• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Pembakaran Lahan Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Pembakaran Lahan Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adji, Oemar Seno, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1984).

Ali, Chidir, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1991).

Ali, Mahrus, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013).

Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).

Anwar, Yesmill dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008).

Arsyad, Sitanala, Konservasi Tanah dan Air, (Bogor: IPB Press, 1989).

Arief, Barda Nawawi, Perumusan Ketentuan Pidana dalam Penyusunan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: BPHN KemenkumHAM RI, 2010).

Asikin, Zainal dan Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).

Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000).

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana,

(2)

Dirdjosisworo, Soedjono, Respons Terhadap Kejahatan: Introduksi Hukum Penanggulangan Kejahatan (Introduction to The Law of Crime

Prevention), (Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bandung Press, 2002).

Ekaputra, Mohammad, Dasar Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, Medan, 2010).

--- , Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Edisi Kedua, Medan: USU press, 2013). F. Sjawie, Hasbullah, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013).

Farid, Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2007).

Hamzah, Andi, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991).

--- , Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980). Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana,

(Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, 1997). Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana

(Strict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996).

(3)

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Cetakan Kedua, Jakarta: Kencana, 2006)

Koesoemahatmadja, Etty Utju R., Hukum Korporasi Penegakan Hukum

terhadap Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011).

Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu

Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,

(Bandung: Alumni, 2000).

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Cetakan Kelima, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2013).

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggungjawab Pidana

Korporasi dalam RUU KUHP, (Jakarta: ELSAM, 2005).

Loqman, Loebby, Delik Politik di Indonesia, (Jakarta: Ind.Hill-Co., 1993).

Kansil, C.S.T., dan Christine S.T. Kansil, Pokok Pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004). Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group,

2010).

--- , Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009).

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999).

(4)

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Prenada Media, 2010).

Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta: Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi,

(Cetakan kedua, Jakarta: Djambatan, 2007).

Mulyadi, Mahmud, Hakekat Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam

Pelestarian Lingkungan Hidup, (Medan: Pustaka Bangsa Pers, 2004). Mulyadi, Mahmud dan Ferri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap

Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010).

Nugroho, Alois A., Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, (Grasindo: Jakarta, 2001).

Paton, George Whitecross, A Textbook of Jurisprudence, English Language

Book Society, (London: Oxford University Press, 1972).

Prasetyo, Teguh Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 2.

Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004).

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008).

Purwowidodo, Teknologi Mulsa, (Jakarta: Dewarucci Press, 1983). Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980).

(5)

Said, M. Natsir, Hukum Perusahaan di Indonesia (Perorangan), (Bandung: Alumni, 1987).

Saleh, Roeslan, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).

--- , Sifat Melawan Hukum dari Tindak Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987).

--- , Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983)

--- , Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1981).

Schaffmeister, Nico Keijzer dan Sutorius, Hukum Pidana, diterjemahkan pleh J. E. Sahetapy, (Yogyakarta: Liberty, 1995).

Setiadi, Edi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010).

Siahaan, N.H.T, Hukum Lingkungan Edisi Revisi, (Cetakan Kedua, Jakarta: Pancuran Alam, 2008).

Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006).

Slapper, Gary dan Steve Tombs, Corporate Crime, (London, Great Britain: Longman, 1999).

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Cetakan Keenam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004).

(6)

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

Syahrin, Alvi, Beberapa Masalah Hukum, (Medan: Sofmedia, 2009).

--- , Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, (Jakarta: Softmedia, 2009).

--- , Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Sofmedia, 2011).

T, Yuniarto, dan Woro, S. Evaluasi Sumberdaya Lahan-Kesesuaian Lahan,

(Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM, 1991).

Valerie, J.L.K, Metode Penelitian Hukum (Kumpulan Bahan Bacaan Untuk Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum), (Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2009).

Yakin, Addinul, Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1997).

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi

Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005).

B. Kamus, Makalah, dan Jurnal Hukum

(7)

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Draft Naskah Akademik Tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Maret 2015).

M. Arief Amrullah, Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Makalah disampaikan dalam Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan PUSHAM UII, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008.

Marzuki, Suparman, “Dimensi „Kejahatan Korporasi‟ dan reaksi sosial”, Jurnal Hukum, Vol. 1 No. 2, 1994.

Meladipa, Nurma Tisa, Sumarjono, dan Kayan Swastika, “Kehidupan Sosial -Ekonomi Buruh Perkebunan Kalitengah Tahun 1982-2010”, Jurnal

Pancaran, Volume II No. 3, Agustus 2013.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, “Masalah

Kesehatan Akibat Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia

2015”, (Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

Rahmayanti, Maya, Kontribusi pembakaran Lahan Gambut Terhadap Pemanasan Global, Jurnal Kaunia Vol. III No. 2, Oktober 2007

Reksodiputro, Mardjono, “Struktur Perekonomian Dewasa Ini dan Permasalahan Korban”, makalah disampaikan pada Seminar Viktimologi

di Universitas Airlangga, (Surabaya 28 Oktober 1988).

(8)

growing Vitex Pubescens for charcoal production in Kalimantan Indonesia, (Pontianak 23 Februari 2001)

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5432)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613)

(9)

Lahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4078)

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (PermenLH No. 10/2010)

D. Website

Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Penerapan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup bagi Kasus-Kasus Pidana Lingkungan Hidup, http://alviprofdr.blogspot.co.id/2014/12/pertanggungjawaban-pidana-bagi-kasus.html#more, diakses pada tanggal 1 Juni 2016.

--- , Tinjauan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 862/K/PID.SUS/2010, http://alviprofdr.blogspot.com/2013/11/tinjaua n-terhadap-putusan-mari-no.html#more, diakses tanggal 12 April 2016. Andrew Weissmann dan David Newman, Rethinking Criminal Corporate

Liability, Indiana Law Journal, 2007, http://www.corporatecrimereporter. com/wp-content/uploads/2013/07/weissmann.pdf, diakses pada tanggal 7 April 2016.

(10)

http://scholarship.law.berkeley.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1207&con text=bjil, diakses pada tanggal 7 April 2016

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Ancaman Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan

Lahan, http://www.bnpb.go.id/uploads/publication/597/rencana_kontijen si.pdf, diakses pada tanggal 3 Maret 2016.

Badan Pusat Statistika, https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1668, diakses pada tanggal 5 April 2016.

BBC Indonesia, Polisi Tetapkan 12 Perusahaan Tersangka Pembakaran Hutan dan Lahan, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/ 151012_indonesia_tersangka_pembakaran, diakses pada tanggal 3 Maret 2016.

