• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

Pelaksanaan

Atraumatic Care

dalam Pemasangan Infus pada

Anak yang Mengalami Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Pirngadi Medan

SKRIPSI

Oleh Inggih Maretno

111101042

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Pelaksanaan

Atraumatic Care

dalam Pemasangan Infus pada

Anak yang Mengalami Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Pirngadi Medan

SKRIPSI

Oleh Inggih Maretno

111101042

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)
(5)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan”. Skripsi ini disusun

dengan tujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar kesarjanaan

pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan

membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Erniyati, S.Kp., MNS. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

3. Evi Karota Bukit, S.Kp., MNS. selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Ikhsanuddin Ahmad, S.Kp., MNS. selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

5. Farida Linda Sari, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen pembimbing dalam

(6)

6. Salbiah, S.Kp., M.Kep. selaku dosen penguji 1.

7. Nur Asnah Sitohang S.Kep., Ns., M.kep. selaku dosen penguji 2.

8. Seluruh staf dan dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

9. Kedua orang tua yang penulis sayangi Ayahanda Munir Muheru dan

Ibunda Sutiati yang tidak pernah berhenti untuk mendoakan, memberikan

motivasi dan semangat. Saudara penulis Adinda Yogi Pangestu yang

selalu menemani dan memberikan dukungan.

10.Teman-teman penulis Ana, Astuti, Ayu, Habibul, Ulfah, Nabila dan

teman-teman Program Studi Keperawatan Stambuk 2011 serta saudara-saudaraku

di Forkis Rufaidah Keperawatan.

11.Direktur RSUD dr. Pirngadi yang telah memberikan izin untuk penulis

melakukan penelitian.

12.Direktur RSI Malahayati yang telah memberikan izin untuk melakukan uji

reliabilitas.

Penulis menyelesaikan skripsi ini dengan sungguh-sungguh. Penulis juga

menerima saran dan kritik serta masukan yang membangun. Penulis berharap

skripsi penelitian ini dapat memberikan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan,

khususnya profesi keperawatan.

Medan, Juli 2015

Penulis

(7)

Daftar Isi

1.2. Pertumbuhan dan perkembangan anak... 8

2. Rawat inap ... 15

3.3. Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus ... 25

(8)

5. Instrument penelitian ... 33

6. Uji validitas dan reliabilitas instrumen ... 35

6.1. Uji validitas ... 35

Lampiran 4. Surat izin uji realibilitas ... 59

Lampiran 5. Surat selesai uji realibilitas ... 61

Lampiran 6. Surat izin pengambilan data ... 62

Lampiran 7. Surat selesai pengambilan data ... 63

Lampiran 8. Surat persetujuan validitas ... 64

Lampiran 9. Komisi etik ... 67

Lampiran 10. Abstrak... 68

Lampiran 11. Hasil uji realibilitas ... 69

Lampiran 12. Tabel frekuensi observasi ... 76

Lampiran 13. Hasil olahan data spss pelaksanaan atraumatic care... 78

Lampiran 14. Lembar bukti bimbingan ... 79

Lampiran 15. Master tabel ... 82

Lampiran 16. Daftar riwayat hidup ... 84

(9)

DAFTAR SKEMA

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Defenisi Operasional Penelitian ... 30

Tabel 2. Distribusi hasil lembar obervasi pelaksanan atraumatic care dalam pemasangan infus ... 40

(11)

Judul : Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan

Nama Mahasiswa : Inggih Maretno

NIM : 111101042

Jurusan : Ilmu Keperawatan

Tahun Akademik : 2014-2015

ABSTRAK

Anak yang mengalami rawat inap akan memperoleh tindakan pengobatan sesuai dengan penyakitnya. Salah satu tindakan yang rutin dilakukan adalah pemasangan infus. pemasangan infus dapat menimbulkan trauma pada anak seperti rasa cemas, takut, dan rasa tidak nyaman akibat nyeri yang dirasakan setiap penusukan. Trauma yang disebabkan tindakan pemasangan infus akan berdampak secara fisik dan psikologis. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi trauma tersebut adalah dengan mengembangkan tindakan yang bersifat atraumatic care dalam pemasangan infus. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Teknik pengambilan sampel purposive sampling dengan jumlah sampel 31 tindakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap mayoritas kurang optimal (93,5%). Mempertimbangkan hasil penelitian, maka disarankan pada peneliti selanjutnya untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak.

(12)

Title of the Thesis : The Implementation of Atraumatic Care in Installing Infusion in Children Treated in the Inpatient Wards of RSUD dr. Pirngadi Medan

Name of Student : Inggih Maretno

Std. ID Number : 111101042

Department : Nursing Science

Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

A child who is treated in the Inpatient Ward will have an appropriate treatment according to his illness. One of the regular actions is by installing infusion which can cause trauma like apprehensive, scared, and uncomfortable because of pain in each thrust. Trauma caused by installing infusion will get physical and psychological effect on children. To decrease the trauma, atraumatic care is developed during the installment of infusion. The objective of the research was to find out the description of the implementation of atraumatic care during the installment of infusion in children being treated in the Inpatient Wards of RSUD dr. Pirngadi, Medan. The research used descriptive method. The samples consisted of 31 treatments, taken by using purposive sampling technique. The result of the research showed that the implementation of atraumatic care in installing infusion in children being treated in the Inpatient Wards was optimal (93.5%). It is recommended that the next researchers analyze the factors which influence the implementation of atraumatic care in children during the installment of infusion.

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.

Latar belakang

Anak diartikan sebagai seseorang yang berusia kurang dari delapan belas

tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik kebutuhan

fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Hidayat, 2009). Anak dengan berbagai

karakteristiknya memiliki respon imun dan kekuatan pertahanan diri yang belum

optimal, sehingga anak memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami sakit

(Markum, 2002 dalam Ramdaniati, 2011).

Diperkirakan lebih dari 5 juta anak-anak di Amerika Serikat mengalami

rawat inap dan setengah dari jumlah tersebut mengalami kecemasan dan stres

(Kain, 2006 dalam Apriliawati, 2011).

Jumlah anak-anak yang mengalami rawat inap di Indonesia diperkirakan

35 per 1000 anak (Sumarko, 2008 dalam Purwandari, 2009). Angka kesakitan

anak (Morbidity Rate) di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasiolnal

(Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4 tahun

sebesar 25,8%, usia 5-12 tahun sebesar 14,91%, usia 13-15 tahun sebesar 9,1%,

usia 16-21 tahun sebesar 8,13%.

Anak yang dirawat di rumah sakit akan memperoleh tindakan pengobatan

dan perawatan sesuai dengan penyakit dan kebutuhan dasarnya. Salah satu

tindakan yang rutin dilakukan adalah prosedur invasif (tindakan pemasangan

(14)

terapi melalui IV. Diperkirakan menurut Gallant dan Schultz (2006) sekitar 150

juta anak yang dirawat di ruang rawat inap rumah sakit di Amerika Serikat

mendapatkan tindakan pemasangan infus. Jumlah pasien yang mendapat terapi

infus di Inggris diperkirakan sekitar 25 juta pertahun dan telah terpasang berbagai

bentuk alat akses selama perawatan (Hampton, 2008).

Anak-anak sangat rentan terhadap stres yang berhubungan dengan

tindakan invasif. Memasang infus pada anak bukan merupakan hal yang mudah

karena anak memiliki vena yang kecil dan rapuh, sehingga sering ditemui

pemasangan infus yang berulang kali karena gagal memasang kanul intra vena.

