkecil
distres psikologis dan fisik terhadap anak dan keluarga dalam sistem pelayanan
kesehatan. Distres psikologis meliputi kecemasan, ketakutan, kemarahan,
kekecewaan, kesedihan, malu atau rasa bersalah. Distres fisik dapat berkisar dari
kesulitan tidur dan imobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang
mengganggu seperti rasa sakit (Wong, 2009).
Tujuan utama dari pelayanan yang tidak menimbulkan trauma (atraumatic
care) pada anak, agar adalah tidak ada yang tersakiti. Prinsip yang dilaksanakan
untuk mencapai tujuan tersebut dengan mencegah dan meminimalkan perpisahan
anak dengan keluarganya, meningkatkan kontrol diri anak, dan mencegah
terjadinya nyeri serta cedera tubuh (Wong, 2003).
Penelitian Mariyam (2011) menyatakan bahwa implementasi atraumatic
care untuk mengurangi nyeri pada anak usia 7-13 tahun yang dirawat di ruang
parikesit kelas II dan III RSUD Kota Semarang dengan teknik guided imagery
saat pemasangan infus, menunjukkan adanya pengaruh pemberian guided imagery
terhadap tingkat nyeri pada anak usia 7-13 tahun saat pemasangan infus. Hasilnya
tingkat nyeri responden saat dilakukan pemasangan infus pada kelompok kontrol
sebagian besar mengalami nyeri hebat (skala 5) yaitu 42,9 % sebanyak 12 anak,
sedangkan tingkat nyeri responden pada kelompok intervensi yang sebagian besar
mengalami tingkat nyeri skala 2 (sedikit lebih nyeri) yaitu 39,3 %.
Penelitian Lestari (2013) implementasi atraumatic care menyatakan
anak usia prasekolah dan sekolah saat dilakukan pemasangan infus. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang diberikan dekapan keluarga dan
posisi duduk saat dilakukan pemasangan infus mempunyai skor distres yang lebih
rendah dibandingkan dengan yang diberikan posisi supinasi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang perawat, 90% pasien
anak yang mengalami rawat inap akan mendapatkan tindakan pemasangan infus.
Perawat mengatakan rata-rata anak akan menolak dan menangis ketika tindakan
pemasangan infus akan dilakukan. Berkaitan dengan prinsip atraumatic care
dalam pemasangan infus, perawat mengatakan perawat akan membujuk anak
apabila anak menangis saat prosedur akan dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa berbagai prosedur invasif yang
dilakukan dengan prinsip atraumatic care dapat mengurangi trauma pada anak,
baik trauma fisik (nyeri) dan trauma psikologis (cemas). Berdasarkan hal tersebut
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran pelaksanaan
prinsip perawatan atraumatik khususnya dalam pemasangan infus pada anak di
RSUD dr. Pirngadi Medan yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan di kota
Medan.
2. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis
tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan atraumatic care dalam
pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi
3. Pertanyaan penelitian
a. Bagaimana pelaksanaan pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan
infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi
Medan?
4. Tujuan penelitian
Untuk mengidentifikasi gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam
pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi
Medan.
5. Manfaat penelitian
5.1. Pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sumber
informasi yang berguna bagi mahasiswa keperawatan terutama pada mahasiswa
yang melakukan pembelajaran klinik untuk dapat memberikan perawatan yang
tidak menimbulkan trauma pada saat tindakan pemasangan infus pada anak
yang mengalami rawat inap sehingga diharapkan dapat menurunkan trauma
anak terhadap tindakan pemasangan infus.
5.2. Pelayanan keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada perawat
tentang pelaksanakan atraumatic care dalam tindakan pemasangan infus yang
5.3. Penelitian keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi
tambahan yang berguna bagi pengembangan penelitian keperawatan berikutnya
terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan atraumatic care dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Anak1.1. Definisi anak
Anak adalah seseorang yang berumur belum 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan (Undang-undang Perlindungan
Anak No. 23 pasal 1 tahun 2003), dalam keperawatan anak yang dimaksud
anak adalah seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun, anak
berada dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual.
Hockenberry & Wilson (2007) fase perkembangan anak terdiri dari
fase prenatal (masa kehamilan sampai anak dilahirkan), fase neonatal (usia
0-28 hari), fase infant (usia 1-12 bulan), fase todler (usia 1-3 tahun), fase
mendasar pada fase ini. Terbentuknya kepercayaan diperoleh dari
hubungannya dengan orang tua dan asuhan yang diterima anak. Rasa
fisik, yang membantu mereka mengahadapi situasi tidak dikenal dan tidak
diketahui dengan rasa takut yang minimal (Wong, 2009).
b. Perkembangan kognitif
Menurut Piaget masa bayi merupakan tahap sensorimotor. Pada
tahap ini, anak mengembangkan aktivitasnya dengan menunjukkan
perilaku sederhana yang dilakukan berulang-ualang untuk meniru perilaku
tertentu dilingkungannya. Jadi, perkembangan intelektual dipelajari
melalui sensasi dan pergerakan (Wong, 2009).
c. Perkembangan sosial
Perkembangan sosial bayi pada awalnya dipengaruhi oleh perilaku
refleksifnya, seperti mengenggam, dan pada akhirnya bergantung pada
interaksi anatara bayi dan pemberi asuhan utama. Menangis dan perilaku
refleksif adalah metode untuk memenuhi kebutuhan bayi dalam periode
neonatal dan senyum sosial merupakan langkah awal dalam komunikasi
sosial. Bermain adalah agen sosialisasi utama dan memberikan stimulasi
yang diperlukan untuk belajar dan berinteraksi dengan lingkungan (Wong,
2009).