CNN Indonesia, BNPB: Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI Jakarta, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151030133801-20-88437/bnpb-kebakaran-hutan-2015-seluas-32-wilayah-dki-jakarta/,

diakses pada tanggal 3 Maret 2016.

Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-372-peran-perkebunan-dalam-perekonomian-nasional.html, diakses pada tanggal 5 April 2016.

(11)

http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BSuyanto0301I4.pdf, diakses pada tanggal 20 Mei 2016.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id/bakar, diakses pada tanggal 5 April 2016.

Mahrus Ali, Resensi Buku: Pidana Denda dan Korupsi, http://kphindonesia.freevar.com/?p=197, 2011, diakses pada 26 Mei 2016. Niall F. Coburn, Article of Corporate Investigations, Journal of Financial Crime,

Vol: 13 Iss: 3, (London: 2006), http://coburnci.com/wp-content/uploa ds/2012/10/Article-on-Corporate-Investigations-NC.pdf, diakses pada tanggal 6 April 2016.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, http://perkebunan.litbang. pertanian.go.id/?p=3507, diakses pada tanggal 30 Maret 2016.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, “Jejak Asap Korporasi: Tanggung Gugat

Korporasi terhadap Dampak dan Pemulihan Lingkungan Hidup”,

http://www.walhi.or.id/jejak-asap-korporasi-tanggung-gugat-korporasi-ter hadap-dampak-dan-pemulihan-lingkungan-hidup.html, diakses pada tanggal 19 Februari 2016.

(12)

BAB III

MODEL PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

DALAM TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN

PERKEBUNAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG

PERKEBUNAN

A. Aspek Hukum Pidana Pembakaran Lahan Perkebunan

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang rutin terjadi setiap tahunnya, telah membawa kerugian nyata yang tentunya tidak lepas dari berbagai faktor penyebab. Eliezer P. Lorenzo dan Canesio P. Munoz menunjuk bahwa setidaknya terdapat dua hal pokok sebagai penyebab kebakaran lahan:223

1. Pembakaran yang dilakukan oleh pemilik perkebunan yang luas untuk menghilangkan biomassa224 yang tidak diinginkan selama persiapan lahan; dan

2. Pembakaran yang dilakukan penduduk miskin dan petani yang memiliki ladang kecil untuk membuka lahan.

Sejalan dengan pendapat ini dan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, BNPB telah menjelaskan bahwa motif untuk memperoleh keuntungan ekonomi

223

Eliezer P. Lorenzo dan Canesio P. Munoz, “Pembukaan Lahan tanpa Pembakaran – Sebuah Model Pembukaan Lahan tanpa Bakar dalam Mempersiapkan Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia”, http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BSuyanto0301I4.pdf, diakses pada tanggal 20 Mei 2016.

224

(13)

merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Hal ini termanifestasikan dalam beberapa cara:225

1. Membakar merupakan cara yang paling mudah dan murah dalam kegiatan persiapan lahan.

2. Kegiatan pembalakan kayu meningkatkan kerawanan kebakaran di dalam hutan.

3. Api merupakan cara yang paling murah dan efektif yang digunakan dalam konflik sosial; terutama masalah konflik kepemilikan lahan antara berbagai pihak terkait.

Tomich et al., menggunakan sebuah hipotesa bahwa kebakaran yang terjadi disebabkan oleh 3 faktor yaitu api yang digunakan sebagai:226

1. Alat (tools), seperti aktivitas penggunaan atau persiapan lahan baik dalam skala kecil maupun besar.

2. Senjata (weapon), dalam usaha perolehan atau konflik lahan

3. Kecelakaan (accident), tergantung pada karakteristik lahan atau suatu implikasi dari 2 faktor diatas.

Secara lebih rinci penyebab kebakaran langsung yang terjadi selama ini di Indonesia menurut BNPB terdiri dari 4 situasi, yaitu:227

1. Api digunakan dalam pembukaan dan/atau penyiapan lahan.

225

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Rencana Kontinjensi Nasional... op.cit, diakses pada tanggal 3 Maret 2016, hlm. 5.

226

Yayat Ruchiat, “Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan”, Makalah Lokakarya Perencanaan Proyek Community development through rehabilitation of Imperata grasslands using trees: A model approach growing Vitex Pubescens for charcoal production in Kalimantan Indonesia, Pontianak 23 Februari 2001

227

(14)

Penggunaan api dalam rangka penyiapan lahan sudah dilakukan sejak lama, baik oleh pengusaha perkebunan, pengusaha hutan tanaman industri (HTI), petani, dan pembangunan pemukiman transmigrasi. Hal ini dikarenakan penggunaan api merupakan cara yang lebih murah, mudah, dan efektif. Selain itu, degradasi hutan dan lahan mengakibatkan keadaan yang peka terhadap bahaya kebakaran (seperti padang alang-alang).

2. Api menyebar secara tidak sengaja.

Kebakaran timbul dari api yang tidak terkendali dari kegiatan penyiapan lahan yang menyebar ke area hutan atau HTI.

3. Api yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam.

Walaupun bukan merupakan faktor utama, namun kebakaran juga disebabkan penggunaan api guna mempermudah akses dalam mengekstraksi sumberdaya alam, seperti pengambilan ikan, berburu, dan mengumpulkan madu. 4. Api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah.

Pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit rentan terhadap konflik, terutama konflik kepemilikan lahan. Kebijakan alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat, tidak adil, dan tidak terkoordinasi menyebabkan masalah di mana api digunakan untuk mengusir masyarakat yang sudah terlebih dahulu mengolah lahan tersebut; atau digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh kembali lahan-lahan mereka.

(15)

“pembukaan lahan” itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka (7) PermenLH No. 10

Tahun 2010, adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyiapan dan pembersihan lahan untuk kegiatan budidaya maupun non budidaya.

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa upaya pembukaan lahan dengan cara membakar (slash and burn), telah menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik nasional maupun lintas batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Kerugian akibat pembakaran lahan tersebut, antara lain:

1. Emisi gas karbon ke atmosfer sehingga meningkatkan pemanasan global Jika berkaca pada kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015, peristiwa tersebut sesungguhnya didominasi oleh kebakaran lahan gambut. Lahan gambut memiliki nilai non ekstraktif sebagai habitat pendukung keanekaragaman hayati, yaitu lahan kehutanan, perkebunan, dan pertanian.228 Saat ini luas lahan gambut di Asia Tenggara adalah sekitar 27 juta hektare atau sekitar 12% dari luas keseluruhan kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki sekitar 20,6 juta hektare lahan gambut.229 Gambut terbentuk dari material organik seperti dedaunan, cabang, batang, dan akar tumbuh-tumbuhan yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, keasaman tinggi, dan sedikit oksigen di suatu areal dalam jangka waktu yang lama, ratusan sampai ribuan tahun. Lahan gambut secara global menyimpan setidaknya 550 gigaton karbon, setara dengan seluruh biomas terestrial lainnya (hutan, rerumputan, perdu, dan lainnya) dan dua kali lipat dari seluruh karbon yang tersimpan di hutan secara

228

Maya Rahmayanti, Kontribusi pembakaran Lahan Gambut Terhadap Pemanasan Global, Jurnal Kaunia Vol. III No. 2, Oktober 2007, hlm. 102.