Pemasangan infus juga biasanya dilakukan berkali-kali pada anak selama anak

dalam masa perawatan karena anak cenderung tidak bisa tenang sehingga infus

yang sedang terpasang sering macet, aboket bengkok/patah atau bahkan infus

terlepas. Akibatnya anak akan dilakukan pemasangan infus berulang kali dan

dapat menimbulkan rasa cemas, takut, dan rasa tidak nyaman akibat nyeri yang

dirasakan setiap kali penusukan (Wang, Sun & Chen, 2008). Hal ini juga akan

menimbulkan trauma pada anak sehingga anak akan mengalami kecemasan dan

stress (Nelson, 1999, dalam bolin 2010).

Perbedaan perkembangan diantara kelompok usia mempengaruhi reaksi

terhadap nyeri (Perry & Potter, 2005). Toleransi terhadap nyeri akan terus

meningkat sesuai dengan pertambahan usia, semakin bertambah usia anak maka

makin bertambah pula pemahaman dan usaha untuk pencegahan terhadap nyeri

(15)

Anak pra sekolah akan bereaksi terhadap tindakan penusukan bahkan

mungkin bereaksi untuk menarik diri terhadap jarum karena menimbulkan rasa

nyeri yang nyata, yang menyebabkan takut terhadap tindakan penusukan

(Hockenberry & Wilson, 2007). Reaksi terhadap nyeri hampir serupa dengan

reaksi yang dimunculkan pada anak usia todler, namun anak usia prasekolah

bereaksi lebih baik terhadap persiapan tindakan seperti distraksi dan penjelasan

perawat dibandingkan pada usia yang lebih muda (Hockenberry & Wilson, 2007).

Kondisi tersebut memungkinkan adanya tindakan penurunan nyeri sebelum

tindakan invasif dilaksanakan.

Trauma yang disebabkan tindakan invasif berupa pemasangan infus tidak

hanya berdampak secara fisik tetapi juga psikologis. Trauma fisik dan psikologis

ini akan menimbulkan persepsi negatif pada anak tentang rumah sakit (Kubsch,

2000 dalam Sulistiyani, 2009). Terpaparnya anak pada kejadian traumatik pada

masa kecil akan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan atau

mengerikan dalam waktu yang lama, tidak hanya anak-anak tetapi lingkungan

terutama keluarga juga akan terpengaruh (Fletcher, 2003).

Berbagai upaya dilakukan perawat untuk mengurangi efek trauma pada

anak akibat prosedur invasif. Tindakan yang dilakukan perawat anak sesuai

perkembangan saat ini adalah dengan mengembangkan tindakan atraumatic care

(Kubsch, 2000, dalam Sulistiyani 2009). Atraumatic care merupakan perawatan

yang tidak menimbulkan trauma pada anak. Perawatan tersebut difokuskan dalam

pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan anak

(16)

Atarumatic care dapat dilakukan dengan menyediakan lingkungan yang

terapeutik, menggunakan intervensi yang bersifat mengurangi atau memperkecil

distres psikologis dan fisik terhadap anak dan keluarga dalam sistem pelayanan

kesehatan. Distres psikologis meliputi kecemasan, ketakutan, kemarahan,

kekecewaan, kesedihan, malu atau rasa bersalah. Distres fisik dapat berkisar dari

kesulitan tidur dan imobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang

mengganggu seperti rasa sakit (Wong, 2009).

Tujuan utama dari pelayanan yang tidak menimbulkan trauma (atraumatic

care) pada anak, agar adalah tidak ada yang tersakiti. Prinsip yang dilaksanakan

untuk mencapai tujuan tersebut dengan mencegah dan meminimalkan perpisahan

anak dengan keluarganya, meningkatkan kontrol diri anak, dan mencegah

terjadinya nyeri serta cedera tubuh (Wong, 2003).

Penelitian Mariyam (2011) menyatakan bahwa implementasi atraumatic

care untuk mengurangi nyeri pada anak usia 7-13 tahun yang dirawat di ruang

parikesit kelas II dan III RSUD Kota Semarang dengan teknik guided imagery

saat pemasangan infus, menunjukkan adanya pengaruh pemberian guided imagery

terhadap tingkat nyeri pada anak usia 7-13 tahun saat pemasangan infus. Hasilnya

tingkat nyeri responden saat dilakukan pemasangan infus pada kelompok kontrol

sebagian besar mengalami nyeri hebat (skala 5) yaitu 42,9 % sebanyak 12 anak,

sedangkan tingkat nyeri responden pada kelompok intervensi yang sebagian besar

mengalami tingkat nyeri skala 2 (sedikit lebih nyeri) yaitu 39,3 %.

Penelitian Lestari (2013) implementasi atraumatic care menyatakan

(17)

anak usia prasekolah dan sekolah saat dilakukan pemasangan infus. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang diberikan dekapan keluarga dan

posisi duduk saat dilakukan pemasangan infus mempunyai skor distres yang lebih

rendah dibandingkan dengan yang diberikan posisi supinasi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang perawat, 90% pasien

anak yang mengalami rawat inap akan mendapatkan tindakan pemasangan infus.

Perawat mengatakan rata-rata anak akan menolak dan menangis ketika tindakan

pemasangan infus akan dilakukan. Berkaitan dengan prinsip atraumatic care

dalam pemasangan infus, perawat mengatakan perawat akan membujuk anak

apabila anak menangis saat prosedur akan dilakukan.

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa berbagai prosedur invasif yang

dilakukan dengan prinsip atraumatic care dapat mengurangi trauma pada anak,

baik trauma fisik (nyeri) dan trauma psikologis (cemas). Berdasarkan hal tersebut

maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran pelaksanaan

prinsip perawatan atraumatik khususnya dalam pemasangan infus pada anak di

RSUD dr. Pirngadi Medan yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan di kota

Medan.

2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis

tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan atraumatic care dalam

pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi

(18)

3. Pertanyaan penelitian

a. Bagaimana pelaksanaan pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan

infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi

Medan?

4. Tujuan penelitian

Untuk mengidentifikasi gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam

pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi

Medan.

5. Manfaat penelitian

5.1. Pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sumber

informasi yang berguna bagi mahasiswa keperawatan terutama pada mahasiswa

yang melakukan pembelajaran klinik untuk dapat memberikan perawatan yang

tidak menimbulkan trauma pada saat tindakan pemasangan infus pada anak

yang mengalami rawat inap sehingga diharapkan dapat menurunkan trauma

anak terhadap tindakan pemasangan infus.

5.2. Pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada perawat

tentang pelaksanakan atraumatic care dalam tindakan pemasangan infus yang

(19)

5.3. Penelitian keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi

tambahan yang berguna bagi pengembangan penelitian keperawatan berikutnya

terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan atraumatic care dalam

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Anak

1.1. Definisi anak

Anak adalah seseorang yang berumur belum 18 (delapan belas) tahun

termasuk anak yang masih dalam kandungan (Undang-undang Perlindungan

Anak No. 23 pasal 1 tahun 2003), dalam keperawatan anak yang dimaksud

anak adalah seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun, anak

berada dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik fisik,

psikologis, sosial, dan spiritual.

Hockenberry & Wilson (2007) fase perkembangan anak terdiri dari

fase prenatal (masa kehamilan sampai anak dilahirkan), fase neonatal (usia

0-28 hari), fase infant (usia 1-12 bulan), fase todler (usia 1-3 tahun), fase

mendasar pada fase ini. Terbentuknya kepercayaan diperoleh dari

hubungannya dengan orang tua dan asuhan yang diterima anak. Rasa

(21)

fisik, yang membantu mereka mengahadapi situasi tidak dikenal dan tidak

diketahui dengan rasa takut yang minimal (Wong, 2009).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget masa bayi merupakan tahap sensorimotor. Pada

tahap ini, anak mengembangkan aktivitasnya dengan menunjukkan

perilaku sederhana yang dilakukan berulang-ualang untuk meniru perilaku

tertentu dilingkungannya. Jadi, perkembangan intelektual dipelajari

melalui sensasi dan pergerakan (Wong, 2009).

c. Perkembangan sosial

Perkembangan sosial bayi pada awalnya dipengaruhi oleh perilaku

refleksifnya, seperti mengenggam, dan pada akhirnya bergantung pada

interaksi anatara bayi dan pemberi asuhan utama. Menangis dan perilaku

refleksif adalah metode untuk memenuhi kebutuhan bayi dalam periode

neonatal dan senyum sosial merupakan langkah awal dalam komunikasi

sosial. Bermain adalah agen sosialisasi utama dan memberikan stimulasi

yang diperlukan untuk belajar dan berinteraksi dengan lingkungan (Wong,

2009).