1.2.2. Toddler
a. Perkembangan psikososial
Menurut Erikson tugas perkembangan pada masa toddler adalah
menguasai sensasi autonomi sementara, sensasi ragu, dan malu. Mereka
Perkembangan otonomi berpusat pada kemampuan anak untuk mengontrol
tubuh dan lingkungannya. Pada fase ini, anak akan meniru perilaku orang
lain disekitarnya dan hal ini merupakan proses belajar. Sebaliknya,
perasaan malu dan ragu akan timbul apabila anak dipaksa oleh orang
tuanya atau orang dewasa lainnya untuk memilih atau berbuat sesuatu
yang dikehendaki mereka (Wong, 2009).
b. Perkembangan kognitif
Menurut Piaget karakteristik utama perkembangan intelektual pada
tahap ini adalah fase sensorimotor dan prakonseptual. Fase sensori motor
(13-18 bulan) anak menngunkan percobaan yang aktif untuk mencaai
tujuan yang sebelumnya belum tercapai. Fase prakonseptual (usia 2-3
tahun) anak lebih berpikir berdasarkan persepsi mereka terhadap suatu
kejadian. Penyelesaian masalah didasarkan pada apa yang mereka lihat
atau dengar secara langsung daripada benda atau kejadian yang mereka
ingat (Wong, 2009).
c. Perkembangan sosial
Todler memilki pemahaman dan kesadaran tentang sifat permanen
benda dan kemampuan untuk menahan kepuasan yang terlambat dan
mentoleransi frustasi tingkat sedang. Akibatnya, toddler akan beraksi
terhadap orang asing secara berbeda dibandingkan bayi. Orang yang tidak
dikenal tidak menimbulkan ancaman yang cukup bermakna terhadap
1.2.3. Prasekolah
a. Perkembangan psikososial
Masa prasekolah antara usia 3 sampai 6 tahun merupakan periode
perkembangan psikososial sebagai periode inisiatif versus rasa bersalah,
yaitu anak mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi terhadap
apa yang ada di sekelilingnya. Anak usia prasekolah adalah pelajar yang
energik, antusias, dan memiliki imajinasi yang aktif, apabila orang tua
tidak dapat menerima imajinasi dan aktifitasnya maka anak akan merasa
bersalah. Keluarga merupakan orang terdekat bagi anak usia prasekolah
(Muscari, 2005).
b. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif pada anak usia prasekolah (3 sampai 6
tahun) berada pada fase peralihan antara prakonseptual dan intuitif
(Muscari, 2005). Pada fase prakonseptual (usia 2 sampai 4 tahun), anak
membentuk konsep yang belum matang dan tidak logis dibandingkan
dengan orang dewasa, membuat klasifikasi yang sederhana,
menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lain, dan mempunyai
pikiran yang berorientasi pada diri sendiri.
Pada fase intuitif (usia 5 sampai 7 tahun), anak menjadi mampu
membuat klasifikasi, menjumlahkan, dan menghubungkan objek-objek,
tetapi tidak menyadari prinsip-prinsip di balik kegiatan tersebut. Anak
menunjukan proses berfikir intuitif (anak menyadari bahwa sesuatu adalah
c. Perkembangan moral
Perkembangan moral anak usia prasekolah adalah adanya
kemampuan untuk mengidentifikasi tingkah laku sehingga akan
menghasilkan hukuman apabila tindakannya salah dan mendapat hadiah
apabila tindakannya benar, serta dapat membedakan antara benar dan salah
(Potter & Perry, 2009). Anak usia prasekolah berada pada tahap pra
konvensional, yaitu munculnya perasaan bersalah dan menekankan pada
pengendalian eksternal. Standar moral anak adalah apa yang ada pada
orang lain, dan anak mengamati mereka untuk menghindari hukuman atau
mendapatkan penghargaan (Muscari, 2005).
1.2.4. Sekolah
a. Perkembangan psikososial
Perkembangan psikososial anak sebagai periode laten dimana
anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis dan
memulai ketertarikan pada lawan jenis. Interaksi sosial lebih luas dengan
teman dan penerimaan dari kelompok akan membantu anak mempunyai
konsep diri yang positif. Kemampuan anak untuk berinteraksi dengan
teman dilingkungannya dapat memfasilitasi perkembangan perasaan
sukses (sense of industry). Anak usia sekolah mulai mengembangkan
keterampilan dan berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna
b. Perkembangan kognitif
Pada usia sekolah anak memiliki kemampuan untuk
menghubungkan serangkaian kejadian untuk menghambatkan mental anak
yang dapat diungkapkan secara verbal ataupun simbolik. Piaget
menyatakan tahap ini sebagai operasional konkret, ketika anak mampu
menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan.
Anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara sesuatu hal
dan ide. Anak mengalami kemajuan dari membuat penilaian berdasarkan
apa yang mereka lihat sampai membuat penilaian berdasarkan alasan
mereka (pemikiran konseptual) (Wong, 2009).
c. Pekembangan moral
Pada saat pola pikir anak berubah dari egosentrisme ke pola pikir
yang lebih logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan
kesadaran diri dan standar moral. Anak sekolah usia 6-7 tahun
mempercayai bahwa apa yang orang lain katakan pada mereka untuk
melakukan sesuatu adalah benar dan apa yang mereka pikirkan adalah
salah. Oleh karena itu, anak usia 6-7 tahun kemungkinan
mengintepretasikan kecelakaan dan ketidakberuntungan sebagai hukuman
kesalahan atau akibat tindakan “buruk” yang dilakukan anak. Anak usia
sekolah yang lebih besar mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat
dibandingkan akibat yang dirasakannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi
bersifat otoriter serta mulai berisi lebih banyak kebutuhan dan keinginan
d. Perkembangan sosial
Salah satu agen sosialisasi terpenting dalam kehidupan anak usia
adalah kelompok teman sebaya, selain orang tua dan sekolah. Kelompok
teman sebaya memberi sejumlah hal yang penting kepada anggotanya.
Melalui kelompok teman sebaya, anak belajar bagaimana menghadapi
dominasi dan permusuhan, berhubungan dengan pemimpin dan pemegang
kekuasaan, serta menggali ide-ide dan lingkungan fisik (Wong, 2009).
1.2.5. Perkembangan remaja (usia 13-18 tahun)
a. Perkembangan psikososial
Anak remaja mulai melihat dirinya sebagai individu yang berbeda,
unik dan terpisah dari setiap individu yang lain. Mereka menunjukkan
perannya dengan sangat dekat dengan kelompoknya, bergaul dan
mengadopsi nilai kelompok dan lingkungannya, untuk dapat mengambil
keputusannya sendiri (Wong, 2009).
b. Perkembangan Kognitif
Pada tahap ini remaja berada pada periode operasional formal,
yaitu remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan aktual yang
merupakan cirri berpikir konkret, mereka juga memperhatikan terhadap
kemungkinan peristiwa yang akan terjadi (Wong, 2009).
c. Perkembangan Moral
Anak usia remaja telah mampu membuat pilihan berdasar pada
prinsip yang dimiliki dan diyakininya. Apapun tindakan yang diyakininya
moral harus berdasarkan pada seperangkat prinsip-prinsip moral yang
diyakinidan memberi mereka sumber untuk mengevaluasi tuntutan situasi
dan merencanakan serangkaian tindakan yang konsisten dengan ide-ide
mereka (Wong, 2009).
d. Perkembangan sosial
Masa remaja adalah masa dengan kemampuan bersosialisasi yang
kuat dan sering kali merupakan suatu masa kesepian yang sama-sama kuat.