229

(16)

global. Dengan demikian, peran gambut terkait isu pemanasan global adalah sangat penting, karena kerusakan lahan gambut menyebabkan fungsinya sebagai penyimpan karbon menjadi terganggu. Itulah sebabnya, sejumlah pakar lingkungan menganggap lahan gambut sebagai ”pendingin netto ” iklim bumi. Masalahnya, lahan gambut sangat tidak stabil. Jika terganggu (karena land clearing, drainase, dibakar, dll), lahan gambut fungsinya berubah total. Dari semula sebagai penyerap karbon (carbon sink), berubah menjadi pelepas karbon (carbon emitter). Ketika berfungsi sebagai pelepas karbon, lahan gambut menjadi kontributor besar dalam kenaikan suhu bumi (global warming).230

2. Polusi asap sehingga mengganggu aktivitas masyarakat dan menimbulkan berbagai penyakit pernafasan

Asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan (kayu, gambut, dan bahan organik lain) mengandung campuran gas, partikel, dan bahan kimia akibat pembakaran yang tidak sempurna. Komposisi asap kebakaran hutan dan lahan terdiri dari gas seperti karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida, ozon, sulfur dioksida, dan lain sebagainya. Dalam jangka cepat (akut), asap kebakaran hutan dan lahan akan menyebabkan iritasi selaput lendir mata, hidung, tenggorokan, sehingga menimbulkan gejala berupa mata perih dan berair, hidung berair dan rasa tidak nyaman di tenggorokan, mual, sakit kepala, dan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).231 Selama

230

Sindonews, Kebakaran Hutan Gambut dan Global Warming,

http://nasional.sindonews.com/read/1058676/18/kebakaran-hutan-gambut-global-warming-1446577496, diakses pada tanggal 18 Mei 2016.

231

Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

(17)

periode Juli-Oktober 2015 di daerah dengan tingkat kebakaran hutan dan lahan tertinggi di wilayah Indonesia (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan) telah terdapat 582.127 kasus ISPA232, dengan lebih dari 43 juta jiwa233 yang terpapar asap di seluruh wilayah Indonesia. Gejala ini dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan, khususnya bagi kelompok rentan seperti bayi, balita, ibu hamil, lanjut usia, dan orang dengan masalah kesehatan pada paru-paru dan/atau jantung. Selain itu, asap yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan juga turut mengganggu aktivitas masyarakat seperti kegiatan belajar-mengajar dan instansi yang terpaksa diliburkan, juga menyebabkan banyaknya penerbangan domestik maupun internasional yang dibatalkan (lumpuh).234

3. Hilangnya habitat bagi satwa liar sehingga terjadi ketidakseimbangan ekosistem;

Selain merugikan manusia, kebakaran hutan dan lahan juga pada dasarnya mengganggu habitat asli satwa liar. Ani Mardiastuti menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan dapat menyebabkan:235 1) satwa liar kekurangan oksigen akibat menghirup asap pembakaran; 2) hilangnya habitat tempat tinggal

232

Ibid., hlm. 4. Data dikutip berdasarkan penelitian Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

233

Pernyataan Resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Pusat sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia, Asap Kebakaran Hutan Sampai Jakarta, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151024_indonesia_jakarta_kabutasap, diakses pada tanggal 18 Mei 2016.

234

Kompas, Kabut Asap Telah Membahayakan Penerbangan, Puluhan Penerbangan Lumpuh,

http://print.kompas.com/baca/2015/09/03/Kabut-Asap-Telah-Membahayakan-Kesehatan%2c-Puluhan-P, diakses pada tanggal 18 Mei 2016. 235

(18)

satwa liar; 3) hewan menderita kelaparan dan kehausan akibat rusaknya ekosistem; 4) kepunahan akibat satwa liar tidak dapat meneruskan keturunannya. Dampak tersebut tidak dapat diabaikan, karena terganggunya habitat bagi satwa liar juga mempengaruhi rantai makanan dan sekaligus berpengaruh pada keseimbangan ekosistem.

4. Terjadinya degradasi lahan;

Kebakaran hutan dan lahan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dapat mengakibatkan degradasi lahan. Degradasi lahan adalah proses di mana kondisi lingkungan biofisik berubah akibat aktivitas manusia terhadap suatu lahan. Perubahan kondisi lingkungan tersebut cenderung merusak dan tidak diinginkan. Walaupun bencana alam tidak termasuk faktor yang mempengaruhi degradasi lahan, namun beberapa bencana alam seperti banjir, longsor, dan kebakaran hutan merupakan hasil secara tidak langsung dari aktivitas manusia sehingga dampaknya bisa disebut sebagai degradasi lahan. Degradasi lahan memiliki dampak terhadap produktivitas pertanian, kualitas lingkungan, dan memiliki efek terhadap ketahanan pangan. Diperkirakan hingga 40% lahan pertanian yang ada di dunia saat ini telah terdegradasi.236

5. Kerugian ekonomis yang diderita negara baik dalam hal penanggulangan maupun akibat kebakaran hutan dan lahan

Kebakaran hutan dan lahan yang rutin terjadi di Indonesia mencapai puncaknya pada periode Juni-Oktober 2015 yang lalu. Biaya ekonomi yang harus ditanggung Indonesia diperkirakan mencapai Rp. 221 triliun, atau sekitar US$

236

(19)

16,1 miliar, setara dengan 1,9 persen dari prediksi Produk Domestik Brutto (PDB) tahun 2015.237 Dalam laporan kuartalan tentang perekonomian Indonesia, Bank Dunia juga menyebutkan kebakaran hutan dari bulan Juni sampai Oktober telah memusnahkan 2,6 juta hektar hutan dan lahan pertanian di seluruh Indonesia. Ini juga berdampak pada hilangnya Sumber Daya Alam potensial yang biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan industri seperti kayu, kertas, pakan hewan ternak, dan lain sebagainya. Kunjungan wisatawan mancanegara juga menurun akibat bencana kabut asap kebakaran hutan dan lahan, di mana berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik terjadi penurunan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi yang pada Oktober 2015 mencapai 825,8 ribu, atau menurun sekitar 4,99% dibandingkan periode September yang mencapai 869,2 ribu kunjungan.238

Atas pertimbangan kerugian tersebut, serta mempertimbangkan fakta bahwa kebakaran hutan dan lahan yang diakibatkan oleh upaya pembukaan lahan telah bertahun-tahun terjadi dan tidak kunjung dapat ditanggulangi, maka diaturlah ketentuan dalam hukum positif Indonesia239 mengenai larangan

237

DW, Kebakaran Hutan dan Lahan Menyebabkan Kerugian Dua Kali Lipat Dibanding Tsunami 2004, http://www.dw.com/id/kebakaran-hutan-menyebabkan-kerugian-dua-kali-lipat-dibanding-tsunami-2004/a-18918701, diakses pada tanggal 18 Mei 2016.