1.2.2. Toddler

a. Perkembangan psikososial

Menurut Erikson tugas perkembangan pada masa toddler adalah

menguasai sensasi autonomi sementara, sensasi ragu, dan malu. Mereka

(22)

Perkembangan otonomi berpusat pada kemampuan anak untuk mengontrol

tubuh dan lingkungannya. Pada fase ini, anak akan meniru perilaku orang

lain disekitarnya dan hal ini merupakan proses belajar. Sebaliknya,

perasaan malu dan ragu akan timbul apabila anak dipaksa oleh orang

tuanya atau orang dewasa lainnya untuk memilih atau berbuat sesuatu

yang dikehendaki mereka (Wong, 2009).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget karakteristik utama perkembangan intelektual pada

tahap ini adalah fase sensorimotor dan prakonseptual. Fase sensori motor

(13-18 bulan) anak menngunkan percobaan yang aktif untuk mencaai

tujuan yang sebelumnya belum tercapai. Fase prakonseptual (usia 2-3

tahun) anak lebih berpikir berdasarkan persepsi mereka terhadap suatu

kejadian. Penyelesaian masalah didasarkan pada apa yang mereka lihat

atau dengar secara langsung daripada benda atau kejadian yang mereka

ingat (Wong, 2009).

c. Perkembangan sosial

Todler memilki pemahaman dan kesadaran tentang sifat permanen

benda dan kemampuan untuk menahan kepuasan yang terlambat dan

mentoleransi frustasi tingkat sedang. Akibatnya, toddler akan beraksi

terhadap orang asing secara berbeda dibandingkan bayi. Orang yang tidak

dikenal tidak menimbulkan ancaman yang cukup bermakna terhadap

(23)

1.2.3. Prasekolah

a. Perkembangan psikososial

Masa prasekolah antara usia 3 sampai 6 tahun merupakan periode

perkembangan psikososial sebagai periode inisiatif versus rasa bersalah,

yaitu anak mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi terhadap

apa yang ada di sekelilingnya. Anak usia prasekolah adalah pelajar yang

energik, antusias, dan memiliki imajinasi yang aktif, apabila orang tua

tidak dapat menerima imajinasi dan aktifitasnya maka anak akan merasa

bersalah. Keluarga merupakan orang terdekat bagi anak usia prasekolah

(Muscari, 2005).

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif pada anak usia prasekolah (3 sampai 6

tahun) berada pada fase peralihan antara prakonseptual dan intuitif

(Muscari, 2005). Pada fase prakonseptual (usia 2 sampai 4 tahun), anak

membentuk konsep yang belum matang dan tidak logis dibandingkan

dengan orang dewasa, membuat klasifikasi yang sederhana,

menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lain, dan mempunyai

pikiran yang berorientasi pada diri sendiri.

Pada fase intuitif (usia 5 sampai 7 tahun), anak menjadi mampu

membuat klasifikasi, menjumlahkan, dan menghubungkan objek-objek,

tetapi tidak menyadari prinsip-prinsip di balik kegiatan tersebut. Anak

menunjukan proses berfikir intuitif (anak menyadari bahwa sesuatu adalah

(24)

c. Perkembangan moral

Perkembangan moral anak usia prasekolah adalah adanya

kemampuan untuk mengidentifikasi tingkah laku sehingga akan

menghasilkan hukuman apabila tindakannya salah dan mendapat hadiah

apabila tindakannya benar, serta dapat membedakan antara benar dan salah

(Potter & Perry, 2009). Anak usia prasekolah berada pada tahap pra

konvensional, yaitu munculnya perasaan bersalah dan menekankan pada

pengendalian eksternal. Standar moral anak adalah apa yang ada pada

orang lain, dan anak mengamati mereka untuk menghindari hukuman atau

mendapatkan penghargaan (Muscari, 2005).

1.2.4. Sekolah

a. Perkembangan psikososial

Perkembangan psikososial anak sebagai periode laten dimana

anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis dan

memulai ketertarikan pada lawan jenis. Interaksi sosial lebih luas dengan

teman dan penerimaan dari kelompok akan membantu anak mempunyai

konsep diri yang positif. Kemampuan anak untuk berinteraksi dengan

teman dilingkungannya dapat memfasilitasi perkembangan perasaan

sukses (sense of industry). Anak usia sekolah mulai mengembangkan

keterampilan dan berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna

(25)

b. Perkembangan kognitif

Pada usia sekolah anak memiliki kemampuan untuk

menghubungkan serangkaian kejadian untuk menghambatkan mental anak

yang dapat diungkapkan secara verbal ataupun simbolik. Piaget

menyatakan tahap ini sebagai operasional konkret, ketika anak mampu

menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan.

Anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara sesuatu hal

dan ide. Anak mengalami kemajuan dari membuat penilaian berdasarkan

apa yang mereka lihat sampai membuat penilaian berdasarkan alasan

mereka (pemikiran konseptual) (Wong, 2009).

c. Pekembangan moral

Pada saat pola pikir anak berubah dari egosentrisme ke pola pikir

yang lebih logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan

kesadaran diri dan standar moral. Anak sekolah usia 6-7 tahun

mempercayai bahwa apa yang orang lain katakan pada mereka untuk

melakukan sesuatu adalah benar dan apa yang mereka pikirkan adalah

salah. Oleh karena itu, anak usia 6-7 tahun kemungkinan

mengintepretasikan kecelakaan dan ketidakberuntungan sebagai hukuman

kesalahan atau akibat tindakan “buruk” yang dilakukan anak. Anak usia

sekolah yang lebih besar mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat

dibandingkan akibat yang dirasakannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi

bersifat otoriter serta mulai berisi lebih banyak kebutuhan dan keinginan

(26)

d. Perkembangan sosial

Salah satu agen sosialisasi terpenting dalam kehidupan anak usia

adalah kelompok teman sebaya, selain orang tua dan sekolah. Kelompok

teman sebaya memberi sejumlah hal yang penting kepada anggotanya.

Melalui kelompok teman sebaya, anak belajar bagaimana menghadapi

dominasi dan permusuhan, berhubungan dengan pemimpin dan pemegang

kekuasaan, serta menggali ide-ide dan lingkungan fisik (Wong, 2009).

1.2.5. Perkembangan remaja (usia 13-18 tahun)

a. Perkembangan psikososial

Anak remaja mulai melihat dirinya sebagai individu yang berbeda,

unik dan terpisah dari setiap individu yang lain. Mereka menunjukkan

perannya dengan sangat dekat dengan kelompoknya, bergaul dan

mengadopsi nilai kelompok dan lingkungannya, untuk dapat mengambil

keputusannya sendiri (Wong, 2009).

b. Perkembangan Kognitif

Pada tahap ini remaja berada pada periode operasional formal,

yaitu remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan aktual yang

merupakan cirri berpikir konkret, mereka juga memperhatikan terhadap

kemungkinan peristiwa yang akan terjadi (Wong, 2009).

c. Perkembangan Moral

Anak usia remaja telah mampu membuat pilihan berdasar pada

prinsip yang dimiliki dan diyakininya. Apapun tindakan yang diyakininya

(27)

moral harus berdasarkan pada seperangkat prinsip-prinsip moral yang

diyakinidan memberi mereka sumber untuk mengevaluasi tuntutan situasi

dan merencanakan serangkaian tindakan yang konsisten dengan ide-ide

mereka (Wong, 2009).

d. Perkembangan sosial

Masa remaja adalah masa dengan kemampuan bersosialisasi yang

kuat dan sering kali merupakan suatu masa kesepian yang sama-sama kuat.