Penerimaan oleh teman sebaya, beberapa teman dekat, dan jaminan rasa
cinta dari keluarga yang mendukung merupakan syarat-syarat untuk proses
kematangan interpersonal (Wong, 2009).
2. Rawat Inap
2.1. Definisi Rawat Inap
Rawat inap merupakan proses karena alasan berencana, darurat,
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan
perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah (Wong, 2009).
Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak saat rawat inap,
yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah. Stressor utama dari rawat
inap meliputi perpisahan, hilang kendali, cidera tubuh dan nyeri (Wong,
2009).
2.2. Reaksi Anak Terhadap Rawat Inap
Reaksi anak terhadap rawat inap dipengaruhi usia, persiapan,
layanan kesehatan, dan status emosi anak (Price & Gwin, 2008 dalam Lestari,
2013). Reaksi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan kognitif, keterampilan
terhadap koping, dan pengaruh budaya terhadap reaksi anak sakit (James &
Aswill, 2007 dalam Lestari 2013). Reaksi anak terhadap rawat inap menurut
Wong (2009) yaitu:
1. Cemas akibat Perpisahan
Kecemasan yang timbul merupakan respon emosional terhadap
penilaian sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan
tidak berdaya (Stuart & Sundeen, 1998). Pada kondisi cemas akibat
perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku.
Manifestasi kecemasan yang timbul terbagi menjadi tiga fase yaitu:
a. Fase protes, anak-anak bereaksi secara agresif dengan menangis dan
berteriak memanggil orang tua, menarik perhatian agar orang lain tahu
bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian
orang asing atau orang lain dan sulit ditenangkan.
b. Fase putus asa, dimana tangisan akan berhenti, anak tampak tegang dan
muncul depresi yang terlihat yaitu anak kurang begitu aktif, tidak
tertarik untuk bermain atau terhadap makanan dan menarik diri dari
orang lain.
c. Fase menolak merupakan fase terakhir yaitu fase pelepasan atau
penyangkalan, dimana anak tampak mulai mampu menyesuaikan diri
terhadap kehilangan, tertarik pada lingkungan sekitar, bermain dengan
tersebut dilakukan merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan
merupakan kesenangan.
2. Kehilangan Kendali
Kurangnya kendali akan mengakibatkan persepsi ancaman dan dapat
mempengaruhi keterampilan koping anak-anak. Kehilangan kendali pada anak
sangat beragam dan tergantung usia serta tingkat perkembangannya.
a. Bayi
Bayi sedang mengembangkan cirri kepribadian sehat yang paling
penting yaitu rasa percaya yang dibangun melalui pemberian kasih sayang
secara terus menerus dari orang yang mengasuhnya. Bayi berusaha
mengendalikan lingkungannya dengan ungkapan emosional seperti menangis,
tersenyum. Asuhan yang tidak konsisten dan penyimpangan dari rutinitas
harian bayi dapat menyebabkan rasa tidak percaya dan menurunkan rasa
kendali (Wong, 2003 ).
b. Todler
Sakit dan dirawat di rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan
dalam mengembangkan otonominya. Keterbatasan aktifitas, kurangnya
kemampuan untuk memilih dan perubahan rutinitas dan ritual akan
menyebabkan anak merasa tidak berdaya. Jika rutinitas tersebut terganggu,
maka dapat terjadi kemunduran terhadap kemampuan yang sudah dicapai atau
c. Prasekolah
Usia prasekolah menerima keadaan masuk rumah sakit dengan rasa
ketakutan. Jika anak sangat ketakutan, ia dapat menampilkan perilaku agresif,
dari menggigit, menendang-nendang, bahkan berlari keluar ruangan. Selain itu
ada sebagian anak yang menganggapnya sebagai hukuman sehingga timbul
perasaan malu dan bersalah, dipisahkan, merasa tidak aman dan
kemandiriannya terhambat (Wong, 2003).
d. Sekolah
Rutinitas di rumah sakit seperti tirah baring yang dipaksakan,
penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi,
kegiatan mandi di tempat tidur, penggunaan kursi roda atau brankar dapat
menyebabkan ancaman dan kehilangan kendali pada anak sekolah. Akan
tetapi jika anak-anak tersebut diizinkan memegang kendali dengan cara
melibatkannya dalam setiap prosedur yang memungkinkan, mereka akan
berespon dengan sangat baik terhadap prosedur apa pun (Wong, 2003).
e. Remaja
Segala sesuatu yang mempengaruhi kemandirian, pengakuan diri, dan
kebebasan dalam pencarian identitas diri pada remaja akan menimbulkan
ancaman dan kehilangan kendali. Penyakit yang membatasi kemampuan fisik
seseorang dan rawat inap yang memisahkan seseorang dari sistem
pendukungnya merupakan krisis situasional yang utama. Remaja bereaksi
dengan pengkuan diri, marah atau frustasi sehingga staf rumah sakit sering
menganggap remaja sebagai pasien yang sulit dan tidak dapat diatur.
3. Cedera tubuh dan nyeri
a. Bayi
Penelitian mengenai perkembangan konsep sakit dan pemahaman anak
tentang sakit berkaitan dengan ketakutan terhadap cedera tubuh tidak ada hasil
temuannya pada anak-anak yang belum dapat bicara. Indikator distress yang
paling konsisten adalah ekspresi wajah terhadap ketidaknyamanan. Gerakan
tubuh termasuk menggeliat, menyentak, dan memukul-mukul.sebagian bayi
dapat mengangis dengan keras setelah prosedur, sedangkan yang lainnya
mudah ditenangkan dengan dipeluk.
b. Todller
Pengalaman seperti pemeriksaan telinga atau mulut atau pemeriksaan
suhu rektal merupakan prosedur yang sangat mencemaskan dan todler
bereaksi sama kerasnya dengan prosedur yang menyakitkan. Secara umum,
anak dalam kelompok usia ini terus bereaksi dengan kemarahan emosional
yang kuat dan resistensi fisik terhadap pengalaman nyeri baik yang aktual
maupun yang dirasakan.