238

Berita Satu, BPS: Kunjungan Wisman Menurun Akibat Kabut Asap, http://www.beritasatu.com/ekonomi/326483-bps-kunjungan-wisman-menurun-akibat-asap.html, diakses pada tanggal 18 Mei 2016.

239

(20)

pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar.240 Aturan tersebut dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan;

5. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan;

6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup

240

Namun, pembakaran lahan tetaplah diperbolehkan dengan memperhatikan ketentuan pasal 69 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, yang menyebutkan bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h (mengenai larangan pembukaan lahan dengan cara pembakaran lahan) memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.” Selanjutnya dijelaskan bahwa kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.. Aturan ini kembali diuraikan dalam ketentuan Pasal 4 PermenLH No. 10 Tahun 2010, yang menegaskan bahwa masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota. Hal ini dapat dilakukan dengan catatan sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (3) PermenLH No. 10 Tahun 2010: “pembakaran lahan dengan luas maksimum 2 hektar per keluarga, tidak dapat dilakukan pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang dan/atau iklim kering. Kondisi tersebut sesuai dengan publikasi dari lembaga non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

(21)

Secara teoritis jika ditinjau dari sudut pandang keilmuan Hukum Pidana, tindakan pembakaran lahan perkebunan oleh manusia maupun korporasi telah memenuhi unsur untuk ditetapkan sebagai tindak pidana. Unsur-unsur tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pembakaran lahan, dan setidak-tidaknya meliputi tiga hal:241

1. Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.

Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: tindak pidana aktif/positif yang dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negative yang disebut juga sebagai tindak pidana omisi (delicta omissionis).242

Tindak pidana komisi adalah perbuatan berupa pelanggaran terhadap larangan atau berbuat sesuatu yang dilarang.243 Dalam hal ini, pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar pada dasarnya telah bertentangan dengan ketentuan KUHP, antara lain:

Pasal 187

Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:

1. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;

2. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain;

3. dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.

241

Mahrus Ali, Op.cit hlm. 55. Mahrus Ali menyebutkan ketiga unsur tindak pidana ini adalah manakala tindak pidana dikonsepkan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melakukannya.

242

Adami Chazawi, op.cit, hlm. 118. 243

(22)

Pasal 189

Barang siapa pada waktu ada atau akan ada kebakaran, dengan sengaja dan melawan hukum menyembunyikan atau membikin tak dapat dipakai perkakas-perkakas atau alat- alat pemadam api atau dengan cara apa pun merintangi atau menghalang-halangi pekerjaan memadamkan api, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Terlihat dalam ketentuan KUHP tersebut, pembakaran lahan dapat dipidana, namun dikategorikan sebagai delik materil, bahwa pembakaran lahan perkebunan dapat dipidana jika mengakibatkan kebakaran, meskipun tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan kebakaran tersebut. Selanjutnya, dalam perundang-undangan khusus mengenai pembakaran lahan perkebunan diatur dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014 yang dengan tegas menyebutkan bahwa: “Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.”

Pelanggaran atas larangan ini diancam dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 108 dan Pasal 113 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014. Larangan ini juga didasarkan atas norma hukum yang menjadi payung aturan hukum perkebunan, yakni Pasal 69 ayat (1) huruf h UU No. 32 Tahun 2009 yang secara eksplisit menyebutkan, “setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”, pelanggaran atas larangan ini diancam sanksi pidana sebagaimana

(23)

pelanggaran atas larangan ini diatur dalam ketentuan berupa ganti kerugian atau melakukan tindakan tertentu pada Pasal 49. Mengenai besaran ganti rugi, dapat mengacu pada ketentuan PermenLH No. 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, yang penghitungannya didasarkan pada 5 komponen, yaitu:244 penghitungan gas rumah kaca hasil kebakaran lahan, kerugian lingkungan hidup, kerugian ekonomi, kerusakan tidak ternilai (immateriel), biaya pemulihan lingkungan (lahan bekas terbakar).

Sedangkan tindak pidana omisi adalah berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintahkan.245 Timbulnya tindak pidana omisi dapat terjadi dalam berbagai situasi.246 Pembakaran lahan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana omisi, karena timbulnya situasi kewajiban yang didasarkan atas undang-undang. Mengenai kewajiban yang didasarkan atas undang-undang, Lamintang menyatakan bahwa:247

“Apabila suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu timbul dari undang -undang, maka tidak melakukan apa yang diwajibkan oleh undang-undang itu dengan sendirinya merupakan suatu tindakan yang bersifat wederrechtelijk. Apabila tidak melakukan apa yang diwajibkan oleh undang-undang, maka adanya suatu hubungan sebab-akibat yang adaequaat atau yang memadai akan membuat si pelaku dapat dianggap di mana telah menimbulkan akibat tertentu, sebagian

244

Perhatikan Lampiran Kedua PermenLH No. 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

245

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 57. 246

Wayne dan Austin dalam Mahrus Ali, Ibid, hlm. 59. Menyebutkan bahwa terdapat tujuh situasi yang menimbulkan terjadinya delik omisi, yaitu:

1. Kewajiban yang didasarkan atas hubungan (kepercayaan); 2. Kewajiban yang didasarkan atas undang-undang;

3. Kewajiban yang didasarkan atas kontrak;

4. Kewajiban yang didasarkan atas asumsi sukarela menjaga; 5. Kewajiban karena menciptakan bahaya;

6. Kewajiban karena mengawasi tindakan orang lain; 7. Kewajiban pemilik tanah.

247

(24)

orang kemudian tinggal mempermasalahkan apakah tindakan dari pelaku tersebut adalah sesuai dengan tindakan seperti yang dimaksudkan dalam sesuatu rumusan delik tertentu atau tidak.”