Penerimaan oleh teman sebaya, beberapa teman dekat, dan jaminan rasa

cinta dari keluarga yang mendukung merupakan syarat-syarat untuk proses

kematangan interpersonal (Wong, 2009).

2. Rawat Inap

2.1. Definisi Rawat Inap

Rawat inap merupakan proses karena alasan berencana, darurat,

mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan

perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah (Wong, 2009).

Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak saat rawat inap,

yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah. Stressor utama dari rawat

inap meliputi perpisahan, hilang kendali, cidera tubuh dan nyeri (Wong,

2009).

2.2. Reaksi Anak Terhadap Rawat Inap

Reaksi anak terhadap rawat inap dipengaruhi usia, persiapan,

(28)

layanan kesehatan, dan status emosi anak (Price & Gwin, 2008 dalam Lestari,

2013). Reaksi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan kognitif, keterampilan

terhadap koping, dan pengaruh budaya terhadap reaksi anak sakit (James &

Aswill, 2007 dalam Lestari 2013). Reaksi anak terhadap rawat inap menurut

Wong (2009) yaitu:

1. Cemas akibat Perpisahan

Kecemasan yang timbul merupakan respon emosional terhadap

penilaian sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan

tidak berdaya (Stuart & Sundeen, 1998). Pada kondisi cemas akibat

perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku.

Manifestasi kecemasan yang timbul terbagi menjadi tiga fase yaitu:

a. Fase protes, anak-anak bereaksi secara agresif dengan menangis dan

berteriak memanggil orang tua, menarik perhatian agar orang lain tahu

bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian

orang asing atau orang lain dan sulit ditenangkan.

b. Fase putus asa, dimana tangisan akan berhenti, anak tampak tegang dan

muncul depresi yang terlihat yaitu anak kurang begitu aktif, tidak

tertarik untuk bermain atau terhadap makanan dan menarik diri dari

orang lain.

c. Fase menolak merupakan fase terakhir yaitu fase pelepasan atau

penyangkalan, dimana anak tampak mulai mampu menyesuaikan diri

terhadap kehilangan, tertarik pada lingkungan sekitar, bermain dengan

(29)

tersebut dilakukan merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan

merupakan kesenangan.

2. Kehilangan Kendali

Kurangnya kendali akan mengakibatkan persepsi ancaman dan dapat

mempengaruhi keterampilan koping anak-anak. Kehilangan kendali pada anak

sangat beragam dan tergantung usia serta tingkat perkembangannya.

a. Bayi

Bayi sedang mengembangkan cirri kepribadian sehat yang paling

penting yaitu rasa percaya yang dibangun melalui pemberian kasih sayang

secara terus menerus dari orang yang mengasuhnya. Bayi berusaha

mengendalikan lingkungannya dengan ungkapan emosional seperti menangis,

tersenyum. Asuhan yang tidak konsisten dan penyimpangan dari rutinitas

harian bayi dapat menyebabkan rasa tidak percaya dan menurunkan rasa

kendali (Wong, 2003 ).

b. Todler

Sakit dan dirawat di rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan

dalam mengembangkan otonominya. Keterbatasan aktifitas, kurangnya

kemampuan untuk memilih dan perubahan rutinitas dan ritual akan

menyebabkan anak merasa tidak berdaya. Jika rutinitas tersebut terganggu,

maka dapat terjadi kemunduran terhadap kemampuan yang sudah dicapai atau

(30)

c. Prasekolah

Usia prasekolah menerima keadaan masuk rumah sakit dengan rasa

ketakutan. Jika anak sangat ketakutan, ia dapat menampilkan perilaku agresif,

dari menggigit, menendang-nendang, bahkan berlari keluar ruangan. Selain itu

ada sebagian anak yang menganggapnya sebagai hukuman sehingga timbul

perasaan malu dan bersalah, dipisahkan, merasa tidak aman dan

kemandiriannya terhambat (Wong, 2003).

d. Sekolah

Rutinitas di rumah sakit seperti tirah baring yang dipaksakan,

penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi,

kegiatan mandi di tempat tidur, penggunaan kursi roda atau brankar dapat

menyebabkan ancaman dan kehilangan kendali pada anak sekolah. Akan

tetapi jika anak-anak tersebut diizinkan memegang kendali dengan cara

melibatkannya dalam setiap prosedur yang memungkinkan, mereka akan

berespon dengan sangat baik terhadap prosedur apa pun (Wong, 2003).

e. Remaja

Segala sesuatu yang mempengaruhi kemandirian, pengakuan diri, dan

kebebasan dalam pencarian identitas diri pada remaja akan menimbulkan

ancaman dan kehilangan kendali. Penyakit yang membatasi kemampuan fisik

seseorang dan rawat inap yang memisahkan seseorang dari sistem

pendukungnya merupakan krisis situasional yang utama. Remaja bereaksi

(31)

dengan pengkuan diri, marah atau frustasi sehingga staf rumah sakit sering

menganggap remaja sebagai pasien yang sulit dan tidak dapat diatur.

3. Cedera tubuh dan nyeri

a. Bayi

Penelitian mengenai perkembangan konsep sakit dan pemahaman anak

tentang sakit berkaitan dengan ketakutan terhadap cedera tubuh tidak ada hasil

temuannya pada anak-anak yang belum dapat bicara. Indikator distress yang

paling konsisten adalah ekspresi wajah terhadap ketidaknyamanan. Gerakan

tubuh termasuk menggeliat, menyentak, dan memukul-mukul.sebagian bayi

dapat mengangis dengan keras setelah prosedur, sedangkan yang lainnya

mudah ditenangkan dengan dipeluk.

b. Todller

Pengalaman seperti pemeriksaan telinga atau mulut atau pemeriksaan

suhu rektal merupakan prosedur yang sangat mencemaskan dan todler

bereaksi sama kerasnya dengan prosedur yang menyakitkan. Secara umum,

anak dalam kelompok usia ini terus bereaksi dengan kemarahan emosional

yang kuat dan resistensi fisik terhadap pengalaman nyeri baik yang aktual

maupun yang dirasakan.

Perilaku yang mengindikasikan nyeri antara lain, meringis kesakitan,

mengatupkan gigi dan atau bibir, membuka mata lebar-lebar,

mengguncang-guncang, menggosok-gosok, dan bertindak agresif, seperti menggigit,

menendang, memukul, atau melarikan diri. Todler biasanya mampu

(32)

mereka rasakan, meskipun begitu anak belum mampu menggambarkan jenis

dan intensitas nyeri.

c. Prasekolah

Anak prasekolah sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan,

dimana mereka percaya bahwa sakit yang alami disebabkan pikiran atau

tindakannya sendiri. Prosedur yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak

merupakan ancaman bagi anak prasekolah yang konsep integritas tubuhnya

belum berkembang baik. Mereka bereaksi terhadap injeksi sama khawatirnya

dengan nyeri saat jarum dicabut dan takut intrusi atau pungsi pada tubuh tidak

akan menutup kembali dan "isi tubuh" mereka akan keluar.

Reaksi terhadap nyeri cenderung sama dengan reaksi anak usia todler,

akan tetapi anak usia prasekolah memiliki respon yang lebih baik ketika

diberikan penjelasan dan distraksi terhadap prosedur yang dilakukan. Pada

umumnya anak menggunakan ekspresi verbal dengan mengatakan "Pergi dari

sini", mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh,

mencoba mengamankan peralatan atau berusaha mengunci diri di tempat yang

aman untuk mempengaruhi orang agar menyerah dalam melakukan prosedur.