Perilaku yang mengindikasikan nyeri antara lain, meringis kesakitan,
mengatupkan gigi dan atau bibir, membuka mata lebar-lebar,
mengguncang-guncang, menggosok-gosok, dan bertindak agresif, seperti menggigit,
menendang, memukul, atau melarikan diri. Todler biasanya mampu
mereka rasakan, meskipun begitu anak belum mampu menggambarkan jenis
dan intensitas nyeri.
c. Prasekolah
Anak prasekolah sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan,
dimana mereka percaya bahwa sakit yang alami disebabkan pikiran atau
tindakannya sendiri. Prosedur yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak
merupakan ancaman bagi anak prasekolah yang konsep integritas tubuhnya
belum berkembang baik. Mereka bereaksi terhadap injeksi sama khawatirnya
dengan nyeri saat jarum dicabut dan takut intrusi atau pungsi pada tubuh tidak
akan menutup kembali dan "isi tubuh" mereka akan keluar.
Reaksi terhadap nyeri cenderung sama dengan reaksi anak usia todler,
akan tetapi anak usia prasekolah memiliki respon yang lebih baik ketika
diberikan penjelasan dan distraksi terhadap prosedur yang dilakukan. Pada
umumnya anak menggunakan ekspresi verbal dengan mengatakan "Pergi dari
sini", mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh,
mencoba mengamankan peralatan atau berusaha mengunci diri di tempat yang
aman untuk mempengaruhi orang agar menyerah dalam melakukan prosedur.
Anak prasekolah dapat menunjukkan letak nyeri mereka dan dapat
menggunakan skala nyeri dengan yang tepat.
d. Sekolah
Anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika
dibandingkan dengan disabilitas, pemulihan yang tidak pasti atau kematian.
efek prosedur dan prosedur yang menyakitkan atau tidak. Anak usia sekolah
mampu mengkomunikasikan secara verbal nyeri yang mereka alami berkaitan
dengan letak, intensitas dan deskripsinya.
Secara umum, mereka telah mempelajari koping menghadapi nyeri
seperti berpegangan erat, mengepalkan tangan atau mengatupkan gigi atau
mencoba bertindak berani dengan meringis atau berteriak. Anak usia sekolah
juga menggunakan kata-kata untuk mengendalikan reaksi mereka terhadap
nyeri. Sebagian besar anak menghargai penjelasan prosedur yang diberikan
dan tampak tidak begitu takut jika mereka mengetahui apa yang akan terjadi
dan sebaliknya anak yang lain berusaha untuk mendapatkan kendali dengan
berupaya menunda kejadian tersebut.
e. Remaja
Citra tubuh remaja yang berubah dengan cepat membuat mereka
sangat khawatir terhadap abnormalitas yang dapat disebabkan oleh penyakit
yang diderita. Mengajukan banyak pertanyaan, menarik diri, menolak orang
lain, atau mempertanyakan keadekuatan perawatan merupakan respon
terhadap kekhawatiran tersebut. Jika menderita suatu penyakit, mereka takut
pertumbuhan mereka akan mengalami kemunduran, sehingga mereka
tertinggal dari teman-teman sebayanya.
Remaja sudah memiliki pengendalian diri yang lebih baik ketika
berespon terhadap nyeri. Sejalan dengan perkembangan kognitif, remaja sudah
mampu menggambarkan pengalaman nyeri yang dirasakan dan menggunakan
3. Atraumatic care
3.1. Definisi atraumatic care
Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan
oleh tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak melalui
penggunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun psikologis
yang dialami anak maupun orang tua (Wong, 2009).
Intervensi berkisar dari pendekatan psikologis berupa menyiapkan
anak-anak untuk prosedur pemeriksaan sampai pada intervensi fisik terkait
menyediakan ruang untuk orang tua dan anak tinggal bersama dalam satu
ruangan (rooming in). Distres psikologi meliputi kecemasan, ketakutan,
kemarahan, kekecewaan, kesedihan, malu atau rasa bersalah. Distres fisik
meliputi kesulitan mobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang
mengganggu seperti rasa sakit, bunyi keras, cahaya yang menyilaukan atau
kegelapan (Wong, 2009). Maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan
atraumatic care adalah suatu tindakan perawatan terapeutik yang dilakukan
oleh perawat dengan menggunakan intervensi melalui cara mengeliminasi atau
meminimalisasi stres psikologi dan fisik yang dialami oleh anak dan
keluarganya dalam sistem pelayanan kesehatan.
3.2. Prinsip atraumatic care pada anak
Asuhan keperawatan yang berpusat pada keluarga dan atraumatic care
menjadi falsafah utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Berkaitan
dengan upaya mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang
keperawatan adalah meminimlakan stresor, memaksimalkan manfaat rawat
inap, memberi dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan
mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit (Wong, 2009).
Ada tiga prinsip yang mendasari dalam mencapai tujuan tindakan
atraumatic care (Wong et. al., 2009) yaitu:
1) mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dan orang tua
Dampak perpisahan dari keluarga, anak akan mengalami gangguan
psikologis seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang, gangguan
ini akan mengambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dan keluarga dapat
dilakukan dengan membangun hubungan yang baik antara anak dan orang tua
selama perawatan di rumah sakit, menyiapkan anak sebelum dan setelah
prosedur yang tidak dikenalinya, memfasilitasi orang tua berada didekat muka
anak dengan memberikan kesempatan untuk bernyanyi dan menyentuh
(Hockenberry & Wilson, 2009). Mendampingi anak di ruang persiapan operasi
sampai anak tertidur setelah diberikan anestesi (Gauderer, Lorig & Eastwood,
1989; Fina et al 1997).
2) Meningkatkan pengendalian diri pada anak
Mengurangi rasa takut pada anak dengan memberikan informasi yang
tidak diketahui terkait lingkungan perawatan, diagnosis dan membuat
lingkungan yang nyaman. Memberi kesempatan pada anak untuk kontrol
jadwal yang konsisten dan memberikan saran secara langsung terhadap proses
perawatan yang diberikan.
Memberikan peningkatan pengetahuan keluarga terkait kondisi
kesehatan anak, dan keterampilan untuk mengawasi kondisi anak (Wong,
2009).