Dalam rangka menindaklanjuti larangan yang telah diuraikan sebelumnya, pemerintah Indonesia telah menyusun sebuah mekanisme pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup dengan sebuah metode Pembukaan Lahan Tanpa Bakar, yang diatur dalam PermenLH No. 10 Tahun 2010. Pasal 1 angka (8) PermenLH No. 10 Tahun 2010 menjelaskan bahwa Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (selanjutnya disebut PLTB) adalah suatu cara pembukaan lahan pertanian tanpa melakukan pembakaran. Di mana PLTB dilaksanakan dengan cara: a) manual; b) mekanik; dan/atau c) kimiawi, serta sesuai dengan pedoman dan/atau petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh instansi teknis terkait. Kelebihan sistem PLTB ini menurut Majid sebagaimana dikutip dalam Onrizal, antara lain:248 melindungi humus dan mulsa yang telah terbentuk selama bertahun-tahun, mempertahankan kelembaban tanah, meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga akan meningkatkan kesuburan tanah, mempertahankan kelestarian lingkungan terutama tidak menyebabkan polusi udara, menjaga pH tanah, mengurangi biaya perawatan setelah penanaman, karena tanggul telah dicabut seluruhnya, memungkinkan mekanisasi untuk seluruh kegiatan pembukaan lahan, kecuali pada kondisi tertentu. Dengan mempertimbangkan kelebihan tersebut, maka Pasal 3 PermenLH No. 10 Tahun 2010, menegaskan bahwa: “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan hutan dan/atau lahan wajib melakukan PLTB”. Diaturnya ketentuan mengenai PLTB dalam hal ini

248

Onrizal, Pembukaan Lahan Dengan dan Tanpa Bakar,

(25)

merupakan konsekuensi dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat249, guna mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pembukaan lahan dengan metode bakar (slash and burn). Artinya, pembukaan lahan dengan cara membakar secara implisit ditegaskan kembali pelarangannya melalui aturan ini, oleh karena pembukaan lahan dengan metode bakar dapat mencemari dan merusak fungsi lingkungan hidup maka metode yang dipakai seharusnya adalah PLTB.

Kemudian apabila dicermati lebih dalam, PP No. 4 Tahun 2001 menjabarkan mengenai perbuatan pencegahan dalam Pasal 12 dan Pasal 13. Pasal 12 mempertegas kewajiban bagi setiap orang untuk mencegah terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan, sedangkan Pasal 13 menekankan kewajiban mencegah tersebut terhadap setiap penanggung jawab usaha250 yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.251

249

Alvi Syahrin, op.cit, hlm. 7. Guna mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan maka setiap orang diwajibkan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup. Adanya kewajiban tersebut berarti bahwa lingkungan hidup dengan segala sumberdayanya merupakan kekayaan yang dapat digunakan setiap orang, dan karena itu harus dijaga untuk kepentingan masyarakat dan generasi yang akan datang.

250

Lihat Penjelasan Pasal 13 PP No. 4 Tahun 2001. Yang dimaksud dengan penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan,antara lain usaha di bidang kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.

251

(26)

Ketentuan dalam kedua pasal ini mempunyai arti bahwa setiap orang mempunyai kewajiban untuk mencegah kebakaran hutan dan/atau lahan. Penanggung jawab usaha tersebut juga diwajibkan untuk melakukan pelaporan mengenai usahanya secara berkala kepada pihak terkait.252

Setelah pencegahan, selanjutnya diatur mengenai penanggulangan kebakaran lahan dalam Pasal 17 PP No. 4 Tahun 2001, yang mewajibkan setiap orang menanggulangi kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi kegiatannya, dan Pasal 18 ayat (1) PP No. 4 Tahun 2001 yang juga turut menegaskan bahwa penanggungjawab usaha bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. Selanjutnya, Pasal 20 dan Pasal 21 PP No. 4 Tahun 2001 menegaskan bahwa setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup di lokasi lahannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan Pasal 17, 18, 20, dan 21 ini menjelaskan lahirnya kewajiban melakukan pertanggungjawaban yang dengan sendirinya timbul apabila terjadi kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. Kebijakan penanggulangan ini juga terkait dengan situasi kewajiban yang timbul karena menciptakan bahaya253, yang dapat menyebabkan seseorang maupun penanggungjawab usaha melakukan

252

Jika merujuk ketentuan Pasal 15 PP No. 4 Tahun 2001, setiap penanggungjawab usaha dan/atau lahan wajib melaporkan kegiatan yang terkait dengan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur dan Menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. Laporan tersebut kemudian akan digunakan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sebagai bahan: a) pemantauan; dan b) penyusunan kebijakan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.

253

(27)

pertanggungjawaban atas bahaya yang ditimbulkan atas kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya, baik perbuatan itu terjadi karena sengaja, maupun akibat kelalaian.

Pengabaian atas kewajiban-kewajiban yang diuraikan terakhir, dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana omisi, karena kewajiban tersebut merupakan tuntutan untuk melakukan sesuatu.254 Maka berdasarkan uraian terkait dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pelarangan pembukaan lahan perkebunan dengan metode bakar (slash and burn), maka perbuatan pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar sesungguhnya telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai suatu tindak pidana baik tindak pidana komisi maupun tindak pidana omisi, yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran lahan dengan segala kerugian yang ditimbulkannya sehingga terjadi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.

2. Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun materil.

Salah satu unsur esensial dalam suatu tindak pidana adalah adanya sifat melawan hukum. Menurut Andi Zainal Abidin, alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana ketika melakukan perbuatan yang tidak mempunyai sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid).255 Sejalan dengan pendapat tersebut,

254

Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 78. Menurut Jan Remmelink, tidak dipenuhinya tuntutan untuk melakukan sesuatu itu akan memunculkan delik omisi (omissiedelict) yang terfokus pada sikap tidak melakukan atau melalaikan suatu kewajiban atau perintah (gebod) hukum.

255

(28)

Roeslan Saleh juga menyatakan bahwa memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak ada artinya.256

Oleh karena itulah dikenal penggolongan sifat melawan hukum, yang secara umum dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu: Sifat melawan hukum umum257, sifat melawan hukum khusus258, sifat melawan hukum formil259, dan sifat melawan hukum materil.260 Membahas aspek hukum pidana dari pembakaran lahan perkebunan tentunya harus pula membahas sifat melawan hukum dari tindak pidana pembakaran lahan perkebunan tersebut melalui konsep sifat melawan hukum formil maupun materil.