Anak prasekolah dapat menunjukkan letak nyeri mereka dan dapat

menggunakan skala nyeri dengan yang tepat.

d. Sekolah

Anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika

dibandingkan dengan disabilitas, pemulihan yang tidak pasti atau kematian.

(33)

efek prosedur dan prosedur yang menyakitkan atau tidak. Anak usia sekolah

mampu mengkomunikasikan secara verbal nyeri yang mereka alami berkaitan

dengan letak, intensitas dan deskripsinya.

Secara umum, mereka telah mempelajari koping menghadapi nyeri

seperti berpegangan erat, mengepalkan tangan atau mengatupkan gigi atau

mencoba bertindak berani dengan meringis atau berteriak. Anak usia sekolah

juga menggunakan kata-kata untuk mengendalikan reaksi mereka terhadap

nyeri. Sebagian besar anak menghargai penjelasan prosedur yang diberikan

dan tampak tidak begitu takut jika mereka mengetahui apa yang akan terjadi

dan sebaliknya anak yang lain berusaha untuk mendapatkan kendali dengan

berupaya menunda kejadian tersebut.

e. Remaja

Citra tubuh remaja yang berubah dengan cepat membuat mereka

sangat khawatir terhadap abnormalitas yang dapat disebabkan oleh penyakit

yang diderita. Mengajukan banyak pertanyaan, menarik diri, menolak orang

lain, atau mempertanyakan keadekuatan perawatan merupakan respon

terhadap kekhawatiran tersebut. Jika menderita suatu penyakit, mereka takut

pertumbuhan mereka akan mengalami kemunduran, sehingga mereka

tertinggal dari teman-teman sebayanya.

Remaja sudah memiliki pengendalian diri yang lebih baik ketika

berespon terhadap nyeri. Sejalan dengan perkembangan kognitif, remaja sudah

mampu menggambarkan pengalaman nyeri yang dirasakan dan menggunakan

(34)

3. Atraumatic care

3.1. Definisi atraumatic care

Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan

oleh tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak melalui

penggunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun psikologis

yang dialami anak maupun orang tua (Wong, 2009).

Intervensi berkisar dari pendekatan psikologis berupa menyiapkan

anak-anak untuk prosedur pemeriksaan sampai pada intervensi fisik terkait

menyediakan ruang untuk orang tua dan anak tinggal bersama dalam satu

ruangan (rooming in). Distres psikologi meliputi kecemasan, ketakutan,

kemarahan, kekecewaan, kesedihan, malu atau rasa bersalah. Distres fisik

meliputi kesulitan mobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang

mengganggu seperti rasa sakit, bunyi keras, cahaya yang menyilaukan atau

kegelapan (Wong, 2009). Maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan

atraumatic care adalah suatu tindakan perawatan terapeutik yang dilakukan

oleh perawat dengan menggunakan intervensi melalui cara mengeliminasi atau

meminimalisasi stres psikologi dan fisik yang dialami oleh anak dan

keluarganya dalam sistem pelayanan kesehatan.

3.2. Prinsip atraumatic care pada anak

Asuhan keperawatan yang berpusat pada keluarga dan atraumatic care

menjadi falsafah utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Berkaitan

dengan upaya mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang

(35)

keperawatan adalah meminimlakan stresor, memaksimalkan manfaat rawat

inap, memberi dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan

mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit (Wong, 2009).

Ada tiga prinsip yang mendasari dalam mencapai tujuan tindakan

atraumatic care (Wong et. al., 2009) yaitu:

1) mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dan orang tua

Dampak perpisahan dari keluarga, anak akan mengalami gangguan

psikologis seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang, gangguan

ini akan mengambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan anak.

Mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dan keluarga dapat

dilakukan dengan membangun hubungan yang baik antara anak dan orang tua

selama perawatan di rumah sakit, menyiapkan anak sebelum dan setelah

prosedur yang tidak dikenalinya, memfasilitasi orang tua berada didekat muka

anak dengan memberikan kesempatan untuk bernyanyi dan menyentuh

(Hockenberry & Wilson, 2009). Mendampingi anak di ruang persiapan operasi

sampai anak tertidur setelah diberikan anestesi (Gauderer, Lorig & Eastwood,

1989; Fina et al 1997).

2) Meningkatkan pengendalian diri pada anak

Mengurangi rasa takut pada anak dengan memberikan informasi yang

tidak diketahui terkait lingkungan perawatan, diagnosis dan membuat

lingkungan yang nyaman. Memberi kesempatan pada anak untuk kontrol

(36)

jadwal yang konsisten dan memberikan saran secara langsung terhadap proses

perawatan yang diberikan.

Memberikan peningkatan pengetahuan keluarga terkait kondisi

kesehatan anak, dan keterampilan untuk mengawasi kondisi anak (Wong,

2009).

3) Mencegah atau meminimalkan nyeri dan cedera pada tubuh

Nyeri sering dihubungkan dengan rasa takut, cemas, dan stress.

Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam

keperawatan anak. Proses pengurangan nyeri sering tidak dapat dihilangkan

tetapi dapat dikurangi melalui teknik farmakologi dan teknik nonfarmakologi

(Wong, 2009).

Teknik farmakologi yang dapat dilakukan, misalnya pada anak yang

akan dilakukan sirkumsisi maka terlebih dahulu meminta persetujuan dari

orang tua dan memberi analgesik (Catudal, 1999). Pemberian sukrosa atau

EMLA pada bayi saat dilakukan pengambilan sampel darah (Joseph & Ulrich,

2007).

Teknik nonfarmakologi dengan meminimalkan rasa takut terhadap

cedera tubuh dan rasa nyeri dilakukan dengan cara mempersiapkan psikologis

anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri

yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan.

Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak bisa dihilangkan secara

cepat akan tetapi dapat dikurangi dengan berbagai teknik misalnya distraksi,

(37)

nyeri lebih dapat ditoleransi dan menurunkan kecemasan (Vessey dan Carlson,

1996, dalam Wong, 2009).

Pada pemasangan infus dengan cairan salin diberi kebijakan sampai

dua kali penusukan (Catudal, 1999). Pemberian restraint mempertimbangkan

sesuai dengan kebutuhan anak seperti memasang spalk tangan, dan mengatur

jam tindakan perawatan 60-120 menit sebelum anak tidur (Joseph & Ulrich,

2007).

Tindakan perawatan atraumatic care yang harus dimiliki oleh tim

kesehatan dalam merawat pasien anak diantaranya adalah mengorganisir

hubungan orang tua dengan anak selama rawat inap, persiapan anak sebelum

tindakan atau prosedur yang tidak menyenangkan, mengontrol rasa nyeri,

mengijinkan privasi anak, mengalihkan dengan bermain untuk menghilangkan

rasa takut, suara bising, bau yang tidak sedap, bersikap empati kepada

keluarga dan anak yang sedang dirawat serta memberikan pendidikan

kesehatan tentang kondisi sakit yang dialami anak.

3.3. Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus

Prosedur yang dilakukan pada anak yang dirawat mengalami rawat

inap bermacam-macam. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah

pemasangan infus. Prosedur pemasangan infus merupakan prosedur invasif

yang sering dilakukan pada perawatan anak di rumah sakit. Adanya prosedur

penusukan vena dalam pemasangan infus dapat menimbulkan trauma fisik

berupa nyeri dan trauma psikologis seperti rasa cemas, takut, marah, dan

(38)

Trauma fisik dan psikologis ini menimbulkan persepsi negatif anak

tentang rumah sakit, untuk itu perlu ada cara agar tindakan invasif menimbulkan

trauma yang minimal. Berbagai upaya dilakukan oleh perawat untuk mengurangi

efek trauma pada anak akibat prosedur invasif. Tindakan yang dilakukan perawat

anak sesuai perkembangan saat ini adalah dengan mengembangkan tindakan

atraumatic care (Kubsch, 2000 dalam Sulistiyani, 2009).