3) Mencegah atau meminimalkan nyeri dan cedera pada tubuh
Nyeri sering dihubungkan dengan rasa takut, cemas, dan stress.
Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam
keperawatan anak. Proses pengurangan nyeri sering tidak dapat dihilangkan
tetapi dapat dikurangi melalui teknik farmakologi dan teknik nonfarmakologi
(Wong, 2009).
Teknik farmakologi yang dapat dilakukan, misalnya pada anak yang
akan dilakukan sirkumsisi maka terlebih dahulu meminta persetujuan dari
orang tua dan memberi analgesik (Catudal, 1999). Pemberian sukrosa atau
EMLA pada bayi saat dilakukan pengambilan sampel darah (Joseph & Ulrich,
2007).
Teknik nonfarmakologi dengan meminimalkan rasa takut terhadap
cedera tubuh dan rasa nyeri dilakukan dengan cara mempersiapkan psikologis
anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri
yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan.
Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak bisa dihilangkan secara
cepat akan tetapi dapat dikurangi dengan berbagai teknik misalnya distraksi,
nyeri lebih dapat ditoleransi dan menurunkan kecemasan (Vessey dan Carlson,
1996, dalam Wong, 2009).
Pada pemasangan infus dengan cairan salin diberi kebijakan sampai
dua kali penusukan (Catudal, 1999). Pemberian restraint mempertimbangkan
sesuai dengan kebutuhan anak seperti memasang spalk tangan, dan mengatur
jam tindakan perawatan 60-120 menit sebelum anak tidur (Joseph & Ulrich,
2007).
Tindakan perawatan atraumatic care yang harus dimiliki oleh tim
kesehatan dalam merawat pasien anak diantaranya adalah mengorganisir
hubungan orang tua dengan anak selama rawat inap, persiapan anak sebelum
tindakan atau prosedur yang tidak menyenangkan, mengontrol rasa nyeri,
mengijinkan privasi anak, mengalihkan dengan bermain untuk menghilangkan
rasa takut, suara bising, bau yang tidak sedap, bersikap empati kepada
keluarga dan anak yang sedang dirawat serta memberikan pendidikan
kesehatan tentang kondisi sakit yang dialami anak.
3.3. Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus
Prosedur yang dilakukan pada anak yang dirawat mengalami rawat
inap bermacam-macam. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah
pemasangan infus. Prosedur pemasangan infus merupakan prosedur invasif
yang sering dilakukan pada perawatan anak di rumah sakit. Adanya prosedur
penusukan vena dalam pemasangan infus dapat menimbulkan trauma fisik
berupa nyeri dan trauma psikologis seperti rasa cemas, takut, marah, dan
Trauma fisik dan psikologis ini menimbulkan persepsi negatif anak
tentang rumah sakit, untuk itu perlu ada cara agar tindakan invasif menimbulkan
trauma yang minimal. Berbagai upaya dilakukan oleh perawat untuk mengurangi
efek trauma pada anak akibat prosedur invasif. Tindakan yang dilakukan perawat
anak sesuai perkembangan saat ini adalah dengan mengembangkan tindakan
atraumatic care (Kubsch, 2000 dalam Sulistiyani, 2009).
Menurut Wong (2003) perawatan atarumatik dalam pemasangan infus
sebagai berikut :
1) Jelaskan prosedur pada anak sesuai dengan tingkat perkembangannya;
2) Berikan perawatan atraumatik
Berikan EMLA secara topical diatas area penusukan bila waktunya
memungkinkan (sedikitnya 60 menit) atau gunakan lidokain buffer (diinjeksikan
secara intradermal dekat vena dengan jarum 30G) untuk mengebaskan kulit.
Biarkan persiapan kulit tersebut mengering dengan sempurna sebelum kulit
ditusuk.
Gunakan metode nonfarmakologis untuk mengontrol nyeri dan ansietas,
seperti distraksi anak dengan percakapan, berikan anak sesuatu untuk
berkonsentrasi (misal, memeras tangan, mencubit hidung sendiri, menghitung, dan
berteriak).
Metode yang lain misalnya: tempatkan kompres dingin atau es batu yang
dibungkus, di area injeksi kira-kira satu menit sebelum injeksi, atau berikan
pendinginan pada sisi kontralateral. Mengajarkan anak untuk mengungkapkan
keluarga bila mereka ingin berpartisipasi saat tindakan keperawatan. Restrain
anak hanya bilaa diperlukan agar prosedur dapat dilakukan dengan aman.
3) Anjurkan orang tua untuk menyamankan anak dan memuji anak setelah
tindakan keperawatan.
Menurut Kyle (2013) perawatan atarumatik dalam pemasangan infus
sebagai berikut :
1) Bina hubungan dengan anak dan orang tua. Beri tahu mereka tentang terapi
IV dan apa yang diharapkan. Bersikap jujur pada anak.
2) Jelaskan bahwa venapunktur akan menimbulkan sakit, tetapi hanya sebentar.
Berikan anak kerangka waktu yang dapat ia pahami, seperti waktu yang
diperlukan untuk menggosok giginya atau memakan kudapan.
3) Jika memungkinkan pilih lokasi menggunakan vena tangan dan bukan vena
pergelangan tangan atau lengan atas untuk mengurangi risiko flebitis. Hindari
penggunaan vena ekstremitas bawah dan area fleksi sendi jika memungkinkan
karena area tersebut berkaitan dengan peningkatan resiko tromboflebitis dan
komplikasi lainnya.
4) Pastikan pereda nyeri yang adekuat menggunakan metode farmakologi dan
non-farmakologi sebelum pemasangan peralatan.
5) Biarkan antiseptik yang digunakan untuk mempersiapkan lokasi mengering
secara sempurna sebelum melakukan upaya pemasangan.
6) Gunakan sawar, seperti perban atau waslap atau lengan baju gaun anak
7) Jika vena sulit ditemukan, gunakan peralatan untuk membuat vena terlihat
jelas.
8) Lakukan hanya dua kali upaya untuk mendapatkan akes IV, jika tidak
berhasil setelah dua kali upaya, biarkan individu lain melakukan dua kali
upaya untuk mengakses lokasi IV. Jika masih tidak berhasil, evaluasi
kebutuhan untuk pemasangan alat lain
9) Dorong partisipasi orang tua jika tepat dalam membantu memposisikan anak
atau memberikan posisi kenyamanan, seperti pelukan terapeutik.