Dalam konsep sifat melawan hukum formil, tindak pidana pembakaran lahan perkebunan telah terpenuhi apabila setiap unsur dalam ketentuan “setiap

Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar” sebagaimana diatur Pasal 56 UU No. 39 Tahun 2014 telah dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana, yaitu suatu rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Sifat melawan hukum umum merupakan sifat melawan hukum sebagai syarat tidak tertulis (tidak disebutkan) dari dalam suatu rumusan delik. Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, dengan sendirinya berlaku syarat bahwa perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yang dalam hal ini berarti: bertentangan dengan hukum, tidak adil.

258

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Edisi Kedua (Medan: USU press, 2013), hal. 132. Sifat melawan hukum khusus biasanya kata “melawan hukum”nya dicantumkan dalam rumusan delik. Artinya merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidanya suatu perbuatan, yang oleh jaksa penuntut umum harus dibuktikan.

259

Moeljatno, op.cit, hlm. 130. Sifat melawan hukum formil mengandung arti semua bagian (unsur-unsur) dari rumusan delik telah dipenuhi. Apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini, melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Sifat ini besumber dari asas legalitas.

260

(29)

terpenuhi. Unsur “setiap Pelaku Usaha Perkebunan”261

sebagai pelaku sebagai unsur subjektif dari suatu tindak pidana yang mensyaratkan adanya pelaku. Tidak ada dijelaskan apakah perbuatan tersebut adalah harus “dengan sengaja” maupun karena “kelalaian”. Namun merujuk pada unsur objektif atau perbuatan berupa “membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar”. Pengertian

membuka, mengolah, dan membakar, sesungguhnya mengandung maksud perbuatan yang dilakukan sengaja. Dalam rumusan Pasal 56 juga terdapat unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid) dalam kata “dilarang”, untuk menunjukkan sifat melawan hukum dari tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 56 tersebut, yakni apabila melakukan tindakan yang “dilarang” tersebut maka telah terjadi perbuatan “melawan hukum”, sehingga terpenuhilah unsur “sifat melawan hukum” secara formil.

Sedangkan sifat melawan hukum materil, yang terbagi dalam dua pandangan, yakni: Pertama, sifat melawan hukum materil dilihat dari sudut perbuatannya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu.262 Kedua, sifat melawan hukum materil dilihat dari sudut sumber hukumnya. Sifat kedua ini mengandung makna bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial

261

Lihat Pasal 1 angka 8 UU No. 39 Tahun 2014. Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun dan/atau perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha Perkebunan.

262

(30)

dalam masyarakat.263 Selanjutnya, sifat melawan hukum materil ini dibagi lagi kedalam 2 fungsi, yaitu:

a. Sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif

Sifat ini diartikan bahwa meskipun dalam perbuatan memenuhi semua unsur delik, jika menurut pandangan yang hidup dalam masyarakat perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang tercela berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, maka perbuatan itu tidak dijatuhi pidana.264 Fungsi ini merupakan alasan pembenar dan telah dianut dalam praktek pengadilan. Hakikat dari perbuatan pidana adalah perbuatan yang anti sosial, sehingga jika terdapat keragu-raguan dalam pengertian di satu sisi telah memenuhi unsur delik, namun di sisi lain tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka terdakwa harus di bebaskan.265

b. Sifat melawan hukum dalam fungsinya yang positif

Sifat ini mengandung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam rumusan delik atau undang-undang, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.266 Sifat ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas dan prinsip fundamental dalam hukum pembuktian pidana yang berbunyi: “actori incumbit onus probandi, actore

263

Ibid.

264

Mohammad Ekaputra, op.cit, hal.133 265

Eddy O.S. Hiariej,op.cit, hal. 203 266

(31)

non probante, reus absolvitur” artinya siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan, jika tidak dapat dibuktikan, terdakwa harus dibebaskan.267

Dalam konsep sifat melawan hukum materil, ditekankan mengenai pentingnya untuk tidak hanya mengandalkan pandangan positivistik terhadap suatu perbuatan, bahwa perbuatan tidak boleh hanya dilihat dari hukum tertulis namun juga harus dilihat hukum tidak tertulis.268 Hal ini berlaku pula apabila membahas mengenai pembakaran lahan perkebunan, yang termasuk dalam hukum lingkungan kepidanaan. Rumusan Pasal 56 UU No. 39 Tahun 2014, serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai pembakaran lahan sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan yang diciptakan pembentuk undang-undang demi kepentingan umum. Ini sekaligus memberikan peluang bagi penegak hukum untuk senantiasa menerapkan hukum yang progresif dalam menyikapi persoalan pembakaran lahan dengan senantiasa menggali norma-norma dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Hal ini menurut Alvi Syahrin, adalah konsekuensi yang ditemukan pada penerapan hukum pidana dalam setiap masyarakat yang cukup berkembang.269

3. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.

267

Eddy O.S. Hiariej,op.cit hlm. 203. 268

Lihat Mahrus Ali, op.cit, hlm. 61.Pendapat ini juga turut dikemukakan oleh Vos dan Enschede, yang menyatakan perbuatan yang bersifat melawan hukum juga harus memperhatikan norma dalam masyarakat.

269

(32)

Unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang. Mahrus Ali, mengklasifikasikan unsur ini menjadi empat jenis:270 berkaitan dengan diri pelaku tindak pidana, tempat terjadinya tindak pidana, keadaan tertentu sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan. Keempat jenis tersebut dalam kaitannya dengan tindak pidana pembakaran lahan perkebunan dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, berkaitan dengan diri pelaku tindak pidana. Hal ini berkaitan dengan rumusan tindak pidana yang secara khusus diperuntukkan bagi subjek delik tertentu.271 UU No. 39 Tahun 2014 dalam hal ini telah membedakan ketentuan pidana yang berlaku secara khusus apabila pembakaran lahan perkebunan dilakukan oleh perseorangan dan apabila pembakaran lahan perkebunan dilakukan oleh korporasi.272 Apabila pembakaran lahan perkebunan dilakukan oleh perseorangan, ketentuan pidana yang dikenakan adalah Pasal 108273, sedangkan khusus terhadap korporasi itu sendiri dikenakan Pasal 113 ayat (1).274 419, dan Pasal 420 KUHP, yang secara khusus diperuntukkan untuk subjek delik tertentu, yakni pejabat.