Menurut Wong (2003) perawatan atarumatik dalam pemasangan infus

sebagai berikut :

1) Jelaskan prosedur pada anak sesuai dengan tingkat perkembangannya;

2) Berikan perawatan atraumatik

Berikan EMLA secara topical diatas area penusukan bila waktunya

memungkinkan (sedikitnya 60 menit) atau gunakan lidokain buffer (diinjeksikan

secara intradermal dekat vena dengan jarum 30G) untuk mengebaskan kulit.

Biarkan persiapan kulit tersebut mengering dengan sempurna sebelum kulit

ditusuk.

Gunakan metode nonfarmakologis untuk mengontrol nyeri dan ansietas,

seperti distraksi anak dengan percakapan, berikan anak sesuatu untuk

berkonsentrasi (misal, memeras tangan, mencubit hidung sendiri, menghitung, dan

berteriak).

Metode yang lain misalnya: tempatkan kompres dingin atau es batu yang

dibungkus, di area injeksi kira-kira satu menit sebelum injeksi, atau berikan

pendinginan pada sisi kontralateral. Mengajarkan anak untuk mengungkapkan

(39)

keluarga bila mereka ingin berpartisipasi saat tindakan keperawatan. Restrain

anak hanya bilaa diperlukan agar prosedur dapat dilakukan dengan aman.

3) Anjurkan orang tua untuk menyamankan anak dan memuji anak setelah

tindakan keperawatan.

Menurut Kyle (2013) perawatan atarumatik dalam pemasangan infus

sebagai berikut :

1) Bina hubungan dengan anak dan orang tua. Beri tahu mereka tentang terapi

IV dan apa yang diharapkan. Bersikap jujur pada anak.

2) Jelaskan bahwa venapunktur akan menimbulkan sakit, tetapi hanya sebentar.

Berikan anak kerangka waktu yang dapat ia pahami, seperti waktu yang

diperlukan untuk menggosok giginya atau memakan kudapan.

3) Jika memungkinkan pilih lokasi menggunakan vena tangan dan bukan vena

pergelangan tangan atau lengan atas untuk mengurangi risiko flebitis. Hindari

penggunaan vena ekstremitas bawah dan area fleksi sendi jika memungkinkan

karena area tersebut berkaitan dengan peningkatan resiko tromboflebitis dan

komplikasi lainnya.

4) Pastikan pereda nyeri yang adekuat menggunakan metode farmakologi dan

non-farmakologi sebelum pemasangan peralatan.

5) Biarkan antiseptik yang digunakan untuk mempersiapkan lokasi mengering

secara sempurna sebelum melakukan upaya pemasangan.

6) Gunakan sawar, seperti perban atau waslap atau lengan baju gaun anak

(40)

7) Jika vena sulit ditemukan, gunakan peralatan untuk membuat vena terlihat

jelas.

8) Lakukan hanya dua kali upaya untuk mendapatkan akes IV, jika tidak

berhasil setelah dua kali upaya, biarkan individu lain melakukan dua kali

upaya untuk mengakses lokasi IV. Jika masih tidak berhasil, evaluasi

kebutuhan untuk pemasangan alat lain

9) Dorong partisipasi orang tua jika tepat dalam membantu memposisikan anak

atau memberikan posisi kenyamanan, seperti pelukan terapeutik.

(41)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka konseptual

Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi

gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang

mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan.

Skema 1. Kerangka Konseptual Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan

infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan. - optimal - kurang optimal - tidak optimal Atraumatic care dalam pemasangan infus

1. Menjelaskan prosedur pemasangan infus 2. Pemilihan lokasi penusukan pada vena tangan

3. Mengurangi persepsi nyeri dengan teknik non-farmakologi

- Menunggu area yang diberi disinfektan sampai kering

- Melakukan upaya untuk mendapatkan akses IV hanya sampai dua kali

- Memfasilitasi keberadaan orang tua dalam

membantu memposisikan anak.

- Melakukan restrain pada anak apabila

diperlukan

- Memasang alat pengaman infus (spalk)

- Menempatkan balutan yang diberi gambar

(42)

2. Definisi operasional

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini

dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 1. Definisi operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur dan Cara Ukur

(43)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

yang bertujuan untuk menggambarkan pelaksanaan atraumatic care dalam

pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi

Medan.

2. Populsi dan Sampel

2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Populasi

dalam penelitian ini adalah tindakan pemasangan infus yang dilakukan pada anak

usia prasekolah di ruang rawat inap Melati III RSUD dr. Pirngadi Medan yaitu

sebanyak 35 tindakan.

2.2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto,

2006). Sampel dalam penelitian ini adalah tindakan pemasangan infus yang akan

dilakukan pada anak usia pra sekolah. Pada penelitian ini metode pengambilan

sampel yang digunakan adalah purposive sampling.

Kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah :

a. Anak usia pra sekolah (3-6 tahun)

b. Anak yang akan dilakukan pemasangan infus

(44)

Kriteria eksklusi sampel dalam penelitian ini adalah :

a. Kondisi anak sangat lemah dan mengalami gangguan kesadaran

b. Orang tua tidak setuju anaknya menjadi responden penelitian

Penentuan jumlah sampel dilakukan berdasarkan rumus:

n =

Dimana: N = Besar Populasi

n = Besar Sampel

d = tingkat signifikan (0,05) (Setiadi, 2007)

n =

=

= 31 tindakan

Berdasarkan rumus diatas didapatlah jumlah sampel sebanyak 31 tindakan.

3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Juni

2015. Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap Melati RSUD dr. Pirngadi

Medan. Rumah sakit ini dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan

(45)

RSUD dr. Pirnagdi Medan merupakan rumah sakit pendidikan dan

penelitian, lokasi rumah sakit yang strategis dan pengurusan surat izin penelitian

yang mudah sehingga dapat memudahkan peneliti mengambil sampel.

4. Pertimbangan etik

Penelitian ini dilakukan setelah keluarnya keterangan kelayakan etik

(ethical clearance) dari komisi etik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

Utara dan keluarnya surat izin penelitian dari pihak RSUD dr. Pirngadi Medan.

Sebelum melakukan penelitian, responden diberi penjelasan terlebih

dahulu tentang tujuan, manfaat dari penelitian, kegiatan dalam penelitian, hak-hak

responden dalam penelitian dan kerahasiaan terjaga. Jika orang tua anak memberi

izin, maka orang tua anak menandatangani lembar persetujuan (informed consent).

Semua data yang dikumpulkan selama penelitian disimpan dan dijaga

kerahasiaanya (confidentiality), data hanya dipergunakan untuk keperluan

penelitian saja. Lembar observasi yang telah diisi disimpan oleh peneliti dan tidak

diberikan kepada pihak RS.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh peneliti sesuai

dengan permasalahan dan variabel yang akan diteliti dan mengacu kepada

tinjauan pustaka. Instrumen penelitian terdiri dari lembar observasi untuk menilai

(46)

Lembar observasi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus

ini bertujuan untuk memberikan gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam

pemasangan infus pada anak. Lembar observasi ini menggunakan skala Guttman

dengan jenis pernyataan dikotomi dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Jika

perawat melaksanakan atraumatic care dalam pemasangan infus diberi nilai 1 dan

apabila perawat tidak melaksanakan atraumatic care dalam pemasangan infus

diberi nilai 0. Pernyataan terdiri dari 9 pernyataan yang berisi tentang atraumatic

care dalam pemasangan infus. Total skor yang didapat adalah 0-9. Perhitungan

data hasil pengukuran dikategorikan berdasarkan rumus statistik menurut

(Arikunto 2006 dalam Ainun 2009).