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka konseptual
Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang
mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan.
Skema 1. Kerangka Konseptual Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan
infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan. - optimal - kurang optimal - tidak optimal Atraumatic care dalam pemasangan infus
1. Menjelaskan prosedur pemasangan infus 2. Pemilihan lokasi penusukan pada vena tangan
3. Mengurangi persepsi nyeri dengan teknik non-farmakologi
- Menunggu area yang diberi disinfektan sampai kering
- Melakukan upaya untuk mendapatkan akses IV hanya sampai dua kali
- Memfasilitasi keberadaan orang tua dalam
membantu memposisikan anak.
- Melakukan restrain pada anak apabila
diperlukan
- Memasang alat pengaman infus (spalk)
- Menempatkan balutan yang diberi gambar
2. Definisi operasional
Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini
dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 1. Definisi operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur dan Cara Ukur
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
yang bertujuan untuk menggambarkan pelaksanaan atraumatic care dalam
pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi
Medan.
2. Populsi dan Sampel
2.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Populasi
dalam penelitian ini adalah tindakan pemasangan infus yang dilakukan pada anak
usia prasekolah di ruang rawat inap Melati III RSUD dr. Pirngadi Medan yaitu
sebanyak 35 tindakan.
2.2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto,
2006). Sampel dalam penelitian ini adalah tindakan pemasangan infus yang akan
dilakukan pada anak usia pra sekolah. Pada penelitian ini metode pengambilan
sampel yang digunakan adalah purposive sampling.
Kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah :
a. Anak usia pra sekolah (3-6 tahun)
b. Anak yang akan dilakukan pemasangan infus
Kriteria eksklusi sampel dalam penelitian ini adalah :
a. Kondisi anak sangat lemah dan mengalami gangguan kesadaran
b. Orang tua tidak setuju anaknya menjadi responden penelitian
Penentuan jumlah sampel dilakukan berdasarkan rumus:
n =
Dimana: N = Besar Populasi
n = Besar Sampel
d = tingkat signifikan (0,05) (Setiadi, 2007)
n =
=
= 31 tindakan
Berdasarkan rumus diatas didapatlah jumlah sampel sebanyak 31 tindakan.
3. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Juni
2015. Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap Melati RSUD dr. Pirngadi
Medan. Rumah sakit ini dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan
RSUD dr. Pirnagdi Medan merupakan rumah sakit pendidikan dan
penelitian, lokasi rumah sakit yang strategis dan pengurusan surat izin penelitian
yang mudah sehingga dapat memudahkan peneliti mengambil sampel.
4. Pertimbangan etik
Penelitian ini dilakukan setelah keluarnya keterangan kelayakan etik
(ethical clearance) dari komisi etik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara dan keluarnya surat izin penelitian dari pihak RSUD dr. Pirngadi Medan.
Sebelum melakukan penelitian, responden diberi penjelasan terlebih
dahulu tentang tujuan, manfaat dari penelitian, kegiatan dalam penelitian, hak-hak
responden dalam penelitian dan kerahasiaan terjaga. Jika orang tua anak memberi
izin, maka orang tua anak menandatangani lembar persetujuan (informed consent).
Semua data yang dikumpulkan selama penelitian disimpan dan dijaga
kerahasiaanya (confidentiality), data hanya dipergunakan untuk keperluan
penelitian saja. Lembar observasi yang telah diisi disimpan oleh peneliti dan tidak
diberikan kepada pihak RS.
5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh peneliti sesuai
dengan permasalahan dan variabel yang akan diteliti dan mengacu kepada
tinjauan pustaka. Instrumen penelitian terdiri dari lembar observasi untuk menilai
Lembar observasi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus
ini bertujuan untuk memberikan gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam
pemasangan infus pada anak. Lembar observasi ini menggunakan skala Guttman
dengan jenis pernyataan dikotomi dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Jika
perawat melaksanakan atraumatic care dalam pemasangan infus diberi nilai 1 dan
apabila perawat tidak melaksanakan atraumatic care dalam pemasangan infus
diberi nilai 0. Pernyataan terdiri dari 9 pernyataan yang berisi tentang atraumatic
care dalam pemasangan infus. Total skor yang didapat adalah 0-9. Perhitungan
data hasil pengukuran dikategorikan berdasarkan rumus statistik menurut
(Arikunto 2006 dalam Ainun 2009).
Total skor : 68%-100% = optimal
34%-67% = kurang optimal
0%-33% = tidak optimal
Berdasarkan standar Arikunto (2006 dalam Ainun 2009), maka didapatkan
rentang sebagai berikut:
6-9 : optimal
3-5 : kurang optimal
6. Uji validitas dan reliabilitas instrumen
6.1. Uji validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrumen
pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur. Pengujian validitas
terhadap 10 item lembar penerapan atraumatic care dilakukan dengan validitas
isi (content validity), yaitu meminta pendapat pakar pada bidang yang sedang
diteliti (judgement expert). Uji validitas pada penelitian ini akan dilakukan oleh
beberapa ahli yaitu, kepala ruangan Anak RSUD dr. Pirngadi medan, kepala
ruangan Anak RS. USU, dan dosen dasar Fakultas Kepereawatan Universitas
Sumatera Utara. Jika ada pernyataan dalam instrumen yang tidak relevan dan
tidak jelas, maka pernyataan akan diperbaiki, dihapus, dan ditambah sesuai
dengan instruksi validator. Pada instrumen ini terdiri dari dari 9 pernyataan yang
diperbaiki secara gramatikal, 1 pernyataan yang dihapus karena tidak relevan.
Setelah instrumen disetujui oleh ketiga validator, dilakukan penghitungan skor uji
validitas. Instrumen dinyatakan valid apabila skor uji validitasnya > 0,70. Skor
uji validitas pada instrumen ini sebesar 0,89 dan dinyatakan valid sehingga dapat
dijadikan sebgai instumen penelitian.
6.2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui apakah instrumen dipercaya
untuk digunakan sebagai alat pengumpulan data. Apabila alat ukur yang
atau fakta diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainanan tetap memiliki
kesamaan (Nursalam, 2008). Sebelum melakukan uji reliabilitas, terlebih dahulu
dilakukan tahap uji coba dengan mendiskusikan format observasi, menyamakan
persepsi, dan melakukan latihan dengan asisten peneliti. Selanjutnya, peneliti dan
asisten peneliti melakukan pengamatan sendiri-sendiri dengan menggunakan
lembar observasi dan responden yang sama.