272

Perhatikan Pasal 103 dan Pasal 108 UU No. 39 Tahun 2014. 273

Bunyi Pasal 108: “Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

274Bunyi Pasal 113: “

(33)

Kedua, tempat terjadinya tindak pidana. Poin kedua menjelaskan bahwa perbuatan yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana adalah hanya apabila dilakukan pada suatu tempat tertentu.275 UU No. 39 Tahun 2014 tidak membedakan ketentuan hukum pidana yang dikenakan terhadap pelaku usaha perkebunan yang melakukan pembakaran lahan perkebunan berdasarkan tempat. Namun yang dimaksud pembakar lahan perkebunan yang masuk dalam cakupan UU No. 39 Tahun 2014 adalah pembakaran lahan perkebunan yang masuk dalam lingkup wilayah usaha perkebunan yang pada korporasi pengelolaannnya didasarkan pada Hak Guna Usaha yang dimiliki korporasi yang bersangkutan.

Ketiga, keadaan tertentu sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan. Berkaitan dengan syarat tambahan bahwa untuk dapat disebut telah terjadi tindak pidana yang pelakunya dapat dikenai sanksi pidana, pelaku tersebut harus berbuat secara sengaja.276 UU No. 39 Tahun 2014 tidak mengatur mengenai syarat tambahan tersebut, meskipun telah diuraikan sebelumnya, bahwa pada dasarnya tindakan membuka, mengolah, ataupun membakar lahan pada dasarnya telah mengandung unsur kesengajaan dalam diri pelaku perbuatan tersebut. Namun, untuk dapat dikenakan sanksi pidana akibat melakukan pembukaan/pengolahan lahan dengan cara membakar berdasarkan rumusan UU No. 39 Tahun 2014 pelaku tidak selalu harus melakukan tindak pidana komisi, melainkan juga dapat

275

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 55. Contohnya tindak pidana yang diatur dalam pasal 160 KUHP, yang mensyaratkan tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.

276 Ibid.,

hlm 56. Mahrus Ali mencontohkan dengan Pasal 304 yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,

padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling

lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.” Di mana menurut delik

(34)

dikenakan apabila pelaku melakukan tindak pidana omisi dengan memperhatikan variabel-variabel yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang turut menjadi acuan dalam larangan pembakaran lahan tersebut.

Keempat, keadaan yang memberatkan pemidanaan. Terkait dengan jenis keadaan yang memberatkan pemidanaan, sesungguhnya dalam ketentuan tentang tindak pidana pembakaran lahan dalam UU No. 39 Tahun 2014 hal tersebut secara implisit diatur dalam ketentuan Pasal 113 Ayat (1). Karena, jika merujuk pada sifat pemberatan pemidanaan, hal ini bisa terjadi apabila tindak pidana pembakaran lahan dilakukan korporasi bersama-sama dengan pengurus, di mana tidak hanya pengurus yang dimintai pertanggungjawaban, namun dimungkinkan (jika terbukti) korporasi juga dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.

B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Pembakaran Lahan Perkebunan

Subjek hukum (rechtssubject) adalah sesuatu yang menurut hukum berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum.277 Yang dapat bertindak sebagai subjek hukum278 adalah manusia (natural person) dan bukan manusia (badan hukum/legal person).279 Dengan demikian, jika korporasi dianggap sebagai subjek

277

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Keenam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 228.

278

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 242-243.

279

(35)

hukum seperti halnya manusia, konsekuensi logis yang melekat padanya adalah bahwa korporasi bisa melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan transaksi bisnis, mengadakan perjanjian kredit, hak untuk memiliki barang dan harta kekayaan, hak untuk menuntut dan dituntut.280 Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana, haruslah jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan, artinya harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai subjek tindak pidana tertentu.281

Lahirnya UU No. 39 Tahun 2014 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku aturan sebelumnya, yakni UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan telah memberikan paradigma baru mengenai kedudukan korporasi sebagai subjek hukum Perkebunan. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam bagian ketentuan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Melalui ketentuan Pasal 1 angka 8, dijelaskan bahwa “Pelaku Usaha Perkebunan adalah

pekebun dan/atau perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha Perkebunan.” Selanjutnya Pasal 1 angka 9 memberikan arti Pekebun sebagai “orang

perseorangan warga negara Indonesia yang melakukan Usaha Perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu.” Sedangkan Perusahaan Perkebunan didefenisikan dalam Pasal 1 Angka 10 sebagai: “badan usaha yang berbadan

hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala tertentu.” Kemudian

kedudukan korporasi dipertegas dalam Pasal 1 angka 15, yang berbunyi: “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum

280

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 5. 281

(36)

maupun yang tidak berbadan hukum.” Ketentuan ini mempertegas kedudukan

korporasi sebagai subjek hukum Perkebunan, termasuk pula sebagai subjek hukum (rechtssubject) tindak pidana di bidang Perkebunan. Ketentuan Pasal 1 Angka 15 UU No. 39 Tahun 2014, tidak terdapat dalam UU No. 18 Tahun 2004, yang tidak ada menyebutkan bahkan satu kalipun istilah “korporasi”. Dengan

diakuinya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam undang-undang perkebunan, berarti korporasi dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dalam hukum pidana (corporate criminal responsibility).282

Menjadi catatan, sebagaimana telah diuraikan secara singkat sebelumnya bahwa sekalipun telah dicabut dan digantikan UU No. 39 Tahun 2014 ketentuan mengenai tindak pidana pembakaran lahan sebelumnya juga ada diatur dalam UU No. 18 Tahun 2004, namun tidak mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pidana Pasal 48 dan Pasal 49 UU No. 18 Tahun 2004:

Pasal 48:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (1ima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) .

Pasa1 49

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan

282

(37)

fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Aturan dalam Pasal 48 dan Pasal 49 UU No. 18 Tahun 2004 tidak ada mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Bahkan secara keseluruhan dalam Bab tentang Ketentuan Pidana, UU No. 18 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang Perkebunan. Walaupun pada Bab Ketentuan Umum dijelaskan bahwa perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu, batasan “badan hukum” tersebut secara implisit dapat dikatakan memiliki

sifat sebagai subjek hukum, namun tidak dapat secara tegas disebut sebagai subjek tindak pidana. Hal ini dikarenakan tidak diaturnya kedudukan korporasi maupun badan hukum dalam ketentuan pidana dalam perumusan UU No. 18 Tahun 2004283, sehingga pemaknaan “setiap orang” tidak dapat ditafsirkan sebagai

283

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 33. Edi Yunara menyatakan bahwa jika kita hendak menghubungkan pelaku dengan tindakannya dalam rangka mempertanggungjawab-pidanakan pelaku tersebut, harus diteliti dan dibuktikan bahwa:

1.Subjek harus sesuai perumusan undang-undang; 2.Terdapat kesalahan pada petindak;

3.Tindakan itu bersifat melawan hukum;

4.Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang (dalam arti luas); 5.Dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan-keadaan lainnya yang

(38)

“korporasi atau manusia”, hal mana yang justru secara tegas diatur dalam UU No.