Total skor : 68%-100% = optimal

34%-67% = kurang optimal

0%-33% = tidak optimal

Berdasarkan standar Arikunto (2006 dalam Ainun 2009), maka didapatkan

rentang sebagai berikut:

6-9 : optimal

3-5 : kurang optimal

(47)

6. Uji validitas dan reliabilitas instrumen

6.1. Uji validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrumen

pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur. Pengujian validitas

terhadap 10 item lembar penerapan atraumatic care dilakukan dengan validitas

isi (content validity), yaitu meminta pendapat pakar pada bidang yang sedang

diteliti (judgement expert). Uji validitas pada penelitian ini akan dilakukan oleh

beberapa ahli yaitu, kepala ruangan Anak RSUD dr. Pirngadi medan, kepala

ruangan Anak RS. USU, dan dosen dasar Fakultas Kepereawatan Universitas

Sumatera Utara. Jika ada pernyataan dalam instrumen yang tidak relevan dan

tidak jelas, maka pernyataan akan diperbaiki, dihapus, dan ditambah sesuai

dengan instruksi validator. Pada instrumen ini terdiri dari dari 9 pernyataan yang

diperbaiki secara gramatikal, 1 pernyataan yang dihapus karena tidak relevan.

Setelah instrumen disetujui oleh ketiga validator, dilakukan penghitungan skor uji

validitas. Instrumen dinyatakan valid apabila skor uji validitasnya > 0,70. Skor

uji validitas pada instrumen ini sebesar 0,89 dan dinyatakan valid sehingga dapat

dijadikan sebgai instumen penelitian.

6.2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui apakah instrumen dipercaya

untuk digunakan sebagai alat pengumpulan data. Apabila alat ukur yang

(48)

atau fakta diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainanan tetap memiliki

kesamaan (Nursalam, 2008). Sebelum melakukan uji reliabilitas, terlebih dahulu

dilakukan tahap uji coba dengan mendiskusikan format observasi, menyamakan

persepsi, dan melakukan latihan dengan asisten peneliti. Selanjutnya, peneliti dan

asisten peneliti melakukan pengamatan sendiri-sendiri dengan menggunakan

lembar observasi dan responden yang sama.

Uji realibilitas ini dilakukan kepada 10 responden tindakan pemasangan

infus yang dilakukan pada anak usia pra sekolah di RSI Malahayati Medan pada

15 Maret – 25 Maret 2015. Uji yang digunakan untuk lembar observasi adalah uji

interarter reliability, yaitu uji yang digunakan untuk penyamaan persepsi antara

peneliti dan asisten peneliti. Alat yang digunakan untuk uji interarter reliability

adalah uji indeks kesesuaian kasar (crude index agreement) (Arikunto, 2010).

Hasil analisisnya 0,89 sehingga 9 item lembar observasi dinyatakan reliabel dan

layak digunakan.

7. Pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara :

a. Setelah melakukan ujian proposal, peneliti mengurus surat keterangan

kelayakan etik dari tim komite Etik Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

b. Mengajukan permohonan ijin pelaksaaan penelitian ke bagian pendidikan

(49)

c. Setelah mendapatkan ijin dari Fakultas Keperawatan USU, peneliti

mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Direktur RSUD dr.

Pirngadi Medan.

d. Setelah mendapatkan izin Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, selanjutnya

dilakukan pengumpulan data penelitian.

e. Sesudah izin penelitian diberikan, peneliti mendata responden yang akan

diobservasi. Peneliti mendata anak yang dirawat inap yang memenuhi

kriteria inklusi dan ekslusi untuk dijadikan responden, kemudian

menunggu responden mana yang akan dilakukan pemasangan infus.

f. Observer (peneliti) menjelaskan tujuan penelitian berdasarkan etika

penelitian, dan meminta kesediaan orang tua anak untuk diobservasi oleh

peneliti, apabila setuju, maka peneliti memberikan surat persetujuan untuk

ditandatangani oleh orang tua anak. Apabila orang tua tidak bersedia maka

peneliti tidak boleh memaksanya.

g. Observer melakukan observasi terhadap penerapan atraumatic care dalam

pemasangan infus. Pada saat peneliti berada di ruangan rawat inap Melati

III, peneliti mengobservasi setiap tindakan pemasangan infus yang

dilakukan oleh perawat.

8. Analisa data

8.1. Pengolahan data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah menggunakan software statistika

(50)

a. pemberian kode (coding)

Data diklasifikasikan menurut masing-masing kategori. Setiap kategori

jawaban diberi kode yang berbeda untuk mempermudah pengumpulan data.

b. Memasukkan data (entry/ processing)

Data yang sudah diberi kode selanjutnya dimasukkan kedalam komputer

menggunakan perangkat program statistik.

c. Pengecekan data (cleaning)

Pengecekan data yang sudah dimasukkan untuk memastikan bahwa data

telah bersih dari kesalahan-kesalahan seperti pengkodean atau kesalahan

membaca kode.

Analisis data yang sudah diolah dengan menggunakan program komputer,

selanjutnya dianalisis menggunakan analisis univariat.

8.2. Analisis univariat

Analisis univariat yang digunakan adalah analisa deskriptif statistik. Data

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase untuk

mendeskripsikan tentang data pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan

(51)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan

setelah dilakukan pengumpulan data pada tanggal 17 April sampai 18 Juni 2015 di

RSUD dr. Pirngadi Medan.

1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini menggambarkan distribusi frekuensi dan persentase

dari pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada pasien anak yang

mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan.

1.1.Distribusi hasil lembar observasi pelaksanaan atraumatic care dalam

pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr.

Pirngadi Medan

Berdasarkan hasil observasi, pelaksanaan atraumatic care dalam

pemasangan infus yang paling sering dilakukan yaitu pemilihan lokasi

menggunakan vena tangan dan melakukan restrain pada anak apabila diperlukan

masing-masing sebanyak 31 tindakan (100%), sedangkan kategori pelaksanaan

atraumatic care dalam pemasangan infus yang paling sering tidak dilakukan yaitu

menjelaskan prosedur pemasangan infus, menunggu area yang diberi disinfektan

sampai kering, dan menempatkan balutan yang di beri gambar senyuman atau

simbol penerimaan lain diatas area pungsi masing-masing sebanyak 31 tindakan

(52)

Tabel 2. Distribusi hasil lembar observasi pelaksanaan atraumatic care

dalam pemasangan infus pana anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr.

Pirngadi Medan (n=31)

No. Kategori pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus

Ya Tidak

f % f %

1. Menjelaskan prosedur pemasangan infus - - 31 100

2. Pemilihan lokasi penusukan pada vena tangan 31 100 - -

3. Mengurangi persepsi nyeri dengan teknik

non-farmakologi

6. Memfasilitasi keberadaan orang tua dalam membantu memposisikan anak

senyuman atau simbol penerimaan lain diatas area pungsi

- - 31 100

1.2. Pelaksanan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang

mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29 pelaksanaan atraumatic care

dalam pemasangan infus dilaksanakan kurang optimal (96,5%) dan 2 pelaksanaan

(53)

Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pelaksanan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di Ruang Melati RSUD dr. Pirngadi Medan (n=31)

Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap

frekuensi

2.1. Pelaksanaan araumatic care dalam pemasangan infus pada anak

Penilaian pelaksanaan atarumatic care dalam pemasangan infus pada

anak usia prasekolah dilakukan melalui hasil observasi peneliti terhadap

pelaksanaan pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat pelaksana di ruang

rawat inap Melati dr. Pirngadi Medan.

Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan atraumatic care dalam

pemasangan infus kurang optimal yaitu sebanyak 29 tindakan (93,5%), sedangkan

2 tindakan pemasangan infus (6,5 %) termasuk dalam kategori optimal dalam

penerapan atraumatic care. Berdasrkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa

pelaksanaan atarumatic care dalam pemasangan infus di ruang rawat inap Melati

dr. Pirngadi Medan telah menerapkan prinsip atarumatic care dalam pemasangan

infus dengan cukup optimal. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang

(54)

harus berlandaskan pada prinsip atraumatic care atau asuhan terapeutik yang

bertujuan sebagai terapi bagi anak (Wong, 2009).

Hasil penelitian Amalia (2013) mendapatkan hasil bahwa 45,5% perawat

memiliki perilaku yang negatif dalam melakukan atraumatic care pada perawatan

anak di RSUD Dr Harjono, hal ini dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,

pendidikan, lama bekerja dan pendapatan. Hal ini didukung dengan penelitian

Rini (2013) yang manyatakan bahwa penerapan pelayanan atraumatic care

bergantung pada ketersediaan sumber daya manusia, kualitas tenaga, sarana dan

prasarana maupun standar pelayanan yang sudah ditetapkan. Hal ini juga

diperkuat oleh penelitian Anjaswarni (2002 dalam Utami 2013) menyatakan

bahwa latarbelakang pendidikan perawat yang rendah, keterbatasan tenaga dan

beban kerja yang terlalu tinggi mengakibatkan perawat kurang mampu memenuhi

semua harapan dan kebutuhan klien.

Berdasarkan hasil observasi pada aspek menjelaskan prosedur

pemasangan infus yang akan dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti

anak, didapatkan hasil perawat tidak melakukan aspek ini saat pemasangan infus.

Perawat sering kali datang langsung melakukan tindakan pemasangan infus pada

anak. Hasil penelitian Lestari (2013) menyatakan bahwa anak dan orang tua

penting diberkan informasi tentang kesiapan prosedur tindakan yang akan

dilakukan, alasan mengapa prosedur tersebut diberikan dan hasil yang akan

dicapai. Ketidakpastian tentang prosedur dapat meningatkan distress, rasa takut,

(55)

Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan sesuai dengan tahap tumbuh kembang

sangat diperlukan, sehingga anak mudah menerima dan mengerti prosedur yang

akan dilakukan. Hal ini diperkuat oleh Kurniawati (2009) yang menyebutkan

bahwa tindakan pencegahan dapat dilakukan melalui tindakan mempersiapkan

psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa

nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan dan memberikan

dukungan psikologis pada orang tua dan anak.

Hasil observasi aspek pemilihan lokasi menggunakan vena tangan bukan

vena pergelangan tangan dan menghindari penggunaan vena ekstremitas bawah

dan area fleksi sendi didapatkan hasil semua perawat yang akan melakukan

pemasangan infus, pertama akan memilih vena yang ada di tangan dan tidak

pernah memilih vena yang ada dipergelangan tangan, apabila vena yang ada di

tangan kanan dan tangan kiri tidak bisa dilakukan penusukan, perawat akan

memilih vena yang ada di ekstremitas bawah. Hal ini dipertegas oleh Alexander

(2010) yang menyatakan bahwa pemilihan lokasi vena menggunakan vena tangan

dan bukan vena pergelangan tangan atau lengan atas untuk mengurangi resiko

flebitis dan menghindari penggunaan vena ekstremitas bawah dan area fleksi

sendi karena area tersebut berkaitan dengan peningkatan resiko tromboflebitis dan

komplikasi lainnya (jika memungkinkan). Handiyani (2007) mengatakan bahwa

pemasangan kateter intravena tidak jarang menimbulkan masalah atau komplikasi,

mayoritas masalah yang berhubungan dengan intravena (IV) terletak pada sistem

infus atau tempat penusukan vena. Infeksi atau komplikasi lokal yang bisa terjadi

(56)

pasien, kondisi vena, jenis pH obat dan cairan, filtrasi, serta ukuran, panjang serta

materi (bahan) selang infus.

Hasil observasi aspek mengurangi persepsi nyeri anak dengan teknik

non-farmakologi di dapatkan hasil bahwa sebagian perawat melakukan

pemasangan infus tanpa melakukan teknik pengurangan rasa sakit/nyeri pada

anak, sehingga sering kali anak menangis dan menolak untuk dilakukan

pemasangan infus. Sebagian perawat akan mengajak anak bercerita, misalnya

bercerita tentang boneka yang dipegang anak, gambar kartun yang ada dibaju

anak atau gambar kartun yang ada didinding rawat inap. Hal ini diperkuat oleh

Wong (2008) yang menyatakan bahwa proses pengurangan nyeri sering tidak

dapat dihilangkan secara tepat tetapi dapat dikurangi melalui berbagai teknik,

misalnya distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing, dan melakukan permainan

terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak, bercerita yang berkaitan

dengan tindakan yang akan dilakukan pada anak. Mencegah dan mengurangi

persepsi nyeri (dampak psikologis) pada anak tidak mudah dan membuat perawat

harus meluangkan waktu yang lebih banyak saat akan melakukan tindakan, namun

apabila tindakan pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan

berlangsung lama pada anak sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan anak dan dapat memberikan persepsi negatif terhadap perawat dan

rumah sakit (Kubsch, dalam Sulistiyani, 2009).

Berbagai teknik non farmakologi seperti distraksi, relaksasi, guided

(57)

tingkat nyeri, sehingga nyeri dapat ditolerir, cemas menurun, dan efektifitas

pereda nyeri meningkat (Wong, 2003).

Hasil observasi pada aspek menunggu area yang diberi disinfektan

mengering dengan sempurna sebelum dilakukan penusukan didapatkan hasil

bahwa perawat belum melakukan aspek tersebut, perawat biasanya langsung

melakukan penusukan saat area yang diberi disinfektan masih basah dan belum

kering secara sempurna. Berdasarkan hasil observasi perawat tidak menunggu

area tersebut kering dengan sempurna karena anak biasanya sudah menangis saat

perawat menghampiri anak, sehingga perawat ingin melakukan penusukan dengan

cepat agar prosedur pemasangan infus dapat dilakukan dengan cepat sehingga

anak dapat segera berhenti menangis.

Area yang akan dilakukan penusukan harus di swab dengan kapas

alkohol selama 30 detik, kemudian tunggu 30 detik lagi agar kulit menjadi kering.

Apabila penusukan dilakukan sebelum kulit kering, masih ada kemungkinan

bakteri belum mati dan akan ikut ke lokasi penusukan sehingga meningkatkan

resiko infeksi (Dann, 1969 dalam Koivisisto & Felig, 1978).

Hasil observasi pada aspek melakukan upaya untuk mendapatkan akses

IV hanya sampai dua kali, jika tidak berhasil setelah dua kali upaya, biarkan

perawat yang lain melakukan dua kali upaya untuk mengakses lokasi IV (Jika

masih tidak berhasil, evaluasi kebutuhan untuk pemasangan alat lain) sebagian

perawat sudah melakukan hal tersebut, dan hanya sebagian perawat yang tidak

meminta perawat lain untuk melakukan penusukan apabila perawat pertama tidak

Gambar

gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang
Tabel 1. Definisi operasional
Tabel 2. Distribusi hasil lembar observasi pelaksanaan atraumatic care
Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pelaksanan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di Ruang Melati RSUD dr
+7

Referensi

Dokumen terkait

1.2.12 Selisih kurang antara PPA dan cadangan kerugian penurunan nilai atas aset produktif 1.2.13 Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) atas aset non produktif yang wajib dihitung

Perlu dingatkan dan dipertegas kembali, bahwa ketidakhadiran / hadir tetapi tidak membawa surat kuasa / hadir tidak membawa dokumen asli dan/atau dokumen salinan yang sah /

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

Sedangkan rumusan kompetensi sikap sosial yaitu, “Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, santun, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran,

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

[r]