Uji realibilitas ini dilakukan kepada 10 responden tindakan pemasangan
infus yang dilakukan pada anak usia pra sekolah di RSI Malahayati Medan pada
15 Maret – 25 Maret 2015. Uji yang digunakan untuk lembar observasi adalah uji
interarter reliability, yaitu uji yang digunakan untuk penyamaan persepsi antara
peneliti dan asisten peneliti. Alat yang digunakan untuk uji interarter reliability
adalah uji indeks kesesuaian kasar (crude index agreement) (Arikunto, 2010).
Hasil analisisnya 0,89 sehingga 9 item lembar observasi dinyatakan reliabel dan
layak digunakan.
7. Pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Setelah melakukan ujian proposal, peneliti mengurus surat keterangan
kelayakan etik dari tim komite Etik Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
b. Mengajukan permohonan ijin pelaksaaan penelitian ke bagian pendidikan
c. Setelah mendapatkan ijin dari Fakultas Keperawatan USU, peneliti
mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Direktur RSUD dr.
Pirngadi Medan.
d. Setelah mendapatkan izin Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, selanjutnya
dilakukan pengumpulan data penelitian.
e. Sesudah izin penelitian diberikan, peneliti mendata responden yang akan
diobservasi. Peneliti mendata anak yang dirawat inap yang memenuhi
kriteria inklusi dan ekslusi untuk dijadikan responden, kemudian
menunggu responden mana yang akan dilakukan pemasangan infus.
f. Observer (peneliti) menjelaskan tujuan penelitian berdasarkan etika
penelitian, dan meminta kesediaan orang tua anak untuk diobservasi oleh
peneliti, apabila setuju, maka peneliti memberikan surat persetujuan untuk
ditandatangani oleh orang tua anak. Apabila orang tua tidak bersedia maka
peneliti tidak boleh memaksanya.
g. Observer melakukan observasi terhadap penerapan atraumatic care dalam
pemasangan infus. Pada saat peneliti berada di ruangan rawat inap Melati
III, peneliti mengobservasi setiap tindakan pemasangan infus yang
dilakukan oleh perawat.
8. Analisa data
8.1. Pengolahan data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah menggunakan software statistika
a. pemberian kode (coding)
Data diklasifikasikan menurut masing-masing kategori. Setiap kategori
jawaban diberi kode yang berbeda untuk mempermudah pengumpulan data.
b. Memasukkan data (entry/ processing)
Data yang sudah diberi kode selanjutnya dimasukkan kedalam komputer
menggunakan perangkat program statistik.
c. Pengecekan data (cleaning)
Pengecekan data yang sudah dimasukkan untuk memastikan bahwa data
telah bersih dari kesalahan-kesalahan seperti pengkodean atau kesalahan
membaca kode.
Analisis data yang sudah diolah dengan menggunakan program komputer,
selanjutnya dianalisis menggunakan analisis univariat.
8.2. Analisis univariat
Analisis univariat yang digunakan adalah analisa deskriptif statistik. Data
disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase untuk
mendeskripsikan tentang data pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan
setelah dilakukan pengumpulan data pada tanggal 17 April sampai 18 Juni 2015 di
RSUD dr. Pirngadi Medan.
1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini menggambarkan distribusi frekuensi dan persentase
dari pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada pasien anak yang
mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan.
1.1.Distribusi hasil lembar observasi pelaksanaan atraumatic care dalam
pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr.
Pirngadi Medan
Berdasarkan hasil observasi, pelaksanaan atraumatic care dalam
pemasangan infus yang paling sering dilakukan yaitu pemilihan lokasi
menggunakan vena tangan dan melakukan restrain pada anak apabila diperlukan
masing-masing sebanyak 31 tindakan (100%), sedangkan kategori pelaksanaan
atraumatic care dalam pemasangan infus yang paling sering tidak dilakukan yaitu
menjelaskan prosedur pemasangan infus, menunggu area yang diberi disinfektan
sampai kering, dan menempatkan balutan yang di beri gambar senyuman atau
simbol penerimaan lain diatas area pungsi masing-masing sebanyak 31 tindakan
Tabel 2. Distribusi hasil lembar observasi pelaksanaan atraumatic care
dalam pemasangan infus pana anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr.
Pirngadi Medan (n=31)
No. Kategori pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus
Ya Tidak
f % f %
1. Menjelaskan prosedur pemasangan infus - - 31 100
2. Pemilihan lokasi penusukan pada vena tangan 31 100 - -
3. Mengurangi persepsi nyeri dengan teknik
non-farmakologi
6. Memfasilitasi keberadaan orang tua dalam membantu memposisikan anak
senyuman atau simbol penerimaan lain diatas area pungsi
- - 31 100
1.2. Pelaksanan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang
mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29 pelaksanaan atraumatic care
dalam pemasangan infus dilaksanakan kurang optimal (96,5%) dan 2 pelaksanaan
Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pelaksanan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di Ruang Melati RSUD dr. Pirngadi Medan (n=31)
Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap
frekuensi
2.1. Pelaksanaan araumatic care dalam pemasangan infus pada anak
Penilaian pelaksanaan atarumatic care dalam pemasangan infus pada
anak usia prasekolah dilakukan melalui hasil observasi peneliti terhadap
pelaksanaan pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat pelaksana di ruang
rawat inap Melati dr. Pirngadi Medan.
Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan atraumatic care dalam
pemasangan infus kurang optimal yaitu sebanyak 29 tindakan (93,5%), sedangkan
2 tindakan pemasangan infus (6,5 %) termasuk dalam kategori optimal dalam
penerapan atraumatic care. Berdasrkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan atarumatic care dalam pemasangan infus di ruang rawat inap Melati
dr. Pirngadi Medan telah menerapkan prinsip atarumatic care dalam pemasangan
infus dengan cukup optimal. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang
harus berlandaskan pada prinsip atraumatic care atau asuhan terapeutik yang
bertujuan sebagai terapi bagi anak (Wong, 2009).