39 Tahun 2014.

UU No. 39 Tahun 2014 telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum Perkebunan dan telah mengatur pula mengenai hal yang “diperbolehkan”, dan “dilarang” untuk dilakukan korporasi. Penekanan pengaturan tindak pidana dalam

UU No. 39 Tahun 2014, sesungguhnya bermuara pada dua jenis tindak pidana, yakni: tindak pidana administrasi dan tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terkait dengan bidang perkebunan. Tindak pidana administrasi adalah tindak pidana yang berhubungan dengan pelanggaran izin atau lisensi. Artinya “hak” untuk melakukan segala kegiatan

perkebunan muncul dari adanya “izin” dari pejabat yang berwenang, namun jika tidak ada “izin”, maka tindakan tersebut melahirkan “tindak pidana” yang disebut

tindak pidana perkebunan. Sedangkan tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan hidup adalah tindak pidana dimana tidak dipenuhinya kriteria baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kegiatan perkebunan. Kemudian, selain mengatur tindak pidana dalam bentuk perbuatan yang dilarang (tindak pidana komisi), UU No. 39 Tahun 2014 juga mengatur tindak pidana berupa pengabaian kewajiban hukum untuk bertindak (tindak pidana omisi).

(39)

“Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan.”

Kata “pengelolaan” dalam pengertian tersebut sesungguhnya memberikan

ruang bagi korporasi untuk memanfaatkan wilayah, sumber daya, lingkungan hidup, serta fasilitas umum dan fasilitas penunjang lainnya terkait Perkebunan sepanjang sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku. Adapun kalimat yang menunjukkan dilarangnya korporasi untuk melakukan tindakan tertentu dalam UU No. 39 Tahun 2014 dapat dilihat melalui perumusan pasal-pasal berikut:

1. Pasal 15

Perusahaan Perkebunan dilarang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

2. Pasal 17

(1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

(2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

3. Pasal 23

(1) Setiap Orang dilarang mengeluarkan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya genetik Tanaman

Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

4. Pasal 50

Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota yang berwenang menerbitkan izin Usaha Perkebunan dilarang:

a. menerbitkan izin yang tidak sesuai peruntukkan; dan/ atau

(40)

5. Pasal 55

Setiap Orang secara tidak sah dilarang:

a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;

b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;

c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan.

6. Pasal 56

(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.

(2) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan lahan tanpa membakar diatur dengan Peraturan Menteri.

7. Pasal 63

(1) Pemerintah Pusat melindungi kelestarian wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik.

(2) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang mengalihfungsikan Lahan Perkebunan di dalam wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik.

8. Pasal 77

Setiap Orang dalam melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran Hasil Perkebunan dilarang:

a. memalsukan mutu dan/atau kemasan Hasil Perkebunan;

b. menggunakan bahan penolong dan/ atau bahan tambahan untuk pengolahan; dan/atau

c. mencampur Hasil Perkebunan dengan benda atau bahan lain; yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. 9. Pasal 78

Setiap Orang dilarang menadah hasil Usaha Perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian.

10.Pasal 79

Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang mengiklankan hasil Usaha Perkebunan yang menyesatkan konsumen.

(41)

dalam Pasal 103 s/d Pasal 113 UU No. 39 Tahun 2014. Termasuk dalam hal pembakaran lahan perkebunan yang diatur dalam Pasal 108, yang berbunyi:

“Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).” Rumusan pasal 108 pada hakikatnya merujuk pada orang perorangan sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Aturan yang secara langsung menyebut korporasi sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, dapat dilihat dalam Pasal 113 Ayat (1), yang berbunyi:

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing tersebut.”

Rumusan tersebut telah dengan tegas memisahkan korporasi dari manusia sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Rumusan ini tidak membatasi makna korporasi dengan istilah “badan hukum” atau “tidak berbadan

hukum”, melainkan sesuai dengan aturan Pasal 1 Angka 15 UU No. 39 Tahun 2014, yang memberikan konsep “korporasi” dalam arti yang luas, yaitu orang

(42)

terhadap korporasi harus dianalisis kontekstual sesuai kasus284 dan senantiasa selalu diuji dalam praktek pengadilan seperti yang terjadi di negeri Belanda.285

C. Perumusan Sanksi Pidana terhadap Korporasi Pelaku Pembakaran Lahan Perkebunan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan

Pembakaran hutan atau lahan merupakan kejahatan yang harus diperangi secara komprehensif oleh setiap pihak. Kebijakan hukum pidana (penal policy) melalui pembaharuan hukum pidana materil/substantif merupakan salah satu jalan yang dapat dilakukan dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi. Di samping itu, jika melihat lebih jauh kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) mencakup upaya kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan perlindungan masyarakat (social defence policy).286 Untuk membantu kebijakan tersebut, criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) harus memenuhi unsur: kebijakan legislatif (tahap formulasi), kebijakan yudikatif (tahap aplikasi), dan kebijakan eksekutif (tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana).287

Dalam tahap formulasi, kebijakan legislatif yang diambil dalam rangka penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan bukanlah sekedar masalah

284

Sutan Remy Sajhdeini, op.cit, hlm. 104. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, untuk menentukan directing mind dari korporasi harusalah dilihat dari formal yuris dan menurut kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus.

285

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 173. 286

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007), hlm.78-79.

287 Teguh Soedarsono, “

Referensi

Dokumen terkait

Analisis keseluruhan menggunakan data hasil pemantauan GPS yang dipasang di enam titik stasiun berkala dan di sembilan titik stasiun kontinyu sebagai referensi hingga

Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan kajian pengembangan TPST Edelweiss dari skala sampah pasar menjadi skala kawasan khususnya di Kecamatan Pontianak

30. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 903-936 Tahun 2012 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat tentang Anggaran Pendapatan

Tahapan Pemberian Hak Tanggungan m enurut Pasal 10 ayat (1) bahwa awal dari tahap pemberian Hak Tanggungan did ahului dengan janji akan memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud lalam huruf a sampai lengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Layanan Balan

PENENTUAN HARGA POKOK PRODUK YANG MEMPERHITUNGKAN PRODUK DALAM PROSES (PDP) AWAL DI DEPARTEMEN PERTAMA DAN DEPARTEMEN

Persamaan pembangun model matematika dari magnetohidrodinamik fluida micropolar yang mengalir melalui bola berpori dengan pengaruh magnet didapat dari persamaan

Dengan sesungguhnya menyatakan bahwa saya telah mendapatkan penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai studi kasus yang akan dilakukan oleh Elma