Hasil penelitian Amalia (2013) mendapatkan hasil bahwa 45,5% perawat
memiliki perilaku yang negatif dalam melakukan atraumatic care pada perawatan
anak di RSUD Dr Harjono, hal ini dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
pendidikan, lama bekerja dan pendapatan. Hal ini didukung dengan penelitian
Rini (2013) yang manyatakan bahwa penerapan pelayanan atraumatic care
bergantung pada ketersediaan sumber daya manusia, kualitas tenaga, sarana dan
prasarana maupun standar pelayanan yang sudah ditetapkan. Hal ini juga
diperkuat oleh penelitian Anjaswarni (2002 dalam Utami 2013) menyatakan
bahwa latarbelakang pendidikan perawat yang rendah, keterbatasan tenaga dan
beban kerja yang terlalu tinggi mengakibatkan perawat kurang mampu memenuhi
semua harapan dan kebutuhan klien.
Berdasarkan hasil observasi pada aspek menjelaskan prosedur
pemasangan infus yang akan dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti
anak, didapatkan hasil perawat tidak melakukan aspek ini saat pemasangan infus.
Perawat sering kali datang langsung melakukan tindakan pemasangan infus pada
anak. Hasil penelitian Lestari (2013) menyatakan bahwa anak dan orang tua
penting diberkan informasi tentang kesiapan prosedur tindakan yang akan
dilakukan, alasan mengapa prosedur tersebut diberikan dan hasil yang akan
dicapai. Ketidakpastian tentang prosedur dapat meningatkan distress, rasa takut,
Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan sesuai dengan tahap tumbuh kembang
sangat diperlukan, sehingga anak mudah menerima dan mengerti prosedur yang
akan dilakukan. Hal ini diperkuat oleh Kurniawati (2009) yang menyebutkan
bahwa tindakan pencegahan dapat dilakukan melalui tindakan mempersiapkan
psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa
nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan dan memberikan
dukungan psikologis pada orang tua dan anak.
Hasil observasi aspek pemilihan lokasi menggunakan vena tangan bukan
vena pergelangan tangan dan menghindari penggunaan vena ekstremitas bawah
dan area fleksi sendi didapatkan hasil semua perawat yang akan melakukan
pemasangan infus, pertama akan memilih vena yang ada di tangan dan tidak
pernah memilih vena yang ada dipergelangan tangan, apabila vena yang ada di
tangan kanan dan tangan kiri tidak bisa dilakukan penusukan, perawat akan
memilih vena yang ada di ekstremitas bawah. Hal ini dipertegas oleh Alexander
(2010) yang menyatakan bahwa pemilihan lokasi vena menggunakan vena tangan
dan bukan vena pergelangan tangan atau lengan atas untuk mengurangi resiko
flebitis dan menghindari penggunaan vena ekstremitas bawah dan area fleksi
sendi karena area tersebut berkaitan dengan peningkatan resiko tromboflebitis dan
komplikasi lainnya (jika memungkinkan). Handiyani (2007) mengatakan bahwa
pemasangan kateter intravena tidak jarang menimbulkan masalah atau komplikasi,
mayoritas masalah yang berhubungan dengan intravena (IV) terletak pada sistem
infus atau tempat penusukan vena. Infeksi atau komplikasi lokal yang bisa terjadi
pasien, kondisi vena, jenis pH obat dan cairan, filtrasi, serta ukuran, panjang serta
materi (bahan) selang infus.
Hasil observasi aspek mengurangi persepsi nyeri anak dengan teknik
non-farmakologi di dapatkan hasil bahwa sebagian perawat melakukan
pemasangan infus tanpa melakukan teknik pengurangan rasa sakit/nyeri pada
anak, sehingga sering kali anak menangis dan menolak untuk dilakukan
pemasangan infus. Sebagian perawat akan mengajak anak bercerita, misalnya
bercerita tentang boneka yang dipegang anak, gambar kartun yang ada dibaju
anak atau gambar kartun yang ada didinding rawat inap. Hal ini diperkuat oleh
Wong (2008) yang menyatakan bahwa proses pengurangan nyeri sering tidak
dapat dihilangkan secara tepat tetapi dapat dikurangi melalui berbagai teknik,
misalnya distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing, dan melakukan permainan
terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak, bercerita yang berkaitan
dengan tindakan yang akan dilakukan pada anak. Mencegah dan mengurangi
persepsi nyeri (dampak psikologis) pada anak tidak mudah dan membuat perawat
harus meluangkan waktu yang lebih banyak saat akan melakukan tindakan, namun
apabila tindakan pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan
berlangsung lama pada anak sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak dan dapat memberikan persepsi negatif terhadap perawat dan
rumah sakit (Kubsch, dalam Sulistiyani, 2009).
Berbagai teknik non farmakologi seperti distraksi, relaksasi, guided
tingkat nyeri, sehingga nyeri dapat ditolerir, cemas menurun, dan efektifitas
pereda nyeri meningkat (Wong, 2003).
Hasil observasi pada aspek menunggu area yang diberi disinfektan
mengering dengan sempurna sebelum dilakukan penusukan didapatkan hasil
bahwa perawat belum melakukan aspek tersebut, perawat biasanya langsung
melakukan penusukan saat area yang diberi disinfektan masih basah dan belum
kering secara sempurna. Berdasarkan hasil observasi perawat tidak menunggu
area tersebut kering dengan sempurna karena anak biasanya sudah menangis saat
perawat menghampiri anak, sehingga perawat ingin melakukan penusukan dengan
cepat agar prosedur pemasangan infus dapat dilakukan dengan cepat sehingga
anak dapat segera berhenti menangis.
Area yang akan dilakukan penusukan harus di swab dengan kapas
alkohol selama 30 detik, kemudian tunggu 30 detik lagi agar kulit menjadi kering.
Apabila penusukan dilakukan sebelum kulit kering, masih ada kemungkinan
bakteri belum mati dan akan ikut ke lokasi penusukan sehingga meningkatkan
resiko infeksi (Dann, 1969 dalam Koivisisto & Felig, 1978).
Hasil observasi pada aspek melakukan upaya untuk mendapatkan akses
IV hanya sampai dua kali, jika tidak berhasil setelah dua kali upaya, biarkan
perawat yang lain melakukan dua kali upaya untuk mengakses lokasi IV (Jika
masih tidak berhasil, evaluasi kebutuhan untuk pemasangan alat lain) sebagian
perawat sudah melakukan hal tersebut, dan hanya sebagian perawat yang tidak
meminta perawat lain untuk melakukan penusukan apabila perawat pertama tidak